elisa_nurullaili@yahoo.co.id
Hasyim Asyari University
Tebuireng Jombang, Indonesia
masyarakat majemuk. Bahasa sebagai menggunakan bahasa tabu atau vulgar untuk
instrumen untuk memperoleh keuntungan menguatkan pernyataan mereka, atau bahkan
materi, mendapat pekerjaan, dan sebagainya. menunjukkan solidaritas dalam ruang lingkup
Sebagai produk budaya, bahasa untuk komunitas mereka.
menghargai dan menghormati masyarakat. Penggunaan bahasa baik berupa kata,
Bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan frase, klausa atau kalimat yang kasar dan tidak
penalaran adalah peranan bahasa dalam sopan dan cenderung menyakitkan atau
penyampaian atau pengungkapan ide, mengganggu pendengar atau audiens ini
pemikiran, pemahaman dan penciptaan disebut disfemisme. Disfemisme menurut
konsep dengan logika sederhana. Allan and Burridge (1991, p. 2) adalah
Berdasarkan fungsi bahasa yang penggunaan bahasa kasar yang bertujuan
digunakan oleh individu, yakni bahwa bahasa sebagai senjata untuk melawan atau
digunakan berdasarkan keinginan menaklukkan lawan, atau bahasa kasar yang
penuturnya. Bahasa digunakan sebagai alat diucapkan untuk mengekspresikan
untuk memenuhi keinginan penuturnya, kemarahan dan frustasi.
untuk berbagi pengetahuan, perasaaan dan Wijana (2008, h. 250) mengemukakan
pemikiran kepada sesama manusia. Selaras bahwa bahasa dikreasikan untuk melayani
dengan Crystal (1987, h. 10), bahwa salah satu kebutuhan komunikatif manusia. Salah
fungsi bahasa adalah untuk mengekspresikan satunya yaitu sebagai sarana untuk
emosi. Bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan berbagai perasaan yang
mengungkapkan ekspresi dan emosi manusia. dialami oleh penuturnya, seperti perasaan
Bahasa ditunjukkan ketika manusia marah, senang, takut, kecewa, kesal, sedih, dan
frustasi, takut, atau cinta dan kasih sayang. sebagainya. Dalam hal ini, Wijana
Ketika seseorang mengekspresikan kasih menyebutkan bahwa bahasa dikatakan
sayang, maka seseorang tersebut mengemban fungsi ekspresif (periksa Holmes,
menunjukkan emosi yang positif. Tetapi ketika 1992, h. 286; Wijana, 1997, h. 28).
seseorang mengekspresikan kemarahana atau
frustasi, maka seseorang tersebut Bentuk, Referensi, Tipe, Pembentukan dan
menunjukkan emosi yang negatif. Emosi yang Fungsi Disfemisme
negatif ini biasanya menggunakan sumpah Disfemisme adalah ekspresi dengan
serapah atau makian. Disini, bahasa juga konotasi yang menyakitkan bagi petutur
disebut memiliki fungsi ideasional. (orang kedua), atau pendengar (orang ketiga),
Berdasarkan alasan terakhir, seseorang atau oleh keduanya, oleh sebab itu, maka
biasa menggunakan bahasa berdasarkan mood sebaiknya digantikan dengan ungkapan yang
mereka. Oleh karena itu, bahasa mereka lebih netral atau halus. Disfemisme digunakan
sangat dipengaruhi oleh emosi-emosi tadi. untuk membicarakan lawan, barang, atau
Bahasa yang digunakan bisa sangat baik dan perbuatan yang ditentang oleh pembicara,
sopan, biasanya juga sangat buruk, kasar, sehingga dengan penggunaan disfemisme ini
bahkan tidak sopan. Biasanya bahasa yang akan memperburuk (Allan dan Burrige, 1991,
terpengaruh oleh emosi ini seringkali tidak h. 26).
dapat dikontrol oleh penuturnya. Penggunaan kata-kata atau frase-frase
Dari sini, perkembangan bahasa tidak dan ungkapan kasar yang membuat
hanya selalu lebih baik dari masa ke masa. pendengar merasa terganggu, risih dan
Belakangan dapat dilihat bahwa penggunaan tersakiti disebut disfemisme. Disfemisme
bahasa cenderung mengingkari kaidah-kaidah adalah bahasa yang menyakitkan dan
kesantunan dalam berbahasa. Istilah-istilah digunakan oleh pembicara sebagai senjata
tabu, serapah, makian, vulgar, serta hujatan untuk menyerang lawan, atau untuk
(bersifat keagamaan) yang harusnya dihindari meluapkan kekecewaan, kemarahan dan
pada masa lampau menjadi hal yang lumrah emosi negatif (frustrasi). Untuk menghindari
dan biasa dilakukan oleh masyarakat di masa penyalahgunaan secara politis dan emosional,
sekarang. Beberapa orang menggunakannya Allan dan Burridge menyarankan penutur
untuk mengekspresikan kritik, protes dan untuk memilih alternatif yang netral. Menurut
cibiran kepada komunitas atau kelompok Allan dan Burridge, ada delapan tipe
masyarakat tertentu. Mereka juga disfemisme:
mengutuk atau melaknat (8) meyakinkan yang baik serta menjaga muka penutur,
petutur (9) mengekspresikan ketidakpedulian petutur dan pendengar. Ortofemisme adalah
(10) mengekspresikan pembangkangan. ungkapan yang lebih netral tanpa bermaksud
Selain itu, sebagaimana yang mempermanis, atau terlampau sopan seperti
dipaparkan oleh Ljung (2006, h. 60-61), eufemisme, namun juga tidak kasar dan
makian yang mengandung disfemisme menyakitkan penutur, petutur dan pendengar.
memiliki fungsi sebagai berikut: Jadi, eufemisme dan ortofemisme berkonotasi
positif bagi penutur, petutur, dan pihak ketiga
Tabel 2. Fungsi Makian atau Disfemisme yang menjadi pendengar (Allan dan Burridge,
Fungsi Contoh 2006).
Seruan karena kaget shit!, fuck!, damn!
atau terganggu
Ortofemisme dan eufemisme adalah
Sumpah i’ll be damn! screw me if... burn in kata-kata atau frase yang digunakan sebagai
hell! alternatif yang digunakan untuk menghindari
Setuju dan he damned well did it! you know ekspresi-ekspresi yang tidak patut diucapkan.
ketidaksetujuan bloody well i do! in my ass! you bet Keduanya digunakan untuk menghindari
your ass i will! like hell it is!
Kutukan atau laknat goddamn you! to hell with it!
kehilangan muka dalam berkomunikasi, baik
Saran yang kasar go to hell! go fuck yourself! get antara penutur, petutur, atau orang yang
lost! kiss my ass! menjadi pendengar. Dapat disimpulkan bahwa
Menghina, mencaci your mama... your momma’s so fat ortofemisme dan eufemisme merupakan
atau menista smaller objects orbit her! strategi untuk mengungkapkan kesantunan.
Kata-kata yang asshole! shitface! cunt! wanker!
Allan dan Burridge (2006, p. 33)
melecehkan dickhead! fuckface! motherfucker!
bitch! basterd! son of a bitch! menyimpulkan bahwa ortofemisme dan
Penegasan atas every fucking time! life’s a bitch! eufemisme timbul baik atas kesadaran
ketidaksukaan maupun ketidaksadaran sensorik diri.
Meningkatkan its fucking incredible! she’s bloody Keduanya digunakan penutur untuk
intensitas smart! it scares me shitless! i work
disfemisme my ass off!
menghindari perlakuan yang mempermalukan
Memberi penekanan no fucking way! fucking stupid! atau menyakiti petutur dan orang ketiga yang
atau penguatan atas shut the fuck up! ala-fucking- menjadi pendengar, sebagai upaya penutur
seruan bama! dalam menjaga kesantunan. Perbedaan antara
Memberi penekanan what the hell do you mean? who kedua istilah tersebut yakni sebagai berikut:
atau penguatan atas the fuck are you?
pertanyaan
Ortofemisme lebih formal, langsung, lugas dan
Makian don’t fuck with him! he’s a fuckup! eksplisit daripada eufemisme. Sedangkan
move your ass! it takes a lot of eufemisme lebih implisit, tidak langsung, atau
balls to do that! metaforis dan mengandung makna kias.
Allan dan Burridge (1991, p. 5) juga
Dapat disimpulkan bahwa beberapa menegaskan bahwa ketidaksantunan lebih
fungsi penggunaan disfemisme bersifat kasar, mudah dilihat daripada kesantunan. Karena
tidak sopan, dan menistakan pendengarnya, perilaku tidak sopan cenderung menyakitkan,
baik itu orang yang dituju maupun pihak maka disebut disfemistis. Sedangkan
ketiga sebagai orang yang mendengar dan disfemisme adalah kebalikan dari eufemisme.
terlibat dalam komunikasi. Namun, yang perlu Disfemisme tidak menjaga muka, tetapi justru
digarisbawahi kembali, penggunaan merusak muka penutur, petutur, dan orang
disfemisme tergantung pada konteks, waktu, ketiga yang mendengarkan.
dan tempat dilakukannya proses komunikasi. Allan dan Burridge (2006, p. 33-34)
menyarankan istilah teknis untuk penyebutan
Keterkaitan Eufemisme, Disfemisme dan ortofemisme, eufemisme dan disfemisme
Ortofemisme sebagai X-femisme, dan digambarkan dalam
Terdapat keterkaitan penggunaan ilustrasi sebagai berikut:
ekspresi-ekspresi tertentu berdasarkan
pemilihan kata yang digunakan oleh penutur,
yaitu eufemisme, disfemisme dan
ortofemisme. Eufemisme adalah ungkapan
manis, sangat halus, atau ekspresi yang lebih
patut diungkapkan untuk menjaga komunikasi
yang diinginkan oleh setiap orang, atau pula yang kemudian acapkali diserap sebagai
disebut citra diri publik yang ideal. realitas oleh masyarakat. Dalam membentuk
Topik tentang disfemisme merupakan realitas ini, media memiliki dua peran yang
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip sangat penting. Pertama, pemilihan fakta yang
kesantunan yang berkaitan erat dengan muka didasarkan pada asumsi wartawan yang tidak
dan efek yang ditimbulkan. Disfemisme juga mungkin melihat suatu peristiwa tanpa
melanggar prinsip tabu dalam ranah perspektif. Kedua, bagaimana fakta tersebut
sosiolinguistik, yakni ungkapan terlarang pada dipilih untuk disajikan kepada khalayak
suatu masyarakat. Penggunaan disfemisme dengan menggunakan kata, kalimat, proposisi,
menjadikan hal-hal tabu pada masa lalu kemudian dilengkapi dengan foto, gambar dan
menjadi hal yang biasa dan wajar data lain (Eriyanto, 2001, h. 116).
diungkapkan pada masa sekarang. Dalam representasi ini, sangat mungkin
terjadi misrepresentasi, yaitu ketidakbenaran
Disfemisme dan Analisis Wacana penggambaran atau kesalahan penggambaran.
Menurut Foucault dalam Eriyanto Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat,
(2001, h. 65-113), wacana tidak hanya atau gagasan tidak ditampilkan sebagaimana
dipahami sebagai serangkaian kata atau mestinya, tetapi digambarkan secara buruk.
proposisi dalam teks tetapi sesuatu yang Secara umum, ada empat misrepresentasi
memproduksi yang lain (sebuah gagasan, yang mungkin terjadi dalam pemberitaan
konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi (Eriyanto, 2001, h. 120-130).
karena secara sistematis suatu ide, opini, 1. Ekskomunikasi, yaitu bagaimana seseorang
konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam atau sekelompok orang dikeluarkan dari
suatu konteks tertentu sehingga pembicaraan publik dan tidak
mempengaruhi cara berpikir dan bertindak diperkenankan untuk berbicara dan
tertentu. Wacana secara ideologi dapat terlibat dalam diskursus publik. Ciri
menggusur gagasan orang atau kelompok pertama, partisipan wacana hanya
tertentu dengan menggunakan teks sebagai dibatasi pada pihak kita. Ciri kedua,
sarana sekaligus media melalui mana satu penggambaran selalu dalam rangka
kelompok mengunggulkan diri dan kepentingan kita.
memarjinalkan kelompok lain. Dalam hal ini, 2. Eksklusi, yaitu bagaimana seseorang,
bahasa memiliki peran penting dalam gagasan, atau kelompok dikeluarkan dari
representasi, yakni bagaimana seseorang, satu pembicaraan publik namun untuk
kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu dikucilkan. Ciri pertama, pembatasan atas
ditampilkan dalam pemberitaan. apa yang bisa dan tidak bisa didiskusikan,
Dalam bahasa tulis, representasi siapa yang boleh dan tidak boleh
ditunjukkan dengan penggunaan kata, berbicara. Ciri kedua, pengklasifikasian
kalimat, atau proposisi, grafik, caption, dan mana yang baik, mana yang buruk, mana
sebagainya. Contoh representasi wacana yang bisa diterima, dan mana yang tidak
dalam bahasa tulis adalah dokumen, teks bisa diterima. Wacana yang dihasilkan
wawancara, transkrip, dan lain-lain. Elemen- disini, adalah kita baik (termasuk apa yang
elemen tersebut kemudian ditansmisikan ke kita bicarakan), sedangkan mereka (yang
dalam kode representasional yang dikucilkan) buruk.
memasukkan bagaimana objek digambarkan 3. Marjinalisasi, yaitu penggambaran buruk
(karakter, narasi, setting, dialog, dan lain-lain). kepada pihak/kelompok lain. Sedikit
Kemudian, semua elemen tersebut berbeda dengan ekskomunikasi dan
diorganisasikan dalam koherensi sosial dan eksklusi yang memposisikan pihak lain
kode-kode ideologi yang terdapat dalam sebagai the others, marjinalisasi tidak
masyarakat seperti individualisme, memilah antara pihak kita dan pihak yang
liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, lain. Praktek marjinalisasi dalam media
materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. yakni dengan menggunakan praktik
(Eriyanto, 2001, h. 114-116). pemakaian bahasa eufemisme,
Dari sini, terbentuklah kepercayaan disfemisme, labeling, dan stereotipe.
sosial yang seringkali diterima sebagai Penjelasan selengkapnya lihat di bawah.
common sense oleh khalayak Common sense
DAFTAR PUSTAKA
Allan, Keith and Kate Burridge. (1991). Euphemism and Dysphemism: Language Used as Shield and
Weapon. New York: Oxford University Press
Allan, Keith and Kate Burridge. (2006). Forbidden Words: Taboo and the Censoring of Language.
New York: Oxford University Press
Allan, Keith and Kate Burridge. (2009). “Euphemism, Dysphemism, and Cross-Varietal Synonymy:
Academic”. Makalah diakses pada tanggal 26 Desember 2016 di laman
www.latrobe.edu.au/linguistics/LaTrobePapersinLinguistics/Vol%2001/1AllanandBurridge.
pdf
Crystal, David. (1987). “The Functions of Language,” dalam The Cambridge Encyclopedia of
Language. Cambridge: Cambridge University Press
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS
Indrawati, Dianita. (2006). “Makian dalam Bahasa Madura”. Disertasi. Denpasar: Universitas
Udayana
Renkema, Jan. (1993). Discourse Studies: an Introductory Textbook. Philadelphia: John Benjamins
Publishing Company
Karsana, Deni. “Referensi dan Fungsi Makian dalam Bahasa Kaili” dalam Metalingua Vol. 13, No. 2,
Desember 2015. Hal: 141-150
Karjalainen, Markus. (2002). “Where Have All the Swearwords Gone? An Analysis of the Loss of
Swearwords in Two Swedish Translations of J. D. Salinger’s Catcher in the Rye”. Unpublished
Thesis. Helsinki: University of Helsinki
Laili, Elisa Nurul. (2005). “Dysphemism Used in Greenday’s and Slipknot Lyrics”. Skripsi yang Tidak
Diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang
Masrokhin. (2002). “A Sociolinguistics Study on the Rude Words Used by the Street Children in
Malang”. Skripsi yang Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Malang
Wijana, I Dewa Putu. (1997). “Pragmatik dan Pembelajaran Bahasa Asing”.Humaniora, No. 5, Hal.
26-30, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Wijana, I Dewa Putu. “Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa” dalam Humaniora vol. 20, No.3. Oktober
2008. Hal. 249-256, Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Cet. 2.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.