Etika bisnis dapat didefinisikan sebagai prinsip perilaku (codes of conduct) yang memandu
pengambilan keputusan dan perilaku organisasional. Etika bisnis yang baik merupakan prasyarat
untuk manajemen strategik yang baik. Etika yang baik adalah bisnis yang baik.
Tanggung jawab sosial mengacu pada tindakan yang dilakukan organisasi melampaui sekadar
kebutuhan pemenuhan hukum untuk melindungi / meningkatkan kesejahteraan makhluk hidup.
Keberlanjutan lingkungan mengacu pada sejauh mana operasi & tindakan organisasi melindungi,
memperbaiki dan melestarikan daripada membahayakan / menghancurkan lingkungan alam.
Perkembangan dunia dewasa kini menempatkan dimensi etika begitu penting, terutama
dalam kaitannya dengan berbagai keputusan bisnis. Manajemen strategik, baik pada
tataran formulasi, implementasi dan evaluasi strategi, terus berupaya digulirkan oleh para
strategis dengan tetap ada dalam koridor kesadaran etika. Studi-studi empiris terakhir
menunjukkan suatu antara etika bisnis dan konsekuensi logis secara materi/keuangan
(financial consequences) dimana hal ini yang menjadi pegangan para strategis untuk
tetap mempertahankan etika bisnis. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan
yang menerapkan etika bisnis mampu mencapai profitabilitas yang lebih baik, sedangkan
perusahaan atau stakeholders perusahaan yang kedapatan melanggar code of ethics
harus menanggung berbagai biaya, baik biaya keuangan (denda/sanksi) maupun biaya
sosial (citra perusahaan yang buruk, sanksi sosial, dll). Pertanyaan inti yang mungkin bisa
menjadi suatu kontradiksi adalah, dalam rangka mencegah terjadinya biaya sedemikian,
bukankah pilihan keputusan yang mempertimbangkan etika juga menimbulkan biaya
tersendiri ? Misalnya, pilihan kemasan yg ramah lingkungan (tanpa penggunaan plastik)
tentu meningkatkan biaya produksi yang sedikit banyak akan mengganggu profitabilitas
perusahaan. Menurut hemat saya, pertimbangan manajemen dapat dijelaskan dengan
efek domino (trickle down effect) dimana ada biaya finansial tambahan sebagai akibat
dari biaya sosial. Citra Perusahaan yang buruk di mata masyarakat (biaya sosial)
mempengaruhi perilaku konsumen dan secara khusus, merubah keputusan pembelian
yang menimbulkan potensi penurunan pendapatan dan laba secara signifikan (biaya
keuangan). Hubungan bisnis diawali dari hubungan percaya dan reputasi dan dapat
berakhir jika reputasi itu jatuh. Jangan sampai keputusan bisnis jangka pendek, yang
didasari oleh oportunitas (questionable ethics) dan keserakahan, justru menghancurkan
reputasi sebagai aset jangka panjang perusahaan. Dengan demikian, dari segi
pertimbangan biaya, peranan dimensi etika masih relevan dalam manajemen strategik
perusahaan (being unethical can be expensive).
1. Dapat dipercaya.
2. Berpandangan terbuka.
3. Menghormati semua komitmen dan kewajiban.
4. Jangan menyesatkan atau melebih-lebihkan informasi dengan media apapun.
5. Jadilah warga masyarakat yang bertanggung jawab.
6. Gunakan praktik akuntansi untuk meminimalisasi questionable activities.
7. Perlakukan orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan (golden rule).
1
Beberapa contoh tindakan tindakan bisnis yang tidak etis:
1. Plagiarisme.
2. Iklan atau pelabelan yang menyesatkan.
3. Promotor akan kerusakan lingkungan.
4. Produk dengan kualitas dan tingkat keamanan yang buruk.
5. Memperbesar perhitungan beban-beban.
6. Perdagangan informasi internal (insider trading).
7. Dumping produk terlarang atau cacat di pasar luar negeri.
8. Tidak memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan minoritas.
9. Penetapan harga produk yang tidak wajar (overpricing).
10. Pelecehan seksual.
11. Penyalahgunaan aset perusahaan untuk keuntungan pribadi.
Kunci utama dalam membangun budaya etika adalah memiliki kode etik (code of ethics)
yang jelas. Kode etik tersebut harus diterapkan dalam lingkungan kerja untuk
memastikan bahwa nilai-nilai budaya etika dapat dipahami, diyakini, dan diterapkan. Ada
6 langkah untuk mendirikan budaya etika menurut Donald Palmer:
1. Whistle-Blowing
2. Avoid Bribery
3. Workplace Romance
Asmara di tempat kerja (workplace romance) adalah hubungan intim antara dua
karyawan yang saling menyetujui, sebagai awan dari pelecehan seksual. Equity
Employment Opportunity Commission (EEOC) mendefinisikan workplace romance secara
secara lebih luas sebagai kemajuan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk
bantuan seksual, dan perilaku verbal atau fisik lainnya yang bersifat seksual. Suatu
organisasi hendaknya tidak mengatur urusan romance ini terlalu ketat, namun tetap
memperhatikan batas-batas kewajaran sehingga tidak menganggu kinerja personil dan
mengganggu kepentingan organisasi dalam pencapaian visi/misinya.
2
Beberapa alasan pendukung workplace romance dapat berdampak negatif bagi moral
dan produktivitas perusahaan:
1. Komplain ketika ada favoritisme (orang yang difavoritkan, seperti anak emas).
2. Kerahasiaan catatan bisa dilanggar.
3. Masalah akibat berkurangnya kualitas dan kuantitas pekerjaan.
4. Argumen pribadi dapat menyebabkan argumen kerja.
5. Membocorkan rahasia menimbulkan ketegangan dan permusuhan antara karyawan.
6. Pelecehan seksual (atau diskriminasi) mungkin terjadi.
7. Konflik kepentingan dapat muncul, terutama terkait kesejahteraan pasangan.
Flirting adalah derivasi turunan dari workplace romance. Flirting didefinisikan sebagai
perilaku romantis yang ambigu dan berorientasi pada tujuan. Beberapa aturan flirting:
1. Jangan flirting dengan seseorang yang sedang mencari hubungan jika Anda tidak
tertarik dengan hubungan baru.
2. Lakukan flirting dalam hubungan yang tujuannya ingin serius.
3. Jangan flirting sebagai tindakan manipulatif hanya untuk membuat orang cemburu.
4. Flirting antara pribadi yang berbeda jenjang biasanya menimbulkan masalah.
5. Jangan melakukan kontak fisik dengan orang yang Anda flirt.
Kebijakan sosial (social policy) menyangkut apa tanggung jawab perusahaan terhadap
karyawan, konsumen, pemerhati lingkungan, minoritas, masyarakat, pemegang saham
dan kelompok lainnya. Kebijakan sosial harus menjadi bagian dari setiap tahapan
manajemen strategik.
3
2. Social Policies on Retirement
Jepang memberikan insentif bagi orang lanjut usia untuk bekerja sampai usia 65 sampai
75 tahun. Negara-negara Eropa Barat melakukan hal yang sebaliknya, memberikan
insentif bagi orang lanjut usia untuk pensiun pada usia 55 sampai 60 tahun.
D. ENVIRONMENTAL SUSTAINABILITY
1. Sustainability Reports
Melestarikan lingkungan harus menjadi bagian permanen dalam berbisnis, karena alasan
berikut:
1. Permintaan konsumen untuk produk dan paket yang aman lingkungan itu tinggi.
2. Justifikasi dari sentimen publik yang kuat untuk menuntut perusahaan melakukan
bisnis dengan cara yang melestarikan lingkungan.
3. Aktivis lingkungan yang semakin banyak.
4. Pemenuhan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan.
5. Pemberi pinjaman semakin memperhatikan potensi kewajiban lingkungan.
6. Perubahan paradigma dan semakin kuatnya kesadaran lingkungan publik.
7. Potensi kerugian akibat tuntutan dan denda terhadap masalah lingkungan.
ISO 14000 mengacu pada serangkaian standar sukarela di bidang lingkungan. Keluarga
standar ISO 14000 menyangkut sejauh mana perusahaan meminimalkan dampak
berbahaya terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatannya dan terus memantau
dan memperbaiki kinerjanya sendiri.
Rangkaian standar pada ISO 14000 menyangkut sejauh mana perusahaan memini-
malkan efek berbahaya pada lingkungan yang disebabkan oleh aktivitasnya dan terus
memantau dan meningkatkan kinerja dan kepatuhan lingkungannya sendiri. Termasuk
dalam rangkaian ISO 14000 adalah standar ISO 14001 dalam bidang seperti audit
lingkungan, evaluasi kinerja lingkungan, pelabelan lingkungan, dan penilaian siklus hidup.
4
ISO 14001 adalah seperangkat standar yang diadopsi perusahaan untuk memastikan
kepada stekaholders bahwa mereka menjalankan bisnis dengan cara yang ramah
lingkungan. Menurut ISO 14001, sebuah organisasi diharuskan untuk menerapkan
serangkaian praktik dan prosedur yang, jika digabungkan, menghasilkan sebuah sistem
manajemen lingkungan (Environmental Management System / EMS).