Anda di halaman 1dari 25

MEMAHAMI INDUK-INDUK AKHLAK TERPUJI

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA KULIAH AQIDAH AKHLAK PADA MADRASAH

DISUSUN OLEH

KELOMPOK IV : PAI-5/III

AL-IKHLAS

KHAIRUN NISA DAMANIK

MUHAMMAD RAJA SYAHPUTRA LUBIS

TITA ALVIRIS SAMOSIR

DOSEN PENGAMPU : Drs. Miswar Rasyid Rangkuti, MA.

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya kami kelompok empat
dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad
SAW atas jasa dan kesungguhannya menyampaikan risalah Allah di muka bumi dan semoga
beliau memberikan syafaatnya kepada kita dihari kiamat.

Adapun hasil makalah ini kami perbuat berjudul “Memahami induk-induk akhlak
terpuji”. Hasil makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah akhlak pada
madrasah. Dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pembimbing mata kuliah kami “Drs. Miswar
Rasyid Rangkuti, MA..”

Akhir kata semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah wawasan kita dalam mempelajari “Memahami induk-induk akhlak terpuji” serta
digunakan sebagaimana mestinya.

Medan, 12 Oktober 2018

Penulis

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Induk-induk Akhlak Terpuji ............................................................................. 3


B. Menggali Hikmah Kehidupan ........................................................................... 7
C. Membiasakan Sifat ‘Iffah ................................................................................. 9
D. Mengembangkan Sifat Syaja’ah ....................................................................... 14
E. Menegakkan Sikap Adil (‘Adalah) .................................................................. 17

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 21

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 21
B. Saran ................................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 2

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua
perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau
buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.

Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam
melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan,
karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal ini apa yang
telah Nabi sabdakan: Artinya “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”
(HR. Ahmad)

Oleh karena itu agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak Islami didalam makalah ini
akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak Islami, serta ketiga macam induk
akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam
mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia: akal, amarah dan
nafsu syahwat.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan induk-induk akhlak terpuji?


2. Apa yang dimaksud dengan menggali hikmah kehidupan?
3. Apa yang dimaksud dengan membiasakan sifat ‘iffah?
4. Apa yang dimaksud dengan mengembangkan sifat syaja’ah?
5. Apa yang dimaksud dengan menegakkan sikap adil (adalah)?

1
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu induk-induk akahlak terpuji!


2. Untuk mengetahui apa itu menggali hikmah kehidupan!
3. Untuk mengetahui apa itu membiasakan sifat ’iffah!
4. Untuk mengetahui apa itu mengembangkan sifat syaja’ah!
5. Untuk mengetaui apa itu mengakkan sikap adil (adalah)!

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Induk-Induk Akhlak Terpuji

a. Pengertian Akhlak Terpuji

Kata Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak dari
kata khulqun. Secara etimologis, akhlak berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau
tabiat. Menurut Imam Ghazali, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang dapat
menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Adapun menurut Ahmad Amin, akhlak membiasakan kehendak. Ini berarti apabila kehendak
dibiasakan terhadap sesuatu maka kebiasaan itu akan dapat membentuk akhlak. Contohnya,
apabila membiasakan kehendak untuk memberi maka akan melahirkan akhlak dermawan atau
kepedulian sosial.

Kata akhlak sering dirangkai dengan kata ilmu sehingga menjadi ilmu akhlak. Didalam
kamus al-kausar, ilmu akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, yaitu ilmu yang berusaha
mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi hukum atau nilai kepada perbuatan itu
bahwa ia baik atau buruk, sesuai dengan norma-norma akhlak dan tata susila. Adapun dalam
The Encyclopedia of Islam dirumuskan bahwa ilmu akhlak adalah “it is the science of virtues
and the way how to acquire the of vices and the way how to quard against them” ( ilmu
akhlak ialah ilmu tentang kebaikan dan cara mengikutinya, tentang kejahatan dan cara
menghindarinya).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dirumuskan bahwa ilmu akhlak ialah ilmu
yang membahas tentang perbuatan yang dilakukan manusia, serta mengajarkan perbuatan baik
yang harus dikerjakan dan perbuatan jahat yang harus dihindari dalam pergaulan , baik dengan
sesama manusia maupun dengan Tuhan.

3
b. Karakteristik dan Induk-Induk Akhlak Terpuji

Al-Qur’an dan sunnah telah menggariskan norma-norma baik dan buruk sebagai fokus
akhlak (etika,moralitas) Islam. Akhlak Islam mempunyai karakteristik tertentu yang
membedakan dengan etika ciptaan manusia, yaitu sebagai berikut:

1. Kebaikannya bersifat mutlak (al-hasanah al-mutlaqah), yaitu kebaikan yang tekandung


dalam akhlak Islam merupakan kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk
masyarakat didalam lingkungan, keadaan, waktu, dan tempat apapun.
2. Kebaikannya bersifat menyeluruh (al-hasanah al-muraqabah), yaitu kebaikan yang
terkandung didalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh umat manusia disegala zaman
semua tempat.
3. Kebaikannya bersifat tetap, langgeng dan mantap (al-hasanah as-sabitah), tidak berubah
oleh perubahan waktu dan tempat, atau perubahan kehidupan masyarakat.
4. Pengawasannya menyeluruh (syumuliyyah al-muraqabah). Oleh karena akhlak
bersumber dari Allah maka pengaruhnya lebih kuat dari moral dan etika ciptaan manusia
sehingga orang tidak berani melanggarnya kecuali setelah ragu-ragu dan kemudian akan
meyesali perbuatannya. Selanjutnya, ia pun bertobat dengan sungguh-sungguh dan tidak
melakukanperbuatan salah lagi.

Akhlak terpuji diatas menjadi karakter orang-orang beriman. Keluhuran karakter ini akan
menjamin rasa aman, tenang, dan kehidupan yang layak penuh rahmat dan barokah dari Allah
Swt.

Menurut Muhammad Abdullah Draz dalam kitab Dustur al-Akhlaq fi al-Islami, induk
akhlak terpuji dibagi menjadi lima sebagai berikut:

1. Akhlak pribadi (al-akhlaq al-fardiyyah), yang meliputi 1) yang diperintahkan (al-


awamir); 2) yang dilarang (an-nawahi); 3) yang dibolehkan (al-mubahat); dan 4) akhlak
dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idtirar)
2. Akhlak berkeluarga (al-akhlaq al-usairiyah), yang meliputi: 1) kewajiban timbal balik
antar orang tua dan anak (wajibat nahwa al-usul wa al-furu); 2) kewajiban suami istri
(wajibat baina al-azwaj); 3) kewajiban terhadap karib kerabat (wajibat nahwa al-qarib)

4
3. Akhlak bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtima’iyyah), yang meliputi: 1) yang dilarang (al-
mahzurat); 2) yang diperintahkan (al-awamir); dan 3) kaidah-kaidah adab (qawa’id al-
adab)
4. Akhlak bernegara ( al-akhlaq al-daulah), yang meliputi: 1) hubungan antara pemimpin
dan rakyat (al-alaqah baina ar-raiis wa asy sya’b) dan 2) hubungan luar negeri ( al-
‘alaqat al-karijiyyah)
5. Akhlak beragama (al-akhlaq ad di niyyah), yaitu kewajiban terhadap Allah Swt.(wajibat
nahwa Allah)

Adapun menurut pendapat mayoritas ulama, induk akhlak terpuji dikelompokkan menjadi
tiga sebagai berikut:

1. Hubungan manusia dengan Allah. hubungan ini harus diutamakan dan secara tertib terus
diatur agar tetap dipelihara.
2. Hubungan manusia dengan sesama manusia, selain memelihara komunikasi dan
hubungan tetap dengan Allah, dimensi kedua adalah memelihara dan membina hubungan
baik dengan sesama manusia.
3. Hubungan manusia dengan alam, relasi manusia dengan alam pada hakikatnya
menempati kedudukan yang sama. Bahkan, bagian dari diri manusia terbentuk dati unsur-
unsur alam. Manusia perlu melakukan hubungan baik terhadap alam, di antaranya dengan
bersikap wajar, tidak berlebih-lebihan, bersikap seimbang, mendahulukan pertimbangan
akal sehat dan rasa seni, serta mengambil tindakan tindakan yang bersifat operasional
untuk melestarikan alam.

c. Metode Peningkatan Kualitas Akhlak

Kondisi masyarakat sekarang ini sedang mengalami dekadensi moral, mulai dari lingkungan
pergaulan yang buruk hingga pengaruh negatif perkembangan teknologi dan pergaulan bebas.
Hal ini makin menguatkan pandangan bahwa pembinaan kualitas akhlak harus dilakukan oleh
berbagai pihak agar terbentuk akhlak mulia. Oleh karena itu, harus dicari sebuah metode yang
tepat dalam usaha meningkatkan kualitas akhlak, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Metode perumpamaan (tamsil). Kualitas akhlak dapat ditingkatkan melalui metode


perumpamaan yang diambil dari kandungan ayat-ayat Al-qur’an. Tujuannya adalah agar

5
perumpamaan itu menjadi pedoman dalam melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan.
Perumpamaan yang ada didalam Al-qur’an. Selanjutnya, perumpamaan itu disampaikan
dalam berbagai kesempatan sebagai sarana mendidik akhlak pribadi dan masyarakat.
2. Metode keteladanan (uswatun hasanah). setiap pribadi hendaknya bisa menjadi teladan
bagi yang lain dalam usaha meningkatkan kualitas akhlak. Dalam hal ini, islam telah
menjadikan pribadi Rasulullah SAW. sebagai suri teladan bagi seluruh pendidik, dari
generasi ke generasi dan selalu aktual dalam kehidupan manusia.
3. Metode pembiasaan. Ajaran Islam menuntut setiap pemeluknya supaya mengarahkan
tingkah laku, naluri, dan kehidupannya pada kebaikan sehingga dapat mewujud dalam
perilaku dan akhlak yang baik. Harus disadari bahwa akhlak tidak akan tumbuh tanpa
diajarkan dan dibiasakan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang akhlak selain sebagai
ilmu, secara bertahap juga harus diikuti secara terus menerus bentuk pengamalannya,
baik dirumah, di sekolah, maupun ditengah-tengah masyarakat.
4. Metode ‘ibrah dan mau’izah, kondisi yang memungkinkan seseorang dapat sampai dari
pengetahuan yang konkret kepada pengetahuan yang abstrak. Orang tua atau pendidik
dapat berperan dalam metode ini, yaitu dengan berusaha melatih anak-anak untuk
merenungkan keajaiban yang diciptakan Allah, terutama yang ada diligkungan sekitar.
Dengan begitu, diharapkan dapat membawa kepribadian anak-anak kearah yang baik,
dengan semakin mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah Swt.

d. Membiasakan Akhlak Terpuji

Untuk mengantisipasi ancaman dekadensi moral, setiap orang Islam harus memiliki
pemahaman dan keteguhan untuk menjaga kebenaran dan kebaikan akhlak islamiah.
Pembiasaan akhlak islamiah dalam pribadi setiap muslim akan mengantarkannya pada
kematangan diri dan kesuksesan dalam menjalani kehidupan.

Ada beberapa prinsip yang harus dibiasakan agar seorang muslim memiliki karakter yang
kuat dan berakhlak terpuji. Prinsip ini meliputi beberapa hal berikut:

1. Komitmen dengan jalan hidup Islam. Setiap muslim harus memiliki komitmen dengan
jalan hidup islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasul, serta sejarah
hidupnya.

6
2. Loyal kepada Allah, rasul-Nya, manhaj-Nya, orang-orang yang saleh, dan nilai-nilai
akhlak yang dibawa Islam.
3. Kesungguhan dalam menjalani kehidupan. kesungguhan (jiddiyyah) mempunyai dua
pengertian, yaitu: a) ijtihad (bersungguh-sungguh), yakni berusaha dengan mengerahkan
segala kemampuan yang ada untuk mencapai suatu tujuan dan b) tark al-hazl
(meninggalkan senda gurau), yakni mengerjakan suatu pekkerjaan dengan tidak main-
main atau sia-sia.
4. Sikap toleran (tasamuh) dan memaafkan, toleransi merupakan sinonim kata lin (lemah
lembut) dan tasahhul (murah hati).
5. sikap moderat terhadap orang lain dengan segala sesuatu. Moderasi adalah pertengahan
diantara dua sifat secara kualitas, kuantitas, dan proporsional. Allah telah
menganugerahkan nikmat-Nya kepada umat Islam dengan dijadikannya sebagai ummatan
wasatan, yakni umat keadilan, pertengahan, dan kebaikan. 1

B. Menggali Hikmah Kehidupan

1. Pengrtian Hikmah

Secara bahasa, hikmah berarti kebijaksanaan, pendapat, atau pikiran yang bagus,
pengetahuan, filsafat, kenabian, keadilan, pribahasa (kata-kata bijak), serta Al-qur’anul
Karim. Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan al-hikmah adalah perkataan yang tepat
lagi tegas, yang diikuti dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap kebenaran dan melenyapkan
keserupaan. Adapun menurut Toha Jahja Omar, hikmah adalah bijaksana, yaitu meletakkan
sesuatu pada tempatnya dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, dan mengatur
cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan
hal-hal yang dilarang oleh Allah sebagaimana dalam ketentuan hukum-Nya.

Kata hikmah mengandung tiga unsur sebagai berikut:

a. Unsur ilmu, yaitu adanya ilmu yang sahih yang dapat memisahkan antara yang hak dan
yang batil, berikut tentang rahasia, faedah, seluk-beluk sesuatu.

1
Bisri, M. Fil.I, Akhlak, ( Jakarta: Media Ilmu, 2009), h. 3.

7
b. Unsur jiwa, yaitu terhujamnya ilmu kedalam jiwa ahli hikmah sehingga ilmu tersebut
mendarah daging dengan sendirinya.
c. Unsur amal perbuatan, yaitu ilmu pengetahuan yang terhujam kedalam jiwa itu mampu
memotivasi seseorang untuk mengamalkan.

Hikmah adalah setiap perkataan yang benar yang menyebabkan perbuatan yang benar.
Hikmah merupakan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, kebenaran dalam perbuatan dan
perkataan, serta mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.

Hal ini sebagai mana dinyatakan dalam Hadist berikut, yang Artinya:

ِ ‫َم ْن ي ُِر ِدللاُ ِب ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِى‬


)‫الدي ِْن (رواه البخاري ومسلم‬

“ Barang siapa yang Allah menghendaki kebakikan kepadanya maka Allah menjadikannya
‘faqih’ (faham) dala ilmu agama” (H.R. al-Bukhari no.6768 dan Muslim no. 1721)

Dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran agama, tidak cukup dengan Al-Qur’an tanpa
al-hikmah, yang berarti sunnah atau pemahaman yang benar tentang Al-Qur’an. Oleh karena
itu, sunnah juga disebut sebagai hikmah.

Orang yang dianugerahi hikmah adalah orang yang mempunyai ilmu mendalam dan mampu
mengamalkannya secara nyata dalam kehidupan. Orang-orang ini selalu berusaha untuk
menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan. Mereka selalu menempatkan sesuatu pada
tempatnya (adil) dan melakukan atau meninggalkan sesuatu sesuai dengan apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan. mereka juga mampu memahami dan menerapkan
hukum-hukum Allah.

Setelah seseorang mendapatkan hikmah, wajib baginya untuk menyampaikan dan


mendakwakannya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.

َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم بِالَّتِ ْي ِه‬


َ ‫ي ا َ ْح‬
‫س ُن‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬
َ ‫سبِ ْي ِل َربِ َك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬
َ ‫ا ُ ْدعُ اِلَى‬

َ‫س ِب ْي ِل ِه َو ُه َو ا َ ْعلَ ُم ِب ْال ُم ْهت َ ِديْن‬


َ ‫ع ْن‬ َ ‫ا َِّن َرب ََّك ُه َو ا َ ْعلَ ُم ِب َم ْن‬
َ ‫ض َّل‬

8
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan al-hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk." (Q.S. an-Nahl/16:125)

2. Keutamaan-keutamaan Hikmah

Ada beberapa keutamaan orang yang memiliki sikap hikmah, diantaranya sebagai berikut.

1. Memiliki rasa percaya diri yang tinggi dalam melaksanakan dan membela kebenaran
ataupun keadilan.
2. Menjadikan ilmu pengetahuan sebagai bekal utama yang terus dikembangkan.
3. Mampu berkomunikasi dengan orang lain dengan beragam pendekatan dan bahasan.
4. Memiliki semangat juang yang tinggi untuk mensyiarkan kebenaran dengan beramar
makruf nahi mungkar
5. Senantiasa berfikir positif untuk mencari solusi dari semua persoalan yang dihadapi.2

C. Membiasakan Sifat ‘Iffah

a. Pengertian ‘Iffah

Iffah adalah salah satu akhlak terpuji terhadap sesama manusia. Iffah adalah memelihara
kehormatan diri dari segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya.

Nilai dan wibawa seseorang tidaklah ditentukan dengan kekayaan dan jabatannya, dan tidak
pula ditentukan oleh bentuk rupanya, tetapi ditentukan oleh kehormatan diri tersebut, setiap
orang haruslah menjauhkan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dilarang oleh Allah
Swt. Dia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya, tidak saja dari hal-hal yang haram,
bahkan kadang-kadang harus juga menjaga dirinya dari hal-hal yang halal karena
bertentangan dengan kehormatan dirinya.

2
Roli Abdul Rohman, M. Khamzah, Menjaga Aqidah dan Akhlak 1, ( Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2014), h. 38.

9
b. Bentuk-Bentuk Iffah

Didalam Al-Quran dan hadis terdapat beberapa contoh bentuk iffah sebagai berikut

a) Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungan dengan “Seksual”

Seorang muslim dan muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan
pakaiannya. Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada tempat kemaksiatnya, dan
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa mengantarkannya kepada perzinaan. Firman
Allah:

ٌ ‫ظوا فُ ُرو َج ُه ْم ذَ ِل َك ا َ ْز َكى َل ُه ْم ا َِّن للاَ َخ ِب‬


‫ير ِب َما‬ ُ َ‫صا ِر ِه ْم َو َي ْحف‬َ ‫قُ ْل ل ِل ُمؤْ ِم ِنيْنَ َيغُضُّوا ِم ْن أ َّ ْب‬
‫ظنَ فُ ُرو َج ُه َّن‬ ْ ‫ار ِه َّن َو َي ْح َف‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ضضْنَ ِم ْن ا َ ْب‬ ِ ‫ َوقُ ْل ِل ْل ُمؤْ ِمنَا‬. َ‫صنَعُون‬
ُ ‫ت َي ْغ‬ ْ ‫َي‬

"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah merekamenahan pandangannya, dan


memelihara kemaluannya; adalah lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya”.(Q.S. an-Nur 30-31)

َ َ‫ساء ْال ُمؤْ ِم ِنيْنَ يُ ْد ِنيْن‬


‫علَ ْي ِه َّن ِم ْن َج ََل ِب ْي ِه َّن َذ ِل َك أ ْدنَى أ ْن يُ ْع َر‬ ِ ‫يَا أَي َهاالنَّ ِبي قُ ْل ِّلَ ْز َو‬
َ ِ‫اج َك َو َبناَتِ َك َون‬
‫ار ِح ْي ًما‬ ً ُ ‫غف‬
َّ ‫ور‬ َ ُ‫ْفنَ فَ ََل يُؤْ َذيْنَ َو َكانَ هللا‬
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang
mukmin: “Hendaklah mereka mengeluarkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”, yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu,
dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. Al-Ahzab: 59)

ً‫س ِب ْيل‬ َ ‫شةً َو‬


َ ‫ساء‬ ِ َ‫الزنَى أَنَّهُ َكانَ ف‬
َ ‫اح‬ َّ ْ‫َوالَ ت َ ْق َر بُوا‬
"Dan janganlah kamu mendekati zina;sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji, dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' 17: Ayat 32)

‫ور َوأِذَا َم ُّروا بِلَّ ْغ ِو َم ُّروا ِك َرا ًما‬ ُّ َ‫َوالَّ ِذيْنَ َال يَ ْش َهد ُون‬
َ ‫الز‬
"Aapabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-
Furqan : Ayat 72)

10
Rasulullah bersabda:

ُ ‫ط‬
‫ (رواه‬.‫ان َب ْي َن ُه َما‬ َّ ‫اء َوالَّذِى نَ ْفسِى ِبيَ ِد ِه َما َخلَ َر ُج ٌل بِإ ِ ْم َرأَةٍإَالَّ َودَ َخ َل ْال‬
َ ‫ش ْي‬ ِ ‫س‬َ ِ‫َّاك َو ْالخ َْل َوة َ بِان‬
َ ‫اِي‬
)‫الطبرانى‬
“Jauhilah berdua-duaan dengan wanita (yang bukan istri dan bukan mahram). Demi zat yang
diriku berada dalam genggaman-Nya, tidaklah berdua-duaan seorang laki-laki dengan
seorang perempuan lain kecuali syaitan masuk diantara mereka berdua. (HR. Thabrani)

Dari beberapa nash diatas jelaslah bagaimana Allah dan Rasul-Nya memberikan tuntutan
tentang cara menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan masalah seksual.
Seseorang tidak hanya harus menjauhi perzinaan, tetapi juga menghindari segala sesuatu yang
akan mengantarkannya kepada perzinaan. Kalau dia melakukan perbuatan yang mendekati
perzinaan, misalnya pergaulan bebas laki-laki dan perempuan, nama baik dan kehormatan
akan tercemar. Sekalipun dia tidak melakukan perzinaan, tetapi masyarakat akan mudah
menuduhnya telah melakukan perzinaan.

b) Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungan dengan masalah “harta”

Islam mengajarkan, terutama bagi orang miskin untuk tidak menadahkan tangan untuk
meminta-minta. Al-Quran menganjurkan kepada orang-orang berupaya untuk membantu
orang miskin yang tidak mau memohon bantuan karena sikap iffah mereka Allah berfirman:

‫سبُ ُه ُم ال َجا ِه ُل أ َ ْغنِيَاء‬ َ ‫ض يَ ْح‬ ِ ‫ص ْربًافِي االَ ْر‬ َ َ‫س َب ْي ِل للاِ الَ يَ ْستَ ِط ْيعُون‬َ ‫ص ُرواْ فِي‬ ِ ‫ِل ْلفُقُ َراء الَّ ِذيْنَ أ ُ ْح‬
َ ‫اس ِإ ْل َحافًا َو َما ت ُ ْن ِفقُواْ ِم ْن َخي ٍْر فَإ ِ َّن للاَ ِب ِه‬
‫ع ِل ْي ٌم‬ َ َّ‫ف تَ ْع ِر فُ ُه ْم ِب ِس ْي َما ُه ْم الَيَسْأ َ لُونَ الن‬
ِ َّ‫ِمنَ الت َّ َعف‬

"(Berinfaqlah kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah; mereka tidak
dapat (berusaha) dibumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya, karena
memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang
kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui." (Al-Baqarah
ayat:273)

Orang-orang fakir yang dimaksud dalam ayat diatas adalah orang-orang karena
menyediakan diri untuk berjihad sampai tidak dapat berusaha mencari nafkah. Orang-orang

11
yang tidak mengerti keadaan mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang yang
berkecukupan disebabkan mereka selalu menjaga kehormatan diri mereka dari meminta-
minta. Tetapi orang yang melihat mereka dengan teliti akan melihat wajah mereka pucat dan
keadaannya dengan jalan yang halus tanpa mendesak.

Meminta-minta adalah perbuatan yang merendahkan kehormatan diri. Daripada meminta-


minta seseorang lebih baik mengerjakan apa saja untuk mendapat penghasilan asal halal,
sekalipun hanya mengumpulkan kayu api. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:

“Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar lantas
dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan
nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada dia meminta-minta kepada orang yang terkadang
diberi dan kadang ditolak” (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

c) Untuk menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dengan kepercayaan orang lain
kepada dirinya

Menjaga kehormatan diri dalam hubungannya dasar kepercayaan orang lain juga disebut
amanah dari orang lain. Seseorang tidak boleh mengkhianati amanah, berkata bohong, ingkar
janji dan lain sebagainya.

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Berikan jaminan kepadaku terhadap enam perkara, maka aku akan memberi jaminan kalian
masuk surga. Yaitu jujurlah apabila kamu berkata-kata, tepatilah bila kamu berjanji,
tunaikanlah amanah kepada yang berhak jika kamu diberi amanah, jagalah kemaluanmu,
tekurkanlah pandanganmu, dantahanlah tanganmu (sehingga tidak menyakiti orang lain).”
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Apabila seorang diberi amanah mengelola keuangan, hendaklah dengan jujur dan
transparan, jaga kehormatan diri dalam hal amanah ini, lebih-lebih lagi apabila yang memberi
amanah itu tidak mengontrolnya.

12
Misalnya memelihara diri dalam hal amanah mengelolah harta anak yatim. Al-Quran
mengingatkan kepada para wali anak yatim agar dapat menahan driri jangan sampai tergoda
untuk memakan harta mereka. Bagi wali yang kaya lebih baik dia membiayai kehidupan anak
yatim itu dengan kekayaan sendiri, sebagai wujud dari kasih sayang dan belas kasihan kepada
mereka. Kecuali bagi wali yang miskin, dia boleh menggunakan harta itu untuk kepentingan si
yatim, termasuk biaya pengelolahan harta mereka apabila diperlukan. Tentang hal ini Allah
SWT berfirman yang Artinya

"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi
batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka
dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta
itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,
maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas." (QS. An-
Nisa' 4: Ayat 6)

Demikian, sikap iffah sebagai akhlak terpuji yang sangat diperlukan untuk menjaga
kehormatan dan kesucian diri sehingga tidak ada peluang sedikitpun bagi orang lain yang
tidak senang untuk melemparkan tuduhan dan fitnahan. Orang yang berakhlak iffah (disebut
‘afif) akan dohormati dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Dan yang lebih penting lagi
dia akan mendapatkan ridha Allah SWT.3

c. Cara-Cara Mengembangkan Iffah

Untuk mengembangkan sikap iffah, ada beberapa cara yang harus diperhatikan dan
dilakukan oleh seorang muslim agar kehormatan dirinya tetap terjaga, diantara nya sebagai
berikut:

1. Selalu mengendalikan dan membawa diri agar tetap menegakkan sunnah Rasulullah saw
2. Senantiasa mempertimbangkan teman bergaul, yaitu dengan teman yang akhlaknya baik

3
Drs. H. Mukhlisin Lubis, H. Zulfahmi Lubis, Lc., M. Ag, Akhlak Islam, ( Medan, Samudera Cetak, 2017), h.
137.

13
3. Selalu mengontrol diri dalam urusan makan, minum, dan berpakaian secara islami
4. Selalu menjaga kehalalan makanan, minuman, dan rezeki yang diperolehnya
5. Senantiasa menundukan pandangan mata (gaddul basar) dan menjaga kemaluannya
6. Tidak berpergian jauh dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
7. Tidak berjabat tangan dngan lawan jenis yang bukan mahramnya
8. Tidak khalwat (berduaan) dengan lawan jenisnya yang bukan mahramnya
9. Senantiasa menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mengundang fitnah

d. Keutamaan-Keutamaan Iffah

Begitu pentingnya sikap iffah dalam diri setiap muslim hingga Islam sangat menganjurkan
sikap ini. Hal ini juga tidak lepas dari banyaknya keutamaan yang akan diperoleh orang yang
senantiasa menghiasi diri dengan sifat iffah, diantaranya sebagai berikut:

1. Memutus ambisi yang selalu bergejolak didalam diri


2. Menjaga kehormatan diri dari hal-hal yang tak lazim
3. Menghindar dari ketergantungan hati pada kesenangan
4. Menahan diri dari dorongan syahwat
5. Memunculkan sifat-sifat mulia, seperti sabar, qanaah, jujur, santun, dan akhlak terpuji
lainnya.
6. Menjadi benteng dalam menjaga kemuliaan eksistensi dirinya.4

C. Mengembangkan Sifat Syaja’ah

1. Pengertian Syaja’ah
Secara etimologis, kata asy-asyaja’ah berarti berani. Adapun antonimnya adalah kata al-
jabn artinya pengecut. Dalam kamus bahasa Arab, kata syaja’ah artinya keberanian atau
keperwiraan, yaitu seseorang yang dapat bersabar terhadap sesuatu karena dalam jiwanya ada
keberanian menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu.

Syaja’ah sering kali dimaknai dengan sekap gentle dalam menghadapi kesulitan atau bahaya
saat dibutuhkan. Orang yang melihat kejahatan akan khawatir terkena dampaknya, kemudian
menentang maka itulah pemberani. Begitu juga, orang yang berbuat maksimal sesuai

4
Ibid., h. 41.

14
statusnya maka itulah pemberani (asy-syuja’). Dengan demikian, asy-syaja’ah (berani) bukan
sinonim dari ‘adam al-khauf (tidak takut sama sekali). Sebab orang yang bersikap syaja’ah
juga memiliki rasa takut, terutama kepada Allah SWT. Ia takut melanggar perintah-perintah
Allah dan menerjang larangan-Nya.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa berani terhadap sesuatu bukan berarti
hilangnya rasa takut menghadapinya. Keberanian dinilai dari tindakan yang berorientasi pada
aspek maslahat dan tanggung jawab. Oleh karena itu sabar (as-sabr) di medan perang bukan
berarti berani yang keliru, berani yang berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Predikat pemeberani tidak hanya diperuntukkan bagi pahlawan yang berjuang di medan
perang. Setiap profesi dapat dikategorikan berani apabila mampu menjalankan tugas dan
kewajibannya secara bertanggung jawab. Kepala keluarga dikategorikan berani apabila
mampu menjalankan tanggung jawabnya secara maksimal, pegawai dikatakan berani apabila
mampu menjalankan tugasnya secara baik, dan seterusnya.5

2. Bentuk-bentuk Syaja’ah
a) Keberanian menghadapi musuh dalam peperangan (jihad fi sabilillah)
Allah berfirman:

‫) َو َم ْن يُو‬15( ‫ار‬ َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا َل ِقيت ُ ُم الَّذِينَ َكفَ ُروا زَ ْحفًا فَل ت ُ َولُّو ُه ُم األ ْد َب‬
‫ّللاِ َو َمأ ْ َواهُ َج َهنَّ ُم‬
َّ َ‫ب ِمن‬ َ َ‫ِل ِه ْم َي ْو َمئِ ٍذ دُب َُرهُ ِإال ُمتَ َح ِرفًا ِل ِقتَا ٍل أ َ ْو ُمتَ َح ِي ًزا ِإلَى فِئ َ ٍة فَقَ ْد َبا َء ِبغ‬
ٍ ‫ض‬
)16( ‫ير‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫س ْال َم‬ َ ْ‫َو ِبئ‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur) (15). Barang siapa yang membelakangi mereka (mudur) di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang
lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah,
dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya”. (QS. Al-
Anfal: 15-16)

5
Ibid

15
b) Keberanian mengatakan kebenaran (kalimat al-haq) sekalipun di hadapan penguasa yang
zalim Rasulullah SAW bersabda:

)‫ (روه ابو داود والترمذى‬.‫ان َجا ِئ ٍر‬


ٍ ‫ط‬َ ‫س ْل‬ َ ٌ‫ا ْفض ُل ْال ِج َها ِد َك ِل َمة‬
ُ َ‫ع ْد ٍل ِع ْند‬
Artinya: “Jihad yang paling afdhal adalah memperjuangkan keadilan di hadapan
penguasa yang zalim”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
c) Keberanian untuk mengendalikan diri tatkala marah, sekalipun dia mampu
melampiaskannya. (hadis terdahulu)
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang memiliki keberanian:
Menurut Raaid Abdul Hadi dalam bukunya Mamaarat Al-Haq minimal ada 7 (tujuh)
yang menyebabkan seseorang memiliki keberanian:
1. Karena rasa takut kepada Allah SWT
2. Lebih mencintai akhirat dari pada dunia
3. Tidak takut mati
4. Tidak ragu-ragu
5. Tidak menomorsatukan kekuatan materi
6. Tawakkal dan yakin akan pertolongan Allah
7. Hasil pendidikan6
d) Mampu menyimpan rahasia, orang berani adalah orang yang dapat menyimpan dan
menjaga amanat untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya.
e) Bersikap objektif terhadap diri sendiri, orang berani akan selalu bersikap objektif dalam
mengenali dirinya, yang memiliki sisi baik dan buruk.
f) Bekerja dengan giat dan cermat, orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan
baik, cermat dan penuh perhitungan, terutama dalam persiapan jihad menghadapi
musuh-musuh Islam.
3. Hikmah Syaja’ah

Ajaran Islam sangat menganjurkan umatnya agar memiliki sikap syaja’ah. Sebab, selain
merupakan sifat terpuji, ia juga dapat mendatangkan berbagai kebaikan bagi kehidupan
beragama, berbangsa, dan bernegara. Syaja’ah akan menimbulkan banyak hikmah,

6
Ibid., h. 152.

16
diantaranya dalam bentuk sifat-sifat mulia, seperti tanggap, perkasa memecah nafsu,
memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, dan penuh kasih sayang.

Meskipun mengandung banyak hikmah, tetapi apabila seseorang terlalu dominan dalam
sikap syaja’ah maka hal itu kurang baik, lebih-lebih jika ia tidak dapat mengontrolnya dengan
kecerdasan dan keikhlasan. Jika itu yang terjadi maka syaja’ah yang tidak terkontrol akan
memunculkan berbagai dampak sifat negatif, seperti semborono, meremehkan orang lain,
saling mengungguli dalam keburukan, takabbur dan ujub. Sebaliknya, jika seseorang muslim
kurang memiliki sikap syaja’ah maka yang muncul adalah sifat rendah diri, cemas, kecewa,
dan kecil hati.

D. Menegakkan Sikap Adil (‘Adalah)

1) Pengertian Adil

Adil dalam bahasa Arab disebut dengan kata ‘adilun, Munsifun, yang berarti sama dan
seimbnag. Adil dalam pengertian sama dapat diartikan sebagai membagi sama banyak atau
memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan status yang sama.
Misalnya, semua warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Adil
dalam pengertian seimbang dapat diartikan dengan memberikan hak yang seimbang dengan
kewajiban atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak pada yang benar, berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-
wenang. Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kata adil di atas. Dengan
prinsip persamaan, seseorang yang adil tidak akan memihak, kecuali kepada yang benar.
Dengan asas keseimbangan, seorang yang adil atau berbuat atau memutuskan sesuatu dengan
sepatutnya dan tidak bertindak sewenang-wenang.

Pengertian adil menurut ilmu akhlak ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan
atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan menghukum yang jahat sesuai dengan kesalahan
dan pelanggarannya. Menurut pengertian tersebut, jelaslah bahwa adil harus dimiliki setiap
muslim. Seseorang hendaknya berlaku adil terhadap dirinya sendiri, orang tua, bangsa dan
negaranya, bahkan terhadap Allah SWT.

17
2) Karakteristik Sikap Adil

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sejerajat dalam
hukum. Dalam Islam, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial,
ekonomi, atau politik. Allah SWT berfirman QS An-Nisa:58:

‫اس أ َ ْن تَ ْح ُك ُموا‬ ِ ‫ّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاأل َ َمانَا‬


ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى أ َ ْه ِل َها َو ِإذَا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ الن‬ َّ ‫ِإ َّن‬

‫يرا‬
ً ‫ص‬ َ َ‫ّللا َكان‬
ِ ‫س ِميعًا َب‬ َ َّ ‫ِب ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن‬
ُ ‫ّللا ِن ِع َّما َي ِع‬
َ َّ ‫ظ ُك ْم ِب ِه ۗ ِإ َّن‬

Artinya: Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran
kepadamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (Q.S. An-Nisa:58)

Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri , keluarga, atau orang-
orang yang dicintai. Ketika seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW. Meminta
keistimewaan hukum untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, beliau menolaknya
dengan tegas, “Apkah anda berhak meminta keistimewaan dalam pelaksanaan hukum Allah?
Sesungguhnya kehancuran umat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang
lemah dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa saya,
seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan
putrinya itu .” (H.R. Ahmad, Muslim, dan an-Nasa’i)

Disamping keadilan hukum, Islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-
orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri,
keluarga atau orang lain. Bahkan, kepada musuh pun kita harus berbuat adil. Berikut ini
bebderapa contoh sikap adil dalam Al-Qur’an.

1. Adil terhadap diri sendiri, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap
ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya atau miskin maka Allah
lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran ....”(Q.S:an-Nisa/4:135)

18
2. Adil terhadap istri dan anak, “... maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, ....” (Q.S:an-Nisa/4:3)
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan, “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin
berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat
zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu
sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan
berlakulah adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S:
Al-Hujarat/49:9)
4. Adil dalam bertutur kata, “..... apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun
dia kerabat (mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu
agar kamu ingat.” (Q.S: Al-An’am/6: 152)
5. Adil terhadap musuh sekalipun. “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu
sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlakulah adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya, Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.” (Q.S: Al-Ma’idah/5:8)

Musthafa Ghalayani dalam kitabnya Lubatul Khiyar mengatakan, “ Berlaku adillah walau
terhadap dirimu sendiri.” Siswa yang beragama Islam dianggap berbuat adil terhadap dirinya
apabila sikap dan prilakunya baik, diridai Allah, dan bermanfaat bagi dirinya. Misalnya, ia
tekun menuntut ilmu, membiasakan diri dengan akhlak terpuji, disiplin dalam beribadah, dan
giat beramal.
Orang yang bersifat adil akan menyadari bahwa setiap orang harus mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya. Setiap orang tidak akan menanggung perbuatan dosa orang
lain. Setiap orang akan memperoleh hak sesuai dengan apa yang diusahakannya.7

3) Nilai Positif Sikap Adil

7
Roli Abdul Rohman, M. Khamzah, Aqidah dan Akhlak 2, ( Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2013),
h. 99.

19
Banyak sekali nilai positif dari sikap adil. Keadilan merupakan sesuatu ynag bernilai tinggi,
baik, dan mulia. Apabila keadilan diwudujkan dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan, dan kemuliaan akan
diraih. Jika seseorang mampu mewujudkan keadilan dalam diri sendiri, tentu akan meraih
keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan dalam batin, disenangi orang banyak,
dapat meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta ukhrawi
(akhirat).

Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa, dan bernegara
akan terwujud masyarakat yang aman, tentramserta damai sejahtera lahir dan batin. Hal ini
dikarenakan masing-masing anggota masyarakat telah melaksanakan kewajiban terhadap
orang lain dan akan memenuhi hak orang lain dengan seadil-adilnya.8

4) Membiasakan Diri Berprilaku Adil

Dalam hal berlaku adil kepada siapa pun seseorang hendaknya membiasakan diri bersikap
adil. Untuk itu sikap adil perlu dilatih dan dijaga, baik terhadap diri sendiri, kedua orang tua,
saudara-saudara, anak-anak, teman-teman, tetangga, masyarakat, bangsa dan negaranya
maupun terhadap sang Khalik (Allah SWT). Apabila keadilan itu ditegakkan dalam setiap
aspek kehidupan, tentu keamanan, ketentraman, kedamaian, serta kesejahteraan lahir dan
batin, duniawi dan ukhrawi dapat diraih.9

8
Kholisin, A. Tohe, Akidah Akhlak, (Sidoarjo: Media Ilmu, 2008), h. 77.
9
Kholisin, A. Tohe, Akidah Akhlak, (Sidoarjo: Media Ilmu, 2007), h. 101.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlah al-
karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah). Secara teoritis macam-macam
akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana),
syaja’ah (perwira atau kesatria), dan ‘iffah (menjaga diri dari perbuatan dosan dan maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang
dalam mempergunakan potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql
(pemikiran) yang berpusat dikepala, ghdab (amarah) yang berpusat didada, dan nafsu syahwat
(dorongan seksual) yang berpusat diperut.

Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu
syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga
sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia

B. Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
menyarankan kepada teman-teman yang ingin lebih memahami tentang Induk-induk akhlak
terfuji untuk mencari referensi tambahan melalui buku-buku yang mudah didapat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Fil, Bisri, Akhlak. Jakarta: Media Ilmu, 2009.

Khamzah, Rohman Abdul Roli. Akidah dan Akhlak 2. Solo, 2013

Khamzah, Rohman Abdul Roli. Menjaga akidah dan akhlak 1. Solo, 2014

Tohe, Kholisin, Akidah Akhlak kelas 11. Sidoarjo, 2007

Tohe, Kholisin, Akidah Akhlak kelas 10. Sidoarjo, 2008

Lubis Zulfahmi, Mukhlis, Akhlak Islam. Medan, 2017

22

Anda mungkin juga menyukai