Anda di halaman 1dari 12

PAPER

Teologi Lingkungan Hidup (Ekoteologi)


Peran Gereja dalam Era Globalisasi

DISUSUN OLEH :

YUNUS
NIM : 050220180053
DOSEN : Prof. Dr. Samuel Benyamin Hakh

PROGRAM PASKA SARJANA STAKN KUPANG


2019
Teologi Lingkungan Hidup (Ekoteologi)

Peran Gereja dalam Era Globalisasi

Pendahulua

Berbagai masalah lingkungan hidup telah mencapai posisi penting hingga abad ke -21 ini,
dan diperkirakan akan terus meningkat. Pemanasan global, efek rumah kaca, penipisan lapisan
ozon, degradasi lingkungan, polusi nuklir, pengurangan area hijau, kepunahan beberapa spesies
tumbuhan dan hewan merupakan fenomena ekoligis yang paling penting sekarang ini (Nurasyah
Dewi, 2018 : 22). Dalam waktu limapuluhan terakhir ini, ekologi telah menjadi salah satu isu
menantang yang dikaji dengan sangat serius dalam berteologi. Diskusi tentang hubungan antara
teologi dan ekologi semakin banyak menjadi perhatian yang ditinjau dari berbagai presfektif,
bukan hanya komunitas Kristen tetapi juga dalam berbagai komunitas (agama-agama) lain di
dunia ini

Keadaan lingkungan sekarang ini sudah dikatakan sebagai “krisis”, seorang ekolog
Thomas Berry mengambarkan krisis lingkungan sebagai “kehancuran bumi”. Dalam kajiannya
digambarkan bahwa setiap tahun ada sekitar sepuluh ribu spesies musnah di bumi. Ia
memperkirakan bahwa tidak lama lagi dunia akan musnah dengan banyaknya jumlah
kemusnahan spesies itu. Berry menunding bahwa gereja tidak terlalu peduli dengan masalah
kerusakan lingkungan ini. Jika tudingan ini benar, maka ada yang salah dalam berteologi.
Padahal seharusnya gereja menjadi pelopor dalam memelihara dan menjaga alam semesta
ciptaan Tuhan ( Aritonang, 2018 : 202-203). Hal yang sama juga dikatakan oleh Jonathan Schell,
dalam menuliskan dalam bukunya yang cukup kontroversial, The Faith of the earth ia
mengambarkan seluruh kehidupan di planet bumi sedang terancam dengan “kematian kedua”. Ia
mengambarkan kematian pertama sebagai kematian manusia dan kematian kedua akan segera
menyusul, yaitu kematian seluruh system kehidupan ( Borrong, 1999 : 15-16)

Krisis lingkungan ini juga terlihat di Indonesia. Di tuliskan dalam suatu headline sebuah
surat kabar elektronik menuliskan bahwa Indonesia menjadi juara dua di dunia dalam masalah
pencemaran lingkungan terutama limbah plastic di lautan. Isi beritanya adalah ditemukan
bangkai ikan paus sperma (Physeter macrocephalus) di sekitar Pulau Kapota, Kabupaten
Wakatobi, Sulawesi tenggara, Paus sepanjang 9,5 meter dan memiliki lebar 1, 85 meter. Paus
malang itu dikelilingi sampah plastic dan potongan-potongan kayu. Saat perut Paus itu dibelah,
ternyata didalamnya berisi beragam sampah plastic seberat kurang lebih 6 kilogram (Liputan6
online,November 2018). Masalah banjir juga dipicu oleh rusaknya ekosistem. Sampah-sampah
menghambat aliran air ditambah dengan tidak seimbangnya kebijakan pembangunan, merupakan
salah satu bukti bahwa krisis ekologi semakin parah. Selain banjir, musim kemarau juga
menyebabkan kekeringan dan kebakaran hutan yang menimbulkan dampak kabut asap bagi
negara tetangga, seperti singapura dan Malaysia. Belum lagi bencana lain seperti tanah longsor,
dan lain-lain, yang diesbabkan oleh krisis ekologis. Ekoteologi diharapkan dapat menyediakan
pemahaman dan jalan keluar atas permasalahan ini.

Latar Belakang Munculnya Eco-Theology

Joseph Stiller sejak tahun 1961 sudah mengingatkan kebutuhan akan teologi lingkungan.
Ia menyatakan bahwa salah satu pihak yang ikut menyebabkan kerusakan dunia adalah manusia,
dimulai dari krisis ekologis dan spiritual. Ada tiga tahapan munculnya ide eco-theologi dalam .
pertama, sekitar tahun 1962, Rachel Carson, seorang biology, aktivis lingkungan,
memperingatkan dunia akan kerusakan lingkungan akibat banyaknya gas beracun yang
dihasilkan pabrik-pabrik legal. Kedua, tahun 1967 Lynn White, Jr. seorang sejarahwan,
menuding kekristenan sebagai penyebab krisis lingkungan. Tulisan ini dipublikasikan pada tahun
1967 pada sebuah majalah ilmiah science. Menurut Scharper, White juga menuding kekristenan
adalah “the most anthropocentric religion” yang memicu manusia mendominasi alam semesta.
Ketiga, munculnya Social Justice and Enviriontmental Concerns. Keadilan social berkaitan
dengan perhatian atas masalah ekologi (Aritonang, 2018: 206).

Prediger mengambarkan bahwa ekoteologi muncul dalam empat tahap berdasarkan jenis
tuduhan yang dilontarkan beberapa pemikir terhadap kekristenan, yakni: Pertama, Arnold
Toynbee, yang menuduh bahwa konsep monoteisme Kristen, khusunya dalam kejadian 1:28,
menyababkan manusia mendominasi dan mengekploitasi alam. Kedua, Wendell Berry
menyatakan ajaran dikotomi Kristen sebagai penyebab eksploitasi atas alam: adannyha
pemahaman pemisahan antara tubuh dan jiwa, spritualitas dan material, suci dan secular. Ketiga,
eskatologi Kristen, khususnya teks 2 Petrus 3:10, terutama dalam terjemahan RSV (Revised
Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), NEB (New
English Bible), dan TEV (Today English Version), mengandung masalah terhadap paradigma
ekologi. Teks-teks inilah yang mendorong orang Kristen, khusunya di era Presiden Ronald
Reagan, sangat bersemangat mengeksploitasi alam. Keempat, tahun 1967 “tuduhan” Lynn White
atas Kekristenan. Prediger juga menyimpulkan bahwa teologi Kristen telah mendorong dunia
melakukan eksploitasi terhadap alam.

Robert P. Borrong (2009: 1,2) mengutip pendapat Paul Albercht, menyatakan bahwa
krisis ekologi bertolak dan berkembangnya rasionalisme yang memisahkan ilmu pengetahuan
dari agama. Hal ini menurutnya sudah dimulai sejak abad pertengahan. Lebih jauh Borrong
menjelaskan bahwa perintis rasionalisme seperti Francis Bacon, Descrates, dan Spinoza sudah
berhasil memisahkan antara ilmu pengetahuan (science) dan Teologi (agama). Puncaknya terjadi
pada abad ke 18, ketika ilmu pengetahuan menempuh jalannya sendiri dalam jejak rasionalisme
murni. Hal inilah kemudian yang menurut Borrong membuat manusia memiliki pendapat bahwa
rasiolah satu-satunya ukuran manusia dalam berprilaku, baik terhadap sesama maupun terhadap
alam. Sejak itulah alam dijadikan obyek bagi kepentingan manusia.

Eco theology adalah bagian dari ilmu Etika Sosial Kristen. Ilmu ini mendalami
pengertian Kristen tentang alam semesta dan penciptaan, khususnya tanggung jawab orang
Kristen terhadap lingkungan hidup, dan seringkali disebut juga “Teologi Lingkungan hidup”.
Dalam studi keagamaan ekologi memasuki konsep sentral sebagai gerakan kelompok intelektual
agama yang mengajak manusiabertanggung jawab atas penjagaan dan perawatan keseimbangan
alam dengan mengembangkan berbagai tafsiran dalam karya-karya teologis. Hal ini ditunjukan
agar manusia, terutama orang Kristen, menyadari bahwa krisis ekologi itu dapat mengakibatkan
penderitaan dan ancaman manusia secara global (Aritonang, 2018 :207-208).

Menurut Djaka Soetapa, dalam studi keagamaan ekologi memasuki konsep sentral
sebagai Gerakan kelompok intelektual agama yang mengajak manusia bertanggung jawab atas
penjagaan dan perawatan keseimbangan alam dengan mengembangkan berbagai tafsuran dalam
karya-karya teologis. Usaha-usaha serius harus dilakukan atas studi ekologis. Hal ini ditunjukan
agar manusia, khususnya orang Kristen, menyadari bahwa dampak krisis ekologi itu dapat
mengakibatkan penderitaan dan ancaman bagi manusia secara global. Jika alam rusak, bukan
hanya pihak yang merusak alam yang merasakan akibatnya. Mereka yang berada di sekitar
lingkungan alam yang rusak pun pasti akan merasakan akibatnya.

Metodologi Ekoteologi

Sharper menuliskan ada tiga jenis tipe ekoteologi yang dapat dijadikan model pendekatan
terhadap tantangan ekologi, yakni: apologetic, konstruktif, dan “listening approach”. Sementara
itu Prediger membagi model pendekatan terhadap ekoteologi berdasarkan tokoh-tokoh tertentu
seperti Rosemary Radford Ruether, Joseph Sittler, dan Jurgen Moltmann. Tokoh yang terpenting
adalah Ruether sebab Ruetherlah yang menjadi teolog Kristen pertama yang menghubungkan
teologi pembebasan dengan teologi natur. Ruether juga serius mengangkat isu femenisme,
termasuk mengkritisi feminism itu sendiri. Kemudian Sittler dipilih sebagai salah satu tokoh
yang serius memikirkan hubungan antara ekoteologi dan teologi Kristen, khususnya setelah
pidatonya dalam siding WCC (World Council of Churches) di New Delhi, India, 1961.
Sementara itu pemikiran Moltmann dipilih sebagai model pendekatan ekologi karena Moltmann
sendiri ikut mengembangkan teologi Kristen secara kreatif, Moltmann bukan hanya menggali
tradisi Kristen reformasi tetapi juga menyinggung masalah krisis ekologi dan pergumulan dunia
secara luas dalam rangka pembebasan, selain itu juga, Moltmann mengembangkan pendekatan
teologi trinitarian dalam memadang alam semesta (Aritonang, 2018:208).

Metode ekoteologi menurut Drummond, adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan sistematik, yang menghubungkan pengajaran Kristen tentang Allah, Manusia,


Dosa, Keselamtan/Penebusan, Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Akhir Zaman dengan
konteks krisis ekologi. Ada yang menyoroti bahwa ajaran Kristen sudah mempunyai
dasar yang teguh untuk mengasihi alam. Misalnya James A. Nash (Loving Nature:
Ecological Integrity and Christhian Responsibility). Ia membahas bagaimana doktrin
tentang penciptaan, perjanjian, gambar Allah, inkarnasi, dosa, penebusan dan gereja
mempunyai implikasi-implikasi ekologis. Beberapa ahli lebih suka melalui pendekatan
sistematis membangun teologi rekonstruktif. Misalnya Celia Drummond, dalam bukunya
Eco-Theology mengangkat beberapa tema sistematik dan membahasnya dalam terang
krisis ekologi.
2. Pendekatan biblika, yang menyoroti berbagai teks Alkitab dan menafsirkan secara baru,
di mana teks dikonstruksi ulang dengan cara pandang yang baru secara ekologis. Para
ahli yang bergabung dalam The earth Bible Project Team telah berhasil menerbitkan The
Earth Bible Series, diantaranya berjudul Reading From the Prespective of Earth.
3. Pendekatan historis, yang menyajikan berbagai pendapat dalam sejarah dan berusaha
menggali relevansi dari berbagai tradisi yang berbeda, misalnya dari tradisi
Fransisciskan dapat dipelajari mengenai Sacramental Approach, dari tradisi Benedictine
dapat dipelajari tentang stewardship yang dapat memberikan perubahan, dll. Salah satu
buku dengan pendekatan historis adalah The Travail of Nature (Paul Santmire, 1985).

Dalam beberapa tinjauan ahli di atas, maka konteks, dalam hal ini pemahaman dan fakta,
merupakan materi utama dalam menyusun argument bagi para pengusung ekoteologi. Penafsiran
Kitab Suci dan tradisi gereja dikritik ulang dengan cara pandang ekologis. Hal ini menimbulkan
arti baru dalam sebuah teks.

Ekologi dan Pemahaman Alkitabiah

Alkitab dimulai dengan kesaksian yang menceritakan tentang penciptaan langit dan
bumi .serta segala isinya, termasuk manusia (Kej. 1-2); dan diakhiri dengan kesaksian yang
menyatakan bahwa Allah akan memperbaharui ciptaannya dalam langit dan bumi yang baru
(Why. 21-22). Berdasarkan atas kesaksian ini, makai man Kristen mengakui bahwa hanya Allah
yang menjadi satu-satunya penguasa yang menjadi sumber segala sesuatu dan menjadi penyebab
terjadinya segala sesuatu (Borrong, 1999 : 180). Kitab kejadian ditulis sebagai syair untuk
mengungkapkan iman orang Israel. Kitab kejadian bukan mata pelajaran sejarah tentang
penciptaan ataupun ilmu pengetahuan tentang asal-usul tentang asal usul bumi. Celiane Drane-
Drummond (1999:17) menuliskan bahwa cerita kejadian adalah suatu cara memahami dunia,
sementara ilmu pengetahuan menawarkan penjelasan lain, yang lahir dari budaya modern yang
didasarkan pada aneka ragam pertanyaan yang berbeda-beda. Ilmu pengetahuan tidak perlu
mengantikan cerita kejadian, sebab ilmu pengetahuan bukanlah kata akhir tentang asal-usul
dunia dan kelanjutan keberadaannya.
Menurut Martin Harun, seorang teolog Indonesia yang mengusung dan melakukan
penafsiran ulang dalam rangka kepentingan ekologi . Harun menyatakan bahwa Kejadian 1:28
harus ditafsirkan ulang dan tidak diarahkan pada sekedar tuduhan bahwa penafsiran Kristenlah
yang menjadi penyebab kehancuran bumi. Harun menunjukan bahwa penafsiran kata
“taklukkanlah” dan “berkuasalah” sebagai “menjejak-jejak” dan “menginjak-injak” seperti dalam
Yoel 4:13 dalam konteks memeras anggur. Konteks ini dibangun dengan merujuk pada konteks
Timur Tengah, sehingga kata “taklukanlah” dan “berkuasalah” mendapat pengembangan makna
baru, yhakni seperti seorang raja atau gembala yang mengurusi binatang dengan baik-baik.
Sementara kata “menaklukkan” mendapat makna “mengolah” tanah. Penafsiran seperti ini lebih
menolong kekristenan untuk lebih peduli dengan krisis ekologi yang sedang terjadi. Pola
penafsiran tersebut membenarkan kritik Lynn White bahwa pada masa lalu, khususnya di Eropa,
telah terjadi kekeliruan, setidaknya dalam menafsirkan Alkitab, sehingga Alkitab harus
ditafsirkan ulang dalam presfektif ekologis yang baru saja disadari gereja (Aritonang, 2018: 210-
211)

Kemudian dalam Perjanjian Baru (PB), Harun menggunkapkan bahwa perhatian kepada
alam ciptaan memang agak kurang. Yesus Kristus, menurutnya, memang menyebutkan burung
pipit,bunga bakung, dan ciptaan yang lain, justru untuk membuktikan perhatianNya yang besar
kepada manusia. Harun menunjukan bahwa teks dalam kitab Wahyu justru mengambarkan
bagaimana malaikat merusak alam. Jalan keluarnya, menurut Harun, harus ditempuh dengan
melakukan dialog dengan ilmu ekologi. Pada akhirnya, menurut Harun, perlu penafsiran ulang
atas teks-teks tersebut. Untuk menafsirkanya diperlukan konsep Zaman Akhir seperti yang
diungkapkan Yesus Kristus (Luk. 11:20; 17:21). Konsep-konsep tersebut memunculkan gagasan
bagaimana hubungan Yesus dengan binatang-binatang (Mrk. 1:13). Ada pula konsep Paulus
tentang keselamatan kosmis yang menjelaskan bahwa keselamatan bukan hanya bagi manusia,
melainkan juga seluruh ciptaan (Aritonang, 2018:211)

Hal serupa juga diungkapkan oleh R.P. Borrong. Menurut Bororng, dalam menghadapi
tudingan yang mempersalahkan tradisi Yudaisme-Kristen sebagai sumber krisis ekologis, para
teolog harus melakukan penelitian eksegetis dan hermeneutis-biblis. Borrrong juga mengungkap
bahwa gereja-gereja telah mengakui kesalahan tentang perlakuan mereka terhadap alam. Teologi
Kristen pada masa lampau cenderung anti-ekologis, tetapi tidak berarti seluruh kesalahan ada
pada kekristenan. Oleh sebab itu, harus ada usaha untuk menafsirkan ulang teks Alkitab
khususnya Kejadian 1:28 dari prespektif ekologis. Orang Kristen juga harus bertanggung jawab
untuk memelihara bumi. Penafsiran-penafsiran tersebut sangat berguna dalam membangun
teologi pada masa kini dengan memperhatikan konteks ekologi.

Teologi Kristen mengakui adanya permulaan waktu dan adanya campur tangan ilahi
dalam menciptakan alam semesta yang mencakup ruang dan waktu. Itulah sebabnya pandangan
Kristen tentang alam atau lingkungan bersifat teosentris bukan geosentris atau kosmosentris.
Allah adalah satu-satunya subyek dan realitas mutlak yang menjadi sumber satu-satunya dari
alam semesta. Itulah pengakuan iman yang dikemukakan mengenai penciptaan langit dan bumi.
Berdasarkan keyakinan inilah yaitu Allah sebagai pencipta dan argument teologis tersebut maka
sikap dan prilaku manusia terhadap alam semestinya sesuai dan sejalan dengan sikap dan
prilakunya terhadap Allah pencipta (Borrong, 1991: 180).

Beberapa elemen penting dari cara pandang kekristenan terhadap lingkungan yang
berkembang dari doktrin penciptaan, yaitu (Norman, 2015 : 337)

Dunia adalah ciptaan Allah. Pandangan Materialis tradisional berpendapat bahwa dunia adalah
proses generasi tiada henti. Sedangkan kaum Panteis yakin bahwa dunia ini adalah emanasi
(pancaran yang kekal). Akan tetapi kaum teis berpegang pada penciptaan dunia yang sementara.
Alam semesta ini memiliki permulaan (Kej. 1:1), yang artinya orang Kristen menyakini bahwa
penciptaan ex nihilo (dari ketidaan).

Doktrin penciptaan memberikan beberapa implikasi penting bagi ekologi. Sekalipun


dunia bukanlah Allah, seperti yang dikatakan oleh kaum Panteis, juga bukan milik kita, seperti
yang dimaksudkan oleh kaum Materialis. Disinilah muncul dua aspek penting mengenai ekologi
Kristen: kepemilikan Allah dan penatalayanan manusia. Allahlah pemiliknya dan manusia
diharuskan memelihara bumi bagi-Nya.

Dunia ini milik Allah. Alkitab memberikan kesaksiannya dalam Mzm. 24: 1 “Tuhanlah yang
empunya bumi serta segala isinya”. Allah yang menciptakan bumi, dan dialah yang empunya
bumi. Allah adalah pemilik taman dan manusia adalah pemelihara taman. Tuhan berkata kepada
Ayub, “apa yang ada di seluruh kolong langit, adalah kepunyaan-Ku” (Ayb. 41:2). Allahlah
pemilik seluruh tanah, pohon, binatang, dan tambang, hewan di gunung…sebab punya-Kulah
dunia dan segala isinya” (Mzm. 50:10, 12). Allah pemilik lingkungan; manusia hanya
menusahakannya. Karena itu, kepemilikan Allah merupakan dasar bagi kita sebagai pengelola
bumi.

Bumi adalah cerminan Allah. Perjanjian Lama menegaskan kebaikan esensial tentang
penciptaan materi. Dunia fisik bukanlah kejahatan yang harus ditolak; dunia fisik bisa dinikmati.
Dunia materi bukan manifestasi kejahatan melainkan pantulan kemuliaan Allah. Sesudah
penciptaan, dikatakan bahwa “ Allah melihat semua itu baik” (lih. Ke. 1,10,12,18,21,25). Bukan
hanya dunia natural yang disebut secara esensi baik, melainkan juga dikatakan mencerminkan
kemuliaan Allah. Ciptaan mencerminkan kemuliaan sang pencipta. Alam adalah cerminan Allah.

Bumi ditopang dan dioperasikan Allah. Allah bukan hanya menjadikan segala sesuatu, Dia
juga menyebabkan segala sesuatu terus ada. Singkatnya, Allah aktif bukan hanya pada awal
penciptaan alam semesta, tetapi juga mengoperasikan alam semesta ini. Alkitab tidak
mendukung pandangan alam yang deistis atau impersonal, karena Allah pemelihara dan
penyelenggara dunia alam untuk mempertahankan kehidupan, interferensi ekologis serta usaha-
Nya karena kesombongan manusia dengan implikasinya.

Dunia terikat dengan perjanjian Allah. Perjanjian Allah dengan Nuh (Kej, 9:16), perjanjian
itu tidak hanya dibuat dengan manusia, tetapi dengan binatang-binatang dan dengan setiap
mahluk yang hidup. Jadi kita bukan hanya harus memelihara setiap mahluk hidup yang telah
diciptakan Allah; kita juga harus memberi makan dan melindungi mereka,

Manusia adalah pemelihara lingkungan. Allah itu pencipta dan pemilik bumi,tetapi manusia
adalah pemeliharanya. Manusia setidaknya memiliki tiga kewajiban dasar terhadap lingkungan :
bertambah banyak dan memenuhi bumi; menaklukan bumi dan berkuasa atasnya; dan
mengusahakan dan memelihara bumi (kej 1 : 28; 2 : 15). (Norman, 2015 : 377)

Gereja dan Tanggung Jawabnya terhadap lingkungan

Ekoteologi tidak terpisah dari keadilan social. Prinsip keadilan menjadi dasar berpijak
dalam memandang ekologi. Menurut Charles Birch, dkk. Kaitan antara ekologi dan keadilan
sangat penting, sebab penghargaan terhadap kesatuan alam harus dipikirkan dalam rangka
keadila social. Kebijakan politik dan ekonomi selalu berkaitan dengan keadilan atas seluruh
ciptaan, termasuk alam. Keduanya tidak terpisahkan. Keadilan yang diperjuangkan atas manusia
akan sia-sia jika tidak diusahalan pula keadilan bagi seluruh alam semesta. Kemakmuran bagi
manusia tidak semata-mata menjadi ukuran, keadilan harus memperhitungkan kemakmuran dari
factor alam. Pandangan ini coba mengingkatkan dunia bahwa seringkali kebijakan politik
berakibat pada alam. Kecenderungannya, alam sering dikorbankan demi kepentingan politik dan
ekonomi. Perkembangan industry, misalnnyha, memang bisa memberikan kemakmuran bagi
manusia, tetapi juga mendatangkan polusi yang luar biasa bagi alam semesta (Aritonang,
2018:213).

Agama berperan dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seseorang sehingga
setiap orang pemeluk agama mampu menggunakannya dalam memahami, mengevaluasi, dan
menafsirkan situasi dan pengalaman. Dengan kata lain, sistem nilai yang dimilikinya terwujud
dalam bentuk norma-norma yang menunjuk kepada sikap diri.

Calvin B deWitt seorang Profesor dan ahli dan pencinta lingkungan hidup menjelaskan
dari sudut pandang biblika sebagai berikut:

1. Pertama, karena Allah menjaga dan memelihara kita maka kita wajib menjaga dan
memelihara ciptaan Allah.
2. Kedua, kita menjadi murid Yesus Kristus yang adalah pencipta, pemelihara dan
pendamai atas segala sesuatu. (Kol. 1:19-20)
3. Ketiga, kita harus mengijinkan ciptaan (alam Lingkungan hidup) bersabat. Dengan kata
lain dengan bijaksana dalam memanfaatkan.
4. Keempat, kita harus menikmati tetapi tidak merusak, hasil (sumber-sumber) yang
terdapat dalam ciptaan. Kita dipanggil untuk menyelamatkan lingkungan hidup bukan
mencemarinya (baca: Yeh. 34: 18).
5. Kelima, kita harus mencari lebih dahulu kerajaan Allah. Kita berdoa supaya kehendak
Tuhan yang terjadi dalam dunia ini dan bukan kehendak atau kemauan kita sendiri.
6. Keenam, kita harus sungguh mencari rasa berkecukupan, tidak menjadi serakah.
7. Ketujuh, kita harus mempraktekan apa yang kita percaya sebagaimana dijelaskan diatas.
Sungguh menjalankan tugas sebagai penatalayan dengan penuh tanggung jawab.
Gereja terpanggil sebagai persekutuan ciptaan baru untuk menghadirkan shalom Allah di
bumi dengan mengusahakan keharmonisan seluruh ciptaan. Dengan demikian, tugas memelihara
merupakan bagian dari hakikat dan misi gereja sebagai persekutuan baru oleh penebusan Tuhan
Yesus Kristus untuk menghadirkan shalom tersebut. Dengan memandang penyempurnaan
ciptaan Allah, maka gereja terpanggil untuk turut serta aktif mengusahakan kelestarian alam
ciptaan Allah.

Dalam melaksanakan tugas tersebut gereja megembangkan berbagai cara sesuai konteks
permasalahan krisis lingkungan masing-masing. Gereja – gereja di Indonesia melaksanakan
tugas pemeliharaan ciptaan dengan dua motif. Motif pertama adalah motif teologis, yaitu sebagai
upaya melaksanakan misi gereja yang bersifat universal, artinya yang mencakup semua ciptaan.
Tugas memelihara ciptaan merupakan pelaksanaan panggilan gereja untuk menghadirkan shalom
Allah di bumi sebagai implementasi dari iman dan panggilanya. Motif kedua adalah motif
pembangunan, yaitu sebagai salah satu cara yang ditempuh gereja untuk mewujudkan peran
sertanya yang aktif, positif, kritis dan kreatif dalam mengisi pembangunan nasional sebagai
pengamalan Pancasila.

Penutup

Melalui studi ini tentang ekoteologi sebagai landasan etis moral untuk orang-orang
Kristen bertindak dalam menjaga lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan oleh sang
pencipta dan penebus. Orang Kristen bertanggungjawab untuk memperdulikan lingkungan
hidupnya.Seorang pakar teologi ekologi dan etika, Robert P. Borrong, mengusulkan beberapa
sumbangan yang dapat diberikan gereja atau orang Kristen dalam hubungan dengan ciptaan
(lingkungan hidup) :

1. Melakukan upaya-upaya pemahaman yang mendalam terutama teologi lingkungan


melalui ibadah/liturgi, pemahaman Alkitab, dan model pembinaan lainnya.

2. Melakukan identifikasi yang invertarisasi masalah-masalah yang menyangkut kerusakan


lingkungan di lingkungan masing-masing dan menentukan sikap dan mengambil langkah
penanggulangan terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.
3. Melakukan studi dan publikasi mengenai masalah-masalah lingkungan hidup baik secara
teologis, maupun sosiologis-antropologis, cultural. Studi-studi tersebut penting dilakukan
dari berbagai sudut padang karena kerusakan lingkungan multidimensional.
4. Bekerjasama dengan kelompok agama lain dalam pembinaan masyarakat dan dengan
pemerintah, LSM dan masyarakat luas, dalam dan luar negeri untuk mencegah kerusakan
lingkungan yang terlanjur dirusak, termasuk melakukan advokasi pada lingkungan dan
masyarakat yang menjadi korban. Mengambil prakasa dalam menciptakan lingkungan
yang bersih, sehat dan asri baik dilingkungan masing-masing, maupun lingkungan hidup
yang lebih luas.
5. Memanfaatkan media social untuk turut dalam promosi pencegahan dan penangulangan
kerusakan lingkungan sebagai bagian dari proses penyadaran masyrakat akan pentingnya
memelihara dan melestarikan lingkungan hidup karunia Tuhan.
Usaha memelihara lingkungan hidup dipahami sebagai kebajikan dan karena itu disebut
sebagai ibadah kepada Tuhan. Memelihara lingkungan adalah bagian dari misi Allah dalam
mendatangkan shalom kerajaan Allah. Maka orang Kristen, baik secara pribadi atau sebagai
Lembaga, wajib menjaga dan memelihara lingkungan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Robert P. Borrong, Etika Bumi Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999.
2. Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi: Buku Pegangan, Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 1999.
3. Jan S. Aritonang, Teologi-Teologi Kontemporer, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
4. Normal L. Geisler, Etika Kristen : Pilihan dan Isu Kontemporer, Malang : Literatur
SAAT, 2015.
5. Nurasyah Dewi Napitupulu, Achmad Munandar, Sri Redjeki, Bayong Tjasyono, Jurnal
Voice of Wesley dalam Ecotheology dan Ecopedagogy: Upaya Mitigasi terhadap
eksploitasi alam semesta, Jakarta, 2018.

Anda mungkin juga menyukai