Anda di halaman 1dari 18

BBDM MODUL 7.

2
SKENARIO 2

Disusun oleh :
Gempita Sekar Permata (22010218130048)

Dosen Pembimbing :
drg. Avina Anin Nasia, M.Sc

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
Lembar Pengesahan Penilaian Makalah Individu
BBDM : Skenario 2 Modul 7.2
Nama : Gempita Sekar Permata
NIM : 22010218130048

Kategori Penilaian Rentang Nilai Nilai

Kualitas Penulisan 0-20

Ketepatan Argumentasi Skenario 0-40

Kualitas Pustaka 0-20

Ketepatan Format
1. PDF 0-5
2. Jumlah Kata ± 2000 0-5
(tidak termasuk Referensi)
3. Penulisan Pustaka format Springer 0-5
(Author-Year)
4. Pengumpulan tepat waktu 0-5
TOTAL

Makalah telah dikumpulkan Makalah telah diterima


pada tanggal : 20 Oktober 2021 pada tanggal:

Mahasiswa Pengampu

Nama : Gempita Sekar Permata Nama : drg. Avina Anin Nasia, M.Sc
NIM : 22010218130048 NIP : H.7.199004242018112001
Kasus BBDM II

Modul 7.2 PSKG FK Undip

“Aku Takut Di Cabut”

Deskripsi Kasus

Pasien pria 35 tahun datang ke poli gigi RSND dengan keluhan giginya yang
berlubang. Pasien menjelaskan giginya pernah bengkak dan sakit saat digunakan makan,
pasien ingin gigi tersebut di ambil. Hasil pemeriksaan IO gigi 47,46 dan 45 gangren radix.
Dari hasil pemeriksaan dokter memutuskan untuk melakukan pencabutan pada gigi tersebut.
Dokter meminta izin ke pada pasien dan memberikan penjelasan terkait pencabutan dan
komplikasi.

Setelah melakukan anastesi kepada pasien, pasien mengeluhkan pusing dan


berkunang-kunang. Beberapa saat setelah itu pasien kehilangan kesadaran, sebagai respon
cepat dokter segera melakukan tindakan pertolongan pertama kepada pasien tersebut dengan
menempatkan pasien diposisi Trendelenburg.

Instruksi Penugasan

Tugas laporan mandiri dikumpulkan H-1 sebelum dimulainya diskusi kedua. Tugas laporan
kelompok dikumpulkan H+7 setelah selesainya diskusi kedua.

Referensi

1. Pediar J. Frame J.W., 2007. Oral and Maxilofacial Surgery : An Objective-based


Textbook. 2-nd Ed. Churchill-Livingstone. Elsevier
2. Pedersen, G.W., dkk.,2012, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.
3. Peterson, L.J., Ellis, E., Hupp, J.R., dan Tucker, M.R., 2003, Contemporary Oral and
Maxillofacial Surgery, Mosby, St. Louis.
4. Fragiskos. 2007. Oral Surgery. Springer, Germany.
5. Kuriakose Moni Abraham. 2017. Contemporary Oral Oncology. Springer. Switzerland.
6. Neville. 2015. Oral and Maxillofacial Pathology. Elsevier. London.
TERMINOLOGI
1. Gangren radix : Suatu keadaan dimana gigi sudah tinggal akarnya atau mahkota gigi
sudah hilang sampai batas servikal. Keadaan gigi dimana jaringan pulpa sudah mati
sebagai sisitem pertahanan pulpa sudah tidak dapat menahan rangsangan sehingga
jumlah sel pulpa yang rusak menjadi semakin banyak dan menempati sebagian besar
ruang pulpa. Prosesnya diawali dari karies.
2. Posisi trendelenburg : Posisi berbaring pada tempat yang datar, dimana posisi kepala
lebih rendah dari pada kaki pasien, lengan pasien diposisikan lurus di samping tubuh.
Tujuannya untuk meningkatkan aliran darah balik vena, memperbaiki curah jantung,
dan menaikan tekanan darah. Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak,
digunakan untuk indikasi pasien yang syok.
3. Pertolongan pertama : Pemberian pertolongan segera kepada penderita
sakit/cedera/kecelakaan yang membutuhkan penanganan medis dasar. Bila
pertolongan pertama dilakukan dengan benar dan baik bisa mengurangi kecacatan
atau penderitaan bagi korban, dan menyelamatkan korban dari kematian. Bisa
memberikan rasa nyaman sehingga menunjang proses penyembuhan.
4. Komplikasi : Sebuah perubahan yang tidak diinginkan dari sebuah penyakit, kondisi
kesehatan, atau terapi. Komplikasi bisa disebabkan karena efek dari konsumsi obat
kimia yang terlalu banyak, dari tindakan medis, atau karena penyakit tertentu.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja klasifikasi dari derajat syok?
2. Apa saja efek samping dari anastesi?
3. Apa hal yang perlu diperhatikan oleh dental team untuk mengantisipasi kejadian
emergensi?
4. Apa yang dilakukan selanjutnya pada penatalaksanaan dari kasus di atas selain
memposisikan trendelenburg?
5. Faktor predisposisi apa saja yang menyebabkan terjadinya kejadian pada kasus?
6. Apa saja pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada kejadian emergensi di
praktek gigi?
7. Apa saja kemungkinan komplikasi dari pencabutan?
HIPOTESIS
1. Syok ringan : penurunan perfusi hanya pada jaringan/organ non vital (kulit,
lemak,otot rangka, dan tulang), ditandai dengan kesadaran tidak terganggu, produksi
urin masih normal, dan asidosis metabolic tidak ada atau ringan.
Syok sedang : terjadi penurunan perfusi ke organ vital selain jantung dan otak (hati,
usus, ginjal). Biasanya ditandai dengan oliguria dan adanya asidosis metabolic,
kesadaran relative masih baik
Syok berat : perfusi ke jantung dan otak. Ditandai dengan terjadinya oliguria dan
asidosis metabolic sudah berat, gangguan kesadaran, ada tanda-tanda hipoksia jantung
seperti curah jantung menurun.
2. Efek samping anastesi
Anastesi local : menyebabkan rasa nyeri, ruam, pendarahan ringan di area suntukan,
sakit kepala, pusing, kelelahan, mati rasa pada daerah yang disuntik, dan penglihatan
kabur. Hematoma atau lebam (jarum terkena pembuluh darah), vesikel atau lepuhan
kecil pada bibir bawah (berkembang sehari setelah pembiusan local di RB), konvulsi
(kejang).
3. Hal yang perlu diperhatikan :
- Mengupdate teknik dan obat-obat emergensi secara berkala
- Menyediakan perlengkapan emergensi lengkap
- Melakukan pengecekan alat secara berkala dan mengganti yang rusak
- Melakukan pengecekan obat-obatan, tabung oksigen, dan masa kadaluarsa obat
- Melakukan pencatatan mengenai kapan terjadinya kejadian emergensi, durasi,
pemeriksaan fisik pasien termasuk tanda vital, obat-obat yang digunakan dan cara
pemberiannya.
Harus mempertimbangkan akses yang mudah dan cepat menuju RS karena harus
mempertimbangkan waktu dari kejadian dengan RS tidak lebih dari 10 menit. Dokter
harus mengikuti kursus tentang kegawatdaruratan seperti basic life support
4. Melonggarkan pakaian pasien, kepala dimiringkan dengan memperhatikan jalan
nafas, jika pasien sudah sadar dapat memberikan cairan yang mengandung glukosa,
jika sudah sadar pencabutan gigi dapat dilakukan, namun jika kesadaran tidak kembali
pertolongan pertama yang dilakukan yaitu memberikan oksigen dan pertolongan
medis lain.
5. Faktor psikogenik : faktor yang berhubungan dengan pikiran, konflik mental, dan
emosional seperti rasa takut, gelisah, stress, sakit yang tiba-tiba, melihat darah, atau
instrument bedah. Dapat dilihat jika pasien gugup, dokter dapat menenangkan dengan
menjelaskan secara detail agar kecemasan berkurang.
Faktor non psikogenik : tidak berasal dari pikiran yaitu dari keadaan atau lingkungan
yang tidak nyaman misalnya duduk tegak atau berdiri lama, kelelahan, kondisi fisik
yang buruk, kondisi lingkungan yang panas, sempit, dan laki-laki serta berusia 16-35
tahun.
6. Prinsip : memposisikan pasien terlentang, membuka jalan nafas, melihat atau
mengecek ada tidaknya pernafasan spontan, mempersiapkan tabung oksigen,
memonitor tanda-tanda vital, menyiapkan perawatan darurat selanjutnya.
Pendarahan : penekanan local (menekan pembuluh darah utama yang mengalirkan
darah ke area luka), komprs dingin (mengontrol perdarahan dan mengurangi
inflamasi), penjahitan, obat vasokonstriksi, atau injeksi epinefrin.
Sikap operator : harus tenang, tidak panic, berani, cermat, tepat, dan bekerja secara
sistematik.
Drg harus mengetahui keadaan emergensi dari pasien karena setiap pasien berbeda
dan harus mengetahui cara penanganan yang tepat, kejadian yang sering terjadi :
sinkop/fainting, intoksikasi obat anstesi local, intoksikasi vasokonstriksi, syok
anafilaktik, dan perdarahan.
Pemeriksaan ABC, pasien seperti dikasus diposisikan trendelenburg, pemberian
ammonia, full face mask, memanggil bantuan, hipoglikemi diberi air gula atau teh
manis, mengecek tanda vital pasien.
7. Komplikasi pencabutan :
Komplikasi inrtaoperatif : kegagalan saat pemberian anastesi, kegagalan pencabutan
gigi dengan tang atau elevator, perdarahan saat pencabutan, terjadi fraktur pada
mahkota gigi, proc. Alveolaris, cedera jaringan lunak.
Komplikasi segera setelah pencabutan: munculnya edema, perdarahan 12-24 jam
pertama sesudah pencabutan, reaksi terhadap obat ang diberikan.
Komplikasi jauh dari waktu pencabutan : alveolitis, dry socket, infeksi (perikoronitis
dan abses).
Infeksi akan menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, penanahan,
pembengkakan gusi atau wajah hingga mulut sukar membuka (trismus),
pembengkakan dapat terjadi di bawah rahang sehingga dapat menginfeksi kulit
(selulitis).
Dry socket : karena tekanan yang diberikan terlalu besar sehingga terjadi trauma.
Fraktur : bisa pada mahkota atau akar, bisa terjadi akar tertinggal di dalam socket atau
fraktur tulang.
Pergeseran fragmen gigi khususnya RA bisa masuk ke sinus maxilaris sehingga
memungkinkan komplikasi. Jika pasien merasa ada kejanggalan (perdarahan hidung,
keluar cairan) dilakukan foto rontgen, peresepan antibiotic spectrum luas.

PETA KONSEP

Terapi

Kegawatdaruratan
dental

Definsi, Macam-macam Penatalaksanaan


kegawatdaruratan dental (sesuai kasus)
(secara umum)

SASARAN BELAJAR
Mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menjelaskan :
1. Definisi dan macam-macam kegawatdaruratan dental (secara umum)
2. Penatalaksanaan (sesuai kasus)
3. Terapi yang dilakukan (spesifik sesuai kasus)
BELAJAR MANDIRI
1. Kegawatdaruratan Dental
Definisi :
Dental emergency adalah keadaan yang berpotensi mengancam jiwa dan
membutuhkan perawatan segera untuk menghentikan pendarahan jaringan yang
sedang berlangsung, mengurangi rasa sakit yang parah atau infeksi, termasuk
pendarahan yang tidak terkontrol, selulitis atau infeksi bakteri jaringan sehingga
menyebabkan bengkak di dalam mulut atau daerah mulut, dan trauma pada tulang
daerah wajah1.
Kegawatdaruratan medik di bidang kedokteran gigi adalah suatu kondisi yang
membutuhkan penanganan segera untuk menghindari konsekuensi yang dapat
membahayakan hidup pasien. Keadaan-keadaaenm emergency yang sering terjadi di
tempat praktek gigi antara lain vasovagal syncope, hemoglikemik, dan syok
anafilaktik.
Macam-macam :
a. Unconsciousness
1. Vasovagal Syncope3
Syncope adalah suatu istilah umum yang menggambarkan hilangnya
kesadaran seseorang yang terjadi tiba-tiba dan bersifat sementara. Dalam
praktik kedokteran gigi vasovagal syncope merupakan syncope yang sering
terjadi. Vasovagal syncope merupakan kegawatdaruratan medik yang ditandai
dengan penurunan atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba dan bersifat
sementara akibat tidak adekuatnya cerebral flow. Hal ini disebabkan karena
terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga
menimbulkan hipotensi. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya
vasovagal syncope dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: faktor psikogenik
meliputi rasa takut, tegang, stres emosional, rasa nyeri hebat yang terjadi
secara tiba- tiba dan tak terduga dan rasa takut melihat darah atau peralatan
kedokteran seperti jarum suntik. Faktor non-psikogenik meliputi posisi duduk
tegak, kondisi fisik yang jelek dan lingkungan yang panas, lembab dan padat.

Gejala Klinis :
1) Fase pre-syncope merupakan fase prodormal vasovagal syncope yang
diawali perasaan tidak nyaman, seakan mau pingsan dan mual, dan
didapatkan keringat dingin di seluruh tubuh. Apabila berlanjut dapat
muncul tanda-tanda dilatasi pupil, penderita menguap, hyperpnea
(kedalaman pernafasan yang meningkat) dan eksrimitas atas dan bawah
teraba dingin. Pada fase ini tekanan darah dan nadi turun pada titik dimana
belum terjadi kehilangan kesadaran.
2) Fase syncope ditandai dengan hilangnya kesadaran penderita dengan gejala-
gejala klinis berupa pernafasan pendek, dangkal dan tidak teratur,
bradikardi dan hipotensi berlanjut, nadi teraba lemah dan gerakan konvulsi
dan muscular twitching pada otot-otot lengan, tungkai dan wajah. Pada fase
ini penderita rentan mengalami obstruksi jalan nafas karena terjadinya
relaksasi otot otot akibat hilangnya kesadaran.
3) Fase post-syncope periode pemulihan dimana penderita kembali pada
kesadarannya, pada fase ini penderita data mengalami disorientasi, mual
dan berkeringat. Pada pemeriksaan klinis didapatkan denyut nadi mulai
meningkat dan terasa lebih kuat dan tekanan darah mulai naik.
2. Hipotensi Postural
Hipotensi postural, dikenal juga sebagai orthostatic hypotension,
merupakan kelainan sistem saraf otonom yang ditandai dengan terjadinya
kehilangan kesadaran sementara akibat seseorang berdiri yang ditandai dengan
penurunan tekanan darah sistolik 20mmHg dan tekanan diastolik 10mmHg
dalam waktu tiga menit berdiri dibandingkan dengan tekanan darah pada
posisi duduk atau telentang.
b. Respiratory Distress2
1. Airway Obstruction
Tertelannya benda asing dapat terjadi pada semua umur terutama anak-
anak. Kemungkinan tertelannya benda asing yang ada di rongga mulut
sangatlah besar saat menjalankan perawatan dental. Adapun benda asing yang
sering tertelan berupa gigi, material restorasi, instrumen, rubber dam
clamps,bahan cetakan dan crown.
2. Asma
Asma adalah penyakit inflamasi saluran nafas yang dapat menyerang
semua kelompok umur. Asma ditandai dengan serangan berulang sesak napas
dan mengngi, yang bervariasi setiap individunya dalam tingkat keparahan dan
frekuensi.
3. Hiperventilasi
Hiperventilasi (hyperventilation) merupakan keadaan gawat darurat
yang umum terjadi di praktik dokter gigi yang ditandai dengan keadaan napas
yang berlebihan akibat kenaikan frekuensi dan kedalaman respirasi,
kebanyakan disebabkan oleh kecemasan berlebihan yang mungkin disertai
dengan histeria atau serangan panik.
Hiperventilasi terjadi jika metabolisme tubuh terlampau tinggi
sehingga mendesak alveolus melakukan ventilasi secara berlebihan.

c. Altered Consciousness : Keadaan gangguan kesadaran merupakan manifestasi


klinis dari sejumlah kondisi penyakit sistemik2.

1. Hipoglikemik3
Gangguan kesadaran karena menurunnya konsentrasi glukosa dalam
darah di bawah nilai rata-rata.

Gejala Klinis :

Penderita gelisah dan mengeluh sakit kepala (karena terganggunya


fungsi otak akibat berkurangnya suplai glukosa dalam sel-sel otak), gemetar,
berkeringat dingin, palpitasi, dan merasa lapar (karena peningkatan produksi
hormon: glucagon, growth hormone, dan adrenalin untuk meningkatkan kadar
glukosa darah). Pada pemeriksaan klinis didapatkan: kesadaran terganggu
sampai menurun, wajah pucat, akral dingin dan basah, frekuensi nadi
meningkat, tetapi tekanan darah pada umumnya normal. Gejala-gejala klinis
pada hipoglikemia mirip dengan gejala-gejala pada vasovagal syncope, karena
itu perlu ditanyakan apakah penderita merasa lapar karena belum makan atau
puasa, dan pada penderita diabetes mellitus ditanyakan apakah penderita
meminum OAD nya tetapi lupa makan.

d. Seizure2
Kejang adalah suatu episode dimana terjadi disfungsi pada otak akibat terdapat
gangguan aktivitas listrik pada saraf di otak dengan tanda klinis berupa gangguan
motorik atau kejang, gangguan sensorik dan perubahan psikologis (tingkah
laku).Penanganan utama yang dapat dilakukan adalah mecegah penderita terluka
saat kejang berlangsung dan berikan terapi penunjang setelah kejang berhenti.
e. Alergi2
Reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal
mengalami cedera atau terluka akibat terpapar alergen. Alergen dapat berupa
partikel debu,serbuk tanaman, obat atau makanan yang bertindak sebagai antigen
untuk merangsang terjadinya respon kekebalan.
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Gejala yang sering timbul berupa
mata berair, mata terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang ekstrim bisa
terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang
sangat rendah yang menyebabkan syok, kondisi ini disebut sebagai syok
anafilaktik yang biasanya terjadi pada orang yang alergi terhadap obat-obatan
tertentu dengan segera menimbulkan gejala.
f. Chest Pain2
Umumnya penderita mengeluh dada terasa sesak, penuh dan berat. Angina
pectoris dan Myocardial infarction merupakan kasus yang paling sering dihadapin.
Riwayat medis pasien merupakan hal penting guna menghadapi kasus tersebut.
Pada kondisi apabila pasien pertama kali mengalami nyeri dada, maka dokter gigi
harus memperlakukan dia seolah-olah itu kasus infark miokard. Jika tidak maka
itu adalah situasi angina pektoris. Kualitas nyeri juga dapat menunjukkan apakah
pasien mengalami angina pektoris atau infark miokard. Pada angina pectoris nyeri
yang dirasakan signifikan tapi tidak parah sedangkan nyeri infark miokard akut
umumnya menyebar ke sisi kiri bahu tubuh-kiri, rahang kiri, lengan kiri.
g. Cardiac Arrest2
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak,
dapat terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung
atau tidak. Waktu kejadian tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat
begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2015).
h. Pendarahan4
Gangguan perdarahan merupakan keadaan perdarahan yang disebabkan oleh
kemampuan pembuluh darah, platelet dan faktor koagulasi pada sistem
hemostatis. Penderita mengalami waktu perdarahan yang panjang bahkan dapat
pula mengalami perdarahan yang terus menerus. Gangguan perdarahan
merupakan faktor resiko pada tindakan perawatan gigi dan mulut. Pasien dengan
penyakit jantung yang menggunakan obat pengencer darah seperti aspirin juga
memiliki potensi untuk terjadinya gangguan perdarahan.
i. Syok3,5
Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai keadaan terdapatya pengurangan
yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta
unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan sehingga timbul
cidera seluler yang mulamula reversible dan kemudian bila keadaan syok
berlangsung lama menjadi irreversible.
1. Syok Hipovolemik atau oligemik
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah,
diare, luka bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak
adekuat, seperti penurunan preload berat, direfleksikan pada penurunan
volume, dan tekanan end diastolic ventrikel kanan dan kiri. Perubahan ini yang
menyebabkan syok dengan menimbulkan isi sekuncup (stroke volume) dan
curah jantung yang tidak adekuat.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri
sistolik < 80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan
tekanan pengisian ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak
berdaya, pengeluaran urin kurang dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin dan
sianotik.
3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole,
sehingga secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan
berakhirnya curah jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru masif.
4. Syok Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan
penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer.
Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan respon hipersensitivitas tipe 1 yang
diperantarai oleh Ig E. Kondisi ini ditandai dengan curah jantung dan tekanan
arteri yang menurun hebat. Hipotensi akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah daat menyebabkan
kematian. Anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi terhadap
antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh tubuh, sel
darah putih kemudian memproduksi antibodi dalam hal ini adalah Ig E yang
bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang
masuk. Perlekatan antigen-antibodi merangsang pelepasan mediator seperti
histamin dan menyebabkan berbagai reaksi pada berbagai organ atau jaringan
Obat-obat yang sering menyebabkan reaksi ini terutama adalah penisilin atau
derivate PABA, Sefalosporin, Sulfanomid, Vankomisin, NSAID, bahan
kontras radiologi, immunoglobulin, vaksin, procaine, tetracaine, bahkan
berbagai makanan dan gigitan serangga.
Gejala Klinis :
Gejala yang ditimbulkan akibat pelepasan sejumlah besar histamine
like substance akan menyebabkan keluhan-keluhan penderita berupa dispnea,
demam, sakit kepala, gatal, rasa panas dalam lidah, nadi lemah dan cepat atau
tidak teraba sama sekali, nafas cepat dan dalam, kulit pucat dan dingin, lemah,
kehilangan kesadaran, tekanan darah sistolik menurun.

2. Penatalaksanaan sesuai kasus

Kasus skenario :

Pasien menjelaskan giginya pernah bengkak dan sakit saat digunakan makan,
pasien ingin gigi tersebut di ambil. Hasil pemeriksaan IO gigi 47,46 dan 45 gangren
radix. Dari hasil pemeriksaan dokter memutuskan untuk melakukan pencabutan pada
gigi tersebut. Dokter meminta izin ke pada pasien dan memberikan penjelasan terkait
pencabutan dan komplikasi.

Setelah melakukan anastesi kepada pasien. Pasien mengeluhkan pusing dan


berkunang-kunang. Beberapa saat setelah itu pasien kehilangan kesadaran.

Penatalaksanaan :
Syok Anfilaktik3
Apabila terlihat gejala-gejala awal terjadinya syok anafilaktik maka harus
dilakukan tindakan sesegera mungkin penanganan yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. Segera hentikan pemberian anastesi/obat-obat lain.
b. Periksa circulation, airway, breathing.

1. Circulation (fungsi sistem kardiovaskular)

Pemantauan sirkulasi merupakan penilaian terhadap fungsi sistem


kardiovaskular seseorang. Parameter yang dapat dilihat adalah teraba atau
tidaknya nadi berserta frekuensinya dan tekanan darah. Adanya detak jantung
ditentukan dengan palpasi dari arteri karotis pada daerah leher dengan cara
melakukan palpasi palpasi daerah kartilago tiroid dengan ke dua jari tangan
kemudian digeser ke arah lateral leher sampai pada cekungan dan musculus
sternocleidomastoideus. Pemeriksaan ini tidak boleh lebih dari 10 detik, jika
denyut tidak ada segera lakukan posisi syok (posisi Trendelenberg) dan
lakukan CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation).

2. Airway (jalan nafas)


Jalan nafas adalah struktur anatomi yang berawal dari nostril yang
merupakan bagian paling luar dari rongga hidung sampai dengan bronkioli
terminalis, yaitu bagian paling ujung dari saluran bronkus yang berhubungan
dengan alveoli paru. Menilai apakah airway terbuka, terhambat, atau tertutup
sangat penting dan harus dilakukan pertama kali.
Pada orang yang mengalami gangguan kesadaran maka perlu
diperhatikan secara seksama tentang keadaan airway-nya karena pada keadaan
tidak sadar dapat terjadi penurunan tonus otot-otot skeletal yang dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas. Adanya hambatan jalan nafas
dapat ditandai dengan adanya suara tambahan, misalnya snoring yang
disebabkan jatuhnya pangkal lidah ke posterior dan menutup orofaring atau
dapat juga disebabkan karena tertutupnya jalan nafas oleh saliva, darah atau
benda asing. Untuk mempertahankan jalan nafas pada penderita yang tidak
sadar dapat dilakukan beberapa tindakan yaitu, membersihkan rongga mulut
dari benda asing (misalnya denture), menghisap saliva yang terakumulasi di
orofaring dengan menggunakan suction atau dengan head tilt, chin lift
maneuver.
3. Breathing
Pada penderita yang sadar dapat dipastikan tidak ada masalah pada
breathing, sedangkan pada penderita tidak sadar perlu dilihat (look) apakah
ada pernafasan atau tidak dengan cara melihat gerakan naik turun dada.apakah
pernafasan. Dengarkan (listen) suara nafas dan rasakan (feel) hembusan nafas
penderita dengan mendekatkan telinga dan pipi operator pada nostril
penderita. Jadi kunci dari pemeriksaan breathing adalah look, listen, dan feel.
c. Cari bantuan, tim kegawatdaruratan apabila di rumah sakit.
d. Angkat leher penderita, kemudian ekstensikan kepala/dagu dan jaga aliran udara
agar bebas dari obsruksi baik anatomis maupun mekanis.
e. Posisikan penderita dengan posisi trendelenberg.

f. Ukur vital sign: tekanan darah, nadi, respiratory rate.

g. Injeksikan adrenalin pada mid-anterolateral aspek pada paha atau bisa juga pada
lengan penderita, 0,01 mg/kg dari 1:1000 (1mg/ml) solution, sebanyak 0,5 ml
secara intramuskular pada orang dewasa dan 0,3 ml pada anak-anak, catat waktu
pemberian adrenalin (ulangi setiap 5-15 menit) sampai gejala menghilang.
Tujuannya untuk menghilangkan bronkospasme dan menstabilkan tekanan darah.
Dapat diulang 2-3 kali apabila tidak ada perubahan pada kondisi penderita.

h. Ukur vital sign setelah pemberian adrenalin dan tetap pastikan jalan nafas aman.
Monitoring tekanan darah, pertahankan sistol >100 mmHg.

i. Jika arteri carotis tidak teraba maka segera lakukan resusitasi jantung paru (CPR).
j. Monitor secara berkala tekanan darah penderita, laju nafas, fungsi jantung.

k. Pasang infus dengan cairan isotonis seperti RL atau NaCl 0,9% pada penderita
dewasa sebanyak 10-20 ml/kgBB dalam 10-20 menit.

l. Injeksikan difenhidramin 1-2 mg/kgBB s/d 50 mg dosis tunggal IV (pelan 5-10


menit), dapat dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam, (maksimal 200mg/hari).

m. Apabila terjadi wheezing dilakukan injeksi aminophilin 4-6 mg/kgBB IV selama


20 menit, bila spasme bronkus menetap bisa dilanjut tiap 6 jam atau beri 0,2 – 1,2
mg/kg tiap jam secara IV.

n. Segera cari bantuan/telepon ambulans dan dokter spesialis THT (jika diperlukan
suatu intubasi/tracheostomy). Bawa penderita sesegera mungkin ke rumah sakit.
Syncope3
a. Posisikan penderita dengan posisi Trendelenberg atau baringkan penderita di
lantai/dental unit, hal ini penting untuk hiper-ekstensi kepala dan untuk menaikkan
ekstremitas bawah.

b. Lepaskan/longgarkan seluruh pakaian yang dapat mengganggu pernafasan.

c. Penderita disuruh menghirup bau wewangian/senyawa lain yang memiliki bau


yang tajam dan aman.

d. Bila perlu berikan oksigen dengan menggunakan face mask.

e. Jangan tinggalkan penderita yang pingsan sendirian.

f. Evaluasi penderita dengan memonitor kesadarannya secara berkala dengan


komunikasi verbal maupun non verbal dengan penderita.

g. Lakukan pemeriksaan tanda vital pada penderita dengan memonitor denyut nadi
dan tekanan darah.

3. Terapi sesuai kasus


Syok Anafilaktik
Pencegahan rekurensi terjadinya anafilaksis dilakukan dengan menghindari
paparan antigen penginduksi. Pasien wajib untuk membawa epinephrine auto-injector
sebagai upaya penanganan dini bila terjadi anafilaksis serta mengetahui bagaimana
cara menggunakannya6.
Syncope
Landasan awal manajemen non farmakologi pada pasien dengan sinkop
refleks adalah edukasi dan penekanan bahwa kondisi ini merupakan penyakit yang
tidak membahayakan. Secara umum, terapi awal menekankan edukasi pada
kewaspadaan dan menghindari pencetus yang mungkin (seperti lingkungan yang
ramai dan panas, deplesi volume), pengenalan awal terhadap gejala prodromal dan
melakukan manuver untuk mencegah episode (seperti posisi telentang, physical
counterpressure manoeuvres (PCM)). Penting untuk menghindari obat yang dapat
menurunkan tekanan darah (termasuk α bloker, diuretik dan alkohol7.
• Terapi ‘fisik’ non farmakologi muncul sebagai terapi terdepan dalam penanganan
sinkop refleks. Dua trial klinis memperlihatkan bahwa PCM isometrik pada betis
(menyilangkan betis) atau lengan (genggaman tangan dan menegangkan lengan),
dapat menginduksi peningkatan tekanan darah yang signifikan selama fase
impending sinkop refleks yang membuat pasien mampu mencegah atau
menghambat kehilangan kesadaran pada banyak kasus. Tes tilt table dapat
digunakan untuk mengajari pasien guna mengenali gejala prodromal awal. Semua
pasien harus dilatih untuk melakukan PCM, khususnya pada pasien muda, gejala
yang berat, dan memiliki motivasi yang baik. Meskipun bukti efektivitasnya yang
rendah, tindakan ini cukup aman8.
• Tilt Training8
Pada pasien usia muda dengan motivasi tinggi dengan gejala vasovagal rekuren
dipicu stres ortostatik, latihan untuk memperpanjang periode penguatan posisi
berdiri (disebut tilt training) dapat menurunkan rekurensi sinkop. Meskipun
demikian, metode ini terhambat oleh komplians pasien yang rendah untuk
melanjutkan program latihan dalam jangka panjang, dan pada empat penelitian
acak terkontrol gagal mengonfirmasi efektivitas jangka pendek tilt training untuk
mereduksi angka respon positif pada tilt testing.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anthony, Yuan. 2020. Dental Emergency.


https://rsgm.maranatha.edu/2020/05/12/mengenali-jenis-jenis-kegawatan-gigi-dan-
mulut-dental-emergency/ . Diakses pada 20 oktober 2021.
2. Malamed SF. Medical emergencies in the dental office. Ed 7. Missouri: Mosby
Elsevier, 2007:110.
3. Buku Panduan Ketrampilan Klinik Dasar Modul 7. Prodi Kedokteran Gigi. FK
UNDIP. 2021.
4. Ahmed SN, Spencer SS. An approach to the evaluation of a patient for seizures and
epilepsy. Wisconsin Med J 2004;103(1):49-50.
5. Fitria CN. Syok Dan Penanganannya. Gaster J Kesehat [Internet]. 2012;7(2):593–
604. Available from: http://www.jurnal.stikes-
aisyiyah.ac.id/index.php/gaster/article/view/60/57
6. Irawan AE. Terapi Pada Anafilaksis. J Penelit Perawat Prof [Internet].
2019;2(November):409–16. Available from:
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download/83/65
7. Kasim Rasjidi SAN. Sinkop. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009;210–7.
8. Moya A, Sutton R, Ammirati F, et al. Guidelines for The Diagnosis and Management
of Syncope: The Task Force for The Diagnosis and Management of Syncope of The
European Society of Cardiology (ESC). Eur Heart J 2009;30:2646

Anda mungkin juga menyukai