Anda di halaman 1dari 9

LiNGUA Vol. 12, No.

2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

DISFEMISME DALAM PERSPEKTIF SEMANTIK, SOSIOLINGUISTIK, DAN ANALISIS


WACANA

Elisa Nurul Laili

elisa_nurullaili@yahoo.co.id
Hasyim Asyari University
Tebuireng Jombang, Indonesia

Abstract: Dysphemism is an expression with connotations that are offensive either


about the denotatum or the audience. It is used to talk about one’s opponents, things
one wishes to show disapproval of, and things one wishes to be seen to downgrade.
The topic of dysphemism is crucial to investigate because dysphemism is the infraction
of the rules of politeness that deals with the matters of face and face effects.This
research uses descriptive qualitative method. The approach used in this research is
library research. Data taken from taking notes and observation.This article is written to
explain dysphemism in the perspective of Semantics, Sociolinguistics, and Discourse
Analysis.

Keywords: Dysphemism, Politeness, Semantics, Sociolinguistics, Discourse Analysis

PENDAHULUAN sesama manusia. Menurut Nababan dalam


Bahasa telah berevolusi dari masa ke Masrokhin (2002, h. 3-4) bahasa mempunyai
masa. Sebagai produk budaya ciptaan atau beberapa fungsi yang lebih spesifik, yaitu
hasil kreasi manusia, bahasa berkembang sebagai alat perkembangan budaya, menjaga
dengan berbagai penggunaan yang bervariasi. keberlangsungan budaya, dan temuan atas
Bahasa digunakan untuk mengekspresikan karakteristik dari suatu kebudayaan.
ide, pikiran, perasaan dan emosi. Bahasa, Bahasa mempunyai dua peran yang
dalam artian yang sesungguhnya, adalah khusus dalam kehidupan manusia. Pertama
merupakan realisasi atau representasi berdasarkan skala atau jangkauan, dan kedua
pemikiran manusia secara lisan. adalah berdasarkan ranah penggunaan.
Semakin lama semakin bertambah Berdasarkan skala atau jangkauan dapat
fungsi bahasa, yaitu tidak hanya digunakan dibedakan menjadi bahasa nasional dan
untuk menjaga komunikasi antar manusia, bahasa komunitas. Sebagai bahasa nasional,
tetapi juga digunakan untuk menghina, fungsi bahasa adalah sebagai kebanggaan
mengejek, merendahkan, atau bahkan bangsa, persatuan, alat komunikasi resmi
membunuh musuh. Dengan demikian, dapat serta simbol identitas suatu negara.
diketahui bahwa fungsi bahasa bervariasi Sedangkan bahasa sebagai bahasa komunitas
tergantung oleh orang yang menggunakan digunakan oleh kelompok kecil manusia,
bahasa tersebut. Hal inilah yang meyebabkan seperti kelompok etnis dalam suatu negara,
Allan dan Burrdige (2009) mengatakan bahwa suku, atau komunitas subkutltur sebagai
bahasa dapat digunakan menjadi perisai dan simbol identitas kelompok mereka.
senjata bagi para penggunanya, baik untuk Berdasarkan ranah penggunaan,
merangkul kawan, maupun menghancurkan terdapat fungsi bahasa dalam ranah
lawan. pendidikan, kebudayaan, dan individu.
Secara umum, bahasa digunakan Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan
sebagai alat komunikasi dan untuk adalah sebagai alat pemersatu bagi semua
membangun hubungan yang baik dengan pelajar yang merupakan bagian dari
LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

masyarakat majemuk. Bahasa sebagai menggunakan bahasa tabu atau vulgar untuk
instrumen untuk memperoleh keuntungan menguatkan pernyataan mereka, atau bahkan
materi, mendapat pekerjaan, dan sebagainya. menunjukkan solidaritas dalam ruang lingkup
Sebagai produk budaya, bahasa untuk komunitas mereka.
menghargai dan menghormati masyarakat. Penggunaan bahasa baik berupa kata,
Bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan frase, klausa atau kalimat yang kasar dan tidak
penalaran adalah peranan bahasa dalam sopan dan cenderung menyakitkan atau
penyampaian atau pengungkapan ide, mengganggu pendengar atau audiens ini
pemikiran, pemahaman dan penciptaan disebut disfemisme. Disfemisme menurut
konsep dengan logika sederhana. Allan and Burridge (1991, p. 2) adalah
Berdasarkan fungsi bahasa yang penggunaan bahasa kasar yang bertujuan
digunakan oleh individu, yakni bahwa bahasa sebagai senjata untuk melawan atau
digunakan berdasarkan keinginan menaklukkan lawan, atau bahasa kasar yang
penuturnya. Bahasa digunakan sebagai alat diucapkan untuk mengekspresikan
untuk memenuhi keinginan penuturnya, kemarahan dan frustasi.
untuk berbagi pengetahuan, perasaaan dan Wijana (2008, h. 250) mengemukakan
pemikiran kepada sesama manusia. Selaras bahwa bahasa dikreasikan untuk melayani
dengan Crystal (1987, h. 10), bahwa salah satu kebutuhan komunikatif manusia. Salah
fungsi bahasa adalah untuk mengekspresikan satunya yaitu sebagai sarana untuk
emosi. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang
mengungkapkan ekspresi dan emosi manusia. dialami oleh penuturnya, seperti perasaan
Bahasa ditunjukkan ketika manusia marah, senang, takut, kecewa, kesal, sedih, dan
frustasi, takut, atau cinta dan kasih sayang. sebagainya. Dalam hal ini, Wijana
Ketika seseorang mengekspresikan kasih menyebutkan bahwa bahasa dikatakan
sayang, maka seseorang tersebut mengemban fungsi ekspresif (periksa Holmes,
menunjukkan emosi yang positif. Tetapi ketika 1992, h. 286; Wijana, 1997, h. 28).
seseorang mengekspresikan kemarahana atau
frustasi, maka seseorang tersebut Bentuk, Referensi, Tipe, Pembentukan dan
menunjukkan emosi yang negatif. Emosi yang Fungsi Disfemisme
negatif ini biasanya menggunakan sumpah Disfemisme adalah ekspresi dengan
serapah atau makian. Disini, bahasa juga konotasi yang menyakitkan bagi petutur
disebut memiliki fungsi ideasional. (orang kedua), atau pendengar (orang ketiga),
Berdasarkan alasan terakhir, seseorang atau oleh keduanya, oleh sebab itu, maka
biasa menggunakan bahasa berdasarkan mood sebaiknya digantikan dengan ungkapan yang
mereka. Oleh karena itu, bahasa mereka lebih netral atau halus. Disfemisme digunakan
sangat dipengaruhi oleh emosi-emosi tadi. untuk membicarakan lawan, barang, atau
Bahasa yang digunakan bisa sangat baik dan perbuatan yang ditentang oleh pembicara,
sopan, biasanya juga sangat buruk, kasar, sehingga dengan penggunaan disfemisme ini
bahkan tidak sopan. Biasanya bahasa yang akan memperburuk (Allan dan Burrige, 1991,
terpengaruh oleh emosi ini seringkali tidak h. 26).
dapat dikontrol oleh penuturnya. Penggunaan kata-kata atau frase-frase
Dari sini, perkembangan bahasa tidak dan ungkapan kasar yang membuat
hanya selalu lebih baik dari masa ke masa. pendengar merasa terganggu, risih dan
Belakangan dapat dilihat bahwa penggunaan tersakiti disebut disfemisme. Disfemisme
bahasa cenderung mengingkari kaidah-kaidah adalah bahasa yang menyakitkan dan
kesantunan dalam berbahasa. Istilah-istilah digunakan oleh pembicara sebagai senjata
tabu, serapah, makian, vulgar, serta hujatan untuk menyerang lawan, atau untuk
(bersifat keagamaan) yang harusnya dihindari meluapkan kekecewaan, kemarahan dan
pada masa lampau menjadi hal yang lumrah emosi negatif (frustrasi). Untuk menghindari
dan biasa dilakukan oleh masyarakat di masa penyalahgunaan secara politis dan emosional,
sekarang. Beberapa orang menggunakannya Allan dan Burridge menyarankan penutur
untuk mengekspresikan kritik, protes dan untuk memilih alternatif yang netral. Menurut
cibiran kepada komunitas atau kelompok Allan dan Burridge, ada delapan tipe
masyarakat tertentu. Mereka juga disfemisme:

Author’s Name | 111


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

1) Istilah-istilah tabu yang digunakan pantat. Selanjutnya, juga diperoleh dari


untuk menyakiti, mengejek, memberi perbandingan tindakan yang dilakukan
julukan, atau memaki, contoh organ binatang, keadaan fisik yang tidak
tubuh yang menimbulkan nafsu birahi, menyenangkan, dan benda-benda yang dekat
atau digunakan untuk buang air kecil dengan lingkungannya.
dan buang air besar, aktivitas-aktivitas Selanjutnya, menurut Wijana dan
yang meliputi organ di atas, zat yang Rohmadi (2006), referensi makian dalam
dihasilkan organ-organ di atas, bahasa Indonesia dapat diperoleh dari
kematian, penyakit, makanan dan bau, keadaan fisik, binatang, benda, bagian tubuh,
julukan atau sapaan (Ketuhanan, kekerabatan, makhluk halus, aktivitas, profesi
kekerabatan, binatang). dan seruan. Sedangkan bentuk makian dalam
Anderson dalam Karjalainen (2002, h. bahasa Indonesia terdiri atas kata, frasa, dan
17) menambahkan, dalam kebudayaan Barat, klausa. Lebih lanjut, Wijana dan Rohmadi
biasanya istilah tabu diperoleh dari hal-hal (2006) menjelaskan bahwa substansi yang
sebagai berikut: agama, cacat fisik dan mental, sering dijadikan sasaran makian yaitu
prostitusi, narkotika, dan kriminalitas. kebodohan, keabnormalan, sesuatu yang
2) Makian dan serapah yang cabul. Dalam terkutuk atau dilarang oleh agama,
hal ini, makian cabul termasuk ketidakberuntungan, sesuatu yang
disfemisme jika mengambil istilah menjijikkan, dan sesuatu yang mengganggu
yang berkaitan dengan penghujatan hidup manusia.
nama Tuhan dan istilah cabul. Memaki Dalam hal ini, jenis makian yang
seseorang atau suatu hal bertujuan dipresentasikan oleh Montagu, yakni abusive
untuk menyakiti dan menghina objek swearing (makian), blasphemy (hujatan),
yang dilecehkan, juga termasuk cursing (kutukan), swearing (sumpah),
disfemisme. Contoh “Fuck you!”, “Fuck! obscenity (kecarutan), dan expletive
Aku tidak mencuri barangmu!” (lontaran/seruan) termasuk ke dalam
Dalam hal ini, makian dan serapah juga disfemisme. Montagu menjelaskan makian
termasuk disfemisme karena menyakiti orang sebagai tindakan verbal yang
yang dituju. Lebih lanjut, Linguis Swedia, mengekspresikan perasaan agresif yang
Ljung (2006, h. 62-75) membagi sumpah mengikuti perasaan frustasi yang dalam atau
serapah dengan kategori sebagai berikut: berlebihan yang tercermin dalam kata-kata
atau tuturan yang mengandung asosiasi
Tabel 1. Motif Makian emosional yang kuat (Indrawati, 2006, h. 23-
Motif Makian Contoh 25).
Religius “Christ”, “Hell”, “Damn”, “Go to hell!”
Skatologis “Shit”, “Crap”,” Ass”, “Asshole”, “Kiss
3) Perbandingan manusia dengan hewan
my ass!” yang dianggap memiliki perilaku
Genital “Cock”, “Dick”,” Cunt”,” You stupid negatif.
prick!” Contoh: memanggil seseorang dengan
Seksual “Fuck”, “Fucker”, “Fucking”, “I don’t sebutan babi karena tidak sopan, ular karena
give a fuck! ”, “Screw you! ”
licik atau tidak bisa dipercaya, buaya karena
Sodomi “Up yours!”, “Up your ass!”
Ibu “Motherfucker”, ” Son of a Bitch”, suka mempermainkan wanita, keledai karena
“Bastard” bodoh, kerbau karena malas.
Prostitusi “Whore”, “Pimp” 4) Julukan atau sapaan disfemistis yang
Masturbasi “Wanker”, “Jerk” diambil dari karakter fisik yang
Binatang “Dirty pig”, “Stupid cow” terlihat, sehingga petutur dianggap
Kematian “Eat shit and die! ”
seolah menjadi orang yang abnormal.
Contoh: Hei, Gendut! Hei, Botak!
Sesuai dengan hasil penelitian Wijana
5) Makian dengan menggunakan istilah
(2008), kata-kata kasar dalam bahasa Jawa
yang diperoleh dari abnormalitas
diperoleh dari tindakan atau keadaan yang
mental. Contoh: Dasar idiot! Autis lo!
berkenaan dengan berbicara, makan, minum,
Otak udang!
tidur, pergi dan mati. Selain itu, bagian-bagian
6) –IST disfemisme (rasis, dll.) yang
tubuh yang digunakan untuk berkata kasar
berfungsi sebagai ejekan. Contoh:
yaitu kepala, mata, mulut, kaki, perut dan
Cina! Blacks! Nigger!

112 | Disfemisme dalam Perspektif Semantik, Sosiolinguistik, dan Analisis Wacana


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

7) Istilah-istilah yang menunjukkan 8) Penggunaan istilah yang dipinjam dari


ejekan atau tidak hormat yang bahasa lain, misalkan “skepsel creature”
menggunakan nada tidak hinaan pada untuk kaum berkulit hitam atau ras Negro
karakter orang yang dituju. Contoh: (digunakan untuk tujuan diskriminasi
Pelacur, pecundang. ras), “kriechend’ untuk kaum Yahudi
(digunakan pada masa NAZI).
Meskipun begitu, masih banyak ekspresi
disfemistis yang masih belum dituliskan oleh Pada level sosial kemasyarakatan,
Allan dan Burridge, misalkan ekspresi bahasa mempunyai beberapa fungsi. Beberapa
disfemistis dalam berbagai sosial media, bahasa juga digunakan untuk berperan dalam
poster, maupun ungkapan-ungkapan yang fungsi identifikasi sosial dalam masyarakat
termasuk cyber bullying. dengan menyediakan indicator-indikator
Secara garis besar, ditinjau dari teori linguistik, yang dapat digunakan untuk
Allan dan Burridge (1991, h. 14-31), memperkokoh stratifikasi sosial. Fitur-fitur
pembentukan ekspresi-ekspresi disfemisme kebahasaan secara sadar maupun tidak
sama dengan pembentukan ekspresi-ekspresi digunakan oleh manusia, sehingga dapat
eufemisme yakni sebagai berikut: menunjukkan identitas penutur dan petutur,
1) Ekspresi figuratif, antara lain; metafora, sehingga dapat menjadi penanda kategori dan
contoh: “Hear the dogs howling out of the stratifikasi sosial mereka serta menjaga
key’’, flippansi atau ucapan sembrono, keragamannya. Lebih lanjut, Hymes dalam
contoh:”You were Dead from the Git-Go!”; Saville-Troike (1982, h. 15-16) juga
pemodelan kembali, contoh: “Shoot!” dari menyatakan bahwa pada level individu dan
“Shit!” atau “Darn it!” dari “Damn it!”; kelompok yang saling berinteraksi, fungsi-
simile, contoh “But she looks like hell to fungsi penggunaan bahasa sebagai alat
me”;ironi, contoh: “Well maybe I’m the komunikasi secara langsung bergantung pada
faggot America.” tujuan dan keinginan pengguna bahasa
2) Sirkumlokusi, contoh: “Shit out of luck” tersebut.
dan pemendekan, contoh: “fags” Secara umum, penutur mempunyai dua
untukfaggots. macam motif penggunaan ekspresi-ekspresi
3) Singkatan, contoh: “SNAFU" kependekan disfemistis untuk memperbincangkan suatu
dari Situation Normal All Fucked Up, topik tertentu. Pertama, untuk menghina atau
“GRID” kependekan dariGay Related menistakan citra orang yang dituju. Kedua,
Immuno-Deficiency, dan abreviasi“SOS” untuk memaksimalkan luka atau sakit pada
kependekan dariShit on Shingle, dan “SOB" orang yang dituju. Dalam hal ini, disfemisme
kependekan dariSon of Bitch. juga digunakan untuk beberapa maksud, yakni
4) Omisi, sensor atau penghilangan seluruh untuk menunjukkan kemarahan, frustasi,
atau sebagian kata, contoh: f***, d*mn. ketidaksukaan, penghinaan, ejekan, atau
5) Synecdoche totem pro parte (seluruh respon atas sesuatu yang tidak diinginkan dan
untuk sebagian), contoh:“person” untuk diharapkan.
penis; dan synecdoche pars pro toto Karsana (2015, h. 149) menyatakan
(sebagian untuk seluruh ), contoh: “tits” bahwa fungsi makian dalam bahasa Kaili yaitu
untuk payudara atau “He’s a prick!”, sebagai alat untuk mengekspresikan emosi
metonymy, contoh: “Dickhead”, “Fuckface”. yang meliputi kemarahan, kekesalan,
6) Hiperbola, contoh: “He’s the rottenest keheranan, penghinaan atau merendahkan
bastard I ever come across”, “You great orang lain, keterkejutan, rasa humor, dan
prick!”, dan litotes “If you could just spare ancaman atau peringatan.
me a FEW moments of your time..." FEW Secara khusus Laili (2005) menjelaskan
disini mengandung makna sarkastis. fungsi penggunaan disfemisme dapat
dibedakan sebagai berikut, yaitu: (1)
7) Penggunaan istilah teknis dan jargon,
menyakiti orang yang dituju, (2) menuduh
contoh teroris, komunis, dan penggunaan
atau menggugat (3) penolakan atau
istilah sehari-hari misalkan “Junk” dan
pengingkaran terhadap seseorang atau
“crippled”.
sesuatu hal, (4) janji atau sumpah (5)
mengkritik (6) memberi pertanyaan (7)

Author’s Name | 113


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

mengutuk atau melaknat (8) meyakinkan yang baik serta menjaga muka penutur,
petutur (9) mengekspresikan ketidakpedulian petutur dan pendengar. Ortofemisme adalah
(10) mengekspresikan pembangkangan. ungkapan yang lebih netral tanpa bermaksud
Selain itu, sebagaimana yang mempermanis, atau terlampau sopan seperti
dipaparkan oleh Ljung (2006, h. 60-61), eufemisme, namun juga tidak kasar dan
makian yang mengandung disfemisme menyakitkan penutur, petutur dan pendengar.
memiliki fungsi sebagai berikut: Jadi, eufemisme dan ortofemisme berkonotasi
positif bagi penutur, petutur, dan pihak ketiga
Tabel 2. Fungsi Makian atau Disfemisme yang menjadi pendengar (Allan dan Burridge,
Fungsi Contoh 2006).
Seruan karena kaget shit!, fuck!, damn!
atau terganggu
Ortofemisme dan eufemisme adalah
Sumpah i’ll be damn! screw me if... burn in kata-kata atau frase yang digunakan sebagai
hell! alternatif yang digunakan untuk menghindari
Setuju dan he damned well did it! you know ekspresi-ekspresi yang tidak patut diucapkan.
ketidaksetujuan bloody well i do! in my ass! you bet Keduanya digunakan untuk menghindari
your ass i will! like hell it is!
Kutukan atau laknat goddamn you! to hell with it!
kehilangan muka dalam berkomunikasi, baik
Saran yang kasar go to hell! go fuck yourself! get antara penutur, petutur, atau orang yang
lost! kiss my ass! menjadi pendengar. Dapat disimpulkan bahwa
Menghina, mencaci your mama... your momma’s so fat ortofemisme dan eufemisme merupakan
atau menista smaller objects orbit her! strategi untuk mengungkapkan kesantunan.
Kata-kata yang asshole! shitface! cunt! wanker!
Allan dan Burridge (2006, p. 33)
melecehkan dickhead! fuckface! motherfucker!
bitch! basterd! son of a bitch! menyimpulkan bahwa ortofemisme dan
Penegasan atas every fucking time! life’s a bitch! eufemisme timbul baik atas kesadaran
ketidaksukaan maupun ketidaksadaran sensorik diri.
Meningkatkan its fucking incredible! she’s bloody Keduanya digunakan penutur untuk
intensitas smart! it scares me shitless! i work
disfemisme my ass off!
menghindari perlakuan yang mempermalukan
Memberi penekanan no fucking way! fucking stupid! atau menyakiti petutur dan orang ketiga yang
atau penguatan atas shut the fuck up! ala-fucking- menjadi pendengar, sebagai upaya penutur
seruan bama! dalam menjaga kesantunan. Perbedaan antara
Memberi penekanan what the hell do you mean? who kedua istilah tersebut yakni sebagai berikut:
atau penguatan atas the fuck are you?
pertanyaan
Ortofemisme lebih formal, langsung, lugas dan
Makian don’t fuck with him! he’s a fuckup! eksplisit daripada eufemisme. Sedangkan
move your ass! it takes a lot of eufemisme lebih implisit, tidak langsung, atau
balls to do that! metaforis dan mengandung makna kias.
Allan dan Burridge (1991, p. 5) juga
Dapat disimpulkan bahwa beberapa menegaskan bahwa ketidaksantunan lebih
fungsi penggunaan disfemisme bersifat kasar, mudah dilihat daripada kesantunan. Karena
tidak sopan, dan menistakan pendengarnya, perilaku tidak sopan cenderung menyakitkan,
baik itu orang yang dituju maupun pihak maka disebut disfemistis. Sedangkan
ketiga sebagai orang yang mendengar dan disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme.
terlibat dalam komunikasi. Namun, yang perlu Disfemisme tidak menjaga muka, tetapi justru
digarisbawahi kembali, penggunaan merusak muka penutur, petutur, dan orang
disfemisme tergantung pada konteks, waktu, ketiga yang mendengarkan.
dan tempat dilakukannya proses komunikasi. Allan dan Burridge (2006, p. 33-34)
menyarankan istilah teknis untuk penyebutan
Keterkaitan Eufemisme, Disfemisme dan ortofemisme, eufemisme dan disfemisme
Ortofemisme sebagai X-femisme, dan digambarkan dalam
Terdapat keterkaitan penggunaan ilustrasi sebagai berikut:
ekspresi-ekspresi tertentu berdasarkan
pemilihan kata yang digunakan oleh penutur,
yaitu eufemisme, disfemisme dan
ortofemisme. Eufemisme adalah ungkapan
manis, sangat halus, atau ekspresi yang lebih
patut diungkapkan untuk menjaga komunikasi

114 | Disfemisme dalam Perspektif Semantik, Sosiolinguistik, dan Analisis Wacana


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

penutur, petutur, maupun pendengar, dan


menjaga kehormatan diri dalam situasi
percakapan publik. Dalam hal ini, penutur
diharapkan untuk menghindari perlakuan
yang mempermalukan orang lain (terutama
petutur), maupun membuat orang lain
(petutur dan pendengar) merasa tidak
nyaman. Face Threatening Acts (FTAs) atau
Gambar 1. Hubungan Eufemisme, Disfemisme dan tindakan memelihara muka adalah tindakan
Ortofemisme yang bertujuan untuk menjaga citra baik
penutur maupun pendengar, dan terutama
Penggunaan X-femisme tersebut bertujuan untuk menghormati lawan bicara
bergantung pada konteks, tempat, dan waktu. serta pendengar di sekitar peristawa tutur.
Misalkan istilah mampus bisa menyakitkan Strategi kesantunan terutama dikembangkan
bagi sebagian besar petutur dan pendengar. untuk tujuan FTAs atau menjaga muka.
Namun, jika istilah ini digunakan dalam Goffman dalam Wardaugh (2002, h.
komunitas tertentu, misalkan bar, kuli 275) menyatakan bahwa kesantunan adalah
bangunan, buruh, maka istilah tersebut tidak perilaku menjaga interaksi sosial dengan
disfemistis karena mampus digunakan untuk memainkan drama mini untuk menjaga muka
bercanda dan menunjukkan keakraban. Pada baik penutur maupun petutur. Dalam hal ini,
suasana keakraban, baik penutur, petutur manusia memainkan peran sebagai makhluk
maupun pendengar merasa nyaman dan tidak yang mempunyai peran dalam kehidupan
terganggu atau tersakiti. Karena itu, dapat sosial. Dapat disimpulkan bahwa Goffman
ditarik kesimpulan bahwa penggunaan X- memperkenalkan teori tentang menghargai
femisme bergantung pada konteks, yaitu topik orang lain dalam hal keyakinan, pendapat, dan
apa yang sedang dibahas, dimana tempat sebagainya, dengan berdasarkan kepada hak
terjadi komunikasi, dan kapan ekspresi- asasi manusia tanpa melanggar aturan dan
ekspresi X-femisme dituturkan. Konotasi yang norma sosial tentang tingkah laku.
dihasilkan akan berbeda dari konteks yang Grundy (2000, h. 146) menyatakan
satu dengan konteks lainnya, komunitas satu bahwa fenomena kesantunan adalah salah
dengan lainnya, dan tentu saja, dari individu satu manifestasi dari konsep etika dalam
satu dengan individu lainnya (Allan dan artian yang lebih luas, atau tingkah laku yang
Burridge, 2006, h. 35). patut dilakukan manusia. Dari pernyataan ini,
dapat dikatakan bahwa manusia mempunyai
Disfemisme dalam Semantik dan etika atau tingkah laku yang patut dalam
Sosiolinguistik lingkup kehidupan sosial. Sebagaimana yang
Goffman dalam Renkema (1993, h. 13) kita ketahui dalam masyarakat yang majemuk,
memperkenalkan konsep ‘face’ atau muka terdapat bermacam budaya yang tentu
yang dimaksudkan untuk image atau citra mempengaruhi konsep kesantunan pada
seseorang dalam menjalin hubungan sosial masing-masing kelompok masyarakat (suku,
dengan sesama manusia. Dalam pandangan etnis, subkultur, atau komunitas). Jadi, etika
Goffman, setiap pelaku hubungan sosial, tentu menurut masing-masing kelompok
memerlukan apresiasi atau penghargaan oleh masyarakat pun juga berbeda. Walau
orang lain. Mereka juga membutuhkan demikian, pada dasarnya, setiap manusia di
kebebasan dan tidak diganggu. Goffman dunia tentu ingin diperlakukan secara santun.
menyebut kebutuhan untuk diapresiasi Dalam hal ini, Allan dan Burridge (2006,
sebagai ‘positive face’ atau muka positif. h. 53-54) mendefinisikan kesantunan dalam
Sedangkan kebutuhan untuk tidak diganggu hal-hal yang bersifat tidak menyinggung, dan
disebut ‘negative face’ atau muka negatif. mengkategorikan ortofemisme dan eufemisme
Brown dan Levinson (1987) di dalamnya. Sedangkan ketidaksantunan dan
mengatakan bahwa teori tentang strategi disfemisme merupakan kebalikannya dari segi
kesantunan dikembangkan untuk menjaga negatif. Ketidaktersinggungan tersebut dapat
muka para pendengar. Menjaga muka pula didefinisikan sebagai citra sebagaimana
dimaksudkan untuk menghormati baik

Author’s Name | 115


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

yang diinginkan oleh setiap orang, atau pula yang kemudian acapkali diserap sebagai
disebut citra diri publik yang ideal. realitas oleh masyarakat. Dalam membentuk
Topik tentang disfemisme merupakan realitas ini, media memiliki dua peran yang
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip sangat penting. Pertama, pemilihan fakta yang
kesantunan yang berkaitan erat dengan muka didasarkan pada asumsi wartawan yang tidak
dan efek yang ditimbulkan. Disfemisme juga mungkin melihat suatu peristiwa tanpa
melanggar prinsip tabu dalam ranah perspektif. Kedua, bagaimana fakta tersebut
sosiolinguistik, yakni ungkapan terlarang pada dipilih untuk disajikan kepada khalayak
suatu masyarakat. Penggunaan disfemisme dengan menggunakan kata, kalimat, proposisi,
menjadikan hal-hal tabu pada masa lalu kemudian dilengkapi dengan foto, gambar dan
menjadi hal yang biasa dan wajar data lain (Eriyanto, 2001, h. 116).
diungkapkan pada masa sekarang. Dalam representasi ini, sangat mungkin
terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran
Disfemisme dan Analisis Wacana penggambaran atau kesalahan penggambaran.
Menurut Foucault dalam Eriyanto Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat,
(2001, h. 65-113), wacana tidak hanya atau gagasan tidak ditampilkan sebagaimana
dipahami sebagai serangkaian kata atau mestinya, tetapi digambarkan secara buruk.
proposisi dalam teks tetapi sesuatu yang Secara umum, ada empat misrepresentasi
memproduksi yang lain (sebuah gagasan, yang mungkin terjadi dalam pemberitaan
konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi (Eriyanto, 2001, h. 120-130).
karena secara sistematis suatu ide, opini, 1. Ekskomunikasi, yaitu bagaimana seseorang
konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam atau sekelompok orang dikeluarkan dari
suatu konteks tertentu sehingga pembicaraan publik dan tidak
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak diperkenankan untuk berbicara dan
tertentu. Wacana secara ideologi dapat terlibat dalam diskursus publik. Ciri
menggusur gagasan orang atau kelompok pertama, partisipan wacana hanya
tertentu dengan menggunakan teks sebagai dibatasi pada pihak kita. Ciri kedua,
sarana sekaligus media melalui mana satu penggambaran selalu dalam rangka
kelompok mengunggulkan diri dan kepentingan kita.
memarjinalkan kelompok lain. Dalam hal ini, 2. Eksklusi, yaitu bagaimana seseorang,
bahasa memiliki peran penting dalam gagasan, atau kelompok dikeluarkan dari
representasi, yakni bagaimana seseorang, satu pembicaraan publik namun untuk
kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu dikucilkan. Ciri pertama, pembatasan atas
ditampilkan dalam pemberitaan. apa yang bisa dan tidak bisa didiskusikan,
Dalam bahasa tulis, representasi siapa yang boleh dan tidak boleh
ditunjukkan dengan penggunaan kata, berbicara. Ciri kedua, pengklasifikasian
kalimat, atau proposisi, grafik, caption, dan mana yang baik, mana yang buruk, mana
sebagainya. Contoh representasi wacana yang bisa diterima, dan mana yang tidak
dalam bahasa tulis adalah dokumen, teks bisa diterima. Wacana yang dihasilkan
wawancara, transkrip, dan lain-lain. Elemen- disini, adalah kita baik (termasuk apa yang
elemen tersebut kemudian ditansmisikan ke kita bicarakan), sedangkan mereka (yang
dalam kode representasional yang dikucilkan) buruk.
memasukkan bagaimana objek digambarkan 3. Marjinalisasi, yaitu penggambaran buruk
(karakter, narasi, setting, dialog, dan lain-lain). kepada pihak/kelompok lain. Sedikit
Kemudian, semua elemen tersebut berbeda dengan ekskomunikasi dan
diorganisasikan dalam koherensi sosial dan eksklusi yang memposisikan pihak lain
kode-kode ideologi yang terdapat dalam sebagai the others, marjinalisasi tidak
masyarakat seperti individualisme, memilah antara pihak kita dan pihak yang
liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, lain. Praktek marjinalisasi dalam media
materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. yakni dengan menggunakan praktik
(Eriyanto, 2001, h. 114-116). pemakaian bahasa eufemisme,
Dari sini, terbentuklah kepercayaan disfemisme, labeling, dan stereotipe.
sosial yang seringkali diterima sebagai Penjelasan selengkapnya lihat di bawah.
common sense oleh khalayak Common sense

116 | Disfemisme dalam Perspektif Semantik, Sosiolinguistik, dan Analisis Wacana


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

4. Delegitimasi, yaitu penekanan bahwa prasangka, konotasi negatif dan bersifat


hanya kelompok kami yang benar, subjektif. Sehingga pada akhirnya, stereotipe
sedangkan kelompok lain tidak benar, sering digunakan kelompok tertentu untuk
tidak layak dan tidak absah. Ciri pertama, menggambarkan kelompok lain secara
dilakukan dengan otoritas seseorang yang negative atau buruk. Jika merujuk dari Allan
menekankan bahwa hanya mereka yang dan Burridge (1991), maka labeling dan
layak berbicara, merasa absah dan punya stereotipe yang negatif yang terdapat dalam
otoritas intelektual tertentu. Ciri kedua, poin marjinalisasi di atas, juga termasuk
legitimasi wacana bukan hanya berurusan disfemisme karena ofensif kepada orang yang
dengan siapa yang absah dan siapa yang dituju, maupun khalayak yang menjadi
tidak, tetapi juga apakah suatu pernyataan pendengar.
tersebut absah atau tidak, dengan cara
memakai istilah teknis, alasan formal, KESIMPULAN
yuridis, atau berbau ilmiah, sehingga Dapat ditarik kesimpulan bahwa
argumentasi yang dikemukakan terlihat kesantunan diterapkan pada setiap
benar, masuk akal, dan ilmiah. masyarakat walaupun aturan dan realisasinya
berbeda. Setiap masyarakat mempunyai
Dapat disimpulkan, penggunaan perilaku verbal dan aksi masing-masing, tetapi
disfemisme merupakan salah satu cara konsep kesantunan dalam pikiran semua
misrepresentasi, yakni dalam poin manusia tetaplah sama. Dengan kata lain, pada
marginalisasi wacana. Berbeda dengan hakikatnya semua manusia ingin berlaku dan
eufemisme yang merupakan penghalusan diperlakukan dengan santun. Eufemisme
makna serta digunakan untuk menyebut menjadi salah satu cara untuk
tindakan yang dilakukan kelompok deminan, mengungkapkan kesantunan. Sebaliknya,
disfemisme yang merupakan pengasaran disfemisme menjadi salah satu cara untuk
makna, umumnya digunakan untuk menyebut mengungkapkan ketidaksantunan, karena
tindakan yang dilakukan oleh masyarakat menyakiti muka orang yang dituju dan
bawah. Eufemisme lebih digunakan untuk pendengar sebagai pihak ketiga yang turut
menipu, mengaburkan dan mengabstraksikan terlibat dalam proses komunikasi tersebut.
realitas. Sedangkan disfemisme lebih Dalam ranah semantik, disfemisme
digunakan untuk memperburuk dan membuat termasuk dalam ruang lingkup konotasi dan
realitas orang dibicarakan menjadi kasar, perubahan makna. Dalam ranah
tidak sah, tidak benar, atau bahkan salah. sosiolinguistik, disfemisme termasuk dalam
Labeling membuat posisi kelompok atau ruang lingkup bahasan eufemisme dan tabu.
kegiatan menjadi terlihat buruk dan salah. Sedangkan dalam ranah analisis wacana,
Stereotipe atau penyamaan sebuah kata yang disfemisme termasuk dalam ruang lingkup
menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif interaksi sosial dan wacana, konteks dan
(tetapi umumnya negatif), tentang orang, makna dan kesantunan serta bahasa dalam
kelompok, kelas, atau tindakan. Stereotipe media.
menggambarkan sesuatu yang penuh

DAFTAR PUSTAKA

Allan, Keith. (2001). Natural Language Semantics. Wiley-Blackwell Publishers

Allan, Keith and Kate Burridge. (1991). Euphemism and Dysphemism: Language Used as Shield and
Weapon. New York: Oxford University Press

Allan, Keith and Kate Burridge. (2006). Forbidden Words: Taboo and the Censoring of Language.
New York: Oxford University Press

Allan, Keith and Kate Burridge. (2009). “Euphemism, Dysphemism, and Cross-Varietal Synonymy:
Academic”. Makalah diakses pada tanggal 26 Desember 2016 di laman

Author’s Name | 117


LiNGUA Vol. 12, No. 2, Desember 2017 • ISSN 1693-4725 • e-ISSN 2442-3823

www.latrobe.edu.au/linguistics/LaTrobePapersinLinguistics/Vol%2001/1AllanandBurridge.
pdf

Crystal, David. (1987). “The Functions of Language,” dalam The Cambridge Encyclopedia of
Language. Cambridge: Cambridge University Press

Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS

Grundy, Peter. (2000). Doing Pragmatics. London: Arnold Publishing

Holmes, Janet. (1992). An Introduction to Sociolinguistics. Britain: Pearson Longman

Indrawati, Dianita. (2006). “Makian dalam Bahasa Madura”. Disertasi. Denpasar: Universitas
Udayana

Renkema, Jan. (1993). Discourse Studies: an Introductory Textbook. Philadelphia: John Benjamins
Publishing Company

Johnstone, Barbara. (2002). Discourse Analysis. Wiley-Blackwell Publishers

Karsana, Deni. “Referensi dan Fungsi Makian dalam Bahasa Kaili” dalam Metalingua Vol. 13, No. 2,
Desember 2015. Hal: 141-150

Karjalainen, Markus. (2002). “Where Have All the Swearwords Gone? An Analysis of the Loss of
Swearwords in Two Swedish Translations of J. D. Salinger’s Catcher in the Rye”. Unpublished
Thesis. Helsinki: University of Helsinki

Laili, Elisa Nurul. (2005). “Dysphemism Used in Greenday’s and Slipknot Lyrics”. Skripsi yang Tidak
Diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang

Ljung, Magnus. (2006). Svordomsboken. Terj. Uddevala: Nordstedts Akademiska Forlag

Masrokhin. (2002). “A Sociolinguistics Study on the Rude Words Used by the Street Children in
Malang”. Skripsi yang Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang

Saville-Troike. (1982). The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell

Wardaugh, Ronald. (2002). Introduction to Sociolinguistics: Fourth Edition. Oxford: Blackwell


Publishers

Wijana, I Dewa Putu. (1997). “Pragmatik dan Pembelajaran Bahasa Asing”.Humaniora, No. 5, Hal.
26-30, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

Wijana, I Dewa Putu. “Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa” dalam Humaniora vol. 20, No.3. Oktober
2008. Hal. 249-256, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada

Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Cet. 2.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

118 | Disfemisme dalam Perspektif Semantik, Sosiolinguistik, dan Analisis Wacana

Anda mungkin juga menyukai