Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Awal proses terjadinya kolonialisme Inggris di India

Awal kegiatan Inggris di India, yaitu terjadi ketika kongsi dagang atau badan
perdagangan diprakarsai oleh pedagang EIC (English East India Company) pada
tahun 1600 yang dibentuk para pedagang London. Badan perdagangan ini, juga
diberi hak monopoli oleh Kerajaan Inggris untuk dominasi wilayah meliputi dunia
bagian timur (India, Indonesia, dan China), namun di India tersebar menjadi 3
wilayah utama yang ditempati diantaranya yaitu: Madras pada tahun 1639,
Bombay pada tahun 1661 yang didapat dari Portugis dari hadiah pernikahan Raja
Charles II dengan Putri Catharina Braganza, kemudian disewakan pada tahun
1665 kepada EIC, dan daerah Calcutta yang didapat pada tahun 1690 juga
diberikan kepada EIC, mereka juga melebarkan dominasi kolonisasinya bukan
hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik (Baxter, 1987: 6;bdk
Mulia, 1959: 88).
Peletak dasar dominasi kekuasaan Inggris di India adalah Robert Clive, yang
mampu mengalahkan Prancis dalam pertempuran Carnatic tahun 1746-1752, dan
1756-1763, sebelum masa Inggris di India, Inggris juga berhasil mengalahkan,
dan mengusir Portugis, Belanda, dan Srilangka dari India.
Robert Clive juga mampu menginvasi wilayah Benggala melalui dua
pertempuran dengan Nawab Benggala, pada Perang Plassey (Juni 1757) dengan
mengalahkan Nawab Sirajuddaula dalam Perang Boxor ( Oktober 1764) diikuti
dengan kalahnya aliansi Nawab Mir Qasim dan Sultan Shah Alam dari Mughal,
yang hasilnya EIC mendapatkan hak diwani atau hak untuk upeti 3 wilayah yaitu
Benggala, Bihar, dan Orissa (Sethi, 1951;494).
Selanjutnya Clive diganti oleh Warrent Hastings (1772-1785), dia juga
dianggap sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam pembentukan British India,
pada masa itu merupakan dibentuknya susunan pemerintahan kolonial Inggris,
dan Warrent Hasting adalah Gubernur Jenderal EIC pertama, dia juga membentuk
a board of control, yang disebut juga sebagai sebuah badan yang wewenang
tugasnya adalah mengawasi jalannya pemerintahan EIC di Indonesia (Sethi, et,
al., 195: 505).
Peta kebijakan politik Inggris mengalami perubahan yang signifikan besar
ketika Lord Wellesley (1798-1805) menjadi Gubernur Jendral dengan menetapkan
kebijakan subsidiarry alliances (Raja-raja yang bersekutu dengan Inggris harus
menyerahkan urusan luar negertinya kepada Inggris, membayar upeti dan
mengusir para perwira koloni selain dari pihak Inggris. Ia juga berhasil
menjadikan EIC sebagai kekuasaan besar yang mendominasi di India, karena dia
juga menguasai wilayah Bengala, Bihar, Orisa, Mysore, Oudh, dan sebagian
daerah Maratha, serta direalisasikan menjadi kekuasaan yang kokoh di India
setelah berhasil melebarkan sayap kekuasaannya ke Punjab setelah mengalahkan
Kerajaan Sikh.K.M.Panikkhar (1948:48). Pada tahun 1848 itu juga disebutkan
juga bahwa seluruh wilayah India berada dibawah Koloni Imperialsime Inggris.
Dampak awal Koloni Imperium Inggris mulai dapat dirasakan masyarakat
India pada masa Lord Bentinck (1828-1835), karena dia berperan besar, dan
mengantarkan pendidikan sistem barat, serta beberapa kebijakannya yang
kontroversial seperti melarang bahkan menghapus adat sati/pembakaran janda,
melarang perkawinan anak-anak, dan memperbolehkan aktivitas misionaris, dan
zending yang dianggap mencampuri urusan masyarakat India dan membahayakan
eksistensi mereka.
Kekuasaan koloni imperium Inggris bisa diklaim kokoh ketika pada abad-19
setelah ditakhlukkannya kerajaan-kerajaan asli India selama kurang lebih satu
abad lamanya (KM. Pannikar, 1948: 260) dengan menerapkan siasat devide et
impera atau devide et rule.
Kebijakan Koloni Imperium Inggris di India difokuskan pada satu prinsip,
yaitu terlestarinya hukum, dan ketertiban demi tegaknya standar peradaban Inggris
pada klaster sosial masyarakat India, sedikitnya satu lapisan sosial dapat diubah
untuk didoktrin mengikuti budaya dan standar nilai kriteria prinsip kebijakan
Inggris. ”Semakin orang India berpikir seperti orang Inggris semakin tinggi
nilainya di mata Pemerintah Koloni Imperium Inggris. (Ahmed, 1993:132)
Wajar saja jika Inggris berupaya menjadikan struktur India menurut kebijakan
mereka sendiri, seperti membedakan ras yang satu dengan yang lain dengan
menganggap ras pukhtun, punjab, sikh, dan gurkha lebih unggul dari ras benggali
yang rendah untuk menciptakan kelas sosial tersebut cara yang dilakukan Inggris
adalah menerapkan pendidikan budaya barat dengan Lord Macaulay sebagai
direktur committee of public intruction yang mengesahkan “memorandum
pendidikan”, yang diberlakukannya Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib,
dan sebagai bahasa pengantar di sekolah dan lembaga pendidikan yang ada di
India. (Ahmed,1992: 138;juga Sethi, 1951:563).
Sedangkan peletak dasar pendidikan di India dibuat, dan diprakarsai oleh Sir
Charles Wood pada 19 Juli 1854 dengan kriteria: Sekolah Dasar (Primary School),
Sekolah Menengah (Higher School) dan Sekolah Tinggi (College) yang sekarang
terkenal menjadi Universitas atau University (Majumdar; 1956:819).

2.2 Dampak Kolonialisme terhadap Masyarakat India.

Dampak kolonialisme di Inggris dapat dibedakan menjadi 2 yaitu positif dan


negatif, dampak positifnya yaitu warisan berupa fasilitas infrastruktur dan
suprastruktur yang dapat di manfaatkan dan juga dikembangkan oleh rakyat India
untuk kemajuan bangsanya berupa bidang pendidikan, administrasi-politik, sosial-
ekonomi, dan kebudayaan, salah satunya adalah Universitas Calcutta yang
didirikan pada tahun 1857, dan dalam jangka waktu 30 tahun kemudian
didirkanlah
universitas baru yaitu di Bombay, Madras, Lahore, dan Allahabad (Majumdar,
1956:819 – 821). Pendidikan barat juga banyak diminati oleh kalangan kelas
menengah Hindu dibanding Muslim, karena bagi masyakarat Hindu pendidikan
barat mampu mengubah nasib bangsanya yang mampu melahirkan golongan
intelektual, dan para pemikir yang sadar bahwa kesadaran nasional atas realita dan
nasib yang dihadapi bangsanya pada masa itu, dengan memanfaatkan itu semua
mereka bisa memperjuangkan nasib bangsanya yang saat itu sedang terjajah.
Warisan bidang administrasi-politik Inggris juga bisa dimanfaatkan India
dengan mempelajari hukum, dan peraturan yang bisa diterapkan dengan model
pemisahan kekusaan yang rapi seperti kekuasaan yudikatuif, legislatif, dan
demokrasi liberal yang masih dipegang teguh masyarakat India sekarang ini.
Dampak negatif yang dirasakan adalah menurut Jawaharlal Nehru (1951:274-
285), yaitu terjadi eksploitasi besar-besaran atas kekayaan India yang dibawa oleh
Inggris untuk dimanfaatkan sebgai bahan untuk mempercepat revolusi industri,
yang mengakibatkan industri, dan usaha-usaha rakyat India untuk memenuhi
kebutuhannya hancur, serta rusak hingga mengalami krisis sumber daya yang
mengakibatkan wabah kelaparan, selama 1 abad yang terjadi kurang lebih pada
1800-1900, yang sekitar 12,5 juta rakyat india tewas menjadi korban wabah
kelaparan ( Mulia, 1959: 124).
Disamping itu juga pada bidang sosial-budaya, terdapat upaya Inggris untuk
menjadikan Bangsa India sebagai orang orang yang harus patuh pada Imperium
Inggris dengan mendidiknya menjadi orang yang berbudaya, dan berperadaban
Inggris, dengan membagi kalster sosial menurut Inggris, mencampuri urusan
agama, diantaranya, yaitu melarang upacara sati, dan memperbolehkan janda
untuk menikah lagi, dan lain-lainnya yang merugikan masyarakat India pada masa
itu.
2.3 Timbulnya Semangat Nasionalisme di India

Latar belakang timbulnya kesadaran nasional oleh gelombang liberalisme


yang melanda Inggris selama abad 19 dan telah mempengaruhi kaum pelajar di
India yang mayoritas beragama Hindu. Dengan semangat demokrasi dan
patriotisme yang tinggi dari kaum pelajar sehingga mereka ingin menyaksikan
India bersatu secara bulat dan rakyat India mendapatkan hak untuk
memerintahkan diri mereka sendiri. Pembentukan kongres (All Indian National
Congress) yang berdiri pada 1885 dan Liga Muslim (All Indian Muslim League)
pada tahun 1906 merupakan bangkitnya kesadaran nasional yang memperoleh
ekspresi serta momentum (Majumdar 1956:888)
Bagi rakyat India pembentukan kongres pada Desember 1885 merupakan
momentum bangkitnya kesadaran nasional. Hal ini terjadi karena pengaruh dan
eksistensi kongres yang terus berlanjut dalam perjuangan kemerdekaan India,
bahkan setelah India merdeka pun masih mendominasi peraturan politik hingga
saat ini. Pelopor lahirnya Kongres ialah Allan Octavian Hume yang merupakan
seorang Inggris yang berasal dari Skotlandia. Tujuannya membentuk kongres
yaitu ingin menyatukan semua golongan rakyat India, ingin melakukan
pembaharuan dalam bidang pengetahuan, sosial, moral, dan politik, serta ingin
memperbaiki hubungan antara India-Inggris (Mulia, 1959:138). Kongres didirikan
di Bombay saat liburan natal tahun 1885, dihadiri 70 orang delegasi Hindu, 2
orang delegasi Muslim, dan 30 orang Inggris sebagai peninjau. Lalu terpilihnya
ketua pertama yaitu Mr.W.C. Bannerji. Keputusan Kongres sepenuhnya dinilai
mencerminkan loyalitas kepada kolonial Inggris (Majumdar, 1956:893 dan Mulia,
1959:138).
Awalnya pemerintah kolonial Inggris memberikan tanggapan positif
terhadap loyalitas Kongres. Namun, sikap loyal Kongres kian lama kian
tenggelam oleh kritikan pedas terhadap kebijakan pemerintah kolonial Inggris,
dan adanya tuntutan yang makin keras bagi perubahan/pembaharuan di bidang
pemerintahan. Viceroy Lord Duffein 1885-1898) beranggapan bahwa Kongres
tidak lebih sebagai “minoritas yang kecil” artinya bahwa Kongres hanya mewakili
golongan kaum terpelajar yang jumlahnya kecil. Kongres tidak berhak mengakui
dirinya sebagai wakil rakyat India (Walibank, 1948:64).
Reaksi Muslim di India kurang bersimpati terhadap kongres,
dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka terhadap kongres, dan disisi lain
karena sangat sedikit orang Muslim mendapat pendidikan barat. Kesadaran
nasional Muslim di India sebagian besar karena jasa dari Sir Sayyid Ahmad Khan
(1817-1898) yang dikenal sebagai “Bapak Modernisasi Muslim Anak Benua
India”. Dia menyadari realitas tentang ketertinggalan dan keterbelakangan kaum
Muslim dibandingkan dengan kaum Hindu, lalu dia mengupayakan pembaharuan
pendidikan untuk mengejar ketertinggalan itu. Salah satu contoh/buktinya ialah
berdirinya Muhammad Anglo Oriental College di Allgarh yang kemudian menjadi
Universitas Muslim Allgarh tahun 1879. Sir Sayyid Ahnad Khan merupakan
pelopor pertama muslim pertama di India yang menyadari bahwa kaum Hindu dan
kaum Muslim merupakan 2 bangsa yang terpisah dalam aspek apapun. Dia juga
meyakini bahwa usaha mempersatukan kedua kaum tersebut akan menjadi usaha
yang mustahil terwujud atau sia-sia. (Siddiqi, 1987:226)
Sir Sayyid Ahmad Khan menyimpulkan bahwa tujuan kongres kurang luas,
bersikap anti pemerintah, dan tidak memperhatikan aspirasi serta kepentingan
golongan minoritas terutama kaum muslim. Bahkan dia menggerakkan organisasi
untuk menyaingi Kongres (Majumdar 1956:897). Arah politik yang ditempuhnya
antara lain, berusaha menjalin hubungan baik antara orang Islam dengan Inggris
serta berupaya memperjuangkan partisipasi kaum Muslim yang lebih besar bagi
India (Siddiqi 1987:226)
Kaum muslim semakin yakin untuk bersatu dalam sebuah badan politik
yang terpisah, hal ini disebabkan oleh adanya dua perkembangan di tubuh
Kongres. Pertama, timbulnya aliran radikal dalam Kongres yang dipelopori oleh
B. G. Tilak dalam rangka menghidupkan kembali tradisi politik, dan keagamaan
Hindu yang bersifat militan, bahwa India untuk bangsa Hindu. Kedua, kongres
menolak pembagian Benggala menjadi 2 provinsi yaitu Benggala barat untuk
penduduk agama Hindu sementara Benggala timur untuk penduduk beragama
Islam (Symons 1964:42).
Tujuan dibaginya Benggala menjadi 2 provinsi yaitu agar kaum muslim
mengalami kemajuan dan tidak terhalang oleh ketergantungan Calcutta Hindu.
Rencana ini disetujui oleh kaum Muslim namun, kaum Hindu menolak dengan
keyakinan bahwa membagi Benggala sama artinya dengan memecah belah Tanah
Air India (Symons, 1964:42 dan Walibank, 1948:69-68)
Lalu kaum Muslim mengambil 2 tindakan untuk mempertahankan
kepentingan mereka. Pertama, mereka mengirim delegasi kepada Viceroy baru,
Lord Minto, di Simla, dengan pimpinan Aga Khan pada Oktober 1906. Mereka
meminta kepastian hak wilayah bagi kaum Muslim kepada pemerintah, lalu
dikabulkan dalam Government of India Act pada 1909. Kedua, menyelenggarakan
pertemuan di Dacca dengan pimpinan Nawab dan Viqarul Mulk dari Dacca.
Mereka berhasil mendirikan organisasi Liga Muslim yang bertujuan:
1) Untuk memperbesar rasa kesetiaan kaum Muslim terhadap kolonial
Inggris dan menghilangkan kesalahpahaman yang mungkin akan
muncul;
2) Untuk memajukan dan menjaga kepentingan dan hak-hak politik
dari orang Islam;
3) Untuk mencegah munculnya rasa permusuhan dari kaum muslim
kepada golongan masyarakat yang lain (Symons 1964:43)

2.4 Perkembangan Pergerakan Kebangsaan India Hingga Perang Dunia II


Perkembangan pergerakan kebangsaan India di prakarsai oleh dua
organisasi berupa All India Congress (Kongres) dan Liga Muslim. Dari ke dua
organisasi tersebut terdapat perbedaan bentuk orientasi perjuangan diantara
keduanya. Kongres bergerak dengan radikal, progresif serta non-kooperatif
terhadap kolonial Inggris sedangkan liga muslim bergerak dengan sikap
konservatif, reaksioner serta kooperatid dengan colonial Inggris.
Pada PD I kongres dan liga muslim pernah bekerja sama dalam pergerakan
kebangsaan India sebagai contoh ketika Inggris terlibat perang dengan Turki
(1914- 1918), kolonial Inggris merekrut ribuan tentara India baik yang beragama
hindu maupun muslim. Dalam pertempuran tersebut terdapat aksi pemberontakan
dari tentara muslim yang berpihak kepada Turki mengingat Turki merupakan
negara berbasis islam. Kalangan Muslim prihatin dengan keadaan turki yang
berperang melawan Inggris. Keprihatinan itu juga di rasakan oleh pemimpin
kongres yang berorientasi beragama hindu. Akhirnya kongres dan liga muslim
pun melakukan kerja sama hingga membuahkan hasil berupa Lucknow Pact yang
berisi pokok fakta yaitu pertama, Kongres setuju dengan model pemilihan terpisah
bagi komunitas muslim sebagaimana yang diinginkan oleh liga muslim. Kedua,
organisasi pun sepakat terkait skema konstitusi India berdasarkan dominion yang
mana menuntut atas partisipasi rakyat India membantu Inggris dalam PD I.
Ditahun 1919 beridiri pergerakan Khilafat yang diprakarsai oleh Maulana Abul
Kalam Azad, serta dua orang bersaudara yaitu Muhammad Ali, dan Syaukat Ali.
Tujuan pergerakan ini ialah untuk menyelamatkan kekhalifahan Turki Utsmani.
Pembentukan Gerakan khilafat ini di dukung oleh Liga Muslim, serta Kongres
(sebagai bentuk penghargaan kepada umat Muslim ). Terdapat beberapa
perkembangan yang terjadi ketika perang dunia I selesai dianntaranya yaitu
1. Pemerintah kolonial Inggris berusaha melakukan pembatasan terhadap
aktivitas politik orang orang india baik dari kongres maupun liga muslim.
Sebagai contoh Ketika kolonial Inggris memberlakukan Rowlatt Act yaitu
larangan bagi orang India melakukan perkumpulan lebih dari empat orang.
2. Perubahan karakter organisasi kongres dan liga muslim yang awalnya
bersifat elitism konstitusional dan gradualisme berubah menjadi bersifat
massa. Perubahan ini dikarenakan wafatnya tokoh moderat serta kehadiran
Mohandas Karamchand Gandhi dalam politik India dimana ia merupakan
aktivis pemimpin kongres yang dapat membuat kolonial Inggris kerepotan.
Pada perkembangan pergerakan Kongres dengan pemimpinnya M.
Karamchand Gandhi serta liga muslim dengan pemimpinnya bernama
Muhammad Ali Jinnah memberikan warna, serta pengaruh kuat atas keduanya.
Kepemimpinan mereka berdua sangat berkarisma. Bedanya yaitu pada tipe
kepemimpinannya. M. Karamchand Gandhi memiliki tipe kepemimpinan politik
yang suci serta ideal berdasarkan kebudayaan Hindu, sedangkan Muhammad Ali
Jinnah tipe yang berciri elite intelektual berorientasi barat serta memegang teguh
agama Islam.

Pada tahun 1992-1928 Mahatma Gandhi ditangkap dan dipenjara. Ketika


peristiwa itu terjadi didalam seksi Kongres dibawah pimpinan C.R. Das dan
Mothal Nehru mendirikan sebuah partai baru dengan nama Partai Swaraj dengan
tujuan menjalankan oposisi terhadap pemerintah kolonial Inggris didalam Dewan
Perwakilan, dan akan mengundurkan diri bila pemerintah melakukan penolakan
terhadap keputusan penting yang memiliki suara terbanyak. Hal tersebut
dilakukan oleh Majumdar ketika mengajukan mosi untuk mengubah UU
pemerintahan serta menuntut status dominion India selambat lambatnya tahun
1930 yang mana kala itu ternyata mosi itu ditolak oleh Inggris. Akhirnya Partai
Swaraj pun mengundurkan diri dari Dewan Perwakilan, dan mengakibatkan
perpecahan terbentuknya cabang baru yang mana cabang ini bekerja sama dengan
Inggris untuk mencapai kemerdekaannya. Cabang baru tersebut bernama
Responsive Cooperation dipimpin oleh tokoh tokoh liberal bernama Jayakar,
Kelkar dan Dr. Monjee. Kemuculan cabang baru itu memicu perselisihan antara
komunitas Hindu dengan komunitas Muslim. Ambedkar menyebut peristiwa ini
sebagai zaman perang saudara antara Hindu, dan Muslim di tahun 1920-1940 an.

Tahun 1926-1931, Viceroy Lord Irwin, seorang tokoh liberal memiliki


gagasan untuk mengubah UU pemerintahan India dengan membentuk sebuah
panitia Komisi Simon ( Simon Commissiion) dan diketuai oleh Sir John Simon.
Komisi ini mulai bekerja ditahun 1928 namun ditolak, serta diboikot dimana-
mana baik oleh Kongres maupun Liga Muslim. Kunjungannya di Bombay pun
disambut dengan gertakan serta arak arakan massa dengan teriakan “simon go
back”. Akibat keberadaan Komisi Simon ini Kongres dan Liga Muslim bekerja
sama menyelenggarakan All India Confrence ditahun 1928. Konferensi ini
memilih Pandit Motilal Nehru sebagai pemimpin, dan kemudian menghasilkan
Nehru Report yang mana berisi tuntutan status dominion India. Tuntunan ini
dijawab oleh Viceroy Lord Irwin dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar
(KMB)/ a Round Table Confrence.

Sebelum pelaksanaan KMB, kongres melakukan sidang di Lahore pada


Desember 1929 dengan penegasan tujuannnya berupa tercapainya kemerdekaan
penuh (Purnasvaraj). Jawarhal Nehru menyatakan bahwa status dominion harus
ditanggalkan, kemerdekaan pun tidak akan tercapai jika Inggris masih berada di
India. Kemudian Kongres melancarkan aksinya untuk memboikot KMB dan
melakukan gerakan Civil-Disobedience yang mana gerakan ini dipimpin oleh
Mahatma Gandhi pada April 1930. Akhirnya dalam situasi tersebut Inggris
bertindah represif untuk menghentikan kegiatan atau gerakan massa tersebut.
Dikarenakan situasi di India yang ricuh akibat adanya gerakan massa dari
kongres tersebut, KMB pun akhirnya dilaksanakan di London pada November
tahun 1930 tanpa adanya perwakilan dari kongres. Dalam proses KMB I ini
ditemukan hasil kesepakatan bahwa India akan mendapatkan status dominion
namun liga muslim menolak adanya pemilihan umum. Setelah itu dilaksanakan
KMB II pada September-Desember tahun 1931 telah dihadiri oleh pihak Kongres,
Liga Muslim, dan Partai Liberal perwakilan dari golongan minoritas. Mahatma
Gandhi pada siding tersebut menuntut agar status dominion India segera
diberikan. Pada saat KMB II ini berlangsung terdapat kendala soal komunal
sehingga perdana menteri Inggris, Ramsay Mac Donald memberlakukan
Communal Award dimana memiliki arti memberikan hak kepada kelompok
minoritas untuk melakukan pemilihan secara terpisah. Pelaksanaan KMB III
dilanjutkan pada November- Desember tahun 1932 namun mengalami kegagalan
karena Kongres dan kaum sikh tidak hadir.

Pasca KMB pemerintahan inggris membentuk rencana konstitusi


pemerintahan India dengan dijalankan oleh panitia beranggotakan 32 orang
anggota parlemen dan ketua nya Lord Linlithgrow (Viceroy India 1936-1943).
Kegiatan ini menghasilkan undang-undang yang dikenal sebagai the Government
of India Act, dimana UU ini memberikan hak otonomi pemerintahan provinsi yang
luas kepada rakyat India. India dijadikan sebagai federasi antara British-India
yang mana merupakan wilayah India yang diperintah langsung oleh Inggris
dengan Princely States dengan wilayah yang diperintah oleh raja-raja pribumi.
Lalu penguasa tertingginya dinamakan Viceroy ( raja muda). Undang undang ini
disahkan oleh Viceroy Lord Wellingdon pada Agustus 1935. Selanjutnya
diberlakukannya system Dyarchy (UU tahun 1919) yang mana urusan pertahanan
luar negeri, serta agama dipegang oleh Viceroy yang dibantu oleh 3 penasihat.
Urusan sosial, ekonomi serta pendidikan diberikan ke pihak provinsi. Burma
dipisahkan dari India, dan ditetapkan sebagai Crown Colony. Sindh dilepaskan
dari Bombay, dan dijadikan provinsi terpisah.

Keberadaan UU ini tidak membawa kesepakatan baik, namun malah menjadi


penyebab pertikaian antara Kongres dan Liga Muslim dikarenakan Kongres
menolak tawaran Liga Muslim untuk membentuk pemerintahan koalisi disetiap
provinsi setelah Kongres menang mutlak dalam pemilihan umum ditahun 1937.
Muhammad Ali Jinnah pun sebagai ketua dari Liga Muslim menyatakan
kekecewaan atas kekalahan mereka dalam pemilihan umum. Mengingat negara
India mayoritas merupakan agama Hindu, Kongres mendapatkan suara terbanyak
dari berbagai provinsi seperti Bihar, United Province, Central Province, Bombay,
Madras, Orissa, bahkan di North West Frontier yang mana sebagian besar
penduduknya beragama Muslim pun Kongres tetap mendapatkan suara terbanyak.
Sedangkan liga muslim menang suara hanya di daerah Sindh dan harus
membentuk kabinet koalisi di Benggala ( mengenai hasil pemilihan umum 1937,
lihat Prasad, 1948: 143)

Pemerintahan pun akhirnya dipegang oleh pihak Kongres, namun


kepemerintahan tersebut membuahkan kekhawatiran bagi masyarakat Muslim
mengingat Kongres identik dengan agama Hindu. Akhirnya untuk meredam
kekhawatiran itu, Liga Muslim mengembangkan diri menjadi gerakan separatis,
dan didukung oleh masyarakat muslim lainnya. Gerakan ini menghasilkan resolusi
Lahore pada Maret 1940 yang disahkan oleh Liga Muslim dengan tujuan
berdirinya negara Islam Pakistan yang terpisah dari Hindustan yang dituntut oleh
Kongres kepada masyarakat Muslim.

Negara Pakistan yang diperjuangkan oleh Liga Muslim meliputi kawasan


India Barat Laut yang terdiri dari provinsi Punjab, North West Frontier Province,
Sind, Baluchistan, dan Kawasan India Timur Laut yang terdiri dari Provinsi
Benggala, dan Assam (Mortimer, 1984: 185). Perjuangan Negara Pakistan ini
senada dengan usulan Muhammad Iqbal (penyair intelektual muslim terkemuka)
pada sidang tahunan Liga Muslim (mengenai usulan Muhammad Iqbal ini, lihat
Ali, 1946: 219; juga Khurshid Ahmad dalam Al-Maududi, 1967: 15)

Anda mungkin juga menyukai