Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DENGAN LIMFADENITIS

I. Anatomi dan Fisiologi

Sumber : https://1.bp.blogspot.com

Limpa sering digambarkan sebagai seukuran kepalan tangan kecil.


Limpa diposisikan di bawah tulang rusuk, di bawah diafragma, dan di
atas ginjal kiri. Limpa kaya akan darah yang diberikan melalui arteri
limpa. Keluar darah organ ini melalui vena limpa.(Mansjoer, 2013).
Limpa juga berisi pembuluh limfatik eferen, yang mengangkut
getah bening jauh dari limpa.Getah adalah cairan bening yang berasal
dari plasma darah yang keluar pembuluh darah pada bad kapiler.Cairan
ini menjadi cairan interstitial yang mengelilingi sel. Pembuluh limfa
mengumpulkan dan mengarahkan getah bening langsung terhadap
pembuluh darah atau kelenjar getah bening lainnya.Limpa adalah, organ
memanjang lembut yang memiliki penutup jaringan ikat luar
yang disebut kapsul.Kapsul dibagi secara internal ke dalam
banyak bagian yang lebih kecil yang disebut lobulus.(Gayton &
Hall, 2015).
Limpa terdiri dari dua jenis jaringan: pulpa merah dan pulpa putih.
Pulpa putih adalah jaringan limfatik yang terutama terdiri dari limfosit
yang disebut limfosit B dan limfosit T yang mengelilingi arteri. Pulpa
merah terdiri dari sinus vena dan tali limpa. Sinus vena pada
dasarnya rongga penuh dengan darah, sementara tali limpa adalah
jaringan ikat yang mengandung sel-sel darah merah.(Gayton & Hall,
2015).
Peran utama dari limpa adalah untuk menyaring darah. Limpa
mengembang dan memproduksi sel-sel kekebalan yang matang
yang mampu mengidentifikasi dan menghancurkan patogen.
Terkandung dalam pulpa putih limpa adalah sel-sel kekebalan yang
disebut limfosit B dan T. limfosit T bertanggung jawab untuk ekebalan
yang diperantarai sel, yang merupakan John Gibson
(2015)
Respon imun yang melibatkan aktivasi sel kekebalan tertentu untuk
melawan infeksi. sel T mengandung protein yang disebut reseptor sel T
yang mengisi membran sel-T. Mereka mampu mengenali berbagai jenis
antigen (zat yang menimbulkan reaksi kebal). Limfosit T yang berasal
dari timus dan melakukan perjalanan ke limpa melalui pembuluh darah.
Limfosit B atau sel-B berasal dari sumsum tulang sel-sel induk. Sel B
membuat antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu. Antibodi
mengikat antigen dan menandai untuk penghancuran oleh sel-
sel imun lainnya. Kedua pulpa putih dan merah mengandung
limfosit dan sel-sel kekebalan yang disebut makrofag. Sel-sel ini
membuang antigen, sel-sel mati, dan puing-puing dengan
menelan dan mencerna mereka.
Sementara fungsi limpa terutama untuk menyaring darah, juga
menyimpan sel-sel darah merah dan trombosit. Dalam kasus di mana
pendarahan ekstrim terjadi, sel darah merah, trombosit, dan makrofag
dilepaskan dari limpa. Makrofag membantu mengurangi peradangan dan
menghancurkan patogen atau sel yang rusak di daerah luka. Trombosit
adalah komponen darah yang membantu pembekuan darah untuk
menghentikan kehilangan darah. Sel darah merah dilepaskan dari limpa
ke dalam sirkulasi darah untuk membantu mengkompensasi kehilangan
darah.
II. Konsep Dasar Penyakit
A. Definisi
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi
akibatterjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan
pada kelenjar getah bening regioner dari lesi primer. limfadenitis tuberkulosis
(TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening yang
disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi
pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998).
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi (Kumar, 2004).
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapakelenjargetah
bening. Peradangan tersebut akan menimbulkanhiperplasia kelenjargetah bening
hingga terasa membesar secaraklinik. Kemunculan penyakit iniditandai dengan
gejala munculnyabenjolan pada saluran getah bening misalnya ketiak, leher dan
sebagainya. Kelenjar getah bening yang terinfeksi akan membesar danbiasanya
teraba lunk dan nyeri. Kadang-kadang kulit diatasnya tampakmerah dan teraba
hangat (Baratawidjaja,2012)
Limfadenitis tb, suatu peradangan pada satu atau lebih
kelenjar getah bening.Penyakit ini masuk dalam kategori tuberkolosis
luar.Tuberkolosis sendiri dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi seperti yang
tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno.Nama "tuberculosis" berasal dari kata
tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan gambaran patologik khas
pada penyakit ini.Nah, begitu juga Limfadenitis tb, suatu peradangan pada satu
atau lebih kelenjar getah bening.Penyakit ini masuk dalam kategori
tuberkolosis luar.Tuberkolosis sendiri dikenal sejak 1000 tahun sebelum Masehi
seperti yang tertulis dalam kepustakaan Sanskrit kuno.Nama "tuberculosis"
berasal dari kata tuberculum yang berarti benjolan kecil yang merupakan
gambaran patologik khas pada penyakit ini (Corwin, 2014)

B. Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (padamanusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan
M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan asam yang
dapat dilihat dengan pewarnaan Z iehl- Neelsen atau Kinyoun Gabbett .M.
tuberculosis dapat tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi
senyawakarbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan.
M.tuberculosis merupakanmikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap
desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga
berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes. Kuman
akan mati pada suhu 600C selama 15-20 menit, Pada suhu 300atau400-450C sukar
tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan oksigen dapat menurunkan
metabolisme kuman. .Daya tahan kuman M. tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan
terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat
tahan hidup selama 8-10 hari.M .tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi.

C. Patofisiologi
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering
terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type tuberculosis,
sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena
sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga
terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010). Basil tuberkulosis juga dapat
menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB ekstrapulmoner.
Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh
basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh
makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,
perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini
pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana
penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang
saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang
yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk
imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB
dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus
primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis
dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus
Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam
tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB.
Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi
basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun
dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya
imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB
primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada
TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui
aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru.
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit
oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di
leher.

D. Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu
diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada
daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra,
2004).. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh
kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio
supraklavikular (Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39%
pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif,
keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB
paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa pasien dengan
limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam,
penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat kontak
terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1%
pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali terjadi infeksi sekunder
bakteri,pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi
sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus.Pembentukan
fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada
dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang
jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal
termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat
menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites
ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran
kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga
pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran = 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

E. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang
tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak
klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan
biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang
dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum
diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga
penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-
tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB :
1. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-
Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi
aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil
mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar
perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004). Kultur juga
dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis TB.
Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil
kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media
dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada
adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh
M.bovis (Bayazit, 2004).
2. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan
adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium
pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative
(PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi.
Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat
apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm
(Mohapatra, 2009).
3. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi
aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi
dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah
78% dan 99% (Kocjan, 2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal
(Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell,
granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa. Muncul kesulitan dalam
pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel epiteloid atau
Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan
materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik
tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati
bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi
eusinofilik, dapat memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.
4. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang
konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks
lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15%
kasus (Bayazit, 2004). USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik
multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul
tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk
membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik,
lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang
disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011). Pada CT scan, adanya
massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya cincin irregular
pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan
lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004)

F. Penatalaksanaan
Pengobatan pasien Limfadenitis Tb menggunakan paduan OAT yang
terdiri dari OAT lini pertama dan lini kedua, yang dibagi dalam 5 kelompok
berdasar potensi dan efikasinya. Levofloxacin adalah golongan fluoroquinolon,
mempunyai efek bakterisidal kuat terhadap M.tb. Dosis 500–1000 mg per hari
pada pasien dewasa.Dosis ratarata 750 mg bentuk sediaan oral dan intravena.
Efek samping Levoflokxacin adalah mual, pusing, insomnia, tremor. Efek
yang jarang terjadi adalah rupture tendon arthralgia, dan prolong QT.Ethambutol
mempunyai efek bakteriostatik terhadap kuman M.tubeculosis, Dosis dewasa 15–
25 mg/kg BB/hari. Bentuk sediaan oral, tidak tersedia bentuk parenteral.Efek
samping obat yang bisa terjadi adalah neuritis retrobulbar.5 Pirazinamid adalah
derivate nikotinamid.Dosis dewasa 25 mg/kg BB/hari, dosis maksimal 2
gram/hari.
Efek samping obat adalah gout (hiperurisemia) dan artralgia, hepatotoksik,
rash pada kulit, fotosensitivitas, dan gangguan gastrointestinal.Kanamycin adalah
golongan aminoglikosida. Mempunyai efek bakterisidal terhadap kuman
MTB.Dosis dewasa 15 mg/kg BB/hari.Efek samping ototoksisitas dan toksisitas
vestibular.Penggunaan kanamycin harus dengan monitoring fungsi ginjal.
Ethionamid adalah derivate asam isonikotinat.Bersifat bakterisidal lemah.Dosis
15–20 mg/kg BB/ hari. Bentuk sediaan tablet salut 250 mg. (Mohapatra, 2014).

III. Rencana Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Pengkajian
a. Identitas klien: selain nama klien, juga orangtua; asal kota
dan daerah, jumlah keluarga.
b. Keluhan: penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
c. Riwayat penyakit sekarang: Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat
benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal,
axilla dan sub mandibula.
d. Riwayat penyakit dahulu:
1) Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada
leher serta tempat kelenjar yang lainnya dan sudah
diberi pengobatan antibiotik tidak sembuh-sembuh?
2) Pernah berobat tapi tidak sembuh?
3) Pernah berobat tapi tidak teratur?
4) Riwayat kontak dengan penderita TBC.
5) Daya tahan yang menurun.
6) Riwayat imunisasi/vaksinasi.
7) Riwayat pengobatan.
8) Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
9) Riwayat keluarga.
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit
yang sama.
e. Aspek psikososial.
1) Merasa dikucilkan.
2) Tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik
diri.Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk
sembuh perlu waktu yang lama dan biaya yang
banyak.
3) Tidak bersemangat dan putus harapan.
f. Lingkungan:
Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman
yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota
keluarga yang banyak.
g. Pola fungsi kesehatan.
1) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan. Keadaan umum:
alergi, kebiasaan, imunisasi.
2) Pola nutrisi - metabolik. Anoreksia, mual, tidak enak diperut, BB
turun, turgor kulit jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub
kutan, sulit dan sakit menelan, turgor kulit jelek
3) Pola eliminasi Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan
pada kuadran kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada
kuadran kiri atas dan splenomegali.
4) Pola aktifitas – latihan Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas
berat timbul sesak nafas (nafas pendek).
5) Pola tidur dan istirahat Iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam
hari.
6) Pola kognitif – perseptual Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul
limfa, nyeri tulang umum, takut, masalah finansial, umumnya dari
keluarga tidak mampu.
7) Pola persepsi diri Anak tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
8) Pola peran – hubungan Anak menjadi ketergantungan terhadap
orang lain (ibu/ayah)/tidak mandiri.
9) Pola seksualitas/reproduktif Anak biasanya dekat dengan ibu dari
pada ayah.
10) Pola koping – toleransi stres

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
sekresi yang tertahan.
5. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
C. Intervensi Keperawatan

Dx. keperawatan NIC NOC

Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan  Identifikasi lokasi, karakteristik,


berhubungan keperawatan nyeri dapat durasi, frekuensi, kualitas,
dengan agen menurun, dengan kriteria intensitas nyeri
pencedera hasil: :  Identifikasiskala nyeri
fisiologis.  Nyeri berkurang  Monitor efek samping
 Tidak ada gelisah pemberian analgesik
 TTV dalam batas normal  Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
 Fasilitasiistirahat dan tidur
 Jelaskan penyebab, dan pemicu
nyer
 Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
 Kolaborasi pemberian analgesik
Gangguan Setelah dilakukan tindakan  Monitor frekuensi, irama,
pertukaran gas keperawatan tukaran gas kedalaman, dan upaya napas
berhubungan dapat membaik,dengan  Monitor pola napas (sepeerti
dengan kriteria hasil : bradipnea, takipnea,
ketidakseimbanga  Tingkaat kesadaran hiperventilasi)
n membaik  Monitor kemampuan batuk
ventilasi-perfus  Tidak ada dispnea efektif
 Tidak ada pusing  Monitor adanya produksi sputu
 TTV dalam batas normal  Monitor adanya sumbatan jalan
napa
 Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil
pemantauan
 Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan
Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan  Monitor pola napas (frekuensi,
nafas tidak efektif keperawatan bersihan jalan kedalaman, usaha napas)
berhubungan napas dapat efektif, dengan  Monitor bunyi napas tambahan
dengan sekresi kriteria hasil : (mis. Gurgling, mengi,
yang tertahan  Tidak ada dispnea wheezing,
 Tidak ada gelisah ronkhi kering
 Produksi sputum menurun  Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
-Frekuensi napas dan pola  Pertahankan kepatenan jalan
napas membaik napas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga
trauma servikal)
 Posisikan semi-Fowler atau
Fowler
 Berikan minum hangat
 Berikan oksigen, jika perlu
 Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi
 Anjurkan teknik batuk efektif
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah suatu serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kedalam suatu kamus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan (Potter & Perry, 2012).
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan yaitu proses membandingkan efek atau hasil
sebuah tindakan keperawatan secara normal atau sesuai tujuan yang telah
dibuat merupakan tahap untuk proses dari keperawatan evaluasi terdiri
dari :
1. Evaluasi Formatif : Hasil observasi dan analisa oleh perawat
terhadap respon segera pada saat dan setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
2. Evaluasi Sumatif : Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan
analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan ditulis pada
catatan perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2014. Patofisiologi: Buku Saku Edisi 3. Jakarta: EGC.


Davey, Patrick. 2013. At a glance Medicine. Jakarta: EGC
Handayani, Wiwik & Hariwibowo, Andi Sulistyo. 2013. Buku Ajar AsuhanKeperawatan
pada Klien dengan Gangguan Sistem imunologi. Jakarta: Salemba Medika .
Herman, T. Heather. 2014. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta : EGC.
Hidayat, Aziz Alimut. 2013. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta: Salemba
Medika
Kumar, 2014.Medeiros. Lymph Node Pathology, Fourth Edition, Lippincot
Kemenkes. 2011. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011.
Ioachim, 2015. Robbins Basic Pathology. 8th
Raviglione, 2014. Philadelphia. Pennsylvania
Sharma, 2014, Sangeeta,.Clinical Profile And Treatment Outcome Of Tuberculous
Lymphadenitis In Children Using Dots Strategy.Available from:
http://medind.nic.in/ibr/t10/i1/ibrt10i1p4.pdf.
Schwartz, M. William. 2014. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC.
Suriadi. Yuliani, Rita. 2013. Asuhan Keperawatan Medikal bedah. Jakarta: Penebar
Swadaya
RISKESDAS. (2013). Riset Kesehatan Dasar, 88.
Wilkinson, Judith M. & Ahern Nancy R. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan :
diagnose NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi 9. Alih Bahasa : Esty
Wahyuningsih, Editor Bahasa Indonesia : Dwi Widiarti. EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai