Anda di halaman 1dari 4

ESSAY: “SANITASI LINGKUNGAN DI PERKOTAAN DAN PEDESAAN”

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sanitasi Lingkungan
yang Dibimbing Oleh :

Emma Yuliani, ST., MT., Ph.D

Disusun Oleh :

Dea Anggara Putri (185060401111010)

Kelas A

JURUSAN TEKNIK PENGAIRAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS BRAWJAYA

MALANG

2021
Sanitasi Lingkungan di Daerah Perkotaan dan Pedesaan

Pembangunan sanitasi di Indonesia mengacu pada tujuan pembangunan berkelanjutan


(Sustainable Development Goals/SDG’s) yang dicanangkan sebagai agenda 193 negara
anggota PBB dan harus dituntaskan pada tahun 2030, memastikan ketersediaan dan
manajemen air bersih yang berkelanjutan dan sanitasi bagi semua. Sanitasi berkaitan
langsung dengan kesehatan masyarakat dalam aspek air bersih dan sarana pembuangan
sampah. Banyak penyakit yang disebabkan oleh buruknya sanitasi sehingga akses sanitasi
layak menjadi salah satu hak asasi manusia yang wajib didapatkan oleh setiap warga
masyarakat yang ditetapkan oleh PBB.

Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan


jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin
tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit
kurang gizi. Bertambahnya jumlah penduduk sebanding dengan kebutuhannya terhadap
air. Namun pada saat ini, ketersediaan air secara kuantitas dan kualitas semakin menurun.
Oleh karena itu, wilayah perkotaan dan pedesaan terancam mengalami krisis air bersih.

Jadi sanitasi dan air minum/air bersih merupakan dua hal penting dalam kehidupan
manusia. Setiap ada air minum atau air bersih maka pasti akan ada air limbah. Sebagai
gambaran, apabila satu orang menggunakan 100 liter air perhari untuk minum, mandi, cuci,
kakus, maka air yang dibuang menjadi air limbah sekitar 85 liter per hari. Fasilitas sanitasi
yang layak yang memenuhi standar kesehatan disertai dengan perilaku hidup bersih dan
sehat. Sanitasi yang tidak layak dan tidak mencukupi menyebabkan berbagai dampak
kesehatan seperti penularan penyakit dan kurang gizi, dampak pada tingkat pendidikan
anak-anak, dampak pada gender dan sosial, hingga dampak pada kerugian ekonomi rumah
tangga dan negara.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), persentase rumah tangga di Indonesia yang
memiliki akses terhadap sanitasi layak mencapai 79,53% pada tahun 2020. Jumlahnya naik
2,14% dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 77,39%. Secara rinci, rumah tangga
memiliki akses terhadap sanitasi layak di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di
daerah pedesaan. Sebanyak 83,66% rumah tangga di daerah perkotaan telah memiliki
akses sanitasi layak, naik 1,39% dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 82,27%.
Sedangkan, rumah tangga yang memilki akses terhadap sanitasi layak di daerah pedesaan
mencapai 74, 27% dibandingkan pada tahun 2019 yang sebesar 17,17%.

Sanitasi dan akses air bersih masih menjadi permasalahan yang ditemui di Indonesia,
baik di daerah perkotaan ataupun daerah pedesaan. Sama-sama bermasalah, namun
karakteristik serta penanganannya sangat berbeda. Secara garis besar, masalah sanitasi
yang ada di desa masih tingkat individual (rumah tangga) misalnya rumah warga ada yang
belum mempunyai jamban pribadi, sementara di perkotaan masalah sanitasi menyangkut
tingkat orang banyak atau komunal.

Di perkotaan, sudah hampir seluruh warga mempunyai jamban sendiri. Hanya saja,
permasalahan terletak pada kemauan masyarakat untuk memelihara dan mengelola sarana
dan prasarana yang sifatnya umum dan boleh digunakan siapa saja. Beberapa layanan di
perkotaan dinilai masih belum baik, seperti sistem pengelolaan sampah rumah tangga dan
pengelolaan limbah domestik belum optimal. Sehingga hal ini mengakibatkan rendahnya
kualitas air minum yang diperoleh warga.

Di pedesaan, penanganan sanitasi lingkungan oleh pemerintah sampai saat ini masih
menghadapi banyak kendala. Jumlah fasilitas yang ada tidak sebanding dengan
pertumbuhan penduduk. Selain itu, masyarakat di banyak wilayah masih mempraktekkan
perilaku hidup yang tidak sehat, seperti buang air besar di sungai, mencuci di sungai yang
airnya kotor, membuang sampah sembarangan, dan lain-lain. Masih banyaknya penduduk
yang buang air besar disungai tentu menyebabkan buruknya kualitas air terutama pada
sumber-sumber air yang seharusnya menjadi sumber penghidupan warga. Dengan tingkat
populasi yang tinggi, namun kesadaran akan lingkungan yang rendah semakin
memperparah kondisi tersebut.

Kondisi sanitasi yang buruk merupakan tempat berkembangnya penyakit menular


yang dapat menyebabkan mordibitas masyarakat, terutama usia di bawah lima tahun yang
masih rentan terhadap penyakit. Anak berusia dibawah lima tahun yang tidak sehat dan
terpapar penyakit akan cenderung meningkatkan risiko stunting dibandingkan anak berusia
di bawah lima tahun yang tumbuh sehat. Diare adalah penyakit yang paling mematikan
nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya jelas buruknya
akses terhadap air bersih serta sanitasi.
Adapun hal yang bisa dilakukan untuk memastikan ruang lingkup sanitasi tetap baik
yaitu; tidak buang air besar sembarangan misalnya di sungai, mencuci tangan memakai
sabun, mengelola air minum dan makanan rumah tangga agar tetap bersih, mengelola
sampah rumah tangga dengan cara 3R (Reduce, Reuse, Recycle), memastikan keamanan
saluran pembuangan limbah cair.

Contoh Sanitasi dan Air Minum di Daerah Perkotaan dan Pedesaan Provinsi Bengkulu

Provinsi Bengkulu merupakan salah satu provinsi dengan sarana sanitasi dan
ketersediaan air minum keempat terendah diIndonesia. Perbedaan kondisi sosial ekonomi
dan akses sanitasi yang sangat rendah di Provinsi Bengkulu menimbulkan tantangan besar
untuk memastikan layanan air dan sanitasi bagi semua, sehingga membantu
mengendalikan sejumlah besar penyakit menular. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran sanitasi dan air minum antara wilayah perkotaan dan perdesaan di
Provinsi Bengkulu. Data yang dianalisis adalah data Potensi Desa (PODES) tahun 2018
dengan unit analisis desa.

Akses sanitasi dalam sarana jamban layak telah mengalami peningkatan sejak tahun
2015. Namun apabila dibandingkan dari data nasional berdasarkan Riskesdas tahun 2013
maupun 2018, akses sanitasi masih dibawah angka nasional. Akses sanitasi improved
secara nasional pada tahun 2013 di perkotaan adalah 72,5% dan di pedesaan adalah 46,9%
(Kemenkes RI, 2013), Susenas 2018 mengalami peningkatan; menjadi 80,5% di perkotaan
dan 55,8% pedesaan. Dari hasil pengolahan data PODES, menunjukkan akses di Provinsi
Bengkulu hanya mencapai 70,3% di perkotaan dan 17,6% di pedesaan. Perbedaan ini
kemungkinan disebabkan karena perbedaans ampling dan unit analisis, dimana unit
analisis data PODES adalah desa, sedangkan Riskesdas atau Susenas adalah rumah tangga.

Jumlah sampel sebesar 148 desa di daerah perkotaan dan perdesaan di Provinsi
Bengkulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa sarana sanitasi dan ketersediaan air bersih di
wilayah perkotaan lebih baik dari pada di wilayah perdesaan. Di wilayah perdesaan
mayoritas pembuangan tinja tidak saniter atau tanpa jamban/buang air besar sembarangan,
pembuangan sampah dilakukan dengan membuang ke dalam lubang tanah atau dibakar,
saluran pembuangan air limbah masih terbuka, dan sumber air adalah sumur gali sebagai
sumber air bersih. Dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesenjangan dalam hal akses
sanitasi dan air minum antara di perdesaan dan perkotaan. Perlu adanya evaluasi
peningkatan akses masyarakat terhadap sanitasi di pedesaan dan air minum di perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai