Anda di halaman 1dari 26

AL ISLAM KEMUHAMMADIYAHAN

ISLAM DAN MASALAH HARTA DAN JABATAN

Indri Dwi Septika Heriyanti


Kristina
Yessi Indah Alfionita

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehaditar Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis bisa menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Islam dan Masalah Harta
dan Jabatan” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Al Islam Kemuhammadiyahan 2.
Shalawat serta salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan
sahabat serta pengikutnya. Karena berkat perjuangan beliaulah, kita bisa keluar dari zaman
jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti apa yang
dapat kita rasakan saat ini.
Tiada karya manusia yang sempurna begitupun dalam makalah ini yang masih banyak
kekurangan, maka dari itu penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang sifatnya membangun, demi kesempurnaan makalah yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Pontianak, 14 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Harta
B. Pandangan Islam Terhadap Harta
C. Panduan Islam Dalam Mencari Harta
D. Islam Dalam Pemanfaatan Harta
E. Jabatan adalah Amanah
F. Sikap terhadap Harta dan Jabatan

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bahasa Arab (Islam) harta disebut sebagai Maal. Maal berarti “Segala sesuatu
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan,
rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan
dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” { QS. Ali Imran : 14 }

Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia sumber daya (harta) yang melimpah
dari seluruh penjuru bumi dan langit. Manusia diberi tugas untuk mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraannya di muka bumi dengan memanfaatkan sumber daya yang telah diberikan
sesuai dengan tuntunan-Nya. ‘Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-
orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.
Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.’     {QS. al-A’raf : 32}

Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Sedangkan,
pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda,
adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. “…dan
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu…” { QS. An-Nuur : 33 }

4
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Harta
2. Pandangan Islam Terhadap Harta
3. Panduan Islam Dalam Mencari Harta
4. Islam Dalam Pemanfaatan Harta
5. Jabatan Adalah Amanah
6. Sikap terhadap Harta dan Jabatan

C. Tujuan
1. Memahami Pengertian Harta
2. Memahami Pandangan Islam Terhadap Harta
3. Memahami Panduan Islam Dalam Mencari Harta
4. Memahami Islam Dalam Pemanfaatan Harta
5. Memahami Jabatan Adalah Amanah
6. Memahami Sikap terhadap Harta dan Jabatan

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Dalam bahasa Arab (Islam) harta disebut sebagai Maal. Maal berarti “Segala sesuatu
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan,
rumah, uang, hewan dan lain sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan
dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman :

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” { QS. Ali Imran : 14 }

Allah SWT telah menganugerahkan kepada manusia sumber daya (harta) yang melimpah
dari seluruh penjuru bumi dan langit. Manusia diberi tugas untuk mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraannya di muka bumi dengan memanfaatkan sumber daya yang telah diberikan
sesuai dengan tuntunan-Nya. ‘Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari
Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-
orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.
Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.’     {QS. al-A’raf : 32}

Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Sedangkan,
pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda,
adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya. “…dan
berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu…” { QS. An-Nuur : 33

6
B. Pandangan Islam Terhadap Harta

Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau
ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT
memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “ sistem kehidupan “
dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan “Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan
manusia yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk
keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan
melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum
lima, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.

Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang


hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga),
keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal
tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer. Pelaksanaan Islam sebagai way of
life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan
kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan
sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti
(Thaahaa : 124 – 126).

Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana


dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia
secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan
ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.

Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :

“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala sesuatu”

7
Dari keterangan diatas, islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan
ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta
benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relativf, sebatas
untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-
Nya.

2) Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut.

a. Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang
amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam
bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi ; yang mampu
manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain.
Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.

b. Harta sebagi perhiasan  hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya


dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang
kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan
hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali
Imran : 14). Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan,
kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6 – 7).

c. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah
tidak. (Al-Anfaal : 28)

d. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan


melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah. (At-Taubah : 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).

C. Panduan Islam Dalam Mencari Harta

8
Pada dasarnya Islam memberi kebebasan bagi manusia untuk mencari dan
mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan
yang diberikan Islam tentu saja tidak bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu
membingkai kebebasan yang ia miliki dalam pencarian harta dengan aturan Syariah.
Misalnya, larangan mendapatkan harta dengan mencuri, menipu, menjual barang haram,
memakan hasil riba dan lain sebagainya.

1) Mencari Harta Dengan Usaha Yang Halal

Allah SWT berfirman : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” { QS. Al-Baqarah : 168 }

Muhammad Abdul Mannan menyatakan bahwa ayat di atas memiliki makna ganda.[2]
Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 168 ini tidak hanya berbicara mengenai pedoman
pembelanjaan harta melainkan juga mengenai mencari rezeki halal dan tidak melanggar
hukum. Dalam Islam seluruh tindakan manusia merupakan sebuah satu kesatuan. Sebagai
contoh, Ibadah sholat yang dilaksanakan oleh umat muslim harus didahului oleh syariat
berwudlu. Wudhu merupakan media pembersih bagi muslim yang akan melaksanakan
shalat. Kesempurnaan wudlu akan berimplikasi pada kesempurnaan shalat. Bilamana
seorang muslim tidak bersih (tidak wudhu) pada pelaksanaan sholat maka shalatnya dapat
dikatakan tidak sah.

Demikian pula halnya dengan pemanfatan harta, bilamana seseorang melakukan


konsumsi dengan menggunakan pendapatan haram, maka kegiatan konsumsinya pun juga
ikut menjadi haram dan tidak berkah, walaupun ia mengkonsumsi kebutuhan yang halal
dan thayyib. Begitu pula bila seseorang memiliki pendapatan yang halal, bilamana ia
mengkonsumsi kebutuhan yang haram dan tidak thayyib maka tetap saja kegiatan
konsumsinya menjadi haram dan tidak berkah.

Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan yang halal,
yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum. Misalnya, bekerja sebagai
pengusaha, dokter, perawat, pedagang, petani, buruh, karyawan, kosultan, pengacara dan
profesi halal lainnya. Sebaliknya, Islam sangat melarang manusia untuk mencari harta

9
melalui jalan yang bathil/haram, seperti mencuri, merampok, melakukan penipuan dan
lain sebagainya. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”   { QS. Al-Baqarah : 188 }.

  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu” { QS. An-Nisa : 29 }

2) Mencari Harta Dengan Usaha Sendiri (Tidak Berpangku Tangan)

Selain prinsip halal dan haram, pencarian harta juga tidak boleh ditempuh melalui
jalan meminta-minta dan atau berpangku tangan (menjadi pengemis). Mengemis dan
berpangku tangan dalam pencarian harta merupakan usaha yang tidak baik (tidak
thayyib).

”Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a ( berkata ) : Sesungguhnya nabi Muhammad SAW, pernah
ditanyai, manakah usaha yang paling baik? Beliau menjawab: ialah amal usaha dari
seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang diberkati ( bersih ).”{ HR
Bazzar, dan dinilai shahih oleh Hakim }

“Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang
lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil
usahanya sendiri.” { H.R. Bukhari}

“Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw
bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas
tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan
menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih
baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun
tidak.” { HR. Bukhari}

10
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja dengan
tangan sendiri merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Islam sangat
menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri, sebab hal tersebut bertujuan
untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung
tinggi.

3) Larangan Mencari Harta Dengan Jalan Riba

Riba adalah tambahan yang diisyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat (Imam Sarakhsi dalam kitab al-Mabsut).
Riba bersifat individualistik, hanya berfikir untuk kepentingan pribadi pemilik modal
tanpa memperdulikan orang lain dan lingkungan sekitar. Melalui riba, seorang pemilik
modal dapat memperoleh keuntungan tanpa risiko kehilangan modal sedikit pun. Tidak
peduli si peminjam/pengelola modal rugi maupun untung dalam usaha yang sedang
dijalankannya, si pemilik modal sudah dapat memastikan jumlah pendapatan yang akan
diterimanya dari modalnya tersebut. Sungguh suatu perbuatan yang tidak berkeadilan.

Islam sangat melarang sesorang yang ingin mencari harta melalui pengambilan
riba (memperoleh hasil tanpa harus bekerja) Allah SWT berfirman :

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti


berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.” { QS. Al-Baqarah : 275 }.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” { QS. Al-Baqarah : 278 }.

Dalam rangka memperoleh harta dengan tidak melalui jalan riba,maka Islam
memberikan solusi agar manusia melakukan investasi ke arah usaha nyata yang

11
produktif. Misalnya, melalui kerjasama mudharabah, musyarakah dan bentuk-bentuk
kerjasama lain.

D. Islam Dalam Pemanfaatan Harta

Pemanfaatan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu memaksimalkan
fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kebahagiaan dunia
dan akhirat atau yang biasa disebut dengan Falâh. Kebahagiaan di Dunia berarti terpenuhinya
segala kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk ekonomi. Sedang kebahagiaan di akhirat
kelak berarti keberhasilan manusia dalam memaksimalkan fungsi kemanusiaannya (ibadah)
sebagai hamba Allah sehingga mendapatkan ganjaran dari Allah SWT yaitu kenikmatan
ukhrawi (surga). Seseorang yang ingin mendapatkan kebahagian dunia akhirat dituntut harus
mampu berjalan pada ‘jalan Ilahi’. Artinya, tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan
yang telah Allah SWT ciptakan bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi
manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemanfaatan harta yang dilakukan oleh
umat muslim. Allah SWT berfirman : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah,
dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”{ QS. Al-Baqarah :
168 }

    Berikut dijelaskan beberapa padangan Islam tentang cara memanfaatkan harta :

1. Menentukan Prioritas Pemanfaatan Harta

Islam mengajarkan seorang muslim mengenai mekanisme menentukan pemanfaatan


harta untuk mencapai tujuan falah tersebut. Falah akan tercapai dengan dengan
terpeliharanya enam kemashlahatan meliputi (a) agama dien, (b) jiwa/hidup nafs, (c)
keluarga/keturunan nasl, (d) harta/kekayaanmaal dan (e)
intelektual/akal aql { termasuk (f) lingkungan / bii’ah }. Untuk memelihara ke-5 perkara
ini, Al-Ghazali, Abu Ishaq Asy-Syatibi dan Mustafa Anas Zarqa memberikan 3 hierarki
utilitas individu; yaitu (1) kebutuhan dharuriyyat, (2) kesenangan dan kenyamann hajiat,
dan (3) kemewahan tahsiniyat.

12
Kunci dari pemeliharaan lima perkara falah terletak pada utilitas pertama,
yaitu dharuriyyat. Seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain. Menurut mereka,
kebutuhan-kebutuhan tingkat pertama bersifat dasar (basic needs) dan cenderung bersifat
fleksibel mengikuti tempat, waktu dan dapat menyangkut kebutuhan sosiopsikologis
(hiburan, ketenangan hati).

Utilitas kedua hajiat, merupakan hal-hal yang tidak vital bagi kebutuhan bagi lima
perkara falah, akan tetapi utilitas ini penting untuk menghilangkan kesukaran dan
rintangan dalam hidup. Misalnya, piring untuk makan, gelas untuk minum, pulpen dan
untuk belajar dan lain sebagainya.

Sedangkan pada utilitas ketiga tahsiniat, merupakan hal-hal yang berhubungan


dengan kenyamanan saja. Meliputi hal-hal yang melengkapi dan menghiasi hidup.
Misalnya, gelas kristal untuk minum dan Pulpen emas untuk belajar.

Ketika seorang muslim hendak memanfaatkan hartanya, maka ia harus tindakan


tersebut benar-benar kebutuhan dharuriyyat dan hajiat bagi dirinya atau hanya sebatas
‘pemanis’ saja tahsiniat. Seorang muslim yang bijak akan mendahulukan
kebutuhan dharuriiyat-nya dibandingkan tahsiniyat-nya.  

Sebagai contoh, Ipul memiliki uang sebesar Rp 3.500.000. Ia dihadapkan pada dua
pilihan, pertama, ia harus membayar deadline kursus bahasa Inggris-nya sebesar Rp
3.500.000 Kedua, membeli satu lagi Blackberry seharga Rp 3.500.000. Sebagai seorang
muslim Ipul sudah seharusnya lebih mendahulukan kebutuhan pertama dibandingkan
kedua. Sebab kebutuhan pertama masuk pada kategori utilitas dharuriyyat, yaitu
kebutuhan pendidikan dan utilitas hajiat, yaitu kursus bahasa Inggris. Bilamana
kebutuhan pendidikan tidak terpenuhi, maka salah satu dari lima perkara falah tidak
dapat terpelihara, yaitu intelektual/akal aql. Sedangkan, kebutuhan Ipul untuk
membeli Blackberry termasuk utilitas tahsiniat yang hanya dipenuhi semata-mata untuk
kepuasan.

2. Prinsip Halal & Thayyib Dalam Konsumsi

M.A Mannan seorang pemikir Ekonomi Islam mencoba mendefenisiskan


‘konsumsi’ sebagai “permintaan, yaitu permintaan akan hasil produksi.” Artinya,

13
konsumsi tidak hanya sebatas memanfaatkan barang secara fisik ( Tangible Goods )
melainkan juga berlaku pada barang yang tidak berwujud ( Intangible Goods ). Allah
SWT memerintahkan umat manusia untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang Halal
dan Thayyib. Dalam Qur’an kata halal dan thayyib selalu disandingkan pada setiap
penyebutan ayat, misalnya firman Allah SWT ; “Dan makanlah makanan yang halal
lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah
yang kamu beriman kepada-Nya.” {QS. Al-Maidah : 88 }

Islam mendorong penggunaan barang & jasa yang halal, baik dan bermanfaat
kepada setiap muslim. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu
meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan tidak dapat dianggap
sebagai milik atau aset umat muslim. Oleh sebab itu, barang-barang yang dilarang (untuk
dikonsumsi) tidak dianggap barang dalam Islam.

Penggunaan prinsip halal & thayyib dimaksudkan untuk memberikan kebebasan


bagi setiap muslim untuk menggunakan segala barang yang baik, bermanfaat bagi
dirinya, menyenangkan, lezat dan lain sebagainya, selama dalam kerangka halal dan
thayyib. Kebebasan yang diberikan Islam kepada setiap muslim dalam berkonsumsi tak
terlepas dari pandangan Islam itu sendiri bahwa perbuatan memanfaatkan atau meng-
konsumsi barang & jasa merupakan suatu kebaikan. Konsumsi dan pemuasan
(kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang
tidak baik atau merusak. Dalam literatur lain, DR. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
seorang muslim harus senantiasa mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib
(bermanfaat) baginya seperti ikan, daging, dan lain sebagainya. Seorang muslim yang
baik tidak akan pernah mengkonsumsi khamar, daging babi serta akan senantiasa
menjauhi perjudian dan spekulasi (Intangible goods) dalam penggunaan hartanya.

Allah SWT berfirman : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” { QS. Al-
Baqarah : 168 }

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
14
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi
nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan…”
{QS. Al-Maidah : 3}

Pada dasarnya kewajiban mengkonsumsi barang & jasa yang halal dan thayyib muncul
untuk menyelamatkan seorang muslim dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang
ditimbulkan barang haram. Misalnya, pada daging babi yang dikabarkan mengandung
cacing pita ( Tainia ) jenis Solium bertaring yang dapat merusak dinding usus pada
manusia dan juga bakteri yang tidak akan mati walaupun telah dipanaskan 100 0C.

Dalam analisis berbeda, Sayyid Sabiq, dalam Fiqh Sunnah, menyatakan bahwa
keharaman sebuah benda tidak akan dapat dihilangkan walaupun sifat-sifat negatif dari
benda tersebut telah dihilangkan. Misalnya, binatang Babi, ia merupakan binatang yang
telah diharamkan dagingnya oleh Alllah SWT untuk dikonsumsi. Walaupun cacing pita
dan bakteri pada daging babi telah dihilangkan, tetap saja daging babi tersebut haram
dagingnya untuk dikonsumsi. Menurutnya, terdapat sebuah sebab pengharaman yang
tidak dapat diketahui oleh manusia, hal itu hanya dapat diketahui oleh Allah SWT.

Menurut Penulis, keberadaan beberapa larangan konsumsi barang & jasa dalam
Islam tidak dapat diartikan bahwa islam adalah agama yang banyak larangan. Bukti kasih
sayang Allah pada umat muslim adalah adanya rukhshah (dispensasi/kebolehan)
mengkonsumsi barang haram dalam keadaan mendesak. Allah SWT berfirman :

“ Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan
(daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”  { QS. Al-Baqarah : 173 }

Muhammad Quraish Shihab (Tafsir al-Misbah, Vol 1) menyatakan bahwa


makna terpaksa  dalam ayat 173 surat al-Baqarah ini berarti keadaan yang diduga dapat
mengakibatkan kematian; sedang frase tidak menginginkan adalah tidak memakannya
(makanan haram) padahal ada makanan halal yang dapat dimakan, tidak pula

15
memakannya memenuhi keinginan seleranya. Sedangkan frase tidak melampaui
batas adalah tidak memakannya (makanan haram) dalam kadar yang melebihi kebutuhan
menutupi rasa lapar dan memelihara jiwa manusia tersebut

3. Menghindari Tabdzir dan Israf

Ajaran Islam membolehkan umatnya menikmati kebaikan duniawi selama tidak


abzir bermakna menghambur-hamburkan harta tanpa ada kemaslahatan atas tindakan
tersebut. Ketika seseorang membeli sesuatu melebihi dari kebutuhan-nya maka pada saat
itu ia dapat dikategorikan sedang melakukan tabdzir.

Islam melarang seorang muslim membelanjakan hartanya dan menikmati


kehidupan duniawi ini secara boros. Larangan ini cukup beralasan. Tabdzir dapat
menyebabkan cash menyusut secara cepat. Ketiadaan cash akan berdampak pada
rendahnya daya beli low purchasing power seseorang terhadap barang dan jasa. Hasilnya,
berbagai macam kebutuhan manusia tidak akan terpenuhi secara maksimal dengan
ketiadaan cash. Selain itu, prilaku tabdzir juga akan menghalangi seorang muslim untuk
dapat berinfaq (harta), sehingga tabdzir bisa menjadi penyebab seorang muslim mendapat
predikat kikir dan pelit.

Allah SWT meng-ibaratkan orang-orang yang melakukan tabdzir dengan saudara


setan, sebagaimana terdapat pada ayat Qur’an mengenai larangan untuk bersikap boros :

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan  dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya.”  { QS.
Al-Israa’ : 26-27}

Pada hakikatnya konsumsi dalam Islam adalah suatu pengertian yang positif.
Dengan mengurangi pemborosan yang tidak perlu, Islam menekankan perilaku
mengutamakan kepentingan orang lain.

Israf bermakna melakukan konsumsi terhadap sesuatu secara berlebihan.


Misalnya, dalam hal makan, pada saat berbuka puasa Ipul memakan seluruh hidangan

16
berbuka sehingga perutnya sakit karena terlalu banyak makanan yang masuk dalam
perutnya. Prilaku Ipul ini dapat dikategorikan sebagai Israf.

Islam melarang seorang muslim mengkonsumsi sesuatu secara berlebihan


sehingga menimbulkan mafsadat/mudarat. Larangan ini cukup beralasan. Israf dapat
mempengaruhi kesehatan dan mengurangi kemampuan seseorang untuk melakukan
pekerjaan. Sebagai contoh, pada saat Ipul berbuka ia terlalu banyak makan sehingga ia
sakit perut. Sakit yang diderita Ipul ini menyebabkan ia tidak bisa menjalankan ibadah
tarawih. Dari contoh ini dapat diambil kesimpulan bahwa israf dapat menyebabkan
kemampuan seseorang untuk dapat beribadah kepada Allah menjadi berkurang/lemah.
Allah SWT melarang seorang muslim berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang dan
jasa, sebagaimana terdapat pada Qur’an ;

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid Makan
dan minumlah tetapi jangan berlebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan” { QS. Al-A’raf : 31}

Dalam hal etika makan, Nabi SAW pernah memberikan tips kepada para sahabat
agar dapat menjaga kesehatan dengan cara makan ketika mengalami ‘lapar’ dan berhenti
makan sebelum ‘kenyang/kekenyangan’. Artinya, untuk menjaga kesehatan kita
dianjurkan makan secukupnya.

4. Kesederhaan (Moderat)

Kesederhanaan bukan berarti menggambarkan kehidupan dalam level terendah.


Dalam sub-bahasan ini, kesederhanaan diartikan konsumsi moderat yaitu dengan
menjauhi pola konsumsi berlebihan conspicuous consumption atau menjauhi prilaku
bermewah-mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang
ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil). ”Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” { QS. al-Furqân/ 25 : 67 }

Islam melarang setiap pemeluknya bermegah-megahan. Kemegahan dalam Islam


adalah faktor utama kerusakan dan kehancuran individu dan masyarakat. Kemegahan
dapat saja menjadikan ‘gapt’ antara miskin dan kaya semakin lebar. Bagi kaum minoritas

17
(harta) kemegahan yang dipertunjukkan kepada mereka menumbuhkan kecemburuan/iri
pada kaum mayoritas yang akan berpeluang kepada konflik. Imam Ar-Razi ( DR. Yusuf
Qardhawi; Norma dan Etika…) mendefenisikan kemegahan/kemewahan sebagai
kesombongan terhadap kenikmatan dan kemudahan hidup. Dalam sebuah hadits
dinyatakan bahwa orang yang bermegahan dalam perutnya terkocok dengan api neraka;
“Yang memakan dan minum dengan cawan emas dan perak sesungguhnya perutnya
terkocok dengan api neraka” { HR. Muttafaqun ‘alahi }

5.      Kosumsi Sosial

Dalam Islam, harta merupakan milik dan anugrah Allah  SWT yang diberikan
kepada manusia. Allah memberikan manusia amanat untuk mengelola harta. Manusia
berfungsi sebagai khalifah atas harta milik Allah SWT. Atas dasar ini, pada hakikatnya
terdapat hak orang lain pada harta sehingga manusia yang telah diberi amanat ‘harta’
tidak boleh menggunakan harta semau mereka. Islam melarang seorang muslim untuk
berprilaku kikir dalam mempergunakan harta (konsumsi).  Kikir berarti tidak mau
memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain. Allah SWT melaknat orang-orang
kaya yang berbuat kikir.

“Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang
diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-
orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika
Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan
dalam kesesatan yang nyata.”   {QS. Yasiin: 47 }

6.      Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan

 Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan hari esok atau
masa datang, Allah SWT berfirman :”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya

18
untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”   { QS. al-Hasyr : 18 }

Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatn harta untuk tujuan masa
datang. Bertolak dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat tiga
pilihan dari aktifitas pemanfaatan harta.

Pilihan pertama adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta untuk kepentingan


duniawi dan ukhrawi. Keberadaan pilihan pertama merupakan esensi dari kepercayaan
kepada Allah SWT yang ter-implementasi dalam setiap aktifitas pemanfaatan harta
(konsumsi) yang dilakukan seorang Muslim. Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatn
harta yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan dua efek terhadap kehidupannya.
Efek pertama adalah duniawi yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang ter-
implementasi melalui pemenuhan enam kebutuhan dasar manusia; keimanan (dîn),
kehidupan (nafs), keluarga/keturunan (nasl), pendidikan (aql) ,kekayaan (mâl) dan
lingkungan (bii’ah). Sedang efek kedua adalah ukhrawi yaitu beribadah atau
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam hal konteks ini, pilihan terhadap zakat,
sedekah, wakaf termasuk ke dalam bagian pemanfaatan harta untuk kepentingan ukhrowi
ukhrawi.

Pilihan kedua adalah pilihan terhadap pemanfaatan harta saat ini dan masa
datang. Saat ini berarti segala pilihan pemanfaatan harta ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini (sekarang). Sedangkan, masa datang berarti ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan di masa mendatang yang telah diprediksi pada saat pemenuhan kebutuhan saat
ini. Pilihan masa datang, dapat direalisasikan dalam berbagai cara, misalnya :

I. Pertama, melalui tabungan sebagai langkah penghematan dari kegiatan


pemanfaatan harta saat ini yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan lain di masa datang.

II. Kedua, melalui investasi. Investasi  merupakan sarana untuk memproduktifkan


kekayaan seseorang. Dengan investasi, seseorang dimungkinkan untuk memiliki
pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini
atau mendatang.

19
III. Sedangkan, pilihan ketiga adalah pilihan terhadap tingkat kebutuhan hidup
manusia yang meliputi Darûriyyât, Hajjiât dan Tahsiniyât. Pilihan ketiga didasari
dari penetuan terhadap urutan prioritas yang harus dipenuhi oleh setiap manusia
sebagai konsumen.

E. Jabatan Adalah Amanah

Perlu diyakini bahwa jabatan merupakan amanah yang diberikan oleh Allah SWT
kepada siapa saja yang dikehendaki, meskipun tidak sesuai harapan masyarakat.
Misalnya, Allah SWT memberikan jabatan kepada Raja Thalut yang pandai dan gagah,
meskipun masyarakatnya menilai bahwa Thalut tidak pantas menyandang gelar raja,
karena tergolong orang miskin (Q.S. al-Baqarah [2]: 247)

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat


Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami,
padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun
tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya
Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S. al-Baqarah [2]: 247).

Sebagaimana manusia memiliki syahwat menguasai harta, manusia juga memiliki


syahwat untuk menguasai jabatan. Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin,
keduanya adalah dua rukun (pilar) dunia. Pendapat ini selaras dengan sabda Rasulullah
SAW: “Cinta harta dan jabatan menumbuhkan kemunafikan di hati, sebagaimana air
menumbuhkan tanaman (sayur-mayur)”.
Rasulullah SAW pun mengibaratkan cinta harta dan jabatan itu lebih merusak
terhadap keimanan seorang muslim, dibandingkan dua serigala buas yang dilepas ke
tengah kerumunan domba.
Meskipun banyak al-Qur’an dan Hadis yang secara tersurat maupun tersirat
mencela jabatan, tetap saja manusia memperebutkan jabatan. Menurut Imam al-Ghazali,
hal ini dikarenakan jabatan merupakan kelezatan dunia yang terbesar. Bagaimana tidak?
Berbekal jabatan, pejabat menguasai hati rakyatnya. Dari penguasaan hati tersebut,
muncul beragam kenikmatan duniawi yang diperoleh pejabat dengan mudah.
20
Misalnya, ke sana ke mari dipuja-puji bahkan dikultuskan oleh pendukungnya;
menerima aneka penghormatan dan penghargaan di berbagai tempat; memperoleh
kucuran dana dari berbagai tempat usaha; termasuk menerobos macetnya lalu lintas
dengan mudah.
Mengingat begitu banyaknya keistimewaan yang dapat diraih melalui jabatan,
tidak heran banyak orang berlomba-lomba memperebutkan kursi jabatan. Inilah yang
disebut al-takatsur (saling memperbanyak), tepatnya memperbanyak pengaruh atau
pengikut. Problemnya adalah jabatan di dunia itu terbatas. Misalnya, hanya ada satu kursi
presiden, gubernur, bupati, walikota, camat, dan kepala desa. Oleh sebab itu, perebutan
jabatan di dunia selalu memicu persaingan tidak sehat.  
Jika merujuk pada kandungan makna Surat al-Takatsur [102]: 1-8, orang yang
memperebutkan jabatan dapat terjerumus pada tiga hal negatif. “Bermegah-megahan
telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak
kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu
akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang
yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai
pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (Q.S. al-
Takatsur [102]: 1-8)
I. Pertama, lalai (alhakum al-takatsur). Lalai di sini bermakna “melalaikan
hal-hal yang wajib demi melakukan hal-hal yang haram; atau melalaikan
hal-hal yang lebih penting demi melakukan hal-hal yang penting”.
Buktinya, tidak jarang calon pejabat melakukan perilaku-perilaku yang
tergolong haram, demi memenangkan persaingan. Misalnya, melakukan
“kampanye hitam” (black campaign) dengan mencemarkan nama baik
lawan politiknya; melakukan politik uang (money politic) untuk menyuap
pembesar partai politik agar mengusungnya secara calon pejabat; termasuk
melancarkan “serangan fajar” dengan bagi-bagi sembako untuk membeli
suara pemilih menjelang pemilihan.

21
II. Kedua, menyebut-nyebut atau membawa-bawa orang yang meninggal
dunia (hatta zurtum al-maqabir). Demi memenangkan persaingan,
seringkali calon pejabat mengungkit-ungkit nasab maupun relasinya
dengan tokoh-tokoh terdahulu yang sudah wafat. Semua itu umumnya
dilakukan demi mendapatkan simpati dari para calon pemilih. Pada titik
puncak, bisa jadi ada calon pejabat yang sengaja meminta bantuan secara
langsung kepada “penghuni kubur” yang dinilai keramat

III. Ketiga, calon pejabat yang mengabaikan tuntunan agama dalam upayanya
meraih jabatan, diancam oleh Allah SWT dengan neraka jahim dan akan
dimintai pertanggung-jawaban atas setiap manuver politik yang dilakukan.

Dalam Surat Hud [11]: 15-16 diisyaratkan bahwa bisa jadi cara-cara kotor yang
dilakukan calon pejabat tersebut dapat mengantarkannya sukses menduduki jabatan di
dunia; namun di akhirat, tempatnya hanyalah di neraka. Ini baru terkait tahap sebelum
memperoleh jabatan.

Setelah menduduki jabatan, peluang seorang pejabat masuk neraka atau surga
adalah dua banding satu, sebagaimana sabda Rasulullah SAW menyangkut jabatan
sebagai hakim: “Ada tiga hakim. Dua hakim di neraka dan satu hakim di surga. Hakim
pertama menghukumi dengan tidak benar dan dia tahu bahwa keputusannya tidak benar,
maka dia di neraka. Hakim kedua tidak mengetahui kebenaran, sehingga (keputusannya)
merusak hak-hak masyarakat, maka dia juga di neraka. Hakim ketiga menghukumi
dengan benar, maka dia masuk surga” (H.R. al-Tirmidzi). 

Namun demikian, satu pejabat yang berhasil masuk surga tersebut memiliki posisi
istimewa. Yaitu dia diposisikan pada urutan pertama dari tujuh golongan yang akan
diberi naungan oleh Allah SWT di akhirat. Dalam redaksi Shahih Bukhari dan Muslim,
disebut dengan istilah “al-Imam al-‘Adil” atau “Pejabat yang adil”. Yaitu pejabat yang
menggunakan kewenangannya untuk kemaslahatan umum secara adil. Dari sini muncul
Kaidah Fikih, “Kebijakan pejabat itu didasarkan pada kemaslahatan rakyat (tasharrufu
al-imam manuth bi al-mashlahah). Sedangkan adil bermakna “tidak serba kurang” dan

22
“tidak serba lebih”, melainkan “serba tepat”. Misalnya, kebijakan pajak pendapatan
dibebankan kepada orang kaya, sedangkan orang miskin dibebaskan.

Lebih dari itu, kata adil dalam al-Qur’an biasanya ditujukan pada kebijakan yang
memuaskan satu pihak, sedangkan pihak lain tidak puas. Artinya, kebijakan tersebut
masih memicu kontroversi atau pro-kontra di tengah masyarakat. Jika suatu kebijakan
mampu memuaskan kedua pihak, tidak disebut adil, melainkan disebut al-qisth yang
pelakunya (al-muqsith) dicintai oleh Allah SWT (Q.S. al-Hujurat [49]: 9).

Ketika pejabat terlampau nyaman duduk di atas kursi jabatan, maka sulit sekali
baginya untuk melepaskan jabatan tersebut secara sukarela (legowo). Fakta sejarah sudah
membuktikan begitu banyak pejabat yang tidak rela kehilangan kekuasaan, sehingga
mati-matian mempertahankan kekuasaannya, sekalipun dengan cara-cara biadab, seperti
yang dilakukan Fir’aun dan Namrudz yang membunuh para bayi laki-laki.

Itulah kiranya hikmah mengapa al-Qur’an menggunakan istilah “mencabut”


kekuasaan dengan paksa (wa tanzi’u al-mulka) (Q.S. Ali Imran [2]: 26), karena pada
umumnya pejabat tidak rela mundur dari jabatannya, kecuali dipaksa oleh keadaan atau
masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, apabila kita ingin atau sedang menduduki
jabatan, maka hendaknya memperhatikan tiga hal.

I. Pertama, tidak perlu mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara,


karena jabatan yang diperoleh secara haram, akan menghilangkan
pertolongan Allah SWT. Sebaliknya, jabatan yang diperoleh secara halal,
akan mengundang pertolongan Allah SWT (H.R. Bukhari-Muslim).
II. Kedua, ketika mengemban suatu jabatan, pejabat harus berhati-hati dalam
melangkah, karena peluang pejabat masuk neraka adalah dua kali lipat
dibandingkan peluangnya masuk surga.
III. Ketiga, jika sudah waktunya menyudahi jabatan, tidak perlu dipertahankan
mati-matian; karena jika pejabat tidak mau lengser secara sukarela, maka
dia akan “dilengserkan” oleh Allah SWT secara paksa dengan berbagai
cara yang tak terkira.

23
Sebaliknya, jika kita berposisi sebagai rakyat atau pemilih, maka hendaknya kita
memperhatikan tiga hal juga.

Pertama, ikhtiar memilih pemimpin yang terbaik sesuai tuntunan Islam.


Misalnya, memilih pemimpin yang memiliki jiwa kesatria (gagah berani) dan cinta
negara layaknya Nabi Dawud AS (Q.S. al-Baqarah [2]: 251) serta memiliki sikap empati
atas kepedihan nasib masyarakat dan tekad kuat memperbaiki nasib masyarakat disertai
sikap kasih sayang tanpa batas sebagaimana Rasulullah SAW (Q.S. al-Taubah [9]: 128).

Kedua, istikharah, yaitu meminta pilihan yang terbaik kepada Allah SWT.
Misalnya, shalat istikharah.

Ketiga, berdoa. Misalnya, berdoa sesuai tuntunan Rasulullah SAW, “(Ya Allah)
mohon jangan Engkau kuasakan kepada kami, pemimpin yang tidak sayang kepada
kami” (H.R. al-Tirmidzi).

F. Sikap Terhadap Harta dan Jabatan


Disebabkan harta dan jabatan itu adalah merupakan Amanah dari allah SWT,
maka kita harus bersikap hati-hati terhadapnya. Bila terhadap harta kita wajib berupaya
dan berusaha mencarinya karena harta merupakan kebutuhan kita sebagai bahagian dari
modal hidup, namun bukan demikian halnya tentang jabatan. Jabatan itu merupakan
amanah, oleh karena itu kita tidak harus ambisus untuk memperolehnya.
Bagi yang mempunyai kompetensi atau keahlian dan mempunyai visi misi yang maslahat
kelak dalam jabatannya, maka boleh meminta jabatan, dengan ketentuan bahwa ia juga
tidak boleh terlalu percaya akan keahliannya, sebaliknya jabatan atau menjaga amanah
bagi yabg tidak punya kompetensi atau keahlian, oleh Allah disebut sebagai perilaku
zhalim dan bodoh, sebagaimana Firman allah Surat Al-Ahzab ayat 72 :
“ Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan

24
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
SesungguhnyamanusiaituAmatzalim dan Amatbodoh”.

KESIMPULAN

Harta didefenisikan sebagai Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau


kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain
sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia.
Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. Sedangkan,
pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda,
adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk
melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya
Pada dasarnya Islam memberi kebebasan bagi manusia untuk mencari dan
mengusahakan hartanya dalam rangka menjaga kelangsungan hidup di dunia. Kebebasan
yang diberikan Islam tentu saja tidak bebas nilai. Seorang muslim dituntut harus mampu
membingkai kebebasan yang ia miliki dalam pencarian harta dengan aturan
Syariah. Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu jalan yang
halal, yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum.
Harta dan jabatan adalah hal yang menjadi prioritas manusia di dunia namun
kembali lagi pada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa dunia adalah ladang akhirat,
berkerjalah untuk tetap hidup di dunia menambah amalah di akhirat kelak. Karena harta
dan jabatan adalah amanah dari Allah SWT.

25
DAFTAR PUSTAKA

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/pandangan-islam-terhadap-
harta-dan-ekonomi

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/pandangan-islam-terhadap-
harta-dan-ekonomi

https://opzaney.wordpress.com/2007/06/26/pengurusan-harta-dalam-islam/

https://akhisaipol.wordpress.com/2015/06/24/hakekat-kepemimpinan-jabatan-menurut-
pandangan-islam/

https://www.dialogilmu.com/2018/01/jabatan-dalam-perspektif-islam.html

26

Anda mungkin juga menyukai