Anda di halaman 1dari 24

REFERAT ANESTESI

CRITICAL CARE

Disusun Oleh:
Rizky Gumelar P

Pembimbing:
Dr. Uus Rustandi, Sp.An-KIC
Dr. Ruby Satria, Sp.An, M.Kes
Dr. Rizky M, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI RSUD ARJAWINANGUN


PERIODE 14 JANUARI – 3 FEBRUARI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
berkat-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Critical care medicine ini. Referat
ini disusun untuk menambah ilmu pengetahuan serta sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik
di bagian ilmu anestesi RSUD Arjawinangun.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Uus Rustandi, Sp. An-KIC, Dr. Ruby Satria
Nugraha, Sp. An, Mkes, dan Dr. Rizky M, Sp. An yang telah memberikan bimbingan, serta
kepada seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan masukan dalam penyusunan referat
ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran
dari pembaca sangat diharapkan agar referat ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih dan penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Arjawinangun, Januari 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover 1

Kata pengantar 2

Daftar isi 3

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang 4

BAB II Pembahasan

Definisi ICU 5

Tujuan ICU 5

Posedur ICU 5

Indikasi ICU 6

Kontraindikasi ICU 7

Pengelolaan pasien ICU 7

Indikasi keluar ICU 14

Pemantauan 15

Gagal napas 16

Syok 19

Gagal ginjal akut 21

Manajemen nyeri & sedasi 22

Nutrisi & gula darah 23

Daftar pustaka 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dari akhir abad 20 sampai sekarang, perawatan pasien kritis telah berkembang
secara dinamis, terfokus pada perawatan pasien yang mengancam jiwa. Ahli anestesi memainkan
peran penting dalam perawatan pasien kritis baik di ruang operasi maupun unit perawatan intensif
(ICU). Untuk dapat memberikan pelayanan prima dan manajemen yang efektif dan efisien, maka
ICU harus dikelola sesuai dengan perkembangan Intensive Care Medicine.1,2,3
Perawatan pasien kritis sangat berhubungan dengan penyakit yang berpotensi mengancam
nyawa. Ahli anestesi memainkan peran penting dalam mengembangkan fokus ini. Berbeda dengan
kebanyakan dokter lain, ahli anestesiologi memiliki keahlian yang lebih besar dalam manajemen
jalan nafas, ventilasi mekanis, resusitasi obat dan cairan, dan teknik pemantauan lanjutan yang
penting untuk perawatan yang efektif pada penyakit kritis. Selain itu, penekanan pada fisiologi,
patofisiologi, dan farmakologi, serta diagnosis dan pengobatan cepat/awal gangguan fisiologis
akut, memberikan landasan yang sangat kuat bagi para ahli anestesi dalam mengevaluasi dan
merawat pasien dengan penyakit kritis.1,2
Perawatan intensif berkualitas tinggi sangat mahal, kualitas perawatan kritis yang buruk
bahkan lebih mahal. Metode untuk mengidentifikasi pasien yang paling diuntungkan dari
perawatan intensif sangat dibutuhkan. Beberapa sistem penilaian berdasarkan tingkat keparahan
gangguan fisiologis dan kesehatan yang sudah ada sebelumnya telah digunakan, seperti Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) dan The Terapeutic Intervention Scoring
System (TISS). Keputusan kompleks ini harus melibatkan pasien (atau wali) dan keluarga dan
harus konsisten dengan kebijakan rumah sakit dan undang-undang negara tersebut.1,2

4
BAB II
PEMBAHASAN

I. Definisi ICU
Intensive Care Unit (ICU) adalah bangsal rumah sakit yang menyediakan perawatan
intensif untuk pasien yang dalam kondisi kritis mengancam hidup yang bertujuan untuk
menunjang fungsi-fungsi vital.1.1 Pasien yang berada di ICU membutuhkan perhatian medis secara
konstan untuk mempertahankan dan menjaga fungsi tubuh.6
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah sakit,
ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan),
dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang di tujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,cedera atau penyulit-penyulit yang
mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia.

II. Tujuan ICU


Tujuan perawatan pasien di ICU yaitu untuk memberikan perawatan yang intensif untuk
menyelamatkan kehidupan pasien, mencegah perburukan dan komplikasi dengan cara observasi
dan monitoring, meningkatkan kualitas hidup dan mempertahankan kehidupan pasien,
mengoptimalkan fungsi organ, mengurangi angka kematian dan mempercepat proses
penyembuhan pasien.6

III. Prosedur ICU


Sebelum pasien masuk ke ICU, dokter primer yang merawat pasien baik di IGD atau
bangsal melakukan evaluasi terhadap pasien dan memastikan indikasi masuk ke ICU. Setelah itu
dokter primer melakukan konsultasi dengan dokter ICU, konsultasi bersifat tertulis namun dalam
keadaan yang mendesak dapat dilakukan konsultasi secara lisan namun tetap diikuti dengan
konsultasi secara tertulis.
Pasien dan atau keluarganya wajib diberikan penjelasan secara lengkap tentang dasar
pertimbangan mengapa pasien harus mendapat perawatan di ICU, serta berbagai macam tindakan
yang mungkin akan dilakukan selama pasien dirawat di ICU dan prognosa pasien. Kemudian

5
keputusan pasien dan atau keluarganya dinyatakan di dalam formulir informed consent yang
kemudian ditandatangani.5

IV. Indikasi masuk ICU

Kriteria penerimaan ICU memilih pasien yang mungkin memperoleh manfaat dari
perawatan ICU. Penilaian ini sulit ditentukan bila hanya dengan diagnosis saja, oleh karena itu
disarankan agar praktisi ICU memahami alat untuk menilai keparahan penyakit dan prognosis.
Keputusan masuk ICU didasarkan pada beberapa prioritas, diagnosis, dan parameter obyektif.1.3
Pasien yang masuk ICU adalah pasien yang dalam keadaan terancam jiwanya sewaktu
waktu karena kegagalan atau disfungsi satu organ atau lebih atau sistem dan masih ada
kemungkinan dapat disembuhkan kembali melalui perawatan, pemantauan dan pengobatan
intensif. Selain adanya indikasi medik tersebut, masih ada indikasi sosial yang memungkinkan
seorang pasien dapat dirawat di ICU. Beberapa contoh kondisi pasien yangdapat dipakai sebagai
indikasi masuk ke ICU antara lain:7
a. Ancaman/kegagalan sistem pernafasan: Gagal nafas, impending gagal nafas.
b. Ancaman/kegagalan sistem hemodinamik: Shock
c. Ancaman/kegagalan sistem syaraf pusat: Stroke, penurunan kesadaran.
d. Overdosis obat, reaksi obat dan intoksikasi: Depresi nafas
e. Infeksi berat : sepsis
Dalam menentukan tindakan kepada pasien harus memperhatikan tingkat prioritas pasien
sehingga penanganan yang diberikan sesuai dan tepat. Prioritas pasien antara lain:7
• Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif
seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif kontinu, dan lain-lainnya. Contoh
pasien kelompok ini antara lain pasien dengan shock septic.
Pasien prioritas 1 umumnya tidak mempunyai batas ditinjau dari terapi yang diterimanya.
• Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU. Jenis pasien
ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, seperti pemantauan intensif
menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter. Contoh jenis pasien ini antara lain

6
mereka yang menderita penyakit jantung, paru, atau ginjal akut yang telah mengalami pembedahan
mayor. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya.
• Prioritas 3
Pasien prioritas 3 sakit kritis, dan tidak stabil di mana status kesehatan sebelumnya,
penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya, baik masing-masing atau kombinasinya
sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU.
Contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metastase disertai penyulit infeksi,
pericardial tamponade, atau sumbatan jalan napas, atau pasien menderita penyakit jantung atau
paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien-pasien prioritas 3 mungkin mendapat
terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan
intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.
Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas 1) lebih
didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas
3). Penilaian objektif atas berat dan prognosis penyakit hendaknya digunakan .sebagai dasar
pertimbangan dalam menentukan prioritas masuk ke lCU.7

V. Kontraindikasi pasien ICU


Kontraindikasi yang mutlak tidak boleh masuk ICU adalah pasien dengan penyakit yang
sangat menular, misalnya gas gangren. Pada prinsipnya pasien yang masuk ICU tidak boleh ada
yang mempunyai riwayat penyakit menular.7

VI. Pengelolaan pasien ICU


Pengelolaan rutin pasien ICU dapat meliputi:4,5
1. Pendekatan pasien seperti anamnesis, serah terima pasien, pemerikasaan fisik, kajian hasil
pemerikasaan, identifikasi masalah beserta penanggulangannya, dan informasi kepada
keluarga.
2. Pemeriksaan fisik dari seluruh aspek fisiologis dan data demografi minimal 1 kali sehari.
3. Pemeriksaan, observasi dan monitoring rutin.
• Kardiovaskuler: Peredaran darah, nadi, EKG, perfusi periver, CVP.
• Respirasi: Menghitung pernafasan, setting ventilator, menginterprestasikan hasil BGA,
keluhan, pemeriksaan fisik dan foto thorax.

7
• Ginjal: Jumlah urine tiap jam, jumlah urine selama 24 jam.
• Pencernaan: Pemeriksaan fisik, cairan lambung, intake oral, muntah, diare.
• Tanda infeksi: Peningkatan suhu tubuh/penurunan (hipotermi), pemeriksaan kultur,
berapa lama antibiotic diberikan.
• Posisi ETT dikontrol setiap saat dan pengawasan secara kontinyu seluruh proses
perawatan.
4. Jalur intra vaskuler.
5. Intubasi dan pengelolaan trachea.
6. Pengelolaan cairan.
7. Perdarahan gastro intestinal.
8. Nutrisi
• Nutrisi enteral
Merupakan pemberian nutrient melalui saluran cerna dengan menggunakan sonde (tube
feeding). Nutrisi enteral direkomendasikan bagi pasien-pasien yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan nutrisinya secara volunter melalui asupan oral. Pemberian nutrisi
enteral dini yang dimulai dalam 12 jam sampai 48 jam setelah pasien masuk ke dalam
perawatan intensif (ICU) lebih baik dibandingkan pemberian nutrisi parenteral. Dapat
secara manual maupun dengan bantuan pompa mesin. Dosis nutrisi enteral biasanya
berkisar antara 14-18kkal/kgbb/ hari atau 60-70% dari tujuan yang hendak dicapai.
Indikasi:
• Pasien dengan malnutrisi berat yang akan menjalani pembedahan saluran
cerna bagian bawah.
• Pasien dengan malniutrisi sedang-berat yang akan menjalani prosedur
mayor elektif saluran cerna bagian atas.
• Asupan makanan yang diperkirakan tidak adekuat selama > 5-7 hari
pada pasienmalnutrisi, > 7-9 hari pada pasien yang tidak malnutrisi.
Kontraindikasi Absolut:
• Pasien yang diperbolehkan untuk asupan oral non-restriksi dalam waktu <
7 hari
• Obstruksi usus
• Pankreatitis akut berat

8
• Perdarahan masif pada saluran cerna bagian atas
• Muntah atau diare berat
• Instabilitas hemodinamik
• Ileus paralitik
Komplikasi :
Komplikasi nutrisi enteral lebih sering terjadi pada pasien yang membutuhkan
perawatan intensif dibandingkan pada pasien yang sakitnya lebih ringan.
Komplikasi Penyebab yang mungkin
Gastrointestinal Nausea / vomitus Ansietas, residu gaster banyak, formula
“malodorous”, obat, letak selang, posisi
penderita tidak tepat, pemberian makanan
yang dingin, kecepatan pemberian yg cepat
Diare Kecepatan infus cepat, makanan/ obat
hiperosmolar, intoleransi laktosa, terapi
antibiotik, hipoalbuminemia, formula
terkontaminasi bakteri, formula rendah
residu
Konstipasi Formula rendah residu, dehidrasi, obat
Kembung dan kram Gangguan motilitas usus halus dan besar
abdomen

Metabolik Dehidrasi Demam/ infeksi, intake kurang, kehilangan


cairan berlebih
Peningkatan Peningkatan elektrolit dalam formula,
elektrolit serum intake cairan tidak adekuat, kehilangan
cairan berlebih
Penurunan Retensi cairan berlebih, elektrolit tidak
elektrolit serum adekuat dalam formula

9
Hiperglikemia Stres metabolik, riwayat diabetes, glukosa
diet berlebih
Mekanik Selang makanan Residu formula berlebih dalam selang
tersumbat
Iritasi dan erosi Pemberian obat via selang
nasal
Perubahan posisi Batuk/ muntah
selang
Patologi esofagus: Efek lokal selang nasoenterik
esofagitis, erosi,
ulkus, perdarahan,
striktur
Fistula Tekanan berat yang menimbulkan
trakeoesofagus sklerosis
Tidak enak Efek lokal
nasofaring
Laring serak, Efek lokal
ulserasi, stenosis
Aspirasi saluran Salah posisi penempatan selang
cerna nasoenterik
Infeksi Pneumonia aspirasi Regurgitasi, salah posisi
Kontaminasi Kontaminasi eksogen
bakterial dari
makanan enteral

a. Nutrisi parenteral
Pemberian nutrisi melalui vena. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi
kebutuhan nutrisi sehari-hari melalui rute enteral.
Indikasi:

10
• Pasien dengan ketidakmampuan absorbsi nutrient melalui GIT. Hal ini
meliputi malabsorbsi berat, short bowel sindrom, muntah berat, diare, dan
enteritis radiasi
• Pasien dengan pankreatitis akut berat yang membutuhkan pengistirahatan
bowel
• Pasien dengan intake nutrisi enteral tidak adekuat selama 7-10 hari
• Obstruksi traktus olimenterus (adhesi, ca esophagus)
• Penyakit inflamasi usus halus (Chorn’s disease, colitis ulserasi)
• Luka bakar, trauma berat
• Pasien pra bedah yang mengalami emasiasi, kehilangan BB ≥ 10%
• Pasien paska bedah yang tidak mampu makan selama 5 hari
• Penolakan atau ketidakmampuan untuk makan seperti koma, anoreksia
nervosa/kelainan neurologis
Kontraindikasi:
• Pasien dengan GIT baik, mampu mengabsorbsi nutrien secara adekuat
• Pada krisis hemodinamik (syok, dehidrasi yang belum terkoreksi)
• Gagal napas butuh bantuan respirator

Macam:
• Nutrisi Parenteral Perifer (PPN)
Diindikasikan penggunaan jangka pendek pada pasien yang
mengalami gangguan fungsi GIT dan membutuhkan nutrisi. Juga
digunakan pada pasien pasca operasi dini yang diharapkan untuk mulai
makan dalam beberapa hari sampai satu minggu setelah operasi.
Pada pemberian PPN ini faktor yang perlu diperhatika yaitu
osmolaritas larutan. Dimana osmilaritas tidak boleh lebih dari 600 – 800
mOsm/L. Dengan perhitungan 50 mOsm/L untuk setiap 1% Dextrose
dan 100 mOs/L untuk setiap 1% amino. Dalam lingkup ini kalori hemat
protein disuplai dengan larutan asam amino D5-10%/3,5% dan lemak
adalah isotonis. Emulsi lemak 20% oleh vena perifer memberikan
hampir 2000 kkal/hr. Elektorlit juga dapat meningkatkan osmolaritas.
11
Beberapa komplikasi yang sering muncul pada penggunaan PPN
yaitu tromboplebitis. Komplikasi ini dapat dikurangi dengan pemberian
PPN low osmolaritas. Beberapa institusi menambahkan heparin atau
hidrokortisol kedalam larutan untuk mengurangi insidensi phlebitis.
Infiltrasi, emboli kateter, dan sepsis mungkin juga dapat ditemukan
pada pemberian PPN. Oleh karena itu vena kateter harus diganti setiap
48-72 jam.
• Nutrisi Parenteral Total (TPN)
TPN diindikasikan untuk pasien yang membutuhkan nutrisi lebih
dari 7-10 hari, dimana membutuhkan jumlah kalori yang tinggi,
restriksi cairan yang berat, atau akses perifer tidak bagus.
TPN dimulai dengan larutan yang mengandung konsentrasi kahir
15 – 35% glukosa dan asam amino 3,5 – 5%. Selama masa kritis
kebutuhan protein berfluktuasi antara 2 – 3,5 gr/kgBB.
Rasio kalori (glukosa) terhadap nitrogen (as amino) harus 200:1.
Rasio ini diperlukan untuk menjaga nitorgen dalam tubuh tetap adekuat.
Bila rasio ini tidak dipertahankan, kelebihan asam amino akan
dikeluarkan melalui urin jika terdapat glukosa yang cukup dan begitu
sebaliknya. Terapi yang optimal membutuhkan 200 kkal untuk setiap 1
gram nitrogen.
Pemberian nutrisi hanya efektif untuk pengobatan gangguan nutrisi
bukan untuk penyebab penyakitnya.
Status nutrisi basal dan berat ringannya penyakit memegang peranan
penting dalam menentukan kapan dimulainya pemberian nutrisi
parenteral. Sebagai contoh pada orang-orang dengan malnutrisi yang
nyata lebih membutuhkan penanganan dini dibandingkan dengan
orang-orang yang menderita kelaparan tanpa komplikasi. Pasien-pasien
dengan kehilangan zat nutrisi yang jelas seperti pada luka dan fistula
juga sangat rentan terhadap defisit zat nutrisi sehingga membutuhkan
nutrisi parenteral lebih awal dibandingkan dengan pasien-pasien yang
kebutuhan nutrisinya normal.

12
Kebutuhan Harian:
• Air : 30 – 35 ml/kg
Ekstra air dibutuhkan untuk mengganti kehilangan air karena diare,
muntah, berkeringat dan panas (ditambah 150 ml setiap kenaikan 1°C).
• Energi
Kebutuhan nutrisi dan mineral harian pada dewasa.
Water 30 ml
Energy 125 KJ
(30kcal)
Nitrogen 0,1-0,2 g
Glukosa 3 gr
Lipid 2 gr
Sodium 1-2 mmol
Potasium 0,7 – 1 mmol
Calcium 0,1 mmol
Magnesium 0,1 mmol
Phosporus 0,4 mmol

Nilai energi untuk : Lipid = 9 kcal/g


Karbohidrat = 4 kcal/g
9. Usia lanjut dan penyakit yang serius.
10. Reaksi pasien saat di rawat di ICU.
11. Tujuan akhir pengobatan ICU yang di intervensikan sebelumnya.

Urutan prioritas penanganan kegawatan didasarkan pada 6B yaitu :


B-1 Breath - Sistem pernafasan
B-2 Bleed - Sistem peredaran darah
B-3 Brain - Sistem syaraf pusat
13
B-4 Blader - Sistem urogenital
B-5 Bowel -Sistem pencernaan
B-6 Bone - Sistem tulang dan persendian

VII. Indikasi Keluar ICU


• Prioritas 1 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untk terapi intensif telah tidak ada lagi,
atau bila terapi telah gagal dan prognosis jangka pendek jelek dengan kesembuhan atau
manfaat dari terapi intensif kecil.
• Prioritas 2 dikeluarkan bila kemungkinan untu mendadak memerlukan terapi intensif telah
berkurang.
• Prioritas 3 dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi,
tetapi mungkin pasien dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau
manfaat dari terapi intensif kecil.7

Pasien tidak perlu lagi berada di ICU apabila :7


• Meninggal dunia
• Tidak ada kegawatan yang menganca jiwa sehingga dirawat di ruang biasa atau
dapat pulang.
• Atas permintaan keluarga atau pasien. Untuk kasus seperti ini keluarga atau pasien
harus menandatangani surat keluar ICU atas permintaan sendiri.
• Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil.
• Terapi dan perawatan intensif tidak memberi hasil pada pasien.
• Dan pada saat itu pasien tidak menggunakan ventilator. Pasien mengalami mati
batang otak.
• Pasien mengalami stadium akhir (ARDS stadium akhir).
• Pasien/keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (pulang paksa).

14
VIII. Pemantauan
Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan antara lain:4,6
1. Tingkat kesadaran
2. Fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan:interval waktu minimal 4 (empat) jam atau
disesuaikan dengan keadaan pasien.
3. oksigenasi dengan menggunakan oksimeter secara terus menerus.
4. Keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal 8 (delapan) jam atau
disesuaikqn dengan keadaan pasien.
Tindakan medik dan asuhan keperawatan yang dilakukan adalah:
1. Bantuan Hidup Dasar/ Basic Life gupport (BHD/ BLS) dan Bantuan Hidup Lanjut/
Advanced Life Support (BHD/ ALS)
a. Jalan nafas (Airway : membebaskan jalan nafas, bila perlu menggunakan alat bantu jalan
nafas, seperti pipa oropharingeal atau pipa nasopharingeal. Dokter HCU juga harus
mampu melakukan intubasi endotrakea bila diindikasikan dan segera memindahkan/
merujuk pasien ke ICU
b. Pernafasan/ ventilas i (Breathing), Mampu melakukan bantuan nafas (breathing support)
dengan bag-mask-valve
c. Sirkulasi (Circu!ation): resusitasi cairan, tindakan defibrilasi, tindakan kompresi jantung
luar
2. Terapi oksigen. Memberikan oksigen sesuai kebutuhan pasien dengan berbagai alat pengalir
oksigen, seperti: kanul nasal, sungkup muka sederhana, sungkup muka dengan.reservoir,
sunggup muka dengan katup dan sebggainya.
3. Penggunaan obat-obatan untuk pemeliharaan/ stabilisasi (obat inotropik, obat anti nyeri, obat
aritmia jantung, obat-obat yang bersifat vasoaktif, dan lain-lain).
4. Nutrisi enteral atau nutrisi parenterat campuran
5. Fisioterapi sesuai dengan keadaan pasien.
6. Evaluasi seluruh tindakan dan pengobatan yang telah diberikan.

15
IX. Gagal napas
Kegagalan pernapasan tetap menjadi indikasi utama masuk ICU. Jenis kegagalan
pernafasan bisa terjadi dikategorikan berdasarkan proses (mis: akut vs kronis) dan perfusi
fisiologis (mis: hypercapnia vs hipoksemia). Pembedaan semacam itu dapat membantu
untuk pengambilan keputusan untuk berbagai pilihan pengobatan. Namun, beberapa proses
bisa terjadi secara simultan. Misalnya, pasien mungkin menderita penyakit akut dan kronis
gagal napas dengan adanya hipoksemia dan hypercapnia.3
Hipoksemia gagal napas umumnya terjadi karena ketidakcocokan antara ventilasi /
perfusi yang mengarah ke besar gradien alveolar-arteria. Penyebabnya meliputi trauma,
sindrom distres pernafasan akut (ARDS), sepsis, pneumonia, emboli paru, edema paru
kardiogenik, dan penyakit paru obstruktif Penyebab fisiologis lainnya hipoksemia
termasuk shunt intrapulmonary, hipoventilasi, dan peningkatan O2 ekstraksi.3
Penyebab kegagalan pernapasan hypercapnia meliputi hipoventilasi, seperti yang
mungkin terjadi akibat keracunan obat atau kelemahan neuromuskular, atau peningkatan
ruang hampa, yang mana terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau asma
Hypercapnia mungkin juga hadir dalam keadaan parah bentuk proses pulmoner infiltratif,
seperti ARDS. Baik kegagalan hiperkaristan dan hipoksemik mungkin terjadi memerlukan
inisiasi dukungan ventilator mekanis.3
ARDS, yang ditandai pembengkakan, inflamasi paru-paru, menyebabkan
perkembangan edema paru nonkardiogenik dengan ketidakseimbangan V/Q , hipoksemia,
dan penurunan fungsi paru. ARDS biasanya mengikuti peristiwa sebelumnya yang dapat
menyebabkan cedera paru langsung atau tidak langsung. Meskipun penyebab utama cedera
paru-paru dapat memprediksi hasil, faktor spesifik pasien seperti usia, status imunitas, dan
disfungsi organ adalah prediktor yang lebih kuat untuk bertahan hidup. Pada beberapa
pasien, ARDS mengalami fase akut, namun dapat juga terjadi alveolitis kronis yang
menyebabkan fibrosis paru. Pasien tersebut sering mengalami hipoksemia lanjutan,
peningkatan ruang hampa fisiologis, dan penurunan fungsi terhadap ketergantungan
ventilator kronis.3
Meskipun secara klasik didefinisikan oleh peningkatan A-a gradien dalam setting
infiltrat paru noncardiogenic diffuse bilateral, definisi klinis ARDS terus berkembang,
paling baru dengan kriteria Berlin. Dalam definisi baru ini, perbedaan klinis antara ARDS

16
dan cedera paru akut hilang dan digantikan oleh kategori keparahan (yaitu, ringan, sedang,
dan berat). Selain itu, persyaratan pengukuran tekanan oklusi arteri paru (PAOP) tidak ada
lagi. Dengan tidak adanya kejadian kardiak yang diketahui, data objektif, seperti
ekokardiografi diperlukan untuk menyingkirkan edema paru kardiogenik sebagai penyebab
infiltrat bilateral.3

AECC Berlin

Waktu Onset akut Dalam waktu 1 minggu dari


perburukan klinis yang
diketahui atau gejala
pernafasan yang baru atau
memburuk

Oksigenisasi ALI: PaO2/FiO = 300 mm Ringan: 200 mm Hg <


Hg PaO2/FiO2 ≤ 300 mm Hg
ARDS: PaO2/FiO2= 200 with PEEP or CPAP ≥ 5
mm Hg cmH2O
Sedang: 100 mm Hg <
PaO2/FiO2 ≤ 200 mm Hg
with PEEP ≥ 5 cmH2O
Berat: PaO2/FiO2 ≤ 100
mm Hg with PEEP ≥
5cmH2O
Foto Thorax Infiltrat Bilateral Opasitas Bilateral tidak
dapat dijelaskan

Edema PAWP ≤ 18 mm Hg, atau Kegagalan napas tidak


tidak ada bukti hipertensi dapat ditentukan
atrium kiri penyebabnya baik dari
gagal jantung maupun
volume berlebih

Faktor risiko - Jika tidak ditemukan factor


risiko, diperlukan
Echocardiography untuk

17
menyingkirkan edema
hidrostatik

Pengelolaan

Pengobatan untuk ARDS hanya bersifat mendukung, dengan fokus pada pencegahan
cedera paru-paru lebih lanjut. Prinsip utama untuk perawatan ARDS melibatkan ventilasi
pelindung paru-paru bila diperlukan ventilasi mekanis. Uji coba ARDS Network (ARDS Network)
yang penting, "volume tidal yang lebih rendah (6 mL / kg berat badan ideal)" ventilasi mengurangi
tingkat kematian (31% vs 40%) dibandingkan dengan praktik ventilasi standar (12 mL / kg).
Teorinya adalah bahwa dengan menerima penurunan Po2 dan peningkatan nilai Pco2 (hipoksemia
"permisif" dan hiperkapnia), penghindaran volume tidal yang besar dan tekanan saluran udara
yang tinggi menurunkan kejadian barotrauma dan volutrauma, dan tingkat mortalitas.3

Protokol ventilasi pelindung paru yang diarahkan pada dokter memungkinkan terapis
pernafasan untuk secara proaktif menyesuaikan pengaturan ventilator untuk mempertahankan
kriteria pelindung paru. Ambang batas yang lebih rendah harus digunakan untuk memulai ventilasi
pelindung paru-paru, karena pasien yang berventilasi dengan protokol pelindung paru-paru dan
yang kemudian dikesampingkan karena ARDS tidak mengalami hasil klinis yang lebih buruk.
Selanjutnya, ventilasi volume tidal intraoperatif yang lebih rendah dapat mengurangi risiko
pengembangan ARDS pasca operasi.3

Pasien dengan ARDS sedang sampai berat dapat diuntungkan pemberian obat penghambat
neuromuskular (NMBDs). NMBDs sering memperbaiki fungsi paru dan oksigenasi. Percobaan
klinis infus cisatracurium awal pada pasien ARDS menunjukkan peningkatan tingkat
kelangsungan hidup 90 hari meskipun mekanisme untuk mendapatkan manfaat tidak jelas. Posisi
rawan dapat memperbaiki hasil oksigenasi dan klinis dan harus digunakan dalam pengelolaan
ARDS berat. Namun, pengalaman dan kenyamanan fasilitas medis dalam merawat pasien kritis
sementara rawan harus dipertimbangkan sebelum memulai prosedur ini. Akhirnya, rujukan untuk
dukungan kehidupan ekstraorporeal (ECLS) dapat diindikasikan, walaupun data untuk hasil yang
lebih baik saat ini tidak ada. Percobaan klinis sedang dilakukan untuk mengeksplorasi terapi
intensif sumber daya ini.3

18
Terlepas dari gangguan ini, terapi gagal napas hanya mendukung sementara komponen
reversibel dari penyakit yang mendasarinya. Hipoksemia dapat diobati dengan terapi oksigen dan
tekanan positif saluran nafas (jika FRC menurun), sedangkan hiperkarbia (kegagalan ventilasi)
diobati dengan ventilasi mekanis. Tindakan umum lainnya termasuk menggunakan bronchodilator
aerosol, antibiotik intravena, dan diuretik untuk fluida.2

X. Syok
Syok adalah kondisi klinis umum yang ditemui pada pasien yang sakit kritis.
Banyak proses klinis dapat menyebabkan syok yang menyebabkan perfusi tidak adekuat
pada sistem organ utama, seperti otak, jantung, ginjal, dan hati. Hal ini dapat menyebabkan
metabolisme anaerobik, kegagalan multiorgan, dan kematian bila perfusi yang memadai
tidak dapat dipulihkan. Shock dikategorikan oleh proses fisiologis yang mendasari yang
menginduksi keadaan hipoperfusi. Kategori utama termasuk hipovolemik, kardiogenik,
dan syok vasodilator. Syok vasodilatasi dapat dikategorikan lebih lanjut sebagai syok
septik, anafilaksis, dan neurogenik.3
➢ Hipovolemik
Syok hipovolemik terjadi akibat penurunan volume sirkulasi darah yang
akut dan dekompensasi penurunan volume intravaskular yang mengurangi preload
jantung (volume diastolik akhir ventrikel kiri), yang merupakan penentu utama
curah jantung. Hipovolemia paling sering terjadi saat terjadi kehilangan darah besar
akibat trauma, pembedahan, atau perdarahan gastrointestinal. Bila mekanisme
kompensasi tidak mampu mengembalikan perfusi organ penting, syok akan terjadi.
Resusitasi volume intravaskular yang adekuat dan kontrol penyebab syok adalah
kunci untuk pengobatan syok hipovolemik.
➢ Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi bila ventrikel kiri atau kanan tidak dapat
berkontraksi secara efisien untuk menghasilkan volume stroke yang memadai.
Volume akhir diastolik ventrikel meningkat yang menyebabkan distensi ventrikel
dan perkembangan edema paru pada kegagalan sisi kiri atau vena pada leher yang
membesar, edema perifer, dan kongesti hati pada kegagalan sisi kanan. Kegagalan
biventrikular dapat terjadi bila kemacetan paru dari kegagalan ventrikel kiri
menyebabkan hipertensi pulmonalis dan disfungsi ventrikel kanan.

19
Terapi farmakologis bertujuan untuk memperbaiki curah jantung, pengisian
jantung, dan keseimbangan oksigen pada miokard. Pemantau invasif, termasuk
vena arteri dan sentral dapat membantu terapi.
Pada syok kardiogenik berat dengan hipotensi, pemberian inotropik dan
vasopressor membantu meningkatkan perfusi pada miokardium dan organ vital
lainnya, namun dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Untuk hipotensi
berat, pemberian norepinefrin dibanding dengan dopamin menunjukkan hasil efek
samping aritmia yang lebih sedikit. Bila tidak ada hipotensi, dobutamin harus
diberikan untuk memberikan dukungan inotropik. Pada pasien dengan bukti syok
kardiogenik disertai hipertensi, vasodilator seperti nitroprusside atau nitroglycerin
dapat membantu menurunkan afterload dan preload serta memperbaiki aliran.
➢ Vasodilatory
Syok vasodilator mencakup serangkaian kejadian klinis yang terdefinisi
dengan baik yang mencakup syok septik, anafilaksis, dan neurogenik. Syok
vasodilator akibat pelebaran sistem vaskular arteri yang parah menyebabkan
penurunan resistensi vaskular sistemik (SST) dan hipotensi. Kebocoran kapiler
volume intravaskular ke dalam ruang ekstraselular semakin memperburuk
hemodinamika dan menyebabkan hipoperfusi jaringan, menghasilkan metabolisme
anaerob dan asidosis laktat. Takikardia dan peningkatan volume stroke merupakan
usaha untuk mengimbangi penurunan SVR agar mengembalikan tekanan darah
arteri. Jika proses yang mendasari terus berkembang, iskemia multiorgan dan
kegagalan berkembang.
Pengobatan pertama melibatkan penggantian volume peredaran darah yang
efektif, yang hilang karena penyatuan darah vena atau kebocoran kapiler. Bila
resusitasi volume intravaskular tidak dapat mengembalikan sirkulasi, vasopressor
harus diberikan. Untuk syok septik, norepinephrine dianggap sebagai vasopressor
pilihan.
Dalam syok neurogenik, perfusi yang memadai pada sumsum tulang
belakang harus dipertahankan untuk membatasi cedera iskemik sekunder, jadi
tujuannya adalah untuk melakukan resusitasi cairan awal yang tepat. Syok
anafilaksis awalnya diobati dengan epinefrin sebagai vasopressor pilihan.

20
➢ Sepsis
Sepsis adalah penyebab utama kematian di ICU dan merupakan alasan
paling umum untuk masuk ke ICU. Pasien dengan syok septik mengalami respons
inflamasi sistemik yang luar biasa, seringkali berakhir dengan sindrom disfungsi
organ ganda (multiple organ disfunction syndrome / MODS) dan kematian. Banyak
pendekatan telah diajukan dan diabaikan selama 10 tahun terakhir. Namun,
pendekatan mendasar untuk pengenalan dini, resusitasi kardiorespirasi cepat,
pemberian antibiotik segera, dan identifikasi dan pengobatan sumber infeksi telah
bertahan dari waktu ke waktu.
Berdasarkan data saat ini, perawatan sepsis harus melibatkan resusitasi
cairan intravaskular agresif awal yang menargetkan titik akhir seperti responsifitas
cairan dan pembersihan laktat (berlawanan dengan pemantauan saturasi oksigen
vena sentral atau pengukuran CVP). Administrasi antibiotik awal dan kontrol
sumber merupakan komponen penting untuk manajemen sepsis. Vasopressor dapat
digunakan untuk mendukung perfusi organ setelah pelepasan volume intravaskular.

XI. Gagal ginjal akut


Kejadian gagal ginjal akut (AKI) di ICU sangat bervariasi dan bisa setinggi 35%.
Meskipun ada perbaikan pada teknologi penggantian ginjal, tingkat kematian yang
disebabkan oleh AKI di ICU masih lebih dari 50%. Perawatan suportif harus difokuskan
pada pemeliharaan euvolemia, penghindaran obat nefrotoksik, penyesuaian dosis obat
untuk pembersihan kreatinin, dan pemantauan elektrolit dan asam basa.
Disfungsi trombosit dapat terjadi sebagai akibat uremia dan memerlukan
desmopressin (DDAVP) untuk mendapatkan dukungan jika perdarahan bermasalah.
Pendekatan farmakologis untuk memperbaiki fungsi ginjal seperti dopamin dosis rendah,
diuretik, dan N-acetylcysteine belum menunjukkan manfaatnya. Dialisis sering diperlukan
pada pasien dengan gagal ginjal lanjut untuk membantu volume intravaskular dan
gangguan elektrolit yang berlebihan.2,3

21
XII. Manajemen nyeri & sedasi
Rasa sakit dan agitasi biasanya sulit diidentifikasi di ICU, namun ada konsekuensi
hemodinamik dan psikologis yang penting terkait dengan rasa sakit dan agitasi yang tidak
pernah hilang, seperti penyembuhan luka yang terganggu, peningkatan kadar katekolamin,
dan perkembangan gangguan stres posttraumatic. Sayangnya, banyak pasien di ICU tidak
dapat melumpuhkan rasa sakit dan ketidaknyamanan. Meskipun tanda-tanda vital mungkin
mengindikasikan adanya rasa sakit dan agitasi, hipertensi dan takikardia tidak boleh
digunakan sendiri dalam penilaian rasa sakit.1,2,3
➢ Analgesik
Opioid adalah pengobatan lini pertama untuk nyeri. Mereka dapat diberikan
dengan infus kontinyu, sesuai kebutuhan bolus, atau metode yang dikendalikan
oleh pasien jika pasien secara neurologis utuh dan tidak banyak dibius. Fentanyl
adalah opioid yang paling sering digunakan di ICU karena farmakokinetiknya
(durasi kerja yang relatif singkat) dan kurangnya metabolit aktif. Metadon adalah
opioid sintetis dengan cara kerja yang lama, sering diberikan pada pasien yang telah
menerima infus jenis narkotika untuk waktu yang lama atau yang memerlukan dosis
narkotika besar karena nyeri kronis.
Analgesia multimodal dengan obat nonopioid dapat membantu membatasi
efek samping narkotika dan dianjurkan pada pasien ICU. Meliputi asetaminofen,
ketamin, antiepilepsi (gabapentin dan karbamazepin), agonis adrenergik α2
(klonidin dan dexmedetomidin), tramadol, antidepresan, dan lidokain topikal.
➢ Sedasi
Sedasi digunakan di ICU untuk memberikan anxiolysis, amnesia, dan
kenyamanan serta menjamin keamanan intervensi yang menopang kehidupan
(seperti, Penghapusan jalur sentral, ETT, atau saluran pembuangan yang tidak
disengaja). Obat sedatif juga dapat membantu dengan ventilator mekanis, kontrol
kejang, pengurangan tekanan intrakranial, dan kecanduan alkohol.
Benzodiazepin umumnya diberikan untuk ICU sedasi karena mereka
menyediakan anxiolysis, amunisi anterograde, dan efek depresi ventilasi dan
kardiovaskular lebih sedikit bila dibandingkan dengan propofol. Propofol memiliki
sifat farmakologis seperti onset cepat dan durasi tindakan yang relatif singkat, yang

22
ideal untuk pasien ICU dalam ventilasi mekanis yang memerlukan evaluasi
neurologis. Hal ini juga berguna dalam mengobati kejang dan mengurangi tekanan
intrakranial. Propofol tidak memiliki efek analgesik, sehingga opioid mungkin
diperlukan secara bersamaan. Selain itu, propofol menurunkan kontraktilitas
miokard dan SVR, jadi mungkin ini bukan pilihan obat pasien hipotensi. Karena
efek depresi pernafasannya, propofol harus digunakan untuk sedasi hanya pada
pasien intubasi.

XIII. Nutrisi & gula darah


➢ Nutrisi
Tujuan pemberian dan pemantauan nutrisi di ICU adalah untuk menjaga
massa tubuh tanpa lemak dan menghindari kekurangan gizi, yang dapat
menyebabkan tingkat kematian meningkat, masa tinggal di rumah sakit yang
memanjang, penyembuhan luka yang buruk, dan peningkatan risiko infeksi.
Perkiraan kebutuhan kalori harian dapat dihitung dari berbagai persamaan.
Persamaan Harris Benedict memperkirakan pengeluaran energi basal berdasarkan
berat, tinggi badan, usia, dan jenis kelamin, namun penyesuaian harus dilakukan
untuk proses penyakit yang mendasarinya seperti infeksi, disfungsi organ
multisistem, trauma, dan luka bakar.3
➢ Glukosa
Berdasarkan penelitian tahun 2001, terapi insulin intensif untuk mencapai
tingkat glukosa darah antara 80 dan 110 mg/dL dianggap penting untuk
meningkatkan kualitas hidup di ICU. Namun, data yang lebih baru menunjukkan
bahwa terapi insulin intensif tidak memperbaiki kelangsungan hidup dan benar-
benar meningkatkan risiko hipoglikemia dan kematian. Saat ini, tampaknya kontrol
glikemik yang ketat, dan bahkan normalisasi glukosa plasma normal, mungkin
bukan tujuan yang tepat, dan sebagai gantinya, kadar glukosa sedang (antara 140
sampai 180 mg/dL) lebih tepat untuk pasien ICU. Dengan menggunakan kadar
glukosa sedang sebagai tujuan dapat meminimalkan risiko hipoglikemia berat
(kurang dari 40 mg/dL) dan hiperglikemia (lebih dari 200 mg/dL).2,3

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Miller, R., Eriksson, L., Fleisher, L., Wiener-Kronish, J. and Young, W. (2015). Anesthesia.
8th ed. London: Elsevier Health Sciences, pp.3034-3051.
2. Morgan, G., Mikhail, M., Murray, M., Kleinman, W., Nitti, G., Nitti, J., Raya, J., Bedford,
R., Bion, J., Butterworth, J., Cohen, N., Dorsch, J., Greengrass, R., Gronert, G., Hug, C.,
Hunter, J., Irgin, S., Kapur, P., Larson, C., Moyers, J., Reves, J., Sakabe, T., Savarese, J.,
Slinger, P. and Thys, D. (2013). Clinical anesthesiology. 5th ed. New York: McGraw-Hill,
pp.1278-1322.
3. Pardo, M. and Miller, R. (2018). Basics of anesthesia. 7th ed. Philadelphia: Elsevier, pp.707-
722.
4. Critical Care. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/criticalcare.html
(accessed 18 January 2018).
5. Mustafa iqbal, dkk. Standar pelayanan ICU. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jendral Pelayanan Medik. Jakarta. 2003
6. Intensive care. http://www.nhs.uk/Conditions/Intensive-care/Pages/Introduction
(accessed 18 January 2018).
7. Criteria for admission to ICU. http://www.surgical-tutor.org.uk/default-
home.htm?principles/postoperative/criteria.htm~right
(accessed 18 January 2018).
8. Guidelines for ICU Admission, Discharge, and Triage. 701 Lee Street Suite 200 Des Plaines,
IL 60016: SOCIETY OF CRITICAL CARE MEDICINE; 1998. (accessed 18 January 2018).

24

Anda mungkin juga menyukai