Anda di halaman 1dari 25

A.

PENDAHULUA
PENDAHULUAN
N
1. Latar
Latar Belaka
Belakang
ng
World
World Health
Health Organi
Organizat
zation
ion (W
(WHO
HO)) memp
memperk
erkira
iraka
kan
n di duni
duniaa setia
setiap
p meni
menitt
 perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan
 persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau kurang
lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan.
Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana
diperk
diperkira
irakan
kan sediki
sedikitny
tnyaa 18.000
18.000 ibu mening
meninggal
gal setiap
setiap tahun,
tahun, karen
karenaa kehami
kehamilan
lan atau
atau
 persalinan. Dari jumlah kematian ibu prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan
eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).
Pre eklampsia adalah timbulnya
timbulnya hipertensi disertai proteinuria
proteinuria dan edema akibat
akibat
kehamilan
kehamilan setelah usia kehamilan
kehamilan 20 minggu
minggu atau segera setelah
setelah persalinan.
persalinan. Kejadian
 pre eklampsia menduduki urutan nomor 2 dengan persentase 24% dari angka kematian
ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk 
melihat
melihat derajat kesehatan perempuan.
perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan
merupakan salah satu
target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5,
meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah
mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI
telah menunjukkan
menunjukkan penurunan
penurunan dari waktu ke waktu,
waktu, namun
namun demikian
demikian upaya
upaya untuk 
untuk 
mewujudkan
mewujudkan target tujuan pembangunan
pembangunan millenium
millenium masih membutuhk
membutuhkan
an komitmen
komitmen
dan usaha keras (Depkes RI, 2010).
Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini
tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun
sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000
kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau
Goal  (MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka
 Millenium Development Goal (MDGs),
103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup
ting
tinggi
gi dari
dari Asia.
Asia. Berd
Berdasa
asark
rkan
an perse
persent
ntase
ase peny
penyeb
ebab
ab kema
kematia
tian
n ibu
ibu melah
melahir
irkan
kan,,
 perdarahan merupakan penyebab terbesar
terbes ar kematian ibu melahirkan
melahirka n denganj persentase
28%,
28%, peny
penyeba
ebab
b kedu
keduaa adal
adalah
ah hipe
hiperte
rtens
nsii saat
saat hami
hamill atau
atau pre
pre eklam
eklamps
psia
ia deng
dengan
an
 persentase 24%, penyebab ketiga dikarenakan infeksi saat melahirkan dan lain-lain
yang meru
merupa
paka
kan
n peny
penyaki
akitt peny
penyert
ertaa saat
saat keham
kehamila
ilan
n maup
maupun
un persa
persali
lina
nan
n deng
dengan
an
 persentase 11%. Penyebab lain adalah komplikasi masa puerperium dengan persentase
8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus
dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3%
(survei SDKI 2007).
Tinggi
Tingginy
nyaa angka
angka kemati
kematian
an ibu akibat
akibat pre eklams
eklamsia
ia dan eklams
eklamsia
ia menunt
menuntut
ut
 peranan tenaga kesehatan dalam mencegah komplikasi dari terjadinya pre eklamsia.
Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat
terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat
dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai
sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam
kondis
kondisii dan partus
partus normal
normal tanpa
tanpa adany
adanyaa kompli
komplikasi
kasi persali
persalinan
nan.. Oleh
Oleh karena
karena itu,
itu,
dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia,
supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan
keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.

2. Tu
Tujjuan
uan
a. Tuju
Tujuan
an Instruksi
Instruksional
onal Umum
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat
mengelola pasien post
pasien post partum dengan pre eklamsia.
b. Tuju
Tujuan
an Instruk
Instruksiona
sionall Khusus
Khusus
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat:
1) Mengetahui konsep post
konsep post partum dengan pre eklamsia.
2) Melakukan pengkajian pada pasien post
pasien post partum dengan pre eklamsia.
3) Menetapkan diagnosa keperawatan pasien post
pasien post partum dengan pre eklamsia.
4) Melakukan intervensi keperawatan pada pasien post
pasien post partum dengan pre eklamsia.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pre Eklamsi Berat (PEB)
1. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan
gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan
edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus
ada yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai
 proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi
terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah
normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem
dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
 pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1
 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum
yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan
darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi
terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
 j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
 polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus.
o. Obesitas.
 p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.
Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam
 proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/
agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan
terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan
menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor 
 pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus
yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer 
akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula
suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,
 paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
 pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
 pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada
hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
 peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
 penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR 
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein
akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa
keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga
dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan
ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang
meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas
dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan
sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah
sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan
mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.

4. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
 badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
 petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu
hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik 
medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam
 penegakkan diagnosa pre eklamsia.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk 
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
 b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm 3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
 b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
 b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa
denyut jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
 jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP ( Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted ) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit
rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan
atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
 b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD ( Hyalin Membran Disease).
7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif 
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-
tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
 pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
 protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif 
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan
sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita
dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2
kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti
valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis
3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini
tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi
 berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan
 janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan
sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia
kehamilan minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular 
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak 
ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat
diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
 berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
 b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc
dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya
dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru
dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV
lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
 partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu
dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian
diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
9. Pengkajian
a. Data Subjektif 
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
 berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre
eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

 b. Data Objektif 


1) Pemeriksaan Fisik 
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
 b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg
atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan
 biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan
atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
 b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,
uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

10. Diagnosa Keperawatan


Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai
 berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
 berat.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
 penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.
g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
11. Rencana Asuhan Keperawatan
Dx Tujuan Intervensi Rasional
Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan  Neurologic monitoring 
ketidakefektifan selama 1 jam diharapkan status 1. Monitor ukuran pupil, bentuk, 1. Klien dengan cedera
 perfusi jaringan neurologi membaik dan ketidakefektifan simetris dan reaktifitas pupil kepala akan
otak berhubungan  perfusi jaringan serebral teratasi dengan 2. Monitor keadaan klien dengan mempengaruhi reaktivitas
dengan pre indikator: GCS  pupil karena pupil diatur 
eklamsia berat.  NOC: Management neurology 3. Monitor TTV oleh syaraf cranialis
Indikator Awal Target 4. Monitor status respirasi: 2. Mengetahui penurunan
Status neurologi: 2 3 ABClevels, pola nafas, kesadaran klien
syaraf sensorik dan kedalaman nafas, RR  3. Memantau kondisi
motorik dbn 5. Monitor reflek muntah hemodinamik klien
Ukuran pupil 4 4 6. Monitor pergerakan otot 4. Mengetahui kondisi
Pulil reaktif 3 4 7. Monitor tremor   pernafasan klien
Pola pergerakan 3 4 8. Monitor reflek babinski 5. Peningkatan TIK 
mata 9. Identifikasi kondisi gawat 6. Memonitor kelemahan
Pola nafas 3 5 darurat pada pasien. 7. Memonitor persyarafan di
TTV dalam batas 3 4 10. Monitor tanda peningkatan  perifer 
normal tekanan intrakranial 8. Reflek babinsky (+)
Pola istirahat dan 3 4 11. Kolaborasi dengan dokter jika menunjukan adanya
tidur  terjadi perubahan kondisi pada  perdarahan otak 
Tidak muntah 5 5 klien 9. Peningkatan TIK dengan
Tidak gelisah 3 4 tanda muntah proyektil,
Keterangan : kejang, penurunan
1= keluhan ekstrim kesadaran
2= keluhan substansial
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan
5= tidak ada keluhan
Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan  NIC: Airway management 
 pertukaran gas 3x24 jam, status respiratori: pertukaran a. Posisikan klien untuk  a. Untuk mempermudah
 berhubungan gas dengan indikator: memaksimalkan potensi  pertukaran gas
dengan ventilasi- 1 . Statu s men tal dalam batas ventilasinya.
 perfusi akibat normal (5)  b. Identifikasi kebutuhan klien akan  b. Untuk memantau kondisi
 penimbunan cairan 2. Dapat melakukan napas dalam insersi jalan nafas baik aktual  jalan nafas klien
 paru : adanya (5) maupun potensial.
edema paru. 3. Tidak terlihat sianosis (5) c. Lakukan terapi fisik dada c. Un tuk mengelu arkan
4. Tidak mengalami somnolen (4) sputum
5. PaO2 dalam rentang normal (4) d. Auskultasi suara nafas, tandai area d. Memantau kondisi
6. pH arteri normal (4)  penurunan atau hilangnya ventilasi  pernafasan klien
7. ventilasi-perfusi dalam kondisi dan adanya bunyi tambahan
seimbang (4) e. Monitor status pernafasan dan e. Memantau kondisi klien
oksigenasi, sesuai kebutuhan

Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Evaluasi adanya nyeri dada 1. Menunjukan jantung
 jantung selama 3x24 jam diharapkan penurunan 2. Catat adanya disritmia jantung dalam kondisi abnormal
 berhubungan curah jantung teratasi dengan indikator: 3. Catat adanya tanda dan gejala 2. Takikardi, bradikardi
dengan perubahan  NOC:  penurunan cardiac putput 3. Tanda dan gejala
 preload dan - Cardiac Pump effectiveness 4. Monitor status pernafasan yang  penurunan cardiac
afterload. - Circulation Status menandakan gagal jantung output : pucat, akral
- Vital Sign Status 5. Monitor balance cairan dingin, udema ekstermitas
- Tissue perfusion: perifer  6. Monitor respon pasien terhadap 4. Gagal jantung kiri
Indikator Awal Target efek pengobatan antiaritmia menyebabkan udema di
TTV dbn 2 3 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue,  paru dan gagal jantung
Dapat mentoleransi 1 3 tekipneu dan ortopneu kanan menyebabkan
aktivitas, tidak ada 8. Anjurkan untuk menurunkan stress udema ekstermitas
kelelahan 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR  5. Mengetahui adanya
Tidak ada edema 1 1 10. Monitor irama jantung kelebihan cairan karena
 paru 11. Monitor frekuensi dan irama klien biasanya udema
Tidak ada asites 5 5  pernapasan 6. Mengetahui respon pasien
Tidak ada udema 2 2 12. Monitor pola pernapasan abnormal terhadap obat
 perifer  13. Monitor suhu, warna, dan 7. Udema paru
Tidak terjadi 5 5 kelembaban kulit menyebabkan dyspnea
 penurunan 14. Monitor sianosis perifer  8. Stres menambah berat
kesadaran 15. Jelaskan pada pasien tujuan dari kerja jantung
Tidak ada distensi 5 5  pemberian oksigen 9. Mengetahui kondisi
Vena jugularis 16. Kelola pemberian obat anti aritmia hemodinamik klien
Warna kulit normal 1 2 dan vasodilator  10.Suara jantung tambahan,
Keterangan : S3, S4
1= keluhan ekstrim 11.Ronchi basah menunjukan
2= keluhan substansial adanya cairan di pulmo
3= keluhan sedang 12.Dyspnea, cepat dan
4= keluhan ringan dangkal
5= tidak ada keluhan 13.Memungkinkan terjadinya
sianosis
14.Kurang 02 menyebabkan
sianosis perifer 
15.Membantu suplai O2 ke
 pasien
16.Obat antiaritmia dan
vasodilatator untuk 
membantu pengelolaan
kontraktilitas jantung

Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor pengeluaran urin, catat 1. Pengeluaran urin mungkin
cairan berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan volume  jumlah dan warna saat dimana sedikit dan pekat karena
dengan gangguan cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: diuresis terjadi.  penurunan perfusi ginjal.
mekanisme 1. Keseimbangan intake dan output Pemantauan urin dengan
regulasi cairan (4). memperhatikan jumlah
2. TTV normal (4). dan warna urin akan
3. BB stabil dan tidak terdapat edema membantu dalam proses
(4).  penentuan diagnosa
4. Menyatakan pemahaman tentang  pasien.
 pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan 2. Pemantauan intake dan
output cairan selama 24 jam. output cairan membantu
dalam proses penentuan
keseimbangan cairan dan
elektrolit pasien.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring 3. Posisi duduk atau tirah
dengan posisi semifowler atau  baring dengan posisi
 posisi yang nyaman bagi pasien semifowler dapat
selama fase akut. meningkatkan filtrasi
ginjal dan menurunkan
 produksi ADH sehingga
meningkatkan diuresis.
4. Monitor TTV terutama TD dan 4. Hipertensi dan
CVP (bila ada).  peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat
menunjukkan kongesti
 paru serta gagal jantung.
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi 5. Pemantauan dan
asupan cairan.  pembatasan cairan akan
menentukan BB ideal,
keluaran urin, dan respon
terhadap terapi.
6. Timbang berat badan setiap hari 6. Berat badan, turgor kulit,
 jika memungkinkan dan amati dan adanya edema
turgor kulit serta adanya edema. mempengaruhi kondisi
cairan dalam tubuh.
7. Kolaborasi pemberian medikasi 7. Diuretik bertujuan untuk 
seperti pemberian diuretik: menurunkan volume
furosemid, spironolacton, dan  plasma dan menurunkan
hidronolacton. retensi cairan dijaringan
sehingga menurunkan
risiko terjadinya edema.

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji aktivitas dan periode istirahat 1. Mengetahui aktivitas dan
 berhubungan selama 3x24 jam, pasien mempunyai  pasien, rencanakan dan jadwalkan  periode istirahat pasien
dengan kelemahan cukup energi untuk beraktivitas  periode istirahat dan tirah baring serta upaya untuk  
umum sehingga toleran terhadap aktivitas, yang cukup dan adekuat. menurunkan keletihan dan
dengan kriteria hasil: kelemahan pasien.
1. TTV normal (4).
2. EKG normal (4). 2. Berikan latihan aktivitas fisik secara
2. Tahapan-tahapan yang
3. Koordinasi otot, tulang, dan  bertahap (ROM, ambulasi dini, cara diberikan membantu
anggota gerak lainnya baik (4).  berpindah, dan pemenuhan  proses aktivitas secara
4. Pasien melaporkan kemampuan kebutuhan dasar).  perlahan dengan
dalam ADL (4). menghemat tenaga namun
tujuan tepat.
3. Bantu pasien dalam memenuhi 3. Mengurangi pemakaian
kebutuhan dasar. enargi sampai kekuatan
 pasien pulih kembali.
4. Lakukan terapi komponen darah 4. Mencegah dan
sesuai resep bila pasien menderita mengurangi anemia berat
anemia berat. yang berakibat pada
kelemahan.
5. Kaji aktivitas dan respon pasien 5. Menjaga kemungkinan
setelah latihan aktivitas (Monitor  adanya respon abnormal
TTV). dari tubuh sebagai akibat
dari latihan.

Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tidakan keperawatan 1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, 1. Menin gkatkan nafsu
nutrisi: kurang dari selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan dan makanan yang disukai pasien. makan pasien dan
kebutuhan tubuh nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria menghindari makanan
 b.d faktor  hasil: yang alergi.
 psikologis dan a. Masukan per oral meningkat (5). 2. Kaji TTV pasien secara rutin, status 2. Monitor KU pas ien,
ketidakmampuan  b. Porsi makan yang disediakan habis mual, muntah, dan bising usus. mengetahui kemampuan
untuk mencerna, (5).  pasien dalam memenuhi
menelan, dan c. Masa dan tonus otot baik (5). kebutuhan nutrisi.
mengabsorpsi d. Tidak terjadi penurunan BB (5). 3. Berikan makanan sesuai diet dan 3. Meminimalkan anoreksia
makanan. e. Mual dan muntah tidak ada (5).  berikan selagi hangat. dan mengurangi iritasi
gaster.
4. Jelaskan pentingnya makanan untuk  4. Pasien termotivasi untuk 
kesembuhan. makan.
5. Anjurkan pasien makan sedikit 5. Meningkatkan
tetapi sering. kenyamanan saat makan.
6. Anjurkan pasien untuk  6. Glukosa dalam
meningkatkan asupan nutrisi yang karbohidrat cukup efektif 
adekuat terutama makanan yang untuk pemenuhan energi,
 banyak mengandung karbohidrat sedangkan lemak sulit
atau glukosa, protein, dan makanan untuk diserap sehingga
 berserat. akan membebani hepar,
 protein baik untuk 
meningkatkan dan
mempercepat kesembuhan
 pasien, makanan berserat
membantu mencegah
terjadinya konstipasi.
7. Meningkatkan proses
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk   penyembuhan
 pemberian diet sesuai indikasi.

Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi keterbatasan fisik  1. Mengetahui penyebab
 berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan tidak  dan kognitif pasien yang dapat  pasien mengalami
dengan diplopia, terjadi cedera, dengan kriteria hasil: meningkatkan risiko cedera. risiko cedera.
dan peningkatan 1. Pasien tidak mengeluh pusing 2. Ajarkan pasien untuk   2. Memberikan
intrakranial: kejang (5). meminimalkan cedera, misalnya  pengetahuan kepada
2. Pasien tidak mengalami cedera ketika ditempat tidur maka  pasien sehinggapasien
(5). gunakan side rail, ketika  bisa terhindar dari
3. Pasien mampu menjelaskan cara mobilitas dari tempat tidur  cedera.
mencegah terjadinya cedera (5) anjurkan untuk dibantu oleh
keluarga atau gunakan tongkat
sebagai pegangan dan jika
 pasien pusing anjurkan untuk 
istirahat terlebih dahulu.
3. Dampingi pasien dalam 3. Mengantisipasi hal-hal
melakukan pemenuhan yang dapat
kebutuhan ADL. menyebabkan
terjadinya cedera.
4. Anjurkan pasien untuk banyak  4. Sayuran hijau dapat
mengkonsumsi makanan yang menambah darah dan
dapat menambah darah seperti mengobati anemia
sayur-sayuran hijau dan diet serta diet rendah
rendah garam untuk   garam dapat
menurunkan tekanan darah, mengurangi
sehingga bisa mengurango kekambuhan penyakit
 pusing. hipertensi.
8. Pathway

Tekanan darah

Meningkat (140/90 mmHg)  Normal

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia Kejang (-) Kejang (+)

Faktor predisposisi PE : PRE EKLAMSIA EKLAMSIA


Primigravida atau primipara mudab (85%),
Grand multigravida, Sosial ekonomi
rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; <
Penurunan aliran darah
20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah
 pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya,
Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola
hidatidosa, Pemuaian uterus yang Prostaglandin plasenta menurun
 berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan
ganda atau polihidramnion (14-20%),
Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan Iskemia uterus
eklamsia (ibu dan saudara perempuan),
Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik,
Hiperplasentosis: mola hidatidosa,
kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi Hiperoksidase lemak & pelepasan
 besar, dan diabetes mellitus, Obesitas, renin uterus
Interval antar kehamilan yang jauh.

Merangsang pengeluaran
Renin+darah  hati Proses endotheliosis
 bahan tropoblastik 

Renin+angiotensinogen
Merangsang pelepasan tromboplastin

Angiotensin I  Angiotensin II
Merangsang pengeluaran Aktivasi/agregasi trombosit
 bahan tromboksan deposisi fibrin

Angiotensin II + tromboksan Vasospasme PD Koagulasi intravaskuler 

Lumen arteriol menyempit Penurunan perfusi darah &


konsumtif koagulatif 

Hanya 1 SDM yg dpt lewat


Penurunan trombosit &
Tek. Perifer meningkat  faktor pembekuan darah
kompensasi oksigen

Gangguan fisiologis
*HIPERTENSI homeostasis

Gangguan Multi Organ Gangguan perfusi darah


Gangguan Multi Organ

Otak Darah Paru Hati Mata

Endotheliosis Penumpukan darah Vasokontriksi PD Spasmus arteriola


Edema serebri
miokard

Peningkatan LAEDP Edema duktus optikus


Peningkatan PD pecah SDM pecah Gangguan kontraktilitas dan retina
tek.intrakranial miokard
Kongesti vena pulmonal
Perdarahan Anemia
hemolitik  Diplopia
Risiko Kejang Payah jantung
Proses perpindahan cairan
Ketidakefektifan
karena perbedaan tekanan
Perfusi Jaringan Kelemahan Ketidakseimb Risiko Cedera
Risiko
Otak  angan suplay Penurunan Curah
Cedera
& kebutuhan Timbul edema (gangguan Jantung
O2 fungsi alveoli (ronchi,
rales, takipnea, PaCO2
menurun
Intoleransi
Aktivitas
Gangguan Pertukaran
Gas
Gangguan Multi Organ

Ginjal Plasenta Ekstremitas GI Tract

Adanya rangsangan Vasospasme Penurunan perfusi plasenta Metabolisme HCL meningkat


angiotensin II pada arteriol pada ginjal anaerob
gland.suprarenal 
Hipoksia/anoksia Peristaltik turun
ATP diproduksi  2 ATP
Penurunan Peningkatan
Peningkatan GFR   permeabilitas Gangguan
reabsorpsi Na  protein  pertumbuhan Pembentukan
Peningkatan Konsti
 plasenta asam laktat
akumulasi gas pasi
Retensi cairan Diuresis >> protein yg
menurun lolos dari  Intra Uterine Growth Cepat lelah &
Kembung
filtrasi  Retardation (IUGR) lemah
*EDEMA glomerulus
Oliguri/anuri
Kelemahan umum Mual & Muntah Nyeri
Risiko Gawat
Kelebihan Volume
*PROTEINURIA Janin
Cairan Gangguan
Intoleransi Ketidakseimba
Eliminasi
Aktivitas ngan nutrisi:
Urin
kurang dari
kebutuhan
tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:


EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.

McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU
Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”.


http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN MATERNITAS

PEB (PRE EKLAMSI BERAT)

DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS

oleh:
FERRA FEBRIANI
G1B212004

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2013

Anda mungkin juga menyukai