Anda di halaman 1dari 13

“Hak Atas Kekayaan Intelektual”

Tugas Kasus
Dosen : Maria Dwi Puspasari, SH, MM

Disusun Oleh :
Yanti Wulandari (3360181350010)
Yohanna Ndruru (3360181350014)
Muhamad Delansyah (3360181350027)
Hendri Manalu (3360181350036)
Antonius Kristiawan (3360181350058)
Brigita Isawara Laksmi (3360181350059)

JURUSAN S1 AKUNTANSI (Sabtu)


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI BISNIS INDONESIA (STIE BI)
Jl. Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan
Kasus Perbandingan mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia Dengan

Negara Lain

1. HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual)


Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual
manusia yang dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Karya ini dihasilkan atas kemampuan intelektual melalui pemikiran, daya cipta dan rasa yang
memerlukan curahan tenaga, waktu dan biaya untuk memperoleh “produk” baru dengan
landasan kegiatan penelitian atau yang sejenis.
Istilah HaKI atau Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari
Intellectual Property Right (IPR), sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 7 Tahun
1994 tentang pengesahan WTO (Agreement Establishing The World Trade Organization).
Pengertian Intellectual Property Right sendiri adalah pemahaman mengenai hak atas
kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual manusia, yang mempunyai hubungan
dengan hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia (human right). Setiap hak yang
digolongkan ke dalam HaKI harus mendapat kekuatan hukum atas karya atau ciptannya.
Untuk itu diperlukan tujuan penerapan HaKI. Tujuan dari penerapan HaKI yang Pertama,
antisipasi kemungkinan melanggar HaKI milik pihak lain, Kedua meningkatkan daya
kompetisi dan pangsa pasar dalam komersialisasi kekayaan intelektual, Ketiga dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan strategi penelitian, usaha dan industri
di Indonesia

2. Paten
Hak atas Kekayaan Intelektual memiliki beberapa jenis salah satunya adalah Hak
kekayaan industri yaitu Paten. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Pasal 1
Ayat 1, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan
suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah
kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa : Proses, hasil
produksi, penyempurnaan dan pengembangan proses, penyempurnaan dan pengembangan
hasil produksi. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan
Invensi. Sementara invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan
pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses.
a) Apa saja yang dapat dan tidak dapat dipatenkan ?
Untuk bisa mendapatkan paten (patentable), suatu invensi harus memenuhi
persyaratan substantif, yaitu:
 Baru : Suatu invensi tidak boleh sudah diungkap/dipublikasikan dalam media
manapun - paten/non paten, nasional/internasional - sebelum permohonan
patennya diajukan dan memperoleh Tanggal Penerimaan. Jika suatu invensi
diajukan permohonannya dan mendapat Tanggal Penerimaan tanggal 2 Januari
2014, maka publikasi tentang invensi tersebut tanggal 1 Januari 2014 akan
menggagalkan invensi tersebut untuk mendapatkan paten karena tidak lagi
baru;
 Mengandung Langkah Preventif : Paten hanya akan diberikan untuk invensi
yang tidak dapat diduga, atau tidak obvious, bagi orang yang memiliki
keahlian di bidang terkait (person skilled in the art). Sebagai contoh, jika
masalah teknis yang dihadapi adalah tutup bolpen yang kerap hilang saat
dilepas, maka sekadar menyambungkan tutup dan badan bolpen dengan seutas
tali tidak akan dianggap mengandung langkah inventif. Tapi solusi berupa
mata bolpen yang bisa masuk dan keluar dari bagian dalam badannya dengan
menggunakan mekanisme pegas, mengandung suatu langkah inventif;
 Dapat Diterapkan Secara Industri : Suatu invensi harus dapat dilaksanakan
berulang-ulang dengan tetap menghasilkan fungsi yang konsisten dan tidak
berubah-rubah. Formula penangkal flu dengan komposisi air perasan sebuah
jeruk nipis diaduk bersama satu sendok teh madu saja tidak bisa dikategorikan
dapat diterapkan secara industri, melainkan harus diuraikan terlebih dahulu
komposisi kimiawinya, karena antara jeruk nipis yang berbeda ukuran,
varietas, atau asal tanam bisa saja menghasilkan efek atau khasiat yang
berbeda.
b) Kemudian, Invensi tidak dapat dipatenkan apabila:
 Pengumuman/penggunaan/pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, ketertiban umum, atau
kesusilaan; misalnya invensi yang kegunaannya secara spesifik adalah untuk
memakai narkoba;
 Berupa metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan
yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; misalnya metode operasi
caesar, metode chemotherapy;
 Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; sehingga
rumus matetmatika sehebat apapun tidak bisa dipatenkan oleh siapapun;
 Semua makhluk hidup, kecuali jasad renik; serta proses biologis yang esensial
untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau
proses mikrobiologis. Karena ada pengecualan paten terhadap mahluk hidup
inilah maka perlindungan terhadap varietas tanaman baru hasil pemuliaan
diselenggarakan tersendiri melalui Hak PVT.
3. Dimana sajakah Perlindungan Paten Berlaku
Paten menganut prinsip teritorial, yang artinya perlindungan paten hanya berlaku di
negara di mana permohonan paten diajukan dan diberi. Untuk memperoleh perlindungan
paten di wilayah hukum Indonesia, maka sang inventor harus mengajukan permohonan paten
di Indonesia, dalam hal ini ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI). Di sisi
lain inventor yang hanya mematenkan invensinya di Indonesia, tidak memiliki hak paten di
negara lain.
Di sisi lain, hal ini berarti kita bebas untuk memanfaatkan invensi yang dipatenkan di
luar negeri namun tidak di Indonesia, bahkan untuk memproduksinya secara komersial,
sepanjang kita tidak mengekspor produk tersebut ke negara di mana invensi itu dipatenkan;
dan demikian pula sebaliknya terhadap invensi-invensi yang hanya dipatenkan di Indonesia.

4. Waktu dan Biaya


Dari uraian sebelumnya, satu permohonan dari mulai penerimaan hingga pemberian
paten bisa memakan waktu antara 3 hingga 6 tahun. Sebagai ilustrasi, jika seseorang
mengajukan permohonan paten dan memperoleh Tanggal Penerimaan 1 Oktober 2014, maka
permohonan tersebut baru akan memasuki tahap Pengumuman paling cepat pada tanggal 1
April 2016. Masa Pengumuman akan berakhir pada 1 Oktober 2016. Jika pemohon segera
mengajukan Permohonan Pemeriksaan Substantif pada hari yang sama, maka paling lambat
pemeriksaan paten akan diputus pada tanggal 1 Oktober 2019.
Jika paten diberi, maka masa perlindungan akan berlaku 20 tahun sejak Tanggal Penerimaan
yaitu tanggal 1 Oktober 2014, dan berakhir tanggal 1 Oktober 2034. Selama permohonan
masih dalam proses, pemohon dapat memproduksi invensi yang sedang dipatenkan tersebut,
dan memberitahukan kepada pihak lain mengenai proses paten yang sedang berjalan -
biasanya dengan mencantumkan istilah pending patent.
Pemohon tidak dapat mengambil tindakan hukum apapun terhadap pihak lain yang
melaksanakan invensi pemohon tanpa ijin selama paten belum diberi dan Sertifikat Paten
belum terbit, namun saat setelah Hak Paten diberi Pemilik Paten dapat menuntut ganti
kerugian atas pelanggaran paten yang dilakukan sebelum Paten diberi. Dalam ilustrasi di atas,
jika ada pihak lain yang melaksanakan invensi tanpa ijin sejak 1 Januari 2015 hingga setelah
paten diberi, maka Pemilik Paten bisa menuntut ganti rugi yang dihitung sejak 1 Januari
2015.
Komponen Biaya Permohonan Paten adalah :
 Biaya Permohonan sebesar Rp. 750.000,00 untuk Umum; atau Rp. 450.000,00 untuk
UMKM, Lembaga Penelitian, atau Litbang Pemerintah;
 Jika Spesifikasi Lebih dari 30 lembar, maka setiap lembar tambahan akan dikenakan
biaya sebesar Rp. 5.000,00;
 Biaya Pemeriksaan Substantif sebesar Rp. 2.000.000,00;
 Jika jumlah klaim lebih dari 10 klaim, maka setiap klaim tambahan akan dikenakan
biaya sebesar Rp. 50.000,00.

5. Aturan Paten di Indonesia


Obat paten merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual yang kemudian disebut
HKI yang dalam kerangka ini masuk dalam kategori Hak Kekayaan Perindustrian.
Pengaturan mengenai paten di Indonesia telah mengalami empat kali perubahan yaitu UU
No. 6 Tahun 1989 dirubah menjadi UU No. 1 Tahun 1997, dirubah lagi menjadi UU No. 14
Tahun 2001 dan terakhir dirubah menjadi UU No. 13 Tahun 2016. Berdasarkan pada pasal 1
angka 1 UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten yang kemudian disingkat dengan UUP,
menyebutkan Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atau
hasil invensi dibidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi
tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak paten
bersifat eksklusif karena hanya inventor yang menghasilkan invensi yang dapat diberikan
hak, inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya tersebut dengan memberi persetujuan
kepada pihak lain untuk melaksanakan lisensi.

Produsen obat-obatan modern mengeluarkan biaya riset dan pengembangan (R&D)


yang tidak sedikit untuk membuat obat-obatan yang menyembuhkan berbagai penyakit. Paten
atas obat-obatan tersebut menjamin bahwa biaya R&D yang dikeluarkan oleh produsen akan
dapat ditutupi selama jangka waktu perlindungan patennya yaitu selama dua puluh tahun.
Selama jangka waktu perlindungan paten tersebut, produsen atau pemegang paten atas obat-
obatan tersebut berhak untuk memproduksi, mendistribusikan, mengeksploitasi secara
ekonomis dan melarang pihak ketiga yang tidak diberi izin untuk memproduksi obat-obatan
tersebut. Walaupun bertujuan positif memberikan reward kepada penemunya, paten memiliki
efek negatif meningkatkan harga dan membatasi akses publik dari obat-obatan tersebut.

Pada tingkat internasional, ancaman paten terhadap akses kesehatan publik bertambah
nyata ketika World Trade Organization (WTO) memasukkan HKI sebagai salah satu
perjanjian yang harus diikuti oleh negara-negara pesertanya. The Agreement on Trade-
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) adalah perjanjian internasional di
bawah administrasi WTO yang menetapkan standar minimum untuk berbagai peraturan HKI,
termasuk paten, di masing-masing negara anggotanya. Penerapan TRIPs pada semua negara
anggota WTO menimbulkan perdebatan sengit pada awal pembentukan TRIPs karena level
ekonomi dan pembangunan yang berbeda antara negara kaya dan miskin. TRIPs mewajibkan
seluruh negara anggotanya untuk membuat aturan-aturan mengenai Hak Kekayaan
Intelektual. TRIPs Agreement mensyaratkan adanya keseimbangan antara hak pemegang
paten dengan kewajiban kepada masyarakat dengan cara tiap negara dapat menyesuaikan
syarat-syarat tersebut dalam peraturan pelaksanaan nasionalnya masing-masing sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku di TRIPs.

Produsen obat-obatan modern, seperti Novartis dan Roche, kebanyakan berasal dari
negara kaya. Sementara itu, kebanyakan pasien berasal dari negara-negara miskin yang
berada di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Ketika sistem paten yang rumit dengan segala
restriksinya diberlakukan, yang terjadi adalah sebuah ketidakadilan bagi negara-negara
miskin. Pasien-pasien di negara miskin terbebani untuk membayar harga obat paten yang
sering kali tidak sanggup mereka bayar. Besarnya biaya penelitian, biaya pengembangan,
studi-studi klinis, biaya promosi, biaya pengurusan paten, biaya produksi, biaya pemasaran
dan biaya lainnya menjadi salah satu alasan mahalnya harga obat paten. Mahalnya harga obat
paten berakibat pada daya beli dan tingkat kesehatan masyarakat. Masyarakat harus
menyisihkan penghasilannya untuk biaya pengobatan. Komponen biaya obat di Indonesia
bisa mencapai empat puluh lima persen dari total biaya kesehatan. Menurut survei Health
Action International terhadap harga beberapa jenis obat di dunia, untuk membeli obat paten
jenis Ciprofloxacin orginitator, masyarakat harus mengeluarkan uang setara dengan
penghasilan mereka bekerja selama sepuluh hari. Pendistribusian obat paten yang tidak
merata pun menjadi salah satu alasan keterbatasan masyarakat untuk mengakses obat paten.
Hal ini tidak sesuai dengan pasal 28H ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 kemudian disebut dengan UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang
berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan masyarakat”. Masyarakat
akan semakin jauh dari kesejahteraan dan hidup sehat

6. Bagaimana Tatacara dan Prosedur untuk Memperoleh Paten ?

Sebelum mengajukan permohonan paten, sangat disarankan agar inventor terlebih


dahulu melaksanakan penelusuran (search), untuk memperoleh gambaran apakah invensi
yang diajukan memang memenuhi syarat kebaruan, artinya belum pernah ada pengungkapan
sebelumnya oleh siapapun, termasuk oleh si inventor sendiri. Penelusuran dapat dilakukan
terhadap dokumen-dokumen paten baik yang tersimpan pada database DJHKI, maupun
kantor-kantor paten lain di luar negeri yang representatif dan juga relevan terhadap teknologi
dari invensi yang akan kita patenkan; dan juga terhada dokumen-dokumen non-paten seperti
jurnal-jurnal ilmiah yang terkait. Penelusuran Paten bahkan sangat disarankan untuk
dilakukan sebelum rencana penelitian terhadap suatu teknologi dilaksanakan, demi untuk
melakukan technology mapping berdasarkan dokumen paten yang tersedia, sehingga
penelitian bisa dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Setelah dilakukan penelusuran dan dapat diyakini bahwa invensi yang akan dipatenkan masih
mengandung kebaruan, langkah selanjutnya adalah membuat spesifikasi paten, yang terdiri
sekurang-kurangnya atas:
 Judul Invensi;
 Latar Belakang Invensi, yang menerangkan teknologi yang ada sebelumnya serta
masalah yang terdapat pada teknologi tersebut, yang coba ditanggulangi oleh invensi;
 Uraian Singkat Invensi, yang menerangkan secara ringkas mengenai fitur-fitur yang
terkandung dalam, dan menyusun, invensi;
 Uraian Lengkap Invensi, yang menerangkan mengenai bagaimana cara melaksanakan
invensi;
 Gambar Teknik, jika diperlukan untuk menerangkan invensi secara lebih jelas;
 Uraian Singkat Gambar, untuk menerangkan mengenai Gambar Teknik yang
disertakan;
 Abstrak, ringkasan mengenai invensi dalam satu atau dua paragraf;
 Klaim, yang memberi batasan mengenai fitur-fitur apa saja yang dinyatakan sebagai
baru dan inventif oleh sang inventor, sehingga layak mendapatkan hak paten.

Spesifikasi Paten adalah salah-satu dari persyaratan minimum yang harus disertakan
dalam mengajukan permohonan paten untuk bisa mendapat Tanggal Penerimaan, di samping
Formulir Permohonan yang diisi lengkap dan dibuat rangkap empat, dan membayar biaya
Permohonan Paten sebesar Rp. 750.000,00. Apabila ketiga persyaratan minimum ini
dipenuhi, maka permohonan akan mendapat Tanggal Penerimaan (Filing Date). 
Persyaratan lain berupa persyaratan formalitas dapat dilengkapi selama tiga bulan sejak
Tanggal Penerimaan, dan dapat dua kali diperpanjang, masing-masing untuk dua dan satu
bulan. Persyaratan formalitas tersebut adalah:

 Surat Pernyataan Hak, yang merupakan pernyataan Pemohon Paten bahwa ia memang
memiliki hak untuk mengajukan permohonan paten tersebut;
 Surat Pengalihan Hak, yang merupakan bukti pengalihan hak dari Inventor kepada
Pemohon Paten, jika Inventor dan Pemohon bukan orang yang sama;
 Surat Kuasa, jika permohonan diajukan melalui Kuasa;
 Fotokopi KTP/Identitas Pemohon, jika Pemohon perorangan;
 Fotokopi Akta Pendirian Badan Hukum yang telah dilegalisir, jika Pemohon adalah
Badan Hukum;
 Fotokopi NPWP Badan Hukum, jika Pemohon adalah Badan Hukum; dan
 Fotokopi KTP/Identitas orang yang bertindak atas nama Pemohon Badan Hukum
untuk menandatangani Surat Pernyataan dan Surat Kuasa.

Setelah masa pemeriksaan dilalui dan seluruh persyaratan formalitas dinyatakan lengkap,
maka tahap berikutnya adalah Pengumuman. Masa pengumuman akan dimulai segera setelah
18 (delapanbelas) bulan berlalu dari sejak Tanggal Penerimaan, dan akan berlangsung selama
6 (enam) bulan. Memasuki masa pengumuman ini permohonan paten akan dimuat dalam
Berita Resmi Paten dan media resmi pengumuman paten lainnya. Tujuannya adalah
membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui mengenai invensi yang
dimohonkan paten, di mana masyarakat bisa mengajukan keberatan secara tertulis kepada
DJHKI jika masyarakat mengetahui bahwa invensi tersebut tidak memenuhi syarat untuk
dipatenkan.
Segera setelah masa pengumuman berakhir, atau selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam)
bulan dari Tanggal Penerimaan, pemohon dapat mengajukan Permohonan Pemeriksaan
Substantif dengan menyerahkan Formulir yang telah dilengkapi dan membayar biaya ke
DJHKI. Jika pemohon tidak mengajukan Permohonan Pemeriksaan Substantif dalam batas
waktu 36 bulan dari Tanggal Penerimaan tersebut, maka permohonannya akan dianggap
ditarik kembali dan dengan demikian invensinya menjadi public domain.
Dalam Tahap Pemeriksaan Substantif inilah DJHKI melalui Pemeriksa Paten akan
menentukan apakah invensi yang dimohonkan paten tersebut memenuhi syarat substantif
sehingga layak diberi paten, berdasarkan dokumen-dokumen pembanding baik dokumen
paten maupun non-paten yang relevan. Dalam waktu paling lambat 36 bulan sejak
Permohonan Pemeriksaan Substantif diajukan, Pemeriksa Paten sudah harus memutuskan
apakah akan menolak ataupun memberi paten
Pemohon yang permohonan patennya ditolak dapat mengajukan banding ke Komisi Banding
Paten, yang dapat berlanjut ke Pengadilan Niaga hingga akhirnya kasasi ke Mahkamah
Agung. Jika pemohon menerima penolakan, ataupun upaya hukum yang diajukannya tetap
berujung pada penolakan, maka invensi tersebut menjadi public domain.
Terhadap Invensi yang diberi paten, DJHKI akan segera mengeluarkan Sertifikat Hak Paten.
Pengajuan Permohonan Paten bagi sebagian orang mungkin memang melibatkan proses yang
sangat panjang dan tidak dapat dikatakan sederhana. Terlebih diperlukan kemampuan khusus
untuk dapat menyusun dokumen Spesifikasi Paten yang baik. Untuk itu sangat disarankan
bagi para calon pemohon paten - terutama bagi yang belum berpengalaman - untuk
memperoleh bantuan profesional dari Konsultan HKI Terdaftar.
Contoh Kasus HKI Paten Obat : PT Kimia Farma Tbk (KAEF) tersandung masalah.
Perusahaan pelat merah itu digugat perusahaan farmasi asal Belanda lantaran dianggap
mendompleng merek obat Serc dan Betaserc miliknya. Serc adalah merek obat untuk
menyembuhkan gangguan peredaran darah. Adapun Betaserc merupakan obat penyakit yang
berhubungan dengan batas luar pembuluh darah.
Adalah Solvay Pharmaceuticals yang menggugat Kimia Farma. Adapun merek obat
yang kini menjadi objek sengketa di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah Sercol. Kimia
Farma telah menjual obat dengan merek Sercol itu dan mendaftarkannya ke Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) 4
April 2006.
Lantaran memiliki persamaan dengan merek Serc dan Betaserc miliknya, Solvay menyatakan
keberatan atas pendaftaran merek itu dan melayangkan gugatan pembatalan merek pada 25
November lalu. Merek obat Kimia Farma mempunyai kemiripan dan tidak memiliki daya
pembeda. Ini menimbulkan kesan ada persamaan,

7. Aturan Paten di Amerika Serikat


Amerika Serikat menganut sistem First Inventor to File. Sistem ini merupakan salah
satu perubahan terbesar yang terdapat dalam Undang-Undang Invensi Amerika (America
Invents Act) yang diberlakukan sejak 16 Maret 2013, dari sebelumnya menggunakan sistem
First to Invent. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mengharmonisasikan sistem yang
digunakan Amerika Serikat dengan sistem first-to-file yang dianut oleh banyak negara
berkembang, disamping memastikan bahwa pihak yang memperoleh perlindungan paten
merupakan Inventor aslinya. Sistem First Inventor to File menggunakan Tanggal Penerimaan
Efektif sebagai dasar pemberian paten, disamping memperkenalkan mekanisme Derivation
Proceedings, yaitu prosedur pembuktian Inventor oleh pemohon kedua atas invensi yang
didaftarkan pemohon pertama yang diperoleh berdasarkan informasi dari pemohon kedua.
Perlindungan diatas diberikan terhadap invensi yang memenuhi tiga syarat paten yaitu
mempunyai nilai guna (utility), memiliki nilai kebaruan (novelty) dan tidak dapat diduga
sebelumnya (nonobiousness). Nilai kegunaan (utility) pada prinsipnya memiliki perbedaan
dengan syarat dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable) sebagaimana yang
diatur di Undang-Undang Paten Indonesia. Dapat diterapkan dalam industri merupakan syarat
perlindungan paten yang diberikan terhadap suatu invensi yang dapat didayagunakan secara
berulang-ulang atau praktis dalam skala ekonomis bagi dunia industri dan perdagangan.
Dengan kata lain invensi tersebut bukan hanya suatu teoritis murni atau produk maupun
proses yang tidak memiliki daya guna dan daya hasil. Sementara nilai guna (utility) yang
dimaksud di dalam hukum paten Amerika Serikat, mengarah kepada kegunaan yang
terkandung di dalam sebuah invensi, meskipun manfaat tersebut hanya dapat dirasakan bagi
orang yang familiar terhadap teknologi invensi tersebut. Konsep ini dimaksudkan untuk
menghindari invensi yang ilegal dan amoral (immoral), seperti mesin yang berbahaya.
Bentuk pelanggaran paten di Amerika Serikat terbagi menjadi dua yaitu direct
infringement (pelanggaran paten langsung) dan indirect infringement (pelanggaran apten
tidak langsung). Direct infringement atau pelanggaran paten langsung, merupakan salah satu
tipe pelanggaran paten yang melarang tindakan-tindakan sebagaiamana yang disebutkan
dalam Section 271 (a) Undang-Undang Paten Amerika Serikat, yakni membuat,
menggunakan, menawarkan untuk dijual, ataupun menjual Invensi yang telah diberikan paten
di wilayah Amerika Serikat, maupun mengimpornya ke Amerika Serikat tanpa persetujuan
dari pemegang paten maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran paten. Sementara dalam
hal paten proses, seseorang dapat dikategorikan melakukan pelanggaran paten apabila ia
menjual suatu produk dengan cara kerja mengikuti tahapan-tahapan atau langkah-langkah
paten-proses yang terdapat dalam klaim invensi paten tersebut. Namun kondisi diatas tidak
termasuk pelanggaran paten langsung kecuali orang tersebut tidak melakukan sendiri tahapan
-tahapan tersebut. Sedangkan indirect infringement atau pelanggaran paten tidak langsung
merupakan konsep pelanggaran paten yang melengkapi kekurangan dalam direct
infringement yang diatur dalam Section 271 (a). Indirect infringement merupakan
pertanggungjawaban yang diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran paten
meskipun pihak tersebut tidak pernah secara langsung melakukannya.
Inducement adalah tindak pelanggaran paten yang dikenakan terhadap pihak yang memiliki
pengetahuan (knew) dan maksud tertentu (specific intent) untuk mendorong atau
mengarahkan orang lain untuk melakukan tindak pelanggaran paten. Sebagai contoh menjual
produk yang dilengkapi instruksi penggunaan dengan cara yang menyebabkan pelanggaran
paten. Sementara contributory infringement adalah tindak pelanggaran paten yang dikenakan
terhadap seseorang yang menjual atau membuat suatu komponen yang di desain khusus untuk
penggunaan invensi yang telah diberikan paten, dimana komponen tersebut tidak mempunyai
fungsi substansial lain selain dilekatkan kepada invensi paten dimaksud.
Dalam rangka mempertajam perbedaan konsep pelanggaran paten antara Indonesia dan
Amerika Serikat, kasus yang digunakan adalah kasus pelanggaran paten obat antara Eli Lilly
& Company (‘Penggugat’) dengan sepuluh perusahaan yang diwakili Actavis Elizabeth LLC
(‘Para Tergugat’). Kasus bermula dengan habisnya masa perlindungan paten zat aktif
atomoxetine milik Penggugat pada tahun 2002. Meski demikian, salah satu kegunaan utama
dari obat atomoxetine tersebut yaitu untuk pengobatan penderita ADHD masih berlangsung
perlindungan paten dalam bentuk paten proses. Dengan habisnya perlindungan paten
atomoxetine, sepuluh perusahaan obat generik di Amerika Serikat mengajukan permohonan
ANDA (Abbreviated New Drug Application) kepada FDA (Food and Drug Administration).
Atas permohonan tersebut FDA memberikan syarat kepada Para Tergugat untuk
mempromosikan dan mencantumkan penggunaan dari obat tersebut di dalam produk obat
generiknya.

Obat Kolesterol Paten dan Generik Obat Paten dan Generik

Persaingan Harga Obat dan Undang-Undang Pemulihan Jangka Paten (Hukum Publik
98-417), yang secara informal dikenal sebagai Undang-Undang Hatch-Waxman , adalah
undang-undang federal Amerika Serikat tahun 1984 yang mendorong pembuatan obat
generik oleh industri farmasi dan membentuk sistem modern peraturan obat generic
pemerintah di Amerika Serikat. Perwakilan Henry Waxman dari California dan Senator Orrin
Hatch dari Utah mensponsori tindakan tersebut. Meskipun Undang - Undang Makanan, Obat-
Obatan, dan Kosmetik Federal memungkinkan perusahaan generik untuk mendapatkan
persetujuan pengaturan untuk obat-obatan dengan mengajukan Aplikasi Obat Baru (ANDA)
Singkatnya, pada awal 1980-an menjadi jelas bahwa sangat sedikit obat generik yang datang
ke pasar. Kongres mempelajari masalah ini dan menyadari bahwa di bawah undang-undang
paten dan peraturan, mudah bagi perusahaan inovator untuk mempersulit perusahaan generik
untuk berhasil mengajukan ANDA dan bahwa jalur pengaturan untuk mendapatkan ANDA
disetujui adalah tidak teratur dan tidak pasti. Sebagai tanggapan, UU Hatch-Waxman
dinegosiasikan dan disahkan.
Hatch-Waxman mengamandemen Undang- Undang Makanan, Obat, dan Kosmetik
Federal. Bagian 505 (j) dari Undang-Undang, dikodifikasi sebagai 21 USC § 355 (j),
menguraikan proses bagi produsen farmasi untuk mengajukan Aplikasi Obat Baru (ANDA)
yang disingkat untuk persetujuan obat generik oleh Food and Drug Administration (FDA).
Undang-undang ini memberikan beberapa perlindungan bagi para inovator obat sambal
memfasilitasi dan memberikan insentif bagi perusahaan untuk mengajukan ANDA. Inovator
narkoba diberikan perlindungan dalam dua cara. Pertama, jenis baru eksklusivitas pasar
diperkenalkan, melalui periode lima tahun baru eksklusivitas data yang diberikan ketika FDA
menyetujui pemasaran obat yang merupakan entitas kimia baru ; selama periode itu FDA
tidak dapat menyetujui versi obat generik. Ini memberikan eksklusivitas pasar bagi inovator
obat di luar hak paten apa pun.
8. Perbandingan Paten di Indonesia dengan Amerika
Konsep pelanggaran paten di Amerika Serikat yang diatur dalam Section 271 United
States Code Title 35 tentang Patent Laws pada dasarnya membagi pelanggaran paten ke
dalam dua jenis, yaitu pelanggaran paten langsung (direct infringement) dan pelanggaran
paten tidak langsung (indirect infringement). Dimana pelanggaran paten tidak langsung ini
terbagi lagi menjadi dua yaitu, dalam bentuk inducement dan contributory infringement.
Inducement atau induced infringement adalah pelanggaran paten yang dikenakan terhadap
segala tindakan yang bersifat mengarahkan atau mendorong orang lain untuk melakukan
pelanggaran paten. Sementara contributory infringement adalah tindak pelanggaran paten
akibat perbuatan menjual atau mengimpor barang ke wilayah Amerika Serikat bagian dari
suatu invensi yang tidak mempunyai fungsi substansial lain kecuali digunakan khusus untuk
invensi tersebut. Selain itu Amerika Serikat juga menentukan pelanggaran paten berdasarkan
penafsiran klaim, dimana hal ini terbagi menjadi literal infringement dan doctrine of
equivalent. Sementara di Indonesia, apabila dilihat dari pengaturan yang terdapat dalam Pasal
16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, maka Indonesia dapat
disimpulkan hanya menganut pelanggaran paten langsung. Dalam pasal tersebut, Indonesia
hanya memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran paten yang dilakukan oleh
pihak pertama. Selain itu, Indonesia juga tidak menentukan pelanggaran paten dilihat dari
penafsiran klaim seperti doktrin yang berkembang di Amerika Serikat.

Jika kasus ini diaplikasikan di Indonesia, maka paten penggunaan obat tersebut termasuk ke
dalam paten proses. Hak pemegang patennya diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) huruf (b)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 berbunyi:

Menggunakan proses produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a. Untuk dapat dikategorikan melanggar paten, Para
Tergugat harus melakukan hak pemegang paten sebagaimana yang disebutkan dalam pasal
diatas. Dalam menentukan pemenuhan unsur pasal pertama yakni ‘menggunakan proses
produksi yang diberi paten’, hal ini dilihat dari ruang lingkup klaim paten yang tertera di
dalam dokumen paten No. ‘590 milik Penggugat. Dalam klaim paten tersebut yang dilindungi
adalah metode pengobatan ADHD dengan menggunakan dosis yang cukup dari atomoxetine.
Sementara Para Tergugat dalam hal ini tidak menggunakan secara langsung atomoxetine
untuk mengobati ADHD, melainkan mendorong orang lain untuk menggunakannya dengan
tujuan yang melanggar, sesuai dengan instruksi yang tertera dalam label produk milik Para
Tergugat. Dimana hal ini berkaitan pula dengan unsur pasal yang kedua yaitu ‘ untuk
membuat barang’, yang mana tidak juga terbukti. Hal ini disebabkan kegiatan pembuatan
atau penggunaan barang sebagaimana yang dimaksud diatas, tidak dilakukan oleh Para
Tergugat. Melainkan kegiatan ‘pembuatan barang’ tersebut terjadi di dalam tubuh konsumen
dari Para Tergugat yang menggunakannya untuk mengobati penyakit ADHD.

Disamping itu Para Tergugat menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tidak dapat
dikategorikan melanggar paten karena pengetahuan ataupun niat dari seseorang tidak
diperhitungkan sebagai salah satu syarat pelanggaran paten. Artinya menurut pengaturan
paten Indonesia, kesengajaan maupun ketidaksengajaan perbuatan seseorang, selama ia
melakukan salah satu tindakan sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
maka ia dapat dikategorikan sebagai pelanggaran paten.

Pendapat yang dapat kami sampaikan adalah salah satu contoh yang bisa ditirukan
oleh negara Indonesia yakni india, mereka meningkatkan kemudahan masyarakat dalam
mengakses obat-obatan, pemerintah india memberikan kewenangan kepada industri obat-
obatan di india untuk memproduksi obat-obatan untuk pasar domestik tanpa harus membayar
lisensi yang berlebihan (exorbitant licensing fees). Sebagai akibatnya masyarakat India dapat
membeli obat-obatan tertentu dengan harga yang jauh lebih murah.

Anda mungkin juga menyukai