Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

CRITICAL JOURNAL REVIEW

Diajukan untuk memenuhi Tugas – tugas


Mata Kuliah Penelitian dan Publikasi Ilmiah

NAMA MAHASISWA : CHAIRUNNISA AMELIA


NIM : 8196184002
DOSEN PENGAMPU : Dr. Edy Surya, M.Si
MATA KULIAH : Penelitian dan Publikasi Ilmiah

PROGRAM STUDI S-3 PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
Bulan November 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
saya kesempatan dalam menyelesaikan Critical Journal Review ini, sehingga Critical
Journal Review ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Dr. Edy Surya, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah Penelitian dan Publikasi Ilmiah yang telah membimbing mahasiswa/i
tahun ajaran 2018/2019. Dalam Critical Journal Review ini saya membahas dan menjelaskan
mengenai jurnal yang terindeks scopus dan bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada
para pembaca. Selaku manusia biasa, saya menyadari bahwa dalam hasil tulisan ini masih
terdapat kekurangan dan kekeliruan yang tidak sengaja.
Oleh karena itu, saya sangat membutuhkan kritik dan saran. Saya berharap Critical
Journal Review ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya pada mata kuliah Penelitian
dan Publikasi Ilmiah di Universitas Negeri Medan.

Medan, November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1
B. Tujuan.......................................................................................................................1
C. Manfaat.....................................................................................................................1

BAB II: PEMBAHASAN..........................................................................................................2

A. Identitas Jurnal 1.......................................................................................................2


B. Identitas Jurnal 2.......................................................................................................7
C. Identitas Jurnal 3.....................................................................................................17
D. Identitas Jurnal 4.....................................................................................................23
E. Identitas Jurnal 5.....................................................................................................27

BAB III: PENUTUP................................................................................................................33

A. Kesimpulan.............................................................................................................33
B. Saran........................................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Review Jurnal Kritis (CJR) sangat penting bagi kalangan pendidikan baik untuk
mahasiswa maupun mahasiswi karena dengan mengkritik suatu jurnal maka Mahasiswa /
i ataupun si pengkritik dapat membandingkan dua jurnal dengan tema yang sama, dapat
melihat jurnal mana yang perlu diperbaiki dan jurnal mana yang sudah baik untuk
digunakan berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis jurnal tersebut,
setelah dapat mengkritik jurnal diharapkan Mahasiswa / i dapat membuat suatu jurnal
karena sudah melihat bagaimana kriteria jurnal yang baik dan benar untuk digunakan dan
sudah mengerti bagaimana cara menulis atau langkah-langkah apa saja yang diperlukan
dalam masukan jurnal tersebut.

B. Tujuan
Review jurnal kritis ini bertujuan untuk belajar melalui pemenuhan tugas mata kuliah
Penelitian dan Publikasi Ilmiah Jurusan Pendidikan Dasar Universitas Negeri Medan
untuk membuat Critical Journal Review (CJR) sehingga dapat menambah pengetahuan
untuk melihat atau membandingkan dua atau beberapa jurnal yang baik dan yang benar.
Setelah dapat membandingkan maka akan dapat membuat suatu jurnal karena sudah dapat
membandingkan mana jurnal yang sudah baik dan mana jurnal yang masih perlu
perbaikan dan juga karena sudah mengerti langkah-langkah dari pembuatan suatu jurnal.

C. Manfaat
Manfaat Critical Journal Review (CJR), yaitu:
a. Dapat membandingkan dua atau lebih jurnal yang direview.
b. Dapat meningkatkan analisis kita terhadap suatu jurnal.
c. Supaya kita dapat melihat teknik-teknik CJR yang benar.
d. Dapat menulis bagaimana jurnal yang baik dan benar.
e. Menambah pengetahuan kita tentang isi-isi dari jurnal-jurnal penelitian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. IDENTITAS JURNAL 1

Nama Penulis : Intan Dwi Hastuti, Surahmat, Sutarto, dan Dafik


Judul Artikel : The Effect of Guided Inquiry Learning in Improving
Metacognitive Skill of Elementary School Student
Nama jurnal : International Journal of Instruction (Turkey-Q2-H index
14)
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 13 No. 4, 2020, hal. 315-330

Jurnal 1 : Pengaruh Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dalam Meningkatkan


Keterampilan Metakognitif Siswa Sekolah Dasar
Abstrak - Judul yang berjudul “The Effect of Guided Inquiry
Learning in Improving Metacognitive Skill of Elementary
School Student” ini berisi tentang  pembelajaran inkuiri
terbimbing terhadap peningkatan keterampilan
metakognitif siswa sekolah dasar dalam materi pecahan.
- Abstrak pada artikel sudah mencantumkan tujuan, metode
penelitian, dan hasil penelitian.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Dalam paragraf pertama, Keterampilan metakognitif


merupakan salah satu indikator yang ditekankan dalam
pencapaian pembelajaran tujuan. Keterlibatan
keterampilan metakognitif menjadi komponen penting
dalam pembelajaran kegiatan belajar karena dapat
mendorong keterampilan berpikir tingkat tinggi (Kuzle,
2013;Biryukov, 2014; Wismath, Orr, & Good, 2014).
Metakognisi didefinisikan sebagai bagian dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi yang mencakup
pemahaman, analisis, dan pengendalian proses kognitif
(Dorr & Perels, 2019; Flavell, Miller, & Miller 2002).
Metakognisi juga dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk memikirkan tentang apa yang telah dipikirkan yang
meliputi tiga kegiatan yaitu penyadaran, regulasi, dan
evaluasi (Hastuti, Nusantara, Subanji, & Susanto, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kemampuan
metakognitif berkembang seiring dengan bertambahnya

2
usia dan uniknya perkembangan ini terjadi terus menerus
(van der Stel & Veenman,2014). Oleh karena itu, layak
untuk dianalisis bagaimana mengembangkan keterampilan
metakognitif anak sebagai aspek kunci dari pembelajaran
mandiri pada tahap awal (Winne & Hadwin, 2008). Salah
satu solusi untuk meningkatkan keterampilan metakognitif
siswa adalah melalui student-centered kegiatan
pembelajaran berupa model pembelajaran inkuiri. Model
pembelajaran inkuiri mengacu pada paradigma
konstruktivis, dimana siswa secara aktif mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Kegiatan pembelajaran inkuiri
dirancang menyerupai kegiatan seorang ilmuwan, di
dalamnya siswa dilibatkan untuk mempertanyakan,
menganalisis ide, merancang strategi, dan mendiskusikan
hasil dan makna hasil (Ellwood & Abrams, 2018). Melalui
penyelidikan kegiatan, siswa secara aktif membangun
ilmunya sehingga hasil belajar yang diinginkan bisa
tercapai. Paragraf selanjutnya, dalam kegiatan
pembelajaran inkuiri, siswa terlibat dalam kegiatan yang
bersifat pada dasarnya terbuka, berpusat pada siswa, dan
langsung berdasarkan pada masalah kehidupan nyata.
Pembelajaran inkuiri dibagi menjadi tiga jenis: 1) inkuiri
terstruktur, 2) inkuiri terbimbing, dan 3) pertanyaan
terbuka. Jenis pembelajaran inkuiri yang cocok untuk
sekolah dasar siswa adalah pembelajaran inkuiri
terbimbing karena mereka belum memiliki banyak
pengalaman pembelajaran inkuiri (Suastra, 2017;
Margunayasa, dkk, 2018). Inkuiri terpandu menekankan
pentingnya proses penemuan oleh siswa itu sendiri.
Pertanyaan terpandu memiliki enam tahapan: 1) orientasi,
2) perumusan masalah, 3) perumusan hipotesis, 4)
datakumpulan, 5) verifikasi hasil / pengujian hipotesis,
dan 6) kesimpulan. Beberapa penelitian sebelumnya telah
membuktikan bahwa pembelajaran inkuiri dapat
meningkatkan kemampuan kritis siswa keterampilan
berpikir (Thaiposri & Wannapiroon, 2015; Prayogi,
Yuanita, & Wasis, 2018).Apalagi penelitian yang
dilakukan oleh Ergul et. Al. (2011) juga mengungkap
bahwa penggunaan metode pengajaran inkuiri terbimbing
secara signifikan dapat meningkatkan keterampilan proses
ilmiah dansikap siswa sekolah dasar. Model pembelajaran
inkuiri menjadi populer dan memainkan peran penting
dalam mendukung keterampilan berpikir tingkat tinggi di
berbagai bidang, khususnya dalam sains dan matematika
(Hayes, 2002; Rooney, 2009; Towers, 2010).
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah
keterampilan metakognitif. Setelah itu, menjelaskan
variabel independennya yaitu pembelajaran inkuiri.

3
Pembahasan
- Populasi dan Sampel - Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas V Sandik 1
UmumSekolah Dasar di Kabupaten Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat, Indonesia
- Penelitian menggunakan cluster random sampling dengan
memilih dua kelas secara acak, menghasilkan satu
kelaskelas eksperimen dengan total 28 siswa, diajar
menggunakan inkuiri dan kontrol terbimbingkelas dengan
total 27 siswa, diajar menggunakan model pembelajaran
konvensional.

- Penelitian ini menggunakan kombinasi metode kuantitatif


- Desain Penelitian
dan kualitatif (campuran metode). Metode kuantitatif
digunakan untuk menganalisis data yang diambil dari
metakognitiftes keterampilan siswa sekolah dasar setelah
penerapan inkuiri terbimbing. Selanjutnya metode
kualitatif digunakan untuk menganalisis data yang
diperoleh dari observasibaik saat pembelajaran di kelas
maupun diskusi kelompok, hasil tes siswa, dan wawancara
dengan siswa terpilih.

- Desain eksperimental dari penelitian ini adalah


mempersiapkan dua kelompok kelas: eksperimen dan
kelas kontrol, yang dipilih dengan cluster random
sampling dan diperiksa melalui pre-test dan post-test.

- Percobaan dilakukan dalam 6 kali pertemuan, tidak


- Prosedur Percobaan termasuk pre-test dan post-test. Langkah pertama adalah
mempersiapkan dua kelompok kelas: kelas eksperimen
dan kelas kontrol, yang dipilih melalui purposive random
sampling. Langkah kedua adalah memberikan pre-test
kepada kedua kelompok. Langkah ketiga adalah proses
validasi. Ada dua ahli pendidikan matematika yang
melakukan validasi rencana pelaksanaan pembelajaran
inkuiri terbimbing, lembar kerja siswa, dan pre-test dan
soal post-test berisi pemecahan masalah pecahan. Langkah
keempat adalah proses pengobatan. Pada tahap ini peneliti
berperan sebagai guru. Langkah kelima adalah
memberikan tes akhir. Pada tahap ini, keterampilan
metakognitif siswa dianalisis.

- Instrumen - Data penelitian ini diperoleh dengan menggunakan


beberapa instrumen seperti inkuiri terbimbing RPP, LKS,
tes pemecahan masalah matematika pecahan materi, dan
wawancara. Tes pemecahan masalah matematika materi
pecahan adalah digunakan untuk mengumpulkan data

4
keterampilan metakognitif siswa. Masalah pecahan terdiri
dari pertanyaan yang terintegrasi dengan indikator
keterampilan metakognitif seperti perencanaan,
pemantauan,dan evaluasi (Krathwohl, 2002).

- Rubrik keterampilan metakognitif terdiri dari tujuh skala


(0-7) yang meliputi: (1) jawaban dengan kata-katanya
sendiri, (2) urutan jawaban yang koheren, (3) tata bahasa
atau bahasa, (4) alasan (analisis / evaluasi, pembuatan),
dan (5) jawaban (benar / kurang / tidak benar-benar /
kosong) (Corebima, 2009).

- Siswa dalam kelompok eksperimen dan kontrol diberi


- Analisis Data dan
pertanyaan pemecahan masalah tentang materi pecahan
Temuan selama pre-test dan post-test. Data kualitatif dikumpulkan
melalui wawancara tidak terstruktur berdasarkan hasil
kerja siswa selama post-test. Analisis statistik bersifat
deskriptif dan inferensial untuk menganalisis data
kuantitatif. Statistik deskriptif digunakan untuk
menunjukkan sarana dan standar deviasi, sedangkan
statistik inferensial adalah uji-t sampel independen untuk
menguji keefektifan terbimbing penyelidikan antara
eksperimen dan kelas kontrol (Hilton et. al., 2004). tingkat
signifikansi yang digunakan untuk membandingkan skor
rata-rata eksperimen dan kontrol kelas adalah tingkat
signifikansi 5%.

- Berdasarkan hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan


soal pecahan, diperoleh data tentang keterampilan
metakognitif siswa diperoleh. Di kelas eksperimen,
metakognitif Aktivitas terjadi ketika siswa memecahkan
masalah matematika dengan pecahan. Berikut ini adalah
uraian kegiatan metakognitif yang dilakukan oleh dua
orang terpilih mahasiswa untuk mendapatkan analisis
yang lebih dalam dinamakan S1 dan S2.

- Diskusi - Pembelajaran inkuiri terbimbing mendorong siswa untuk


lebih aktif terlibat kegiatan pembelajaran matematika.
Tahapan dalam model pembelajaran inkuiri terbimbing
bisa memunculkan aspek keterampilan metakognitif.
Tahapan inkuiri terbimbing dalam penelitian ini
digunakan enam tahapan: 1) orientasi, 2) perumusan
masalah, 3) perumusan hipotesis, 4) data kumpulan, 5)
verifikasi hasil / pengujian hipotesis, dan 6) kesimpulan.
1) Pada tahap orientasi, guru melakukan apersepsi dan
mengaitkan materi yang akan dibuatbelajar dengan materi
sebelumnya tentang pengenalan pecahan, pecahan
sederhana, dan perbandingan pecahan yang telah dipelajari

5
di kelas empat. 2) Pada tahap pemecahan masalah, siswa
diberikan soal penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian pecahan melalui siswa yang disusun lembar
kerja. Siswa diminta membuat kelompok yang terdiri dari
3 sampai 4. Setelah itu, siswa diminta untuk mempelajari
semua instruksi di lembar kerja. 3) Pada tahap menyusun
hipotesis, banyak aktivitas bertanya terjadi secara
berkelompok anggota. Misalnya, siswa bertanya tentang
cara menjumlahkan dan mengurangi dua pecahan dengan
penyebut yang berbeda dan cara mengalikan dan membagi
dua pecahan. Mahasiswa tanya satu sama lain dalam satu
kelompok atau bahkan mereka juga bertanya kepada guru.
Setelah ditanyai, siswa membuat hipotesis tentang cara
menambah, mengurangi, mengalikan, dan membagi
pecahan. Pada tahap ini terdapat beberapa kesulitan dalam
kemampuan literasi siswa yaitu masih rendah. Banyak
siswa lebih suka bertanya kepada guru daripada membaca
dan mencari tahu diri. 4) Pada tahap pendataan, anggota
kelompok satu mulai mencoba melakukan
penjumlahan,pengurangan, perkalian, dan distribusi
menggunakan plastik transparan. Mereka juga
mulaimenjawab semua pertanyaan di lembar kerja siswa.
Saat mengamati aktivitas ini, ditemukan bahwa ada
beberapa kesulitan yang dialami oleh kelompok tersebut.
Misalnya para siswa belum memahami pedoman
penggunaan media pada LKS, sehingga guru memberi
mereka arahan sehingga siswa memahami dan
menemukannya diri. Berdasarkan observasi dan
wawancara, siswa lebih semangat belajar karena merasa
lebih bersemangat terlibat dalam kegiatan mengutak-atik
plastik transparan dan berdiskusi. Temuan ini serupa
dengan temuan Elbers (2003) bahwa interaksi in inquiry
Pembelajaran akan merangsang siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan matematika dan
mendorongnya mereka untuk melakukan proses refleksi.
5) Pada tahap pengujian hipotesis, siswa mulai mengecek
ulang apakah hasil hipotesis yang mereka buat terkait
dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian pecahan sesuai dengan hasil percobaan mereka
saat menggunakan media plastik transparan. Di tahap ini
terdiri dari siswa-siswa, siswa-sumber belajar, dan siswa-
guru interaksi. Interaksi tersebut merangsang siswa untuk
terlibat dalam metakognitif kegiatan. Dari hasil temuan,
untuk menambah dan mengurangi pecahan, penyebutnya
haruslah disamakan pada awalnya. Pada tahap ini siswa
melakukan kegiatan metakognitif dengan mengevaluasi
masukan dari teman mereka dan kemudian mengubah
jawaban awal mereka. 6) Pada tahap terakhir
(kesimpulan), siswa menyimpulkan bahwa menjumlahkan
dan mengurangi dua penyebut yang berbeda adalah untuk

6
menyamakan penyebut pada awalnya. Lebih jauh,
perkalian bisa jadi dilakukan dengan mengalikan
pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan
penyebut. Pembagian adalah kebalikan dari operasi
perkalian.

- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis menjelaskan


dengan sangat rinci bagaimana penelitian tersebut
dilaksanakan. Pembahasan yang dilakukan oleh penulis
mudah dipahami maksud dan tujuannya oleh pembaca.

Kesimpulan - Berdasarkan analisis data dan temuan, dapat disimpulkan


bahwa dibandingkan dengan konvensional metode
pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan
keterampilan metakognitif siswa dengan lebih baik. Setiap
tahapan dalam pembelajaran inkuiri dapat mendorong
khususnya aktivitas metakognitif siswa ketika mereka
terlibat dalam diskusi kelompok. Tersirat sekolah dasar itu
Guru perlu melaksanakan pembelajaran inkuiri terbimbing
berbantuan media khususnya dalam pembelajaran-
pembelajaran matematika. Selain itu, disarankan agar
peneliti lebih lanjut mendaftar pembelajaran inkuiri
terbimbing dalam topik matematika lainnya.

Kekuatan Penelitian - Teori dan model analisis yang digunakan tepat.


- Bahasa yang digunakan oleh penulis mudah dipahami
maksud dan tujuannya oleh pembaca. Analisisnya sangat
rinci dan mudah dipahami.

Kelemahan Penelitian - Penulis kurang lengkap dalam menyimpulkan keseluruhan


isi dari jurnal ini.
- Daftar pustaka tidak sesuai dengan urutan nama pada
sistematika penulisan.

B. IDENTITAS JURNAL 2
1. Jurnal Utama
Nama Penulis : Indriati Nurul Hidayah, Cholis Sa'dijah, Subanji,
Sudirman
Judul Artikel : Characteristhics Of Students 'Abductive Reasoning
Insolving Algebra Problems
Nama jurnal : Journal on Mathematics Education (Indonesia-Q2-H index
14)
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 11 No. 3, 2020, hal. 347-362

7
2. Jurnal Pembanding
Nama Penulis : Mi Kyung Cho, Min Kyeong Kim
Judul Artikel : Investigating Elementary Students'Problem Solving
and Teacher Scaffoldingin Solving an III-Structured
Problem
Nama jurnal : International Journal of Education in Mathematics, Science
and Technology (Turkey-Q2-H index 14)
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 8 No. 4, 2020, hal. 274-289

Jurnal utama : Karakteristik Alasan Abduktif Siswa Pada Menyelesaikan Masalah


Aljabar
Abstrak - Judul yang berjudul “Characteristhics Of Students
'Abductive Reasoning Insolving Algebra Problems” ini
berisi tentang menyelesaikan masalah aljabar, mahasiswa
berusaha untuk menyimpulkan fakta-fakta yang terdapat
pada masalah. Langkah ini sangat penting karena
mahasiswa dapat menarik dari fakta-fakta dan rencana
untuk menyelesaikan masalah.
- Abstrak pada artikel sudah mencantumkan tujuan, metode
penelitian, dan hasil penelitian.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Dalam paragraf pertama, Pemecahan masalah telah


dianggap sebagai domain penting dalam pengajaran dan
pembelajaran matematika, padahal dibutuhkan beberapa
syarat untuk memahami proses melakukan pemecahan
masalah. Baru-baru ini bertahun-tahun, beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi esensi
pemecahan masalah dalam matematika belajar (Gurat,
2018 ; Jäder dkk., 2019 ; Chew dkk., 2019 ; Reiss &
Törner, 2007; Ekawati dkk., 2019). Misalnya, Gurat
(2018) membahas strategi pemecahan masalah dalam
interaksi guru-siswa, dan Reiss dan Törner (2007 )
menyelidiki psikolog kognitif yang mempengaruhi siswa
untuk memecahkan matematika masalah di ruang kelas.
Laporan terbaru juga menginformasikan bahwa
pembelajaran pemecahan masalah harus didukung
berdasarkan ketersediaan buku (Jäder et al., 2019).
Berdasarkan observasi kelas kami, beberapa siswa
mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah kegiatan.
Ketidakmampuan mereka mungkin disebabkan oleh

8
kerumitan dalam membuat kesimpulan dari fakta-fakta
yang diberikandalam pemecahan masalah. Kegagalan
siswa dalam pemecahan masalah menunjukkan bahwa
pentingnya masalah-pemecahan belum diajarkan dengan
baik dalam pembelajaran matematika. Salah satu faktor
menonjol yang dapat mendukung pemecahan masalah
dalam praktik adalah penalaran. Karena itu, NCTM
(2000) menekankan pentingnya penalaran dan bukti
sebagai aspek fundamental pembelajaran matematika.
Secara teoritis, penalaran diartikan sebagai proses menarik
kesimpulan (Leighton & Sternberg, 2003; Sternberg &
Sternberg, 2012). Penalaran dan bukti dibutuhkan dalam
membangun argumen yang masuk akal untuk
membuktikan kebenaran pernyataan. Penalaran dalam
pembelajaran matematika telah ditemukan bervariasi
seperti penalaran kuantitatif (Moore, 2014), penalaran
kovariasional (Subanji & Supratman, 2015), penalaran
proporsional (Im &Jitendra, 2020 ), penalaran analogi
(Lailiyah, et al., 2018 ), penalaran aljabar (Otten et al.,
2019), dan masih banyak lagi. Sifat berpikir matematis
berfungsi sebagai karakter dalam penalaran. Pada paragraf
selanjutnya dalam penelitian ini, salah satu aspek berpikir
dalam pembelajaran matematika yaitu menarik
kesimpulan dari pelajaran abduktif perspektif dibahas.
Secara khusus, istilah penalaran abduktif digunakan dalam
makalah ini. Penalaran abductif sangat erat kaitannya
dengan kehidupan manusia dalam bentuk konjektur yang
dibuat berdasarkan tentang beberapa fakta. Penalaran
Abduktif juga dieksplorasi secara luas di beberapa bidang,
seperti di bidang medis diagnosis (Alirezaie & Loutfi,
2014 ; Aliseda, 2006), komputer dan pemrograman (Dong
et al., 2015; Maet al., 2008) , dan aktivitas terkait
pemikiran kritis (O'Reilly, 2016 ).
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah pemecahan
masalah. Setelah itu, menjelaskan variabel independennya
yaitu penalaran abduktif. Dan berdasarkan beberapa teori-
teori yang dimasukkan sudah sangat jelas dipahami pada
bagian pengantar.
Pembahasan
Metode - Partisipan dalam penelitian ini adalah 58 mahasiswa tahun
kedua dari universitas negeri di Malang, Jawa Timur,
Indonesia. Pada 12 Maret 2020, mereka diminta
menyelesaikan soal aljabar. Solusi mereka dimasukkan
dalam empat kelompok berdasarkan penalaran abduktif
menggunakan fakta. Selanjutnya untuk mengeksplorasi
karakteristik masing-masing kelompok, kami melakukan
wawancara berbasis tugas dengan satu siswa dari setiap

9
kelompok. Jadi, ada empat mahasiswa yang akan
diwawancarai. Mereka dipilih karena (1) mereka
memenuhi indikator penalaran abduktif dengan
menggunakan fakta, (2) memiliki kemampuan komunikasi
yang baik, dan (3) mereka bersedia berpartisipasi dalam
penelitian ini. Untuk mengamati proses penalaran abduktif
siswa dan merekam wawancara, observasi lembar
digunakan.
- Instrumen telah diuji validitas dan reliabilitasnya sebelum
diolah. Validasi isi soal dan lembar wawancara dilakukan
oleh dua orang ahli matematika dan dua pakar pendidikan.
Item validitas instrumen termasuk kelayakan item tes,
kebenaran konsep, multitafsir, dan instruksi yang tepat
untuk melakukan abduktif pemikiran. Soal aljabar
memberikan beberapa fakta, dan peserta diminta untuk
memeriksanya apakah suatu properti benar atau tidak
berdasarkan fakta.
- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis belum
menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana penelitian
tersebut dilaksanakan. Analisis data yang dipakai juga
tidak jelas sehingga pembahasan yang dilakukan oleh
penulis belum dapat dipahami maksud dan tujuannya oleh
pembaca.

Hasil dan Diskusi - Dari empat kelompok dengan jenis jawaban berbeda,
kelompok pertama melibatkan satu siswa yang bisa
memunculkan dugaan baru di luar pertanyaan yang terkait
dengan masalah. Kelompok kedua yang terlibat dua puluh
siswa menggunakan fakta yang "benar" di luar masalah
untuk memecahkan masalah. Kelompok ketiga itu
melibatkan dua belas siswa, gunakan fakta yang "salah" di
luar masalah untuk memecahkan masalah. Yang keempat
kelompok yang melibatkan dua puluh lima siswa
menganggap hal yang dipertanyakan sebagai fakta yang
diberikan. Semua dilakukan dengan tahap wawancara.
- Keunikan siswa dengan "konjektur kreatif," adalah
menulis dugaan baru. Yang baru dugaan berada di luar
pertanyaan tentang masalah yang terkait dengan
pertanyaan tersebut. Mahasiswa pengoptimalan fakta
memecahkan masalah dengan menggunakan semua fakta
di dalam masalah, tahu apa yang ditanyakan tentang, dan
menggunakan fakta yang “benar” di luar masalah untuk
memecahkan masalah pengetahuan yang tidak tertulis di
dalam masalah (yaitu ℤ bukan grup). Karena ilmu lain
yang diambil adalah ilmu yang benar dan semua fakta
diketahui, maka kesimpulan fakta sudah tepat, sehingga
perencanaan solusinya juga tepat. Pada kelompok dengan
"kesalahan faktual", mereka menggunakan semua fakta.
saat mereka membuat dugaan, kelompok ini ditambahkan
pengetahuan lain, yang tidak terkandung dalam masalah,

10
yaitu kebalikan dari konsep elemen. Konsep yang diambil
salah karena tidak semua elemen di ℤ memiliki invers
perkalian. Menambahkan kesalahan fakta masalah akan
menjadi produk dari dugaan yang salah sehingga
perencanaan masalah tersebut salah. Pada kelompok
dengan “Kesalahan Fakta”, siswa menyimpulkan bahwa
dengan menggunakan pertanyaan hal sebagai fakta yang
diberikan. Jawabannya memang salah, tapi menarik untuk
dianalisa karena mahasiswanya banyak lakukan.
- Pada hasil diskusi nya sudah tepat namun dari kalimat
kata dari penelitian masih kurang dapat dipahami.

Kesimpulan - Studi ini menangkap jenis penalaran abduktif yang


diterapkan oleh siswa dalam memecahkan aljabar masalah
yang terkait dengan menggunakan fakta tentang masalah.
Hasil menunjukkan beberapa jenis seperti materi iklan
jenis dugaan, jenis pengoptimalan fakta, jenis kesalahan
faktual, dan jenis fakta yang salah. Di bagian kreatif tipe
dugaan, siswa dapat menyelesaikan masalah, tetapi
mereka tidak puas dengan solusinya. Siswa
mengembangkan ide-ide baru terkait dengan pertanyaan
yang dilakukan menggunakan penalaran abduktif.
Faktanya tipe optimasi, siswa membuat dugaan tentang
jawaban masalah, kemudian mengkonfirmasi dugaan
dengan membuat penalaran deduktif. Pada jenis kesalahan
faktual, siswa menambahkan fakta di luar masalah untuk
membantu mereka memecahkan masalah, tetapi fakta
yang diambil tidak benar, mengarah ke kesalahan
kesimpulan. Dalam jenis fakta yang salah, siswa
mengasumsikan bahwa pertanyaan tersebut adalah nilai
yang benar sehingga menjadi benar ditunjuk sebagai fakta.
Akibatnya, tindakan yang diambil untuk membuat
kesimpulan juga salah. Jenis konjektur kreatif dan jenis
pengoptimalan fakta sangat berguna dalam masalah-
proses penyelesaian. Oleh karena itu, guru harus
mendorong siswa untuk menggunakan konjektur dan fakta
yang kreatif pengoptimalan saat belajar matematika.
Penalaran yang mencela dapat mendorong siswa untuk
menemukan hal baru pengetahuan. Sedangkan abductive
reasoning juga dapat menyebabkan siswa melakukan
kesalahan dalam menarik kesimpulan. Dengan
mengetahui jenis penalaran abduktif siswa dalam
memecahkan masalah aljabar, perhatian tindakan dapat
diambil untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat dan
juga dapat memberikan lebih banyak aktivitas untuk
pembelajaran siswa sehingga ilmu baru terus
bermunculan. Pembelajaran penalaran abduktif ini
dilakukan pada siswa pendidikan matematika, yang disaat
berlakunya studi ini, pelajari baik materi matematika
maupun pedagogi untuk mengajar dan belajar. Hasilnya

11
mungkin sedikit berbeda jika dilakukan pada siswa yang
mendaftar di alam murni program matematika. Oleh
karena itu, penyelidikan di masa depan didorong untuk
memeriksa penalaran abduktif siswa dalam program non-
pendidikan.

Kekuatan Penelitian - Teori yang digunakan sudah tepat.


Keunggulan Penelitian - Penulis sudah lengkap dalam menyimpulkan keseluruhan
isi dari jurnal ini.
- Daftar pustaka sesuai dengan urutan nama pada
sistematika penulisan.
Kelemahan Penelitian - Bahasa yang digunakan oleh penulis sulit dipahami
maksud dan tujuannya oleh pembaca. Analisisnya belum
dijelaskan secara rinci sehingga belum dapat dipahami.
- Analisis yang digunakan juga belum jelas dan sulit
dipahami.

Jurnal Pembanding : Investigasi Siswa SD Pemecahan Masalah dan Perancah Guru dalam
Memecahkan Masalah yang Tidak Terstruktur

Abstrak - Judul yang berjudul “Investigating Elementary Students


'Problem Solving and Teacher Scaffoldingin Solving an
III-Structured Problem” ini berisi tentang menyelidiki
fitur pemecahan masalah siswa SD keterampilan, ketika
guru memberikan perancah dalam proses memecahkan
masalah-masalah terstruktur di kelas matematika sekolah
dasar di Seoul, Korea Selatan.
- Abstrak pada artikel sudah mencantumkan tujuan, metode
penelitian, dan hasil penelitian.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Dalam paragraf pertama, Pendidikan matematika di


seluruh dunia telah menekankan pada proses matematika
yang dapat membantu masalah dunia yang dihadapi di luar
sekolah. Dari sudut pandang ini, penggunaan masalah
yang tidak terstruktur dapat dilakukan disarankan. Unsur-
unsur yang terkandung dalam masalah yang tidak
terstruktur tidak ditentukan, dan sifatnya sendiri dapat
ditentukan ambigu (Chi & Glaser, 1985; Jonassen, 1997).
Oleh karena itu, ketika memecahkan masalah yang tidak
terstruktur, siswa perlu peduli tentang pemahaman mereka
tentang situasi masalah dan diberi bantuan yang
sesuaisesuai kebutuhan (Bransford, Brown, & Cocking,
2000). Jonassen (1997) membandingkan solusi dari
masalah terstruktur untuk masalah yang tidak terstruktur
dan bantuan yang dibutuhkan pada setiap tahap
pemecahan masalah yang tidak terstruktur. Sejak
kemudian, penelitian untuk menyediakan perancah telah
berlangsung untuk penelitian tentang bagaimana

12
memberikan bantuan dalam masalah terstruktur (Chen &
Bradshaw, 2007; Davis & Linn, 2000; Ge, Chen, & Davis,
2005; Ge & Land,2003, 2004; Greene & Land, 2000;
Jang, 2014; Kim, Park, & Lim, 2015; Lee, Chen, &
Chang, 2014; Lagu &Shin, 2010). Studi tersebut
merupakan studi empiris yang menganalisis keefektifan
scaffolding sebagai pengobatan memecahkan masalah
yang tidak terstruktur dan dapat sangat dihargai dalam hal
kontribusi mereka untuk membangun adasar teoritis untuk
perancah dalam memecahkan masalah yang tidak
terstruktur. Namun, karena studi ini berada di lingkungan
belajar berbasis teknologi, isi scaffolding telah ditentukan
sebelumnya dan disajikansecara sepihak. Ada batasan
yang tidak menunjukkan hasil yang konsisten mengenai
keefektifan atau metodememanfaatkan perancah. Salah
satu tujuan matematika sekolah di Korea adalah untuk
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
inijuga dinyatakan dan ditekankan dalam kurikulum
negara lain (CCSSI, 2010; Kementerian Pendidikan,
2015). Tujuannya adalah untuk membantu mentransfer
keterampilan pemecahan masalah yang dipelajari dalam
buku teks ke dalam kehidupan sehari-hari, dan untuk
melakukan ini, penggunaannya masalah tidak terstruktur
di kelas matematika akan memiliki implikasi pendidikan
untuk ini. Namun, studi tentang memecahkan masalah
yang tidak terstruktur dan menyediakan perancah, seperti
yang dilakukan studi sebelumnya, belum
dilakukandilakukan di kelas. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, dalam rangka membantu siswa
mengembangkan keterampilan pemecahan masalahnya.
Memanfaatkan masalah tidak terstruktur di kelas
matematika, guru menyediakan perancah sesuai
kebutuhan.
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah
memecahkan masalah yang tidak terstruktur. Setelah itu,
menjelaskan variabel independennya yaitu pemecahan
masalah dan perancah guru. Dan berdasarkan beberapa
teori-teori yang dimasukkan sudah sangat jelas dipahami
pada bagian pengantar.
Metode
- Peserta - Partisipan dipilih secara purposive sampling (Creswell,
2012) untuk mendapatkan informasi mendalam tentang
caranya menyediakan perancah bekerja dalam
memecahkan masalah yang tidak terstruktur dalam
matematika sekolah dasar kelas. Pertama, dipilih siswa
kelas 6 sebagai peserta dengan alasan sebagai berikut:
secara umum, domain pengetahuan khusus diperlukan

13
untuk memecahkan masalah yang tidak terstruktur
(Jonassen, 1997; Voss et al., 1991), dan masalah rasio dan
proporsi yang dikembangkan dalam penelitian ini
termasuk dalam kurikulum kelas enam di Korea. Kedua,
ada empat peserta (dua laki-laki, Tom dan Jack, dan dua
perempuan, Emily dan Jane) yang dipilih dari sebuah
sekolah dasar di Seoul. Mereka secara sukarela
menyatakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini dan telah direkomendasikan oleh wali kelas
mereka berdasarkan pengalaman mereka secara aktif
berpartisipasi dalam kolaboratif kegiatan pemecahan
masalah dalam kehidupan sekolah. Juga, sekolah ini
mengoperasikan kurikulum sains berdasarkan Soal-
Berbasis Pembelajaran dan melakukan sejumlah besar
kegiatan pendidikan berdasarkan kegiatan kolaboratif di
antara semua siswa. Untuk itulah, siswa di sekolah ini
dipilih karena dinilai sebagai interaksi verbal akan
dilakukan secara aktif di antara siswa yang berpartisipasi.
- Studi ini juga dilakukan dengan Memecahkan Masalah
yang Tidak Terstruktur dengan dilakukan wawancara semi
terstruktur. Dan juga penelitian dilakukan dengan Desain
Scaffolding yaitu: Pertama, penelitian ini direncanakan
untuk menyediakan scaffolding mempertanyakan. Kedua,
penelitian ini direncanakan menggunakan scaffolding
konseptual, strategis, dan metakognitif. Ketiga, file
rencana penyediaan scaffolding dapat diubah sesuai
dengan kebutuhan peserta.

- Dalam penelitian ini, untuk mengumpulkan data wacana,


- Koleksi Data dan
perekaman audio dan perekaman video dilakukan setiap
Analisis saat dengan persetujuan partisipan penelitian dan peneliti
berpartisipasi di lapangan dan mencatatkan observasi. Itu
alasan mengapa perekaman audio dan perekaman video
dilakukan pada waktu yang bersamaan adalah untuk
meningkatkan pemahaman apa yang dijelaskan wacana,
dan gerak tubuh dapat membantu Anda memahami
interaksi verbal dengan benar. Namun, hanya Data wacana
diambil untuk dianalisis, karena isi interaksi verbal, bukan
ekspresi wajah atau tindakan, mewakili konten pemecahan
masalah. Data wacana rekaman video dikumpulkan,
ditranskripsikan, dan dianalisis untuk menyelidiki
karakteristik pemecahan masalah yang tidak terstruktur
dalam kelompok kecilaktivitas. Selain itu juga data
wawancara, lembar kegiatan individu, dan lembar
kegiatan kelompok, yaitu peserta dibuat selama
pemecahan masalah, dikumpulkan dan dianalisis. Dalam
penelitian ini, untuk menganalisis wacana partisipan, unit
analisis diatur menjadi episode sesuai dengan topik
wacana. Analisis episode memberikan informasi tentang
topik mana yang dibahas dengan cara apa (Choi, 2013;

14
Hogan, Nastasi, & Pressley, 1999). Setiap episode dimulai
ketika topik wacana dimulai berubah dan terdiri dari dua
atau lebih pengambilan giliran berturut-turut. Durasi
episode bervariasi tergantung pada berapa lama wacana
peserta berlanjut pada topik wacana.
- Dalam sub pokok bahasan diatas sudah sangat jelas
metode penelitian yang dipakai dan Analisis data yang
dipakai juga cukup jelas sehingga pembahasan yang
dilakukan oleh penulis sudah dapat dipahami maksud dan
tujuannya oleh pembaca.

Hasil Penelitian - Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian scaffolding


membantu memfasilitasi penyelesaian masalah yang tidak
terstruktur. Khususnya, ketika perancah disediakan untuk
memecahkan masalah yang tidak terstruktur, peserta mulai
melakukannya menggali situasi masalah secara lebih
mendalam, yang berujung pada upaya untuk menemukan
solusi terbaik. Ini mirip dengan karakteristik pemecahan
masalah ahli (Rowland, 1992) dan orang-orang
pemecahan masalah tingkat tinggi (QCA,2004). Ini berarti
bahwa menyediakan perancah dalam proses penyelesaian
masalah yang tidak terstruktur dapat menumbuhkan
kualitas solusi pemecahan masalah dan bantuan untuk
mencapai tingkat penyelesaian masalah yang lebih tinggi,
sehingga meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
Anda seperti seorang ahli. Dengan temuan ini, ada
kebutuhan berkelanjutan untuk penelitian untuk
mengidentifikasi apa artinya menyediakan "kontingen
scaffolding" ketika seorang guru menyediakan scaffolding.
Seperti yang ditunjukkan dalam Cho & Jonassen (2002),
Jonassen (2003), Voss dkk. (1991), peserta didik tidak
muncul dengan ide sekaligus atau bahkan mungkin tidak
mencoba menyelesaikannya sendiri, ketika mereka
berjuang sendiri untuk memecahkan masalah yang tidak
terstruktur. Jika guru memberikan "perancah kontingen"
Untuk negara peserta didik, peserta didik akan mampu
memecahkan masalah tidak terstruktur hanya dengan
mengatasi kesulitan. Seperti yang dinyatakan dalam
Puntam bekar & Hubscher (2005) dan Tharp & Gallimore
(1988), hal ini akan meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika, dan akan meningkatkan
kemampuan pengaturan diri peserta didik untuk
menyelesaikannya masalah tidak terstruktur sendiri tanpa
perancah guru.
Kesimpulan - Banyak studi tentang scaffolding dalam menyelesaikan
masalah yang tidak terstruktur sebagian besar tentang
keefektifan perancah dalam lingkungan pembelajaran
berbasis teknologi, dan studi tersebut memainkan peran
utama dalam membangun dasar teoritis untuk perancah.
Namun, ada sedikit pekerjaan pada perancah untuk

15
masalah yang tidak terstruktur pemecahan di kelas
matematika sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana perancah guru membantu siswa
sekolah dasar memecahkan masalah yang tidak terstruktur
di kelas matematika dan kesulitan apa yang mereka alami
dalam proses memecahkan masalah yang tidak terstruktur.
Pertama, dalam studi ini, telah ditunjukkan dua kesulitan
utama dalam memecahkan masalah yang tidak terstruktur:
satu tentang kesulitan dalam fase mengidentifikasi dan
mengatur informasi yang diperlukan dari situasi masalah,
dan yang lainnya tentang tidak memantau atau tidak
mengevaluasi kesesuaian dari solusi akhir yang dipilih. Itu
Alasan untuk kesulitan ini adalah karena karakteristik dari
masalah yang tidak terstruktur itu sendiri: satu atau lebih
masalah elemen masalah tidak diketahui atau didefinisikan
secara samar, dan ruang masalah besar karena tujuan yang
tidak jelas dan kondisi yang tidak muncul secara langsung
dalam situasi masalah (Jonassen, 1997; Kitchner, 1983;
Spiro, Coulson,Feltovich, & Anderson, 1988; Wood,
1983). Mempertimbangkan kesulitan yang disajikan dalam
penelitian ini secara mendalam pemahaman tentang situasi
masalah penting dalam menyelesaikan masalah yang tidak
terstruktur, sehubungan dengan studi sebelumnya (Artzt &
Yaloz-Femia, 1999; Kim et al., 2012; Kintsch & Greeno,
1985; Voss & Post, 1988) yang mengungkapkan bahwa
solusi berbeda tergantung pada bagaimana pemahaman
situasi masalah dicapai, Kedua, sebelum memberikan
scaffolding, peserta menyelesaikan masalah yang tidak
terstruktur tanpa bantuan apa pun. Meskipun tujuan
penyediaan setiap scaffolding berbeda-beda, dianalisis
bahwa perubahan yang dilakukan oleh scaffolding
umumnya memfasilitasi pemecahan masalah yang tidak
terstruktur setelah menyediakan perancah. Dalam studi ini,
metakognitif scaffolding membantu mengatur ulang tujuan
dan mengembangkan solusi untuk pemecahan masalah
yang tidak terstruktur, dan strategis perancah membantu
mengatur informasi dan memanfaatkannya dengan baik
untuk membahas kesesuaian solusi. Ini adalah konsisten
dengan temuan Ge & Land (2003) dan Jonassen (1997)
yang mengatakan bahwa tahapan monitoring dan
pembenaran diperlukan untuk memecahkan masalah yang
tidak terstruktur. Seperti yang dilaporkan dalam studi
sebelumnya (Araiku et al., 2019; Chen &Bradshaw, 2007;
Davis & Linn, 2000; Kim dkk., 2015; Ge & Land, 2003,
2004; Ge et al., 2005; Greene &Tanah, 2000; Jonassen,
1997; Lee et al., 2014), memberikan perancah dapat
efektif dalam struktur yang tidak baik pemecahan masalah
dan secara kualitatif meningkatkannya. Selanjutnya, fakta
yang memfasilitasi masalah yang tidak terstruktur
Pemecahan dengan scaffolding berarti scaffolding yang

16
disediakan dalam penelitian ini bergantung pada keadaan
pemecahan masalah yang tidak terstruktur. Di sini, fakta
bahwa perancah disediakan menurut keadaan pelajar
artinya dengan bantuan scaffolding, pelajar dapat
melakukan apa yang tidak dapat dia lakukan sendiri.
Kemudian, perancah secara bertahap akan berkurang, dan
ruang lingkup pengalihan tanggung jawab untuk peserta
didik sendiri akan memperluas.
Kekuatan Penelitian - Teori yang digunakan sudah tepat.
- Metode penelitian jelas dan mudah dipahami.
- Hasil penelitian dan kesimpulan sudah jelas dan tepat.
Keunggulan Penelitian - Penulis sudah lengkap dalam menyimpulkan keseluruhan
isi dari jurnal ini.
- Bahasa yang digunakan juga jelas dan mudah dipahami isi
dan tujuannya.
- Daftar pustaka sesuai dengan urutan nama pada
sistematika penulisan.
Kelemahan Penelitian - Referensi daftar pustaka yang dimuat sedikit.

Dengan judul penelitian yang sama yang berkaitan dengan matematika tentu 2 jurnal ini
memiliki perbedaan yang mendasar yaitu:
Perbedaan Jurnal Utama dan Jurnal Pembanding
Jurnal Utama Jurnal Pembanding
- Bahasa yang digunakan oleh penulis - Bahasa yang digunakan jelas (tidak
sulit dipahami maksud dan tujuannya baku) dan mudah dipahami isi dan
oleh pembaca. Analisisnya belum tujuannya.
dijelaskan secara rinci sehingga belum - Metode dan analisis yang digunakan
dapat dipahami. Analisis yang digunakan cukup jelas.
juga belum jelas dan sulit dipahami. - Daftar pustaka yang dimuat sedikit.
- Daftar pustaka yang dipakai cukup
relevan dan banyak.

F. IDENTITAS JURNAL 3

Nama Penulis : Peta White, Jo Raphael, Shelley Hanigan, John Cripps


Clark
Judul Artikel : Entangling Our Thinking and Practice: A Model for
Collaboration Entangling Our Thinking and Practice: A
Model for Collaboration in Teacher Education
Nama jurnal : Australian Journal of Teacher Education (Australia-Q2-H
index 28)

17
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 45 No. 8, 2020, hal. 93-110

Jurnal 3 : Menggabungkan Pemikiran dan Praktek Kami:


Sebuah Model Untuk Kolaborasi Dalam Pendidikan
Guru

Abstrak - Judul yang berjudul “Entangling Our Thinking and


Practice: A Model for Collaboration Entangling Our
Thinking and Practice: A Model for Collaboration in
Teacher Education” ini berisi tentang komponen kunci
dari praktik sebagai guru dan guru pendidik dan ada
kebutuhan untuk berkembang model generatif untuk
kolaborasi di antara pendidik guru dan juga membuat dan
menguji model kolaborasi.
- Abstrak pada artikel sudah mencantumkan tujuan, metode
penelitian, namun hasil penelitian yang dihasilkan belum
nampak pada abstrak.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Bekerja secara kolaboratif adalah praktik berharga dalam


pengajaran dan pendidikan guru dan telah diselidiki
sebagai bagian dari praktik pengajaran bersama (Yoo,
Heggart, & Burridge,2019); pembinaan (Hohensee &
Lewis, 2019); kemitraan sekolah-universitas (Chan &
Clarke,2014); akademisi karir awal (Kitchen, Berry, &
Russell, 2019); pengembangan identitas (Lunenberg,
Korthagen, & Zwart, 2011); dan dalam tim disiplin (Raja,
Logan, &Lohan, 2019). Ada juga badan penelitian yang
sedang berkembang yang menyelidiki teori kolaborasi
dalam pendidikan (Cripps Clark, 2014; Kitchen et al.,
2019; Soliman, 2001; Steven& Philip, 2018; Woolley,
Chabris, Pentland, Hashmi, & Malone, 2010). The
Collaborative Reflektif Pengalaman dan Praktek dalam
Pendidikan (CREPE) Fakultas Research Group dibentuk
pada tahun 2014 oleh delapan akademisi dari tiga kampus,
perkotaan, regional dan pedesaan, yang mencakup
wilayah geografis yang luas di seluruh Victoria, Australia.
Grup berkumpul untuk meneliti beasiswa mengajar,
melalui kolaborasi dan refleksivitas, menggunakan
metodologi belajar mandiri. Kedelapan sarjana mewakili
keragaman dalam pengalaman dan disiplin ilmu,
termasuk: Sains, Matematika, Seni, Studi Profesional, dan
Pedagogi dan Studi Kurikulum. Pertanyaan penelitian
awal kami bertanya: Bagaimana kami dapat terus
mengembangkan pengajaran kami berlatih untuk

18
memastikan kami berkualitas tinggi, pendidik guru
kontemporer, dan praktik peneliti informasi? Pertanyaan
ini menyatukan kami semua dengan keinginan untuk
mengembangkan kami praktik pengajaran dan penelitian
secara bersamaan dan kolegial. Namun, pertanyaannya
yang dibahas dalam makalah ini lebih fokus: Bagaimana
kita bisa menegakkan dan memahami pengajaran kita dan
praktik pendidikan guru sebagai kelompok belajar
mandiri kolaboratif? Kami berbagi kolaborasi kami model
yang mencerminkan praktik penelitian kami yang
disempurnakan, bersama dengan bukti dari meta-strategi
dan data reflektif dari kegiatan kolaboratif, untuk
memberi contoh dan membenarkan masing-masing
komponen model. Kami membahas beberapa keberhasilan
dan kegagalan yang kami alami melakukan penelitian
semacam ini.
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah model
untuk kolaborasi. Setelah itu, menjelaskan variabel
independennya yaitu menggabungkan pemikiran dan
praktek. Dan berdasarkan beberapa teori-teori yang
dimasukkan sudah sangat jelas dipahami pada bagian
pengantar.

Pembahasan
- Kerangka Teoritis - Gagasan tentang organisasi-diri yang muncul sering
muncul dalam studi-mandiri kolaboratif (lihat misalnya
Jess, Atencio, & Carsel, 2016). Namun, ada model yang
dikembangkan untuk memfasilitasi kolaborasi dalam
kelompok belajar mandiri, contohnya adalah model proses
Louie, Drevdahl, Purdy dan Stackman (2003) yang
menggunakan penelitian tindakan siklus. Mengingat
kurangnya model umum dan generatif dari studi mandiri
kolaboratif, ada kebutuhan untuk model yang akan
dikembangkan yang dapat digunakan untuk menyusun
dan memfasilitasi studi mandiri kolaboratif dan dalam
semangat inilah kami menawarkan analisis model yang
dikembangkan oleh Kolaboratif Pengalaman dan Praktek
Reflektif dalam Kelompok Penelitian Fakultas Pendidikan
(CREPE). Saat muncul, model kami dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip berikut: Sebuah.Komunitas
praktik: Akuntabilitas horizontal melalui kegiatan
bersama dannegosiasi, pengakuan atas dukungan kolegial,
dan komitmen untuk kolaboratifbeasiswa (Wenger, 1998;
Wenger, McDermott & Snyder, 2002)
- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis menjelaskan
dengan sangat rinci bagaimana penelitian tersebut
dilaksanakan. Pembahasan yang dilakukan oleh penulis

19
mudah dipahami maksud dan tujuannya oleh pembaca.
- Metodologi Belajar
- Metodologi yang dilakukan dengan belajar mandiri yang
Sendiri digunakan untuk mengembangkan wawasan ke dalam
beasiswa pengajaran dan untuk memberlakukan refleksi
melalui praktik (Russell, 2010). Kami menggunakan
belajar mandiri dalam mengajar dan metodologi praktik
pendidikan guru karena mereka melibatkan kita masing-
masing secara pribadi inquiry (Samaras, 2011), namun
mendorong kami untuk beroperasi bekerja sama dengan
satu atau lebih dari kami rekan kerja. Metodologi
menyiratkan studi tentang diri sendiri, tindakan seseorang,
ide-ide seseorang, jugayang 'bukan diri' (Hamilton &
Pinnegar, 1998, hlm. 265) memungkinkan untuk
pertumbuhan, perkembangan, danperubahan dalam
praktik kita. Bekerja dalam kolaborasi untuk membongkar
ide kami menghasilkan rasakeaslian dan niat untuk
penelitian dan beasiswa kami. Riset belajar mandiri
memungkinkan kamiuntuk: mencerahkan perjalanan
reflektif individu melalui kolaborasi; gunakan lensa
kritiskekuasaan dan wacana; merayakan kesuksesan;
merepotkan kerumitan; dan, berkontribusi lebih
banyaksecara luas untuk pendidikan guru.

- Teman Kritis - Inti dari penelitian belajar mandiri ini adalah kolaborasi
dan pembentukan kritis persahabatan (Loughran, 2007).
Kami menggunakan metode teman kritis (Bullough &
Pinnegar, 2007; Handal, 1999) untuk "mencegah
penipuan diri sendiri" (Lomax, 1991, p. 14) dan melihat
praktik kami melalui lensa orang lain (Samaras, 2011).
Teman yang kritis bisa ada sebagai pasangan atau
kelompok yang datang bersama-sama untuk memberikan
umpan balik yang jujur dalam lingkungan yang
mendukung. Kritis kelompok pertemanan biasanya adalah
komunitas, belajar bersama menggunakan protokol dan
memberiperhatian pada fasilitasi terpandu (Breidenstein,
Fahey, Glickman & Hensley, 2012).
- Pengumpulan Data
- Studi ini bersifat eksploratif, membangun teori dari tema
dan pola yang muncul melalui eksplorasi yang cermat
terhadap pengembangan kolaborasi di dalam grup. Data
diambil dari: (1) Rekaman pertemuan konferensi video
bulanan kami; (2) Benang diskusi dan dokumen disimpan
di situs manajemen pembelajaran kami; (3) Wawancara
dengan semua anggota kelompok; dan (4) Refleksi
transkrip wawancara oleh: sebuah anotasi individu; dan
diskusi kelompok.
- Pertemuan Kelompok
dan Diskusi Bacaan - Kami mengatur pertemuan bulanan yang dapat kami
hadiri secara tatap muka dengan mereka di kampus, atau

20
melalui video atau telepon untuk mereka yang berada di
luar kampus atau berada di kampus yang berbeda. Setiap
pertemuan memiliki agenda yang jelas dan membutuhkan
persiapan dalam cara membaca (disarankan oleh anggota
pada gilirannya), dan tanggapan berbasis seni. Pertemuan
itu penting untuk menjaga proyek penelitian terfokus
menyeluruh dan kecil tetap pada jalurnya dan memang
diperlukan sesuatu yang kami rasa harus dihadiri. Dalam
pertemuan ini kami masing-masing melaporkan kemajuan
proyek penelitian fokus kami dan membagikan artefak
kami sebagai tanggapan atas set tugas berbasis seni untuk
bulan tersebut dan dibahas bacaan kami. Kami juga
membahas lintasan kami dan merefleksikan temuan kami
yang menyeluruh. Ini adalah pengaturan arah dan
pertemuan reflektif.

- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis memakai studi


eksploratif yaitu membangun teori dari tema dan pola
yang muncul melalui eksplorasi yang cermat terhadap
pengembangan kolaborasi di dalam grup sehingga
dilakukan dengan wawancara. Namun untuk metode
penelitian seperti populasi dan sampel tidak ada
dijelaskan didalam jurnal.

Diskusi dan Kesimpulan - Kami berangkat dengan keinginan untuk bekerja secara
kolektif untuk mendukung inovasi dan meningkatkan
kualitas kami pembelajaran siswa dan dengan demikian
mengeksplorasi bagaimana nilai-nilai dan keyakinan kami
menginformasikan profesional kami praktik dan
bagaimana kita dapat mengganggu praktik dan ideologi
kita saat ini. Saat kami mengembangkan dan
memberlakukan model kolaborasi kami dan berusaha
memberlakukan beasiswa, meningkatkan pengajaran
kami, dan menghasilkan luaran penelitian, muncul
sejumlah isu: mempertahankan kepemimpinan yang
dilimpahkan dan fleksibel; tetap terbuka dan fleksibel
terhadap kekuatan dan minat kelompok yang terus
berkembang; dan diseminasi dan jaringan di luar grup
untuk memperkaya kolaborasi kami dan penelitian.
Kepemimpinan, awalnya, tidak diatur dengan ketat.
Idenya adalah untuk memelihara platform yang
dilimpahkan penelitian bersama / rekan peneliti. Namun,
menjadi lebih mudah jika satu orang mengatur koordinasi
dan organisasi; jika hanya untuk diterima oleh Asisten
Riset instruksi yang konsisten dan untuk melaporkan
kepada satu orang. Dalam pemberlakuan penelitian kami,
kepemimpinan memiliki tetap dilimpahkan. Pada waktu
yang berbeda, anggota kelompok yang berbeda telah
mengambil tindakan tanggung jawab untuk menyajikan
seminar; mengambil penulis utama dari proyek menulis;

21
bertindak sebagai mentor / teman kritis untuk grup
CREPE ; atau mengorganisir pertanyaan berbasis seni.
Meskipun ada cegukan, model kepemimpinan
terdistribusi (Spillane, 2013) menantang anggota untuk
melakukannya menanggapi secara kreatif peluang yang
muncul dan terus mengembangkan model kami.
- Meskipun model kolaborasi ini bergantung pada sejarah
dan konteks sosialnya, hal ini berimplikasi pada praktik
kolaborasi lintas pendidikan guru secara lebih umum.
Proyek penelitian kolaboratif menyeluruh bekerja untuk
menciptakan ruang yang aman dan kritis hubungan
pertemanan yang melaluinya kami membenamkan diri ke
dalam proyek penelitian terfokus,serta menyediakan
meta-analisis dan refleksivitas yang lebih dalam yang
menyuarakan praktik kami sebagai pendidik guru. Ini
menghasilkan pengetahuan baru tentang sifat dan proses
kolaborasi dan pengembangan agen epistemik baik secara
kolektif maupun individual (Damşa, Kirschner,
Andriessen, Erkens & Sins, 2010; Raphael, Hannigan, &
White, 2016). Perpaduan antara keterlibatan sosial dan
profesional yang mencerahkan dan mengalami dan
menghasilkan hubungan yang lebih kuat. Keceriaan ini
memberi kebebasan bereksperimen dengan pertanyaan
berbasis seni selama pertemuan bulanan kami, serta
penelitian dan penulisan retret. Di masa yang bergejolak,
pertanyaan berbasis seni ini tidak hanya menjadi sesuatu
yang peneliti menantikan dan menikmati, tetapi juga
menghasilkan data untuk mengungkapkan individu kita
suara, kadang-kadang kontras dan sering kali dalam
harmoni, tetapi selalu memancing pemikiran dan
percakapan. Bersama dengan data yang dihasilkan dalam
proyek individu dan menyeluruh kami, baru pemahaman
tentang praksis kami terungkap sebagai tanggapan atas
tantangan yang kami hadapi sebagai guru pendidik. Inti
dari komunitas praktik kami adalah melintasi batas
disiplin dan 'berbicara kembali' ke latihan kami, kami
membuka pintu ke ruang kelas kami dan mengundang
kami rekan kerja dan ini menciptakan ruang ketiga
(Gutiérrez, Baquedano ‐ López & Tejeda, 1999), satu di
mana kami menemukan kemungkinan dan potensi baru,
selalu dengan komitmen memajukan praktik mengajar
kami dan meningkatkan pembelajaran siswa kami.
- Dalam pokok bahasan diskusi dan kesimpulan sudah
memberikan hasil penelitian dan kesimpulan yang cukup
jelas.
Kekuatan Penelitian - Teori berdasarkan kerangka teoritis sudah jelas dan
metode yang digunakan juga sudah jelas.
- Penulis merinci satu-satu hasil penelitian berdasarkan
diskusi, dan beberapa teori para ahli.
Kelemahan Penelitian - Penulis tidak memberikan secara rinci populasi dan

22
sampel untuk menyebarkan angket ke beberapa orang
yang akan diwawancara.
- Bahasa yang digunakan juga masih baku dan sulit
dipahami.

G. IDENTITAS JURNAL 4

Nama Penulis : Robert Crosnoe, Aprile D. Benner dan Pamela Davis-


Kean
Judul Artikel : Preschool Enrollment, Classroom Instruction,
Elementary School Context, And The Reading
Achievement Of Children From Low-Income Families
Nama jurnal : Elementary School Journal
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 19 No. 8, 2016, hal. 19-47

Jurnal 4 : Pendaftaran Preschool, Instruksi Kelas, Konteks Sekolah Dasar, Dan


Membaca Prestasi Anak Dari Keluarga Berhasil Rendah

Abstrak - Judul yang berjudul “Preschool Enrollment, Classroom


Instruction, Elementary School Context, And The Reading
Achievement Of Children From Low-Income Families”
ini berisi tentang meneliti seberapa besar keterkaitan
antara instruksi fonik di ruang kelas taman kanak-kanak
dan anak-anak Prestasi membaca selama tahun pertama
sekolah di kalangan berpenghasilan rendah populasi akan
bergantung pada apakah anak-anak pernah hadir
sebelumnya prasekolah serta komposisi sosial ekonomi
SD mereka sekolah.
- Abstrak pada artikel ini sudah mencantumkan tujuan,
metode penelitian, dan hasil penelitian yang jelas.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Di Amerika Serikat, anak-anak dari keluarga


berpenghasilan rendah cenderung memiliki lebih sedikit
mengembangkan keterampilan membaca daripada teman-
teman mereka selama tahun pertama sekolah dasar
sekolah (Ludwig & Phillips, 2007; Peisner-Feinberg et al.,
2001; Reardon, 2011). Kecenderungan ini mencerminkan
pengalaman belajar mereka yang kurang ekstensif
sebelumnya sekolah dimulai, dengan peneliti sering kali
sangat berfokus pada seberapa banyak mereka terkena
aktivitas yang merangsang secara kognitif di rumah serta

23
tingkat di mana orang tua mereka dapat menemukan dan
mengakses pendidikan usia dini program untuk mereka
(Davis-Kean, 2005; Hart & Risley, 1995; Magnuson,
Meyers, Ruhm, & Waldfogel, 2004; Penelitian Perawatan
Anak Dini NICHD Jaringan [ECCRN], 2002 ). Di
beberapa domain keterampilan akademis, banyak anak
dari kalangan berpenghasilan rendah keluarga tidak
dianggap oleh guru untuk siap sekolah ketika mereka
masuk taman kanak-kanak, dan, sebagai akibatnya,
mereka sering kali memotong jalur kisah pencapaian
pendidikan (Duncan et al., 2007; Entwisle et al., 2005;
Lee & Burkham, 2003; Magnuson et al., 2004; Pianta &
Walsh, 1996; Reynolds, Temple, Ou, Arteaga, & White,
2011 ; Winsler et al., 2008). Dimulai dengan komponen
instruksi anak × instruksi × con-model teks, satu strategi
pembelajaran umum di taman kanak-kanak, fonik,
melibatkan secara sistematis mengajar anak-anak tentang
hubungan antara lisan kata-kata dan huruf tertulis, yang
meningkatkan pengenalan dan penguraian kode kata-kata
dalam teks serta keterampilan mengeja dan literasi
lainnya. Penguasaan fonik kemudian mendukung
keterampilan yang lebih maju seperti pemahaman
membaca dan kefasihan bergerak kedepan (Armbruster et
al., 2001 ; Sonnen schein, Stapleton, & Benson, 2010). Di
ruang kelas melayani banyak anak dari berpenghasilan
rendah keluarga, oleh karena itu, sebagian besar tetapi
tidak semua mungkin mendapat manfaat ketika guru
menekankan ukuran fonik À instruksi seperti itu mungkin
cocok untuk beberapa anak dari keluarga berpenghasilan
rendah tetapi tidak cocok untuk orang lain. Di sini, kami
menawarkan twist tekstual pada pendekatan konvensional
dari developmentalists bagaimana aguru menyesuaikan
instruksi sesuai dengan kebutuhan akademis tertentu dari
siswa, alih-alih mempertimbangkan bagaimana dia
menyesuaikannya menurut kebutuhan akademis kelas
secara keseluruhan. Salah satu mekanisme kunci dalam
model transisi sekolah menghadiri prasekolah À
kemungkinan merupakan alasan mengapa anak-anak dari
latar belakang sosial ekonomi yang sama memiliki
pendidikan yang berbeda. Kebutuhan nasional di taman
kanak-kanak (Alexander & Entwisle, 1988). Meskipun
anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan
rendah lebih kecil kemungkinannya dibandingkan
populasi umum untuk menghadiri prasekolah, banyak
yang melakukannya, sering kali dalam program bersubsidi
atau publik. Seperti itu kehadiran tampaknya secara
signifikan meningkatkan bacaan masuk taman kanak-
kanak mereka keterampilan. Keuntungan ini,
bagaimanapun, memudar saat mereka pindah ke dan
melalui sisa kelas dasar, sebagian karena praktik

24
pembelajaran dinilai-nilai ini tidak membangun
keterampilan yang dimiliki lulusan berpenghasilan rendah
dariprogram sekolah membawanya ke taman kanak-kanak
(Brooks-Gunn, 2003; Duncan & Magnuson, 2013).
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah keluarga
berpenghasilan rendah. Setelah itu, menjelaskan variabel
independennya yaitu Pendaftaran Preschool, Instruksi
Kelas, Konteks Sekolah Dasar, Dan Membaca Prestasi
Anak. Dan berdasarkan beberapa teori-teori yang
dimasukkan sudah sangat jelas dipahami pada bagian
pengantar.

Metode Penelitian
- Sampel - ECLS-K adalah sampel perwakilan nasional anak-anak
Amerika di TK selama tahun ajaran 1998-1999 (Denton &
West, 2002). Pusat Statistik Pendidikan Nasional (NCES)
membuat sampel dengan desain multistage dual-frame.
Pengambilan sampel dimulai dengan pemilihan 100 unit
pengambilan sampel utama (biasanya kabupaten) dari
seluruh Amerika SerikatSerikat dan kemudian sekitar
1.000 sekolah dengan taman kanak-kanak dalam unit-unit
ini. Sampel utama untuk penelitian ini difokuskan pada
subset anak-anak diECLS-K dari keluarga dengan
pendapatan tahunan pada atau di bawah 185% dari garis
kemiskinan eral untuk ukuran rumah tangga mereka
selama pengumpulan data taman kanak-kanak leksi (n =
7,710). Di sepanjang manuskrip ini, n dibulatkan
keterdekat 10, sesuai dengan persyaratan NCES untuk
data penggunaan terbatas.
- Pengukuran
- Mengandalkan data ECLS-K dari wawancara dengan
guru, administrasitors, dan orang tua serta penilaian anak
langsung.

- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis menjelaskan


dengan sangat rinci bagaimana penelitian tersebut
dilaksanakan. Populasi dan sampel sudah cukup jelas.

Hasil Penelitian
- Menurut hasil penelitian ini, pencapaian manfaat terjadi
melalui taman kanak-kanak di ruang kelas yang umumnya
bercirikan fonik instruksi keterampilan tergantung pada
apa yang telah dilakukan anak-anak sebelum mereka
masuk sekolah serta konteks sekolah yang lebih besar di
mana ruang kelas mereka berada terletak. Kompleksitas
pola ini mengisyaratkan nilai sosiologis pendekatan
kebijakan pendidikan yang menekankan efek interaktif

25
proses dan konteks pendidikan yang berbeda (dari anak ke
prasekolah hingga sekolah) di mana karir pendidikan dan
transisi ke K-12 sekolah khususnya terungkap.
Membangun kekuatan pengembang-teori dengan wawasan
dari perspektif sosiologis yang menekankan konteks dan
ketidaksetaraan dengan cara ini penting karena
mengalihkan fokusnya orang tua berpenghasilan rendah
dan apa yang mungkin mereka lakukan atau tidak lakukan
dan bergeser untuk aspek konteks kelembagaan yang
sesuai dengan kebijakan intervensi.
Diskusi dan Kesimpulan - Untuk meringkas, anak-anak dari keluarga berpenghasilan
rendah yang bersekolah sebelum sekolah biasanya
memasuki ruang kelas sekolah dasar dengan tingkat tinggi
instruksi fonik dalam membaca, dan mereka memiliki
keterampilan membaca yang lebih berkembang pada awal
sekolah dasar dan mencatat peningkatan yang lebih besar
dalam keterampilan membaca pada akhir taman kanak-
kanak dibandingkan anak-anak lain dari keluarga
berpenghasilan rendah. Padahal, sesuai ekspektasi, tren ini
termasuk variasi pola agak ortogonal menurut komposisi
sosial ekonomi-dari sekolah dasar tempat kelas taman
kanak-kanak berada tertanam. Secara umum, instruksi
fonik terkait dengan keuntungan membaca (mendukung
hipotesis pertama), tetapi instruksi kelas x anak kecocokan
tampaknya tidak membedakan anak-anak dalam prestasi
membaca (con-memperdagangkan hipotesis kedua).
Namun, anak × instruksi kelas × sekolah cocok
(mendukung hipotesis ketiga). Dalam kemiskinan tinggi
sekolah, taman kanak-kanak dari keluarga berpenghasilan
rendah yang tidak hadir prasekolah pada tahun
sebelumnya tampaknya mendapatkan lebih banyak
manfaat dari fonik instruksi daripada anak-anak taman
kanak-kanak dari keluarga berpenghasilan rendah yang
memiliki menghadiri prasekolah. Di sekolah-sekolah
miskin, beberapa bukti menunjukkan hal itu peserta
prasekolah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
- Seperti yang telah dibahas, menarik kesimpulan kuat dari
analisis data pengamatan itu menantang. Kemampuan
untuk melakukannya di sini dibatasi oleh beberapa faktor
umum untuk jenis pekerjaan ini, termasuk tingkat
kesulitan menangani ancaman secara memadai terhadap
kesimpulan kausal yang ditimbulkan oleh tidak diketahui
atau pembaur yang tidak dapat diukur, seperti sifat yang
diturunkan secara genetik atau lokal dankebijakan dan
program negara bagian (Duncan, Magnuson, & Ludwig,
2004; Raudenbush, 2008). Yang juga perlu diperhatikan
adalah tidak adanya penilaian kualitas pengajaran kelas
taman kanak-kanak. Misalnya, evaluasi sebelumnya Tions
instruksi fonik menunjukkan bahwa ia bekerja melalui
sistematik dan rencana eksplisit yang menghubungkan

26
serangkaian aktivitas dalam urutan logis yang
menyeimbangkan instruksi dan praktek ances (Armbruster
et al., 2001). Begitu pula dengan nasional dan penelitian
lokal telah mendokumentasikan variabilitas ekstrim dalam
kualitas pengaturan prasekolah, terutama dalam kaitannya
dengan stimulasi kognitif. Prasekolah juga mungkin
berbeda dalam hal apakah mereka secara eksplisit
mempersiapkan tren untuk sekolah serta sejauh mana
mereka menekankan dukungan perkembangan sosial
versus perolehan keterampilan kognitif atau mencoba
menyeimbangkan dua tujuan ini (Clarke-Stewart, &
Allhusen, 2005; Duncan & Magnuson, 2013; Gormley,
Gayer, Phillips, & Dawson, 2005; NICHDECCRN,
2005a). Jadi, tidak semua kehadiran prasekolah setara,
terbukti dipengaruhi oleh perbedaan hasil untuk Head
Start dan non-Head Start prasekolah. Perbedaan itu hanya
satu sumber keanekaragaman di antara pra-sekolah yang
dihadiri oleh anak-anak berpenghasilan rendah, yang perlu
diperiksa lebih dalam.
- Dari hasil diskusi dan kesimpulan sudah memberikan hasil
penelitian dan kesimpulan yang cukup jelas.
Kekuatan Penelitian - Teori berdasarkan pengantar sudah jelas dan metode
pengukuran sampel dan data yang digunakan juga sudah
jelas.
- Penulis merinci satu-satu hasil penelitian berdasarkan
diskusi, dan beberapa teori para ahli.
- Bahasa yang digunakan sudah cukup dimengerti.
Kelemahan Penelitian - Daftar pustaka yang dibuat tidak sesuai abjad nama pada
sistematika penulisan.

H. IDENTITAS JURNAL 5

Nama Penulis : Rosna Awang Hashim, Rajaletchumi Thaliah, Amrita


Kaur
Judul Artikel : Cultural Insight into the Development of Teacher
Autonomy Support Scale: A Self Determination Theory
Perspective
Nama jurnal : Malaysian Journal of Learning and Instruction
Volume, Nomor, Tahun,
dan Halaman : Vol. 13, 2017, hal. 1-31

Jurnal 5 : Wawasan Budaya ke dalam Pengembangan Skala Dukungan Otonomi


Guru: A Self-Perspektif Teori Determinasi

27
Abstrak - Judul yang berjudul “Cultural Insight into the
Development of Teacher Autonomy Support Scale: A Self
Determination Theory Perspective” ini berisi tentang
eksplorasi berurutan campuran metode studi yang
dilakukan untuk membangun dan memvalidasi skala
untuk menyelidiki bagaimana, di Malaysia Konteksnya,
konstruksi otonomi dikonseptualisasikan dibandingkan
dengan skala yang ada karena variasi budaya.
- Abstrak pada artikel ini sudah mencantumkan tujuan,
metode penelitian, serta temuan dan hasil penelitian yang
jelas.
- Kata kunci sudah sesuai dengan judul artikel.

Pengantar - Teori penentuan nasib sendiri (SDT) mendalilkan bahwa


tiga kebutuhan psikologis dasar, yaitu otonomi,
keterkaitan dan kompetensi bersifat universal dan
signifikan lintas budaya (Ryandan Deci, 2000). Faktor
kontekstual sosial dan lingkungan yang mendukung
otonomi dianggap signifikan dalam pemenuhan kebutuhan
ini. Hasilnya, konsep sentral dalam SDT menyangkut
tindakan otonom (Ryan, 2016; Vansteenkiste, Zhou, Lens,
danSoenens, 2005). SDT mengusulkan bahwa tindakan
otonom diatur sendiri, oleh karena itu disertai kebebasan
psikologis dan kemauan (Ryan dan Deci, 2000). Untuk
mendorong perilaku otonom atau kemauan di antara
siswa, praktik dalam pengaturan pendidikan adalah
diterjemahkan sebagai dukungan otonomi guru. Guru dan
gaya mengajar mereka pada khususnya memiliki dampak
terbesar pada penentuan nasib sendiri siswa terhadap
pembelajaran dan motivasi (Jang, Reeve dan Deci, 2010).
SDT mengidentifikasi gaya memotivasi guru pada
kontinum yang berkisar dari sangat mengontrol hingga
sangat otonom (Rigby, Deci, Patrick dan Ryan, 1992).
Perdebatan lintas budaya untuk membangun dukungan
otonomi menunjukkan konseptual itu perbedaan dapat
terjadi lintas budaya yang berbeda. Misalnya, siswa yang
mendukung nilai kolektif mengikuti norma kelompok dan
menghormati hierarki (Hofstede, 2011), akan memahami
dan mengungkapkan konstruksi dukungan otonomi guru
dengan cara yang berbeda. Oleh karena itu, tujuan utama
dari studi ini adalah untuk mengembangkan dan
memvalidasi ukuran terpisah untuk dukungan otonomi
yang peka terhadap budaya Malaysia. Desain metode
campuran dianggap sesuai untuk mengembangkan survei
kuantitatif, terutama dalam konteks budaya yang berbeda
karena mereka menawarkan teknik holistik dan obyektif
mengeksplorasi dan memvalidasi fenomena
(Onwuegbuzie, Bustamante dan Nelson, 2010).
Konstruksi yang signifikan secara universal dari dukungan

28
otonomi yang didalilkan oleh SDT dapat secara kultural
peka, maka untuk penelitian ini penggunaan mixed design
menjadi tepat karena memudahkan triangulasi
menggunakan beberapa sudut pandang dan menawarkan
sudut pandang fenomena yang lebih jelas. Artikel ini
melaporkan konstruksi dan validasi skala Dukungan
Otonomi Guru di Konteks Malaysia menggunakan
kerangka kerja untuk mencampur metode untuk
mengembangkan dan memvalidasi pengukuran kuantitatif
(Luyt, 2010). Dihipotesiskan bahwa penelitian ini akan
membantu mengeksplorasi dimensi yang dapat
menjelaskan dengan lebih baik dukungan otonomi guru
sebagai gaya motivasi dalam konteks budaya Malaysia.
Penilaian otonomi lintas budaya secara luas dianggap
sebagai sebuah konstruksi motivasi, karenanya
membangun skala dan membangun validitas konstruknya
akan semakin memperluas signifikansi dan nilai otonomi
dari perspektif lintas budaya.
- Penulis menguraikan latar belakang dengan benar, yaitu
dengan menguraikan terlebih dahulu variabel dependen,
dalam artikel ini variabel dependennya adalah dukungan
otonomi guru. Setelah itu, menjelaskan variabel
independennya yaitu wawasan budaya. Dan berdasarkan
beberapa teori-teori yang dimasukkan sudah sangat jelas
dipahami pada bagian pengantar.

Desain dan Metode - Secara tradisional, peneliti hanya mengandalkan metode


kuantitatif untuk mengukur yang tidak dapat diamati
Penelitian
konstruksi psikologis.
- Selanjutnya, dalam kasus penelitian ini, penelitian dimulai
semata-mata dengan metode kuantitatif untuk mengatasi
masalah yang berkaitan dengan validitas lintas budaya
konstruksi otonomi tidak akan mungkin terjadi karena
terbatasnya penelitian dalam literatur yang mendefinisikan
konstruksi dukungan otonomi guru dalam konteks
Malaysia. Peneliti memilih desain metode campuran untuk
memanfaatkan kekuatan kedua kualitatif dan metode
penelitian kuantitatif yang akan meningkatkan kesetiaan
yang baru dikembangkan instrumen dalam konteks lintas
budaya (Onwuegbuzie, Bustamante dan Nelson, 2010).
Penelitian ini menggunakan desain penelitian metode
campuran eksploratori sekuensial dengan varian disebut
model pengembangan instrumen (Creswell dan Plano
Clark, 2011) karena peneliti berusaha untuk memvalidasi
temuan statistik kuantitatif dari hasil data kualitatif.
Pendekatan ini memungkinkan peneliti dalam
memperoleh pemahaman kualitatif yang mendalam
tentang otonomi dalam konteks budaya Malaysia
sedangkan teknik kuantitatif dimungkinkan secara luas
penerapan konstruksi.

29
- Setelah mengidentifikasi cluster, jumlah siswa untuk
kuantitatif studi dipilih berdasarkan analisis daya. 378
siswa dari 14 sekolah menengah di dua negara bagian
utara Malaysia berpartisipasi dalam studi kuantitatif.
Mengikuti campuran paralel metode pendekatan
pengambilan sampel (seperti dalam, Knaggs, Sondergeld
dan Schardt, 2015) secara purposive pengambilan sampel
dari populasi yang sama digunakan untuk studi kualitatif.
Siswa untuk studi kualitatif dipilih atas dasar kemampuan
verbal dan kemauan untuk berbagi opini. Izin formal
untuk siswa yang berpartisipasi dalam penelitian ini
diperoleh dari sekolah dan orang tua. Data kualitatif dan
kuantitatif dikumpulkan selama jam sekolah di tahun
2008.
- Dalam sub pokok bahasan diatas penulis menjelaskan
dengan sangat rinci bagaimana penelitian tersebut
dilaksanakan. Populasi dan sampel sudah cukup jelas.

Pengumpulan Data
- Data untuk studi kualitatif dikumpulkan dengan
menggunakan kelompok fokus selama tujuh bulan. Dari
ketiga peneliti tersebut, dilakukan dua orang peneliti,
dengan bantuan seorang asisten peneliti wawancara
kelompok fokus. Tujuan dari wawancara tersebut adalah
untuk meminta siswa sekolah menengah Malaysia
persepsi siswa tentang dukungan otonomi dari guru di
kelas. Untuk mendapatkan tujuaninformasi dalam batas-
batas wawancara kelompok fokus, pedoman wawancara
dengan seperangkat pertanyaan terbuka dan semi
terstruktur dirumuskan.
Analisis Data

- Analisis kualitatif adalah dilakukan dengan menggunakan


lensa konstruktivis untuk mengetahui bagaimana konstruk
'otonomi' itu ditafsirkan dalam konteks Malaysia. Data
dianalisis secara induktif menggunakan tematik analisis,
yang juga direkomendasikan oleh Braun dan Clarke
(2013), sebagai metode yang tepat analisis untuk
paradigma konstruktivis. Kumpulan data dikodekan secara
manual dan disusun bersama-sama menjadi tema oleh
peneliti secara mandiri. Kemudian, para peneliti
berkumpul untuk pemeriksaan lebih dekat dan
perbandingan tema (Strauss dan Corbin, 1990), apa saja
perbedaan dibahas dan diselesaikan. Selama analisis
interpretatif, merujuk pada literatur yang relevan tentang
dukungan otonomi guru; tema itu kemudian
dikelompokkan ke dalam kategori menggunakan
interpretasi siswa terhadap konstruk otonomi sebagai unit
analisis. Kategori akhir (dimensi) muncul setelah revisi
lebih lanjut untukkebermaknaan, koherensi dan kekhasan

30
Diskusi kategori (Braun dan Clarke, 2013). Data dianalisis
menggunakan SPSS versi 14.0.

- Studi ini menyimpulkan bahwa di ruang kelas Malaysia,


yang memiliki ciri khas dengan nilai kolektivis, ketika
guru memberikan iklim kelas yang positif dalam bentuk
akuntabilitas guru dalam profesi guru, menjadi mudah
didekati dengan bersikap ramah dan bercanda dengan
siswa dan memperlakukan siswa dengan hormat dan
kesetaraan, perasaan siswa termotivasi untuk belajar dan
berusaha. Temuan ini telah memvalidasi asumsi teoritis
SDT bahwa konsep otonomi memiliki relevansi yang
sama bagi siswa di timur maupun bagi mereka mitra barat
(Deci dan Ryan, 2000). Namun, konstruk tersebut
ditafsirkan secara berbeda dalam konteks budaya yang
didefinisikan dalam hal sikap, kepercayaan, karakteristik
kepribadian, cita-cita dan harapan kelompok atau individu
(Gardner, 2007).

- Dari pokok bahasan diatas, metode penelitian mulai dari


desain, pengumpulan data, serta analisis data sudah cukup
jelas dan dimengerti serta dari segi bahasa sudah cukup
dapat dipahami. Dan diskusi yang dihasilkan sudah
menyimpulkan keseluruhan hasil yang didapat.
Kesimpulan - Perdebatan abadi di bidang psikologi budaya tentang
universalitas versus budaya-kekhususan kebutuhan
otonomi (Chirkov et al., 2003; Deci dan Ryan,2000;
Iyengar dan Lepper, 1999; Markus dan Kitayama, 2010)
adalah pendahulu ini belajar. Klaim SDT bahwa konsep
otonomi dapat bervariasi tergantung padanorma budaya
dan sosial menetapkan fakta signifikansi universal dari
otonomi lintas budaya (Ryan dan Deci, 2000). Untuk
memahami konseptualisasi konstruksi otonomi dalam
konteks Malaysia, pertanyaan penelitian untuk penelitian
ini diselidiki jenis pengajaran, karakteristik guru, dan gaya
mengajar dan memotivasi mereka itu dapat memelihara
perilaku kemauan dan memotivasi mereka untuk belajar.
Studi tersebut menyoroti dimensi khas dari dukungan
otonomi guru dalam konteks budaya Malaysia dan
memungkinkan perbandingan dengan skala yang ada
(LCQ). Namun, di tengah variasi konseptualisasi otonomi,
temuan mempertahankan asumsi teoritis (SDT) bahwa
kebutuhan akan otonomi sama-sama relevan dalam
budaya Malaysia untuk mengalami kemauan dan motivasi
belajar. Oleh karena itu, implikasi teoritis dari penelitian
ini adalah kontribusinya pemahaman tentang dukungan
otonomi guru dari perspektif budaya yang berbeda dan
perspektifnya relevansi fungsional dalam pengaturan
budaya yang beragam. Preferensi belajar dan gaya belajar

31
siswa sangat dipengaruhi oleh budaya mereka milik
(Charlesworth, 2008; Hardaker dan A'ishah, 2012; Wang
dan Li, 2008). Namun, dalam tidak adanya pemahaman
yang tepat tentang budaya siswa atau preferensi belajar
mereka, perpecahan dapat terjadi antara guru dan siswa
yang dapat merusak keterkaitan mereka juga proses
pembelajaran. Kemungkinan konstruksi psikologis seperti
otonomi bisa jadi disalah artikan dalam pengaturan
budaya yang berbeda, oleh karena itu, kami percaya
bahwa siswa Malaysia perspektif ke dalam konstruksi
otonomi akan memberikan wawasan penting tentang
bagaimana praktik pengajaran dapat dirancang atau
disesuaikan untuk mendukung perkembangan otonom dan
siswa termotivasi dalam konteks Malaysia.
- Studi ini menawarkan wawasan yang berguna tentang
penggunaan pendekatan metode campuran untuk
pengembangan survei tentang konstruksi psikologis yang
dianggap sensitif secara budaya sebagai Pendekatan
konstruktivis memfasilitasi eksplorasi fenomena yang
sangat diperdebatkan perbedaan konseptual yang mungkin
ada antara budaya timur dan barat. Namun, keterbatasan
penelitian ini harus dipertimbangkan kapan menafsirkan
temuan. Validitas eksternal untuk generalisasi dimensi
yang diidentifikasi untuk dukungan otonomi guru terbatas
pada konteks budaya Malaysia. Kedua, file tanggapan
yang didapat melalui kelompok fokus mungkin tidak
sepenuhnya dapat dipercaya sebagai peserta dalam
kelompok mungkin berusaha menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok atau menampilkan diri dengan
cara yang diinginkan secara sosial (Seal, Bogart dan
Ehrhardt, 1998). Di masa depan mereplikasi studi ini di
Malaysia atau serupa konteks budaya menggunakan
metode kualitatif lain dapat memperluas bukti validitas
untuk temuan.
- Kesimpulan sudah memberikan hasil penelitian dan
kesimpulan yang cukup jelas dan juga memberikan saran
untuk dimasa depan.
Kekuatan Penelitian - Teori berdasarkan pengantar sudah jelas dan metode
pengukuran sampel dan analisis data yang digunakan juga
sudah jelas.
- Bahasa yang digunakan sudah cukup dimengerti.
Kelemahan Penelitian - Daftar pustaka yang dibuat tidak sesuai abjad nama pada
sistematika penulisan.
- Hasil penelitian tidak ada diuraikan sehingga masih
membuat bingung pembaca.

32
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang saya dapat ambil dari critical jurnal review ini adalah bahwa
jurnal yang saya bahas memiliki kelebihan dan kekurangan. Di satu sisi kelebihan
jurnal ini adalah pembahasannya yang sangat bagus dan detail yang membuat Jurnal
ini cocok digunakan mahasiswa Jurusan Pendidikan Dasar sebagai panduan dan
pedoman untuk menambah pengetahuan tentang penelitian sebuah kajian
Psikolinguistik baik dalam pembelajaran maupun dalam aplikasinya.

B. Saran
Saya menyadari bahwa kajian review yang telah saya lakukan ini tidak
terlepas dari kekurangan, seperti halnya pepatah yang mengatakan, “tak ada gading
yang tak retak, tak ada satupun manusia yang sempurna”. Maka saran dan kritik yang
bersifat membangun dari pembaca sangat saya harapkan sehingga dapat dijadikan
bahan evaluasi untuk kedepannya lebih baik. Akhirnya, semoga kajian ini
memberikan manfaat bagi pembaca dalam menambah wawasan dalam keilmuan
tentang pengkajian sebuah jurnal. Amin.

33
DAFTAR PUSTAKA

Awang-Hashim, R., Thaliah, R., & Kaur, A. (2017). A cultural insight into the development
of teacher autonomy support scale. Journal for Multicultural Education.

Cho, M. K., & Kim, M. K. (2020). Investigating elementary students’ problem solving and
teacher scaffolding in solving an ill-structured problem. International Journal of
Education in Mathematics, Science and Technology, 8(4), 274-289.

Crosnoe, R., Benner, A. D., & Davis-Kean, P. (2016). Preschool enrollment, classroom
instruction, elementary school context, and the reading achievement of children from
low-income families. In Family environments, school resources, and educational
outcomes. Emerald Group Publishing Limited.

Hastuti, I. D., & Surahmat, S. Dafik.(2020). The Effect of Guided Inquiry Learning in
Improving Metacognitive Skill of Elementary School Students. International Journal
of Instruction, 13(4), 315-330.

Hidayah, I. N., Sa'dijah, C., Subanji, S., & Sudirman, S. (2020). CHARACTERISTICS OF
STUDENTS’ABDUCTIVE REASONING IN SOLVING ALGEBRA PROBLEMS.
Journal on Mathematics Education, 11(3), 347-362.

White P., Raphael, J., Hanigan, S., & Clark, J. (2020). Entangling Our Thinking and Practice:
A Model for Collaboration Entangling Our Thinking and Practice: A Model for
Collaboration in Teacher Education. Australian Journal of Teacher Education. 45 (8),
93-110.

34

Anda mungkin juga menyukai