Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN KE- 7

Mata Kuliah : Ilmu Akhlak


Hari/Tanggal : Sesuai Jadwal Kuliah
Waktu : Sesuai Jadwal Kuliah
Ruang/ /Sem ./Kelas: R-1/PJJ/online/Eknows/A-B-C-D-E
Dosen Pembimbing : Drs. Tarpin, M.Ag.
Materi Pembelajaran: Induk Akhlak Islami
Buku Sumber : Tarpin. 2020. Modul Pembelajaran Ilmu Akhlak (Membina
Pribadi Berakhlakul Karimah). Bandung: Pustaka
Mandiri.(materi tiap pokok bahasan disampaikan tiap
pertemuan di-eknows)
Metode Pembelajaran: Daring/online/PJJ-Penjelasan dan Tanya jawab
Media Pembelajaran : WAG, email, e-knows, zoom meeting (optional).
Petunjuk Pembelajaran : Sila baca, pahami, dan pelajari pokok
bahasa/materi yang disajikan pada pertemuan
berikut ini dengan baik dan seksama. Untuk
mengetahui pemahaman Saudara tentang pokok
bahasan ini, di akhir materi disajikan panduan
evaluasi yang pertanyaannya akan diulang di
bagian quis-tugas di aplikasi eknows ini untuk
menjawabnya.

A. CP-MK dan SUB-CPMK


Mahasiswa mampu menjelaskan : Induk Akhlak Islami

B. PENYAJIAN MATERI:

74
BAB VI
INDUK AKHLAK ISLAMI

A. PENDAHULUAN
Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena
sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan
dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau
buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak Islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya
adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil
tersebut akan muncul teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara
(perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal ini apa yang telah
Nabi sabdakan:
‫ َﺧﻴْﺮُ ﺍﻷ ُ ُﻣﻮ ِْﺭ ﺃَ ْو َﺳﻂُ َﻬﺎ‬
Artinya: “Sebaik-baik urusan (perbuatan) adalah yang
pertengahan”. (HR. Ahmad).

Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak
Islami, di dalam tulisan ini akan membahas apa yang dimaksud dengan
induk akhlak Islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari
sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam
mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri
manusia ; akal, amarah dan nafsu syahwat.

B. INDUK AKHLAK ISLAMI


Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai
uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua
bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang
buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf,
dermawan dan amanah misalnya, termasuk ke dalam akhlak yang baik.
Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan
curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah
terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini
akan mencoba menjawabnya.
Secara teoritis, macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada
tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira
atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap

75
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang
berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu
syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang
digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah
yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu
syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat
memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak
pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi
rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini
di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia
agar mampu bersikap adil.1 Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah
ini :
    
Artinya : “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa”.(QS.Al-Maidah: 8).2
      
Artinya : “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan
adil”. (QS. an-Nisa : 58).3
       
    
     
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl :
90).4

Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah


berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik,
seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana,
berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi
perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan

1
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. ke-9), hlm.
43-44. Lihat juga ; Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran: Dar al-Kutub
al-Islamiyyah, t.th.), hlm. 53.
2
Departemen Agama RI, Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah Ma’anih ila Al-Lughah
Al-Indunisiyyah, (Jakarta: PT. Arga Publishing, 2008), hlm. 136.
3
Ibid, hlm. 108.
4
Ibid, hlm. 361.

76
permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa
keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji
lainnya.5 Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang
muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam
mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri
manusia :

1. Akal
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah.
Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya
teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal
timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang
terdapat dalam hadits nabi yang berbunyi :

‫ﺧﺮﻴ ﺍﻷﻣﻮﺭ ﺃوﺳﻂﻬﺎ‬


Artinya : “Sebaik-baik urusan (perbuatan) adalah yang
pertengahan”. (HR. Ahmad).

Sebaliknya, akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul


disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak
adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap
busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan
menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang
digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal
timbulnya akhlak yang tercela.6

2. Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap
perwira, demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan
menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani
tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika
amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut.
Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau
berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk.
Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang
menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang
mampu menahan amarah. Allah berfirman :
     
    
5
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 44-45.
6
Ibid, hlm. 45.

77
Artinya :“(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”.
(QS. Ali ‘Imran : 134).7

Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan


salah-satu sifat orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan
akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik
dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit serta mau
memaafkan kesalahan orang lain.8
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan
hadits nabi yang berbunyi :

َ ‫َﻟﻴْﺲَ ﺍﻟﺸَّﺪِ ْﻳﺪٌ ِﺑﺎﻟﺼَّﺮ‬


ُ‫َاﻋ ِﺔ َﻭﺇِ َّﻧﻤَﺎ ﺍﻟﺸَّﺪِ ْﻳﺪُ ﺍﻟﺬَّﻱِ َﻳﻤْﻠِﻚ‬
ِ‫َﻧ ْﻔﺴَ ُﻪ ﻋِ ﻨْﺪَ ْﺍﻟ َﻐﻀَﺐ‬
Artinya :“Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang
kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah
orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”.
(HR. Ahmad).

3. Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan
menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan
farajnya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman :
      
      
     

Artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna,
orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).9

Di dalam hadits juga dijumpai keterangan tentang orang yang


akan mendapatkan perlindungan di hari kiamat, di antaranya adalah
7
Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 81.
8
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 45-46.
9
Departemen Agama RI, Op.cit., hlm. 455.

78
seorang yang diajak berbuat serong, namun ia dapat menjaga dirinya.
Teks haditsnya berbunyi:
ُ ‫ﺎﻝ ﺇِﻧِّﻲ ﺃَ َﺧ‬
‫ﺎﻑ‬ َ َ‫ﺎﻝ ﻓَﻘ‬
ٍ ‫ﺐ َﻭ َﺟ َﻤ‬
ٍ ‫ﺼ‬ َ ‫َﺭ ُﺟ ٌﻞ َﺩﺍ َﻋ ْﺘﻪُ ﺇِ ْﻣ َﺮﺃَﺓٌ َﺫ‬
َ ‫ﺍﺕ َﻣ ْﻨ‬
‫ﺍﷲَ َﺭﺏَّ ْﺍﻟ َﻌﺎﻟَ ِﻤﻴ َْﻦ‬
Artinya : “Seseorang yang diajak berbuat serong oleh seorang
wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu
ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang
menguasai sekalian alam”. (HR. Bukhari).
Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan
akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut
digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak
ada semangat untuk hidup.
Dengan demikian, dari sikap pertengahan dalam menggunakan
akal, amarah, dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira,
dan dapat memelihara diri. Dari ketiga sikap inilah yang kemudian
menghasilkan akhlak yang mulia.10
Dalam perkembangan selanjutnya, teori pertengahan (adil) ini
digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan
berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang
menunjukkan kelembutan, ada juga yang menunjukkan kekerasan. Sifat
rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya
menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha
Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada
kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat
dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara
struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi
sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan
secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya.
Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari
sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat
kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup
perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya
Tuhan terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya
dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah.
Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut
mengatakan:”Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas,

10
Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 46-45.

79
bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya
adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia
berhubungan dengan Tuhan melalui pengembangan sikap adil yang
dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru
sifat Tuhan dan selalu dekat dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak
luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini
mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan
Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu Miskawaih dan para filosof akhlak
lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengritik,
bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan
sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi
keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap
dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros
dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat
kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut, dan
seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Para pengritik lebih lanjut mengatakan, banyak keutamaan yang
tidak kelihatan bahwa ia berada di tengah-tengah antara dua keburukan,
seperti jujur dan adil. Orang yang jujur misalnya tidak ada
pertengahannya, karena tidak ada posisi pada sifat jujur dan adil. Tidak
ada sifat setengah jujur dan setengah adil. Demikian juga dengan sifat
benar, tidak ada setengah benar atau setengah salah. Lawan dari benar
hanyalah dusta. Antara benar dan dusta tidak ada tengah-tengahnya.
Demikian pula sifat adil tidak ada setengahnya atau setengah adil. Jika
disebut adil, maka lawannya hanya dzalim.
Terlepas dari kritik tersebut yang jelas bahwa teori pertengahan
tidak dapat menjelaskan seluruh contoh perbuatan akhlak yang baik
atau yang buruk. Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang
dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal,
amarah, dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan.
Lalu bagaimanakah jika teori pertengahan yang merupakan
sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an? Untuk
menjawab ini perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini.
Hasil penelitian yang dilakukan Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi
menginformasikan bahwa di dalam al-Qur’an kata adil disebut sebanyak
28 kali, di antaranya adalah ayat-ayat yang berikut ini:
       
 
Artinya: “Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang

80
Maha Pemurah. yang telah menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan
(susunan tubuh) mu seimbang”. (QS. Al-Infithar : 6-7).

         


        
Artinya: “Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada
hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain,
walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima
syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah
mereka akan ditolong”. (QS. Al-Baqarah : 48).

     


      
        
        
       

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi
saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya
ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Nisa : 135).

    


      
   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar”.(QS.Al-Baqarah: 282).
      
       
   
Artinya: Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak
81
mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. (QS. Al-Baqarah : 282).

Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa kata adil dalam


al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan,
yaitu bahwa keadilan harus di|egakkan dalam rangka memutuskan
perkara di pengadilan, dalam rangka mencatat perjanjian, dalam
pengangkatan seorang petugas pencatat utang piutang dan sebagainya.
Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai sumber timbulnya
akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an atau
mendapat tempat di dalam al-Qur’an. Demikian pentingnya berbuat adil,
maka masalah keadilan menjadi hal yang harus ditegakkan oleh seluruh
manusia. (Lihat QS. Al-Nahl : 90). Jika adil tersebut dihubungkan dengan
akhlak yang mulia, maka perintah adil tersebut berarti perintah
berakhlak mulia. Cara al-Qur’an memang demikian I’jaz (simpel) tapi
maknanya cukup dalam, yakni disebut satu bagian saja, tetapi yang
dimaksudkan adalah menyangkut seluruh aspek kehidupan. Inilah
sebabnya barangkali mengapa para khatib Jum’at di akhir khutbahnya
selalu mengajak para jama’ah agar berlaku adil dan berbuat adil, sejalan
dengan firman Allah Swt.:
     
    
    

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,
dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. Al-Nahl :
90).

Ayat tersebut dengan jelas menyuruh kita berbuat adil yang


disejajarkan dengan berbuat baik kepada kerabat, menyuruh berbuat
baik dan menjauhi perbuatan keji dan munkar.
Namun demikian untuk menunjuk pada contoh-contoh dalam
bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, al-
Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil. Sikap pertengahan
antara kikir dan boros misalnya, al-Qur’an menggunakan kata qawaama
seperti terlihat pada ayat yang berbunyi di bawah ini:
       
  

82
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula)
kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah
antara yang demikian”. (QS. Al-Furqan : 67).

Selanjutnya untuk sikap pertengahan (adil) dalam hal


menimbang, al-Qur’an menggunakan kata al-qisthas sebagaimana
terlihat pada ayat yang berbunyi:
     
 
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar,
dan timbanglah dengan neraca yang benar”. (QS. Al-
Isra’: 35).

Dalam pada itu ketika menggambarkan pertengahan (adil) yang


berhubungan dengan berinfak di jalan Allah, al-Qur’an menggambarkan
perbuatan tersebut antara terlalu kikir dan terlalu longgar (tanpa
kontrol). Hal ini terlihat dalam ayat yang berbunyi:
       
    
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu
pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan
menyesal”. (QS. Al-Isra’ : 29).

Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam


berdoa, al-Qur’an menempatkannya antara tadharru’, khiifah dengan al-
jahr, sebagai terlihat pada ayat yang berbunyi:
        

Artinya: “Sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara”. (QS. Al-‘Araf : 205).

Selanjutnya di dalam hadits dijumpai kata haunamma yang


digunakan untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai
atau membenci seseorang. Hal ini misalnya dapat dilihat pada hadits
yang berbunyi:
// ‫ك يَ ْو ًما ًّما‬ َ ‫ك هَ ْونًا ًّما َع َسى أَ ْن يَ ُك ْو َن بَ ِغي‬
َ ‫ْض‬ َ َ‫أَحْ بِبْ َحبِ ْيب‬

83
َ َ‫ك هَ ْونًا ًّما َع َس ى أَ ْن يَ ُك ْو َن َحبِ ْيب‬
‫ك يَ ْو ًما ًّما (رواه‬ َ ‫َو أَب ِْغضْ بَ ِغي‬
َ ‫ْض‬
)‫الترمذى‬
Artinya: “Cintailah kekasihmu dengan sikap pertengahan,
karena boleh jadi orang yang engkau cintai itu menjadi
musuhmu di kemudian hari.//
Bencilah musuhmu dengan sikap pertengahan, karena
boleh jadi orang yang engkau musuhi itu menjadi
kekasihmu di kemudian hari”. (HR. Turmudzi).

Dalam hal ini, untuk menunjukkan kepada sikap pertengahan


(adil) dalam memutuskan perkara, al-Qur’an menggunakan kata al-adl,
sebagaimana terlihat pada ayat yang berbunyi:
       
Artinya:“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS. Al-Nisa :
58).
Selanjutnya, terdapat pula kata ‘awaanun yang digunakan al-
Qur’an untuk menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal
terhadap binatang semacam sapi. Sebagaimana hal ini terlihat pada ayat
yang berbunyi:
         
Artinya: “Bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak
tua dan tidak muda; pertengahan antara itu”. (QS. Al-
Baqarah : 68).

Selanjutnya, al-Qur’an juga menggunakan kata al-kadzimin untuk


menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya. Hal
ini sejalan dengan ayat yang berbunyi sebagai berikut:
     

Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya”. QS. Ali Imran : 134).

Berdasarkan contoh tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa


dalam menggambarkan keadaan yang adil atau pertengahan, al-Qur’an
jauh lebih lengkap, mendetail, dan komprehensif dibandingkan yang
diberikan para filosof lainnya.

84
4. Simpulan
Akhlak secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
akhlak yang baik (al-akhlaq al-hasanah), dan akhlak yang buruk (al-
akhlaq al-sayyiah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada
tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira
atau kesatria), dan iffah S(menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang
berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu
syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal,
amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira,
dan dapat memelihara diri. Dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak
yang mulia.

C. AKHLAK ISLAMI (Pengertian akhlak islami, Ruang Lingkup,


Sumber-sumbernya, dan Ciri-cirinya)
1. Pengertian Akhlak islami
Secara sederhana akhlak islami ialah sebagai yang berdasar
ajaran islam atau akhlak yang bersifat islami. Kata islam yang berada
dibelakang kata akhlak dalam hal ini menepati posisi sebagai sifat. Dan
dengan demikian akhlak islami ialah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, sengaja mendarah daging dan sebenarnya yang mendasar pada
ajaran islam dan menjadi tolak ukur ketentuan Allah swt, dan bersifat
universal.

2. Ruang lingkup Akhlak Islami


Ruang lingkup aklhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup
ajaran islam sendiri,khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan.
Akhlak dunia (agama/ islami) mencakup berbagai aspek yaitu:
a. Akhlak Kepada Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan manusia sebagai makhluk, terhadap tuhannya
sebagai khalik. tiga alasan mengapa manusia perlu berakhlak
terhadap tuhannya:
1) Karena Allahlah yang telah menciptakannya
2) Karena Allahlah yang telah memberikan segalanya
3) Karena Allahlah yang telah memuliakan manusia dengan
diberinya kemampuan menguasai didarat dan dilautan

85
b. Akhlak kepada sesama manusia
Banyak sekali yang dijelaskan di dalam Al-qur’an tentang
perbuatan sesama manusia dalam surat al-Baqarah yang
menjelaskan “perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari
pada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti Allah maha kaya
dan maha penyantun”

3. Akhlak kepada lingkungan


Yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang di sekitar
manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda yang
tak bernyawa.11

4. Sumber Dan Ciri-Ciri Akhlak Islami


Akhlak didalam islam banyak dibicarakan karena berakaitan
dengan al-quran dan hadist yang merupakan suatu sumber utama dari
agama islam dinyatakan dalam sebuah hadist yang berbunyi yaitu:
ُ ‫;ر ْك‬
‫ت ِف ْي ُك ْم‬ َ ;‫ َت‬: ‫لى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ًّ ‫ص‬َ ُّ‫ْن َمالِكِ َقا َل ال َن ِبي‬ ِ ‫سب‬ ِ ‫َعنْ اَ َن‬
‫هللا َو ُس ًّن َة َرس ُْولِ ِه‬
ِ ‫اب‬ َ ‫ْن َلنْ َتضِ لُّ ْوا َما َت َمس َّْك ُت ْم ِب ِه َما ِك َت‬
ِ ‫اَمْ َري‬
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda
“telah kutinggalkan atas kamu sekalian dua perkara
yang apabila kamu berperang kepada keduanya, maka
tidak akan tersesat itu kitab allah dan sunnah rosul-nya”

Ciri Akhlak Islami Yaitu Sebagai Berikut:


1. Kebajikan yang mutlak
2. Kebaikan yang menyeluruh
3. Kemantapan
4. Kewajiban yang dipuji
5. Pengawasan yang menyeluruh12

D. DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam.t.th. Ihya ‘Ulum al-Din, jilid III, (Teheran: Dar al-
Kutub al-Islamiyyah.
Departemen Agama RI.2008. Al-Qu’ran Al-Karim wa Tarjamah
Ma’anih ila Al-Lughah Al-Indunisiyyah. Jakarta: PT. Arga
Publising.

11
Abudin Nata, Akihlak Tasawuf, Pt Raja Grafindo Persada,(cet.ke-9,Jakarta,
2010). Hal :149-152
12
Mustofa, Akhlak Tasawuf. (Bandung, : Pustaka Setia 1997). cet ke-5., Hal :149-
152.

86
Nata, Abuddin.2010. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. ke-
9.

E. Evaluasi : Pilihan Ganda (80)

1.Akhlaq islami adalah akhlaq yang tolok ukurnya didasakan


kepada........
A. adat istiadat masyarakat setempat
B. Al-qur’an saja atau hadits saja
C. Akal pikiran manusia
D. Al-qur’an dan Hadits.

2. Yang tidak termasuk ciri-ciri Ruang lingkup akhlak islami


adalah ....
A. perbuatan yang didasarkan akal pikiran manusia saja.
B. perbuatan yang merujuk kepada ketentuan Allah SWT.
C. perbuatan yang berdasarkan ajaran Islam
D. perbuatan didasarkan kepada tuntunan Nabi Muhammad
SAW.

3. Berbuat baik kepada kedua orang tua adalah wajib. Demikian


pula.......
A. Tidak mematuhi kedua orang tua untuk maksiat adalah wajib.
B. Tidak taat kepada kedua orang tua untuk kebaikan adalah
wajib.
C. Taat kepada kedua orang tua adalah durhaka.
D. Mematuhi kedua orang tua untuk maksiat adalah wajib.

4. Kata yang tidak sesuai dengan pernyataan Induk akhlak islami


adalah…
A. mawaddah wa rohmah B. Iffah C. adil D. hikmah, syaja’ah.

5.“Menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat”, diistilahkan dengan


kata:
A. hikmah B. Iffah C. syaja’ah D. Adil
َ ‫َﺧﻴْﺮُ ﺍﻷ ُﻣﻮ ِْﺭ ﺃَ ْو‬
6. Arti hadits ini yang benar adalah …… ‫ﺳﻂُ َﻬﺎ‬
A. Sebaik-baik umur adalah yang pertengahan
B. Sebaiknya urusan (perbuatan) adalah yang setengah saja.
C. Sebaik-baik urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan
D. Lebih-baik urusan perbuatan itu adalah yang pertengahan

87
7. Ayat/hadits berikut ini yang bukan menunjukkan pengertian adil
atau teori pertengahan adalah…
A.    
     
B.    
C.       
D. ‫ﺧَ ْﻴ ُﺮ ﺍﻷ ُﻣﻮْ ِﺭ ﺃَوْ َﺳﻂُﻬَﺎ‬
8. Akhlak islami bersifat……
A. relatif B. nisbi C. kekal D. Universal

9. Ruang lingkup aklhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup


ajaran islam sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola
hubungan. Akhlak dunia (agama/ islami) mencakup berbagai aspek.
Hal yang tidak termasuk ruang lingkup dai pernyataan erikut
adalah...
A. Akhlak kepada Allah
B. Akhlak kepada sesma manusia
C. Akhlak kepada diri sendiri
D. Akhlak Kepada lingkungan

10. Yang tidak termasuk Ciri Akhlak Islami pada pernyataan beriku
ini adalah….
A. Kebajikan yang mutlak
B. Kebaikan yang menyeluruh
C. Kemampuan hanya untuk diri sendiri
D. Kewajiban yang dipuji, Pengawasan yang menyeluruh

Evaluasi: Essay: (20): Apa saja ciri-ciri akhlak islami?

#selamatbelajardarirumahaja#

88

Anda mungkin juga menyukai