Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA


ETNOSENTRISME
Dosen: Tine A. Wulandari, M.I.Kom

Penyusun: Kelompok 5

Moch Arif Septiansyah (41817011)


Silva Nurul Hikmah (41817019)
Septian Hidayat (41817024)
Erik Wirawan (41817221)
Kelas IK-1

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2019
Etnosentrisme |i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................... i
BAB I ETNOSENTRISME ................................................................................................................................ 1
1.1 Pendahuluan ................................................................................................................................. 1
1.2 Pengertian Etnosentrisme ............................................................................................................ 2
1.3 Faktor Penyebab Etnosentrisme ................................................................................................... 5
1.4 Contoh Etnosentrisme .................................................................................................................. 6
1.5 Dampak Etnosentrisme ................................................................................................................. 7
1.6 Cara Menghadapi Etnosentrisme ................................................................................................. 9
BAB II PENUTUP ......................................................................................................................................... 12
2.1 Kesimpulan.................................................................................................................................. 12
2.2 Saran ........................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 13
Etnosentrisme |1

BAB I
ETNOSENTRISME

1.1 Pendahuluan

Bahasan komunikasi dan budaya adalah ruang lingkup yang dimiliki oleh komunikasi
antarbudaya. Dalam arti sempit, komunikasi hanya memiliki unsur sumber, pesan, dan
penerima, sedangkan budaya memiliki unsur komunikasi dan bahasa, pakaian dan penampilan,
makanan dan kebiasaan makannya, waktu dan kesadaran akan waktu. Dapat kita lihat didalam
budaya bahwa unsur komunikasi adalah salah satu komponen penting dalam kebudayaan. Kita
dapat melihat asal seseorang dari cara orang tersebut berkomunikasi, dan bahasa apa yang
digunakan, karena suatu kebudayaan memiliki perbedaan dan ciri khasnya masing-masing.

Perlu kita ketahui bahwa bahasa mempunyai fungsi utama sebagai alat komunikasi
sekaligus pembentuk budaya. Suparno (1993:5) menyatakan bahwa fungsi umum bahasa
adalah sebagai alat komunikasi sosial. Demikian pula pendapat Suwarno (2002:4), bahasa
merupakan alat utama untuk berkomunikasi dalam kehidupan manusia, baik secara individu
maupun kolektif sosial.

Tingkat kesalahpahaman didalam komunikasi antarbudaya sering terjadi dan kadang


tidak bisa dihindari. Hal tersebut disebabkan oleh adanya tekanan pada perbedaan latar
belakang budaya yang sangat kental. Beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam
komunikasi antarbudaya menurut Larry M. Barna (1945: 71-75), diantaranya: (Febriyanti,
Friscila. 2014. Jurnal Hambatan Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Volume 2 No. 3 FISIP
UNMUL)
a. Asumsi tentang persamaan
b. Perbedaan bahasa
c. Kesalahpahaman non-verbal
d. Prasangka dan stereotip (Etnosentrisme)
e. Kecenderungan untuk menilai
f. Kegelisahan yang tinggi
Etnosentrisme |2

Dalam pembahasan hambatan karena adanya prasangka dan stereotip sangat kental
dengan teori etnosentrisme. Dari hasil penelitian yang dilakukan dalam pembuatan jurnal
tersebut bisa disimpulkan bahwa pengaruh etnisitas masih sangat kental, terutama di wilayah
Indonesia. Timbulnya sikap etnosentrisme mempengaruhi seseorang dalam berperilaku.

1.2 Pengertian Etnosentrisme


Etnosentrisme secara etimologis berasal dari bahasa
Yunani yaitu berasal dari kata ethnos yang berarti “negara”.
Sedangkan untuk yang dimaksud dengan kentris yang berarti
“pusat”. Istilah etnosentrisme pertama kali digunakan oleh
Ludwig Gumplowicz (1879), seorang sosiolog Polandia.
Gumplowicz melihat etnosentrisme sebagai fenomena yang mirip,
atau bisa disebut juga sebuah delusi (khayalan) tentang
geosentrisme (kepercayaan bahwa bumi adalah pusat dari alam Ludwig Gumplowicz

semesta) dan antroposentrisme (kepercayaan bahwa manusia adalah pusat bumi), namun
fokus kepada salah satu pemilik kelompok etnis tertentu (negara, masyarakat).

Konsep etnosentris diperluas oleh ilmuwan lain, salah satunya adalah William Graham
Sumner --yang ter-influenced oleh Gumplowicz-- yang tercatat dalam bukunya yang berjudul
Folkways tahun 1906.

“Manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang


cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri
sendiri sehingga menghasilkan hubungan di antara
manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang
menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah
maka perlu adanya folkways (adat istiadat yang secara
lazim dan luas dianut oleh warga masyarakat) yang
bersumber pada pola-pola tertentu.

William Graham Sumner Pola-pola itu merupakan kebiasaan (habits), lama-


Etnosentrisme |3

kelamaan, menjadi adat istiadat (customs), kemudian menjadi norma-norma susila


(mores), akhirnya menjadi hukum (laws). Kerjasama antarindividu dalam
masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama
antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan
kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa ingroups atau we groups yang
berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang bermuara pada sikap
etnosentris”.

Etnosentrisme merupakan "paham" di mana para penganut suatu kebudayaan atau


suatu kelompok suku bangsa merasa lebih superior daripada kelompok lain diluar mereka. Hal
ini dapat membangkitkan sikap "kami" dan "mereka" (Liliweri, Alo. 2003; 138).

Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan


perilaku dalam kultur sendiri sebagai lebih baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada dalam
kultur lain (DeVito, Joseph A., 2011; 533).

Kecenderungan etnosentrisme adalah melihat budaya yang kita miliki sebagai pusat
alam semesta, yakni sebagai realitas sejati yang mempengaruhi semua komunikasi
interkultural, termasuk hubungan antaretnik. Ini dapat dilihat dengan jelas pada definisi
etnosentrisme;

Porter dan Samovar (1997:10) menyatakan sumber utama perbedaan budaya dalam
sikap adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak
sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai
kriteria untuk segala penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat
mereka kepada kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita
cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling
baik, sebagai yang paling bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan kita yang
pertama dan melahirkan kerangka rujukan yang menolak eksistensi kerangka rujukan
yang lain. Pandangan ini adalah posisi mutlak yang menaikan posisi yang lain dari
tempatnya yang layak bagi budaya yang lain.
Etnosentrisme |4

Etnosentrisme adalah penghakiman suatu kelompok masyarakat terhadap kebudayaan


kelompok masyarakat yang lain dengan cara membandingkan atau menggunakan standar
kebudayaannya sendiri. “Is Judging other cultures by comparison with one’s own” (Giddens, Op.
Cit., hlm.39)

Etnosentrisme juga adalah egoisme kultural. Sebuah komunitas menganggap dirinya


paling superior diantara yang lain. Penilaian budaya sendiri yang lebih baik. “Our own groups,
our own country, our own culture as the best, as the most moral” (Porter, 1972 dalam Stewart L.
Tubs dan Sylvia Moss, Human Communication, Random House, New York, 1993, hlm.372). Jadi
semua penilaian berangkat dari ukuran budaya sendiri menyebabkan apa yang terbaik adalah
budaya sendiri sedangkan budaya orang lain lebih rendah, seperti halnya stereotip yang
merupakan penilaian salah kaprah, etnosentrisme dapat disebut sebagai penilaian yang
membabi-buta, “using our own group and our own customs as the standarts for all judgments”
(Samovar dan Porter, 1991). Hal ini membawa konsekuensi dan pengaruh yang luas dalam
tindak komunikasi.

Samovar dkk, berpandangan bahwa entrosentrisme memiliki tiga tingkatan, yaitu


tingkatan positif, negatif, dan sangat negatif (Rini Darmastuti, 2013: 73), berikut beserta
penjelasannya:

a. Pandangan yang positif, merupakan kepercayaan (paling tidak menurut kita sendiri)
bahwa budaya kita lebih baik dari budaya lain;
b. Pandangan yang negatif, seringkali kita melakukan evaluasi secara sebagian. Kita
percaya bahwa budaya kita merupakan pusat dari segalanya dan budaya lain harus
dinilai dan diukur sesuai standar budaya kita;
c. Pandangan yang sangat negatif, merupakan tingkat terakhir etnosentrisme yang
hanya melihat budaya kita yang paling bagus dan paling benar, tetapi juga
menganggap bahwa budaya kita yang paling berkuasa.

Psikolog Roger Brown (1986) mengatakan: “Bukan hanya universalitas etnosentrisme


yang membuat kita berpikir bahwa etnosentrisme sulit dihilangkan, namun karena ia
bersumber pada psikologi manusia, yakni usaha individu untuk memperoleh dan memelihara
Etnosentrisme |5

penghargaan diri. Ini merupakan keinginan yang sangat manusiawi sehingga kita hampir tidak
dapat membayangkan tidak adanya keinginan ini” (hlm. 534).

Dari uraian tersebut, dapatlah kita pahami mengapa Blubaugh dan Pennington (1976)
menyatakan bahwa “Etnosentrisme adalah akar rasisme”. Karena etnosentrisme membuat
kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan
benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri,
adanya. Kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri
disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang
berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai
banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga
sangat mudah terprovokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.

1.3 Faktor Penyebab Etnosentrisme


Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi penyebab etnosentrisme, diantaranya
sebagai berikut:

a. Prasangka Sosial

Prasangka merupakan sikap yang negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar
perbandingan dengan kelompok sendiri. Sikap demikian bisa dikatakan sebagai sikap
yang menghambat efektivitas komunikasi diantara komunikator dengan komunikan
yang misalnya berbeda etniknya.

b. Stereotip

Stereotip adalah suatu keyakinan seseorang terhadap orang lain (karena dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman). Keyakinan itu membuat kita memperkirakan
perbedaan antar kelompok yang mungkin terlalu tinggi ataupun terlalu rendah sebagai
ciri khas seseorang maupun kelompoknya.
Etnosentrisme |6

c. Jarak Sosial

Jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukan tingkat
penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi diantara
mereka. Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok
tertentu berdasarkan tingkat penerimaan tertentu.

d. Pluralitas Bangsa Indonesia

Banyaknya suku, agama, ras dan golongan di Indonesia menyebabkan berbagai


persoalan sosial dan konflik bisa muncul dengan mudah. Setiap suku, agama, ras dan
golongan berusaha mendapatkan kekuasaan dan menguasai yang lain.

e. Budaya Politik

Budaya Politik yang ada pada masyarakat cenderung tradisional dan tidak rasional.
Budaya politik semacam ini sangat subjektif dan penuh ikatan emosional dan ikatan
primordial (pandangan/paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil)
yang cenderung menguasai masyarakat. Masyarakat yang terlibat dalam politik sering
mementingkan kepentingan mereka sendiri mulai dari suku, etnis, agama dan lain
sebagainya.

1.4 Contoh Etnosentrisme


Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam pergaulan, etnosentrisme masih sering
terjadi, baik secara sadar ataupun tidak sadar. Misalnya seperti, melakukan bullying, mengejek
atau menjauhi temannya yang berasal dari Indonesia bagian timur, semisal Papua, yang hanya
karena kulit mereka yang hitam serta rambutnya yang ikal atau keriting.

Fenomena etnosentrisme juga terjadi di kota-kota besar, seperti Yogyakarta. Sebagai


kota multikultur, banyak sekali pendatang dari penjuru nusantara dengan latarbelakang
kebudayaan yang berbeda, masing-masing membawa kepentingan dan nilai dari daerah
masing-masing. Kekhawatiran yang kadang muncul adalah adanya sentiment primordial
(perasaan kesukuan yang berlebihan) dan etnosentris. Misalnya mahasiswa yang berasal dari
Etnosentrisme |7

Medan (suku Batak) akan selalu berkeras pada pendirian dan sikap yang menyebut dirinya
orang yang tegas, berpendirian, dan kasar (kasar dalam arti tegas). Sedangkan Melayu
dikatakan pemalu, relijius, dan merasa lebih bisa diterima di manapun berada. Sedangkan Jawa,
akibat pengaruh orde baru, menganggap dirinya paling maju dari daerah lain. Sehingga ketika
berhubungan dengan orang luar Jawa, maka stigma yang terbentuk adalah stigma negatif
seperti malas, kasar, dan pemberontak.

Selain dalam kehidupan sehari-hari, sikap etnosentrisme juga berlaku dalam skala yang
lebih besar pada kelompok tertentu. Pada suku Papua pedalaman yang mempunyai kebiasaan
menggunakan “Koteka”. Jika hal tersebut dilihat dari sudut pandang masyarakat non-Papua
pedalaman, menggunakan koteka mungkin dianggap sebagai hal yang memalukan. Namun bagi
warga pedalaman Papua, menggunakan koteka dianggap sebuah kewajaran dan menjadi
kebanggaan tersendiri. Budaya Carok merupakan budaya yang berasal dari Madura, adalah
perilaku membela harga diri dengan menyakiti orang yang terlibat. Carok dalam masyarakat
Madura merupakan konsep yang sakral dan harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura.
Konflik yang terus terjadi antar suku Dayak dengan suku Madura yang sampai sekarang belum
muncul titik terang.

1.5 Dampak Etnosentrisme


Walaupun etnosentrisme dipandang sebagai sesuatu yang negatif, etnosentrisme juga
tetap memiliki dampak positif. Maksud dari hal ini bahwa etnosentrisme terkadang
menimbulkan hal yang memberikan keuntungan dan kerugian. Adapun macam dampak yang
ditimbulkan yaitu,

1) Dampak Positif:
a. Meningkatkan kesatuan, kesetiaan dan moral kelompok.

Sebagai dampak positif yang menguntungkan dimana dalam artian bahwa kelompok
etnosentris tampak lebih bertahan dibandingkan kelompok yang bersikap toleran.
Sehingga etnosentrisme berdampak positif dalam mengukuhkan nasionalisme dan
patriotisme, tanpa adanya hal tersebut, maka tidak akan membawa kesadaran
nasional yang penuh.
Etnosentrisme |8

b. Perlindungan terhadap perubahan, menjaga keutuhan & stabilitas kebudayaan.

Berkaca pada sejarah negara Jepang abad ke-19, etnosentrisme merupakan


instrumen untuk menghambat masuknya unsur asing ke dalam kebudayaan. Hal itu
membawa dampak kemajuan besar yang membawa pada perubahan bangsa Jepang.

2) Dampak Negatif:

a. Dapat menimbulkan konflik antar-suku

Sebagai suatu sikap yang menganggap kebudayaannya lebih baik dibandingkan yang
lainnya, maka seringkali menimbulkan konflik yang digolongkan antara mayoritas
dan minoritas.

b. Terdapat aliran politik

Sikap adalah dasar utama dari etnosentrisme, sedangkan dalam perilaku dan
komunikasi politik itu tidak terlepas dari kondisi geografis dimana aktor bergerak.
Sehingga, unsur yang menjadi gerakan politik diantaranya adalah budaya dan
agama.

c. Menghambat proses asimilasi dan integrasi kebudayaan

Asimilasi kebudayaan merupakan proses sosial berbentuk interaksi secara langsung


dan intensif dalam waktu lama dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda,
dari proses tersebut terbentuklah unsur kebudayaan campuran dari antarkelompok
tersebut. Integrasi kebudayaan merupakan proses penyesuaian beberapa jenis
kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu kesesuaian dan keharmonisan.
Jika sikap etnosentrisme tumbuh, maka hal tersebut tentu saja tidak akan mungkin
tercapai.

d. Mengurangi keobjektifan ilmu pengetahuan.

Keobjektifan ilmu pengetahuan pada dasarnya ‘tidak berpihak’, dimana sesuatu ilmu
secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, bukan merupakan hasil dari asumsi
(kira-kira).
Etnosentrisme |9

e. Menghambat pertukaran Budaya.

Pengetahuan tentang kebudayaan diluar kebudayaan sendiri cukuplah penting


dalam era multikultur saat ini. Perasaan bahwa diri sendiri dan budaya sendiri yang
benar dan terbaik, sehingga tidak perlu ada budaya yg lainnya lagi merupakan salah
satu sikap etnosentrisme. Hal ini mengarah kepada kecintaan terhadap diri sendiri
dan budaya sendiri secara berlebihan.

1.6 Cara Menghadapi Etnosentrisme


Etnosentrisme memang sulit dihilangkan tapi bisa kita hindari, berikut adalah beberapa
cara untuk menghadapi etnosentrisme, diantaranya:
a. Bersikap Terbuka

Komunikasi dapat berhasil apabila masing-masing pihak berpikir terbuka dan terbiasa
dengan berbagai pemikiran. Kemampuan ini akan membantu mengendalikan pandangan
dan tanggapan kita terhadap sesuatu hal. Sehingga, output yang keluar tidak hanya
berdasarkan pendapat pribadi, melainkan sesuatu yang bersifat umum dan bisa
diterapkan atau dipahami oleh pihak lain.

b. Memahami, Mengakui, dan Menerima Adanya Perbedaan

Setiap orang memiliki perbedaan. Bahkan, dalam satu suku saja masing-masing individu
dapat memiliki keyakinan atau kepercayaan yang berbeda. Inilah mengapa setiap suku di
Indonesia memiliki pandangan dan nilai-nilai yang berbeda. Nilai-nilai yang telah tertanam
sejak lahir ini yang akhirnya mempengaruhi individu dalam menilai dan menyikapi sesuatu
hal.

Etnosentrisme mungkin tidak akan berpengaruh pada masyarakat yang memiliki banyak
persamaan, namun masalah akan timbul apabila mereka berkomunikasi dengan
masyarakat dari budaya luar bahkan dari negara yang berbeda. Ketidakmampuan untuk
memahami hakikat perbedaan menjadi salah satu penyebab kegagalan komunikasi antar
budaya.
E t n o s e n t r i s m e | 10

c. Memandang Perbedaan Sebagai Kekayaan

Etnosentrisme mungkin masih dapat dipertahankan, namun dengan batasan tertentu dan
dengan pemahaman yang berbeda mengenai sebuah perbedaan. Di satu sisi,
etnosentrisme dapat mempererat kekeluargaan dan dapat saling memberikan rasa aman
dalam suatu kelompok.

Ini merupakan hal yang positif. Namun, apabila konteksnya mulai meluas, perlu adanya
pandangan baru akan makna sebuah berbedaan. Perbedaan bukan untuk mengotak-
kotakkan, melainkkan untuk memberikan warna, suasana dan hal-hal baru.

d. Hindari Sikap Menghakimi

Seperti yang sudah dicantumkan di poin nomor satu, pemikiran terbuka dapat membuat
kita terbiasa dengan pemikiran baru, sehingga kita dapat mengontrol output yang keluar
dari diri kita, dan salah satu bentuk kontrol tersebut adalah dengan menghindari sikap
menghakimi orang lain. Apabila kita sedang berkomunikasi, terutama dengan orang yang
memiliki latar belakang yang berbeda, posisikan dia sejajar dengan kita.

e. Jangan Membuat Asumsi Dini

Jika seseorang menyampaikan pemikirannya, dengarkan dan hargai pendapatnya. Jangan


memberikan asumsi sebelum benar-benar melihat dari sudut pandangnya.

f. Bangun Kerjasama dan Komunikasi dengan Individu dan Budaya Lain

Kita perlu terbiasa menjalin komunikasi dengan setiap orang untuk membiasakan diri
terhadap perbedaan, sekalipun mereka memiliki latar belakang dan budaya yang bertolak
belakang dengan kita. Jika kita sudah terbiasa, maka kita akan lebih mampu untuk menilai
sesuatu dari berbagai sisi dan pertimbangan.

g. Berpikir Positif

Mungkin kita adalah orang yang sudah dapat mengendalikan etnosentrisme, namun
lingkungan kita tidak sepenuhnya memahami makna perbedaan. Nah, inilah tantangan
E t n o s e n t r i s m e | 11

bagi kita untuk menanggapinya, dengan cara memberikan respon positif. Jangan mudah
tersinggung dan jangan mudah terpancing.
E t n o s e n t r i s m e | 12

BAB II
PENUTUP

2.1 Kesimpulan
Etnosentrisme adalah suatu paham yang menganggap kelompoknya lebih baik daripada
kelompok yang lain. Ada beberapa tingkatan dalam Etnosentrisme, diantaranya positif, negatif,
dan sangat negatif. Dari ketiga tingkatan tersebut, tingkatan yang terburuk adalah tingkatan
sangat negatif karena mengabaikan hal-hal positif dari kelompok lain dan mendewakan
kelompoknya sebagai kelompok terbaik, seringkali menimbulkan konflik yang meluas dan
bermasalah.

Etnosentrisme merupakan salah satu hambatan dalam komunikasi lintas budaya, bahwa
dengan bersikap etnosentrisme tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai
keunikan dari masing-masing budaya yang patut di hargai. Dengan memandang budaya sendiri
lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi
lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena akan cenderung lebih membatasi
komunikasi yang diakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda
atau bertentangan dengan budaya sendiri. Budaya dapat berwujud bahasa sebagai symbol dari
sebuah suku atau etnis.

2.2 Saran
Dalam menghadapi seseorang yang besikap etnosentris adalah dengan tidak
memasukkannya kedalam hati setiap perkataan yang keluar dari bibirnya dan hanya
mengabaikannya saja atau lebih baik menghindar dengan halus agar tidak terlibat konflik.
E t n o s e n t r i s m e | 13

DAFTAR PUSTAKA
Purwasito, Andrik. 2015. Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Liliweri, Alo. 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, Deddy, dan Jalaluddin Rakhmat. 2014. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy (Penterjemah). 2000. Human Communication – Konteks-konteks Komunikasi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Darmastuti, Rini. 2013. Mindfullness dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Buku Litera.
Soeparno. 1993. Linguistik Umum. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga
Pendidikan, Dikti
Pringgawidagda, Suwarno. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Jakarta: Adicita Karya Nusa
Febriyanti, Friscila. 2014. Jurnal Hambatan Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Suku Flores
dan Lombok di Desa Bukit Makmur kecamatan Kaliorang kabupaten Kutai Timur Volume 2.
No.3. Universitas Mulawarman.
Bizumic, Boris. 2014. Who Coined the Concept of Ethnocentrism?. Journal of Social and Political
Psychology. Diakses 30 Maret 2019. https://jspp.psychopen.eu/article/view/264/html
Pengertian Etnosentrisme, Fungsi, Tujuan dan Dampaknya. Dikutip 28 Maret 2019.
http://www.artikelsiana.com/2019/01/Pengertian-etnosentrisme-fungsi-tujuan-
dampaknya.html.

Anda mungkin juga menyukai