Anda di halaman 1dari 21

PENGENDALIAN HAMA BELALANG (Valanga Nigricornis)

DENGAN GULMA KASAPAN (Clidemia hirta)

Oleh :
ARDI SUCIPTO
201911021

PROGRAM STUDI
BUDIDAYA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
POLITEKNIK KELAPA SAWIT
CITRA WIDYA EDUKASI
BEKASI
2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Tujuan Praktikum......................................................................... 2
1.3 Manfaat Praktikum....................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengendalian Hama Belalang....................................................... 3
2.2 Hama Belalang.............................................................................. 3
2.3 Bioinsektisida............................................................................... 3
2.4 Gulma Clidemia hirta................................................................... 4
2.5 Metode Ekstraksi.......................................................................... 4

BAB III METODOLOGI


3.1 Waktu dan Tempat........................................................................ 7
3.2 Alat dan Bahan............................................................................. 7
3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 7
3.4 Prosedur Percobaan .................................................................... 8
3.5 Parameter Pengamatan ................................................................. 11
3.5.1 Waktu Kematian ................................................................ 11
3.5.2 Kondisi Fisik ...................................................................... 12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Waktu Kematian .......................................................................... 13
4.2 Kondisi Fisik ................................................................................ 14

BAB 5 PENUTUP

2
5.1 Kesimpulan................................................................................... 16
5.2 Saran ............................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 17


LAMPIRAN

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam perkebunan hal utama yang pertama yang harus diperhatikan berkebun
adalah hama apa yang menyerang tanaman yang kita tanam nanti, hama adalah
organisme menginfeksi tanaman dan merusaknya sehingga mengakibatkan
penurunan hasil pertanian. beberapa peristiwa serangan hama yang cukup besar
dan merugikan tercatat dalam sejarah pembangunan pertanian di Indonesia.
Intensitas kerugian akibat serangan hama terjadi cukup nyata, terutama di lahan
pertanian intensif (Rukmana,2003).

Hama yang sering di jumpai menyerang tanaman adalah serangga


bermacam –macam jenis serangga yang menyerang tanaman, dalam pengendalian
hama yang terdapat sekarang hanyalah secara kimiawi, infeksi hama dan penyakit
secara meluas dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar.(Widodo 2013).

Para petani umumnya menggunakan pestisida kimia dalam mengatasi


serangan hama. Penggunaan pestisida kimia yang berlebihan menyebabkan
timbulnya masalah lingkungan, ketahanan hama terhadap pestisida, resurgensi
serangga dan organisme pengganggu tumbuhan, kematian serangga yang
menguntungkan, residu pestisida dalam bahan makanan dan pakan ternak.
Mempertimbangkan masalah ini, timbul kekhawatiran dunia tentang toksisitas
pestisida kimia, dan kebutuhan untuk meningkatkan metode pengendalian yang
bersifat non-kimia dalam pengendalian hama terpadu (Sutanto, 2002).

Anonim (2002), menyatakan bahwa pengendalian hayati adalah suatu teknik


pengelolaan hama sengaja dengan memanfaatkan/memanipulasikan musuh alami
untuk kepentingan pengendalian, biasanya pengendalian hayati akan dilakukan
perbanyakan musuh alami yang dilakukan dilaboratorium. Sedangkan
Pengendalian alami merupakan Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa
campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami.

4
1.2 Tujuan Praktikum
1. Mengetahui cara pembuatan bioinsektisida dari limbah gulma untuk
pengendalian belalang.
2. Mengetahui cara aplikasi bioinsektisida pada pengendalian hama
belalang.
3. Mengetahui respon dan kondisi fisik belalang serta tingkat kematian
hama setelah penyemprotan bioinsektisida.
4. Mengetahui dan memahami proses kematian hama yang terkena
bioinsektisida.
5. Mengetahui perbandingan pengaruh bioinsektisida dan insektisida
terhadap kematian belalang.
6. Mendapatkan dosis bioinsektisida terbaik untuk pengendalian hama
belalang.

1.3 Manfaat Praktikum


1. Mendapatkan manfaat bioinsektisida yang sederhana dengan bahan
yang mudah didapatkan untuk pengendalian hama sehingga dapat
meminimalkan biaya yang dikeluarkan.
2. Mendapatkan informasi penggunaan dosis bioinsektisida Kasapan
(Clidemia hirta) yang tepat untuk pengendalian hama belalang

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengendalian Hama Secara Biologi


Anonim (2002), pengendalian hama biologi adalah pemanfaatan makluk
hidup untuk mengendalikan hamadan penyakit tanaman, menyatakan bahwa
pengendalian hayati adalah pengendalian serangga hama dengan cara biologi,
yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alamainya (agen pengendali biologi),
seperti predator, parasit, dan pathogenPengendalian hayati adalah, biasanya
pengendalian hayati akan dilakukan perbanyakan musuh alami yang dilakukan
dilaboratorium. Sedangkan pengendalian alami merupakan proses pengendalian
yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan
musuh alami.

2.2 Hama belalang


Belalang merupakan jenis serangga pemakan tumbuhan mempunyai 3
bagian diyakini bagian kepala, dada dan perut. Ciri ciri mempunyai 2 antena yang
pendek 3 pasang kaki yang mempunyai sayap dapat dipergunakan untuk aktivitas
terbang namun belalang mampu meloncat 20 kali panjng tubuhnya, dalam
jangka waktu mampu mengeluarkan 150 butir telur.

2.3 Bioinsektisida
Bioinsektisida merupakan salah satu dari beberapa jenis pestisida yang
digunakan untuk mengendalikan hama berupa serangga. Bioinsektisida dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu ovisida dan larvasida. Ovisida khusus digunakan
untuk mengendalikan telur serangga, sedangkan larvasida khusus digunakan
untuk mengendalikan serangga. Bioinsektisida memanfaatkan bakteri,
cendawan, jamur, nematoda untuk membunuh hama serangga. Bioinsektisida
juga merupakan insektisida generasi baru dan sangat dianjurkan untuk
digunakan dalam HPT (Pengendalian Hama Terpadu) (Djojosumarto,2008).

6
2.4 Gulma Kasapan ( Clidemia hirta )

Clidemia hirta merupakan tumbuhan yang ditemukan di area yang


terganggu, padang rumput, aliran sungai, tetapi tidak ditemukan di hutan primer.
Tumbuhan tersebut merupakan tanaman asli dari dataran rendah Amerika
Tengah, Amerika Selatan, dan Kepulauan Karibia. Padasaat ini, C. hirta telah
menyebar ke seluruh dunia dan telah menjadi tanaman invasif di kawasan hutan
dan area terbuka di beberapa kawasan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapura,
Kalimantan), Afrika (Tanzania, Mauritius), Kepulauan Fiji, dan Hawaii (Strahm
1999; Singhakumara et al. 2000; Peters 2000; Teo et al. 2003). Penelitian yang
dilakukan di Taman Wisata Alam Telaga Warna juga menemukan empat jenis
tanaman invasif, salah satunya adalah C. hirta (BLK 2010).Clidemia hirta
merupakan tanaman invasif yang diduga
mempunyai senyawa alelopati yang dapat menghambat germinasi
tumbuhan asli. Belum memadainya informasi yang tersedia mengenai efek
alelopati C. hirta terhadap tumbuhan asli maka dilakukan penelitian mengenai
pengaruh alelopatinya terhadap tumbuhan asli Impatiens platypetala. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak akuades C.
hirta terhadap germinasi biji I. platypetala.

Clidemia hirta termasuk ke dalam 100 jenis asing invasif paling buruk di
dunia. Sifatnya menyebar dengan cepat dan lebih melimpah di luar daerah asalnya
dibanding habitat aslinya (Lowe et al. 2000). Hal ini mengembangkan suatu teori
bahwa tumbuhan invasif memiliki senjata biokimia yang berfungsi sebagai agen
alelopati yang kuat sehingga dapat menyebar dengan cepat dan mengalahkan
spesies asli di habitat barunya (Callaway et al. 2005).

2.5 Metode Ektraksi


Metode ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan
pelarut cair. Senya wa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, falvonoida dan lain-lain.
Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisida akan

7
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM,
2000).

Jenis-jenis metode ekstraksi :

1. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia yang paling sederhana,
menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan
pada temperatur ruangan (kamar) (Ditjen POM,2000). Maserasi
digunakan untuk menyaring zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari,tidak mengandung stirak,benzoin dan lain-lain. Maresari pada
umumnya dilakukan dengan cara merendam 10 bagian serbuk simplisia
dalam 75 bagian cairan penyari (pelarut) (Ditjen POM ,1986).

2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi yang dilakukan dengan mengalirkan pelarut
melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prosesnya terdiri dari
tahap pengembangan dan perkolasi sebenarnya (penetasan atau
penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak
yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

3. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan pada residu
pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi
sempurna.

4. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang
berkelanjutan dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik.

5. Digesti

8
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengakuan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

6. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur pemansan air
(bejana infus tercelup dalam air pemanas air mendidih), temperatur
terukur (96-98C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

7. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dengan temperatur titik
didih air.

8. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa menguap (minyak atsiri) dari
bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa
tekanan parsial. Senyawa menguap akan terikut dengan fase uap air dari
ketel secara kontinu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran
(senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air
bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah
sebagian (Ditjen POM, 2000).

BAB III
METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Praktikum


Praktikum dilaksanakan pada hari selasa 16 November 2020 mulai dari jam
10:00-11:30 WIB. Praktikum dilaksanakan di Belakang rumah saya sendiri di

9
Desa Manunggal Jaya, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim ,
Provinsi Sumatera Selatan.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah pisau, gunting, pisau
cutter, jarring, Baskom, cup plastik, ember, karir gelang, penyemprot tangan
(hand sprayer), gelas ukur, handphone (stopwatch), buku, dan pena.

Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak Gulma Kasapan (Clidemia hirta)


sebanyak 2 kg, dan, Insektisida Sidamethrin 50 EC.

3.3 Metode Penelitian


Praktikum ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen. Ekstrak
yang digunakan adalah ekstrak daun gulma Kasapan (Clidemia hirta). Perlakuan
pada penelitian ini berupa aplikasi bioinsektisida daun Gulma Kasapan dengan 5
tingkat perlakuan yaitu :

1. Dosis 10 ml bioinsektisida
2. Dosis 15 ml bioinsektisida
3. Dosis 20 ml bioinsektisida
4. Dosis 25 ml bioinsektisida
5. Dosis kimia 1% Sidamethrin 50 EC
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, setiap perlakuan
menggunakan 3 kali pengulangan percobaan dalam satu perlakuan digunakan 3
belalang dengan jenis dan ukuran yang sama. Belalang yang digunakan adalah
belalang yang berwarna cokelat. Sementara untuk parameter pengamatan
toksisitas menggunakan metode deskriptif, yakni dengan mengamati langsung
aktivitas, gejala, dan keadaan suatu objek.

Prosedur percobaan

 Pembuatan bioinsektisida
Langkah – langkah pembuatan bioinsektisida adalah:

1. Pengumpulan Gulma

10
Pengumpulan gulma dilakukan pada hari minggu sehari sebelum
praktikum dilaksanakan. Gulma yang diambil adalah gulma Kasapan (Clidemia
hirta) yang di ambil di kebun saya sendiri di Desa Manunggal Jaya.

Gambar 1. Proses pengumpulan gulma

2.

Pengumpulan Belalang
Belalang yang digunakan adalah belalang yang sering kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Belalang yang diambil ukuran dan warnanya sama. Lokasi
pengambilalan belalang dan lokasi pengumpulan gulma sama yakni disekitar
kebun karet saya sendiri sebanyak 16 ekor.

11
3. Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara mencacah daun gulma Kasapan


(Clidemia hirta) sebanyak 2 kg yang sudah dikumpulkan sampai halus (berukuran
kecil). Kemudian memasukkan cacahan daun gulma kedalam baskom dan
menambahkan air bersih secukupnya. Setelah itu menutup baskom dengan rapat
agar tidak ada oksigen yang masuk. Diamkan campuran daun gulma dan air
selama 24 jam. Setelah itu hasil ekstraksi disaring dan dimasukkan kedalam botol
plastik / tempat penyemprot.

Proses pembuatan ekstrak dapat dilihat pada gambar 3.

Hasil dari ekstrak gulma

Kasapan selama 24 jam.

12
 Aplikasi Bioinsektisida

Langkah – langkah pengaplikasian bioinsektisida adalah:

1. Persiapan Media

Media dipersiapkan dengan mengisi cup kecil dengan media tanam berupa
tanah. Setelah semua cup terisi tanah selanjutkan menanam tanaman didalam cup
tersebut. Tanaman itu berguna sebagai tempat hidup belalang pada saat
pengaplikasian bioinsektisida.

Proses persiapan media dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Proses persiapan media


2. Persiapan Rumah Belalang
Rumah belalang dibuat dengan menggunakan jaring. Bungkus cup yang
sudah ditanami tanaman tadi dengan jaring kemudian ikat bagian bawah dan atas
jaring agar belalang tidak bisa terbang keluar.

Proses persiapan penyemprotan rumah belalang dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Proses persiapan penyemprotan rumah belalang

13
3. Pengaplikasian Bioinsektisida
Pengaplikasian dilakukan dengan cara memasukkan cairan bioinsektisida
kedalam penyemprot tangan (hand sprayer) dan menyemprotkan cairan
bioinsektisida pada setiap perlakuan belalang secara langsung sesuai dengan dosis
pada setiap perlakuan.

Proses pengaplikasian bioinsektisida dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Proses pengaplikasian bioinsektisida

3.4 Parameter Pengamatan


3.5.1 Waktu Kematian
Disiapkan belalang disetiap ulangan percobaan, masing-masing
ulangan berisikan 1 ekor belalang sehingga setiap percobaan
membutuhkan 15 ekor belalang dengan dosis bioinsektisida 10 ml,
15 ml,20 ml dan kimia insektisida yang memerlukan 3 belalang pada
setiap percobaan. Lalu diaplikasikan bioinsektisida dan kimia
(kontrol) ke tubuh belalang serta mengamati gerak-geriknya pada
waktu cairan bioinsektisida dan kimiainsektisida disemprotkan
secara langsung sesuai dengan dosis pada setiap perlakuan dan
dilakukan pengamatan berapa lama waktu yang dibutuhkan
bioinsektisida dan kimia bekerja pada masing-masing perlakuan,
yaitu setelah bioinsektisida dan kimia diaplikasi ke tubuh belalang,
dan waktu yang dibutuhkan bioinsektisida tidak bekerja setelah 32
jam kemudian dan waktu total kematian belalang tidak ada. Waktu
kematian yang dibutuhkan kimia insektisida yaitu 03 : 40 menit.

14
Kondisi Fisik

Kondisi fisik diamati dari luar dan dalam. Pada pengamatan dari
luar, belalang diperhatikan pergerakannya pada saat penyemprotan
cairan bioinsektisida sebanyak 3 kali pengulangan pada setiap
perlakuan dengan dosis yang berbeda. Kondisi fisik yang diamati
dari dalam yaitu membelah bagian tubuh belalang dengan pisau
cutter dan melihat perubahan organ-organ belalang yang telah mati
karena cairan bioinsektisida, dan insektisida Sidamethrin 50 EC
yang disemprotkan pada belalang dan yang tidak disemprotkan.

Gambar 7; kondisi fisik belalang

15
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Waktu kematian

Tabel 1: hasil pengamatan dosis perlakuan dan tingkat kematian belalang

Dosis Ulangan Waktu Kematian


Belalang 1 80menit,15 detik
10 ml Belalang 2 115menit,30 detik
Belalang 3 120 menit, 10 detik
Belalang 1 60 menit,55 detik
15 ml Belalang 2 05 menit,20 detik
Belalang 3 18 menit,23 detik
20 ml Belalang 1 6 menit,30 detik
Belalang 2 45 menit, 4 detik
Belalang 3 60 menit, 12 detik
Belalang 1 04 menit,30 detik
25 ml Belalang 2 45 menit
Belalang 3 58 menit, 14 detik

Belalang 1 1 menit, 35 detik


Kimia 1% Belalang 2 1 menit 4 detik
Belalang 3 45 detik

Pada praktek pengendalian hama belalang menggunakan gulma


Tembelekan dengan perlakuan ke-1 dengan dosis 10 ml dengan rata-rata dengan
101 menit/belalang, dan dengan perlakuan ke2 dengan dosis 15 ml dengan rata-
rata 29 menit/belalang, dan dengan perlakuan ke3 dengan dosis 20 ml dengan
rata-rata 40 menit/belalang, dan dengan perlakuan ke4 dengan dosis 25 ml dengan
rata-rata 29 menit/belalang ,dan dengan perlakuan ke5 dengan bahan kimia
Sidamethrin 50 EC kemampuan membunuh belalang dengan rata-rata 78 detik.

16
Dari hasil percobaan praktek dapat disimpulkan bahwa untuk membunuh
belalang tercepat pada perlakuan bahan kimia Insektisida Sidamethrin yang dapat
dilihat pada tabel 5.

17
4.2 Kondisi fisik

Pada praktek pengedalian hama belalang bioinsektisida gulma


Kasapanberdasar kan penelitian yang telah dilakukan Purwati (2017), menyatakan
ekstrak daun Kasapan mengandung tannin,saponin,terpenod,fenol. Dan Pada
penelitian Hemalatha (2015) menyatakan bahwa ekstrak Clidemia hirta juga
mengandung flavonoid, alkaloid.

Pada percobaan kali ini kami mengadakan 5 perlakuan dengan 3 kali


ulangan dimana setiap perlakuan itu, lama waktu kontak antar belalang dengan
ekstrak alang-alang berpengaruh kepada belalang, aplikasi yang efektif adalah
yang kurang dari satu jam karena lebih dari satu jam maka bioinsektisida itu
terbawa oleh angin, pada saat penyemprotan kondisi fisik pada serangga
bermacam macam yang terjadi dari mulai kejang-kejang, kaki belalang bergoyang
goyang dan mulut belalang manggap dan ada juga sebagian yang langsung mati.

Pada saat pembelahan tubuh belalang yang sudah terimpeksi oleh


bioinsektisida/insektisida terdapat warna kuning didalam tubuh serangga tersebut,
mungkin itu lah akibat dari bioinsektisida trsebut, dalam pengaplikasian ini dosis
yang digunakan juga sangat berpengaruh pada cepat atau lambat nya kematian
serangga tersebut

Waktu
Dosis Ulangan Kondisi Fisik Kematian
1.Kaki goyang
(2 menit,30 detik)
Belalang1
2. Kejang-kejang (50menit) 105 menit 68
10ml 1.Belalang mangap (57 menit)
Belalang2 detik
2.Kejang-kejang (125 menit)
1.Masih normal (40menit,15 detik)
Belalang3
2.kejang (100 menit, 10 detik)
1.masih normal pada menit(23,1 detik )
Belalang1
2.mulai kejang( 57 menit,10 detik)
30 menit 26
15ml  1.pada proses penyemprotan langsung
Belalang2 detik
terjadi kontraksi
Belalang3 1.pada proses penyemprotan masih

18
keadaan normal
2.kejang terlihat mulai (20 menit,22
detik)
1.lompat-lompat (1 menit,30 detik)
Belalang1
2.kejang-kejang (menit ke4,1 detik)
1.masih normal (12 menit)
Belalang2 2.mulai diam(20menit) 36 menit 19
20ml 
3,langsung mati detik
1.masih normal (11 menit)
Belalang3 2.mulai diam(19 menit)
3.langsung mati
1.lompat-lompat (2 menit,38detik)
Belalang1
2.kejang-kejang (menit ke2, 6detik)
1.masih normal (10 menit) 39menit 11
Belalang2
25ml 2.mulai diam(18 menit)
detik
3,langsung mati
1.masih normal (10 menit)
Belalang3
2.mulai diam(20 menit)
3.langsung mati

1.lunglai ( mulai dari detik 40)


Belalang1
2.mati
Kimia 1.gangguan pernafasan (detik 15) 2 menit 10
Belalang2
2.mati
1%   detik
1.lunglai (detik 10)
Belalang3 2.berputar-putar dan kejang-kejang
3.mati

19
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Bioinsektisida dari gulma Kasapan berpengaruh terhadap hama belalang


walaupun waktunya agak sedikit lama.

2. Jika ekstrak gulma Kasapan direndam lebih lama lagi pasti akan semakin cepat
membunuh hama belalang.

3. Pada saat penyemprotan ekstrak kepada belalang belalalng mengalami kejang –


kejangkejang dan belalang aktif bergerak berputar-putar

4.Ekstrak ini mengandung steroid, saponin, dan tanin

5.Setiap perlakuan akan akan mendapat kan hasil yang siknifikan

6. Perbedaan yang sangat signifikan antara bioinsektisida dan insektisida.

5.2 Saran

1. Sebaiknya ekstrak gulma Kasapan nya direndam lebih lama lagi

2. Sebaiknya serangga yang digunakan agak lebih besar, supaya pada saat
pembelahan belalang lebih mudah.

3. Ekstrak yang di gunakan terlalu banyak hanya untuk seekor belalang

4. Supaya menggunakan serangga yang berbeda

5. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang gulma yang ada di perkebunan
kelapa sawit.

20
DAFTAR PUSTAKA

Rukmana, 2003. Pengendalian hama tanaman.

Anonim ,2002. Model budidaya tanaman sehat ( Budidaya tanaman sayuran


secara sehat melalui penerapan PHT), Dirjen Perlindungan Tanaman
Jakarta.

Dirjen POM,Depker RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak tumbuhan


Obat, Departmen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 9-11,6

Dirjen POM, Depkes RI,1986, Sedia Galenik, Departmen kesehatan Republik


Indonesia, Jakarta,1- 26

Djojosumarto,P,2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Penerbit Kanisius


Yogyakarta

Jumar. 2000.Entomologi Pertanian Rineka Cipta.Jakarta

Moenandir ,y. 1988. Pengantar Ilmu Dan Pengendalian Gulma. Jakarta :


Rajawali Pres

Sastrowtomo,s s 1990. Ekologi Gulma. Jakarta : gramesia pustaka utama.

Susanto, r, 2002. Penerapan Pertanian Organic. Permasyarakatan dan


pengembangannya. Penerbit kanisius. Yogyakarta.

Sharma et al.,2005. Pemanfaatan flavonoid dan alkaloid Sebagai insektisida


Pengendali Belalan (Valanga nigricornis ). Jurnal Penelitian Universitas
Sumatra.

Zahro, f.2002. Studi Alelopati Clitoria ternate L. Terhadap Perkecambahan Biji


(Mimosa invisa L, Mimosa pundica dan Crotaliara retusa L). Skiripsi L
UIN Malang.

Ayeni, K.E dan yahya,2010.Phytochemical Secrening Of There Medical Plants


Nanleaf ( Azadricha Indica), Hibisais Leaf (Hisbicus Rosasenensis) And
Spear Grass Leaf ( Lantana camara), Continental J.Pharmaceutical
Scrences, 4.47-50

Baewono,D,T.,2003, Pedoman uji hayati insektisida rumah tangga (hausehclol


insecticdes) BPURP, salatiga

21

Anda mungkin juga menyukai