Anda di halaman 1dari 5

AKU, PEMBUNUH MUNIR

Oleh Seno Gumira Ajidarma

Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir.


Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya
melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu.
Dikau tidak akan pernah tahu siapa diriku. Bukan karena aku berseragam, sama sekali bukan. Ini bukanlah
soal berseragam atau tidak berseragam, karena membunuh atau tidak membunuh Munir tidak ada
hubungannya dengan seragam.

Dirimu dan siapapun di dunia ini memang tidak perlu tahu siapa diriku sebenarnya. Bukan, bukan karena
aku seorang pengecut, tidak ada pengecut yang selalu menantang bahaya seperti aku. Namun, taklebih dan
takkurang, karena siapakah adanya diriku ini, ya, sekali lagi si-a-pa, memang sama sekali tidak penting.
Sudah kubilang tadi: aku adalah anjing kurap, jika bukan, aku tidak akan membunuh Munir. Jangan,
jangan keburu marah. Aku toh mengatakan di-ri-ku yang membunuh Munir, bukan Tuhan yang
membunuhnya melalui diriku, bukan. Jangan marah. Aku tidak mengatakan sudah kodrat Tuhan bahwa
Munir harus mati melalui diriku. Tidak. Kalau caranya begitu aku tidak usah dicari-cari dong! Aku juga
tidak membela diri dengan mengatakan diriku gelap mata, kerasukan setan, atau segala macam. Tidak.
Sekali lagi tidak. Aku membunuhnya dengan penuh kesadaran.

Jadi tentang siapa yang membunuh Munir tidaklah perlu dipertanyakan lagi. Gamblang, tanpa keraguan,
Munir mati diracun, bahkan angka-angkanya tertera dengan tepat: 83% Arsenik 3 dan 17% Arsenik 5.
Konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per liter itu menyebabkan blokade reaksi detoksifikasi, ya,
lantas terjadi penekanan ekskresi arsenik melalui ginjal.

Ya, Munir mati dibunuh, artinya ada pembunuhnya. Ada. Sekali lagi ada. Munir tidak mati tanpa ada yang
membunuhnya. Adapun pembunuhnya, artinya orang yang memikirkan, merencanakan, dan akhirnya
menggalang usaha agar kematian Munir menjadi nyata, adalah aku dan hanya diriku. Begitu penting
adanya aku, sehingga tanpa kelahiranku tidak ada kematian Munir.

Oalah, Munir, Munir, maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang
penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok malah hilang
sendiri.
Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang,
kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi
terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Memang beberapa di antaranya salah culik. Dasar amatir! Tapi ya
tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang
membuatku memutuskan agar sisanya hilang selama-lamanya.

Ya, aku membunuh Munir, artinya akulah yang merencanakan agar riwayat hidup manusia yang dimulai
dari tanggal 8 Desember 1965 di Malang itu bisa segera ditamatkan dan ternyata berhasil pada hari Selasa
7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40.000 kaki di atas tanah Rumania.

Memang, aku tidak dengan tepat akan mengetahui bahwa berdasarkan analisis rasio konsentrasi Arsenik 3
dan 5, ataupun berdasarkan simulasi farmakologi kinetik konsentrasi arsen di dalam darah, arsenik itu akan
perlu waktu 8 sampai 9 jam untuk membunuh Munir. Tidak akan dan tidak perlu—yang penting dia mati
dan tidak bekoar lagi.

Tentu, ketika merencanakan agar orang kecil berkumis lebat yang sangat menjengkelkan ini koit, aku tidak
merencanakannya sampai serinci itu. Jika aku tahu orang-orang Belanda busuk itu akan memergoki adanya
arsen atawa racun dalam lambung, darah, dan air kencingnya , mungkin aku akan merencanakan cara
pembunuhan yang lain. Tembak jarak jauh barangkali, tabrak dengan mobil, atau santet – ya, kami,
kelompok yang melaksanakan proyek ”peng-kondisi-an” Munir, pernah membicarakan ilmu Harry Potter
ini, bahkan menghubungi sejumlah tukang santet, tetapi rencana yang satu ini tidak pernah terlaksana.
Dasar tukang kibul semua!

rembulan merah hutan terbakar


sungai berasap terpanggang bumi
siapa dia menghirup mawar
darahnya menetes bersama sunyi

Ya, kuakui dengan terus terang akulah yang membunuh Munir, tetapi tidaklah penting aku ini siapa.
Seperti semua orang aku juga dilahirkan seorang ibu. Aku tidak lahir dari pohon, tidak juga dari batu. Aku
mohon percayalah, tidak sekalipun ibuku, yang sama mulianya dengan ibu manapun di dunia ini, akan
pernah mengatakan bahwa membunuh itu baik. Ibuku mencintai ayahku, ibuku melahirkan aku, menyusui
diriku, merawat, mengasuh, dan dengan penuh kasih sayang membesarkan diriku, dan setelah besar aku
membunuh Munir.
Mungkinkah ini terjadi pada manusia? Mungkin iya, mungkin mestinya tidak, tetapi janganlah bertanya
kepadaku, karena seperti telah kukatakan, aku adalah anjing kurap dan hanyalah karena aku anjing kurap
maka aku membunuh Munir.

Jangan, janganlah kepada diriku dikau bertanya tentang pembunuhan Munir sebagai pembunuhan politik,
karena bahkan dalam hati kecilku pun kuingkari kejadiannya sebagai pembunuhan politik. Dengan atau
tanpa politik aku memang sudah lama empet terhadap Munir. Memang betul, sudah pasti itu bukan
pembunuhan kriminal dan hanya pembunuhan politik yang membenarkan pembunuhan orang kecil yang
tidak sudi digertak itu, tetapi apakah dengan begitu lantas pembunuhan itu menjadi sahih?

Tentu, tentu, tentu, tentu saja tidak. Munir memang menjengkelkan dan mengkhawatirkan semua orang,
tetapi politik adalah sebuah permainan dan permainan itu ada seninya. Jika ingin membungkam dan
menghentikan Munir, seni itulah yang dimainkan dan itulah yang semestinya dilakukan dalam politik.
Ngomong di sana dan ngomong di sini, ngomong begini dan ngomong begitu. Jujur maupun licik, lugu
maupun pura-pura lugu, tipu daya macam apapun sahih, selama tidak melanggar hukum dan dikau bisa
berpikir sendiri apakah pembunuhan dengan cara seperti itu melanggar atau tidak melanggar hukum.

Betapapun, di antara semua orang yang akan kebakaran jenggot itu tidak ada seorang pun yang berpikir,
merencanakan, menggalang, dan melaksanakan pembunuhan seperti diriku. Hanya satu orang yang
melakukan semua itu, yakni aku dan tiada lain selain aku—tentu dengan sejumlah pembantu yang goblok.
Maafkan bahasaku ini. Memang goblok. Aku pun mesti ngibul supaya kelompokku ini bisa bekerja. Ya,
kelompok orang-orang bego yang tidak bisa membedakan antara terpaksa membunuh demi bela diri, bela
negara, dan pembunuhan politik. Buat mereka cukuplah diberi alasan bahwa Munir harus mati sebelum
pemilihan presiden, dan sungguh mati itu hanyalah omong kosong sahaja. Munir mati atau tidak mati tidak
akan mempengaruhi jalannya pemilihan presiden sama sekali.

Kukira, ya kukira, mereka terbawa angan-angan yang dibawa film detektif, bahwa kerja intelijen itu kok
rasanya kurang afdol tanpa menumpahkan darah, dan tentu saja itu salah. Mereka yang menjalani kerja
intelijen tahu benar, lain film lain pula kenyataan—aku memang bukan kritikus film, tetapi terbukti orang-
orang bodoh ini bersemangat membuatnya jadi nyata, seperti dalam film detektif, dengan penuh seluk-
beluk meracuni Munir. Terima kasih Hollywood!

Dikau tentu terkejut dengan pengakuan saksi kepada polisi yang telah dicabut itu, pengakuan yang
disampaikan tanpa paksaan sama sekali. Ya, dicabut, tapi sudah terlanjur dikatakan, yang meskipun
dengan segala kekonyolan sahih saja menurut hukum, sebagai pengakuan yang telah dituliskan takpernah
dapat ditarik kembali. Sudah tertulis. Dengan aksara dan bahasa yang telah disepakati bangsa. Tercetak,
diperbanyak, dan beredar. Mengendap selamanya dalam catatan sejarah.

Ya, jika dikau cukup berbudaya, dikau akan merasakan sesuatu yang kurang sepantasnya ketika
mengetahui betapa racun itu sudah diujikan kepada seekor kucing! Kalimatnya tertulis dengan jelas:
”Dikasih ke ikan asin, dimakan kucing, kucingnya mati!” Dilanjutkan sebuah pesan: … racun ini tidak
boleh kena orang lain selain Munir.

Ya, diucapkan seolah-olah merupakan perbuatan yang baik.

Ya, memang, betul, tentu saja, takbisa lain, bahwa banyak yang senang, bahkan sungguh-sungguh bahagia,
tanpa pernah merasa perlu berterus terang, dengan kematian Munir. Itulah mereka yang ikut teruntungkan,
karena kepentingannya yang terselamatkan. Kepentingan apa? Entahlah, tapi sudah pasti berbau busuk,
dan mereka tahu bahwa Munir telah mengendusnya. Dasar maling. Ya, maling, yang pekerjaannya
mengendap-endap dan mencuri tanpa pernah dipergoki orang. Sekali kepergok, bukannya merasa bersalah,
malah menyalahkan orang yang memergokinya. Dasar logika aneh! Namun dari semua keajaiban itu, tidak
ada seorang pun yang berpikir seperti aku, bahwa karena aku anjing kurap, maka aku membunuh Munir.

rembulan menghitam di langit malam


lelawa terjatuh tiada pegangan
dingin angin menebarkan dendam
bisikan maut menjelma kutukan

Dikau masih bertanya-tanya siapakah kiranya aku, yang tanpa kunyana meskipun tak akan dikenal tetap
saja terkutuk dalam sejarah, karena dalam kenyataannya Munir terpuja sebagai pahlawan. Hmmm. Bukan,
sama sekali bukan karena aku takut ditangkap dan dieksekusi seperti Ceausescu, dikeroyok beramai-ramai
seperti Gaddafi, atau digantung dengan kepala di bawah dan menjadi tontonan seperti Mussolini. Sama
sekali bukan. Jika tadi kukatakan betapa seperti dirimu pun aku punya seorang ibu, dan karena itu dapat
diandaikan setidak-tidaknya pernah mengenal apa itu kasih sayang, ya, kasih sayang terhadap kucing,
kambing (meski tega menyembelihnya), monyet, lutung, siamang, orangutan maupun orang biasa, dapat
kukatakan diriku pun mempunyai keluarga, anak-istri, yang dengan sangat menyesal harus kusampaikan
takmengenal dan tak akan pernah mengenal siapa diriku sebenarnya.

Begitulah, apa boleh buat, istriku terlanjur mengenalku sebagai suami yang meskipun barangkali tidak
terlalu baik barangkali juga tidak terlalu buruk. Bersikap baik kepada mertua, menghormati segenap
keluarga besarnya, bahkan melakukan sembah-sungkem kepada para sesepuh setiap hari Lebaran ketika
mereka masih hidup. Anak-anak takbisa tidak juga hanya akan mengenalku sebagai ayah yang baik, meski
takharus terbaik, karena terus terang diriku ini tidak terlalu berbakat menunjukkan kasih sayang. Hmmm.
Betapapun, percayalah, aku tidak akan bisa membunuh bayi. Apakah itu berarti aku sebenarnya
mempunyai hati yang cukup baik? Mungkin. Kenapa tidak? Tidak seperti perempuan-perempuan yang
takpunya hati itu, aku tidak akan membuang bayi ke dalam tong sampah.

Yah, jelek-jelek aku masih punya sedikit hati nurani. Aku memilih untuk meracuni Munir sebenarnya
bukanlah karena aku ini orang yang kejam. Meracuni adalah satu dari tiga pilihan, yakni menaruh bom
dalam mobil, menyantet, dan meracuni itu sendiri.

Untuk yang pertama, ahli bomnya terlalu banyak meminta jaminan, hehe, enak bener ya, sudah
meledakkan mobil orang (ya, waktu itu Munir baru saja membeli mobil bekas, dasar kismin) masih minta
perlindungan; yang, kedua, sudah kubilang tukang-tukang santetnya kebanyakan alasan, katanya Munir
dilindungi keris segala; yang ketiga, menggunakan racun, memang paling mungkin dijalankan.

Teror bom yang manapun pelakunya langsung tertangkap, santet manapun juga sering terlacak kembali
(setidaknya begitulah dalam dongeng) oleh dukun lain yang lebih sakti, sedangkan racun ini, terbukti,
meski sudah jelas Munir diracuni, belum jelas racun itu datang melalui jus jeruk, mie goreng, atau
minuman dari Coffee Bean. Tidak berbau, tidak berasa, kelarutannya cukup besar, bila dicampur makanan
atau minuman tidak akan menghilangkan rasa atau mengubah warna—kecuali bau bawang putih kalau dia
nanti muntah dan ke WC, ketika arsenik bercampur protein. Bawang putih? Nah! Itu mah bau orang
kampung kalau masuk angin. Hehehehe. Lumayan canggih bukan?
Tentu hanya diriku yang tahu bagaimana semua itu akan dan telah berlangsung. Memang ada juga yang
berlangsung di luar perhitungan. Ya, ya, ya, sama sekali di luar perhitungan. (Lagi-lagi amatir!). Sehingga
terjadilah kegemparan yang berlanjut dengan drama pengadilan. Drama, ya, drama dalam dua pengertian:
dapat disebut drama karena memenuhi persyaratan dramatik dalam seni pertunjukan; dan bisa disebut
drama karena penuh dengan kepura-puraan, bersandiwara dalam kehidupan sebenarnya.
Tidak percaya? Ikutilah kutipan percakapan jaksa dengan saksi yang sudah beredar luas ini:
”Pernahkah Saudara bekerja di (sensor oleh pengarang) ?”
”Lupa saya.” (pengunjung tertawa).

”Baik, saya akan membacakan BAP Saudara. Penyidik bertanya, ’Apakah Saudara mengenal Munir? Bila
iya kapan dan di mana?’ Jawaban Saudara, ’Saya kenal dengan Munir tahun 1996 waktu saya sering
mengikuti diskusi di kantor KontraS membahas dwifungsi ABRI dan rezim Orde Baru.’ Betul seperti itu?”
”Betul.”
”Kemudian, ’Sejauh mana yang Anda tahu tentang rencana pembunuhan terhadap Munir?’ Jawaban
Saudara, ’Saya mengetahui rencana pembunuhan itu karena saya pernah disuruh melakukan pembunuhan
terhadap Munir.’ Betul?”
”Betul.”
”Kemudian Anda juga mengatakan bahwa yang menyuruh Anda untuk melakukan pembunuhan terhadap
Munir adalah Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir. Betul?”
”Betul.”
”Anda juga mengatakan bahwa Bapak Sukab alias Pak Lik alias Rambut Geni alias Pak Pandir adalah agen
muda (sensor oleh pengarang) dengan golongan IIIb pada Direktorat 007 Deputi II. Betul?”
Doi diam sejenak, lalu menjawab, ”Tidak tahu, saya lupa, Pak.”
”Lupa? Oke, sekarang pertanyaan nomor 9: ’Darimana Saudara tahu Pak Sukab adalah anggota (sensor
oleh pengarang)? Saya mengetahui Pak Sukab agen (sensor oleh pengarang) dari ruang kerjanya di gedung
X Direktorat 007 Lantai 2. Di mobil Pak Sukab terdapat stiker (sensor oleh pengarang). Dia juga memiliki
kartu tanda anggota (sensor oleh pengarang).’ Betul?”
”Lupa saya, Pak.”

Nah, aku tidak terlalu keliru bukan? Bahwa percakapan semacam itu merupakan sandiwara yang sungguh-
sungguh nyata? Tentulah aku terlibat dalam penyutradaraan sandiwara semacam ini, tetapi janganlah
terlalu cepat menebak dan menduga siapakah aku, karena meskipun memang akulah sebenarnya sumber
segala sebab kematian Munir, siapakah diriku ini sama sekali tidak penting. Dikau tidak akan pernah dan
tidak perlu mengenal diriku, tetapi tempatku di dalam sejarah sudah tertunjukkan dengan jelas. Memang,
apa boleh buat, bukan di tempat Munir.

rembulan menjadi arang berhamburan


langit kosong tergelar menghapus bintang
ada tikus celingak-celinguk dalam selokan
seruling dangdut pengemis bergoyang

Aku adalah anjing kurap, karena itu aku membunuh Munir.


Namun jika kusebut makhluk Tuhan yang disebut anjing, itu bukanlah aku. Dengan segala hormat, anjing
yang paling kurapan di dunia ini pun tidak akan pernah berpikir untuk membunuh Munir.
Ya, diriku dilahirkan oleh manusia. Kukenali cerlang matahari, halus pipi bayi, harum melati, dan pesona
kecerdasan para cendekiawan, tetapi akulah yang membunuh Munir.
Apakah aku harus minta maaf, karena telah mempermalukan manusia di hadapan segenap anjing kurap di
muka bumi? Hmm.
Selama aku tidak mampu mengungkapkan siapa diriku, dan mengakui kesalahanku, berarti aku sungguh-
sungguh tidak tahu.
Itulah aku!

Melbourne, 12 September 2013. 17:44.


Aku, Pembunuh Munir
Ilustrasi Karya: Jitet
Terbit di Harian Kompas pada 29 September 2013

Anda mungkin juga menyukai