menyisakan makanan, hal ini seakan sudah menjadi pemandangan umum di kantin-kantin
kampus. Betapa miris hati ini melihatnya. Bila amal ibadah yang ringan saja sudah ditinggalkan
dan disepelekan, bagaimana dengan amalan yang besar pahalanya?? Atau mungkinkah karena
hal itu hanya merupakan suatu ibadah yang kecil kemudian kita meninggalkannya dengan alasan
kecilnya pahala yang akan kita peroleh? Tidak begitu Saudariku … Yang sedikit apabila rutin
dilakukan, maka akan menjadi banyak! Allah Ta’ala berfirman,
)٣٣( يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ ِطيعُوا هَّللا َ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل َوال تُ ْب ِطلُوا أَ ْع َمالَ ُك ْم
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul, dan
janganlah kamu merusakkan segala amalmu.” (QS. Muhammad 33)
Cukuplah firman Allah Ta’ala tersebut menjadi nasihat bagi kita semua untuk selalu berusaha
menaati perintah Allah dan perintah Rasul-Nya, baik perintah wajib maupun anjuran (sunnah)
maupun atau perintah untuk menjauhi perkara yang dilarang. Saat ini banyak kita jumpai seorang
muslim yang menyepelekan amalan sunnah, namun berlebihan pada perkara yang mubah. Maka
perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
ِ د ْال ِعقَاQُ َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهُوا َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َش ِدي
ب
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-
Nya.” (QS. Al-Hayr : 7)
Dan di antara perintah dan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah adab ketika
makan dan minum.
صالِحًا إِنِّي بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم ِ يَا أَيُّهَا الرُّ ُس ُل ُكلُوا ِمنَ الطَّيِّبَا
َ ت َوا ْع َملُوا
“Hai para rasul, makanlah yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya
Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu`minun: 51)
Maksudnya yaitu menjilatkan pada orang lain yang tidak merasa jijik dengannya,
misalnya anaknya saat menyuapinya, atau suaminya.
14. Cara duduk untuk makanRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Aku tidak
makan dengan bersandar.” (HR. Bukhari) Maksudnya adalah duduk yang serius untuk
makan. Adapun hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
saat makan duduk dengan menduduki salah satu kaki dan menegakkan kaki yang lain
adalah dhaif (lemah). Yang benar adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk
bersimpuh (seperti duduk sopannya seorang perempuan dalam tradisi Jawa) saat makan.
15. Apabila lalat terjatuh dalam minumanNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila lalat jatuh pada minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia
mencelupkan lalat tersebut kemudian barulah ia buang, sebab di salah satu sayapnya
ada penyakit dan di sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari)
16. Bersyukur kepada Allah Ta’ala setelah makanTerdapat banyak cara bersyukur atas
kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, salah satunya dengan lisan kita selalu
memuji Allah Ta’ala setelah makan (berdoa setelah makan). Salah satu doa setelah
makan yaitu, “alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi ghaira
makfiyyin walaa muwadda’in walaa mustaghnan ‘anhu rabbanaa.”(Segala puji bagi
Allah dengan puja-puji yang banyak dan penuh berkah, meski bukanlah puja-puji yang
memadai dan mencukupi dan meski tidak dibutuhkan oleh Rabb kita.”) (HR. Bukhari)
17. Buruknya makan sambil berdiri dan boleh minum sambil berdiri, tetapi yang lebih utama
sambil duduk.Dari Amir Ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya radhiyallahu ’anhum,
dia berkata, “Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum sambil
berdiri dan sambil duduk.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan shahih)Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang seorang laki-laki minum sambil berdiri. Qatadah radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Kami bertanya kepada Anas, ‘Kalau makan?’ Dia menjawab, ‘Itu lebih buruk
-atau lebih jelek lagi-.’” (HR. Muslim)
18. Minum tiga kali tegukan seraya mengambil nafas di luar gelas.Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam minum sebanyak tiga kali, menyebut nama Allah di awalnya dan
memuji Allah di akhirnya. (HR.Ibnu As-Sunni dalam ‘Amalul Yaumi wallailah
(472))Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minum, beliau bernafas tiga kali.
Beliau bersabda, “Cara seperti itu lebih segar, lebih nikmat dan lebih mengenyangkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Bernafas dalam gelas dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,
“Apabila salah seorang dari kalian minum, janganlah ia bernafas di dalam gelas.”(HR.
Bukhari)
***
Artikel Muslimah.Or.Id
Referensi:
– Do’a dan Wirid, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani, Pustaka At-Tibyan, Solo.
– Kitabul Adab, Fuad bin ‘Abdul ‘aziz Asy-Syalhubi, Daarul Qasim, Riyadh.
– Lebih dari 1000 Amalan Sunnah dalam Sehari Semalam, Khalid Al-Husainan, Pustaka Imam
Asy-Syafi’i.
– Panduan Amal Sehari Semalam, Abu Ihsan al-Atsari, Pustaka Darul ‘Ilmi, Bogor.
– Riyadhus Shalihin jilid 2, Imam An-Nawawi, takhrij Syaikh M.Nashiruddin Al-Albani, Duta
Ilmu, Surabaya.
Sumber: https://muslimah.or.id/5532-adab-makan-dan-minum.html
Membaca Al-Qur’an tentu memiliki adab. Karena yang dibaca adalah kalamullah (firman Allah),
bukan koran, bukan perkataan makhluk. Di bulan Ramadhan apalagi, adab ini mesti
diperhatikan. Karena intensitas berinteraksi dengan Al-Qur’an sangat tinggi di bulan Ramadhan.
Dikarenakan para ulama biasa menyembut Ramadhan dengan bulan Al-Qur’an.
1- Hendaklah yang membaca Al-Qur’an berniat ikhlas, mengharapkan ridha Allah, bukan berniat
ingin cari dunia atau cari pujian.
2- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan mulut yang bersih. Bau mulut tersebut bisa
dibersihkan dengan siwak atau bahan semisalnya.
3- Disunnahkan membaca Al-Qur’an dalam keadaan suci. Namun jika membacanya dalam
keadaan berhadats dibolehkan berdasarkan kesepatakan para ulama.
Catatan: Ini berkaitan dengan masalah membaca, namun untuk menyentuh Al-Qur’an
dipersyaratkan harus suci. Dalil yang mendukung hal ini adalah:
صلى هللا- ِ َع ْن أَبِى بَ ْك ِر ب ِْن ُم َح َّم ِد ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن َح ْز ٍم َع ْن أَبِي ِه َع ْن َج ِّد ِه أَ َّن َرسُو َل هَّللا
َ ْان ِفي ِه الَ يَ َمسُّ ْالقُر
آن إِالَّ طَا ِه ٌر َ ب إِلَى أَ ْه ِل ْاليَ َم ِن ِكتَابًا فَ َك
َ َ َكت-عليه وسلم
Dari Abu Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat untuk penduduk Yaman yang
isinya, “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”. (HR. Daruquthni no.
449. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122).
4- Mengambil tempat yang bersih untuk membaca Al-Qur’an. Oleh karena itu, para ulama sangat
anjurkan membaca Al-Qur’an di masjid. Di samping masjid adalah tempat yang bersih dan
dimuliakan, juga ketika itu dapat meraih fadhilah i’tikaf.
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hendaklah setiap orang yang duduk di masjid berniat
i’tikaf baik untuk waktu yang lama atau hanya sesaat. Bahkan sudah sepatutnya sejak masuk
masjid tersebut sudah berniat untuk i’tikaf. Adab seperti ini sudah sepatutnya diperhatikan dan
disebarkan, apalagi pada anak-anak dan orang awam (yang belum paham). Karena mengamalkan
seperti itu sudah semakin langka.” (At-Tibyan, hlm. 83).
5- Menghadap kiblat ketika membaca Al-Qur’an. Duduk ketika itu dalam keadaan sakinah dan
penuh ketenangan.
6- Memulai membaca Al-Qur’an dengan membaca ta’awudz. Bacaan ta’awudz menurut jumhur
(mayoritas ulama) adalah “a’udzu billahi minasy syaithonir rajiim”. Membaca ta’awudz ini
dihukumi sunnah, bukan wajib.
7- Membaca “bismillahir rahmanir rahim” di setiap awal surat selain surat Bara’ah (surat At-
Taubah).
Catatan: Memulai pertengahan surat cukup dengan ta’awudz tanpa bismillahir rahmanir rahim.
8- Hendaknya ketika membaca Al-Qur’an dalam keadaan khusyu’ dan berusaha untuk
mentadabbur (merenungkan) setiap ayat yang dibaca.
ب أَ ْقفَالُهَا
ٍ ُون ْالقُرْ آَ َن أَ ْم َعلَى قُلُو
َ أَفَاَل يَتَ َدبَّر
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS.
Muhammad: 24)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan, “Hadits yang membicarakan tentang perintah untuk
tadabbur banyak sekali. Perkataan ulama salaf pun amat banyak tentang anjuran tersebut. Ada
cerita bahwa sekelompok ulama teladan (ulama salaf) yang hanya membaca satu ayat yang terus
diulang-ulang dan direnungkan di waktu malam hingga datang Shubuh. Bahkan ada yang
membaca Al-Qur’an karena saking mentadabburinya hingga pingsan. Lebih dari itu, ada di
antara ulama yang sampai meninggal dunia ketika mentadabburi Al-Qur’an.” (At-Tibyan, hlm.
86)
Diceritakan oleh Imam Nawawi, dari Bahz bin Hakim, bahwasanya Zararah bin Aufa, seorang
ulama terkemuka di kalangan tabi’in, ia pernah menjadi imam untuk mereka ketika shalat
Shubuh. Zararah membaca surat hingga sampai pada ayat,
Adab membaca Al-Qur’an diringkas dari penjelasan Imam Nawawi dalam At-Tibyan, hlm. 80-
87. Semoga manfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1426 H. Abu Zakariya Yahya bin
Syaraf An-Nawawi. Tahqiq: Abu ‘Abdillah Ahmad bin Ibrahim Abul ‘Ainain. Penerbit
Maktabah Ibnu ‘Abbas
Sumber : https://rumaysho.com/11261-8-adab-membaca-al-quran.html
Musyawarah adalah suatu kelaziman fitrah manusia dan termasuk tuntuntan stabilitas suatu
masyarakat. Musyawarah bukanlah tujuan pada asalnya, tetapi disyariatkan dalam agama Islam
untuk mewujudkan keadilan diantara manusia, dan juga untuk memilih perkara yang paling baik
bagi mereka, sebagai perwujudan tujuan-tujuan syari’at dan hukum-hukumnya, oleh karena itu
musyawarah adalah salah satu cabang dari cabang-cabang syari’at agama, mengikuti serta
tunduk pada dasar-dasar syari’at agama.
Dan sungguh kami telah melihat bahwa terdapat dalam dua ayat yang mulia berkenaan dengan
masalah musyawarah.
Kedua : Dalam Mensifati Berbagai Kondisi Kaum Muslimin Secara Umum Yang Senantiasa
Bermusyawarah
“Artinya : Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura
: 38]
Bahwasanya syariat Islam telah datang dengan menetapkan asas musyawarah ini. Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak membutuhkan pendapat-pendapat manusia, karena Allah-lah yang mengajarkan kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukum-hukum agama dan dunia, beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengajarkan kepada umatnya hukum-hukum agama dan dunia (yang dibutuhkan)
mereka tanpa penambahan maupun pengurangan sedikitpun, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah manusia yang dipercaya dan terpercaya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala
berkeinginan agar NabiNya menetapkan asas musyawarah ini kepada umatnya, dimulai dari diri
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu, agar umat beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mempelajarinya dan tidak bersikap sombong terhadap konsep musyawarah tersebut.
Allah berfirman.
“Artinya : Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” [Ali-Imran : 158]
Yang demikian itu, agar kaum muslimin bermusyawarah dalam berbagai urusan kehidupan
mereka selama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya
(semoga Allah meridhai mereka semuanya).
Dan kaum muslimin mengamalkan mabda (ajaran) ini adalah lebih utama. Oleh karena itu
turunlah ayat yang mensifati kaum muslimin tentang musyawarah. Allah berfirman.
“Artinya : Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” [Asy-Syuura
: 38]
Artinya : “Kaum muslimin tidak memutuskan masalah dengan pendapat mereka sendiri hingga
mereka bermusyawarah serta bersepakat dalam satu masalah. Yang demikian itu karena kuatnya
perhatian dan kewaspadaan mereka, jujurnya persaudaraan mereka dalam keimanan, dan saling
cinta mencintai diantara mereka karena Allah”
Jika demikian halnya, maka musyawarah adalah salah satu dari dasar-dasar Islam dalam
bermasyarakat dan berpolitik.
Dan wajib bagi pemimpin kaum muslimin untuk mengambil pembantu-pembantu yang shalih
untuk menjadi penasehatnya (yang diminta pendapat mereka dengan bermusyawarah) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, dan tiadalah Allah menjadikan seorang
khalifah (penguasa) melainkan ia memiliki dua pembantu, yang pertama pembantu yang
memerintahkan dan menganjurkan berbuat kebaikan, dan yang lain pembantu yang
memerintahkan dan menganjurkan berbuat kejahatan, maka yang terjaga adalah orang-orang
yang dijaga Allah Ta’ala” [Hadits Riwayat Bukhari 71981]
Jika tersebar kebaikan pada diri para pemimpin, tersebar kedermawanan pada diri orang-orang
kaya, lalu musyawarah ditegakkan dalam kehidupan, maka manusia akan berbahagia di dunia
dan akhirat, dan mendapatkan kehidupan serta kesenangan, dan sebaliknya jika tidak demikian
maka yang akan terjadi adalah kebalikannya.
“Artinya : Jika pemimpin-pemimpin kalian adalah orang yang terbaik diantara kalian, dan orang-
orang kaya kalian adalah orang yang berlapang dada dari kalian, dan perkara kalian adalah
diselesaikan dengan musyawarah diantara kalian, maka punggung bumi akan lebih baik bagi
kalian dari perutnya, dan jika pemimpin-pemimpin kalian adalah orang-orang yang jahat diantara
kalian, dan orang-orang kayanya adalah orang-orang yang bakhil dari kalian, dan perkara kalian
kembali kepada perempuan-perempuan kalian maka perut bumi lebih baik dari permukaannya”
[Tirmidzi 2266, hadits ini didhaifkan/dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat dhaif Tirmidzi]
Dalil-Dalil Asy-Syuura.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah merealisasikan musyawarah ini sebagai
pengajaran bagi umatnya, dan sebagai peletakkan dasar pada mabda (pondasi) ini, serta sebagai
pengantar terhadap sunnahnya bermusyawarah diantara umat.
Dan telah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan sahabat-sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak perkara,
kami sebutkan diantaranya.
[1]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari
peperangan Badar) untuk bepergian menjumpai rombongan orang musyrik yang membawa
barang-barang dagangan.
[2]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau juga untuk
menentukan posisi mereka (dalam perang Badar) hingga Al-Mundzir bin Amru memberi isyarat
untuk maju di depan kaum.
[3]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari
peperangan Uhud) apakah kaum musimin menanti musuh di Madinah atau keluar dari kota
Madinah untuk menyongsong musuh, maka sebagian besar sahabat berpendapat untuk
menyongsong musuh di luar kota Madinah, maka keluarlah mereka menyongsong musuh di luar
Madinah.
[4]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari
peperangan Khondak) untuk berdamai dengan pasukan musyrikin yang bergabung menyerang
kaum muslimin dengan memberikan sepertiga buah-buahan di kota Madinah pada tahun itu juga,
maka dua orang sahabat Nabi yaitu Sa’ad bin Muadz dan Sa’ad bin Ubadah menolak hal ini,
maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak melakukan perdamaian itu.
[5]. Musyawarahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat beliau (pada hari
perjanjian Hudaibiyyah) untuk menawan anak-anak kaum musyrikin, maka berkatalah Abu
Bakar As-Shiddiq kepada beliau : “Sesungguhnya kita tidak datang untuk memerangi
seorangpun, dan kita datang hanya untuk ber-umrah”. Maka Nabi pun menerima pendapat itu.
[6]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar dan Umar bin Khatthab :
“Seandainya kalian bersepakat dalam suatu urusan niscaya aku tidak akan menyelesihi kalian
berdua”.
[7]. Abu Hurairah berkata : “Tidaklah aku melihat seseorang yang lebih banyak bermusyawarah
dengan sahabat-sahabatnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan musyawarah pun juga terjadi diantara sahabat-sahabat Nabi, diantaranya perkataan Umar
bin Khatthab Radhiyallahu ‘anhu : “Al-Khilafah adalah musyawarah diantara enam sahabat nabi
yang mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan meridhai mereka’.
Ahli Syuura [Para Ahli Yang Diminta Pendapat Mereka Untuk Bermusyawarah]
Ahli syuura adalah “Ahlul halli wal aqdi” (mereka yang ahli dalam menyelesaikan
permasalahan) atau orang-orang yang dipilih oleh Waliyul Amri (Kepala Negara) untuk
bermusyawarah, ini secara umum, dan diantara mereka adalah.
[1]. Pemuka masyarakat yang mempunyai kedudukan, yang mana mereka dipercaya dalam
keilmuan mereka dan pendapat-pendapat mereka, dari kelompok yang terbesar, dan dari
kalangan ahli ilmu dan ahli politik syar’iyyah (politik yang sesuai dengna syari’at agama Islam),
ahli dalam pemerintahan dan harta, yang mana mereka berkhidmat untuk masyarakat, mereka
yang mempunyai pandangan yang tajam dan firasat yang benar.
[2]. Para ulama ahli fikih terkemuka yang memiliki kemampuan untuk menetapkan hukum-
hukum pada suatu keadaan dan sesuai dengan dasar-dasar umum ajaran Islam, dan mereka
berdiri diatas ruh syariat Islamdan jalan-jalannya.
Orang-orang yang terpercaya, ahli Al-Qur’an (ahli tentang kandungan dan maknanya) mereka
itulah ulama. Bahkan Bukhari : “Adalah pemimpin-pemimpin sesudah Nabi, mereka
bermusyawarah dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan ahli ilmu dalam perkara-
perkara yang mubah (diperbolehkan) agar mereka dapat mengambil hal yang paling mudah,
maka jika Al-Qur’an dan Sunnah sudah jelas, mereka tidak akan melampaui kepada hal lainnya,
karena mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ahli Al-Qur’an (dari kalangan) para
sahabat Nabi adalah orang-orang yang dijadikan ahli musyawarah oleh Umar bin Khatthab, baik
mereka itu sudah lanjut usia maupun masih muda. Dan adalah Umar bin Khatthab orang yang
selalu berhenti untuk mentaati (hukum-hukum) Al-Qur’an.
Merupakan sesuatu yang sudah diketahui bersama, bahwa para penasehat (ahli musyawarah)
akan dihisab (dimintai pertanggungan jawab) didepan Allah dan manusia, dalam pendapat-
pendapat yang dikemukakan mereka. Oleh karena itu orang-orang yang amanahlah (berlaku
amanat) yang dimintai pendapat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Penasehat (orang yang dimintai pendapat) adalah orang yang amanah (dipercaya)”
[Hadits shahih riwayat Tirmidzi no. 2823, lihat shahih sunan Tirmidzi karya syaikh Al-Albani]
Artinya : dipercaya dalam menetapkan hal-hal yang baik bagi manusia, dan orang-orang yang
menjaga terhadap agama mereka”
[3]. Ahli hukum agama yang terkemuka, yang memiliki pengetahuan dalam kehidupan dan
manusia, dan mereka mengarahkan untuk menyelesaikan problematika umat dengan hikmah dan
teliti dalam naungan Al-Qur’an dan Sunnah, dan fikih para Salafush Shalih.
[4]. Para spesialis dalam pengetahuan tentang manusia, negeri-negeri, yang mana mereka
membaca sejarah kuno dan kontemporer, dan mereka mengetahui manusia dengan perbedaan
tingkatan-tingkatan dan agama mereka, dan mereka mengerti tentang negara-negara dan tabiat-
tabiatnya.
[Diterjemahkan dan diringkas dari majalah Asy-Syuura edisi 35 Rabiul Awwal 1423H]
Sumber: https://almanhaj.or.id/1974-musyawarah-adalah-peraturan-allah.html