Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Observasi G30SPKI di Banyuwangi

oleh :

 Aristilani
 Cindy Dewie Lestari
 Mayka Ayuning Putri
 Niken Melinda Oktavia
 Novy Dwi Anggraini
 Oktavia Putri
 Reyno Thoriqqul
 Toni Riau M

SMA MUHAMMADIYAH 2 GENTENG Tahun ajaran


2017/2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Alllah SWT yang Maha pengasih lagi maha penyayang,
kami ucapkan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
inayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang tragedi
pembantaian G30SPKI di Banyuwangi .
Makalah ini kami susun dengan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlacar pembuatan ini. Untuk itu kami sampaikan terimakasih kepada
semua pihak yang sudah terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Genteng, 23 November 2018

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI.....................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah.............................................................................................................4
2.2 Konstelasi politik sebelum kronologi..............................................................4
2.3 Kronologis.......................................................................................................6
2.3 Bukti................................................................................................................9
2.4 Dampak sosial..................................................................................................9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan....................................................................................................12
3.2 Saran..............................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................13

2
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tragedi Pembantaian pada tanggal 18 Oktober 1965 di Dusun Cemetuk, Desa


Cluring Kabupaten Banyuwangi menmbulkan 62 korban yaitu pemuda Anshor oleh
anggota PKI. Di bekas sumur tempat penguburan saat ini telah dibangun monumen
Pancasila untuk mengenang peristiwa tersebut. Tragedi ini terjadi setelah
pembunuhan para jenderal di Jakarta yang kemudian dikenal dengan Gerakan 30
September.Tragedi cemethuk juga menunjukkan bahwa tingkat konflik di akar
rumput antara pengikut PKI dan non-PKI setelah peristiwa G30SPKI. Tragedi
Cemethuk ini menandai bahwa Kabupatenn paling Timur dari pulau Jawa ini tidak
luput dari pengembangan jaringan PKI.
Tragedi ini terjadi setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta yang kemudian
dikenal dengan Gerakan 30 September. Tragedi Cemethuk juga menunjukkan
bahwa tingkat konflik di akar rumput antara pengikut PKI dan non-PKI setelah
peristiwa G 30 S berlangsung dalam tingkat tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Kronologis terjadinya pembantaian G30SPKI di desa Cemethuk ?

1.3 Tujuan
Menjelaskan Bagaimana kronologis kejadian pembantaian G30SPKI di desa
Cemethuk

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah
Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis diseluruh dunia.
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis
Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh, namun
pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi
partai. Kemunculan Partai Politik di tingkat Nasional menjalar pula hingga ke
daerah seperti Banyuwangi. Bibit-bibit PKI di banyuwangi muncul, diperkirakan
berasal dari pengikut-pengikur Sarekat Islam yang akhirnya pecah menjadi dua
kelompok, Kelompok kanan dan kelompok kiri atau merah. Sarekat Islam kelompok
merah inilah yang akhirnya berfusi ke Indische Social Demokratische Vereeniging
atau ISDV (embrio sebelum akhirnya berganti nama menjadi PKI).Dalam buku
Selayang Padang Perang Kemerdekaan di Bumi Blambangan (Sri Adi Oetomo
1996:77) disebutkan, bahwa yang pasti, tahun 1947 PKI sudah tumbuh di
Banyuwangi. Tokoh-tokoh PKI saat itu dipimpin Prayitno dan Suntoyo, Ikhwan,
Kusno, Samud, Karto dan Kabul. Namun sebenarnya anggota PKI yang berada di
Banyuwangi merupakan orang pendatang dari luar Banyuwangi yang menetap dan
ingin menyebarkan komunisme nya di daerah ini.

2.3 Konstelasi Politik di Banyuwangi Sebelum Peristiwa


PNI, PKI, dan NU saling berebut kekuasaan dalam pemilihan bupati yang
dilaksanakan pada 28 november 1964, masing-masing partai telah memiliki calon
yag akan diusung dalam pemilihan tersebut. PKI pada waktu itu mengusung
Soewarso Kanapi S.H. yang amerupakan seorang pegawai kejaksaan negeri
Banyuwangi, sedangkan kandidat dari kubu NU baik NU Banyuwangi dan NU
Blambangan adalah Hafid Suroso yang merupakan pegawai departemen agama
Banyuwangi, NU Banyuwangi paska konflik internal partai terpecah menjadi NU

4
Banyuwangi dan NU blambangan, kandidat lain dari partai-partai gurem antara lain
Atmo Sayono, RS. Haryono, dan Ny. Sudibyo, PNI pada mulanya belum memiliki
sosok yang akan diusung dalam pemilihan tersebut meskipun pada akhirnya
menerima tawaran dari militer untuk berkoalisi mengusung Letkol Djoko Supaat
Slamet.
Kubu NU yang merasa khawatir dengan munculnya calon baru yang diusung PNI
yang berkoalisi dengan militer, memilih melakukan langkah strategis melalui lobi
politik. NU segera malakukan pertemuan dengan ketua cabang PNI Jafar Ma’ruf
untuk melakukan lobi politik, NU menawarkan kepada PNI melalui Jafar Ma’ruf
untuk ikut mengusung hafid suroso, tawaran tersebut disepakati oleh ketua PNI
cabang Banyuwangi sehingga merubah peta politik menjelang pemilihan bupati.
Setelah mengalami serangkaian lobi-lobi politik muncul dua calon yang kuat yaitu
Letkol Djoko Supaat Slamet yang diusung Milter, PNI, serta NU Bambangan, dan
Suwarso Kanapi, SH. Yang diusung PKI dan Nu Banyuwangi.
Pemilihan bupati yang diaksanakan oleh DPR-GR Banyuwangi pada 28 November
1964 memenangkan Soewarso Kanapi SH. Sebagai bupati Banyuwangi. Pemilihan
bupati Banyuwangi dilakukan melalui anggota DPR-GR yang berjumlah 45 orang
dengan hasil 16 suara untuk Soewarso Kanapi, 14 suara untuk Djoko Supaat Slamet,
5 suara untuk RS. Haryono, dan 3 suara untuk Ny. Sudibyo, sisanya 7 suara tidak
hadir (Abstain).
PNI dan NU-Blambangan selanjutnya mengajukan penolakan kepada Panca
Tunggal kabupaaten Banyuwangi, menurut mereka kubu Soewarso Kanapi telah
melakukan kecurangan dalam pemilihan bupati banuwangi. Laporan tersebut
diterima olah Panca Tunggal namun Gubernur menilai alasan yang disampaikan
kurang tepat dan mengada-ada terlebih, pemlihan sudah dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Setelah upaya yang dilakukan tidak berhasil kelompok anti-komunis
memaksa penunndaan pelantikan dengan melakukan demo didepan Pendopo
Banyuwangi pada 3 januari 1965 . demonstrasi akbar dilaksanakan oleh massa anti-
PKI sejak pukul 10.00 WIB pendopo Banyuwangi, namun sejak pukul 07.00 sekitar

5
7000 massa dari PNI, NU dan militer melakukan demo dan berusaha menduduki
pendopo Banyuwangi. Massa yang menduduki pendopo dan taman sritanjung
tersebut menuntut pembatalan pelantikan Soewarso Kanapi, orasi-orasi politik
disampaikan oleh Soekmadi dan ibu sastro dari PNI sementara dari kubu NU
diwakili oleh Ali Muhaidori. Kelompok militer yang mengikuti demo di luar
pendopo ini merupakan organisasi massa yang dibentuk oleh ABRI pada tahun 1963
guna mengimbangi kekuatan partai yang lain. Massa pengikut ABRI tersebut secara
langsung berada di bawah binaan Korem 083 yang nantinya berfusi menjadi partai
Golkar (Soemadi, 1985:2).
Kondisi di sekitar pendopo semakin mencekam, massa PKI yang berada di dalam
kawasan pendopo Setelah 16 jam massa menduduki halaman pendopo akhirnya
pada pukul sekitar 23.00 diperoleh kesepakatan antara pimpinan PKI dan gubernur
Wijono untuk menunda pelantikan hingga batas waktu yang tidak ditentukan,
selanjunya keputusan tersebut disampaikan gubernur dengan memanggil Soekmadi
selaku koordinator demo untuk masuk kedalam pendopo. Massa aksi akhirnya
membubarkan diri setelah Soekmadi menyampaikan tentang keputusan penundaan
pelantikan Soewarso Kanapi hingga bulan agustus 1965, sementara untuk mengisi
kekosongan jabatan bupati Banyuwangi selama 7 bulan ditunjuk atmo sayono
sebagai Pejabat sementara (Pjs) bupati Banyuwangi

2.2 Kronologis
Mendengar siaran RRI tersebut para pemimpin PKI, PNI, dan NU yang diwakili
Jafar Ma’ruf, Ali Mansur, dan Sigit di Polres Banyuwangi untuk membahas situasi
yang terjadi. Kubu PKI menegaskan bahwa Dewan Jenderal dan dewan revolusi
benar adanya sebagaimana disiarkan Letkol Untung, sementara kubu NU
menganggap bahwa itu merupakan rekayasa sehingga terjadi perdebatan antar dua
kelompok tersebut hingga akhirnya pertemuan tersebut diakhiri dengan kesepakatan
agar masalah tersebut tidak meluas hingga aksi kekerasan di wilayah Banyuwangi
sambil menunggu instruksi dari pemerintah pusat (Cribb, 2004 :255).

6
Setelah seruan mayjen Soeharto tersebut di sebarluaskan di Banyuwangi kondisi
masyarakat pada umumnya kurang percaya, namun menjadi yakin paska
pengangkatan mayat para Jenderal dari lubang buaya. Minggu pertama tanggal 11
bulan Oktober 1965, situasi di Cemethuk mulai mencekam. Banyak anggota PKI
atau organisasi underbownya melarikan diri ke Cemethuk untuk meminta
perlindungan, menyusul kebijakan pemerintah menumpas PKI hingga ke akar-
akarnya. Kelompok lain memberangus eksistensi PKI dengan membakar rumah-
rumah penduduk. PKI dan underbownya menutup akses jalan menuju Dusun
Cemethuk dengan meminta sejumlah pemuda rakyat untuk berjaga di pintu/gerbang
masuk.

Tanggal 12 Oktober 1965, orang-orang Pemuda Rakyat (PKI) melakukan


penyekapan terhadap 28 orang PNI dan Pemuda Demokrat yang sedang melakukan
rapat di rumah Pak Djijun (tokoh senior PNI). Lima Pemuda Rakyat ini menuntut
supaya PNI dan Pemuda Demokrat menghentikan seluruh aktivitasnya, dan tidak
boleh pulang. Menurut Djamal, Pemuda Rakyat mengantongi clurit masing-masing
sambil mengancam akan membunuh bila orang-orang yang disekap melanggar
kehendak tersebut.
Tanggal 18 Oktober 1965, jam 08.00 WIB tersiar kabar bahwa akan ada
penyerangan terhadap orang-orang PKI di Karangasem, yang dilakukan oleh warga
dari Muncar sebanyak 3 truk. Kabar ini membuat situasi kian mencekam. Orang-
orang PKI kebingungan.
Sebenarnya aksi dari Muncar ini sempat dihentikan oleh Puter Pra Srono, TNI AD,
dan meminta warga Muncar ini kembali. Namun larangan ini diabaikan dan jumlah
pengikutnya kian bertambah. Sampai di Kecamatan Cluring, gerombolan ini juga
dihentikan oleh Kompi PKD (Hansip), namun juga diabaikan.
Pemuda anshor yang ingin menyerang anggota PKI yang berada di daerah
Gambiran, karena ketidak mampuannya dalam menyerang desa tersebut pemuda
anshor pulang dan memilh lewat jalur Yosomulyo, tetapi ketika perjalanan pulang

7
itu mobilnya dihadang oleh kayu dimuka dan juga belakang mobil sebab itu mobil
tidak bisa dijalankan lalu dibakar dan terjadilah pertikaian ditempat itu. Karena
kekalahan kaum anshor mereka lari dengan berpencar kebeberapa wilayah. Mereka
yang lari menuju Jajag dan Ringin Rejo berhasil menyelamatkan diri, sedangkan
mereka yang lari menuju ke wilayah Dukuh Cemethuk dengan melalui Dukuh
Jeding. Niat mereka sebenarnya ingin meminta pertolongan dari orang-orang PNI
cemethuk dibantai oleh PKI Sekitar pukul 11.30 WIB suara kentongan berhenti.
Mayat-mayat berserakan di tepi jalan, sungai-sungai, di tegalan, dan sawah. Semua
mayat dikumpulkan di Pos I di rumah Mbah Mangun Lehar.

Sekitar pukul 16.00 WIB, Pimpinan PKI, Yateno memerintahkan pada anggotanya
untuk membuat lubang untuk mengubur mayat-mayat tersebutdan dimasukkan ke
lubang yang disebut Lubang buaya, lubang ini sebelumnya memang sudah dibuat
untuk mengubur korban korban pembantaian PKI, karena saat itu masih jarang
sekali warga yang bermukim didaerah yang kini menjadi lubang buaya
tersebut.Terdapat tiga lubang yang dibuat, satu lubang besar dan dua lubang kecil,
lubang besar berisi 42 mayat sedangkan dua lubang kecil masing masing berisi 10
mayat. Setelah 3 hari sesudah kejadian warga mencium bau busuk yang menyengat
didaerah tersebut, setelah dilakukan pencarian darimana asal bau tersebut tidaklain
adalah berasal dari lubang mayat mayat pembantaian itu, lalu mayat mayat tersebut
dipindahkan oleh aparat ke Banyuwangi untuk dimakamkan secara layak. Aparat
menindaklanjuti hal ini dengan memburu anggota PKI secara perlahan lahan. Tokoh
PKI yang sangat terkenal di desa Cemethuk tersebut adalah Mangunlihar.

8
2.3 Bukti
Setelah pembantaian tersebut, warga yang mempunyai tanah yang dijadikan
lubang buaya tersebut me-waqafkan tanahnya kepada pemerintah. Dan untuk
mengingat kejadian tersebut pemerintah membangun monumen pancasila dan
lubang buaya di daerah dan juga lubang ituu pun dibangun menjadi kotak kotak
persegi panjang dan berubin putih.
Lubang I : Panjang 3-4 meter dan lebar 2-3 meter
Lubang II : Panjang 3-4 meter dan lebar 2-3 meter
Lubang III : Panjang 4-5 meter dan lebar 3-4 meter
Lalu mayat-mayat tadi dimasukkan ke tiga lubang tesebut dengan jumlah, Lubang I
berisi 11 mayat, lubang II berisi 11 mayat, dan lubang III berisi 40 mayat. Sehingga
total jumlah korban tewas mencapai 62 orang.
Beberapa nama korban yang tewas adalah :
1. Matradji = Pemuda Anshor
2. Bindhoro = Anggota NU
3. Modjo = Fraksi NU
4. Iksan = Muhammadiyah
5. Durahman = Fraksi NU

2.4 Dampak Sosial


Peristiwa yang terjadi pada tanggal 18 oktober 1965 menyebabkan dukuh
cemethuk mengalami kelumpuhan, masyarakat masih belum siap menerima keadaan
yang terjadi cemethuk menjadi dukuh yang sepi hanya tinggal beberapa keluarga
dan lebih banyak janda-janda anggota dan simpatisan PKI. Perlahan kehidupan
masyarakat cemethuk kembali sebagaimana biasa, masyarakat cemethuk berusaha
melupakan tragedi yang pernah menimpa tempat tinggal mereka. Selain karena
ketakutan terhadap pemerintahan ordse baru yang mendasarkan sikap anti komunis
juga karena tragedi tersebut dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan.

9
Masyarakat dukuh cemethuk kembali lagi menata kehidupan mereka, persawahan
yang sebelumnya terabaikan mulai diolah kembali, meskipun sebagian masyarakat
cemethuk lebih banyak perempuan dan anak-anak tidak menyurutkan semangat
mereka untuk mengolah tanah. Pertanian dukuh cemethuk kembali di tingkatkan,
sebagian yang lain memilih usaha-usaha industri pengolahan tahu, sementara yang
lain memilih untuk berternak dan berdagang. Di bidang keagamaan, masyarakat
cemethuk yang mayoritas penduduknya beragama islam paska peristiwa tersebut
justru banyak yang memilih untuk beragama kristen sehingga presentase penganut
agama kristen setara dengan agama islam hanya sebagian kecil yang beragama
Hindu.
Masyarakat cemethuk cenderung menutup diri dari lingkungan luar, hal ini
dikarenakan stigma yang diberikan oleh masyarakat di luar dukuh cemethuk yang
mendiskreditkan masyarakat cemethuk. Masyarakat cemethuk selalu dipandang
miring oleh masyarakat diluar dukuh cemthuk hal ini dikarenakan kebencian
masyarakat islam terhadap peristiwa yang terjadi pada 18 Oktober 1965, masyarakat
cemethuk selalui dipandang sebagai “anak PKI”, “wong Abangan”, dan
“Bromocorah”. Peristiwa tersebut memberi dampak sosial yang cukup besar bagi
masyarakat cemethuk, banyak anak-anak kecil yang harus yang harus diurus oleh
sanak saudara juga tetangga mereka karena ayah dan ibunya tidak ada lagi, beberapa
orang PKI yang selamat dari penangkapan banyak yang mengungsi, melarikan diri
ke luar dukuh cemethuk dan merubah nama agar tidak diketahui termasuk oleh
keluarga mereka sendiri. Para istri yang suaminya menjadi korban penangkapan
dipaksa untuk menjadi tulang punggung, mereka juga sering mendapata cibiran dan
harus ditinggalkan atau diasingkan sanak saudaranya karena takut dituding terlibat
dalam G30S dan dikategorikan sebagai golongan yang “tidak bersih lingkungan”.
Simpatisan PKI dan anak anggota PKI yang tersisa di dukuh cemethuk diharuskan
untuk melakukan wajip lapor seminggu sekali di kelurahan, selain itu mereka juga
diharuskan membayar pungutan bulanan seperti batu bata 1000 buah, pasir 1 dam
truk, atau bahkan batu fondasi. Seperti yang dialami dinoyo yang terkena

10
“Screaning” dari kelurahan yang harus menyiapkan 1000 buah batu bata di halaman,
sedangkan mishadi yang merupakan anak seorang anggota PKI harus menyiapkan 1
dump truk pasir didepan halaman setiap akhir bulan. Kewajiban screaning tersebut
juga berlaku bagi eks-tapol yang kembali ke dukuh cemethuk seperti yang dialami
oleh Soegito, Soegito bersama 16 temannya harus mendekam selama 2 tahun di
lembaga pemasyarakatan Banyuwangi, setelah kembali ke kampung halaman
mereka harus mendapatkan sangsi sosial dari masyarakat sekitar, oleh karena itu
banyak dari eks-tapol yang dibebaskan memilih tidak kembali ke kampung halaman
mereka.
Tragedi cemethuk tahun 1965 menyisakan kepedihan yang cukup mendalam bagi
para korban, banyak keluarga yang harus porak poranda karena sebagian dari
anggota keluarganya masuk dalam ketegori orang yang “tidak bersih lingkungan”.
Berapa banyak janda istri korban yang harus membanting tulang untuk menghidupi
keluarga yang ditinggal, mereka harus kehilangan suami dan bapak mereka tanpa
mengetahui kesalahan apa yang telah diperbuat. Anak-anak PKI dan simpatisannya
harus mengalami hambatan-hambatan dalam memperoleh kehidupan yang lebih
baik. Kehidupan mereka dibatasi. Saat masih terdapat PKI didaerah cemethuk
banyak terjadi perampokan, pencurian, yang merugikan bagi masyarakat sekitar.
Masyarakat juga takut akan keluar rumah karena was was jika ada oknum PKI yang
dapat membantai mereka, tetapi aparat secara perlahan meringkus PKI hingga PKI
benar benar tidak ada lagi didaerah tersebut kehidupan masyarakat kembali aman
dan tentram.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Komunisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis diseluruh dunia. Dalam
komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Karena
keinginan Pemuda Anshor yang ingin memberantas PKI yang meresahkan warga. Pada
18 Oktober 1965 pasukan Muncar yang sudah terbiasa melakukan pemberantasan PKI
melakukan penyerangan terhadap basis-basis massa PKI di wilayah Cluring, namun
karena kesiapan massa PKI pasukan Muncar mengalami kekalahan terutama di
karangasem dan cemethuk yang menewaskan 62 pemuda Anshor Muncar. Kegagalan
anshor Muncar untuk menyerang basis massa PKI dibalas oleh TNI-AD dan polisi yang
melakukan penangkapan besar-besaran terhadap masyarakat cemethuk yang ditengarai
terlibat dengan PKI.

Penangkapan, dan pembunuhan yang dilakukan militer dan massa anti-PKI


memunculkan trauma mendalam keluarga korban. Kehidupan sosial politik masyarakat
terhenti karena kejadian tersebut, kehidupan masyarakat cemethuk dipenuhi dengan
kekhawatiran karena para suami, bapak, dan sanak saudara mereka ditangkap dan tidak
diketahui keberadaannya. Ibu-ibu janda korban dan anak-anak yang secara langsung
melihat peristiwa 18 oktober 1965 banyak yang mengalami depresi, betapa konflik
politik di tingkat pusat mampu menimbulkan banjir darah di dukuh yang selama ini
mereka kenal aman, dan sejahtera. Berapa korban yang harus tercerai-berai karena
peristiwa tersebut. peristiwa tersebut membekas di ingatan keluarga korban dan
menjadika trauma berkepanjangan.

3.2 Saran

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Biodata Informan : Nama : Bpk. Supini

Usia : 58 tahun

Pekerjaan : Kuli bangunan

Kutipan

“Apa hikmah yg bisa diambil dari peristiwa G30SPKI dicemetuk?” (pewawancara).


“jangan pernah membeda bedakan agama yang nantinya akan berujung pada
perpecahan, bahkan pertumpahan darah. Karena setiap manusia diharapkan bahu
membahu untuk membangun persatuan.”(Bpk. Supini)

13

Anda mungkin juga menyukai