Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN

CEDERA KEPALA

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS DENGAN CEDERA
KEPALA

I. KONSEP DASAR CEDERA KEPALA


A. DEFINISI / PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya
trauma (benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu
jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan
akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada
kompartemen yang kaku (Price, SA & Wilson, LM. 2012).
Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah trauma/ cedera yang terjadi
pada bagian kepala (kulit kepala, tulang ataupun otak) yang disebabkan karena
benturan mekanik baik secara langsung ataupun tidak langsung, tidak bersifat
degenerative ataupun kongenital yang dapat menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif dan psikososial yang dapat bersifat sementara
ataupun permanen.

B. EPIDEMIOLOGI/ INSIDEN KASUS


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia
produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas
yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum
benar benar rujukan yang terlambat. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala
setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80%
dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala
sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi. Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi
data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk
penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar
10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-
10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal. Insiden cedera kepala
nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus
pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak,
peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari
total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera
kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya
karena kecelakaan bermotor. Dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor) (Roslina, Jumiati. 2017).

C. ETIOLOGI/ PENYEBAB
1. Beberapa Faktor yang dapat menyebabkan cidera kepala adalah :
a) Cidera setempat (benda tajam)
Misalnya pisau, peluru atau berasal dari serpihan atau pecahan dari fraktur
tengkorak. Trauma benda tajam yang masuk kedalam tubuh merupakan
trauma yang dapat menyebabkan cidera setempat atau kerusakan terjadi
terbatas dimana benda tersebut merobek otak.
b) Cidera Difus (benda tumpul)
Misalnya terkena pukulan atau benturan. Trauma oleh benda tumpul dapat
menyebabkan/menimbulkan kerusakan menyeluruh (difuse) karena kekuatan
benturan. Terjadi penyerapan kekuatan oleh lapisan pelindung seperti :
rambut, kulit, kepala, tengkorak. Pada trauma berat sisa energi diteruskan ke
otak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan pada
jaringan otak sehingga dipandang lebih berat.

2. Berat ringannya masalah yg timbul akibat trauma bergantung pada beberapa


faktor yaitu:
a) Lokasi benturan
b) Adanya penyerta seperti : fraktur, hemoragik
c) Kekuatan benturan
d) Efek dari akselerasi (benda bergerak membentur kepala diam) dan deseleras
(kepala bergerak membentur benda yang diam)
e) Ada tidaknya rotasi saat benturan.

3. Dapat pula dibagi menjadi :


a) Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung ataupun tak langsung (akselerasi/deselerasi
otak).
b) Trauma sekunder
Merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.

4. Secara umum, penyebab cedera kepala diantaranya:


a) Kecelakaan lalu lintas
b) Perkelahian
c) Jatuh
d) Cedera olahraga
e) Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
f) Trauma benda tumpul
g) Kecelakaan kerja
h) Kecelakaan rumah tangga (Netiari, 2015).
D. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi
gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi
terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur
permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan
pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan
tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam
otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak.
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan
cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak (Price, SA & Wilson, LM. 2012).
Benda tajam, benda tumpul Kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olahraga, tertembak

Langsung/tak langsung

Energy/kekuatan diteruskan ke otak

Akselerasi-Deselerasi

Memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak

Coup
Cedera Kepala Contrecoup

Menyebabkan cedera kepala jaringan setempat (kulit, tulang, otak)


maupun menyeluruh

Intrakranial
Ekstrakranial Skull Injury

Brain Injury
Scalp Injury Luka Terbuka
Segmen-segmen tulang
merusak jaringan otak
Rusaknya sawar darah otak
Perdarahan karena kulit Kontak dengan lingkungan luar
(Blood, brain, barrier) atau
kepala yang vaskuler atau benda asing
pembuluh darah pecah

Aliran darah ke otak Patogen masuk


menurun Vasodilatasi & edema otak

Resiko Infeksi
Hipoksia TIK ↑

Resiko Syok Nyeri Kepala


Aliran darah ↓

Muntah proyektil Nyeri Akut


Iskemia
Refleks neurologis
terganggu Batuk

↑PCO2 Hipoksia Jaringan


PH ↓
Respon pupil melambat (Gangguan menelan)
air liur ↑
Resiko Perfusi Serebral
Disfungsi
Tidak Efektif
Penurunan kesadaran neuromuscular
Dipsnea (Ketidakmampua
n system saraf &
otot bekerja
Penurunan Kapasitas sebagaimana
Bersihan jalan nafas
Adaptif Intrakranial mestinya)
tidak efektif

Gangguan Pertukaran Gas


E. KLASIFIKASI
a. Berdasarkan Mekanisme
 Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah
(terjatuh, terpukul)
 Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.

b. Berdasarkan Tingkat Keparahan


Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :

 Reaksi membuka mata (E)


Reaksi membuka mata Nilai

Membuka mata spontan 4

Buka mata dengan rangsangan suara 3

Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

 Reaksi berbicara
Reaksi Verbal Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1


 Reaksi Gerakan lengan / tungkai
Reaksi Motorik Nilai

Mengikuti perintah 6

Melokalisir rangsangan nyeri 5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan


menjadi:

a. Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah).
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma
b. Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang).
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB): bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)Kehilangan
kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio
serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

c. Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala tertutup atau terbuka
(penetrasi, luka tembus), antara lain :
1. Cidera kepala terbuka , kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk
ke dalam jaringan otak dan melukai :
a) Merobek durameter
b) Saraf otak
c) Jaringan otak
d) Battle sign
e) Rhinorrhoe
f) Orthorrhoe
g) Gejala fraktur basis
h) Brill hematom.
2. Cidera kepala tertutup
a. Komosio
1) Cidera kepala ringan
2) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
3) Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10 – 20 menit
4) Tanpa kerusakan otak permanen
5) Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
6) Disorientasi sementara
7) Tidak ada gejala sisa
8) MRS kurang 48 jam kontrol 24 jam pertama, observasi tanda-tanda vital
9) Tidak ada terapi khusus
10) Istirahat mutlak setelah keluhan hilang coba mobiliasi brtahap, duduk
berdiri pulang
11) Setelah pulang kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.
b. Kontusio
1) Ada memar otak
2) Perdarahan kecil lokal/difusi gangguan lokal perdarahan.
Gejala :
1) Gangguan kesadaran lebih lama
2) Kelainan neurologik positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsi
3) Gejala TIK meningkat.
c. Hematom epidural
1) Perdarahan antara tulang tengkorak dan durameter
2) Lokasi terering temporal dan frontal
3) Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
4) Gejala : manifestasinya adanya desak ruang
5) Penurunan kesadaran ringan saat kejadian periode Lucid (beberapa menit
– beberapa jam) penurunan kesadaran hebat koma, serebrasi, dekortisasi,
pupil dan isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positif.
d. Hematom subdural
1) Perdarahan antara durameter dan archnoid
2) Biasanya pecah vena akut, subakut, kronis
Akut :
 Gejala 24 – 48 jam
 Sering brhubungan dengan cidera otak dan medulla oblongata
 TIK meningkat
 Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.
Sub akut
 Berkembang 7 – 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala TIK
meningkat kesadaran menurun.
Kronis :
 Ringan, 2 minggu 3-4 bulan
 Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas
 Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfgia.

Gambar 2: Hematoma Subdural


e. Hematom intrakranial
1) Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih
2) Selalu diikuti oleh kontosio
3) Penyebab: Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi –
deselerasi mendadak (Herdman, T. Heather. 2012).
Gambar 3: Cedera Kepala Tertutup

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
2. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
3. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
4. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
5. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
6. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi
pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak
ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
7. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
8. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
9. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna,
adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif,
gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
10. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
11. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
12. Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
13. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
14. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan
penciuman.
15. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
16. Trauma baru atau trauma karena kecelakaan
17. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran
mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau edema
intestisium.
18. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
19. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
timbul dengan segera atau secara lambat.
20. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma ini
mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit kepala,
kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
21. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan sakit
kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran, dan
peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi. (Brunner & Suddarth.
2014).

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1) Pemeriksaan laboratorium
a. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan
sub arakhnoid.
b. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan mental.
2) Radiology
a. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI : sama dengan CT Scan
c. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
d. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
e. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
i. Myelogram :Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari
spinal aracknoid jika dicurigai.
j. Thorax X ray :Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
3) Fungsi lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.
4) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial
5) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
6) Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan
ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat
pernafasan (medulla oblongata) (Netiari, 2015).

H. PEMERIKSAAN FISIK
Observasi dan pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur

2. TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS

3. Body of system

a. Pernafasan ( B1 : Breathing )
- Hidung : Kebersihan
- Dada : Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernafasan, ronchi
- Di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama pernafasan, nafas dangkal.
 Inspeksi : Inspirasi dan ekspirasi pernafasan, frekuensi, irama, gerakan cuping
hidung, terdengar suara nafas tambahan bentuk dada, batuk
 Palpasi : Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba sama antara
kanan dan kiri dinding dada
 Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada batas
paru dan hepar.
 Auskultasi : Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru, suara
ronchi dan weezing

b. Kardiovaskuler ( B2 : Bleeding )
 Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus cordis 1
cm lateral medial ( 5 ) Pulsasi jantung tampak..

 Palpasi : Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin, berkeringat

 Perkusi : Suara pekak

 Auskultasi : Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis, oedema

c. Persyarafan ( B3 : Brain ) Kesadaran, GCS


 Kepala : Bentuk ovale, wajah tampak mioring ke sisi kanan

 Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor, gerakan
bola mata mampu mengikuti perintah.

 Mulut : Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan lendir, bibir


tampak kering, terdapat afasia.

 Leher : Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada leher, tidak
tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat kaku kuduk.

d. Perkemihan-eliminasi urine ( B4 : Bledder )


 Inspeksi : Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,
pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan keganasan.

 Palpasi : Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.


 Perkusi : Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

e. Pencernaan-eliminasi alvi ( B5 : Bowel )


 Inspeksi : Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal tidak ada
kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada, kembung kadang-kadang,
terdapat diare, buang air besar perhari.

 Palpasi : Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada nyeri
tekan.

 Perkusi : Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak pada daerah
hepar.

 Auskultasi : Peristaltik lebih cepat.

 Abdomen : Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik ususnormal.

 Rektum : Rectal to see

f. Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
 Kemapuan pergerakan sendi : Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop
foot, kelemahan otot pada ekstrimitas atas dan bawah.

 Kulit : Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral kulit
(Bickley, Lynn S. 2008).

I. PROGNOSIS
Pemulihan fungsi otak tergantung kepada beratnya cedera yang terjadi, umur anak,
lamanya penurunan kesadaran dan bagian otak yang terkena. 50% dari anak yang
mengalami penurunan kesadaran selama lebih dari 24 jam, akan mengalami komplikasi
jangka panjang berupa kelainan fisik, kecerdasan dan emosi. Kematian akibat cedera
kepala berat lebih sering ditemukan pada bayi. Anak-anak yang bertahan hidup seringkali
harus menjalani rehabilitasi kecerdasan dan emosi. Masalah yang biasa timbul selama
masa pemulihan adalah hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum
terjadinya cedera (amnesia retrograd), perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi,
gangguan tidur dan penurunan tingkat kecerdasan (Netiari. 2015).
J. PENATALAKSANAAN MEDIK
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
d. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi.

Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan


operasi trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitive (seperti
adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma) dan kondisi lain pada
kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu
pendarahan yang terjadi diantara tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa
(SDH) atau pendarahan yang terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan
araknoidea. Pelaksanaan operasi trepanasi ini diindikasikan pada pasien :

1. Penurunan kesadaran tiba-tiba terutama riwayat cedera kepala akibat


berbagai faktor
2. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
3. Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana
CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan. Perawatan pasca bedah yang penting
pada pasien post trepanasi adalah memonitor kondisi umum dan neurologis
pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan
pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-
8 minggu kemudian.

Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran
CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Terapi konservatif meliputi bedrest total, pemberian obat-obatan, observasi
tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran). Prioritas perawatan adalah maksimalkan
perfusi / fungsi otak, mencegah komplikasi, pengaturan fungsi secara optimal /
mengembalikan ke fungsi normal, mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga,
pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan
rehabilitasi (Roslina, Jumiati. 2017).

K. KOMPLIKASI
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Seizure
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsi.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini
memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran (Netiari, 2015).
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA
KEPALA
A. PENGKAJIAN
a. Data subjektif :
1) Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,jenis
kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat,
dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah
pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan
(jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan pertama
setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan terhadap
penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien menderita
penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit tersebut menjadi
penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum cedera?
Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah mempersiapkan bila
harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien mengalami
sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?

b. Pengkajian ABCD FGH


1) AIRWAY
- Cek jalan napas paten atau tidak
- Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
- Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
2) BREATHING
- Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
- Gerakan dinding dada simetris atau tidak
- Irama napas cepat, dangkal atau normal
- Pola napas teratur atau tidak
- Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
- Ada sesak napas atau tidak (RR)
- Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan

3) CIRCULATION
- Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
- Tekanan darah
- Sianosis, CRT
- Akral hangat atau dingin, Suhu
- Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
- Turgor kulit
- Diaphoresis
- Riwayat kehilangan cairan berlebihan

4) DISABILITY
- Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
- GCS : EVM
- Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
- Ada tidaknya refleks cahaya
- Refleks fisiologis dan patologis
- Kekuatan otot

5) EXPOSURE
- Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
- Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman

6) FIVE INTERVENTION
- Monitoring jantung (sinus bradikardi, sinus takikardi)
- Saturasi oksigen
- Ada tidaknya indikasi pemasangan kateter urine, NGT
- Pemeriksaan laboratorium

7) GIVE COMFORT
- Ada tidaknya nyeri
- Kaji nyeri dengan
P : Problem
Q : Qualitas/Quantitas
R : Regio
S : Skala
T : Time

8) H 1 SAMPLE
- Keluhan utama
- Mekanisme cedera/trauma
- Tanda gejala

c. Head to Toe (pemeriksaan fisik), hal-hal yang mungkin ditemukan, meliputi:

1) Kulit, Rambut dan Kuku


 Distribusi rambut pasien
 Warna kulit
 Akral dingin bila perfusi perifer buruk
 Terdapat oedema
 Terdapat lesi
 Eritema (+)
 Terdapat sianosis pada kuku pasien.
2) Kepala dan Leher
 Kepala pasien simetris
 Terjadi edema laring
 Deformitas di kepala dan leher akibat luka bakar (+)
 Nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka di kepala dan leher.
3) Mata dan Telinga
 Pupil : Isokor, ukuran: 3mm
 Sklera/ konjungtiva anemis
 Refleks pupil terhadap cahaya +/+
 Lapang pandang dan gerakan bola mata pasien normal.
4) Sistem Pernafasan
 Menihat adanya obstruksi
 Pergerakan dada pasien tidak simetris
 Terdapat edema laring dan edema paru atau tidak
 RR: > 20 x/menit
 Terdapat sianosis atau tidak
 Taktil premitus teraba atau tidak teraba
 Terdapat nyeri tekan di area dada pasien yang mengalami luka.
 Suara napas ronchi, stridor atau tidak.
5) Sistem Kardiovaskular
 Adanya palpitasi dan kelemahan
 Nilai CRT (normal <3 dtk)
 Inspeksi :terjadi sianosis
 Palpasi : kulit teraba dingin, nadi meningkat (>100x/mnt)
 Perkusi : jantung tidak mengalami pembesaran
 Auskultasi : S1S2 tunggal reguler.
6) Payudara Wanita dan Pria
Letak payudara simetris, mengkaji adanya nyeri tekan pada area yang mengalami
luka.

7) Sistem Gastrointestinal
 Ada tidaknya kerusakan pada mukosa mulut
 Perkusi abdomen timpani
 Perkusi hati pekak
 Mengkaji adanya Ddiatensi abdomen dan keluhan mual
 Mengkaji BU (< 5-12 x/mnt).
8) Sistem Urinarius
 Kaji adanya Oliguria
 Mengkaji Konsistensi urin : kuning bening, bau khas.
 Mengkaji Nyeri saat BAK.
9) Sistem Reproduksi Wanita/Pria
 Mengkaji adanya lesi atau kelainan lainnya seperti nyeri.
10) Sistem Saraf
 GCS: mengkaji adanya penurunan kesadaran (< 15)
 Refleks patologis mungkin muncul apabila terjadi cedera pada saraf dan tulang
belakang.
11) Sistem Muskuloskeletal
 Mengkaji kemampuan pergerakan sendi
 Mengkaji deformitas dan edema
 Mengkaji Kekuatan otot
 Mengkaji akral.
12) Sistem Imun
 Mengkaji adanya penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri pada
luka akibat rusaknya kulit sebagai barier pertahanan tubuh dari infeksi
 Terjadi kelemahan
 Sistem Endokrin: mengkaji adanya hiperglikemia.

d. Pola-pola fungsi kesehatan


Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ? Pola kebiasaan dan fungsi
ini meliputi :
a. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan,
pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan
yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan
obat-obatan pertolongan pertama.
b. Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan pasien. Ditanyakan bagaimana kualitas
dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh pasien? Makanan apa saja
yang disukai dan yang tidak? Bagaimana selera makan pasien? Berapa kali
minum, jenis dan jumlahnya per hari?
c. Pola Eliminasi
BAK: ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan
bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah? Serta ditanyakan apakah
disertai nyeri saat anak kencing.
BAB: ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak? Bagaimana
konsistensinya lunak, keras, cair atau berlendir?
d. Pola aktivitas dan latihan
Bagaimanakah aktivitas dan latihan pasien? Apakah sebelum sakit dibantu
atau bisa sendiri? dan setelah sakit bagaimana?
e. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun tidur jam
berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang? Kualitas
tidur bagaimana?
f. Kognitf/persepsi
Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap, taktil, penciuman,
persepsi nyeri, bahasa, memori dan pengambilan keputusan.
g. Persepsi diri/konsep diri
Menggambarkan sikap terhadap diri dan persepsi terhadap kemampuan, harga
diri, gambaran diri dan perasaan terhadap diri sendiri.
h. Peran/hubungan
Menggambarkan keefektifan hubungan dan peran dengan keluarga-lainnya.
i. Seksualitas/reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah dalam seksualitas-reproduksi.
j. Koping/toleransi stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan menggunakan sistem
pendukung.
k. Nilai/kepercayaan
Menggambarkan spiritualitas, nilai, sistem kepercayaan dan tujuan dalam
hidup.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d batuk tidak efektif,
gangguan menelan, air liur yang tertahan, dispnea
2. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d.d PCO2
meningkat, PH arteri menurun, bunyi nafas tambahan, dispnea
3. Resiko perfusi serebral tidak efektif d.d cedera kepala
4. Resiko syok d.d hipoksia
5. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial b.d edema serebral d.d sakit kepala,
respon pupil melambat, tingkat kesadaran menurun, bradikardia
6. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma) d.d nyeri kepala, tampak meringis,
gelisah, frekuensi nadi meningkat
7. Resiko infeksi d.d peningkatan paparan organisme patogen lingkungan.
(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
C. RENCANA TINDAKAN
No Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasional
.
Dx
1. Setelah dilakukan asuhan Latihan batuk efektif - bersihan jalan nafas
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: tidak efektif karena
diharapkan bersihan jalan nafas - Identifikasi ketidakmampuan
pasien dapat teratasi dengan kemampuan batuk batuk efektif sehingga
kriteria hasil : perlu pemantauan
- Batuk efektif cukup meningkat Nursing treatment: kemampuan batuk
- dispnea menurun - Atur posisi semi pasien
- wheezing menurun fowler atau fowler - posisi fowler/ semi
fowler meringankan
Edukasi: sesak nafas sehingga
- Jelaskan tujuan dan mempermudah batuk
prosedur batuk efektif efektif
- anjurkan tarik nafas - Edukasi sangat
dalam melalui hidung penting untuk
selama 4 detik, mengetahui
ditahan selama 2 cara/prosedur dari
detik, kemudian batuk efektif
keluarkan dari mulut - ketidakefektifan batuk
dengan bibir mencucu dapat menyebabkan
(dibulatkan) selama 8 sesak nafas sehingga
detik perlu edukasi cara
merangsang batuk
Kolaborasi: efektif yang baik
- kolaborasi pemberian - mukolitik/ekspektoran
mukolitik atau membantu untuk
ekspektoran, jika mengencerkan mucus
perlu (dahak) yang kental
sehingga mudah
dikeluarkan
2. Setelah dilakukan asuhan Pemantauan respirasi - Dengan mengkaji
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: kualitas frekuensi dan
diharapkan gangguan pertukaran - Monitor frekuensi, kedalaman pernafasan,
gas pasien dapat teratasi dengan irama, kedalaman, dan kita dapat mengetahui
kriteria hasil : upaya napas sejauh mana perubahan
- Dispnea menurun - Monitor pola napas kondisi pasien
- Bunyi napas tambahan (seperti bradipnea, - bradipnea, takipnea,
menurun takipnea, hiperventilasi, ataksik
- PCO2 membaik hiperventilasi, ataksik) suatu kondisi yang
- PH arteri normal (ph 7) - Auskultasi bunyi dapat memperburuk
napas gangguang pertukaran
gas maka dari itu
Nursing Treatment: perlunya di pantau
- Atur interval - gangguan pertukaran
pemantauan respirasi gas membuat pola
sesuai kondisi pasien nafas tidak stabil
sehingga perlu
Edukasi: pengaturan interval
- Jelaskan tujuan dan respirasi sesuai kondisi
prosedur pemantauan pasien
- menjelaskan tujuan dan
Kolaborasi: prosedur pemantauan
- Kolaborasi pemberian sehingga pihak pasien,
obat dengan dokter keluarga lebih
memahami
- Pemberian pengobatan
dapat menurunkan
beban pernafasan dan
mencegah terjadinya
gangguan pertukaran
gas
3. Setelah dilakukan asuhan Manajemen Peningkatan  TIK merupakan nilai
keperawatan selama .....x24 jam, Tekanan Intrakranial tekanan dalam rongga
diharapkan resiko perfusi serebral Observasi: kepala
pasien dapat teratasi dengan - Monitor CPP (Cerebral  Kejang adalah salah
kriteria hasil : Perfusion Pressure) satu tanda adanya
- Tingkat kesadaran meningkat ketidakefektifan perfusi
- TIK menurun Nursing treatment: cerebral
- Sakit kepala menurun - Cegah terjadinya  Cairan IV Hipotonik
- Gelisah menurun kejang dapat meningkatkan
- Hindari pemberian risiko ketidakefektifan
cairan IV hipotonik perfusi cerebral
- Minimalkan stimulus  Memfasilitasi tubuh
pasien sehingga pasien
dengan menyediakan
merasa nyaman dan
lingkungan yang
tenang
tenang
 Antikonvulsan berguna

Kolaborasi: untuk mengatasi


masalah saraf
- Kolaborasi pemberian
sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu.

4. Setelah dilakukan asuhan Pencegahan syok - syok akan


keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: menyebabkan pasen
diharapkan resiko syokpasien - monitor status mengalami penurunan
dapat teratasi dengan kriteria kardiopulmonal nadi dan tingkat
hasil : (frekuensi dan kesadaran maka dari
- kekuatan nadi meningkat kekuatan nadi, itu dilakukan
- tingkat kesadaran meningkat frekuensi nafas, TD, memonitor
- akral dingin menurun MAP) kardiopulmonal
- pucat menurun - penurunan tingkat
Nursing treatment: kesadaran pada syok
- berikan oksigen untuk menyebabkan
mempertahankan hipoksemia sehingga
saturasi >94 perlu diberikan
oksigen untuk
Edukasi: mempertahankan
- jelaskan saturasi normal
penyebab/faktor - Menjelasakan
resiko syok penyebab terjadinya
resiko syok
Kolaborasi: membantu pasien
- Kolaborasi pemberian mencegah terjadinya
IV, jika perlu resiko syok
- Berkolaborasi dengan
tenaga medis lainnya
dapat mencegah
terjadinya syok
5. Setelah dilakukan asuhan Pemantauan Tekanan - Pada pasien cedera
keperawatan selama .....x24 jam, Intrakranial kepala perlu
diharapkan penurunan kapasitas Observasi: dilakukan tindakan
adaptif intrakranial pasien dapat - Identifikasi penyebab identifikasi penyebab
teratasi dengan kriteria hasil : peningkatan TIK peningkatan TIK guna
- Keluhan sakit kepala menurun - Monitor peningkatan meminimalisir
- Respon pupil membaik TD terjadinya komplikasi
- Kesadaran meningkat - Monitor penurunan lebih lanjut
- Bradikardia membaik. tingkat kesadaran - Sampel drainase
cairan serebrospinal
Nursing treatment: guna mengetahui
- Ambil sampel volume cairan
drainase cairan serebrospinal
serebrospinal - Mempertahankan
- Pertahankan posisi posisi kepala dan
kepala dan leher leher netral supaya
netral tidak terjadi cedera
tambahan seperti
Edukasi: spinal
- jelaskan tujuan dan - Menjelaskan tujuan
prosedur pemantauan dan prosedur kepada
keluarga guna
Kolaborasi: mempercepat proses
Kolaborasi pemberian kesembuhan.
obat jika perlu.
6. Setelah dilakukan asuhan Menejemen Nyeri - nyeri akut
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: menyebabkan gelisah
diharapkan nyeri akut pasien dapat - Identifikasi lokasi, sehingga perlu
teratasi dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi, dilakukan identiikasi
- Keluhan nyeri menjadi frekuensi, kualitas, lokasi, karakteristik,
menurun intensitas nyeri intensits nyeri
- Meringis dan kegelisahan - Identifikasi respons - Pasien dengan
pasien menjadi menurun nyeri non verbal. masalah nyeri akut
- Frekuensi nadi membaik (100- perlu dilakukannya
160x/menit). Nursing Treatment: observasi adnya
- Berikan teknik petunjuk nonverbal
nonfarmakologis bagi pasien yang tidak
untuk mengurangi rasa dapat berkomuniaksi
nyeri (mis. TENS, dengan efektif
hipnosis, akupresur, - nyeri sangat
terapi musik, mengganggu dan
biofeedback, terapi menghambat aktivitas
pijat, aromaterapi, sehingga perlu
teknik imajinasi diimbangi dengan
terbimbing, kompres teknik
hangat/dingin, terapi nonfarmakologis
bermain) - Dengan
- Fasilitasi istirahat dan mengidentifikasi dan
tidur. menghindari pemicu
dapat meminimalisir
Edukasi: terjadinya nyeri
- Jelaskan penyebab, berlebih
periode, dan pemicu - dengan teknik
nyeri nonfarmakologis bisa
- Ajarkan teknik sedikit lebih
nonfarmakologis membantu
untuk mengurangi rasa mengimbangi terapi
nyeri. dari farmakologis
- Pasien dengan
Kolaborasi: masalah nyeri akut
- Kolaborasi pemberian perlu adanya
analgetik, jika perlu. kolaborasi dengan
dokter
7. Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi - Dengan monitor tanda
keperawatan selama .....x24 jam, Observasi: dan gejala infeksi
diharapkan resiko infeksi pasien - Monitor tanda dan dapat mencegah
dapat teratasi dengan kriteria gejala infeksi terjadinya infeksi
hasil : - Mencuci tangan
- kemerahan cukup menurun Nursing treatment: dengan tepat
- nyeri cukup menurun (skala 0- - Cuci tangan sebelum merupakan hal yang
3) dan sesudah kontak sangat penting
- bengkak cukup menurun dengan likungan dilakukan
pasien - Teknik aseptic
- Pertahankan teknik merupakan teknik
aseptic pada pasien yang dianjurkan
dalam mecegah
Edukasi: terjadinya infeksi
- Jelaskan tanda dan - Dengan menjelaskan
gejala infeksi tanda dan gejala
- Ajarkan cara infeksi mampu
memeriksa kondisi membantu pasien
luka dalam mencegah
terjadinya infeksi
Kolaborasi: - Dengan mengajarkan
- Kolaborasi pemberian cara memeriksa
imunisasi, jika perlu kondisi luka atau luka
oprasi mampu
mencegah terjadinya
infeksi
- Berkolaborasi dengan
tenaga medis lainnya
dapat mencegah
terjadinya infeksi
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018, Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi yang direncanakan.

E. EVALUASI
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien
secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan yang dilakukan dengan
format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi8. volume 2,
Jakarta:EGC
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012 2014.
Jakarta: EGC
Netiari. 2015. LP Cedera Kepala dengan trepanasi. Tersedia pada
https://www.academia.edu/10612648/LPcedera_kepala_dengan_trepanasi.
Diakses pada tanggal 5 Januari 2021 pukul 20.00 wita
Potter & Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Price, SA & Wilson, LM. 2012. Patofisiologis: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi
ke 6. Jakarta: EGC
Roslina, Jumiati. 2017. Trauma Kepala. Tersedia pada
https://www.academia.edu/16726400/BAB_1_TRAUM_KEPALA. Diakses
pada tanggal 5 Januari 2021, jam 20.00 wita.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia (Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai