Anda di halaman 1dari 59

PRA TESIS – SK 185201

Material Biofarmaka Baru “Santon Glikosida” Hasil


Modifikasi γ-mangosteen Dari Kulit Buah Garcinia
mangostana

Ega Rocky Maulana Rafsanjani


01221750012004

Dosen Pembimbing :
Prof. Taslim Ersam, M.Si.

PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN KIMIA ORGANIK
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS SAINS
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2019

i
PRA TESIS – SK 185201

Material Biofarmaka Baru “Santon Glikosida” Hasil


Modifikasi γ-mangostin Dari Kulit Buah Garcinia
mangostana

Ega Rocky Maulana Rafsanjani


01221750012004

Supervisor :
Prof. Taslim Ersam, M.Si.

MASTER PROGRAM
ORGANIC CHEMISTRY
DEPARTMENT OF CHEMISTRY
FACULTY OF SCIENCE
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2019

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Material Biofarmaka Baru “Santon Glikosida” Hasil Modifikasi


γ-.mangostin Dari Kulit Buah Garcinia mangostana

Oleh : Ega Rocky Maulana Rafsanjani


NRP : 01221750012004
Telah diseminarkan pada:
Hari :
Tanggal : oktober 2019
Tempat : Ruang Sidang I Departemen Kimia-Fakultas Sains ITS

Dosen Penguji: Dosen Pembimbing:

Prof. Taslim Ersam, M.Si.


NIP. NIP. 19520816 197903 1 004

iii
ABSTRAK

Manggis adalah buah yang memiliki nama ilmiah Garcinia mangostana L. Genus
Garcinia adalah tanaman asli Asia dan Afrika dan mencakup lebih dari 300 spesies
berbeda yang beberapa famili senyawa bioaktifnya seperti Santons, flavonoids,
triterpenoids, dan benzophenones telah berhasil diisolasi dan diberi nama. Meskipun
banyak spesies Garcinia termasuk G. mangostana, G. schomburgkiana, G. dulcis, G.
cowa, G. atroviridis, G. hanburyi, G. bancana, G. xanthochymus, G. thorelii, G. thorelii,
G. hombroniana, dan G. speciosa merupakan golongan buah-buahan yang dapat dimakan,
dan manggis tetap menjadi perhatian utama di pasar. Pohon manggis paling banyak
ditemukan tumbuh di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand. Pohon manggis dewasa
berkisar antara 6 hingga 25 m. Kulit buah manggis telah digunakan dalam pengobatan
tradisional di Asia Tenggara selama berabad-abad untuk mengobati infeksi, luka, radang
dan diare. Genus ini dilaporkan kaya akan turunan senyawa santon teroksigenasi dan
terprenilasi dari golongan fenolat. Setidaknya 68 Santons yang berbeda telah
diidentifikasi di berbagai bagian tanaman G. mangostana dengan 50 hadir di pericarp
buah pada konsentrasi yang lebih tinggi daripada di bagian daging buah. Senyawa santon
yang paling banyak ditemukan pada kulit buah manggis adalah α- and γ-mangostin.
senyawa santon seperti γ-mangostin merupakan santon aglikon yang dilaporkan telah
memberikan efek farmakologi seperti, antikanker, antiplatelet, lainnya menunjukan
aktivitas hepatoprotektif melawan kerusakan oksidatif. Sejumlah senyawa yang aktif
secara biologis ditemukan dalam bentuk glikosida (glikon). Residu glikosidik sangat
penting untuk aktivitas mereka, dan dalam kasus lain glikosilasi hanya meningkatkan
parameter farmakokinetik. Secara umum diketahui bahwa glikosida lebih mudah larut
dalam air daripada aglikon. Memanfaatkan bagian sisi glikosidik yang terikat pada
molekul meningkatkan hidrofilisitasnya. Efek ini memengaruhi sifat farmakokinetik dari
masing-masing senyawa, seperti Sirkulasi, eliminasi, dan konsentrasi dalam cairan tubuh.
Keberhasilan mensintesis glikon mangiferin kami jadikan sebagai hipotesis untuk
tercapainya tujuan penelitian modifikasi γ-mangostin dari spesies G. mangostana.
Penelitian ini akan menjadi dasar bahwa pemanfaatan bahan alam sebagai sumber
senyawa yang memiliki khasiat tidak hanya langsung digunakan tapi masih dapat
ditingkatkan efektifitasnya. Serbuk kulit buah G. mangostana diekstrak metode maserasi
dengan pelarut etil asetat dan selama 3x24 jam. Kemudian dilakukan pemisahan senyawa
iv
pada ekstrak pekat dengan metode kromatografi cair vakum (KCV) peningkatan
kepolaran sehingga diperoleh fraksi nonpolar sampai polar. Pengulangan fraksinasi
dilakukan untuk pemisahan yang lebih baik dan perolehan senyawa murni γ-mangostin.
Selanjutnya disintesis kembali dengan mengikatkan γ-mangostin dengan suatu glukosa.
Senyawa akhir yang diduga murni selanjutnya diuji kemurnian dan dilakukan
karakterisasi struktur senyawa dengan uji KLT 2D, uji titik leleh, spektrofotometer UV-
Visible, spektrometer FTIR (Forier Transform Infra Red), serta spektrometer 1H NMR
dan 13C NMR.

Kata kunci : Garcinia mangostana L., isolasi, glikosilasi

v
ABSTRACT

Mangosteen is a fruit that has the scientific name Garcinia mangostana L. The
genus Garcinia is a plant native to Asia and Africa and includes more than 300 different
species of which several families of bioactive compounds such as Santons, flavonoids,
triterpenoids, and benzophenones have been isolated and named. Although many Garcinia
species include G. mangostana, G. schomburgkiana, G. dulcis, G. cowa, G. atroviridis,
G. hanburyi, G. bancana, G. xanthochymus, G. thorelii, G. thorelii, G. hombroniana, and
G. speciosa is a group of edible fruits, and mangosteen remains a major concern in the
market. Mangosteen trees are most commonly found growing in Indonesia, Malaysia, the
Philippines, and Thailand. Mature mangosteen trees range from 6 to 25 m. Mangosteen
rind has been used in traditional medicine in Southeast Asia for centuries to treat
infections, wounds, inflammation and diarrhea. This genus is reported to be rich in
derivatives of oxygenated and prenylated xanthones from phenolics. At least 68 different
Santons have been identified in various parts of the G. mangostana plant with 50 being
present in the fruit pericarp at higher concentrations than in the fruit flesh. The most
common xanthones compounds found in mangosteen peel are α- and γ-mangostin.
xanthones compounds like γ-mangostin is an xanthone which has been reported to have
pharmacological effects such as anticancer, antiplatelet, and others show hepatoprotective
activity against oxidative damage. A number of biologically active compounds are found
in the form of glycosides (glycons). Glycosidic residues are very important for their
activity, and in other cases glycosylation only increases pharmacokinetic parameters. It is
generally known that glycosides are more soluble in water than aglycones. Utilizing the
glycosidic site bound to a molecule increases its hydrophilicity. This effect affects the
pharmacokinetic properties of each compound, such as circulation, elimination, and
concentration in body fluids. The success of synthesizing mangiferin glycons was made
as a hypothesis for the achievement of the γ-mangostin modification research goal of the
G. mangostana species. This research will be the basis that the use of natural materials as
a source of compounds that have efficacy is not only used directly but can still be
improved in effectiveness. G. mangostana fruit peel powder was extracted by maceration
method with ethyl acetate solvent and for 3x24 hours. Then the compound was separated
in concentrated extracts by vacuum liquid chromatography (KCV) method to increase
polarity so that nonpolar to polar fractions were obtained. Repeated fractionation for
better separation and acquisition of pure γ-mangostin compounds. Then it is synthesized
vi
again by binding γ-mangostin with a glucose. The purified final compound was then
tested for purity and structural characterization of the compound by a 2D TLC test,
melting point test, UV-Visible spectrophotometer, FTIR (Forier Transform Infra Red)
spectrometer, and 1H NMR and 13C NMR spectrometers.

Keyword : Garcinia mangostana L., isolation, glycosilation.

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya sehingga Proposal
Tesis yang berjudul “Material Biofarmaka Baru “Santon Glikosida” Hasil Modifikasi γ-
mangostin Dari Kulit Buah Garcinia mangostana” dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini
disusun sebagai prasyarat untuk menyelesaikan pendidikan S2 di program pascasarjana Jurusan
Kimia, Fakultas Sains, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Taslim Ersam selaku dosen pembimbing dan Kepala Lab. Kimia Bahan
Alam dan Sintesis yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan
selama penyusunan tesis.
2. Dra. Yulfi Zetra, M.Sc., selaku dosen wali yang telah memberikan arahan,
dorongan, dan fasilitas selama penelitian.
3. Prof. Dr. Didik Prasetyoko, M.Sc., selaku Ketua Departemen Kimia FSains ITS.
4. Prof. Mardi Santoso, Ph.D., selaku Kaprodi Pascasarjana Kimia FSains ITS.
5. Ayahanda Bambang Tri Hariyanto S.Pd., dan Ibunda Ika Kusumawati S.Pd., yang
telah memberikan dukungan moral dan materil selama menyelesaikan studi S2.
6. Seluruh anggota tim penelitian Lab. Kimia Bahan Alam dan Sintesis, seluruh
rekan-rekan mahasiswa S2 Kimia serta semua pihak yang telah mendukung
hingga penyelesaian tesis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tentu tidak lepas dari kekurangan,
maka dari itu segala saran dan kritik yang membangun untuk kebaikan tesis sangat
diperlukan. Semoga tesis ini memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.

Surabaya, Oktober 2019

Penulis

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................iii
ABSTRAK..........................................................................................................................iv
ABSTRACT.........................................................................................................................v
KATA PENGANTAR........................................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................x
DAFTAR TABEL...............................................................................................................xi
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................4
1.3 Tujuan....................................................................................................................4
1.4 Manfaat..................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI.....................................................7
2.1 Tanaman Garcinia mangostana L........................................................................7
2.2 Santon pada kulit Buah Garcinia mangostana L...............................................8
2.3 Glikosida dan Sifatnya........................................................................................12
2.4 Isolasi Senyawa..................................................................................................17
2.4.1 Persiapan Sampel............................................................................................17
2.4.2 Ekstraksi..........................................................................................................17
2.4.3 Fraksinasi.........................................................................................................17
2.4 Pemurnian Senyawa............................................................................................18
2.5 Sintesis ..................................................................................................................19
2.6 Penentuan Struktur..............................................................................................19
2.7.1 Spektrofotometer IR (Infrared).......................................................................19
2.7.2 Spektrometer NMR (Nuclear Magnetic Resonance).......................................22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN...........................................................................27
3.1 Alat dan Bahan....................................................................................................27
3.1.1 Alat...................................................................................................................27
3.1.2 Bahan...............................................................................................................27
3.2 Prosedur Isolasi Senyawa.......................................................................................27
ix
3.2.1 Ekstraksi............................................................................................................27
3.2.2 Fraksinasi..........................................................................................................28
3.3 Identifikasi Senyawa...........................................................................................28
3.3.1 Uji titik leleh.....................................................................................................28
3.3.2 Spektrofotometer IR.........................................................................................28
3.4 Sintesis Senyawa..................................................................................................28
3.3.1 Spektrofotometer IR.........................................................................................28
3.3.2 Spektrometer 1H dan 13C NMR.........................................................................28
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33
LAMPIRAN.......................................................................................................................39

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1..........................................................................................................................7
Gambar 2.2.........................................................................................................................13
Gambar 2.3.........................................................................................................................14
Gambar 2.4.........................................................................................................................23
Gambar 2.5........................................................................................................................24

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1............................................................................................................................21
Tabel 2.2 ............................................................................................................................24

xii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Garcinia merupakan nama genus tanaman dari suku Clusiaceae. Tidak


kurang dari 200 jenis Garcinia tumbuh tersebar di seluruh dunia dan 100 jenis di
antaranya terdapat di kawasan Asia Tenggara (Jansen, 1991; Noor, 1998).
Garcinia (Garcinia spp) yang disimpan di Herbarium Bogoriense dan studi
pustaka telah ditemukan 64 jenis Garcinia di seluruh Indonesia, Ternyata jumlah
jenis Garcinia di Kalimantan adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan
kawasan pulau-pulau lainnya. Pada pulau Kalimantan ditemukan 25 jenis
Garcinia, sedangkan di Sumatra dan Sulawesi masing-masing hanya 22 jenis,
Maluku dan Irian Jaya (Papua) masing-masing juga 17 jenis, Jawa 8 jenis, dan
Nusa Tenggara hanya 5 jenis Garcinia (Uji, 2007). Salah satu tanaman yang
paling dikenal oleh orang indonesia dari jenis ini adalah Garcinia mangostana
L,dan mansyarakat lokal menyebutnya dengan tanaman manggis. Manggis adalah
sejenis pohon yang tumbuh di daerah tropis yang diyakini berasal dari
Semenanjung Malaya dan menyebar ke Kepulauan Nusantara. Tumbuh hingga
mencapai 7 sampai 25 meter. Buahnya juga disebut manggis, berwarna merah
keunguan ketika matang, meskipun ada pula varian yang kulitnya berwarna
merah. Buah manggis dalam perdagangan dikenal sebagai "ratu buah", sebagai
pasangan durian, si "raja buah". Umumnya, manggis dikonsumsi seperti buah
pada lainnya. Daging buah yang berwarna putih memberikan rasa asam dan manis
yang khas.

Dahulu kulit manggis hanya dibuang begitu saja, sehingga hal ini menarik
bagi para peneliti untuk mengetahui khasiatnya. Penelitian terhadap buah
manggis, kulit batang, daun maupun kulit buahnya dilaporkan memiliki khasiat
antioksidan, antimalaria, antialergi, antitumor, antiviral, antibakteri (Chaverri, et
al., 2008), anti inflamasi (Chen, et al., 2007) dan anti jamur (Setyani, 2010). Kulit
buah manggis diketahui mengandung senyawa Santon yang berpotensial sebagai
kandidat obat. Santon diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi

1
(Chin et al.,2008; Chomnawang et al., 2007), antijamur (Gopalakrishman et al.,
1997), dan juga digunakan untuk kemoprevensi (Chin et al., 2008; Suksamrarn et
al., 2003). Salah satu senyawa santon seperti γ-mangostin merupakan santon
aglikon yang dilaporkan telah memberikan efek farmakologi seperti, antikanker,
antiplatelet, lainnya menunjukkan aktivitas hepatoprotektif melawan kerusakan
oksidatif.(yoo, et al.,2011)

Sejumlah senyawa yang aktif secara biologis ditemukan dalam bentuk


glikosida (glikon). Kadang-kadang, residu glikosidik sangat penting untuk
aktivitas mereka, dan dalam kasus lain glikosilasi hanya meningkatkan parameter
farmakokinetik. Secara umum diketahui bahwa glikosida lebih mudah larut dalam
air daripada aglikon. Memanfaatkan bagian sisi glikosidik yang terikat pada
molekul meningkatkan hidrofilisitasnya. Efek ini memengaruhi sifat
farmakokinetik dari masing-masing senyawa, seperti Sirkulasi, eliminasi, dan
konsentrasi dalam cairan tubuh (Kren dan Martinkova, 2001). Silybin adalah
flavonolignan yang diekstrak dari biji milk thistle (Silybum marianum) telah
digunakan secara luas sebagai hepatoprotektan yang manjur dan penangkal
keracunan jamur. Kelemahan utama dari senyawa ini adalah kelarutan dalam air
yang rendah sekitar 0,43 g / L (Kren, et al., 1997).

Glikosilasi secara kimia memberikan glikosida silybin pada C-23 (b-


glukosida, b-galaktosida, b-maltosida, dan b-laktosida). Kelarutan glikosida
silybin meningkat jauh dibandingkan dengan aglikon berturut-turut (13.0; 1.7; 3.8
dan 5.6 g / L). Tes biologis telah menunjukkan bahwa glikosida silybin di atas
memiliki aktivitas penangkapan radikal yang jauh lebih tinggi (diukur
menggunakan penangkapan/peredaman radikal 1,1-difenil-2-pikrillhidrazil
radikal), b-glucoside memberikan kelarutan yang optimum. Silybin
monoglikosida juga memiliki aktivitas hepatoprotektif yang jauh lebih baik
daripada aglikon dalam tes yang mengukur pelepasan laktat dehidrogenase dari
hepatosit yang diminum dengan t-butylhydroperoxide (Kren, et al., 1997). Tentu
sangat menarik hal yang sama juga terjadi pada senyawa fenolik lain seperti γ-
mangostin. Efek farmakokinetik dari sisi glikosidik tentu akan meningkatkan
kelarutan senyawa γ-mangostin. sehingga dapat memberikan efek peningkatan

2
aktivitas biologinya. Dari latar belakang ini maka penulis akan meneliti tentang
isolasi dan sintesis senyawa γ-mangostin glikosida dari tanaman Garcinia
mangostana l.

1.2 Rumusan Masalah


Penelitian sebelumnya telah diisolasi senyawa γ-mangostin dari tanaman
Garcinia mangostana l. Namun, masih belum ada yang memodifikasi struktur γ-
mangostin menjadi senyawa γ-mangostin glikosida. Penelitian ini berfokus pada
isolasi senyawa metabolit sekunder γ-mangostin dari ekstrak etil asetat dari kulit
buah Garcinia mangostana l serta modifikasi menjadi γ-mangostin glikosida
sebagai material biofarmaka baru.

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah isolasi senyawa metabolit sekunder dari
ekstrak etil asetat kulit buah Garcinia mangostana l, serta modifikasi senyawa γ-
mangostin.

1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai senyawa γ-
mangostin yang terdapat pada kulit buah Garcinia mangostana l dapat
dimodifikasi menjadi γ-mangostin glikosida sebagai material biofarmaka baru.
sebagai aktivitas antioksidan dan inhibitor α-glukosidase. Selain itu, penelitian ini
juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
kimia organik bahan alam.

3
Halaman ini sengaja dikosongkan

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

2.1 Tanaman Garcinia mangostana.


Garcinia merupakan nama genus tanaman dari suku Clusiaceae. Tidak
kurang dari 200 jenis Garcinia tumbuh tersebar di seluruh dunia dan 100 jenis di
antaranya terdapat di kawasan Asia Tenggara. (Jansen, 1991; Noor, 1998)
Garcinia (Garcinia spp) yang disimpan di Herbarium Bogoriense dan studi
pustaka telah ditemukan 64 jenis Garcinia di seluruh Indonesia, Ternyata jumlah
jenis Garcinia di Kalimantan adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan
kawasan pulau-pulau lainnya. Pada pulau Kalimantan ditemukan 25 jenis
Garcinia, sedangkan di Sumatra dan Sulawesi masing-masing hanya 22 jenis,
Maluku dan Irian Jaya (Papua) masing-masing juga 17 jenis, Jawa 8 jenis, dan
Nusa Tenggara hanya 5 jenis Garcinia (Uji, T., 2007)

Salah satu tanaman yang paling dikenal oleh orang indonesia dari jenis ini
adalah Garcinia mangostana L,dan mansyarakat lokal menyebutnya dengan
tanaman manggis. Manggis adalah sejenis pohon yang tumbuh di daerah tropis yang
diyakini berasal dari Semenanjung Malaya dan menyebar ke Kepulauan Nusantara.
Tumbuh hingga mencapai 7 sampai 25 meter. Buahnya juga disebut manggis, berwarna
merah keunguan ketika matang, meskipun ada pula varian yang kulitnya berwarna
merah. Buah manggis dalam perdagangan dikenal sebagai "ratu buah", sebagai
pasangan durian, si "raja buah". Umumnya, manggis dikonsumsi seperti buah pada
lainnya. Daging buah yang berwarna putih memberikan rasa asam dan manis yang khas.

Kingdom: Plantae

Divisi: Magnoliophyta

Kelas: Magnoliopsida

Ordo: Malpighiales

Famili: Clusiaceae

Genus: Garcinia

5
Spesies: G. mangostana
Populasi buah manggis terdapat hampir diseluruh daerah di Indonesia.
Menurut Raffi Paramawati (2010) produksi manggis terbesar berada di Provinsi
Jawa Barat, puncak produksi yang pernah dicapai di Jawa Barat (tahun 2007)
lebih dari 60 juta ton. Sebagian produksi manggis berasal dari kabupaten
Tasikmalaya, Purwakarta, Subang, Bogor, dan Sukabumi. Manggis (Garcinia
mangostana L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura Indonesia yang menjadi
fokus peningkatan produksi oleh Kementrian Pertanian. Hal ini dapat dilihat dari ekspor
buah-buahan Indonesia yang salah satunya didominasi oleh komoditas buah manggis.
Pada tahun 2012, kontribusi nilai ekspor manggis terhadap total ekspor 26 jenis buah-
buahan nasional yang diekspor adalah sebesar 9,64 persen (Dirjen Hortikultura, 2013).

Gambar Perkembangan produksi dan ekspor manggis di Indonesia tahun


2005-2012 ( BPS, 2013).

Tingginya produksi buah manggis dalam negeri tentu sangat menarik untuk
memanfaat limbah kulit manggis. Dahulu kulit manggis hanya dibuang begitu
saja, sehingga hal ini menarik bagi para peneliti untuk mengetahui khasiatnya.
Penelitian terhadap buah manggis, kulit batang, daun maupun kulit buahnya
dilaporkan memiliki khasiat antioksidan, antimalaria, antialergi, antitumor,

6
antiviral, antibakteri [4], anti inflamasi [5] dan anti jamur.[6] Kulit buah manggis
diketahui mengandung senyawa Santon yang berpotensial sebagai kandidat obat.
Santon diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi [7][8], antijamur
[9], dan juga digunakan untuk kemoprevensi. [7][10] Salah satu senyawa santon
seperti γ-mangostin merupakan santon aglikon yang dilaporkan telah memberikan
efek farmakologi seperti, antikanker, antiplatelet, lainnya menunjukkan aktivitas
hepatoprotektif melawan kerusakan oksidatif. [11]

γ-mangostin dengan formula C23H24O6 adalah anggota kelas Santons yaitu


9H-xanthene yang digantikan oleh kelompok hidroksi pada posisi 1, 3, 6 dan 7,
kelompok okso di posisi 9 dan kelompok prenyl pada posisi 2 dan 8. γ-mangostin
telah diisolasi dari kulit buah manggis sebanyak 525.1 mg dari 30 gram ekstrak
Etil asetat dengan titik leleh 193-195oC (Aida & Ersam,2011). γ-mangostin
dengan berat molekul 396.4331 diketahui memiliki kelarutan yang rendah yakni
0.0093 g/L.

2.2 Biosintesis Senyawa Santon


Asam amino aromatik (AAA), fenilalanin (Phe), tirosin (Tyr) dan triptofan
(Trp), adalah molekul sentral dalam metabolisme tanaman. Biosintesis AAA dari
metabolisme primer inti dimulai melalui jalur shikimate, yang mengarah ke
sintesis chorismate. Chorismate adalah metabolit titik cabang awal dalam sintesis
ketiga AAA dan berbagai metabolit sekunder aromatik yang diturunkan darinya
(Gilchrist dan Kosuge, 1980; Herrmann, 1995). Oleh karena itu, jalur biosintesis
shikimate dan AAA juga mewakili hubungan pengaturan utama metabolisme
primer dan sekunder pada tanaman.

Jalur shikimate, juga dikenal sebagai jalur biosintesis korismat, mengubah


dua metabolit, phosphoenolpyruvate (PEP) dari jalur glikolisis dan erythrose 4-
fosfat (E4-P) dari cabang non-oksidatif dari jalur pentosa fosfat, menjadi
chorismate. Konversi PEP dan E4-P menjadi chorismate terdiri dari tujuh reaksi
dikatalisis oleh enam enzim. Chorismate, terminal metabolit dari jalur shikimate
berfungsi sebagai metabolit inisiator untuk sintesis tiga AAA. dan karenanya juga
untuk berbagai metabolit sekunder aromatik yang diturunkan darinya.

7
O OH HO O
O P OH OH O
HO O O P OH HO
P OH O OH
HO O OH OH
O CH2 erythrose 4-phosphate
OH O
phosphoenolpyruvate 3-deoxyd-arabino-heptulosonate-7-phosphate
3-deoxyd-arabino-heptulosonate-7-phosphate synthase

3-dehydroquinate synthase

COOH COOH
HO COOH

HO OH shikimate 5-dehydrogenaseO OH 3-dehydroquinate dehydratase


O OH
OH OH OH
Shikimate 3-Dehydro-shikimate
3-dehydroquinate

shikimate kinase

COOH COOH
COOH
5-enolpyruvylshikimate- chorismate synthase CH2
3-phosphate synthase

O O OH HOOC O
HO O OH P
P OH HO O OH
OH HO O H2C COOH
5-enolpyruvylshikimate 3-phosphate Chorismate
shikimate 3-phosphate

H2N COOH

Chorismate mutase
COOH
COOH

e Pre OH
NH2 t as ph
yd ra en a
te
deh OH a mi O
te arogenate no
ena O
tr ans
og fer
Ar a se
O COOH
a se COOH
rat
Ar yd
Am oma de h
te
ino tic A en a
ph
Phenylalanin Tr a m i
nsf no A Pre
era ci
se d

OH
OH Prephenate
Phenylphiruvate

Gambar Skema Biosintesis Phenylalanin pada tanaman menurut (Tzin, dan


Galili,2010)

8
Langkah pertama yang dilakukan biosintesis Phenilalanin dari chorismate
dikatalisis oleh chorismate mutase (CM), yang mengubah chorismate menjadi
prephenate. Dua langkah terakhir secara enzimatik yang mengubah prephenate
menjadi Phe pada tanaman masih belum sepenuhnya dijelaskan. Rute utama
melibatkan konversi chorismate via arogenate ke Phe, dikatalisis oleh masing-
masing enzim prephenate aminotransferase (PAT) dan arogenate dehydratase
(ADT) (Cho et al., 2007; Yamada et al., 2008; Maeda et al., 2010).

Terlepas dari kemunculannya yang luas pada tanaman dan jamur, biosintesis
asam benzoat belum ditetapkan secara pasti. Dua jalur telah ditandai yang sama
melibatkan konversi fenilalanin menjadi asam sinamat oleh fenilalanin amonia
lyase (PAL). Rute menyimpang di perantara ini, satu melibatkan jalur b-oksidasi
dan yang kedua jalur retro-aldol melalui benzaldehyde. Kondensasi bertahap dari
benzoil-CoA dengan tiga molekul malonil-CoA menghasilkan 2,4,6-
trihydroxybenzophenone. Kondensasi bertahap dari benzoil-CoA dengan tiga
molekul malonil-CoA menghasilkan 2,4,6-trihydroxybenzophenone.

Karena benzofenon sintase paling aktif dengan benzoil-CoA sebagai


substrat, kami prediksi CoA ligase yang memasok substrat ini paling efisien untuk
mengaktifkan asam benzoat. Benzofenon sintase mengkatalisis reaksi antara 3
molekul malonil-CoA dengan benzoil-CoA menghasilkan senyawa intermedit
yang kemudian tersiklisasi claisen. Senyawa 2,4,6 trihidroksi benzofenon
dikatalisis oleh enzim benzofenon-3-hidroksilase membentuk 2,3,4,6-
tetrahidroksi benzofenon kemudian senyawa ini menjadi awal terbentuknya
santon lewat jalur enzimatis santon sintase. Diakhir dari jalur biosintesis ini akan
terpecah menjadi santon ter-glikosilasi dan ter-prenilasi (Schmidt, dan
Beerhues,1997).

9
O O O
Phenylalanin Lyase Acyl-CoA Lygase
HO HO CoAS
NH2
Cinnamic Acid
Phenylalanin Enoyl-CoA Hydratase

O
O OH
OH
Oxidase H Retro-Aldol-Cleavage CoAS
O benzaldehyde

Benzoid Acid

3-Hydroxybenzoate:CoA Ligase
O
O SEnz HO OH
O O
3X
SCoA HO SCoA
Malonyl-CoA
O O O OH O
Benzoyl-CoA Benzophenone Synthase Claisen
2,4,6-trihydroxy-benzophenone

Benzophenone-3-Hydroxylase
HO O
HO O OH

HO OH
OH
OH
OH O
OH O Xanthone-6-hydroxylase Xanthone synthase
OH
norathyriol 1,3,7-trihydroxyxanthene
OH O
(1,3,6,7-tetrahydroxyxanthone)
2,3',4,6-tetrahydroxy-benzophenone

CoA-S
Glucosydase

Glycosil xanthone Prenil xanthone

HO O OH

OH
OH O

gamma-mangostin

10
2. 3 Glikosida dan Sifatnya
Sejumlah senyawa yang aktif secara biologis adalah glikosida. Kadang-
kadang, residu glikosidik sangat penting untuk aktivitas mereka, dan dalam kasus
lain glikosilasi hanya meningkatkan parameter farmakokinetik. Farmakokinetika
adalah cabang ilmu dari farmakologi yang mempelajari tentang perjalanan obat
mulai sejak diminum hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia.
Perkembangan terbaru dalam glikobiologi molekuler membawa pemahaman yang
lebih baik untuk kegiatan aglikon vs glikosida, dan memungkinkan untuk
mengembangkan glikodrug baru, lebih aktif atau lebih efektif.
Secara umum diketahui bahwa glikosida lebih mudah larut dalam air
daripada aglikon. Memanfaatkan bagian sisi glikosidik yang terikat pada molekul
meningkatkan hidrofilisitasnya. Efek ini memengaruhi sifat farmakokinetik dari
masing-masing senyawa, seperti Sirkulasi, eliminasi, dan konsentrasi dalam
cairan tubuh. Hidrofilisitas yang dimodifikasi, tentu memberikan pengaruh
terutama transportasi membran. Terutama bagi beberapa senyawa yang memasuki
sel, hanya karena "kelarutannya" dalam komponen membran. Glikosilasi dapat
sangat mempengaruhi transportasi melalui penghalang penting seperti penghalang
hematoensefalitis dan menghalangi masuknya banyak senyawa ke dalam jaringan
otak. Sebaliknya, beberapa glukosida dapat diangkut secara aktif ke jaringan otak
menggunakan sistem transportasi glukosa. Penghalang penting lainnya di mana
glikosilasi memainkan peran penting adalah penghalang plasenta. Di sini banyak
glukuronida tersumbat untuk memasuki jaringan janin, sehingga mencegah
keracunan oleh metabolit xenobiotik.
Kebanyakan polifenol diproduksi oleh tanaman. Kelompok senyawa fenolik
merupakan target yang baik untuk glikosilasi dan banyak senyawa fenolik
diproduksi sudah dalam bentuk glikosilasi mereka. Glikosida dari senyawa
polifenol, misalnya, Senyawa flavonoid, merupakan kelompok besar yang tumbuh
sangat cepat. Daftar glikosida flavon dan flavonol yang dikenal hingga tahun 1986
telah ditemukan sekitar 900 senyawa. sejak saat itu sekitar 50 glikosida flavonoid
baru dilaporkan setiap tahun.

11
Silybin adalah flavonolignan yang diekstrak dari biji milk thistle (Silybum
marianum) dan telah digunakan secara luas sebagai hepatoprotektan yang manjur
dan penangkal keracunan jamur. Kelemahan utama dari senyawa ini adalah
kelarutan dalam air yang rendah (sekitar 0,43 g / L). Biotransformasi
menggunakan kultur sel tanaman menghasilkan silybin 7-b-glucoside dan
glikosilasi secara kimia memberikan glikosida silybin pada C-23 (b-glukosida, b-
galaktosida, b-maltosida, dan b-laktosida. Kelarutan glikosida silybin meningkat
jauh dibandingkan dengan aglikon berturut-turut (13.0; 1.7; 3.8 dan 5.6 g / L). Tes
biologis telah menunjukkan bahwa glikosida silybin di atas memiliki aktivitas
penangkapan radikal yang jauh lebih tinggi (diukur menggunakan
penangkapan/peredaman radikal 1,1-difenil-2-pikrillhidrazil radikal), b-glucoside
memberikan aktivitas yang terbaik. Silybin monoglikosida juga memiliki aktivitas
hepatoprotektif yang jauh lebih baik daripada aglikon dalam tes yang mengukur
pelepasan laktat dehidrogenase dari hepatosit yang diminum dengan t-
butylhydroperoxide. Efek serupa juga diamati pada tes dengan membran
lipoperoksidasi membran mitokondria di mana glikosida silybin, terutama b-
glukosida dan b-galaktosida,ditemukan sekitar 50 - 70% antilipoperoxidants lebih
baik. Tentu sangat menarik secara hipotesis hal yang sama juga terjadi pada
senyawa fenolik lain seperti Santon. Efek farmakokinetik dari sisi glikosidik tentu
akan meningkatkan kelarutan senyawa Santon. sehingga dapat memberikan efek
peningkatan aktivitas biologinya.
Mangiferin adalah Santon glikosida yang banyak didistribusikan di tanaman
tingkat tinggi seperti Mangifera indica L. dan Anemarrhena asphodeloides,
menunjukkan antidiabetes, antitumor, antivirus, antioksidan, imunomodulator dan
aktivitas anti-inflamasi. Mangiferin memiliki kelarutan yang tinggi di air yakni
5.02 g/L sedangkan dalam bentuk aglikonnya norathyriol memiliki kelarutan lebih
kecil yakni 0,55 g/L (Acosta,2016).
Glikosida Santon yang terbentuk secara alami telah diteliti dalam famili
Gentianaceae. Metode isolasi dan penentuan struktur, serta sintesis disajikan pada
jurnal ini. Aktivitas farmakologis glikosida Santon juga dilaporkan.Delapan tahun
kemudian, Carpen et al. [2] menerbitkan sebuah survei tentang distribusi lebih
dari tujuh puluh Santons dalam Angiospermae. Dalam beberapa tahun terakhir,

12
sejumlah besar Santons yang muncul secara alami, terutama dalam bentuk
glikosida, telah diidentifikasi dalam genus Swertia, Gentiuna dan Cunscora
(Gentianaceae).
Dalam penelitian Zhi et al., 2017, telah menentukan aktivitas
penghambatan norathyriol (C13H8O6) dan mangiferin pada 𝛼-glukosidase secara in
vitro dan mengevaluasi efek antidiabetes pada tikus diabetes. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa norathyriol menghambat 𝛼-glukosidase dengan nilai IC50
sebesar 3,12 𝜇M, yang lebih kuat daripada mangiferin (IC50 = 358,54 𝜇M).

Aglikon Kelarutan Glikon Kelarutan sumber


norathyriol 0,55 g/L mangiferin 5.02 g/L ALOGPS
Silybin-b-glukosida 13.0 g/L Kren et al.,
2001
Silybin-b-galaktosida 1.7 g/L Kren et al.,
2001
Silybin 0,43 g / L
Silybin-b-maltosida 3.8 g/L Kren et al.,
2001
Silybin-b-laktosida 5.6 g / L Kren et al.,
2001

Pada penelitian lain glikosilasi memiliki efek yang berbeda. Glikosilasi alfa-
mangostin menjadi α-mangostin-D-glukosida dapat meningkatkan aktivitas
antioksidan dan kelarutannya dalam air. α-Mangostin merupakan unsur utama
Santon dari kulit buah manggis memilik kelarutan rendah yakni 2.03X10-4 mg/L,
memiliki beberapa aplikasi farmasi penting tetapi ketersediaan hayati terbatas
karena tidak dapat larut dalam air ( Zarena dan sankar, 2015). Kelarutannya yang
buruk dalam air membatasi bioavailabilitasnya dalam aplikasi farmakologis.
Glukosilasi adalah alat yang berguna untuk meningkatkan konversi senyawa yang
tidak larut dalam air menjadi turunan yang larut dalam air untuk meningkatkan
bioavailabilitas dan sifat farmakologis (Parvathy et al. 2009). Beberapa senyawa
glikosida tidak selamanya memberikan efek biologis yang spesifik atau sama
dengan efek aglikonnya masing-masing. Perbandingan aktivitas biologis aglikon
dan glikosida masing-masing dapat menjelaskan korelasi strukturaktivitas dan

13
juga dapat menunjukkan keuntungan (atau ketidakgunaan) glikosilasi molekul
yang menarik secara farmakologis.

2. 4 Isolasi Senyawa

2. 4. 1 Persiapan Sampel
Persiapan sampel tumbuhan dilakukan dengan pengeringan. Pengeringan
sampel dilakukan dengan metode konvensional yaitu tumbuhan segar dikeringakn
tanpa mengunakan suhu tinggi dengan kondisi aliran udara yang baik.
Pengeringan ini bertujuan untuk menghilangkan kadar air pada tumbuhan.
Selanjutnya sampel tumbuhan yang telah kering dapat disimpan selama jangka
waktu yang cukup lama sebelum dilakukan analisis (Harborne, 2006).

2. 4.2 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan metode pemisahan suatu senyawa dari bahan alam
berdasarkan perbedaan kelarutan, antarazat terlarut dalam suatu bahan dengan
pelarut yang digunakan akibat adanya perbedaan polaritas like dissolve like
(Harborne, 2006). Dalam proses pemisahan suatu senyawa, terdapat dua macam
metode ekstraksi berdasarkan bentuk campurannya, yakni ekstraksi Padat-cair dan
cair-cair. Ekstraksi padat-cair dibagi menjadi beberapa metode, diantaranya
adalah maserasi, perkolasi, sokletasi, ekstraksi dengan pelarut bertekanan tinggi,
refluks, destilasi, dan lain sebagainya. Ekstraksi cair-cair merupakan metode yang
didasarkan pada sifat kelarutan senyawa dimana pelarut yang digunakan memiliki
kepolaran yang sesuai dengan bahan yang di ekstrak (Harborne, 2006).

2. 4. 3 Fraksinasi
Fraksinasi merupakan suatu proses yang digunakan dalam pemisahan
senyawa berdasarkan sifat kepolarannya menggunakan kromatografi.
Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa yang didasarkan atas
perbedaan distribusi senyawa diantara dua fase yaitu fase gerak berupa pelarut dan
fase diam berupa silika. Berdasarkan metodenya, kromatografi diklasifikasikan
menjadi kromatografi cair dan kromatografi gas. Kromatografi cair dibagi
menjadi kromatografi kertas, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan

14
High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Kromatografi gas dibagi
menjadi kromatografi cair gas dan kromatografi solid gas. (Rubiyanto, 2017;
Kenndler, 2011; Ersam, 2012).
Kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis umumnya digunakan pada
penelitian bahan alam. Kromatografi kolom adalah pemisahan berdasarkan prinsip
distribusi kelarutan dan daya adsorpsi senyawa terhadap fasa gerak (eluen) dan
fasa diam (adsorben). Fasa diam yang umumnya digunakan adalah silika atau
alumina, dimana silika (SiO2) bersifat polar dan alumina (Al2O3) bersifat netral.
Fasa gerak yang digunakan dapat berupa pelarut organik dari non polar hingga
polar (Ersam, 2012). Eluen sebagai fasa gerak akan membawa sampel bergerak
melalui fasa diam, kecepatan bergerak senyawa dipengaruhi oleh sifat kepolaran
senyawa. hasil dari kromatografi kolom yaitu fraksi-fraksi cairan yang ditampung
dan untuk menentukan profil senyawa dilakukan proses kromatografi lapis tipis
(Rubiyanto, 2016).
Proses fraksinasi dibantu dengan monitoring profil fraksi-fraksi yang
didapat menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). KLT merupakan teknik
kromatografi yang didasarkan pada prinsip adsorbsi, namun berbeda dengan
kromatografii kolom karena konfigurasi KLT yang terbentuk planar (plate). Fasa
diam dari KLT berupa padatan yang diaplikasikan pada permukaan aluminium
atau kaca, sedangkan fasa geraknya berupa pelarut cair seperti pada kromatografi
kolom. Karakter yang diinginkan dalam pemilihan fasa gerak yang kompetitif
untuk KLT antara lain parameter kelarutan (solubility parameter), indeks polaritas
(polarity index), dan kekuatannya sebagai solvent (solvent strength) (Rubiyanto,
2017). Pada KLT, komponen dengan kepolaran lebih rendah akan terelusi lebih
dahulu daripada komponen dengan kepolaran yang lebih tinggi karena komponen
tersebut akan terikat lebih kuat pada silika yang memiliki afinitas lebih besar
terhadap komponen yang bersifat polar. Setiap senyawa memiliki nilai faktor
retardasi (Rf, retardation factor), yakni perbandingan jarak perpindahan senyawa
dengan jarak perpindahan pelarut dalam satu waktu (Kristanti et al., 2008).

15
2. 5 Pemurnian Senyawa
Tahap selanjutnya adalah pemurnian senyawa untuk memisahkan senyawa
yang akan diidentifikasi dengan pengotornya. Metode pemurnian yang umum
digunakan pada penelitian kimia bahan alam adalah rekristalisasi. Prinsip
rekristalisasi yaitu perbedaan kelarutan padatan hasil isolasi dalam pelarut.
Kristalisasi merupakan suatu metode pemurnian zat padat yang didasarkan
pada perbedaan kelarutan masing-masing dari komponen yang tercampur dalam
pelarut yang berbeda. Rekristalisasi dilakukan dengan cara melarutkan padatan
hasil isolasi dengan pelarut yang sesuai dalam keadaan panas hingga terbentuk
larutan, selanjutnya dilakukan pendingin hingga terbentuk kristal. Keberhasilan
dari proses rekristalisasi yaitu didapatkan senyawa murni yang ditandai dari
terbentuknya kristal pada kondisi larutan cair. Pelarut yang baik digunakan untuk
rekristalisasi yaitu memiliki titik didih pelarut lebih rendah dari pada titik didih
padatan, pelarut akan melarutkan padatan pada keadaan panas dan tidak
melarutkan padatan pada suhu rendah. Selain itu pelarut bersifat inert atau tidak
dapat bereaksi dengan senyawa yang akan dimurnikan (Ersam, 2012). Pelarut
memiliki sifat tidak toksik dan harus melarutkan pengotor pada keadaan dingin.
Pengujian kemurnian dari senyawa dapat dilakukan dengan uji titik leleh.
Titik leleh adalah temperatur pada saat fase padat dan cair berada dalam
kesetimbangan pada tekanan 1 atm. Uji Kemurnian ini merupakan salah satu sifat
fisik yang penting untuk mengenal dan mengidentifikasi senyawa organik yang
berbentuk padatan. Suatu senyawa dinyatakan murni apabila senyawa meleleh
pada selisih temperatur Δ ± 1°C, nilai titik leleh akan tetap meskipun temperatur
naik perlahan. Indikator kemurnian senyawa ditunjukkan dari perubahan suhu 2°C
mulai saat fasa padat mencair hingga fasa padat terakhir mencair dengan rentang
titik leleh Δ ± 1°C (Ersam, 2012).
Kemurnian senyawa juga dapat diketahui dari hasil kromatografi lapis tipis
(KLT) yang menunjukkan noda tunggal pada kromatogram dengan eluan tunggal
ataupun campuran. Pengujian kemurnian menggunakan KLT dapat dilakukan
menggunakan tiga jenis eluen campuran dengan kepolaran berbeda (Ersam, 2012).

16
2.6 Sintesis santon glikosida
Baru-baru ini, yodium telah digunakan sebagai katalis yang efisien selama
sintesis karbohidrat asetat. yodium sebagai katalis asam Lewis, mengaktifkan
karbon karbonil dari anhidrida asetat menjadikan yang terakhir lebih reaktif .
Katalis asam Lewis yang kuat seperti yodium telah terbukti mengkatalisasi
pembentukan ester antara alkohol dan anhidrida dengan cepat. Setelah reaksi,
yodium mudah direduksi secara stoikiometri dengan natrium tiosulfat untuk
membentuk iodida (Diop, et al., 2010). Yodium (0,50 g, 0,0041 mol) diisi ke
dalam labu alas bulat yang sudah dikeringkan. Anhidrida asetat (4,0 mL, 0,038
mol) ditambahkan ke dalam labu dalam proses pengadukan selama 15 menit.
karbohidrat 1,0 g ditambahkan dan campuran yang dihasilkan direfluks selama 4
jam. Perbandingan antara karbohidrat dan anhidrida asetat mempengaruhi jumlah
rendemen yang didapat. Hasil penelitian hussein ditahun 2010 memberikan
informasi bahwa meningkatnya mol anhidrid asetat terhadap dextran
(Karbohidrat) dapat meningkatkan rendemen yang dihasilkan. Pada penelitian ini
juga menyimpulkan bahwa karbohidrat-asetat tidak dapat larut dalam air.

Sampel Perbandingan Mol Rendemen, %


1 1:3 50
2 1:4 53
3 1:5 70
4 1:6 77
5 1:8 83
6 1:10 85

Kelebihan yodium (katalis) dihilangkan dengan menambahkan larutan


natrium tiosulfat berair jenuh ke campuran reaksi. Endapan putih dextran asetat
yang terbentuk dengan demikian disaring, dicuci tiga kali dengan air dingin dan
kemudian diulang dari aseton ke dalam air dingin. Endapan sampel 4 kemudian
dikeringkan di bawah vakum pada 50 ° C selama 24 jam (Hussein, 2009).

17
I I

O O
I I
O
O O
O
O H O
O H O

O I I I
O
O O

O OH
n O n O n

Gambar. Skema reaksi asetilasi oleh Diop, et al., 2010

Produk asetilasi dilarutkan dalam asam asetat glasial yang mengandung


asetat anhidrida dengan diaduk dengan kuat. larutannya didinginkan hingga 0ºC
pada penangas es dibawah atmosfer argon. Kemudian 33% HBr dalam AcOH
yang didinginkan sebelumnya ditambahkan tetes demi tetes ke dalam campuran
pereaksi selama 45 menit dan campuran tersebut diaduk terus menerus. Campuran
reaksi diaduk pada suhu kamar semalaman. Labu ditutup dengan aluminium foil
untuk mengurangi dampak cahaya pada penguraian produk yang diinginkan.

Pada hari berikutnya campuran diencerkan dengan CHCl3. Lapisan organik


dicuci dengan NaHCO3 jenuh air yang didinginkan sebelumnya (3 × 40 ml) dan
air (1 × 40 ml). Pencucian dengan NaHCO3 berair jenuh harus dilakukan dengan
hati-hati, karena tekanan balik yang kuat dari CO 2. Lapisan organik dikeringkan
dengan Na2SO4 anhidrat, disaring dan diputar hingga kering pada suhu 40ºC.
dihasilkan rendemen sebesar 98% dari karbohidrat awal.

o o

o o o
o o o
30% HBr/AcOH
o o
o o o
o AcOH/Ac2O
o o
o Br
o

Gambar. Skema sintesis asetobromo glukosa (Toyokuni, T. et al. 2004).

18
Secara sintesis kimia, mangiferin pertama kali telah dilaporkan oleh nott
dan robert ditahun 1967. Mangiferin disintesi dengan mereaksikan norathyriol
(aglikon) dengan acetobromoglukosa dalam metanol anhidrad dengan katalis
natrium metoksida atau natrium iodida selama 20jam sehingga terbuntuk produk
campuran C- dan O-glukosil santon. Dalam meningkatkan rendemen produk c-
glukosil dapat dilakukan dengan mereaksikan aglikon dengan gugus pelindung.
Hasilnya direfluks selama 5 jam dalam kondisi asam (HCl 2N). perlakuan dalam
kondisi asam akan memecah ikatan O-glikosil santon dan tidak memberikan efek
yang sama pada c-glukosil santon. Selanjutnya campuran tersebut diekstrak
menggunakan pelarut dan dikromatografi.

2.7 Penentuan Struktur


2.7. 1 Spektrofotometer IR (Infrared)
Spektrofotometer inframerah digunakan untuk menentukan gugus fungsi
dan jenis ikatan yang terdapat dalam suatu molekul (Ersam, 2012). Menurut
silverstein tahun 1992 Identifikasi senyawa dengan spektroskopi inframerah (IR)
digunakan untuk mengetahui gugus fungsi serta jenis ikatan suatu senyawa,
dengan mengamati pita-pita serapan yang dikarakterisasi dalam spektrum IR.
Posisi pita pada spektra IR ditunjukkan dengan nilai panjang gelombang dengan
satuan persentimeter (cm-1). Suatu molekul yang menyerap sinar inframerah
mengakibatkan besarnya sinar yang diserap akan dirubah menjadi energi getaran
molekul dan menyebabkan perubahan tingkat energi getaran (vibrasi) molekul
(Silverstein, 1991).
Daerah IR berada pada range di atas visible yaitu pada panjang gelombang
7,8 x 10-7 m sampai 10-4 m. pada penelitian kimia organik panjang gelombang
yang digunakan pada daerah 2,5 x 10-6 m sampai 2,5 x 10-5 m. Daerah IR yang
digunakan hanya pada range bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (McMurry,
2008). Prinsip kerja spektrofotometer IR yaitu penyerapan radiasi gelombang IR
pada panjang gelombang tertentu oleh suatu molekul organik kemudian
dikonversi menjadi energi vibrasi yang muncul sebagai pita serapan pada
spektrum IR. Pita serapan pada spektrum IR mewakili bilangan gelombang dalam
sataun cm-1. Ikatan yang berbeda pada suatu molekul akan menghasilkan pita-pita

19
serapan yang spesifik dan frekuensi yang juga berbeda (Dachriyanus, 2004). Nilai
pita serapan berupa Absorbansi (A) atau Transmittan (T) dengan intensitas pita
dalam strong atau kuat (s), medium atau sedang (m) dan weak atau lemah (w)
(Silverstein et al., 2015; Supratman, 2010).
Energi dari frekuensi inframerah menyebabkan ikatan antar molekul
mengalami vibrasi ulur (streching) atau vibrasi tekuk (bending). Vibrasi yang
berbeda-beda diakibatkan adanya perbedaan jumlah energi serta frekuensi. Ikatan
yang berbeda dari suatu senyawa akan memiliki vibrasi dan frekuensi yang
berbeda (Ersam, 2012). Frekuensi tertentu dari radiasi IR akan dilewatkan pada
sampel sehingga ternjadi penyerapan frekuensi oleh senyawa organik tersebut.
Detektor akan mendeteksi frekuensi yang dilewatkan pada sampel dan tidak
diserap oleh senyawa. Banyaknya frekuensi yang tidak diserap oleh senyawa
diukur sebagai persen transmittan. Nilai persen 5% menunjukkan hampir semua
frekuensi yang dilewatkan diserap oleh senyawa. Serapan ini memberikan
informasi mengenai ikatan dalam senyawa. Sumber cahaya yang digunakan yaitu
lampu tungsten, Narnst glowers atau glowbars (Dachriyanus, 2004).
Daerah range 1500-400 cm-1 disebut sebagai daerah fingerprint, dimana
ketika dua sampel memiliki spektrum IR yang identik pada suatu daerah, maka
kemungkinan kedua sampel merupakan senyawa yang sama. Daerah diluar range
fingerprint, terdapat ciri khusus pada masing-masing ikatan molekul. Data
dibawah merupakan karakteristik serapan inframerah pada beberapa gugus fungsi
(Tabel 2. 1).

Tabel 2.1 Karakteristik serapan IR pada beberapa gugus fungsi (McMurry, 2000).

Daerah serapan Intensitas


Gugus Fungsi Jenis Ikatan (cm-1) Serapan
Alkana C−H 2850-2960 Sedang-Kuat
Alkena =C−H 3020-3100 Sedang
C=C 1640-1680 Sedang
Alkuna ≡C−H 3300 Kuat
−C≡C− 2100-2260 Sedang
Alkil Halida C−Cl 600-800 Kuat
C−Br 500-600 Kuat
C−I 500 Kuat

20
Daerah serapan Intensitas
Gugus Fungsi Jenis Ikatan (cm-1) Serapan
Alkohol O−H 3400-3650 Kuat, Lebar
C−O 1050-1150 Kuat
Aromatik C−H 3030 Lemah
Cincin Aromatik 1660-2000 Lemah
1450-1600 Sedang
Amina N−H 3300-3500 Sedang
C−N 1030-1230 Sedang
Karbonil C=O 1670-1780 Kuat
Asam Kuat, Sangat
Karboksilat O−H 2500-3100 Lebar
Nitril C≡N 2210-2260 Sedang
Nitro NO2 1540 Kuat

Salah satu sanyawa dari G. mangostana yang diidentifikasi menggunakan


spektrometer IR yaitu senyawa γ-mangostin.

Hasil analisis spektrometer IR menunjukan nilai intensitas pada bilangan


gelombang 3553 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksi sedangkan pada
v maks 1643 cm-1 menunjukkan adanya suatu gugus karbonil (Sen et al., 1982).
Serapan pada 2966 cm-1 memperlihatkan adanya gugus C-H alifatik (Silverstein,

21
et al., 1922). Pada v maks 1616 cm-1 merupakan puncak khas suatu aromatik
(Parveen dan Khan, 1988).

2.7. 2 Spektrometer NMR (Nuclear Magnetic Resonance)


Spektrometer NMR adalah suatu teknik untuk mengidentifikasi senyawa
organik berdasarkan spin magnetik inti dari 1H, 13
C, 19
F, 15
N dan sebagainya
(Balci, 2005). Spektrometer yang umumnya digunakan adalah spektrometer NMR
1 13
H dan C (Silverstein et al., 2015). Spektrometer 1H NMR digunakan untuk
menentukan jumlah proton yang memiliki lingkungan kimia yang sama pada
senyawa organik, sedangkan spektrometer 13C NMR digunakan untuk menentukan
jumlah karbon yang memiliki lingkungan kimia yang sama pada senyawa organik
(Dachriyanus, 2004).
Cara kerja dari spektrometer NMR yaitu sampel hasil isolasi senyawa bahan
alam dilarutkan dalam pelarut bebas proton kemudian diletakkan pada tabung/tube
yang berada diantara kedua magnet. Medan magnet ini menyebabkan inti dari
proton maupun karbon terorientasi sejajar atau berlawanan arah kemudian terkena
energi radiofrekuensi. Tiap inti akan beresonansi pada kekuatan magnet yang
berbeda. Hasil penyerapan energi radiofrekuensi (rf) akan dimonitor oleh detektor
dan sinyal yang didapatkan akan diperkuat oleh amplifier yang akan menampilkan
sinyal-sinyal dalam bentuk puncak spektrum (McMurry, 2008).
Hasil pembacaan data oleh detektor ini digambarkan dalam bentuk grafik
yang menunjukkan kuat medan magnet yang diberikan dari kiri ke kanan. Sisi
sebelah kiri dari grafik disebut dengan downfield dan sebelah kanan disebut
dengan upfield. Pada daerah upfield, inti bersifat lebih terlindungi (shielded)
sehingga dibutuhkan medan yang kuat untuk inti atom beresonansi, sedangkan
pada daerah downfield inti bersifat kurang terlindungi (deshielded) sehingga
medan magnet yang dibutuhkan lebih lemah untuk inti atom beresonansi
(McMurry, 2008).
Pada spektrum proton NMR informasi yang diberikan yaitu pergeseran
kimia (δ) dalam satuan ppm, integrasi atau intensitas sinyal dan multiplisitas.
Pergeseran kimia digunakan untuk menentukan jenis proton, dimana setiap proton
memiliki daerah pergeseran yang berbeda-beda. Pergeseran kimia dihitung dengan

22
membandingkan absorbsi proton atau karbon dengan senyawa pembanding.
Senyawa pembanding yang digunakan umumnya adalah tetrametilsilan atau TMS
(CH3)4Si karena TMS memiliki nilai pergeseran kimia (δ) 0 ppm (Solomons et al.,
2014). Jenis pergeseran kimia pada proton 1H NMR (Gambar 2. 4). yaitu :

Gambar 2.4 Pergeseran kimia 1H NMR (Silverstein et al., 2015).

Integrasi dalam spektrum NMR yaitu perbandingan tinggi suatu puncak


proton dibandingkan dengan puncak lainnya. Dalam satu sinyal bisa terdapat lebih
dari tiga proton karena adanya persamaan keadaan lingkungan (McMurry, 2008).
Sedangkan multiplisitas terjadi karena proton ber-splitting menjadi doublet, triplet
hingga multiplet. Medan magnet yang dihasilkan inti mempengaruhi medan
magnet pada inti tetangga, sehingga nilai multiplisitas yang diketahui merupakan
jumlah proton tetangga dengan nilai n+1. Jarak antara puncak-puncak disebut
sebagai kopling konstan (J). Kopling konstan umumnya bernilai 0-18 Hz. Suatu
puncak yang memiliki nilai kopling konstan yang sama dengan puncak lain,
kemungkinan kedua puncak tersebut berkaitan (McMurry, 2008).
Pada Spektrum NMR 1H sinyal hidrogen berasal dari atom hidrogen yang
terletak pada karbon tetangga, sedangkan pada spektrum NMR 13C sinyal karbon
dapat dilihat secara langsung (Gambar 2. 5). (Dachriyanus, 2004).

23
Gambar 2.5 Pergeseran kimia 13C NMR (McMurry, 2008)

Salah satu contoh identifikasi senyawa hasil isolasi pada kulit manggis
yakni senyawa γ-mangostin menggunakan spektrometer NMR dapat dilihat pada
tabel. Data spektrum 1H NMR senyawa γ-mangostin menunjukkan adanya suatu
proton hidroksi δH (13,8 ppm) yang terkhelat dengan gugus karbonil pada dasar
kerangka santon, terlihat juga sinyal dua proton singlet aromatik pada δ H (6.21 dan
6.65 ppm), sinyal multiplet pada δH 5.2 ppm merupakan sinyal metin, sinyal
doublet pada δH 4.1 dan 3.3 ppm merupakan sinyal metilen dan sinyal singlet pada
δH 1.8, 1.7 dan 1.6 merupakan sinyal metil.

Tabel 2.2 Data 1H NMR dan 13C NMR senyawa γ-mangostin


1 13
No.C H NMR (δ, ppm), (J, Hz) C NMR (δ, ppm)
  γ-mangostin
4” 1.7(3H,s) 18
4’ 1.8 (3H,s) 18.4
1” 3.3 (2H,d,J=7.15 Hz) 22.3
5’ 1.6 (3H,s) 26
5” 1.6 (3H,s) 26.1
1 4.1 (2H,d,J=7.1 Hz) 26.7
8 6.21 (1H,s) 92.99
1 6.65(1H,s) 100.9
5a 103.9
6 111.1
4a 112.3
2” 5.2(2H,m) 124
2’ 5.2(2H,m) 124.9

24
1 13
No.C H NMR (δ, ppm), (J, Hz) C NMR (δ, ppm)
  γ-mangostin
4 129.6
3’ 131.6
3” 131.7
3 142
1a 153.2
2 154
7 156.3
5 161.5
8a 163.3
10 183.6
2-OH
3-OH
7-OH
5-OH 13.8 (1H,s)

25
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas kimia, gelas ukur,
erlenmeyer, kaca arloji, tabung reaksi, pipet tetes, pipet ukur, pipet volume, botol
vial, chamber KLT, labu bundar, pengaduk, pipet kapiler, seperangkat alat
kromatografi, neraca analitik, oven, mikropipet, plastik wrap, aluminium foil, plat
tetes, pinset dan kuvet. Selain itu, plat KLT silika gel 60 GF 254 (Merck), Vortex
mixer, Buchi Rotary vacuum evaporator, refluks, Labu leher tiga, termometer,
penangas, Spektrofotometer UV, Spektrofotometer IR, Spektrometer 1H dan 13C
NMR.

3.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel berupa kulit buah
manggis G. mangostana yang diidentifikasi oleh Pamela Papila, botanis di
Laboratorium, Indonesia dengan nomor voucher koleksi 48. Pelarut organik teknis
meliputi n-heksana, diklorometana, etilasetat, metanol, dan aquades. Silika gel 60
G, (Merck-1.07731.1000) dan silika gel 60 0,063-0,200 mm (Merck-
1.07734.1000) untuk kromatografi cair vacum dan kromatografi kolom, plat
KLT/silika gel 60F245 alumunium sheets 20x 20 cm (Merck 4.05554.0001), kertas
saring, alumunium foil, pereaksi penampak noda ( larutan 1.5% CeSO 4 dalam
H2SO4) pada plat KLT.
Bahan yang digunakan memodifikasi γ-mangostin pada penelitian ini adalah
sampel senyawa γ-mangostin Anhidrida asetat, karbohidrat, asam asetat glasial,
HBr 33% dalam AcOH, CHCl3, NaHCO3 jenuh, Na2SO4 anhidrat, HCl 2N.

3.2 Prosedur Isolasi Senyawa

3.2.1 Ekstraksi
Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini
adalah kulit buah manggis Garcinia mangostana. Kulit buah dibersihkan dan

26
dikeringkan kemudian dipotong menjadi bagian kecil dan digiling hingga menjadi
serbuk. Penurunan ukuran partikel dapat meningkatkan kontak permukaan sampel
tanaman dengan pelarut ekstraksi yang terjadi.[29] Selanjutnya dilakukan uji
pendahuluan pada empat pelarut yaitu n-heksana, etil asetat, metilen klorida, dan
metanol. Sebanyak 10 g sampel dimaserasi dengan empat pelarut pada botol vial
berbeda selama 24 jam. Selanjutnya, hasil filtrat masing masing ekstrak dimonitor
dengan KLT. Hasil KLT dilihat di bawah lampu UV pada λ = 254 dan 366 nm.
Setelah itu disemprot dengan 1,5% serium sulfat dalam asam sulfat 2N kemudian
dipanaskan di dalam oven untuk menampakkan noda. Hasil uji pendahuluan ini
merupakan acuan untuk pemilihan sampel dan proses pemisahan senyawa
berdasarkan kecenderungannya terhadap pelarut tertentu.
Proses ekstraksi dilakukan dengan sampel Kulit G. Mangostin sebesar 25
kg. sampel diangin-anginkan pada suhu ruang selama ± 7 hari dan didapatkan 8
kg berbentuk serbuk kering. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi
selama 3 x 24 jam menggunakan pelarut etil asetat. Hasil ekstrak diambil setiap 1
x 24 jam kemudian diganti dengan pelarut yang baru. Pengambilan hasil ekstrak
dengan cara penyaringan untuk memisahkan ekstrak cair dengan residunya.
Pelarut hasil ekstrak cair diuapkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh
ekstrak pekat.

3.2.2 Fraksinasi
Ekstrak Etil asetat dilakukan pemisahan dengan kolom kromatografi silika-
gel dan dielusi dengan pelarut berdasarkan tingkat kepolaran (n- heksana,
diklorometana, etil asetat dan metanol) sehingga didapatkan beberapa fraksi.
Proses kromatografi kolom dimonitoring menggunakan KLT pada setiap fraksi
yang didapatkan. Fraksi dengan nilai (Rf, retardation factor) yang sama dengan γ-
mangostin digabungkan dan dikeringkan dengan Rotary evaporator. Kolom
kromatografi dilakukan kembali untuk menyederhanakan senyawa apabila pada
hasil KLT masih terdapat banyak senyawa. Fraksi dari senyawa murni ditandai
dengan noda tunggal pada plat KLT. Uji kemurnian dilakukan dengan uji KLT
menggunakan tiga eluen berbeda, uji KLT dua dimensi dan uji titik leleh.
Senyawa dimurnikan dengan rekristalisasi menggunakan dua pelarut. Salah satu

27
pelarut bersifat melarutkan dan pelarut lain tidak dapat melarutkan senyawa.
Senyawa murni diidentifikasi dengan spektrofotometer IR , spektrometer 1H ,13C
NMR

3.3 Sintesis γ-mangostin-glikosida

3.3.1 Sintesis asetobromo-d-glukosa


Iodium (0,50 g, 0,0041 mol) diisi ke dalam labu alas bulat yang sudah
dikeringkan. Anhidrida asetat (4,0 mL, 0,038 mol) ditambahkan ke dalam labu
dalam proses pengadukan selama 15 menit. karbohidrat 1,0 g ditambahkan dan
campuran yang dihasilkan direfluks selama 4 jam. Produk asetilasi dilarutkan
dalam asam asetat glasial yang mengandung asetat anhidrida dengan diaduk
dengan kuat. larutannya didinginkan hingga 0ºC pada penangas es dibawah
atmosfer argon. Kemudian 33% HBr dalam AcOH yang didinginkan sebelumnya
ditambahkan tetes demi tetes ke dalam campuran pereaksi selama 45 menit dan
campuran tersebut diaduk terus menerus. Campuran reaksi diaduk pada suhu
kamar semalaman. Labu ditutup dengan aluminium foil untuk mengurangi
dampak cahaya pada penguraian produk yang diinginkan.

Pada hari berikutnya campuran diencerkan dengan CHCl3. Lapisan organik


dicuci dengan NaHCO3 jenuh air yang didinginkan sebelumnya (3 × 40 ml) dan
air (1 × 40 ml). Pencucian dengan NaHCO3 berair jenuh harus dilakukan dengan
hati-hati, karena tekanan balik yang kuat dari CO 2. Lapisan organik dikeringkan
dengan Na2SO4 anhidrat, disaring dan diputar hingga kering pada suhu 40ºC.

3.3.2 Glikosilasi γ-mangostin


acetobromoglukosa dalam metanol anhidrad dengan katalis natrium
metoksida atau natrium iodida direaksikan dengan senyawa γ-mangostin selama
20jam sehingga terbuntuk produk campuran C- dan O-glukosil santon. Dalam
meningkatkan rendemen produk c-glukosil dapat dilakukan dengan mereaksikan
aglikon dengan gugus pelindung. Hasilnya direfluks selama 5 jam dalam kondisi
asam (HCl 2N). perlakuan dalam kondisi asam akan memecah ikatan O-glikosil
santon dan tidak memberikan efek yang sama pada c-glukosil santon. Selanjutnya
campuran tersebut diekstrak menggunakan pelarut dan dikromatografi.

28
3.4 Identifikasi Senyawa

3.4.1 Spektrofotometer IR
Senyawa murni berbentuk kristal diambil ±5mg dan digerus dengan KBr
hingga campuran homogen. Campuran dibentuk pelet dan diletakkan dalam
holder sampel kemudian dimasukkan dalam instrumen spektrofotometer IR.
Serapan diukur pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1 sehingga didapatkan
spektra dengan pita-pita yang khas pada bilangan gelombang tertentu.

3.4.2 Spektrometer 1H dan 13C NMR


Senyawa murni berbentuk kristal dilarutkan dalam pelarut bebas proton
seperti kloroform CDCl3 atau DMSO-d6. Larutan diinjeksikan pada alat
spektrometer 1H dan 13C NMR. Data yang didapatkan berupa spektra pergeseran
kimia (δ). Data diintepretasikan untuk mengetahui struktur senyawa.

29
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

30
DAFTAR PUSTAKA

Akinmoladun, A.C., Ibukun, E.O., dan Dan-Ologe, I.A. (2007). Phytochemical


Constituents And Antioxidant Properties Of Extracts From The Leaves Of
Chromolaena odorata, Scientific Research and Essay, 2(6), 191-194.
Alisi, C.S., Onyeze, G.O.C., Ojiako, O.A., dan Osuagwu, C.G. (2011). Evaluation
Of The Protective Potential Of Chromolaena odorata Linn. Extract On
Carbon Tetrachlorideinduced Oxidative Liver Damage, International
Journal of Biochemistry Research & Review, 1, 69-81.
American Diabetes Association. (2010). Diagnosis And Classification Of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 33(Suppl. 1), S62-9.
Anulika, N. P., Ignatius, E. O., Raymond, E. S. Osasere. Osaro-Itota., dan Abiola,
H A. (2016). The chemistry of natural product: Plant secondary
metabolites. International Journal of Technology Enhancements and
Emerging Engineering Research, 4(8), 2347-4289.
Anyanwu, S., Inyang, I.J., Asemota, E.A., Obioma, O.O., Okpokam, D.C., dan
Agu, V.O. (2017). Effect Of Ethanolic Extract Of Chromolaena odorata On
Kidney And Intestine Of Healthy Albino, Integrative Medicine Research,
6(3), 292-299.
Ayinampudi, S. R., Domala, R., Merugu, R., Bathula, S, dan Janaswamy, M. R.
(2012)“New icetexane diterpenes with intestinal alpha-glucosidase
inhibitory and free-radical scavenging activity isolated from Premna
tomentosa roots,” Fitoterapia, vol. 83, no. 1, pp. 88–92.
Balasubashini, M.S., Rukkumani, R., Viswanathan, P., dan Venugopal, P.M.
(2004). Ferulic Acid Alleviates Lipid Peroxidation In Diabetic Rats,
Phytotheraphy Research, 18, 310–314.
Bamidele, V.O., Stephen, O., Kemi, D.B., Alice, O., Elizabeth, A.A., dan
Ayodele, O.S. (2008). Analgesic, Anti-Inflammatory and Antipyretic
Activities From Flavonoid Fractions Of Chromolaena odorata, Journal of
Medicinal Plant Research, 2(9), 219–225.
Chakraborty, A.K., Rambhade, S., dan Patil, E.K. (2011), Chromolaena odorata
(L.) : An Overview, Journal of Pharmacy Research, 4(3), 573-576.
Chanda, S., dan Dave, R. (2009). In vitro models for antioxidant activity
evaluation and some medicinal plants possessing antioxidant properties :
An overview. African Journal of Microbiology Research, 3(13), 981–996.
Croteau, R., Kutchan, T. M., dan Lewis, N. G. (2000). Natural products
(Secondary Metabolites). American Society of Plant Physiologists.
Cui, K., Luo, X., dan Murthy, M.R.V. (2004). Role of oxidative stress in
neurodegeneration: recent developments in assay methods for oxidative

31
stress and nutraceutical antioxidants. Prog Neuropsychopharmacol Biol
Psych, 28, 771–799.
Dachriyanus, (2004), Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi,
LPTIK Universitas Andalas, Padang.
Ersam, T. (2012). Kimiawi Mikromolekul Tumbuhan Artocarpus, ITS Press,
Surabaya.
Eze, E.A., Oruche, N.E., Onuora, V.C. dan Eze, C.N. (2013). Antibacterial
Screening Of Crude Ethanolic Leaf Extracts Of Four Medicinal Plants,
Asian Journal of Scientific Research, 3, 431-439.
Fatmawati, S., Shimizu, K., dan Kondo, R. (2011). Ganoderol B: A Potent Α-
Glucosidase Inhibitor Isolated From The Fruiting Body Of Ganoderma
lucidum. Phytomedicine, 18(12), 1053–1055.
Halliwell, B., (1996) Oxidative stress, nutrition and health. Experimental
strategies for optimization of nutritional antioxidant intake in humans.
Free Radic Res 25(1):57–74.
Hanh, T.T.H., Hang D.T.T., dan Minh, C.V., Dat, T.D. (2011). Anti-Inflammatory
Effects Of Fatty Acids Isolated From Chromolaena odorata, Asian Pacific
Journal of Tropical Medicine, 760-763.
Harborne, J. (2006)). Metode Fitokimia: penentuan cara moderen menganalisis
tumbuhan. 2nd . Bandung: ITB Bandung.
Holman, R. R. (2006). Long-Term Efficacy Of Sulfonylureas: A United Kingdom
Prospective Diabetes Study Perspective. Metabolism Clinical and
Experimental, 55(Suppl. 1), S2-S5.
Jackson, L., dan Robertson, L. (1989). Sulphonylureas (Specifically
Glibenclamide) And Their Correct Dosage. South African Medical Journal.
South Africa.
Kementrian Kesehatan RI, (2014). Infodatin – Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis Diabetes.
Kenndler, E. (2011). Introduction to Chromatography. University of Vienna.
Kigigha, L.T., dan Zige, D.V. (2013). Activity of Chromolaena odorata On
Enteric And Superficial Etiologicbacterial Agents, American Journal of
Research Communication, 1, 266-276.
Kim, K.Y., Nam, K.A., Kurihara, H., dan Kim, S.M. (2008). Potent α-Glucosidase
Inhibitors Purified From The Red Alga Grateloupia elliptica.
Phytochemistry, 69(16), 2820–2825.
Kim, S.Y., Guevara, J.P., Kim, K.M., Choi, H.K., Heitjan, D.F., dan Albert, D.A.
(2009). Hyperuricemia And Risk Of Stroke: A Systematic Review And
Meta-Analysis, Arthritis & Rheumatology, 61, 885-892.

32
Klein G., Kim J., Himmeldirk K. , Cao Y., dan Chen X. (2007). Antidiabetes and
Anti-obesity Activity of Lagerstroemia speciosa. eCAM, 4, 401–407.
Kotranas. (1996). Kebijakan Obat Tradisional Nasional Tahun 1996.
Krishanti, M.P., Rathinam, X., Kasi, M., Ayyalu, D., Surash, R., Sadasivam, K.,
dan Subramaniam, S. (2010). A Comparative Study On The Antioxidant
Activity Of Methanolic Leaf Extracts Of Ficus religiosa L, Chromolaena
odorata (L.) King & Rabinson, Cynodon dactylon (L.) Pers. And Tridax
procumbens L., Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 3(5), 348-350.
Kristanti, A.N., Aminah, N.S., Tanjung, M., dan Kurniadi, B. (2008). Buku Ajar
Fitokimia. Surabaya:Airlangga University Press.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), (2014). Kekinian Keanekaragaman
Hayati Indonesia, LIPI Press, Jakarta.
McMurry, J. (2008). Organic Chemistry, 7th Ed, Thomson, USA.
Molyneux, P. (2004).The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl
(DPPH) for estimating antioxidant Activity. Journal of Science
Tehcnology, 26(2), 211-219.
Mondal, K.C., Bhargava, D., Shivapuri, J.N., dan Kar, S. (2012). In Vitro
Antigonorrhoeal Activity And Extraction Of Chemical Constituents From
The Leaves Of Chromolaena odorata (Lin.) Locally Known As
‘BANMARA’, International Journal of Chemical and Analitical Science,
3(7), 1487-1495.
Morcos, S. K., dan Thomsen, H. S. (2003). European Society Of Urogenital
Radiology Guidelines On Administering Contrast Media. Abdominal
Imaging, 28(2), 187–190.
Omokhua A. G., McGaw L. J., Finnie J. F., dan Staden J. V. (2006). Chromolaen
aodorata (L.) R.M.King&H.Rob.(Asteraceae)in sub Saharan Africa:
Asynthesis and review of its medicinal potential. Journal of
Ethnopharmacology 183, 112–122.
Owoyele, B.V., Oguntoye, S.O., Dare, K., Ogunbiyi, B.A., Aruboula, E.A. dan
Soladoye, A.O. (2008). Analgesic, Anti-Inflammatory And Antipyretic
Activities From Flavonoid Fractions Of Chromolaena odorata, Journal of
Medicinal Plants Research, 2(9), 219-225.
Phan, T.T., Wang, L., See, P., Grayer, R.J., Chan, S.Y., dan Lee, S.T. (2001).
Phenolic Compounds Of Chromolaena odorata Protect Cultured Skin Cells
From Oxidative Damage: Implication For Cutaneous Wound Healing,
Biological Pharmaceutical Bulletin, 24, 1373–1379.
Pisoschi, A. M., dan Negulescu, G. P. (2012). Methods for Total Antioxidant
Activity Determination: A Review. Biochemistry dan Analytical
Biochemistry, 1(1), 1–10.

33
Putri D. A., dan Fatmawati S., (2019). A New Flavanone as a Potent Antioxidant
Isolated from Chromolaena odorata L. Leaves. Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine. 1453612.
Rao, K.S., Chaudhury, P.K., dan Pradhan, A. (2010), Evaluation Of Antioxidant
Activities And Total Phenolic Content Of Chromolaena odorata, Food and
Chemical Toxicology, 48, 729-732.
 Richardson S.D dan Postigo C. (2016). Discovery of New Emerging DBPs by
High-Resolution Mass Spectrometry. Comprehensive Analytical Chemistry.
335-356.
Rubiyanto, D. (2017). Metode Kromatografi. Deepublish.
Rubiyanto, D. (2016). Teknik Dasar Kromatografi. Deepublish.
Silverstein, R. M., Webster, F. X., dan Kiemle, D. J. (2015). Spectrometric
identification of organic compounds, 7th ed. New Jersey : John Wiley and
Sons, Inc.
Sipayung, A., de Chenon, R.D., dan Sudharto, P.S. (1991). Observations On
Chromolaena odorata (L.) R.M. King And H. Robinson In Indonesia,
Second International Workshop On The Biological Control And
Management Of Chromolaena odorata. Biotrop, Bogor.
Stanley, M.C., Ifeanyi, O.E., Nwakaego, C.C., dan Esther, I.O. (2014).
Antimicrobial Effects Of Chromolaena odorata On Some Human
Pathogens, International Journal of Current Microbiology and Applied
Science, 3(3), 1006 -1012.
Sukanya, S.L., Sudisha, J., Prakash, H.S., dan Fathima, S.K. (2011). Isolation And
Characterization Of Antimicrobial Compound From Chromolaena odorata,
Journal of Phytology, 3(10), 26-32.
Suksamrarn, A., Chotipong, A., Suavansri, T., Boongird, S., Timsuksai, P.,
Vimuttipong, S., dan Chuaynugul, A. (2004). Antimycobacterial Activity
And Cytotoxicity Of Flavonoids From The Flowers Of Chromolaena
odorata, Archives of Pharmacal Research, 27(5), 507-511.
Supratman, U. (2010). Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Bandung : Widya
Padjajaran.
Surya, S., Salam, A. D., Tomy, D. V., Carla, B., Kumar, R. A., dan Sunil, C.
(2014). Diabetes Mellitus And Medicinal Plants-A Review, Asian Pacific
Journal of Tropical Disease, 4(5), 337–347. Surya, S., Salam, A. D., Tomy,
D. V., Carla, B., Kumar, R. A., dan Sunil, C. (2014). Diabetes Mellitus And
Medicinal Plants-A Review, Asian Pacific Journal of Tropical Disease,
4(5), 337–347.
Thamrin, M., Asikin, S., dan Willis, M. (2013). Tumbuhan Kirinyu Chromolaena
odorata (L) (Asteraceae: Asterales) Sebagai Insektisida Nabati Untuk

34
Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura, Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 32(3), 112-121.
Ting, R., Szeto, C., Chan, M., Ma, K., dan Chow, K. (2006). Risk Factors Of
Vitamin B 12 Deficiency In Patients Receiving Metformin, Archives of
Internal Medicine, 166, 1975–1979.
Varugeshe, G. I., Tahrani, A. A., dan Scarpello, J. H. B. (2007). The Long And
Short Of Metformin-Related Vitamin B12 Deficiency. Archives of Internal
Medicine, 167(7), 729–730.
Vijayaraghavan, K., Rajkumar, J., dan Seyed, M.A. (2018). Phytochemical
Screening, Free Radical Scavenging And Antimicrobial Potential Of
Chromolaena odorata Leaf Extracts Against Pathogenic Bacterium In
Wound Infections - A Multispectrum Perspective, Biocatalysis and
Agricultural Biotechnology, 15, 103-112.
Vital, P.G., dan Rivera, W.L. (2009). Antimicrobial Activity And Cytotoxicity Of
Chromolaena odorata (L. f.) King And Robinson And Uncaria perrottetii
(A. Rich) Merr. Extracts, Journal of Medical Plants Research, 3(7), 511-
518.
Wahlqvist, M. L., (2013). “Antioxidant relevance to human health,” Asia Pacific
Journal of Clinical Nutrition Mini Review, 22, 171-176.
World Health Organization. (1999). Definition, Diagnosis, and Classification of
Diabetes Mellitus and Its Complications.
World Health Organization. (2016). Global Report on Diabetes
Yahya, M.F.Z.R., Ibrahim, M.S.A., Zawaw., W.H.A.W.M., dan Hamid, U.M.A.
(2014). Biofilm Killing Effects OF Chromolaena odorata Extracts Against
Pseudomonas aeruginosa, Research Journal of Phytochemistry, 8, 64-73.
Yu, C. H. (2008). Book Review: Cresswell, J., & Plano Clark, V. (2007).
Designing and Conducting Mixed Methods Research. Thousand Oaks,
CA: Sage. 12(4), 801-804
Zhou, G., Myers, R., Li, Y., Chen, Y., Shen, X., Fenyk-melody, J., Wu, M.,
Ventre, J., Doebber, T., Fuiji, N., Muisi, N., Hirshman, M. F., Goodyear,
L. J., dan Moller, D. E. (2001). Role Of AMP-Activated Protein Kinase In
Mechanism Of Metformin Action. The Journal of Clinical Investigation,
108(8), 1167–1174.

[1]. Jansen PCM, 1991. Edible fruits and nuts. Dalam: Verheij, EWM & RE
Coronel (eds.). Plants Resources of South-East Asia, Bogor, Indonesia,
175–177.

35
[2]. Noor NM, 1998. Timber trees : Lesser-known timbers. Dalam: Sosef,
MSM, LT Hong & S. Prawirohatmodjo (Eds.). Plants Resources of South-
East Asia, Bogor, Indonesia, 246–249
[3]. Uji, T., 2007. Keanekaragaman persebaran dan potensi jenis-jenis Garcinia
di Indonesia. J. Biol. Res. 12, 129–135.
https://doi.org/10.23869/bphjbr.12.2.20076
[4]. Chevierri P.J., Cardenas-Rodriguez N, Orozco-Ibarra M and Perez-Rojas
JM. 2008. Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana).
Food Chem Toxicol 46: 3227–3239
[5]. Chen S, Wan M and Loh B. 1996. Active constituents against HIV-1
protease from Garcinia mangostana. Planta Med 62(4): 381–382.
Chomnawang MT, Surassmo S, Nukoolkarn VS and Gritsanapan W. 2007.
Effect of Garcinia mangostana on inflammation caused by
Propionibacterium acnes. Fitoterapia 78(6): 401–408.
[6]. Setyani, A., 2010. Uji Aktivitas Antijamur α-mangostin Hasil Isolasi Kulit
Buah Manggis (Garcinia mangostana L) Terhadap Massaezia sp,
Surakarta: s.n.
[7]. Chin Y, Jung H, Chai H, Keller W and Kinghorn A. 2008. Xanthones with
quinine reductase-inducing activity from the fruits of Garcinia mangostana
(Mangosteen). Phytochemistry 69(3): 754–758.
[8]. Chomnawang MT, Surassmo S, Nukoolkarn VS and Gritsanapan W. 2007.
Effect of Garcinia mangostana on inflammation caused by
Propionibacterium acnes. Fitoterapia 78(6): 401–408.
[9]. Gopalakrishnan B, Benumathi B and Suresh G. 1997. Evaluation of the
antifungal activity of natural xanthones from Garcinia mangostana and
their synthetic derivatives. J Nat Prod 60(5): 519– 524
[10]. Suksamrarn S, Suwannapoch N, Phakhodee W, Thanuhiranlert J,
Ratananukul P, Chimnoi N, Suksamrarn A. 2003. Antimycobacterial
activity of prenylated xanthones from the fruits of Garcinia mangostana.
Chem Pharm Bull. 51:857–859.
[11]. Yoo Ji-Hye, Kyungsu Kang, Eun Hye Jho, Young-Won Chin, Jinwoong
Kim, Chu Won Nho. 2011. α- and γ-Mangostin inhibit the proliferation of
colon cancer cells via b-catenin gene regulation in Wnt/cGMP signalling.
Food Chemistry 129 (2011) 1559–1566
[12]. Kren V., and L. Martínková, 2001. Glycosides in Medicine: "The Role of
Glycosidic Residue in Biological Activity", Current Medicinal Chemistry,
2001, Vol. 8, No. 11. 1303-1328
[13]. Kren,V., Sedmera, P., Kubisch, J., Halada, P., Prikrylová, V., Jegorov, A.,
Cvak, L., Gebhardt, R., Ulrichová, J.,Simánek, V. J. Chem. Soc., Perkin 1,
1997, 2467.
[14]. Chin, Y.; Kinghorn, A.D. Structural characterization, biological effects,
and synthetic studies on xanthones from mangosteen (Garcinia
mangostana), a popular botanical dietary supplement. Mini Rev. Org.
Chem. 2008, 5, 355–364.

36
[15]. Yapwattanaphun, C.; Subhadrabandhu, S.; Sugiura, A.; Yonemori, K.;
Utsunomiya, N. Utilization of some Garcinia species in Thailand. Acta
Hort. 2002, 575, 563–570.
[16]. Pedraza-Chaverri, J.; Cárdenas-Rodríguez, N.; Orozco-Ibarra, M.; Pérez-
Rojas, J.M. Medicinal properties of mangosteen (Garcinia mangostana).
Food Chem. Toxicol. 2008, 46, 3227–3239.
[17]. Peres, V., Nagem, T.J., 1997. Trioxygenated naturally occurring
xanthones. Phytochemistry 44, 191–214. https://doi.org/10.1016/S0031-
9422(96)00421-9
[18]. Obolskiy, D.; Pischel, I.; Siriwatanametanon, N.; Heinrich, M. Garcinia
mangostana L.: A phytochemical and pharmacological review. Phytother.
Res. 2009, 23, 1047–1065.
[19]. Walker, E.B. HPLC analysis of selected xanthones in mangosteen fruit. J.
Sep. Sci. 2007, 30, 1229–1234.
[20]. Watanapokasin, R.; Jarinthanan, F.; Jerusalmi, A.; Suksamrarn, S.;
Nakamura, Y.; Sukseree, S.; Uthaisang-Tanethpongtamb, W.;
Ratananukul, P.; Sano, T. Potential of xanthones from tropical fruit
mangosteen as anti-cancer agents: Caspase-dependent apoptosis induction
in vitro and in mice. Appl. Biochem. Biotechnol. 2010, 162, 1080–1094.
[21]. Aisha, A.; Abu-Salah, K.; Ismail, Z.; Majid, A.M. In vitro and in vivo anti-
colon cancer effects of Garcinia mangostana xanthones extract. BMC
Complement. Altern. Med. 2012, 12, 104–113.
[22]. Jang, H.Y.; Kwon, O.K.; Oh, S.R.; Lee, H.K.; Ahn, K.S.; Chin, Y.W.
Mangosteen xanthones mitigate ovalbumin-induced airway inflammation
in a mouse model of asthma. Food Chem. Toxicol. 2012, 50, 4042–4050
[23]. Joseph, T., McCormick, D.B. J. Nutr., 1995, 125, 2194
[24]. Suzuki, Y., Suzuki, K. Agric. Biol. Chem., 1991, 55, 181.
[25]. Yamamoto, I., Muto, N., Nagata, E., Nakamura, T., Suzuki, Y. Biochim.
Biophys. Acta, 1990, 1035, 44
[26]. Aga, H., Yoneyama, M., Sakai, S., Yamamoto, I. Agric. Biol. Chem.,
1990, 55, 1751.
[27]. Yamamoto, I., Suga, S., Mitoh, Y., Tanaka, M. J. Pharmacobiol.-Dyn.,
1990, 13, 688.
[28]. Muto, N., Terasawa, K., Yamamoto, I. Internat. J. Vit. Nutr. Res., 1992,
62, 318.
Nott, P.E., Roberts, J.C., 1967. A synthesis of mangiferin. Phytochemistry 6,
1597–1599. https://doi.org/10.1016/S0031-9422(00)82959-3

37
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

38
LAMPIRAN

Lampiran 1: Rencana dan Jadwal Kegiatan

Bulan
Aktivitas Penelitian
1 2 3 4 5 6
1. Studi Literatur
2. Persiapan peralatan dan
bahan
3. Fraksinasi, Pemurnian
4. Pemurnian
5. modifikasi santon
6. Identifikasi senyawa
(IR)
7. Identifikasi senyawa
(1H dan 13 C NMR)
8. Penulisan laporan

Lampiran 2: Gambaran Penelitian

39
Ekstrasi C. odorata
(Lampiran 2a)

Isolasi Senyawa Metabolit


Sekunde C. odorata

Identifikasi Struktur
Senyawa (NMR, IR)

Uji Bioaktivitas* C. odorata


(lampiran 2b)

* : Aktivitas antioksidan dengan metode (DPPH dan ABTS) dan inhibitor α-


glukosidase

Lampiran 2a : Ekstraksi ( Puri D. A, 2018)

40
Daun C. odorata
5 kg

- Dikeringkan pada suhu


ruang selama 7 hari
- Dihaluskan

Serbuk halus daun C. odorata


2,76 kg

- Dimaserasi dengan pelarut


metanol 10 L x 3 (3x24 jam)

Ekstrak metanol C. odorata


22 L C. odorata

- Pelarut diuapkan menggunakan


Rotary Evaporator

Ekstrak metanol pekat C.


odorata 832 g

Lampiran 2b : Uji Aktivitas


1. Aktivitas Antioksidan dengan metode DPPH

41
Larutan sampel
Larutan DPPH
Berbagai
6 x 10-5 M
konsentrasi
1 mL
33, 33 μL

- Diinkubasi 20 menit pada suhu


37°C
- Diukur absorbansi pada λ = 517
nm

Data absorbansi
Sampel (As*)

- Dihitung % penghambatan

% Penghambatan

Keterangan:
*Pengukuran dilakukan triplo
Blanko :Metanol
Kontrol positif : Asam galat

Lampiran 2b : Uji Aktivitas


2. Aktivitas Antioksidan dengan Metode ABTS

42
Larutan sampel Larutan kerja
10 μL ABTS+•
1M

- Diinkubasi selama 4 menit


- Diukur absorbansi pada λ = 734
nm

Data absorbansi
Sampel (As*)
absorbansi

- Dihitung % penghambatan

% Penghambatan

Keterangan:
*Pengukuran dilakukan triplo
Blanko : DMSO
Kontrol positif : Asam galat

Lampiran 2b : Uji Aktivitas


3. Inhibitor α-glukosidase

43
Larutan sampel 20 μL
20 μL
10 μL
substrat
enzim

30 μL 80 μL

buffer Glucose kit

Larutan uji

- Diinkubasi selama 10 menit


- Diukur absorbansi dengan
microplate reader 490 nm

Data absorbansi
Sampel (As*)

- Dihitung % penghambatan

% Penghambatan
Keterangan:
*Pengukuran dilakukan triplo
Blanko : DMSO
Kontrol positif : Akarbosa

44
45
46
47

Anda mungkin juga menyukai