Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ANALISIS KASUS PELANGGARAN ETIKA PROFESI ADVOKAT:

STUDI KASUS Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M


MATA KULIAH ETIKA PROFESI HUKUM KELAS D

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Yuliati S.H., LL.M

Disusun Oleh:
KELOMPOK 10
1. Vinaria Rahayu Ning Retno 175010101111147 (02)
2. Fitriya Nurmayuvita Buditama 185010100111084 (19)
3. Aiz Nanda Enprami 185010101111045 (43)
4. Oktaviani 185010101111193 (64)
5. Dea Cresvania 185120407111001 (75)

KEMENTERIAN RISET,TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG 2020
Analisis Kasus Pelanggaran Etika Profesi Advokat:
Studi Kasus Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M

A. Kasus Posisi

Pada tanggal 21 September 1998, Keluarga Salim menandatangani Master


Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA Salim Group”) dengan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (“BPPN”) (mewakili Pemerintah Republik
Indonesia) dalam rangka mengembalikan utang-utang Salim Group (sebagai pemilik
bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)) kepada Negara sebesar
Rp. 52,7 trilyun. Kemudian pada tahun 1999 Keluarga Salim menyerahkan uang
tunai Rp. 100 milyar ditambah dengan saham-saham di 108 perusahaan (termasuk
Sugar Group Companies) kepada BPPN dan dikelola oleh PT. Holdiko Perkasa
(“Holdiko”) sebagai Spesial Purposes Vehicle untuk mengelola dan menjual saham-
saham tersebut melalui lelang terbuka.

Selanjutnya pada bulan September 2001 Holdiko mengumumkan lelang atas


saham-saham Sugar Group Companies (“SGC”). PT. Garuda Pancaarta (Klien
Hotman Paris) (“GPA”) ikut sebagai peserta tender. Dalam proses tender GPA
melakukan Legal Audit (pemeriksaan dari segi hukum) dan Legal Due Diligence dan
melakukan Site Visit. Kemudian pada tanggal 21 Nopember 2001 PT. Garuda
Pancaarta keluar sebagai pemenang lelang dan menandatangani Perjanjian
Pembelian Saham dan Pengalihan Utang Bersyarat (Conditional Shares Purchase
and Loan Transfer Agreement) (“CPSLTA”). Dalam perjanjian disebutkan adanya
utang Sugar Group Companies kepada Marubeni Corporation sebagai lanjutan dari
utang SGC sejak tahun 1993

Selanjutnya pada tanggal 18 Maret 2002, Advokat Todung Mulya Lubis (“TML”)
ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia selaku salah satu anggota Tim
Bantuan Hukum KKSK (“TBH KKSK”) untuk membantu Pemerintah Republik
Indonesia melakukan evaluasi, identifikasi, dan klarifikasi terhadap kepatuhan
debitur Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (“PKPS”) termasuk MSAA Salim
Group. (Penunjukkan TML sebagai anggota TBH-KKSK setelah GPA membeli
saham-saham SGC). Penunjukkan tersebut berdasarkan Keputusan Komite
Kebijakan Sektor Keuangan Nomor KEP.02/K.KKSK/03/2002, tanggal 18 Maret
2002 (‘SK Penunjukkan TBH”) serta Perjanjian Kerjasama tertanggal 5 September
2002 (“Perjanjian TBH”).

Dalam Perjanjian Kerjasama antara anggota TBH dengan BPPN (Pemerintah RI)
tertanggal 5 September 2002 (“Perjanjian TBH”) terdapat pasal khusus yaitu terkait
dengan kerahasiaan (confidentiality) dimana setiap anggota TBH dilarang untuk
membuka, menggandakan, mengungkapkan atau menyiarkan dokumen dan/atau
laporan yang dibuat TBH untuk kepentingan Pemerintah. Perjanjian TBH
menyatakan bahwa seluruh dokumen yang digunakan maupun laporan yang dibuat
merupakan milik BPPN sepenuhnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 perjanjian
TBH diatur mengenai Benturan Kepentingan (conflict of interest) yang berlaku
sampai dengan 2 (tahun) setelah Perjanjian (Perjanjian telah berakhir Desember
2002).

Pada tanggal 17 Mei 2002 TBH KKSK menyerahkan laporannya kepada KKSK
terkait dengan pemenuhan kewajiban salah satu obligor dalam rangka PKPS Master
Settlement and Acquisition Agreement (“MSAA”), yaitu Keluarga Salim (“Laporan
TBH”). Dalam laporan TBH, keluarga Salim disebutkan memiliki kewajiban-
kewajiban yang harus dipenuhi lebih lanjut karena adanya beberapa
misrepresentation dalam perjanjian MSAA. Kemudian pada tanggal 7 Oktober 2002
Laporan TBH-KKSK dibahas lebih lanjut dalam sidang kabinet Pemerintah.
Selanjutnya KKSK telah mengeluarkan Keputusan Komite Kebijakan Sektor
Keuangan No. Kep. 01/K/KKSK/10/2002 tentang Kebijakan Penyehatan Sektor
Perbankan dan Restrukturisasi Utang Perusahaan Berdasarkan Hasil Rapat Komite
Kebijakan Sektor Keuangan tanggal 7 oktober 2002 yang merekomendasikan BPPN
untuk melakukan klaim kepada Pemegang Saham (Keluarga Salim) atas adanya
misrepresentation. Pemerintahan kemudian melakukan perhitungan kewajiban yang
harus dipenuhi Keluarga Salim karena adanya misrepresentation tersebut yang
hasilnya adalah kewajiban senilai RP. 729,4 Miliar.

Pada tanggal 16 Oktober 2002 Keluarga Salim kemudian telah melakukan


pemenuhan kewajiban misrepresentation dengan melakukan pembayaran sebesar
Rp. 465,362 milyar dan penyerahan saham BCA senilai Rp. 264,075 milyar kepada
Pemerintah melalui BPPN pada tanggal 16 Oktober 2002. Selanjutnya pada tanggal
18 Februari 2002 BPPN membuat dan menandatangani Perjanjian Penyelesaian
Akhir sesuai dengan Akta No. 18 tertanggal 18 Pebruari 2004 yang dibuat
dihadapan Martin Roestamy, S.H., Notaris di Jakarta, BPPN memberikan
penegasan kepada Keluarga Salim bahwa Keluarga Salim telah melaksanakan dan
menyelesaikan seluruh kewajibannya berdasarkan MSAA dan BPPN telah
menerima dengan baik dan memberikan persetujuannya atas seluruh pelaksanaan
kewajiban Keluarga Salim.

Pada tanggal 18 Januari 2007 Keluarga Salim memberikan kuasa kepada Lubis,
Santosa & Maulana Law Office untuk perkara di Pengadilan Gunung Sugih dan
Pengadilan Kota Bumi. Sekitar tanggal 22 Agustus 2007 Advokat Hotman Paris
Hutapea, S.H., M.Hum selaku kuasa hukum Para Penggugat telah mengajukan
Laporan TBH sebagai bukti dalam persidangan. Bahwa dalam kedua kesempatan
tersebut, TML dan/atau LSM telah mengajukan keberatan secara tegas terhadap
tindakan para Penggugat yang telah mengajukan laporan TBH sebagai bukti dalam
persidangan. Hal ini disebabkan TML dan/atau LSM mengetahui bahwa dokumen
tersebut merupakan dokumen yang sifatnya sangat rahasia yang tidak mungkin
dapat diperoleh Para Penggugat secara sah dan tidak dapat diajukan sebagai bukti.

B. Kajian Pustaka
1. Teori Etika

Istilah etika (ethice) berasal dari Bahasa Yunani yang berarti perilaku seseorang,
adat istiadat (kebiasaan), perasaan batin, watak, serta kecenderungan hati, untuk
melakukan suatu perbuatan. Selain itu, istilah etika juga dipahami sebagai kajian
tentang tingkah laku manusia, tentang apa itu baik atau buruk, benar atau salah,
sengaja atau tidak. Menurut pakar filsafat Mesir yang tersohor, Ahmad Amin 1, etika
adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa

1
Ahmad Amin. 1983. Etika (Ilmu Akhlak), Terj. KH. Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan Bintang.
yang seharusnya diperbuat. Sementara Hamzah Ya’qub 2 menyatakan etika sebagai
ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal
pikiran.

M. Amin Abdullah 3 mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang


baik dan buruk. Beliau selanjutnya menyatakan bahwa, etika berfungsi sebagai
teori perbuatan baik dan buruk, yang praktiknya dapat dilakukan dalam disiplin
filsafat. Etika menegaskan prinsipprinsip perilaku yang perlu ditempuh individu agar
bersesuaian dengan kebajikan yang diterima. Melalui etika individu dapat
mengontrol seluruh sikap dan perbuatannya agar tidak bertentangan dengan orang
lain. Etika sangat dipengaruhi pengalaman pribadi dan sosial seseorang serta
tingkat perkembangan psikologisnya. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip
etis juga merupakan refleksi dari kematangan pribadi seseorang. Dalam konteks
yang lebih luas, perbuatan etis mengarahkan orang pada satu tanggung jawab
tertentu untuk mewujudkan kebaikan dalam komunitas. Secara ilmiah, etika adalah
suatu kajian ilmiah tentang perilaku manusia dalam masyarakat, yakni suatu bidang
yang mendefenisikan perilaku manusia sebagai benar atau salah, baik atau buruk,
patut atau tidak patut.

Dalam lingkup kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya berbagai macam


pedoman etika atau kode etik, mulai dari etika organisasi, lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta, korporasi, sekolah, pesantren, serta profesi, yang menjadi
pemandu bagi perilaku individu, atau kelompok dalam organisasi atau profesi
pekerjaan. Dalam dunia kedokteran, pengacara, konsultan, insinyur, birokrasi,
anggota parlemen, guru, kita mengenal adanya etika masingmasing bidang profesi
tersebut. Etika organisasi ialah garis pedoman untuk menjalankan tugas seperti
berpegang pada prinsip bersih, cakap, amanah, jujur, benar, ikhlas,
bertanggungjawab dan adil.

2
Hamzah Ya’qub. 1983. Etika Islam, Bandung: Diponegoro.
3
M. Amin Abdullah. 2002. Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan.
Etika profesi (professional ethics) ialah kode yang menggariskan apa-apa yang
harus dibuat dan tidak harus dibuat oleh pelaksana profesi tersebut 4. Misalnya,
etika Aparatur Sipil Negara (ASN), yang menggariskan prinsip-prinsip yang perlu
dipegang teguh setiap ASN yang meliputi: Sikap jujur, tulus, netral,
bertanggungjawab, komited, adil, terbuka, melayani, yang menjadi panduan dalam
bekerja. Adalah menjadi tanggungjawab setiap individu agar mematuhi prinsip-
prinsip etika sesuai bidang kehidupan masing-masing. Dalam kaitan ini, konsep
etika berkaitan erat dengan moral dan insan bermoral, yang bermaksud bahwa
seseorang yang mempunyai perilaku etis dapat dianggap sebagai bermoral 5.

Ada tiga aspek penting yang dapat dikemukakan di sini berkaitan dengan konsep
etika, yakni: Isi, bentuk, serta dimensi etika. Aspek isi adalah berkaitan dengan
peraturan dalam masyarakat yang perlu dipatuhi bersama. Adanya peraturan di
dalam masyarakat sangat diperlukan karena peraturan tersebut dapat menjamin
kenyamanan hidup bermasyarakat, prinsip dalam hubungan kemanusiaan
lingkungan. Tanpa peraturan, masyarakat manusia tidak dapat berfungsi secara
efektif karena nilai-nilai individu akan bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat
memungkinkan seseorang itu kelihatan seenaknya, sombong, individualis, kurang
ajar, sehingga boleh jadi merusak masyarakat”. “Kita bisa melihat hal ini dari
beberapa insiden, misalnya: Adanya perilaku kebut-kebutan di jalan, begal motor,
penyalahgunaan narkotika, korupsi, pencurian, perusakan lingkungan dan
sebagainya, yang menunjukkan tidak dipatuhinya peraturan. Dalam konteks
Indonesia yang memiliki masyarakat beragam yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, asal daerah, lapisan sosial, serta keyakinan dan tradisi yang berbeda maka
kepatuhan dan saling memahami nilai dan peraturan adalah sangat penting dalam
menjaga kestabilan masyarakat.

Kesadaran individu maupun kelompok dalam memahami perbedaan akan


menjauhkan dari konflik nilai, prasangka, yang dapat menggugat kedamaian. Etika
persamaan dan kebebasan misalnya perlu dipahami dengan matang dan
4
Davis, Michael. 2014. “Professional Ethics without Moral Theory: A Practical Guide for the Preplexed Non-
Philosopher”, Journal of Applied Ethics and Philosophy, Vol. 6, No. 9, p. 1- 9.
5
Ljupco, Ristovski. 2017. “Morality and Ethics in Politics in the Contemporary Societies”, Journal of Liberty and
International Affairs, Vol. 2, No. 3, p. 83-93.
dipraktekkan secara wajar mengikuti tata nilai yang berlaku. Kebebasan bukanlah
sematamata bebas untuk melakukan semua tindakan, tetapi perlu memikirkan
dampak yang diakibatkannya lebih jauh.

2. Konsep Moral dalam Etika

Menurut Aristoteles, etika dikaitkan pada kepribadian, sifat, perangai atau ciri-
ciri perwatakan. Usaha pengembangan moral seharusnya mengarah pada
pembentukan watak mulia dan terbaik, bukan kepatuhan kepada peraturan
masyarakat. Melalui pengembangan watak mulia, nilai-nilai etis secara intrinsik
lebih mudah tertanam. Aristoteles menggariskan sejumlah watak mulia manusia
yang bermoral sesuai dengan jaman beliau hidup, seperti: Keadilan, kejujuran,
persahabatan, amanah, bijaksana, murah hati, berani, dan sebagainya. Pada
hari ini, sifat-sifat tersebut dapat kita elaborasi lebih jauh sesuai dengan
perkembangan kehidupan. Berdasarkan teori ini, masalah yang lebih ditekankan
adalah dimensi individu atau manusianya, dan bukan perbuatan yang
dihasilkannya. Dalam pandangan Aristoteles, manusia perlu fokus kepada usaha
membina kepribadian mulia, seperti yang dikatakannya sebagai etika virtue 6.

Wujudnya pribadi mulia dengan sifat-sifat yang terpuji akan menciptakan


keseimbangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai suatu contoh, sifat jujur dan
amanah dapat menjauhkan kita dari watak korupsi dan perbuatan mementingkan
diri sendiri. Sementara sikap suka menolong orang lain akan membantu orang
dalam memecahkan sebagian urusan hidupnya. Sifat tegas akan menjadikan kita
lebih berprinsip dan dihormati, tidak mudah diombangambingkan oleh situasi.
Sedangkan sikap bekerja keras membawa pada sifat kesungguhan,
kecemerlangan dan keberhasilan. Dengan demikian, pribadi mulia akan
mendorong pada perilaku bermoral. Sifat dasar manusia hakikatnya memiliki
kecenderungan untuk menjadi lebih baik.

Aristoteles sendiri sangat menekankan bahwa manusia mencapai


kebahagiaan bukan dengan mengejar kesenangan dan menghindari perasaan

6
Bailey, Olivia. 2010. “What Knowledge is Necessary for Virtue?”, Journal of Ethics & Sosial Philosophy, Vol. 4, No.
2 (February), p. 1-17.
sakit (seperti diajarkan kaum hedonis), atau dengan mengharapkan pemenuhan
segala keinginan, melainkan melalui tindakan yang mengaktualisasikan potensi-
potensi dalam dirinya. Dengan kata lain, kebahagiaan manusia dicapai melalui
usaha pengembangan diri7. Teori ini juga menjelaskan bahwa memiliki pribadi
mulia bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, maksudnya manusia tidak
dilahirkan dengan sifat baik atau jahat.

Kepribadian yang ada pada manusia itu perlu diasuh, dipelajari dan
dipraktekkan, baik itu melalui latihan serta pengamalan sehingga menjadi
kebiasaan, tabiat, cara hidup dan menyenangkan diri sendiri. Seperti
disampaikan Kees Bertens8, pandangan ini menjelaskan bahwa untuk
memperoleh keutamaan, kita mesti melakukan perbuatanperbuatan yang baik
secara obyektif saja, artinya perbuatan-perbuatan yang oleh umum dianggap
baik. Secara lambat laun suatu kebiasan yang baik dan terpuji itu akan terbentuk
dalam diri kita, sehingga selanjutnya kita melakukan perbuatan-perbuatan baik
tersebut berdasarkan keutamaan. Selain itu, teori kepribadian mulia menyatakan
bahwa untuk mencapai kemuliaan hidup, manusia perlu mengikuti jalan tengah.
Jalan tengah ialah tingkah laku yang sederhana, moderat, yaitu tidak berlebihan
dan keterlaluan serta juga tidak terlalu kurang. Sebagai contoh 9, dalam hal
membelanjakan uang ada kemungkinan dua sikap ekstrim.

Di satu pihak ada orang yang dapat mengeluarkan uang begitu banyak.
Sementara pada pihak lain ada sebagian orang yang cenderung pelit dan sukar
mengeluarkan uang. Pihak yang pertama disebut sebagai pemboros, sedangkan
yang kedua adalah kikir atau pelit. Kita dapat mengambil nilai keutamaan dalam
membelanjakan uang ini dengan mengambil jalan tengah dari dua titik ekstrim
tersebut. Nilai keutamaan ini ialah “kemurahan hati”, yakni tidak terlalu boros dan
tidak terlalu pelit. Dengan demikian, setiap keutamaan dapat menentukan jalan
tengah antara dua titik ekstrem yang berlawanan. Keutamaan selalu merupakan
pertengahan antara kelebihan dan kekurangan. Berdasarkan andaian tersebut
7
Grcic, Joseph. 2013. “Virtue Theory, Relativism and Survival”, International Journal of Sosial Science and
Humanity, Vol. 3, No. 4, Juli, p. 416-419
8
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.
9
Bertens, K. 2005. Etika, Jakarta: Gramedia.
sesuatu yang betul, benar, baik dan bermoral itu ialah perilaku yang mengikut
kadar sederhana atau pertengahan. Menurut Aristoteles, berdasarkan jenisnya,
terdapat dua jenis kepribadian mulia, yakni kepribadian mulia intelektual dan
kepribadian mulia moral. Kepribadian mulia intelektual ialah keutamaan melalui
proses berpikir, yang menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Kepribadian
jenis ini dapat dipelajari”.

3. Etika Advokat dalam Hukum Positif

Advokat merupakan salah satu profesi yang mulia dan terhormat (Officium
Nobile). Sesuai pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003, Advokat
juga merupakan salah satu penegak hukum di Indonesia selain Hakim, Jaksa, Polisi.
Kedudukkan advokat sebagai penegak hukum in sering disebut dengan istilah
officer of the court. Sebagai Officer of the court, advokat harus tunduk dan patuh
terhadap aturan yang ada di pengadilan, selain itu, advokat harus memiliki suatu
sikap yang sesuai dengan kemuliaan dan kewibawaan pengadilan, sehingga tidak
mencoreng nilai kemuliaan dan kewibawaan tersebut. Dalam melaksanakan
tugasnya advokat perlu memenuhi batasan-batasan yang ditentukan dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Undang-Undang Nomor 18
tahun 2003 tentang Advokat diatur mengenai hak dan kewajiban advokat yaitu
antara lain :

Pasal 14: “Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam


membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan
dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-
undangan.”

Pasal 15: “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela
perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik
profesi dan peraturan perundangundangan.”

Pasal 16: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana
dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien dalam sidang pengadilan.”
Pasal 17: “Dalam menjalankan profesinya, advokat berhak memperoleh
informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak
lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan
kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 18: “(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang


membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik,
keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya. (2) Advokat tidak dapat
diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang
berwenang dan/atau masyarakat.”

Pasal 19 : “ (1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau
diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh
Undang-undang. (2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien,
termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau
pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik
advokat.”

Pasal 20: “(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan
dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya. (2) Advokat dilarang
memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga
merugikan profesi advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam
menjalankan tugas profesinya. (3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak
melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.”

Advokat dalam membela kliennya secara maksimal akan berhadapan dengan


kepentingan yang lain yang juga cukup esensial, misalnya kepentingan dan
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa dan negara. Meskipun kepentingan
umum tersebut harus diutamakan, tetapi advokat juga diharapkan untuk bertindak
dengan tidak merugikan kepentingan kliennya itu. Kewajiban advokat membela
kliennya secara maksimal ini dimaksudkan agar advokat mencari semua jalan dan
jalur hukum yang tersedia sehingga memberi keadilan bagi kliennya, baik dalam
kasus pidana maupun dalam kasus perdata dengan menggunakan dengan segala
upaya, mencurahkan segenap tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian, dan
komitmen pribadi serta komitmen profesinya.

Advokat harus tetap membela kliennya meskipun hal tersebut akan tidak
menyenangkan atau membuat advokat menjadi tidak populer bahkan dibenci oleh
masyarakat oleh karena harus membela klien yang merupakan pelaku kejahatan.
Untuk itu, advokat tersebut harus memberikan komitmen yang penuh dengan
dedikasi yang tinggi dan mengambil seluruh langkah apa pun yang tersedia
membela kepentingan kliennya. Ketika kepentingan kliennya itu bertentangan
dengan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan advokat pribadi, kepentingan
klienlah yang harus didahulukan, tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku10.

Dengan tidak adanya organisasi advokat sebagai wadah tunggal juga dapat
mempengaruhi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 dan Kode Etik
Advokat Indonesia oleh advokat, misalnya dalam penerapan ketentuan sanksi bagi
advokat yang melakukan pelanggaran, karena ketika dijatuhi ketentuan sanksi,
advokat dapat berpindah dari satu organisasi advokat ke organisasi advokat lainnya
untuk menghindari sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh advokat tersebut 11.

C. Pembahasan

Perbuatan yang dilakukan oleh DR. Todung Mulya Lubis,S.H., LL.M., dianggap
melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat yaitu pasal 4
ayat (2) mengenai Sumpah Advokat dan pasal 6 mengenai alasan pemberian
tindakan terhadap Advokat. Selain melanggar Undang-Undang Nomor18 tahun
2003 tentang Advokat, DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., juga melanggar Kode
Etik Advokat Indonesia yaitu pasal 3 huruf (b) dan pasal 4 huruf (J) mengenai
hubungan advokat dengan klien. Khusus pasal 4 huruf (J) yang berbunyi :” Advokat
yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut,
apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang
10
Munir Fuady, dalam Profesi Mulia ( Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,Notaris,Kurator dan
Pengurus ),Citra Aditya Bakti, Bandung,2005, hal 33, 34
11
 Supriadi, dalam Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,Sinar Grafika, Jakarta,2008,hal 84 - 87
bersangkutan”,dari isi pasal 4 huruf (J) Kode Etik Advokat Indonesia dapat dilihat
bahwa apa yang telah dilakukan oleh DR. Todung Mulya Lubis,S.H., LL.M., memang
telah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, dalam dunia advokat hal ini sering
disebut dengan istilah conlict of interest.

Setelah terbukti melanggar UndangUndang Nomor 18 tahun 2003 dan Kode Etik
Advokat Indonesia DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., dijatuhi sanksi
pemberhentian secara tetap dari advokat oleh Dewan Kehomatan Kode Etik Profesi
Advokat organisasi advokat PERADI karena DR. Todung Mulya Lubis,S.H.,LL.M.,
merupakan anggota dari organisasi advokat tersebut, kemudian DR. Todung Mulya
Lubis,S.H.,LL.M., mengajukan banding ke organisasi advokat KAI dan beliau dijatuhi
hukuman tidak dapat menjalankan profesi advokatnya selama satu setengah bulan
oleh Dewan Kehormatan Kode Etik Profesi Advokat KAI Kasus DR.Todung Mulya
Lubis,S.H.,LLM., merupakan cermin bahwa kurang efektifnya penerapan ketentuan
sanksi yang dijatuhkan oleh organisasi advokat kepada DR.Todung Mulya
Lubis,S.H.,LLM.,yang telah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, hal ini
dikarenakan tidak adanya wadah tunggal organisasi advokat, sehingga advokat
yang telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat Indonesia dapat
berpindah dari organisasi advokat yang satu kepada organisasi advokat yang lain
agar dapat terhindar dari ketentuan sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia.

Dalam kasus ini dapat ditemukan beberapa benturan kepentingan, benturan


kepentingan yang pertama adalah Dari uraian fakta tertulis yang ada tadi dapat
dikatakan bahwa unsur benturan kepentingan (conflict of interest) yang terjadi dari
dua klien yang kepentingannya berbenturan dapat dikatakan tidak terjadi. Klien
Teradu 1 yaitu:

1. Pemerintah cq Menteri Keuangan cq BPPN

2. Grup Salim cq PT. Holdiko


secara jelas menyatakan bahwa tidak adanya benturan kepentingan bagi
advokat Todung Mulya Lubis dalam menjalankan tugasnya dengan alasan-alasan
sebagai berikut:

1. “Segala kekayaan dan segala sesuatu yang ditujukan BPPN dan


Tim Pemberesan BPPN yang terkait dengan obyek yang digugat PT.
GPA yang diwakili Kuasa Hukumnya Hotman Paris Hutapea, S.H.,
M.Hum, pengelolaannya beralih kepada Menteri Keuangan”.

2. “Segala kewajiban Advokat Todung Mulya Lubis sebagai anggota


Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK)
sudah selesai dipertanggungjawabkan dan perjanjian TBH terkait
benturan kepentingan yang berlaku 2 tahun setelah berakhirnya
Perjanjian ( Perjanjian berakhir Desember 2002) sudah melewati
tenggat waktu yang diperjanjikan”.

3. “PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) tidak pernah melakukan


pendampingan atau menunjuk advokat Todung Mulya Lubis sebagai
kuasa hukum”.

Benturan kepentingan yang kedua adalah Menurut pertimbangan Majelis


Kehormatan Daerah DKI Jakarta PERADI dapat dianalisa mengenai pertimbangan
sebagai berikut :

 “Bahwa pada persidangan di dua PN di Lampung (2007), Teradu 1


(Todung Mulya Lubis) selaku Kuasa Hukum Salim Group mengungkapkan
sebagian isi Laporan TBH yang seharusnya dirahasiakan”.

 “Bahwa kepentingan Pemerintah cq Menkeu cq BPPN dirugikan dengan


dibukanya sebagian isi Laporan TBH pada persidangan di Lampung”.

Hal yang dilakukan oleh Todung Mulya Lubis sesungguhnya bertentangan


dengan Etika profesi (professional ethics) ialah kode yang menggariskan apa-apa
yang harus dibuat dan tidak harus dibuat oleh pelaksana profesi. Advokat dalam
membela kliennya secara maksimal akan berhadapan dengan kepentingan yang
lain yang juga cukup esensial, misalnya kepentingan dan ketertiban umum, dan
kepentingan bangsa dan negara. Meskipun kepentingan umum tersebut harus
diutamakan, tetapi advokat juga diharapkan untuk bertindak dengan tidak merugikan
kepentingan kliennya itu. Kewajiban advokat membela kliennya secara maksimal ini
dimaksudkan agar advokat mencari semua jalan dan jalur hukum yang tersedia
sehingga memberi keadilan bagi kliennya, baik dalam kasus pidana maupun dalam
kasus perdata dengan menggunakan dengan segala upaya, mencurahkan segenap
tenaga, intelegensi, kemampuan, keahlian, dan komitmen pribadi serta komitmen
profesinya. Maka dari itu advokat memang sudah seharusnya menghindari konflik
kepentingan.

D. Simpulan dan Saran


1. Kesimpulan

Setiap profesi pastilah memiliki etik yang mengatur profesi tersebut, namun
masih banyak pelaku profesi yang melanggar profesi tersebut. Salah satu
pelanggaran yang terjadi tampak dalam kasus Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M.
Dalam kasus tersebut terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Advokat
Indonesia khususnya yang berkaitan dengan profesionalitas advokat dalam hal
wewenang advokat dalam menerima perkara. Permasalahan ini dimulai pada tahun
2002 di mana saat itu Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., LL.M., menjadi kuasa hukum
pemerintah untuk melakukan audit terhadap keluarga Salim, diantaranya yaitu
perusahaan Sugar Group Company, tetapi pada tahun 2006 Dr. Todung Mulya
Lubis, S.H., LL.M. malah beralih menjadi kuasa hukum dari keluarga Salim dalam
perkara buntut penjualan aset. Hal ini dianggap melanggar Kode Etik Profesi
Advokat karena semestinya advokat tidak boleh menjadi penasehat hukum dari
kedua belah pihak dalam perkara yang berbeda, dimana kedua belah pihak adalah
pihak yang sama. Perbuatan yang dilakukan oleh DR. Todung Mulya Lubis,S.H.,
LL.M., dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
yaitu pasal 4 ayat (2) mengenai Sumpah Advokat dan pasal 6 mengenai alasan
pemberian tindakan terhadap Advokat. Selain melanggar Undang-Undang Nomor18
tahun 2003 tentang Advokat, DR. Todung Mulya Lubis , S.H., LL.M., juga melanggar
Kode Etik Advokat Indonesia.

2. Saran

Etika Profesi merupakan sesuatu yang sangat penting karena dengan adanya etika
tersebut, profesi akan mengikuti etika-etika yang tentuk tidak akan merugikan klien
dari profesi tersebut, sehingga saran yang diberikan dari tulisan ini adalah agar
siapapun advokat harap agar mematuhi dari etika profesi advokat.
References

Ahmad Amin. 1983. Etika (Ilmu Akhlak), Terj. KH. Farid Ma’ruf, Jakarta: Bulan
Bintang.

Bailey, Olivia. 2010. “What Knowledge is Necessary for Virtue?”, Journal of Ethics &
Sosial Philosophy, Vol. 4, No. 2 (February), p. 1-17.

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, K. 2005. Etika, Jakarta: Gramedia.

Davis, Michael. 2014. “Professional Ethics without Moral Theory: A Practical Guide
for the Preplexed Non-Philosopher”, Journal of Applied Ethics and Philosophy, Vol.
6, No. 9, p. 1- 9.

Grcic, Joseph. 2013. “Virtue Theory, Relativism and Survival”, International Journal
of Sosial Science and Humanity, Vol. 3, No. 4, Juli, p. 416-419

Hamzah Ya’qub. 1983. Etika Islam, Bandung: Diponegoro.

Ljupco, Ristovski. 2017. “Morality and Ethics in Politics in the Contemporary


Societies”, Journal of Liberty and International Affairs, Vol. 2, No. 3, p. 83-93.

M. Amin Abdullah. 2002. Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan.

Malinda, R. (2013). Pengaruh Penerapan Pendidikan Karakter untuk Meningkatkan


Soft Skill Komunikasi Mahasiswa Kebidanan. Jurnal Penelitian Pendidikan Karakter,
2 (1), 8-20.

Mardawani (2011). Pembinaan semangat nasionalisme Indonesia dalam


menghadapi tantangan Kosmopolitanisme dan Etnisitas melalui pembelajaran
pendidikan kewarganegaraan (Studi kasus pada SMP Negeri 1 Entikong, wilayah
perbatasan Indonesia-Malaysia)”. UPI Bandung.
Muafah, W. (2013). Penanaman Nilai-Nilai Agama (Studi Kualitatif Pada Keluarga
Pasangan Beda Agama Di Desa Doplang Kecamatan Bawen Kabupaten
Semarang). STAIN Salatiga.

Munir Fuady, 2005. Profesi Mulia ( Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris,Kurator dan Pengurus ),Citra Aditya Bakti, Bandung

Supriadi, 2008. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia,Sinar


Grafika, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai