Anda di halaman 1dari 35

HAK HIDUP JANIN KORBAN PEMERKOSAAN DAN LEGALISASI ABORSI

DALAM PERSPEKTIF CRITICAL LEGAL STUDIES

MAKALAH

DOSEN PENGAMPU:
Dr. M. Hatta Roma Tampubulon, SH., MH.

Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah


Sosiologi hukum pada semester ganjil TA 2021/2022
Program magister hukum fakultas hukum

Oleh:

TRI RAODHA MENTARI


NIM: D 102 10 066

255
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL …………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………

● A. Latar Belakang ………………………………………….


● B. Rumusan Masalah………..
● C. Metode Penilitian ………………………………………
● D. Hasil Penilitian Dan Pemanfaatan ……………………………………….
● E. Simpulan Dan Saran ………………………………………

BAB II PEMBAHASAN ………………………….

● A. penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya perlindungan hukum


secara preventif ……………………………………
● B. aborsi atas Kehamilan Akibat Pemerkosaan….
● C. LEGALISASI ABORSI KORBAN PERKOSAAN (Perspektif Hukum
Indonesia, HAM dan Hukum Islam)….
● D.Dalam perspektif islam …………………

BAB III PENUTUP ……………………………………

● A. Simpulan ……………………………………………………

256
● B. Saran …………………………………………………………
● DAFTAR PUSTAKA …………………………………

KEBIJAKAN NEGARA TERHADAP PERLINDUNGAN HAK HIDUP JANIN


KORBAN PEMERKOSAAN DAN LEGALISASI ABORSI DALAM
PERSPEKTIF SOSIO-LEGAL STUDIES DI INDONESIA.

TRI RAODHA MENTARI


D10 11 1066
Email:triraodhamentari@gmail.com
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Tadulako Sulawesi Tengah

Dosen
Dr. M. Hatta Roma Tampubulon, SH., MH .

Makalah ini disusun untuk penugasan mata kuliah


Sosiologi hukum pada semester ganjil TA. 2021/2023
Program Magister Hukum Fakultas Hukum

Abstract

257
This paper discusses the abortion that can be done if there is an indication of medical
emergency or pregnancy due to rape. Discriminalization of abortion regulated in
Indonesian legislation is imbalanced and unfair in protecting the lives of its people,
both children and women. This research is a prescriptive legal research with the
approach of law and conceptual approach. Technique of collecting legal material of
literature study and technique of legal material analysis using deduction method. The
results of this paper conclude to ensure the safety and effective abortion practices.
The law of abortion should impose and regulate abortion as a health care
intervention, in which health, safety, and welfare are measures of legal legitimacy.
This paper recommends the state to ensure the availability of clear, decisive and
predictable rules. States should ensure the continuity and moral acceptability
associated with legal certainty in a material way. Legal certainty should always be
read as rule clarity, predictable, guaranteed continuity, and must be accepted or
executed.

Keywords: abortion, informed consent, contracted justice, patient.

Abstrak
Tulisan ini membahas perihal aborsi yang dapat dilakukan jika terjadi indikasi
kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan. Diskriminalisasi aborsi yang
diatur dalam perundang-undangan Indonesia tidak seimbang dan tidak adil dalam
melindungi kehidupan masyarakatnya baik anak, maupun perempuan. Penelitian ini
merupakan penelitian hukum yang bersifat preskiptif dengan pendekatan undang-
undang dan pendekatan konseptual. Teknik pengumpulan bahan hukum studi pustaka
dan teknik analisis bahan hukum menggunakan metode deduksi. Hasil tulisan ini
menyimpulkan untuk memastikan keamanan dan praktik aborsi yang efektif. Hukum
aborsi harus memberlakukan dan mengatur aborsi sebagai intervensi perawatan
kesehatan, di mana kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan merupakan langkah-
langkah legitimasi hukum. Tulisan ini merekomendasikan pada negara untuk
menjamin ketersediaan aturan yang jelas, tegas dan predictable. Negara harus
menjamin kontinuitas dan akseptabilitas moral yang terkait dengan kepastian
hukum secara materil. Legal certainty selalu harus dibaca sebagai kejernihan aturan,
predictable, dijamin kontinuitasnya, dan harus bisa diterima atau dijalankan.

Kata kunci: aborsi, informed consent, keadilan berkontrak, pasien.


A. Pendahuluan
Perdebatan mengenai aborsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin ramai, karena
dipicu oleh berbagai peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan manusia.
Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak asasi manusia yang
hanya boleh dicabut oleh pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi

258
tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitannya
dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita. Pengguguran kandungan
(aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi
yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi
merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini prilaku pengguguran
kandungan atau aborsi banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku
maupun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma
moral serta hukum suatu kehidupan bangsa (Achadiat Crisdiono, 2007:12).
Sebelum diundangkannya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, aborsi
menurut hukum positif Indonesia merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan dapat
dikenai sanksi. Menurut KUHP, semua bentuk perbuatan aborsi tanpa terkecuali
merupakan tindak kejahatan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, maka
perkembangan hukum juga terjadi mengingat sifat hukum yang selalu dinamis
terhadap perkembangan hidup masyarakat. Pelarangan aborsi menjadi hal yang
kursial untuk dibahas dan menjadi diskriminalisasi, dimana aborsi diperbolehkan
dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tindakan aborsi jelas
dilarang namun dalam keadaan tertentu aborsi diperbolehkan. Pasal 75 ayat (2) UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika
terjadi indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat
dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat
menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Berdasarkan pernyataan
Pasal 75 ayat (2) tersebut, terlihat jelas bahwa politik hukum dalam Undang-undang
Kesehatan merupakan upaya perkembangan kebijakan dari rasa ketidakadilan
terhadap perempuan dan bertujuan untuk melindungi perempuan dari diskriminasi
terhadap kejahatan perkosaan tetapi justru tidak untuk melindungi remaja perempuan

259
dari kehamilan yang diakibatkan oleh pergaulan bebas sebagaimana menjadi dasar
ditetapkannya kebijakan diskriminalisasi aborsi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas tidak menjadi
prioritas atau hal yang justru harus menjadi tanggungjawab pemerintah untuk diatasi.
Namun di sisi lain, didiskriminalisasinya aborsi telah mengabaikan hak anak
untuk tetap hidup dan mendapatkan hak yang sewajarnya ia dapatkan menurut
undang-undang. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002,
pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara itu, dalam UU HAM No. 39
Tahun 1999, dalam Pasal 53 ayat (1)-nya merumuskan bahwa “Setiap anak sejak
dalam kandungan, berhak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya.”
Menurut Penulis, diskriminalisasi aborsi yang diatur dalam perundang-
undangan Indonesia tidak seimbang dan tidak adil dalam melindungi kehidupan
masyarakatnya baik anak, maupun perempuan sehingga diperlukan kajian dan
analisis lebih dalam mengenai kebijakan hukum aborsi di Indonesia. Berdasarkan
uraian di atas, Penulis tertarik untuk menulis artikel yang membahas analisis
kebijakan negara terhadap perlindungan hak asasi manusia dalam praktik aborsi di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaturan mengenai legalisasi dari tindakan aborsi
dapat dilakukan dalam kasus kehamilan akibat pemerkosaan?

Kajian Yuridis atas Tindakan Aborsi


Sebagai negara hukum, segala sesuatu didalam negara ini diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Demikian halnya tentang masalah
pengguguran kandungan atau lebih dikenal dengan istilah tindakan aborsi. Di
Indonesia pengguran kandungan (aborsi) diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang terpisah.11

260
Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai pengguguran
kandungan yaitu dapat ditemukan dalam KUHP pada Buku II Bab XIV (tentang
kejahatan terhadap kesusilaan) pada Pasal 299 menyebutkan bahwa seseorang
yang sengaja mengobati wanita untuk menggugurkan kandungannya yaitu: 12
(1)Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat puluh ribu rupiah
(pasal 346 KUHPidana).
(2)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuanya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun ( Pasal 347 ayat 1 KUHPidana)
(3)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun ( pasal 347 ayat 2 KUHPidana)
(4)Barang siapa dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuanya , diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan ( pasal 348 ayat 1 KUHPidana)
10
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, 2007, hal. 52
11
Ibid, hal 24
12
(3)
55 (5) Jika perbuatan itu mengakibatkan
matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun (pasal 386 ayat 2 KUHPidana)
(6) Jika seorang dokter, bidan atau juru obat ( tabib ) membantu melakukan
kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasa 347 dan 348 maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan
dilakukan (pasal 349 KUHPidana).
(7) Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukan suatu sarana untuk
menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau diminta

261
menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan tulisan tanpa
diminta, menunjuk sebagai bisa di dapat, sarana atau perantara yang demikian
itu diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah (pasal 535 KUHPidana)

262
C . Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan metode studi
kepustakaan. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang meliputi peraturan
perundang-undangan mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan masalah
penelitian. Sumber informasi hukum mencakup juga bahan hukum sekunder seperti buku-buku
referensi, majalah hukum, jurnal hukum, surat kabar, dan hasil karya ilmiah yang relevan dengan
topik penelitian (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 237-240).

C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan


1. Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Tindakan Aborsi Menurut Perspektif
Negara Hukum
Pada prinsipnya, dalam hukum HAM, negara c.q Pemerintah mempunyai kedudukan
sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dan individu-individu yang berdiam di wilayah
jurisdiksinya sebagai pemegang hak (rights holder). Kewajiban yang diemban negara
adalah kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill),
dan kewajiban untuk melindungi (to protect) HAM bagi warganya (Rahayu, 2012:40).
Kewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi HAM adalah kewajiban
yang tidak dapat diingkari oleh negara karena merupakan bagian dari kewajiban negara
untuk melindungi kepentingan umat manusia (obligations erga omnes). Manusia
memerlukan jaminan perlindungan bagi hak-hak pribadi untuk mengekspresikan
kepentingan masyarakat yang menghendaki agar perlindungan hak-hak tersebut ditindak
lanjuti dengan pengaturan dalam hukum (Rahayu, 2012:42).
Negara memberi jaminan kepada korban dan janin yang dikandungnya untuk mendapat
kehidupan yang sejahtera lahir batin dan layak. Dalam hal ini juga Negara seharusnya memberi
dan mengkhususkan pelayanan kesehatan bagi kehamilan korban perkosaan agar keadaan fisik,
mental serta janin yang ia kandung selalu dalam keadaan sehat dan terlindungi. Korban
perkosaan juga berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus dari Negara demi
mencapai persamaan dan keadilan untuk dirinya dan anak yang ia kandung. Selain itu, korban
perkosaan berhak mendapatkan jaminan dan pelayanan sosial yang adil dari masyarakat dalam
rangka memulihkan jiwanya dari kejahatan perkosaan yang menimpanya. Dalam hal ini,

263
masyarakat sekitar berperan penting dalam mendukung korban perkosaan dan janin yang ia
kandung agar dapat meneruskan kehidupan layaknya manusia lain.
Janin yang hadir akibat kejahatan perkosaan berhak untuk hidup dan tidak disiksa
melalui tindakan aborsi. Perempuan korban perkosaan dan kehamilannya berhak
mendapatkan perlindungan hak asasi sepenuhnya oleh Negara dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif baik dari Negara sendiri maupun lingkungannya seperti keluarga dan
masyarakat terdekat.
Jika korban perkosaan yang hamil menolak aborsi dan memutuskan untuk
meneruskan kehamilannya, maka ia berhak mendapatkan pendamping (konselor) selama
masa kehamilannya sebagai tanggungjawab Negara atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan yang layak bagi korban perkosaan dan kehamilannya. Selain itu, dalam hal
korban perkosaan dan keluarganya tidak siap untuk memelihara anak yang ia kandung,
maka anak tersebut akan menjadi anak asuh yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 38
PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Pada dasarnya, diperbolehkannya aborsi bagi korban perkosaan yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan merupakan salah satu upaya Negara dalam memberi
perlindungan kepada korban perkosaan melalui pemerintah daerah atau aparat Negara di
masing-masing daerah. Meskipun tindakan aborsi ini sendiri tidak akan menyembuhkan
trauma psikologis sepenuhnya atau menghapus luka batin yang dialami akibat peristiwa
perkosaan, atau bahkan mengembalikan keadaan seperti semula, namun tindakan aborsi ini
merupakan suatu upaya terapi untuk membantu korban perkosaan untuk tetap meneruskan
kehidupannya.
Perlindungan hukum bagi korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan tentu harus dilakukan pendampingan baik medis maupun psikis terhadap
korban maupun anak dalam kandungan tersebut. Hak-hak dari korban perkosaan harus
dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, dimana dalam hal kehamilan karena
perkosaan, selain memperhatikan hak perempuan juga harus memperhatikan hak hidup
anak dalam kandungan. Aparat hukum dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak
hukum, menerima dan memproses pengaduan korban perkosaan dari awal sampai dengan
akhir proses eksekusi sanksi pidana bagi pelaku perkosaan. Dalam menangani kejahatan

264
perkosaan, aparat penegak hukum juga harus melakukan observasi pasca kejadian
perkosaan yang menimpa korban, apakah jiwa korban tetap stabil atau butuh
pendampingan khusus terutama bagi korban yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan, tidak hanya memperhatikan dan memikirkan sanksi pidana bagi pelaku,
sementara korban belum merasakan diberikan perlindungan hukum dari negara.
Upaya perlindungan hukum bagi korban perkosaan yang mengalami kehamilan yang
tidak diinginkan seyogyanya dilaksanakan dan di dukung oleh semua pihak baik itu pihak
aparatur Negara maupun masyarakat sekitar. Sebagaimana yang dituturkan oleh dr. Hari
Wiyoso, dalam penanganan aborsi bagi korban perkosaan yang mengalami trauma
psikologis adalah dengan memberi dukungan moral baik itu dari pihak rumah sakit seperti
dokter spesialis kandungan sebagai pelaksana tindakan aborsi, psikiater dan aparat penegak
hukum sebagai co-ordinator pelaksanaan tindakan aborsi, dan keluarga serta masyarakat
sekitar sebagai orang-orang terdekat korban dan sebagai pihak yang dipercaya korban.
Penetapan sanksi dan perlindungan hukum bagi pelaku dan korban perkosaan ini
sebagai suatu upaya dan bukti nyata bahwasanya Negara Indonesia memenuhi
kewajibannya sebagai Negara hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh A.V. Dicey,
tiga unsur utama dalam Negara hukum adalah memberi jaminan supremasi hukum
(supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law), dan due process
of law (Nurhadi, 2007:254). Artinya, dalam supremasi hukum (supremacy of law), tidak
seorangpun dapat dihukum atau dapat dibuat menderita tanpa adanya pelanggaran hukum.
Selanjutnya persamaan di depan hukum (equality before the law) adalah di mana setiap
warganegara sama kedudukannya di hadapan hukum dan apabila ia melanggar hukum,
baik selaku pribadi atau individu maupun selaku pejabat Negara, ia akan diadili dengan
hukum yang sama dan dalam pengadilan yang sama pula. Due process of law artinya,
segala tindakan Negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada suatu tindakan apapun
yang tidak memiliki dasar hukum (Hamdan Zoelva, 2011:237).
Negara Indonesia sebagai Negara hukum harus mengoptimalkan penerapan
kebijakan yang telah diciptakan oleh pembuat kebijakan. Artinya, penciptaan setiap
kebijakan baru harus bisa efektif dan pelaksanaannya dapat menjadi meminimalisir
kejahatan perkosaan. Contohnya, kebijakan sanksi kebiri bagi pelaku kekerasan seksual
sebagaimana dirumuskan dalam Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

265
undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak selama ini belum diterapkan dan dinilai tidak
efektif dalam menekan angka kejahatan kekerasan seksual. Sama halnya dengan kebijakan
aborsi bagi korban perkosaan yang belum bisa secara efektif memberikan upaya
perlindungan hukum bagi korban perkosaan. Ketika kebijakan-kebijakan ini tidak efektif
dalam memberi perlindungan hukum bagi warganegara Indonesia, maka ini secara
langsung akan mempengaruhi kualitas kebijakan dan perlindungan hukum dalam
penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Perlindungan hukum bagi anak hasil perkosaan yang dilahirkan harus mendapatkan
hak-hak sebagaimana anak pada umumnya, seperti mendapatkan pendidikan, kesehatan,
makanan dan lain-lainnya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945
tersebut di atas. Pemerintah yang harus mencukupi jika ternyata orang tuanya tidak
berkenan atau tidak mampu merawat anak tersebut untuk tumbuh bersamanya. Selain itu,
Negara juga berhak menetapkan agar pelaku ikut bertanggungjawab atas diri korban dan
kehamilannya dengan mengenakan beban biaya dengan perampasan harta benda pelaku
perkosaan jika dimungkinkan, dan diberikan guna kepentingan anak baik melalui korban
(jika bersedia merawat) atau kepada pemerintah melalui lembaga sosial tertentu karena
pada dasarnya anak yang lahir tersebut harus mendapatkan haknya sebagaimana anak pada
umumnya.
Di Indonesia, pendampingan dan perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual
atau perkosaan juga dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah di masing-
masing kota dan daerah. Contohnya, pemerintah kota Semarang yang baru-baru ini
membangun tempat khusus rehabilitasi perempuan dan anak-anak korban kekerasan
seksual yaitu Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM). Sebagaimana yang di tuturkan oleh
Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, RDRM menjadi tempat untuk
memulihkan kondisi psikologis para korban. Terutama bagi perempuan dan anak-anak
korban kekerasan seksual. Di tempat rehabilitasi tersebut, para korban sekaligus juga akan
diberikan pelatihan ketrampilan sebagai bagian untuk memulihkan kembali kepercayaan
dirinya. Tidak hanya melaksanakan perlindungan hukum secara represif, RDRM juga
berupaya melakukan pencegahan atau melaksanakan perlindungan hukum secara preventif
dalam penanganan kejahatan kekerasan seksual pada perempuan dan ank-anak.

266
2. Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Tindakan Aborsi Menurut Perspektif
Pancasila
Pancasila memiliki kedudukan yang amat penting dalam kehidupan bangsa dan
Negara Indonesia. Peran penting itu mencakup falsafah, dasar, dan ideology Negara.
Dengan kedudukan Pancasila yang penting tersebut, Pancasila juga sangat mempengaruhi
hukum di Indonesia. Dalam konteks hukum, Pancasila menjadi dasar hukum sekaligus
ideology yang menjiwai semua produk hukum. Dalam penelitian ini, tentunya Penulis akan
memfokuskan perlindungan hukum dalam praktik aborsi yang sesuai dengan ideology
Negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila bagi golongan rentan menurut
peraturan perundang-undangan yaitu wanita hamil (dalam hal ini wanita yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan) dan janin yang dikandung, khususnya bagi korban
perkosaan dan remaja yang masih bersekolah.
Makna filosofis dari kalimat Pancasila sebagai ideology Negara adalah bahwa dalam
setiap aspek praktek penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
(Tongat, 2012:402). Negara Indonesia sebagai Negara hukum yang berkiblat pada
Pancasila sebagai dasar fundamental atau ideology dasar dalam pembentukan hukum
positifnya harus selalu mengakomodir nilai-nilai Pancasila dalam setiap rumusan peraturan
perundang-undangannya. Jika nilai-nilai dalam Pancasila dapat diterapkan dalam peraturan
perundang-undangan sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi korban perkosaan,
maka jaminan akan keadilan pasti akan dirasakan korban baik untuk masa sekarang
maupun masa depan.
Pancasila sebagai dasar Negara berfungsi sebagai jiwa bangsa dan jati diri nasional.
Secara konstitusional, nilai-nilai Pancasila adalah asas kerohanian bangsa dan jiwa
Undang-undang Dasar Negara. Filsafat Pancasila memberikan kedudukan tinggi dan dan
mulia atas potensi dan martabat manusia, karenanya HAM berdasarkan Pancasila dijiwai
dan dilandasi dengan asas normative (Teguh Prasetya, :392)
a. Bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (Sila I dan II); sekaligus
amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
b. Bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan
kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat umat manusia

267
menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta, sebagai integritas moral martabat
manusia.
c. Kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
1) Manusia wajib mengakui sumber HAM adalah Tuhan Maha Pencipta (Sila I) yang
menganugerahkan dan mengamanatkan potensi kepribadian jasmani-rohani sebagai
martabat (luhur) kemanusiaan.
2) Manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta,
termasuk atas nasib dan takdir manusia.
3) Manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah
dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.
Seyogyanya, jika dicermati dengan lebih teliti, di Indonesia yang berpegang teguh
pada Pancasila sebagai ideology Negara, Indonesia tidak mengenal dan tidak dapat pula
menerapkan legalisasi aborsi atau dekriminalisasi aborsi karena secara sederhana,
legalisasi aborsi berarti menghapus sanksi pidana dalam perbuatan aborsi dan mengubah
kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang terkait aborsi menjadi seperti berikut
(Marge Berer, 2017:14):
a. Tidak menghukum siapapun karena memberikan jasa aborsi yang aman;
b. tidak menghukum siapapun karena melakukan aborsi;
c. tidak melibatkan polisi dalam penyelidikan atau penuntutant praktik aborsi;
d. tidak melibatkan pengadilan dalam memutuskan dan pemberian izin tindakan aborsi,
dan
e. memperlakukan aborsi seperti bentuk perawatan kesehatan lainnya, yaitu, menggunakan
praktik terbaik dalam pemberian layanan, pelatihan penyedia layanan, dan
pengembangan serta penerapan pedoman berbasis bukti, dan menerapkan undang-
undang yang ada untuk menangani praktik berbahaya.
Kebijakan aborsi di Indonesia sejatinya tidak dapat dibandingkan dengan kebijakan
aborsi negara lain, terutama Negara maju karena adanya Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai tolok ukur dan sebagai batasan kepada Negara dan masyarakatnya dalam
melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari termasuk perihal aborsi. Sebagaimana yang
dikemukakan Jimly Asshiddiqie (Salim HS, 2016:10), khusus mengenai cita Negara
hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila, ide kenegaraan tidak dapat dilepaskan dari

268
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila pertama dan utama Pancasila.
Artinya, Negara hukum Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Maha-Esaan dan ke-
Maha-Kuasaan Tuhan.
Diakuinya prinsip supremasi hukum tidak mengabaikan keyakinan mengenai
Kemaha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa diyakini sebagai sila utama dalam Pancasila.
Oleh karenanya pengakuan segenap bangsa Indonesia mengenai kekuasaan tertinggi yang
terdapat dalam hukum konstitusi di satu segi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan
segenap warga bangsa mengenai prinsip dan nilai-nilai Kemaha-Kuasaan Tuhan Yang
Maha Esa itu, dan di pihak lain pengakuan akan prinsip supremasi hukum juga merupakan
ekspresi kesadaran rasional kenegaraan atas keyakinan pada Tuhan Yang Maha Esa
dimana setiap warganegara Indonesia hanya memutlakkan Tuhan Yang Maha Esa dan
menisbikan kehidupan antar sesama warga yang bersifat egaliter dan menjamin persamaan
dan perhormatan atas kemajemukan dalam kehidupan bersama dala wadah Negara
Pancasila (Salim HS, 2016:10)
Penegakan hukum yang lemah menunjukkan fakta bahwa penentang kebijakan aborsi
liberal sekarang sering menyusun argumen mereka dalam hal kesehatan perempuan
daripada kesucian kehidupan janin dan dalam survei yang menunjukkan dukungan kuat
untuk hak perempuan untuk memilih. Namun, dalam interpretasi liberal saat ini, sulit untuk
menghindari bahwa kebijakan aborsi kita saat ini tidak memiliki tujuan berkelanjutan
dalam mencegah penghancuran kehidupan janin (Sally Sheldon, 2016:334-335).
A. . penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya perlindungan hukum secara
preventif
Oleh yang demikian, penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya perlindungan
hukum secara preventif harus dilakukan sedini mungkin sebagai langkah awal
mencegah tindakan aborsi meskipun ia dilakukan atas indikasi medis akibat
perkosaan karena seyogyanya, dalam kejahatan kekerasan seksual, tidak bisa
dilakukan upaya perdamaian secara restorative justice karena akibat dari
kekerasan seksual telah merugikan korban secara abstrak dan sifatnya yang
immaterial sehingga kehamilan merupakan akibat yang paling fatal bisa terjadi
pada korban. Meski korban diberikan restitusi, kompensasi, atau ganti rugi

269
lainnya yang bersifat materiil sekalipun tidak akan mengembalikan keadaan
korban seperti semula.
Perlindungan hukum bagi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan termasuk korban perkosaan harus didukung dengan partisipasi oleh semua
elemen Negara baik dari aparat penegak hukum, ahli medis, tokoh agama, keluarga
maupun masyarakat sekitar. Jika korban perkosaan memilih untuk tidak melakukan aborsi
pada kehamilannya dan siap untuk memelihara janin yang ia kandung, maka semua pihak
tersebut harus bekerjasama dalam memberi perlindungan hukum kepada korban
sebagaimana yang telah ditetapkan peraturan perundang-undangaan Negara karena di
dalam Konstitusi dan hukum positif Indonesia, setiap manusia dijamin hak asasi nya,
termasuk di dalamnya hak hidup yang merupakan hak dasar atau pokok yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa, serta hak-hak dasar lain yang mengikutinya.
Oleh yang demikian, dengan berlandaskan pada Pancasila dengan Sila I, Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai sila utama, maka Pancasila sebagai pegangan dan pandangan
hidup serta sebagai landasan ideology pembentukan peraturan perundang-undangan
Negara, kebijakan aborsi di Indonesia harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang
ada dalam setiap agama di Indonesia. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, baik agama
Islam, Kristen Protestan atau Katolik, Hindu, maupun Buddha semuanya menghormati
kehidupan sejak terjadinya pembuahan sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan
kepada umatnya. Menurut ketentuan agama-agama tersebut, tindakan aborsi hanya dapat
dilaksanakan jika terdapat kedaruratan indikasi medis yang membahayakan nyawa ibu
dan/atau janin, dimana aborsi adalah satu-satunya jalan yang bisa diambil dalam upaya
penyelamatan yang lebih berpotensi untuk hidup.
Indonesia sebagai Negara hukum yang ber-Pancasila tidak boleh membuat kebijakan
atau melaksanakan aborsi dengan semena-mena tanpa mempertimbangkan ketentuan
agama. Oleh karenanya, dalam hal kebijakan aborsi sebagai upaya perindungan hukum
represif, Negara juga harus melakukan perlindungan hukum secara preventif agar tindakan
aborsi dapat dicegah terutama aborsi bagi korban perkosaan yang mengalami trauma
psikologis yang berat. Tindakan preventif dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai
Pancasila sedini mungkin, contohnya secara umum menetapkan hubungan seksual di luar
nikah sebagai suatu tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum.

270
Nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan pada anak-anak Indonesia sejak dibangku
sekolah. Penghayatan dan pengamalan Pancasila wajib dilaksanakan dalam setiap kegiatan
kehidupan. Contohnya, dewasa ini melakukan hubungan seksual pranikah menjadi trend
remaja saat ini yang sedang menjalin hubungan cinta, mereka secara spontan melakukan
hal itu tanpa memikirkan akibat dari perbuatan mereka yang mengakibatkan kehamilan
dari pihak perempuannya. Menyadari jika kehamilan itu akan mengganggu aktivitas
pendidikan mereka, pada akhirnya timbul dorongan atau motif dari remaja untuk
melakukan tindakan aborsi (Sri Wahyuningsih, 2014:95)
Oleh yang demikian, penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya perlindungan
hukum secara preventif harus dilakukan sedini mungkin sebagai langkah awal mencegah
tindakan aborsi meskipun ia dilakukan atas indikasi medis akibat perkosaan karena
seyogyanya, dalam kejahatan kekerasan seksual, tidak bisa dilakukan upaya perdamaian
secara restorative justice karena akibat dari kekerasan seksual telah merugikan korban
secara abstrak dan sifatnya yang immaterial sehingga kehamilan merupakan akibat yang
paling fatal bisa terjadi pada korban. Meski korban diberikan restitusi, kompensasi, atau
ganti rugi lainnya yang bersifat materiil sekalipun tidak akan mengembalikan keadaan
korban seperti semula.

● B. Aborsi atas Kehamilan Akibat Pemerkosaan
Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa
mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Hal ini senada dengan hasil

271
penelitian dari Abar & Subardjono, yang mengatakan

272
273
274
C. LEGALISASI ABORSI KORBAN PERKOSAAN (Perspektif Hukum Indonesia,
HAM dan Hukum Islam

275
D. Aborsi dalam Perspektif Islam

Hak asasi manusia (HAM) mempunyai hubungan dengan dimensi hukum, artinya di dalam hak itu
seharusnya ada ketentuan hukum yang mengaturnya, termasuk dalam hukum Islam. Sebab di dalam hak
yang melekat pada diri seseorang itu menyangkut hal yang mendasar yang tidak boleh diabaikan oleh
siapapun, apalagi jika oleh norma hukum Islam (syariah) sudah digariskan. Dengan ketentuan hukum ini,
kelangsungan hubungan antar setiap orang di masyarakat bisa dijamin atau ada keseimbangan,
bilamana manusia mengikuti atau menaatinya.[17]

Pemahaman mendasar yang diterima kalangan pembelajar, diantaranya bahwa manusia merasa bisa
hidup tentram dan lebih terjamin kelangsungan hidupnya di tengah masyarakat jika ada norma-norma
yang mengatur atau melindunginya. Salah satu norma yang mengatur kehidupan manusia ini adalah
hukum Islam (syariah).

Banyak orang yang mengatakan, bahwa Islam tidak mengenal HAM.

Padahal, hak asasi manusia dalam Islam telah dibicarakan sejak ratusan abad yang lalu. Dalam agama
Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah sebagai way of life yang berarti
pandangan hidup. Islam menurut para penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala
aspek kehidupan manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia, Islam pun
mengatur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang berarti agama
rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial sekalipun Islam pun mengatur mengenai
konsep kaum mustadhafin yang harus dibela.[18]

Al-Qur’an sebagi kitab suci umat Islam juga didalamnya terdapat pengakuan–pengakuan terhadap hak
asasi manusia. Seperti halnya hak atas hidup, dan saling menghargai hidup manusia. Islam menegaskan
bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh seluruh umat manusia, sesuai
dengan firman Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi: “Oleh karena itu
kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memlihara
kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keternagan-keterangan

276
yang jelas, kemudian banyak diantar amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam
berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS. al-Maidah; 32).

Ketentuan hukum tersebut bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia
seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia
seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang
berarti juga membunuh keturunannya.[19]

Kehidupan merupakan kemuliaan dalam agama Islam, jiwa satu sama dengan jiwa seluruh manusia.
Islam juga memuliakan manusia baik ia dalam kondisi hidup ataupun mati, maka tidak dibolehkan
memotong-motong badan manusia meskipun mayit sekalipun. Dalam rangka menjamin hak hidup
manusia, Islam mengharamkan pembunuhan kecuali terhadap orang-orang yang tertentu yang telah
diatur oleh agama, menghalalkan makanan haram dalam kondisi keterpaksaan dan darurat, dimana
tidak ada makanan lain untuk menyambung hidup kecuali makanan yang haram. Dalam rangka
menjamin hak keselamatan badan, agama Islam melarang setiap muslim untuk menyakiti diri sendiri,
memerintahkan untuk berobat ketika sakit, berjalan di bumi Allah untuk mencari rizki. Dalam rangka
menjamin hak keselamatan akal, Islam mengharamkan setiap minuman yang memabukkan, dan
memerintahkan untuk belajar dan membaca dengan tanpa batasan maksimal usia.[20]

Sebagai contoh kasus, dalam masalah legalisasi aborsi misalnya juga demikian, salah satu yang
dibutuhkan oleh masyarakat adalah suatu jaminan kepastian norma-norma yang mengaturnya baik
dalam norma hukum maupun norma agama. Di dalam norma agama (syariah) ini terdapat rumusan
ketentuan yang mengikat dan menentukan suatu jenis perbuatan seseorang yang boleh dilakukan atau
tidak boleh dilakukan.

Legalisasi aborsi tersebut tergolong sebagai masalah kontemporer di tengah masyarakat, sehingga logis
di kalangan ahli hukum dan ahli agama masih memperdebatkannya, khususnya dari aspek kemanfaatan
dan kerugiannya dalam ranah syariat (hukum Islam). Di samping problem hukum ini, sebagian anggota
masyarakat, khususnya yang sedang mengalami masalah, juga seringkali berdalih bahwa aborsi sudah
menjadi salah satu kebutuhan manusia atau sekelompok orang, yang salah satu kebutuhan ini
berhubungan dengan hak hidup atau hak keberlanjutan hidup. Jangankan seorang perempuan yang
sedang hamil akibat perkosaan, yang tidak hamil karena tidak menjadi korban perkosaan saja, mencoba
mencari pembenaran untuk melakukan aborsi.

Dalam ranah agama, seharusnya cara-cara memenuhi kepentingan manusia haruslah berpijak kepada
syariah. Syariah Islam ini merupakan rule of game yang menentukan aktifitas manusia, termasuk
aktifitas melindungi hak hidup atau menjaga keberlanjutan hidup manusia lainnya. Dalam kasus aborsi
pun demikian, kepentingan agama (Allah) harus dikedepankan lebih dulu, khususnya tujuan kepentingan
agama yang mengatur perbuatan yang diperbolehkan dan tidak.
277
Menurut Abu Ishaq al-Syatibi, ada lima tujuan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan al-maqasid
al-khamsah atau al-maqasid al-syari’ah, yakni memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal.
memelihara keturunan, dan memelihara harta.[21] Diantara kelima tujuan ini, tujuan memelihara jiwa
(hifdz-annafs) merupakan tujuan yang berorientasi pada pengakuan terhadap sakralnya dan
fundamentalnya hak hidup. Tujuans ini secara tidak langsung merupakan penolakan terhadap legalisasi
atau segala bentuk pengesahan pola dan cara-cara penghilangan nyawa manusia, termasuk hak tumbuh
berkembangny janin dari ibu (perempuan) yang menjadi korban perkosaan.

Janin, meskipun belum menjadi manusia, adalah bibit yang menentukan keberlnjutan generasi (umat
manusia), sehingga eksistensinya membutuhkan perlindungan. Eksistensinya juga mempunyai
persamaan hak, keadilan, tolong-menolong, dan persamaan di depan hukum adalah prinsip-prinsip
kunci yang sangat diperhatikan di dalam syariah. Dalam sejarah peradaban Islam, prinsip-prinsip ini
dipegang oleh umat Islam sebagai cara hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[22] Janin
merupakan bagian dari amanat Allah SWT yang dipercayakan kepada setiap keluarga (suami-istri) untuk
menjaga atau melindunginya dari berbagai bentuk bahaya darimanapun sumber bahaya itu.[23]

Pedoman tersebut secara spesifik telah menentukan, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan manusia
itu haruslah ada tujuannya, yakni melindungi hak hidup dan melindungi agama. Begitu pula halnya
dengan legalisasi aborsi, jika yang dilegalisasi terbatas pada tujuan demi menyelamatkan nyawa ibu yang
terancam kehilngan hak hidup dan keberlanjutan hidupnya akibat menjadi korban perkosaan, maka
legalisasinya justru memberikan perlindungan HAM atau menghormati martabat kemanusiaan dan
keadilan ibunya.

Meskipun begitu, dari kelima tujuan hukum Islam yang salah satunya ditujukan untuk memelihara jiwa
manusia adalah dapat diajukan sebagai wujud perhatian hukum Islam terhadap nyawa manusia.
Memelihara jiwa manusia berarti melindungi hak hidupnya, baik janin maupun ibunya. Sedangkan
melindungi hak hidup adalah kewajiban setiap umat manusia, seperti menempuh cara-cara medis atau
yang dibenarkan oleh hukum Islam.

Selain itu, dalam ajaran Islam, setiap manusia dilarang menjerumuskan dirinya dalam kehancuran dan
sebaliknya diwajibkan menjaga atau melindungi dirinya dari bahaya atau penyakit yang membahayakan
atau dan mengancam nyawanya. Kalau dari penyakit saja, syariah Islam demikian ketat memerintahkan
manusia untuk mencari obatnya demi melindungi kesehatan dan nyawanya, apalagi sampai pada soal
aborsi, sehingga logis jika di kalangan mayoritas ulama melarang keras perempuan melakukan aborsi
yang kondisi janinnya paska peniupan roh, meskipun diperkirakan janin tersebut potensial
membahayakan keselamatan ibu yang mengandungnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar.“ (Q.S. Al Israa’: 33)

278
E. ABORSI BAGI KORBAN PEMERKOSAAN DALAM PERSPEKTIF ETIKA PROFESI KEDOKTERAN,
HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Aborsi adalah masalah klasik dalam dunia kesehatan yang selalu menimbulkan perdebatan
sepanjang zaman. Dari segi istilah aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum janin itu
dapat tumbuh diluar tubuh ibunya. Aborsi dibedakan menjadi dua yaitu aborsi spontan dan
aborsi buatan. Aborsi buatan dibagi lagi berdasarkan alasannya, yaitu aborsi kriminalis dan
aborsi medisinalis. Selama ini aborsi pada kasus korban pemerkosaan dianggap sebagai
tindak kejahatan. Namun dengan berlakunya UU No. 36 Thn. 2009 tentang Kesehatan,
aborsi bagi korban pemerkosaan telah dilegalisasi. Kembali masalah ini menjadi kontroversi
dan menimbulkan pro dan kontra pendapat dalam menyikapinya. Tulisan ini akan
membahas tentang aborsi dalam berbagai perspektif yaitu etika profesi kedokteran, hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dan aborsi bagi korban
pemerkosaan memang bagai sembilu bermata dua. Tenaga kesehatan yang dihadapkan
pada situasi tersebut akan mengalami dilema. Melakukan aborsi akan dihukum, tidak
melakukan aborsi maka jiwa sang ibu hamil yang jadi taruhannya. Dengan memperhatikan
bahwa pemerkosaan dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban, maka aborsi
dilegalkan dengan memperhatikan pasal 75 ayat (2) huruf b UU No. 36 Tahun 2009 dan
harus dilakukan oleh dokter professional sesuai dengan standar profesi serta
memperhatikan ketentuan norma-norma dalam agama. Dalam tulisan ini akan dibahas
tentang aborsi dalam perspektif etika profesi kedokteran, hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia.

Abortion is a classic problem in the world of health that has always caused debate
throughout the ages. In terms of the term abortion means the termination of pregnancy
before the fetus can grow outside the mother’s body. Abortion can be divided into two,
namely spontaneous abortion and artificial abortion. Artificial abortion subdivided based on
reason, namely abortion and abortion medisinalis criminalist. During this abortion in cases
of rape victims are considered as a crime. But with the enactment of Law no. 36 years old.
2009 on health, abortion has been legalized for rape victims. Back problems are a matter of
controversy, and raises the pros and cons of opinion in react. This paper will discuss about
abortion in a variety of perspectives of professional ethics of medicine, Islamic laws and
regulations inIndonesia

And abortion for rape victims is like a double-edged knife. Health workers who are faced
with these situations will have a dilemma. Abortion will be punished, not doing abortion is
the soul of the pregnant woman is at stake. Noting that rape can cause psychological
trauma for the victim, then legalized abortion with respect to Article 75 paragraph (2) letter
279
b Law No.36 of 2009 and should be done by a professional doctor in accordance with
professional standards and observe the provisions of norms in religion. In this paper will
discuss about abortion in the perspective of professional ethics of medicine, Islamic law and
legislation in the positive law ofIndonesia.

Analisis Aborsi Bagi Korban Perkosaan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Penulisan hukum ini bertujuan untuk menelisik latar belakang pemikiran


pengecualian larangan aborsi terhadap korban perkosaan dan mengkaji pengecualian larangan
aborsi tersebut dikaitkan dengan hak untuk hidup pada janin dalam kandungan. Dalam
penulisan hukum ini, penulis mengangkat 2 (dua) permasalahan utama yaitu mengenai latar
belakang pemikiran adanya pengecualian larangan aborsi bagi korban perkosaan dan
permasalahan kedua yaitu pengecualian larangan aborsi menurut perspektif hak asasi
manusia. Penulisan hukum ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, namun dalam hal
ini penulis menggunakan data primer berupa keterangan dari narasumber sebagai pendukung
data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis oleh
penulis dengan menggunakan metode kualitatif dan dijabarkan dengan menggunakan metode
deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa latar belakang dari adanya pengecualian larangan aborsi terhadap korban
perkosaan dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran terhadap masa depan anak dari korban
perkosaan tersebut di masa mendatang, melindungi perempuan korban perkosaan agar tidak
lebih menderita akibat kehamilan yang dialaminya, dan adanya pengaruh dari Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005. Selanjutnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa
pengecualian larangan aborsi terhadap korban perkosaan bertentangan dengan hak untuk
hidup terhadap janin, namun juga merupakan hak reproduksi perempuan. Berkaitan dengan
hak asasi manusia, pengecualian larangan tersebut bukan merupakan pelanggaran hak asasi
manusia yang karena pengecualian larangan aborsi tersebut tidak bertentangan dengan
hukum yang merupakan salah satu syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai
pelanggaran hak asasi manusia menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.

280
This legal research aims to determine the mind background of the exception of prohibition
on abortion for the rape victims and examine that exception based on the right of life of fetus in the
womb. In this legal research, the author raises two main issues. The mind background of the
exception of prohibition on abortion for the rape victims is the first ones, and then the exception of
prohibition on abortion for the rape victims based on human rights perspective is the second ones.
The form of this legal research is normative legal research, but in this case the author uses the
primary data based on the interview from the informants to support the data which get from the
literatures. Furthermore, all of the data are analyzed by the author using the qualitative method and
displayed using descriptive method. Based on the result of research by the author, it can be
concluded that the mind background of the exception of prohibition on abortion for the rape victims
caused by there are any anxieties toward the child who was born from the rape victims in the future,
to protect the rape victims for there are no more sufferings from the pregnancy was caused by rape
crime, and there is an influence from Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005.
Furthermore, it can be concluded that the exception of prohibition on abortion for the rape victims is
in contradiction with the right of life of fetus in the womb, but in the other case abortion is belonging
to the right of reproductive rights for women. The exception of prohibition on abortion for the rape
victims not included to human rights violation because of it is not in contradiction with the norm or
the living law which is the one of the condition an act can be classified to the human rights violation
based on Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

F. Simpulan
Kebijakan aborsi berfungsi untuk menjaga kepentingan umum, dimana negara
memberikan perlindungan dan jaminan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.

281
Kepentingan ini dibuktikan tidak hanya dalam indikasi untuk perihal aborsi, tapi adanya
kebijakan tentang di mana, bagaimana, dan oleh siapa aborsi dapat dilakukan untuk
memastikan keamanan dan praktik aborsi yang efektif. Hukum aborsi dalam hal ini
memberlakukan dan mengatur aborsi sebagai intervensi perawatan kesehatan, di mana
kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan merupakan langkah-langkah legitimasi hukum.
Syariah Islam menghargai upaya manusia dalammelindungi nyawa atau
keberlanjutan hidupnya. Ketika masih berstatus janin dalam kandungan seorang ibu
sekalipun, baik janin ini karena proses reproduksi nomal maupun karena menjadi korban
perkosaan, opsi aborsi tetap menjadi opsi terlarang, bilamana tdak ada alasan yang
membenarkannya. Alasan yang membenarkan ini juga sejalan dengan norma yang
terkandung dalam hukum positip, yang menyebut kedaruratan sebagai kondisi yang
membolehkan aborsi. Meskikpun legalisasi “bersyarat” ini diperbolehkan, tetapi dalam
kajian hak asasi manusia, tetap dinilai sebagai persoalan yang menimbulkan pro dan
kontra. Di satu sisi, legalisasi dinilai sebagai perbuatan melanggar hak hidup janin,
namun di sisi lain, merupakan hak ibu, yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun,
termasuk oleh janin
. Peraturan hukum pidana di Indonesia yang mengatur pengguguran kandungan
korban pemerkosaan adalah KUHPidana yang menjelaskan bahwa segala macam
pengguguran kandungan dilarang, dengan tanpa pengecualian. Sedangkan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah pengguguran kandungan
diatur dalam pasal 75. Menurut Undang-undang ini pengguguran kandungan dapat
dilakukan apabila ada indikasi medis, Pengguguran kandungan pada kasus korban
pemerkosaan dianggap sebagai tindak pidana. Namun pengguguran kandungan korban
permerkosaan telah dilegalkan. Dengan mengacu pada pasal 75

● Saran
1. Negara harus menjamin ketersediaan aturan yang jelas, tegas dan predictable, dan
menjadi sebuah keharusan (moral) yang terkait dengan kepastian hukum secara formal.
2. . Perlunya pengawasan yang intensif kepada klinik-klinik maupun rumah-sakit-rumah
sakit terutama yang khusus menangani persalinan ataupun pelayanan kandungan serta

282
praktek-praktek bidan agar tempat-tempat tersebut tidak dijadikan lokasi untuk kegiatan
aborsi, karena hal seperti ini sudah pernah bahkan sering terjadi.
3. Legal certainty selalu harus dibaca sebagai kejernihan aturan, predictable, dijamin
kontinuitasnya, dan harus bisa diterima atau dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid dan M.Irfan, Perlindungan Terhadap Korban kekerasan Seksual, Rafika
Aditama. Bandung. 2001, hlm.25. Adami Chazawi,
Tindak Pidana Mengenai

Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

283
Ahmad Sofian, Perlindungan Anak di Indonesia Dilema & Solusinya, Sofmedia, Meda,
2012, hlm.92.

Afriadin, jurnal ilmiah tinjauan yuridis tentang tindak pidana perkosaan yang disertai
dengan penganiayaan, Universitas Mataram, 2013, hlm.1

Berita dalam Radar Madura Jawa Pos, 1 Agustus 2015 Pelaku Aborsi Mahasiswi
gugurkan bayi dibantu Tunangannya,

diakses dari
radarmadura.co.id/2015/08/pelaku- aborsi-mahasiswi-gugutkan-bayi-dibantu-
tunangan tanggal 1 September 2015 Dhian Ertanto, Kajian Yuridis Pengguguran
Kandungan (Abortus) dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia terkait
dengan perlindungan Hak-hak Korban Perkosaan, Skirpis, FH.Unibraw, Malang,
2013, hlm.4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, ,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai


Pustaka, Jakarta,1994., hlm.766.

Ekandari Sulistyaningsih, Fahturochman, Juni 2002, Dampak Sosial Psikologi Korban


Perkosaan (online), Hal 1, Buletin Psikologi,
Universitas Gajah
mada,http:// fatur.staff.ugm.ac.id/file/JUR
Diakses Tanggal 18Agustus 2015
Ekandari Sulistyaningsih, Fahturochman, Juni 2002,
Dampak Sosial Psikologi Korban Perkosaan (online), Hal 1,
Buletin Psikologi, Universitas Gajah mada.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Surabaya, 2007
Homby, A.S & Pamwell,E,C, Kamus Inggris-Indonesia, Bendatar antar Asia, Jakarta,
1992.

284
Legalisasi Aborsi, Kesehatan Reproduksi, dan Upaya Edukasi, diakses dari
https://penarevolusi.wordpress.com/2014/
09/16/legalisasi-aborsi-kesehatan-reproduksi-dan-upaya-edukasi/.
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Refika Aditama,
Bandung, 2012, hlm. 67.
Materi Kuliah Hukum Internasional, Presentasi Power Point oleh Pricillia Esther,
Slide 1
61 Peranan POLRI dalam penyidikan tindak Lidana
Aborsi dari Perspektif Sosiologi Hukum, hlm.9.
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Maldin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan, Refika
Adhitama, Bandung, 2012, hlm.15.
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi, Cetakan Pertama, Alumni,
Bandung, 2006.
Ningrum Wahyuni, Abortus Dalam Kaitannya Dengan Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal, Artikel Ilmiah.
Peranan POLRI dalam penyidikan tindak Lidana Aborsi dari Perspektif Sosiologi
Hukum, hlm.9.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 001/PUU-VIII/2010 tentang Batasan Umur
Anak KUHPidana
Rahman Amin, Kebijakan Hukum Tindak Pidana Perkosaan di Indonesia, 2015, diakses
dari
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/20 15/01/kebijakan-hukum-pidana-tindak-
pidana.html, tanggal 7 September 2915 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politea,
1994, hlm.209.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986),
hal. 50-51.
Soedjono Dirdjosisworo, Bunga Rampai Kriminologi, Armico, Bandung, 1985, hlm.11.
Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005)

285
Suryono Ekotama, Harun, Widiartana, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan
Prespektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, Yogyakarta, Univ. Atmajaya
Yogyakarta
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung

286
287
Achadiat Charisdiono. 2007. Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran. Jakarta:
Buku Kedokteran.

Hamdan Zoelva. 2011. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar


Grafika.

Marge Berer. June 2017. “Abortion Law and Policy Around the World: In
Search of Decriminalization”. Health and Human Rights Journal. Volume 19
Number 1. UK: London.

Nurhadi. 2007. Pengantar Studi Konstitusi. Bandung: Nusa Media.


(diterjemahka dari buku A.V. Dicey. Introduction to The Study of The Constitution.)

Peter Mahmud Marzuki, 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada


Media.

Rahayu. 2012. Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). Semarang: Universitas


Diponegoro.

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani.2016. Penerapan Teori Negara Hukum


Pada Penelitian Dan Disertasi. Ctk. Ketiga. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sally Sheldon. Summer 2016. “The Decriminalisation of Abortion: An


Argument of Modernisation”. Oxford Journal of Legal Studies. Volume 36, Number
2. London: Oxford University Press.

Sri Wahyuningsih. Desember 2014. “Motif Pelaku Aborsi di Kalangan Remaja


dan Solusi Pencegahannya”. Jurnal Paralella. Volume 1, Nomor 2. Hlm. 89-167.
Madura: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2014. Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.

Abdulkadir Muhammad, (2004). Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, (2001). Perlindungan terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Refika Aditama, Bandung.

Bambang Sunggono, (2005). Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bahder Johan Nasution, (2005). Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.

Etty Indriati, (2005). Menulis Karya Ilmiah, Gramedia, Jakarta.

288
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, (1994). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta

Pitono Soeparto, dkk (ed.), (2001). Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Komite Etik
Rumah Sakit, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

Wila Chandrawila Supriadi, (2001). Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung.

Hand out kuliah:

Indrati Rini, (2006). Metodologi Penelitian Hukum, Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Undang-Undang:

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Jurnal/Seminar:

Yunahar Ilyas, (2009). Aborsi terhadap Perempuan Korban Perkosaan dalam Pandangan
Hukum Islam, Seminar Nasional, Fakutas Hukum dan Fakultas Kedokteran, Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.

Kata Kunci : Abortion, Rape Crime, Human Rights

289

Anda mungkin juga menyukai