Anda di halaman 1dari 99

i

LAPORAN HASIL PENELITIAN

EFEKTIVITAS STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR


PEMASANGAN INFUS TERHADAP PENCEGAHAN

PLEBITIS DI RS A. WAHAB SJAHRANIE

SAMARINDA

Oleh

Joko Sapto Pramono, SKp., MPHM.

NIDN. 4026116602

POLTEKKES KEMENKES KALIMANTAN TIMUR

APRIL 2018
ii
1

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Efektivitas Standart Operasional Prosedur Pemasangan Infus
Terhadap Pencegahan Plebitis di RS AW Syahrani Samarinda” dengan baik.
Penyusunan laporan ini dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai dosen pada
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kalimantan Timur. Selesainya Laporan Penelitian ini
tidak lepas bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, dengan kerendahan hati
penulis ingin mengucapkan terima kasih khususnya kepada yang terhormat:
1. Direktur Poltekkes Kemenkes Kaltim
2. Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Poltekkes Kemenkes Kaltim
3. Direktur RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

Saran dan masukan sangat diharapkan demi perbaikan di masa mendatang.


Akhir kata penulis berharap semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi para pembaca.

Samarinda, 28 September 2018

Penulis
2

ABSTRAK

Pendahuluan: Salah satu infeksi nosokomial yang timbul akibat dari pemberian
terapi intravena yaitu phlebitis, pencegahan phlebitis pada pasien merupakan
tanggung jawab perawat sebagai pelaksana, oleh karena itu pemasangan infus
sesuai SOP merupakan hal yang harus dilakukan oleh perawat sebagai upaya
pencegahan phlebitis. Pemasangan infus sesuai dengan prosedur juga akan
meningkatkan patient safety dan menurunkan resiko infeksi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui efektivitas standa operasional prosedur terhadap pencegahan
plebitis
Metode: Penelitian ini peneliti menggunakan metode Observasional Analitik dengan
pendekatan desain kohort berganda dilaksanakan pada bulan April s/d September
2018, sampel diambil secara random dari perawat di ruang rawat inap RSUD A. W.
Sjahranie, responden sebanyak 81 perawat. Analisis univariat dalam bentuk distribusi
frekuensi dan analisa bivariat mengunakan uji Chi Square.
Hasil: Uji Statistik chi square dengan taraf signifikan α 5 % dengan nilai p
didapatkan sebesar 0,78 (p < α 0,05), disimpulkan bahwa Ho diterima, artinya secara
statistik tidak ada hubungan yang bermakna efektivitas menjalankan standar
operasional prosedur terhadap pencegahan plebitis.
Kesimpulan: Tidak ada hubungan efektivitas menjalankan Standar Operaional
Prosedur dengan pencegahan Plebitis
Saran: Hendaknya Rumah sakit memperhatikan personal hygiene dan perawatan
infuse haria umtuk mencegah terjadi plebitis

Kata kunci: Efektivitas, SPO, Pemasangan Infus, Plebitis


3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

ABSTRAK.......................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR............................................................................................ iv

DAFTAR ISI ......................................................................................................... v

DAFTAR TABEL.................................................................................................. vii

LAMPIRAN.......................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Nosokomial .......................................................................... 7

B. Terapi Intravena ................................................................................ 31

C. Kepatuhan......................................................................................... 50

D. Standar Operasional Prosedur............................................................ 57

E. Kerangaka Teori ................................................................................ 47

F. Kerangka Konsep............................................................................... 48

G. Hipotesis............................................................................................ 49
4

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .................................................................................. 50

B. Populasi dan Sampel ......................................................................... 50

C. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 54

D. Definisi Operasional.......................................................................... 54

E. Instrumen Penelitian ........................................................................ 57

F. Uji Vliditas dan Realibilitas Data ..................................................... 59

G. Teknik Pengumpulan Data................................................................. 61

H. Analisa Data....................................................................................... 62

I. Etika Penelitian.................................................................................. 64

J. Jadwal Kegiatan................................................................................. 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.................................................. 68

B. Hasil Penelitian.................................................................................. 69

1. Karakteristik Responden............................................................ 69

2. Efektivitas standart operasional prosedur pemasangan infus..... 71

3. Pencegahan phlebitis ................................................................. 72

4. Analisis efektifitas standart operasional prosedur terhadap

Pencegahan phlebitis ................................................................. 72

C. Pembahasan........................................................................................ 74
5

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan.......................................................................................... 82

B. Saran.................................................................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi nosokomial merupakan suatu infeksi yang diperoleh selama

pasien dirawat di rumah sakit karena adanya transmisi mikroba patogen yang

bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya (Darmadi, 2008).

Salah satu infeksi nosokomial yang timbul akibat dari pemberian terapi

intravena yaitu phlebitis, Infusion Nursing Society (INS 2010), phlebitis

merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena yang

didapatkan dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endotelium dan

perlekatan trombosit pada area tersebut sebagai akibat komplikasi dari

pemberian terapi intravena yang disebabkan karena iritasi kimia, mekanik

maupun bakteri.

Terapi intravena merupakan proses pemberian cairan ke dalam tubuh,

melalui sebuah kateter yang dilakukan oleh seorang perawat ke pembuluh

darah vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-

zat makanan dari tubuh yang dapat menimbulkan komplikasi akibat

pemasangan kateter intravena (Darmadi & Royale 2010).

Pasien yang menjalani rawat inap mendapatkan terapi intravena dan

diberikan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan

meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi dari pemasangan terapi


2

intravena, salah satunya infeksi. Infeksi nosokomial atau Hospital.

Acquired Infection (HAIs) pada pasien yang mendapat terapi intravena

merupakan salah satu indikator infeksi akibat kesalahan pemasangan terapi

intravena yang tidak sesuai dengan prosedur terutama teknik septik-aseptik.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7%

dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah,

Asia Tenggara dan Pasifik menunjukkan danya infeksi nosokomial Hospital

Acquired Infection (HAIs) dan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.

Di Indonesia phlebitis menempati peringkat pertama infeksi

nosokomial dibandingkan dengan infeksi lainnya yaitu sebanyak 16.435

Pencegahan phlebitis dari 588.328 pasien beresiko di Rumah Sakit Umum di

Indonesia atau sekitar 2,8% dan sebanyak 293 Pencegahan phlebitis dari

18.800 pasien di Rumah Sakit Khusus atau Swasta di Indonesia pada tahun

2006 atau lebih kurang 1,5% (Depkes; dalam Elmiyasna, 2012).

Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari PPI bahwa Pencegahan

phlebitis diharapkan kurang dari 5 per mil berdasarkan standart RSUD Abdul

Wahab Sjahranie, namun kenyataannya belum sesuai dengan harapan

didapatkan bahwa Pencegahan phlebitis pada tahun 2016 mengalami

peningkatan pada tahun 2017 khususnya pada ruangan Flamboyan dan Asther.

Data yang diperoleh pada tahun 2016 di Ruang Flamboyan sebanyak 37,9 per

mil, pada tahun 2017 mengalami peningkatan dengan angka Pencegahan


3

phlebitis sebanyak 45,28 per mil. Sedangkan pada Ruangan Ashter angka

Pencegahan phlebitis pada tahun 2016 sebanyak 44,4 per mil dan tahun 2017

sebanyak 45,9 per mil.

Berdasarkan study pendahuluan yang peneliti lakukan di RSUD Abdul

Wahab Sjahranie pada tanggal 3 Januari 2018 di ruang Flamboyan dan Ashter

untuk menvalidasi adanya peningkatan Pencegahan phlebitis dari tahun 2016

ke tahun 2017. Hasil wawancara dengan kepala ruangan Flamboyan dan

Ashter bahwa adanya peningkatan angka Pencegahan phlebitis pada pasien

merupakan tanggung jawab perawat sebagai pelaksana, karena pemasangan

infus sesuai SOP merupakan hal yang harus dilakukan oleh perawat sebagai

upaya pencegahan phlebitis. Pemasangan infus sesuai dengan prosedur juga

akan meningkatkan pasien safety dan menurunkan resiko infeksi.

Dari hasil penelitian oleh Sastriani pada tahun 2016 hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan prosedur pemasangan infus

dengan Pencegahan phlebitis di Rumah Sakit Umum Kab Majene.

Phlebitis dapat diklasifikasikan menjadi 4 derajat. Phlebitis derajat 1

ditandai dengan eritema dengan atau tanpa rasa sakit. Phlebitis derajat 2

ditandai dengan sakit, eritema, edema dengan atau ada garis lurus tetapi

tidak mengikuti garis pembuluh darah. Phlebitis derajat 3 ditandai dengan

sakit, eritema, edema dengan atau ada garis lurus mengikuti garis pembuluh

darah. Phlebitis derajat 4 ditandai dengan ditemukannya semua tanda-tanda


4

phlebitis (Alexander Mary, 2006). Tidak hanya phlebitis saja pada komplikasi

pemasangan terapi intravena juga dapat menyebabkan hematoma dan infiltrasi

segera pada daerah bekas tusukan.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit seorang

tenaga kesehatan harus mampu meningkatkan mutu pelayanan, dengan

memberikan pelayanan secara efisien dan efektif sesuai dengan standar

profesi, standar pelayanan, yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai

dengan kebutuhan pasien. Setiap tindakan medis harus selalu mengutamakan

keselamatan pasien dan meminimalkan resiko terulangnya keluhan atau

ketidakpuasan pasien. Keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan

keselamatan, menghindari pasien dari cidera dan meningkatkan mutu

pelayanan (Susanti. M, 2008).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dipandang perlu untuk

melakukan penelitian tentang efektivitas standart operasional prosedur

pemasangan infus terhadap pencegahan plebitis di RS AW Syahrani

Samarinda, diharapkan perawat pelaksana dalam memberikan terapi intravena

sesuai dengan standart operasional prosedur untuk meminimalisir

Pencegahan phlebitis, hematoma, dan infiltrasi yang akan ditimbulkan.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
5

diteliti adalah Bagaimana Efektivitas Standart Operasional Prosedur

Pemasangan Infus Terhadap Pencegahan Plebitis di RS AW Syahrani

Samarinda

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Menganalisis efektivitas standart operasional prosedur pemasangan

infus terhadap pencegahan plebitis di RS AW Syahrani Samarinda.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui efektivitas standart operasional prosedur pemasangan

terapi intravena.

b. Mengobservasi Pencegahan phlebitis

c. Menganalisis efektivitas standart operasional prosedur terhadap

Pencegahan phlebitis

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,

wawasan, dan sebagai bahan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang

kesehatan khususnya Ilmu Keperawatan.


6

2. Manfaat praktisi

a. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan

tentang pemasangan infus yang baik terhadap pasien sehingga

meminimalisir Pencegahan plebitis, he,atoma dan infiltrasi pada

pasien yang sedang di rawat inap dalam menjalani pengobatan.

b. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada

pasien bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan phlebitis salah

satunya juga pada tekhnik pemasangan infus yang baik sesuai dengan

standart operasional yang telah di tetapkan oleh instansi terkait.

c. Bagi Ilmu Keperawatan

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan ilmu pengetahuan

tentang pemasangan infus yang benar sesuai dengan ketentuan atau

standart operasional dapat meminimalisir Pencegahan phlebitis,

hematoma dan infiltrasi pada pasien.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Nosokomial

1. Pengertian Infeksi Nosokomial

Dewasa ini karena seringkali tidak bisa secara pasti ditentukan

asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital Acquired

Infection) diganti dengan istilah baru yaitu Healthcare- Associated

Infectioni (HAIs) dengan pengertian yng lebih luas tidak hanya di rumah

sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya (Depkes RI,

2007).

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos (penyakit)

dan komeion (merawat). Nosoconion (atau menurut Latin, nosocomium)

berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit. Infeksi nosokomial

merupakan infeksi yang muncul selama seseorang dirawat atau setelah

selesai dirawat atau setelah selesai dalam masa perawatan. Secara umum,

pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan gejala infeksi setelah 72

jam pasien berada di rumah sakit (Darmadi &Utama, 2008).

2. Etiologi Infeksi Nosokomial

Organisme penyebab infeksi nosokomial dapat berupa bakteri,


8

virus, jamur atau parasit. Kebanyakan masalah infeksi nosokomial

disebabkan oleh bakteri dan virus (Oguntibeju & Nwobu, 2004). Menurut

WHO (Depkes RI, 2007) kuman penyebab infeksi nosokomial dibagi

menjadi 3 golongan yaitu:

a. Conventional Patogens

Menyebabkan penyakit pada orang sehat, karena tidak adanya

kekebalan terhadap kuman tersebut, misalnya staphylococcus aureus,

streptococcus, salmonella, shigella, virus influenza dan virus

hepatitis.

b. Conditional Patogens

Penyebab penyakit kalau ada faktor predisposisi spesifik pada

orang dengan daya tahan tubuh menurun terhadap infeksi

(termasuk neonati) atau kuman langsung masuk kedalam jaringan

tubuh/ bagian tubuh yang biasanya steril. Misalnya: Pseudomonus,

Proteus, Klebsiella, Serralia dan Enterobacter.

c. Opportunistik Patogens

Menyebabkan penyakit menyeluruh (generalized disease)

pada penderita yang daya tahan tubuhnya sangat menurun, misalnya

Mycobacteria, Nocardia, Pneumocytis.

3. Penularan Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial terjadi karena transmisi mikroba patogen dengan


9

mekanisme transport agent infeksi dari reservoir ke penderita dengan

beberapa cara, yaitu: 1) kontak langsung atau tidak langsung, 2) droplet,

3) airborne, 4) melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah), dan 5)

melalui vektor (biasanya serangga dan hewan pengerat) (PPI, 2008).

Cara penularan infeksi nosokomial antara lain:


a. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi baik secara kontak langsung,

kontak tidak langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila

sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya

person to person pada penularan infeksi hepatitis A virus secara fekal

oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan

objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda

mati tersebut telah terkontaminasi oleh sumber infeksi, misalnya

kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme (Yohanes, 2010).

b. Penularan melalui common vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi

oleh kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu

pejamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk

darah, cairan intra vena, obat-obatan, cairan antiseptik, dan

sebagainya (Yohanes, 2010).

c. Penularan melalui udara dan inhalasi

Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran


10

yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak

yang cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya

mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas

akan membentuk debu yang dapat menyebar jauh (Staphylococcus)

dan tuberkulosis (Yohanes, 2010).

d. Penularan melalui perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal.

Disebut penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan

secara mekanis dari mikroorganime yang menempel pada tubuh

vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat. Penularan secara

internal bila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vektor dan dapat

terjadi perubahan biologik, misalnya parasit malaria dalam nyamuk

atau tidak mengalami perubahan biologik, misalnya Yersenia pestis

pada ginjal (flea) (Yohanes, 2010).

e. Penularan melalui makanan dan minuman

Penyebaran mikroba patogen dapat melalui makanan atau

minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat ikut

menyertainya sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun

berat (Uliya, 2006).

4. Siklus Infeksi Nosokomial

Agar bakteri, virus dan penyebab infeksi lain dapat bertahan hidup
11

dan menyebar, sejumlah faktor atau kondisi tertentu harus tersedia. Seperti

dalam gambar di bawah.


AGEN

Mikroorganisme penyebab penyakit

HOST/PEJAMU RESERVOAR
RENTAN

Orang yang dapat tertular tempat agen hidup seperti manusia

TEMPAT MASUK TEMPAT KELUAR

Tempat agen memasuki inang selanjutnya tempat agen meninggalkan inang

METODE PENULARAN

Bagaimana agen berpindah dari satu tempat ke tempat lain (dari satu orang ke orang

lain).

Gambar 2.1 Siklus Infeksi Nosokomial

a. Reservoir Agent

Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu

bertahan hidup tetapi dapat atau tidak dapat berkembang biak.

Reservoir yang paling umum adalah tubuh manusia. Berbagai


12

mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga tubuh, cairan, dan

keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu menyebabkan

seseorang menjadi sakit. Carrier (penular) adalah manusia atau

binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi ada

mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka yang dapat ditularkan

ke orang lain. Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier virus

hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala infeksi. Binatang, makanan,

air, insekta, dan benda mati dapat juga menjadi reservoir bagi

mikroorganisme infeksius. Untuk berkembang biak dengan cepat,

organisme memerlukan lingkungan yang sesuai, termasuk makanan,

oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan cahaya (Perry & Potter, 2005).

b. Portal Keluar (Port of Exit)

Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan

berkembang biak, mereka harus menemukan jalan ke luar jika

mereka masuk ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu

keluar masuk mikroorganisme dapat berupa saluran pencernaan,

pernafasan, kulit, kelamin, dan plasenta (Perry & Potter, 2005).

c. Cara Penuularan (Mode of Transmission)

Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara

langsung misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan

secara tidak langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati,


13

dan udara (Perry & Potter, 2005).

d. Portal masuk (Port of Entri)

Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit

adalah bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit

merupakan tempat masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat

masuk melalui rute yang sama untuk keluarnya mikroorganisme

(Perry & Potter, 2005).

e. Kepekaan dari host (Host Susceptibility)

Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap

agen infeksius. Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan

individu terhadap mikroorganisme patogen. Semakin virulen suatu

mikroorganisme semakin besar kemungkinan kerentanan seseorang.

Resistensi seseorang terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan

vaksin (Perry & Potter, 2005).

5. Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Nosokomial

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah

mengendalikan perkembangbiakan dan penyebaran mikroba patogen.

Mengendalikan perkembangbiakan mikroba patogen beararti upaya

mengelimiasi reservoir mikrob apatogen yang sedang atau akan

melakukan kontak dengan penderita baik langsung maupun tidak


14

langsung. Sedangkan mencegah penyebaran mikroba patogen berarti

upaya mencegah berpindahnya mikroba patogen, diantaranya melalui

perilaku atau kebiasaan petugas yang terkait dnegan layanan medis

atau layanan keperawatan kepada penderita (Darmadi, 2008).

Kewaspadaan berdasarkan transmisi dibutuhkan untuk memutus

mata rantai transmisi mikroba penyebab infeksi dibuat untuk diterapkan

terhadap pasien yang diketahui maupun dugaan terinfeksi atau

terkolonisasi patogen yang dapat ditransmisikan lewat udara, droplet,

kontak dengan kulit atau permukaan yang terkontaminsai. Kewaspadaan

standar disusun oleh CDC dengan menyatukan Universal Precaution (UP)

atau kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh untuk mengurangi

resiko terinfeksi patogen yang berbahaya melalui darah dan cairan tubuh

lainnya, dan Body Substance Isolation (BSI) atau isolasi tubuh yang

berguna untuk mengurangi resiko penularan patogen yang berada dalam

bahan yang berasal dari tubuh pasien terinfeksi. Kewaspadaan standar

meliputi: (1) Kebersihan tangan/Hand hygine, (2) Alat Pelindung Diri

(APD): sarung tangan, masker, goggle (kacamata pelindung), face shield

(pelindung wajah), gaun, (3) Peralatan perawatan pasien, (4) Pengendalian

lingkungan, (5) Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen,

(6) Kesehatan karyawan/perlindungan petugas kesehatan, (7) Penempatan

pasien, (8) Hygine respirasi/etika batuk, (9) Praktek menyuntik yang

aman, (10) Praktek untuk punksi lumbal (Akib, et. al., 2008).
15

Tindakan atau upaya penularan penyakit infeksi adalah tindakan

yang paling utama. Kasus infeksi nosokomial yang terjadi di rumah

sakit dan lingkungannya dapat dicegah dan dikendalikan dengan

memperhatikan tiga sikap pook berikut.

a. Kesadaran dan rasa tanggung jawab para petugas bahwa dirinya dapat

menjadi sumber penularan atau media perantara dalam setiap prosedur

dan tindakan medis (diagnosis dan terapi), sehingga dapat

menimbulkan terjadinya infeksi nosokomial.

b. Selalu ingat akan metode mengeliminasi miroba patogen melalui

tindakan aseptik, desinfeksi, dan strerilisasi.

c. Disetiap unit pelayanan perawatan dan unit tindakan medis, khususnya

kamar operasi dan kamar bersalin harus terjaga mutu sanitasinya

(Darmadi, 2008).

B. Terapi Intravena

1. Pengertian Terapi Intravena

Terapi intravena merupakan pemberian sejumlah cairan ke dalam

tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)

untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh

agar kebutuhan akan cairan dan nutrisi yang hilang dapat terpenuhi

(Darmadi, 2010).
16

Terapi intravena ialah bagian terpenting dari sebagian terapi yang

diberikan di rumah sakit, dan merupakan prosedur umum yang diberikan

kepada pasien yang membutuhkan akses vaskuler. Intervensi dari terapi

intravena mengarah pada pemberian obat secara interval, menyediakan

cairan, secara bersama-sama kepada pasien setiap harinya secara teratur

(Gabriel, Uslusoy, & Mete Mete, 2008).

Dari beberapa pengertian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

terapi intravena adalah salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan

dengan cara memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi

parenteral kedalam tubuh melalui intravena yang digunakan untuk

memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar,

dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk

mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan

untuk metabolisme dan memberikan medikasi.

2. Tujuan Pemberian Terapi Intravena

Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air,

elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat

dipertahankan secara adekuat melalui oral, memperbaiki keseimbangan

asam-basa, memperbaiki volume komponen-komponen darah,

memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh,

memonitor tekanan vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat


17

sistem pencernaan mengalami gangguan (Perry & Potter, 2006).

3. Indikasi dan Kontrainikasi Pemberian Terapi Intravena

Pemberian cairan bisa saja melalui oral ataupun melalui vena namun

terdapat kondisi-kondisi tertenu dimana seseorang memerlukan jalur vena

sebagai peresapan yang tepat dan membutuhkan pengawasan. Secara umum,

indikasi yang menjadikan seseorang mendapatkan terapi intravena adalah

sebagai berikut (UNAND, 2011).

a. Kondisi jalur enteral (via oral) tidak memungkinkan, misalkan pada

pasien yang mengalami penurunan kesadaran serta pasien dalam

keadaan kejang.

b. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan

komponen darah).

c. Trauma abdomen (perut) berat.

d. Fraktur patah tulang, khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha).

e. Serangan panas (head stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi).

f. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi).

g. Luka bakar luas (Kehilangan banyak cairan tubuh).

h. Semua trauma kepala, dada, dan tulang (kehilangan cairan tubuh dan

komponen darah).

Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi


18

intravena meliputi: Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi

pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena

lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V

shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi

iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya

pembuluh vena di tungkai dan kaki).

4. Tipe-tipe Cairan Intravena

Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum

+
(konsentrasi ion Na lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut

dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik”

dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan

berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya

mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”

dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi

diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan

ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah

perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,

menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial

(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan

Dekstrosa 2,5%.
19

Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati

serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di

osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair

dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.

Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan

tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya

overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung

kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer- Laktat (RL),

dan normalsaline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).

Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,

sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam

pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan

produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya

kontradiktif dengan cairan Hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%

hipertonik, Dextrose 5%+Ringer- Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%,

produk darah (darah), dan albumin (Perry & Potter, 2006).

Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:

a. Cairan Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi

sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh

darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang

memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam


20

fisiologis.

b. Cairan Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar

sehingga tidak akan keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada

dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik

cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid

(Perry & Potter, 2006).

5. Tipe-tipe Pemberian Terapi Intravena

Intravena (IV) push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum

suntik secara langsung kedalam saluran/jalan infus.

Indikasi: pada keadaan emergency resusitasi jantung paru,

memungkinkan pemberian obat langsung kedalam intravena, Untuk

mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat (furosemid dan

digoksin), untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus

menerus melalui infus (lidocain, xilocain), untuk menurunkan

ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi kebutuhan akan injeksi,

untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat

yang dicampur.

Continous Infusion (infus berlanjut) dapat diberikan secara tradisional

melalui cairan yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan

aliran. Infus melalui intravena, intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat
21

dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun

eksternal. Hal yang perlu dipertimbangkan yaitu:

Keuntungan: mampu untuk mengimpus cairan dalam jumlah besar

dan kecil dengan akurat, adanya alarm menandakan adanya masalah

seperti adanya udara di selang infus atau adanya penyumbatan,

mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus.

Kerugian: memerlukan selang yang khusus dan biaya lebih mahal.

Intermitten Infusion (Infus Sementara) dapat diberikan melalui

heparin lock, “piggy bag” untuk infus yang kontiniu, atau untuk terapi

jangka panjang melalui perangkat infus. (Perry & Potter, 2006).

6. Efek Samping Terapi Intravena

Terapi intravena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka

waktu yang lama tentunya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya

komplikasi. Komplikasi dari pemasangan infus dalam memenuhi

kebutuhan terapi intravena yang dikemukan oleh Priska dan Aryawati

(2009) yaitu:

1. Komplikasi lokal

a. Phlebitis

Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun

mekanik. Kondisi ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah


22

yang memerah dan hangat di sekitar daerah insersi/penusukan atau

sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area insersi atau

sepanjang vena, dan pembengkakan.

b. Hematoma

Dimana darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat

pecahnya pembuluh darah arteri vena atau kapiler, terjadi akibat

adanya penekanan yang kurang tepat pada saat memasukkan jarum

atau tusukan berulang pada pembuluh darah. Tanda dan gejala

hematoma yaitu, kulit terliha keunguan, dan pembengkakan segera

pada tempat penusukan, dan kebocoran darah pada tempat

penusukan.

c. Infiltrasi

Masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan

pembuluh darah), hal ini dapat terjadi karena ujung jarum infus

melewati pembuluh darah. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat

penusukan lebih besar daripada tempat yang sama di ekstremitas

yang berlawanan. Suatu cara yang lebih dipercaya untuk

memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas

atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan

mengencangkan torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan

aliran vena. Jika infus tetap menetes meskipun ada obstruksi vena,
23

berarti terjadi infiltrasi. Infiltrasi vena ditunjukkan dengan adanya

pembengkakan (akibat peningkatan cairan di jaringan), palor

(disebabkan oleh sirkulasi yang menurun).

d. Trombophlebitis

Bengkak pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang

dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. Karakteristik

tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi, kemerahan,

indurasi, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi

atau sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa

tidak nyaman dan pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat,

demam, malaise, dan leukositosis.

e. Emboli udara

Yakni masuknya udara kedalam sirkulasi darah, terjadi akibat

masuknya udara yang ada pada cairan infus masuk kedalam

pembuluh darah.

f. Occlusion

Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran

ketika botol dinaiikan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak

nyaman pada area pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh

gangguan aliran IV, aliran darah ketika pasien berjalan, dan selang

diklem terlalu lama.


24

g. Spasme vena

Kondisi ini ditandai dngan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di

sekitar vena, aliran berhenti meski klem sudah dibuka maksimal.

Spasme vena bisa disebabkan oleh pemberian darah atau cairan

yang dingin, iritasi vena oleh obat atau cairan yang mudah

mengiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.

h. Reaksi vasovagal

Kondisi ini digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kolaps

pada vena, dingin, berkeringat, pingsan, pusing,mual, dan

penurunan tekanan darah. Reaksi vasovagal bisa disebabkan oleh

nyeri atau kecemasan.

i. Kerusakan syaraf, tendon dan ligament

Kondisi ini ditandai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, da

kontraksi otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati

rasa dan deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh teknik

pemasangan yang tidak tepat sehingga menimbulkan injuri di

sekitar syaraf, tendon dan ligament.

2. Komplikasi sistemik

a. Septikemia

Adanya substansi pirogenik baik dalam larutan infus atau alat

pemberian dapat mencetuskan reaksi demam dan septikemia.


25

Perawat dapat melihat kenaikan suhu tubuh secara mendadak

segera setelah infus dimulai, sakit punggung, sakit kepala,

peningkatan nada dan frekuensi pernafasan, mual dan muntah,

diare, demam dan menggigil, malaise umum, dan jika parah bisa

terjdi kollpas veskuler. Penyebab septikemia adalah kontaminasi

pada produk IV, kelainan tehknik aseptik. Septikemia terutama

terjadi pada klien yang mengalami penurunan imun.

b. Reaksi alergi

Kondisi ini ditandai dengan gatal, hidung, dan mata berair,

bronkospasme, wheezing, urtikaria, edema pada area insersi, reaksi

anafilaktik (kemerahan, cemas, dingin, gatal, palpitasi, paresthesia,

wheezing, kejang, dan kardiak arrest). Kondisi ini bisa disebabkan

oleh allergen, misal karena medikasi.

c. Overload sirkulasi

Membebani sistem sirkulasi dengan cairan intravena yang

berlebihan akan menyebabkab peningkatan tekanan darah dan

tekanan vena sentral, dipsnea berat, dan sianosis. Tanda dan gejala

tambahan termasuk batuk dan kelopak mata yang bengkak.

Penyebab yang mungkin termasuk adalah infus larutan IV yang

terlalu cepat atau penyakit hati, jantung dan ginjal. Hal ini juga

mungkin bisa terjadi pada pasien dengan gangguan jantung yang


26

disebut dengan beban sirkulasi.

d. Embolisme udara

Emboli udara paling sering berkaitan dengan kanulasi vena-

vena sentral. Manifestasi klinis emboli udara adalah dipsnea dan

sianosis, hipotensi, nadi yang lemah dan cepat, hilangnya

kesadaran, nyeri dada, bahu, dan punggung bawah.

7. Penatalaksanaan Keperawatan pada pasien yang mendapat Terapi

Intravena

a. Pungsi Vena

Kemampuan untuk mendapat akses ke sistem vena guna

memberikan cairan dan obat.

1) Pemilihan tempat : vena yang sering digunakan adalah vena

ekstremitas atas karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki.

Vena ekstremitas bawah lebih berisiko mengalami tromboflebitis.

Vena sentral yang sering digunakan dokter termasuk vena

subclavia dan vena jugularis interna tapi mengalami risiko yang

tinggi terhadap infeksi. Fosa antekubital dihindari. Berikut

pertimbangan yang harus diperhatikan untuk memilih tempat

penusukan vena: kondisi vena; jenis cairan atau obat yang akan

diinfuskan; lamanya terapi; usia dan ukuran pasien; riwayat


27

kesehatan dan status kesehatan sekarang serta keterampilan tenaga

kesehatan.

2) Perlengkapan pungsi vena : jalur akses PICC (Peripherally

Inserted Central Catheter) dan Midline Catheter (MLC). PICC

merupakan terapi parenteral jangka menengah sampai jangka

panjang sering kali harus dipasang kateter sentral yang terpasang

secara perifer. MLC digunakan untuk pasien yang tidak

mempunyai akses perifer tetapi membutuhkan antibiotika IV, darah

dan nutrisi parenteral.

3) Menginformasikan pasien tentang lamanya infus yang

diperkirakan, dan pembatasan aktivitas.

4) Persiapan letak infus meliputi tindakan aseptik sebelum melakukan

pungsi vena.

5) Entri vena dilakukan berdasarkan kemampuan yang dimiliki seorang

perawat.

b. Pemantauan Terapi Intravena

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran gravitasi IV :

a) Aliran berbanding langsung degan ketinggian bejana cairan.

b) Aliran berbanding langsung dengan diameter selang.

c) Aliran berbanding terbalik dengan panjang selang.


28

d) Aliran berbanding terbalik dengan viskositas cairan.

2) Memantau aliran : menggunakan rumus

Gtt/ml dari set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x

volume total per jam = gtt/mnt.

c. Penghentian infus

Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua

kemungkinan bahaya perdarahan dan emboli kateter (Smeltzer &

Bare, 2001).

8. Pemilihan Ukuran Kateter Terapi Intravena

Pemilihan ukuran kateter, sebaiknya dipilih sesuai dengan anatomi

vena pasien. Kateter terdiri dari ukuran 16-24 dengan variasi panjang

dari 25 sampai 45 mm. Pada umumnya, pemilihan kateter dengan

ukuran yang kecil seharusnya menjadi pilihan utama pada terapi

pemasangan intravena untuk mencegah kerusakan pada vena intima

dan memastikan darah mengalir disekitar kateter dengan adekuat untuk

menurunkan resiko Pencegahan flebitis (Dougherty, 2008).

Ukuran Kateter (Gauge) Warna Aplokasi Klinis


14G Coklat Trauma, pembedahan, transfusi
darah
16G Abu-abu Trauma, pembedahan, transfusi
darah
18G Hijau Trauma, pembedahan, transfusi
darah
29

20G Pink Infus kontinu, intermitten, tranfusi


darah
22G Biru Infus intermitten umum, anak-
anak, lansia
24 Kuning Vena fragil untuk infus intermitten
atau kontinu
Tabel 2.2 Rekomendasi dalam pemilihan kateter
(Infusion NurseSociety: standrt of practice,2006)

9. Lokasi

Menurut Perry dan Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer

yang sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial

atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses

paling mudah untuk terapi intravena. Daerah tempat infus yang

memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (vena supervisial

dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena

basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median lengan bawah,

dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus dorsalis).

Menurut Dougherty, dkk, (2010), pemilihan lokasi pemasangan

terapi intravena mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:

a. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah

sangat penting dan mempengaruhi berapa lama intravena terakhir.

b. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima

jenis terapi tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti

pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh apapun.


30

c. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak,

perubahan tingkat kesadaran.

d. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan

diberikan sering memaksa tempat-tempat yang optimum

(misalnya hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena-vena

perifer).

e. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan

pengukuran untuk memelihara vena yaitu pilih vena yang akurat

dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal

ke proksimal (misalnya mulai di tangan dan pindah ke lengan)

f. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada,

pemilihan sisi dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat

penting , jika sedikit vena pengganti.

g. Terapi intravena sebelumnya : flebitis sebelumnya membuat vena

menjadi tidak baik untuk di gunakan, kemoterapi sering

membuat vena menjadi buruk (misalnya mudah pecah atau

sklerosis).

h. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang

terkena pada pasien dengan kelenjar limfe yang telah di angkat

(misalnya pasien mastektomi) tanpa izin dari dokter.

i. Sakit sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada


31

pasien dengan stroke.

j. Kesukaan pasien : jika mungkin, pertimbangkan kesukaan alami

pasien untuk sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.

2.3 Gambar
Lokasi Vena Perifer Pemilihan Pemasangan Terapi intravena

10. Lama Pemasangan Terapi Intravena

Menurut brooker & Gould (2003) lamanya penggunaan jarum

intravena (abocath) harus di ganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti

lokasi vena yang di tusuk jarum intravena setiap 48 jam. Penelitian


32

yang dilakukan oleh masiayati (2000) dengan judul “Waktu Yang

Efektif Untuk Pemasangan Infus Agar Tidak Flebitis”, didapatkan

angka paling besar dalam waktu pemasangan terapi intravena selama

96-120 jam sebesar 60%.

Menurut Tietjen, dkk (2004) mengatakan ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan dalam perawatan terapi intravena:

a. Rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan setiap 72-96 jam dapat

mengurangi phlebitis dan infeksi lokal ( teflon atau polikateter lebih

baik dari pada jarum logam karena tidak menembus vena saat

rotasi).

b. Pada pemakaian jangka pendek(<48 jam), jarum lurus atau batterfly

kurang mengakibatkan iritasi karena terbuat dari plastik dan juga

infeksi lebih rendah.

c. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan dapat di

pertahankan 72 jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas

segera di lakukan penggantian).

d. Lokasi insersi kateter harus di periksa setiap 24 jam untuk

mengetahui apakah ada rasa nyeri yang timbul.

e. Ganti botol cairan infus sebelum habis.

f. Set infus harus di ganti jika terjadi kerusakan atau secara rutin setiap

3X24 jam (apabila saluran baru disambungkan, udap pusat jarum


33

atau kateter plastik cairan infus dengan alkohol 60-90% dan

sambungkan kembali dengan infus set).

g. Saluran tubing yang di gunakan untuk memberikan darah, produk

darah atau emulsi lemak harus di ganti setiap 24 jam.

11. Cara Pencegahan Efek Samping Terapi Intravena

Menurut Hidayat (2008), selama proses pemasangan infus perlu

memperhatikan hal-hal untuk mencegah komplikasi yaitu :

a. Gunakan alat-alat yang steril saat pemasangan, dan gunakan tehnik

sterilisasi dalam pemasangan infus.

b. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru.

c. Ganti kasa penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi.

d. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain.

e. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan.

f. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir.

g. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum

infus perlahan, periksa ujung kateter terhadap adanya embolus.

h. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester

dibersihkan memakai kapas alkohol atau bensin (jika perlu).

i. Hindarkan memasang infus pada daerah-daerah yang infeksi, vena

yang telah rusak, vena pada daerah fleksi dan vena yang tidak stabil.
34

j. Mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus dengan tepat.

Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan mili

liter perjam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

C. Kepatuhan

1. Pengertian Kepatuhan

Perilaku kepatuhan bersifat sementara karena perilaku ini akan

bertahan bila ada pengawasan. Jika pengawasan hilang atau mengendur

maka akan timbul perilaku ketidakpatuhan. Perilaku kepatuhan ini akan

optimal jika perawat itu sendiri mengganggap perilaku ini bernilai positif

yang akan diintegrasikan melalui tindakan asuhan keperawatan. Perilaku

keperawatan ini akan dapat dicapai jika manager keperawatan merupakan

orang yang dapat dipercaya dan dapat memberikan motivasi

(Sarwono, 2007).

2. Indikator Kepatuhan

Federich mengatakan bahwa kepatuhan kepada otoritas terjadi hanya

jika perintah dilegitimasi dalam konteks norma dan nilai-nilai kelompok

(dalam Umami, 2010:26). Di dalam kepatuhan terdapat tiga bentuk

perilaku yaitu:
35

a. Konformitas (conformity)

Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana

individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai

dengan norma sosial yang ada.

b. Penerimaan (compliance)

Penerimaaan adalah kecenderungan orang mau dipengaruhi oleh

komunikasi persuasif dari orang yang berpengetahuan luas atau orang

yang disukai. Dan juga merupakan tindakan yang dilakukan dengan

senang hati karena percaya terhadap tekanan atau norma sosial dalam

kelompok atau masyarakat.

c. Ketaatan (obediance)

Ketaatan merupakan suatu bentuk perilaku menyerahkan diri

sepenuhnya pada pihak yang memiliki wewenang, bukan terletak

pada kemarahan atau agresi yang meningkat, tetapi lebih pada bentuk

hubungan mereka dengan pihak yang berwenang.

Sarwono dan Meinarno (2011:105) juga membagi kepatuhan dalam

tiga bentuk perilaku yaitu:

a. Konformitas (conformity). Yaitu individu mengubah sikap dan tingkah-

lakunya agar sesuai dengan cara melakukan tindakan yang sesuai dan

diterima dengan tuntutan sosial.


36

b. Penerimaan (compliance). Yaitu individu melakukan sesuatu atas

permintaan orang lain yang diakui otoritasnya.

c. Ketaatan (obedience). Yaitu individu melakukan tingkahlaku atas perintah

orang lain. Seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain

untuk melakukan tingkah laku tertentu karena ada unsur power.

Dari uraian indikator kepatuhan beberapa ahli di atas, peneliti memilih

bentuk-bentuk perilaku patuh kepada norma sosial oleh Sarwono dan Meinarno

(2011) yaitu konformitas, compliance (penerimaan) dan obedience (ketaatan)

karena indikator diatas berlaku secara umum.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan (Setiadi, 2007) yaitu:

a. Faktor internal

1) Pengetahuan

Menurut Wawan & Dewi (2010), pengetahuan merupakan

hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang penginderaan terhadap

suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang

sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt

behavior).
37

Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat

langgeng, sebelum orang mengadopsi perilaku baru tersebut terjadi

proses yang berurutan yakni :

a) Awareness (kesadaran) : yakni orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

b) Interest : yakni orang mulai tertarik kepada stimulus.

c) Evaluation : menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah

lebih baik lagi.

d) Trial : orang telah mulai mencoba perilaku baru.

e) Adoption : subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2) Sikap

Menurut Azwar (2009) sikap adalah suatu bentuk evaluasi

atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan

tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek

tersebut. Sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi

terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan

bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan

potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu


38

dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya

respons.

3) Kemampuan

Kemampuan adalah bakat seseorang untuk melakukan tugas

fisik atau mental. Kemampuan seseorang pada umumnya stabil.

Kemampuan merupakan faktor yang dapat membedakan karyawan

yang berkinerja tinggi dan yang berkinerja rendah. Kemampuan

individu mempengaruhi karakteristik pekerjaan, perilaku,

tanggung jawab, pendidikan dan memiliki hubungan secara nyata

terhadap kinerja pekerjaan (Ivancevich,2007). Manager harus

berusaha menyesuaikan kemampuan dan ketrampilan seseorang

dengan kebutuhan pekerjaan. Proses penyesuaian ini penting

karena tidak ada kepemimpinan, motivasi, atau sumber daya

organisasi yang dapat mengatasi kekurangan kemampuan dan

ketrampilan meskipun beberapa ketrampilan dapat diperbaiki

melalui latihan atau pelatihan (Ivancevich, 2007).

4) Motivasi

Motivasi mempunyai arti dorongan, berasal dari bahasa latin

“movere”, yang berarti mendorong atau menggerakkan. Motivasi

inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktifitas

dalam pencapaian tujuan. Karena itu motivasi diartikan sebagai


39

kekuatan yang terdapat dalam diri organisme yang mendorong

untuk berbuat atau merupakan driving force. Motif sebagai

pendorong pada umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi saling kait

mengait dengan faktor-faktor lain, hal-hal yang dapat

mempengaruhi motif disebut motivasi. Kalau orang ingin

mengetahui mengapa orang berbuat atau berperilaku ke arah

sesuatu seperti yang dikerjakan, maka orang tersebut akan terkait

dengan motivasi atau perilaku yang termotivasi (motivated

behavior) (Sunaryo, 2004).

b. Faktor eksternal

1) Karakteristik Organisasi

Subyantoro (2009), berpendapat bahwa karakteristik

organisasi meliputi komitmen organisasi dan hubungan antara

teman sekerja dan supervisor yang akan berpengaruh terhadap

kepuasan kerja dan perilaku individu.

2) Karakteristik kelompok

Rusmana (2008) berpendapat bahwa kelompok adalah unit

komunitas yang terdiri dari dua orang atau lebih yang memiliki

suatu kesatuan tujuan dan pemikiran serta integritas antar anggota

yang kuat. Karakteristik kelompok adalah adanya interaksi,


40

adanya struktur, kebersamaan, adanya tujuan, ada suasana

kelompok, dan adanya dinamika interdependensi.

Anggota kelompok melaksanakan peran tugas, peran

pembentukan, pemeliharaan kelompok, dan peran individu.

Anggota melaksanakan hal ini melalui hubungan interpersonal.

Tekanan dari kelompok sangat mempengaruhi hubungan

interpersonal dan tingkat kepatuhan individu karena individu

terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok

meskipun sebenarnya individu tersebut tidak menyetujuinya

(Rusmana, 2008).

3) Karakteristik pekerjaan

Karakteristik pekerjaan akan memberikan motivasi bagi

karyawan untuk lebih bekerja dengan giat dan untuk

menumbuhkan semangat kerja yang lebih produktif karena

karakteristik pekerjaan adalah proses membuat pekerjaan akan

lebih berarti, menarik dan menantang sehingga dapat mencegah

seseorang dari kebosanan dan aktivitas pekerjaan yang monoton

sehingga pekerjaan terlihat lebih bervariasi. Gibson et al

(Rahayu,2006) karakteristik pekerjaan adalah sifat yang berbeda

antara jenis pekerjaan yang satu dengan yang lainnya yang bersifat

khusus dan merupakan inti pekerjaan yang berisikan sifat-sifat


41

tugas yang ada di dalam semua pekerjaan serta dirasakan oleh para

pekerja sehingga mempengaruhi sikap atau perilaku terhadap

pekerjaannya.

4) Karakteristik lingkungan

Apabila perawat harus bekerja dalam lingkungan yang

terbatas dan berinteraksi secara konstan dengan staf lain,

pengunjung, dan tenaga kesehatan lain. Kondisi seperti ini yang

dapat menurunkan motivasi perawat terhadap pekerjaannya, dapat

menyebabkan stress, dan menimbulkan kepenatan

(Swansburg,2004).

D. Standart Operasional Prosedur

1. Pengertian Standart Operasional Prosedur

Suatu standar atau pedoman tertulis yang digunakan untuk

menggerakkan atau mendorong suatu kelompok untuk mencapai tjuan

organisasi. Standart operasional prosedur merupakan tatacara atau tahapan

yang dibakukan dan yang harus dilalui untuk menyelesaikan suatu proses

kerja tertentu (Perry dan Potter, 2005).

Standart operasional prosedur pemasangan infus menurut RSUD AW.

Sjahranie 2015 adalah memasukkan cairan obat langsung ke dalam

pembuluh darah vena dalam jumlah banyak dan waktu yang lama, dengan

menggunakan infus.
42

2. Tujuan

Adapun tujuan pemasangan infus berdasarkan SK. Pemimpin BLUD

RSUD A. Wahab Sjahranietahun 2015 sebagai berikut:

a. Sebagai pengobatan.

b. Mencukupi kebutuhan tubuh akan cairan dan elektrolit.

c. Memberikan zat makanan pada pasien yang tidak tepat atau tidak boleh

melalui mulut.

3. Prosedur Pemasangan Infus Sesuai Teori

Karena infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terapi intravena,

peralatan intravena harus steril, juga wadah selang parenteral. Tempat insersi

harus dibersihkan dengan kapas povidoneiodine selama 2-3 menit, ,u;ai dari

tengah ke arah tepi. Tindakan ini diikuti dengan alcohol 70%. (Hanya

alcohol yang digunakan jika pasien alergi pada iodine). Perawat harus

menggunakan sarung tangan sekali pakai tidak steril selama prosedur pungsi

vena karena tingginya kemungkinan kontak dengan darah pasien

(Asmadi,2008).

4. Standart Operasional Pemasangan Infus RSUD AW. Sjahranie

a. Persiapan alat

1) Cateter intravena (IV) ukuran sesuai kebutuhan.

2) Selang infus (jenis sesuai kebutuhan).

3) Cairan infus (jenis sesuai kebutuhan).


43

4) Standart infus.

5) Alcohol swab 3-4 lembar.

6) Sarung tangan steril 1 pasang.

7) Plester.

8) Tourniquet 1 buah.

9) Bengkok 1 buah.

10) Underpad 1 lembar kecil.

11) Transparan dressing 1 lembar.

12) Duk lubang (dalam tempat steril).

13) Guntimg.

Persiapan pasien : Memberikan penjelasan kepada pasien tentang

tindakan yang akan dilakukan.

b. Pelaksanaan

1) Mencuci tangan sesuai (sesuai spo cuci tangan).

2) Identifikasi pasien (sesuai spo identifikasi pasien).

3) Membawa peralatan ke pasien.

4) Mengatur posisi pasien dengan posisi supine (terlentang).

5) Berikan edukasi kesehatan tentang : waktu tindakan, tujuan terapi

intravena, lama terapi IV, jumlah dan jenis cairan yang dibutuhkan,

sensasi yang dirasakan.


44

6) Atur penerangan yang cukup.

7) Bila lokasi pemasangan infus terlalu banyak ditumbuhi rambut,

gunting terlebih dahulu.

8) Cek kembali pemberian terapi cairan sesuai prinsip 7 benar.

9) Jelaskan pada pasien bahwa prosedur akan dimulai.

10) Sambungkan kolf infus dengan selang infus, isi drip chamber

sampai 1/3-1/2 penuh, ujung selang infus harus dalam keadaan

tertutup (agar tidak terkontaminasi), alirkan cairan secara perlahan

agar tidak ada udara di dalam selang.

11) Atur roll clamp sekitar 2-5 cm di bawah drip chamber pada posisi

off.

12) Gantungkan kolf cairan ke standar infus, atur ketinggian standart

infus: kolf cairan harus tergantung minimal 1 meter dari atas lokasi

jantung pasien. (meninggikan kolf akan meningkatkan kelancaran

tetesan infus)

13) Atur posisi pasien : posisi tangan lebh rendah dari posisi jantung

agar pengisian kapiler baik.

14) Pilih lokasi yang akan dilakukan insersi.

15) Insersi kateter IV di ekstermitas atas lebih dianjurkan.

16) Pilih vena cephalica, bacilica atau median cubital.

17) Pilh vena yang cukup dilatasi, jika kulit pasien tebal atau warnanya
45

gelap, vena tidak dapat dilihat, palpasi vena sampai teraba penuh

dan terlihat dipermukaan.

18) Mulailah dari vena bagian distal pada lenga yang non dominan agar

tidak menganggu aktivitas pasien.

19) Penempatan kateter harus berada jauh fari pergerakan sendi, seperti

pergelangan tangan atau siku.

20) Pasang underpad.

21) Pasang tourniquet 10-15 cm diatas area penusukan.

22) Cuci tangan hand rubs dan kenakan sarung tangan steril.

23) Pasang duk lobang.

24) Desinfeksi area yang akan ditusuk dengan diameter 5-10 cm dengan

alcohol 70% atau isopropyl, dengan gerakan berputar dariarah

dalam ke luar. Tunggu sampai kering dan jangan ditiup.

25) Jangan melakukan palpasi pada lokasi setelah kulit di bersihkan

dengan antiseptik(lokasi dianggap aerah steril).

26) Dengan memiringkan jarum dengan sudut 30-45 derajat tusuk kulit

pasien.

27) Memasuki kulit dan vena dalam satu gerakan halus dari atas. Anda

rasakan jarum masuk ke vena. Mengamati darah dalam tabung

jarum.

28) Setelah yakin jarum masuk ke dalam vena yang ditandai dengan
46

keluarnya darah di ujung cateter ven, maka tarik maindran dan

masukkan cateter secara perlahan.

29) Lepaskan tourniquet.

30) Tarik pelan-pelan maindrain dari dalam cateter dengan satu tangan,

tempatkan ujung jari anda pada ujung cateter untuk pengamanan

cateter dan menutup jalan vena.

31) Hubungkan dengan selang infus.

32) Buka klem selang infus dan perhatikan tetesan cairan harus

mengalir dengan mudah dan tidak ada pembengkakan di sekitar

lokasi IV.

33) Mengurangi laju tetesan dan lanjutkan dengan di plester.

34) Tutup dengan transparant dressing agar mudah diobservasi secara

visual jika terjadi phlebitis dan plester selang.

35) Atur tetesan infus sesuai instruksi.

36) Perhatikan reaksi pasien dan tanyakan kondisi pasien.

37) Rapikan semua peralatan.

38) Lepas sarung tangan.

39) Cuci tangan hand rubs.

40) Berikan label pada area infus untuk informasi sesuai kebijakan

(tanggal,jam pemasangan).

41) Dokumentasikan dalam catatan keperawatan.


47

E. Kerangka Teori

Port the entry

Sebelum infeksi, mikroorganisme


harus memasuki tubuh. Kulit adalah
bagian rentan terhadap infeksi dan
adanya luka pada kulit merupakan
tempat masuk mikroorganisme.
Infeksi nosokomial

1. Conventional patogens
Terapi Intravena
(kuman penyebab terjadinya
phlebitis)
2. Conditional patogens
3. Opportunistik patogens Komplikasi

Hematoma Infiltrasi
Phlebitis
Karakteristik: Karakteristik:
Karakteristik:
1. Bengkak 1.Masuknya cairan infus ke
1. Nyeri.
2. Adanya warna dalam jaringan sekitar (bukan
2. Kemerahan.
keunguan pada pembuluh darah)
3. Pembengkakan.
daerah bekas 2. Saat ditekan-tekan pada
4. Pireksia
tusukan. daerah tusukan terasa adanya
5. Keluar cairan pus.
cairan pada daerah bekas
6. Vena teraba keras.
tusukan.
48

Faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan:
Faktor Internal Penatalaksanaan / Indikator Kepatuhan:
a. Pengetahuan pencegahan : 1. Konformitas
b. Sikap 2. Penerimaan
c. Kemampuan 1. Gunakan alat yang steril 3. Ketaatan
d. Motivasi 2. Ganti lokasi tusukan 48-
Faktor Eksternal 72 jam
a. Karakteristik Organisasi 3. Ganti kasa penutup luka
b. Karakteristik Kelompok setia 24-48 jam
c. Karakteristik Pekerjaan Standart
4. Observasi tanda / reaksi
d. Karakteristik Lingkungan Operasional
terhadap alerfi infus dan
Prosedur
komplikasi lain
F. Kerangka Konsep
2.4 Gambar Kerangka Teori
(Sumber: Infusion Nursing Society (INS 2010); Umami,(2010:26); RSUD AW. Sjahranie 2015)
Kerangka konsep menggambarkan variabel independen yaitu Kepatuhan

Perawat Pelaksana dalam menjalankan Standart Operasional Prosedur, variabel

dependen yaitu phlebitis dan efek samping terapi intravena. Melalui kerangka

konsep ini diharapkan pembaca dengan mudah memahami apa yang menjadi

fokus utama penelitian, variabel-variabel yang di teliti.

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Internal : Pencegahan Plebitis


Efektivitas Standart Operasional
1. Pengetahuan
Prosedur
2. Sikap
3. Kemampuan
4. Motivasi
Faktor Eksternal :
1. Karakteristik Organisasi
2. Karakteristik Kelompok
3. Karakteristik Pekerjaan
4. Karakteristik Lingkungan
49

2.5 Gambar Kerangka Konsep


Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
G. Hipotesis

1. Bagaimana efektivitas standart operasional prosedur terhadap Pencegahan

phlebitis di RSUD A.W. Sjahranie Samarinda.


50
51

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Rancangan penelitian adalah model atau metode yang digunakan peneliti

untuk melakukan suatu penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya

penelitian (Dhrama, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

Observasional Analitik dengan pendekatan Desain Kohort Berganda untuk

mengetahui antara hubungan variabel independen dan variabel dependen tanpa

melakukan suatu perlakuan atau manipulasi terhadap subjek penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efetivitas standart operasional

prosedur terhadap Pencegahan phlebitis

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut Arikunto (2013), populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di ruang rawat inap

RSUD A. W. Sjahranie Samarinda. Jumlah perawat ruang rawat inap RSUD

A. W. Sjahranie Samarinda berdasarkan data yang diperoleh pada tanggal

10 Januari 2018 berjumlah 477 orang dari 15 ruang rawat inap yang

memiliki jumlah perawat terbanyak di RSUD A. W. Sjahranie Samarinda.


52

Pada penelitian ini peneliti mengeneralisasi ruangan dengan memilih

beberapa ruangan rawat inap dengan pertimbangan beberapa ruang rawat

inap yang tidak masuk ke dalam kriteria ruangan sebagai tempat penelitian,

maka ruangan rawat inap digeneralisasikan menjadi 8 ruang rawat inap

dengan jumlah populasi 224 orang.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Adapun sampel pada penelitian ini

adalah perawat pelaksana yang ada di Rumah Sakit Abdul Wahab

Sjahranie pada rentang jumlah pegawai satu tahun terakhir, khususnya di

ruang rawat inap.

a. Kriteria Sampel

Adapun kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada penelitian ini

yaitu:

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang data diambil sebagai

sampel (Notoatmodj, 2010). Kriteria inklusi dalam penelitian ini

yaitu:

a) Perawat bersedia menjadi responden penelitian dibuktikan

dengan menandatangani inform consent.


53

b) Perawat pelaksana dengan lama kerja minimal satu tahun.

c) Perawat pelaksana minimal pendidikan DIII.

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak

diambil sebagai sampel, kriteria eksklusi dalam penelitian ini

adalah:

a) Perawat yang sedang melakukan pelatihan.

b. Metode Sampling

Metode sampling adalah suatu cara yang ditetapkan peneliti untuk

menentukan atau memilih sejumlah sampel dari populasinya (Dharma,

2011). Metode sampling yang akan digunakan dengan cara probability

sampling dengan metode simple random sampling, sesuai dengan

kriteria inklusi yang telah ditetapkan.

c. Besar Sampel

Adapun perkiraan jumlah sampel yang akan diteliti dengan

menggunakan rumus slovin:

N
n
1  N  
2

Keterangan :

n = Jumlah Sampel

N = Jumlah Populasi

α = Margin Error atau Batas toleransi kesalahan (10%)


54

224
n
1  224(0,10) 2

224
n
1  224(0,01)

224
n
1  2,24

224
n
3,24

n  69,13

Jumlah sampel yang didapat adalah 69,13 dibulatkan menjadi 69 responden.

Adapun jumlah responden pada setiap ruangan, Flamboyam 8 responden,

Dahlain 7 responden, Seruni 8 responden, Angsoka 8 responden, Anggrek 9

responden, Cempaka 9 responden, Edelweis 12 responden, dan Asther 9

responden.

Dalam penelitian ini menggunakan koreksi atau penambahan jumlah

sampel berdasarkan prediksi sampel drop out dari penelitian. Adapun

perhitungan yang digunakan adalah:

n
n' 
1 f

69
n' 
1  0,15

69
n' 
0,85

n' 81,17
55

Dimana besar sampel setelah dikoreksi

n' : Besar sampel setelah dikoreksi

n : Jumlah sampel berdasarkan estimasi sebelumnya yaitu 69

f : Prediksi persentase sampel drop out yaitu 15% = 0,15

n
n' 
1 f

Berdasarkan hasil perhitungan sampel drop out, maka dapat diketahui

bahwa banyaknya responden diteliti pada pengambilan sampel dari populasi

perawat di ruang rawat inap RSUD A. W. Sjahranie adalah sebanyak 81

orang.

C. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap RSUD AW. Sjahranie

Samarinda dan akan dilaksanakan pada bulan April s/d September 2018.

D. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah penjelasan tentang hal-hal apa saja yang

dijadikan indikator untuk mengukur variabel, bagaimana mengukurnya, alat

ukur yang digunakan, skala pengukuran dan data hasil pengukuran (Dharma,

2011).
56

1. Varabel Independen (Bebas)

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Independen (Bebas)
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Efektivitas Tindakan perawat dalam Alat ukur: Baik, jika nilainya Ordinal
standart melakukan pemasangan Kuesioner ≥ 75%
operasional infus sesuai dengan standar
prosedur operasional prosedur Cara Ukur : Cukup, jika
pemasangan dengan indikator kepatuhan, Berupa total nilainya 56-74%
infus. konformitas, penerimaan skor yang
dan ketaatan. diperoleh dari Kurang, jika
responden saat nilainya ≤ 55%
menjawab
pertanyaan
sesuai skor yang
diberikan
berdasarkan
skala Likert.
57

2. Variabel Dependen (Terikat)

Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Dependen (Terikat)
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Pencegahan Phlebitis dapat diliat secara Alat ukur : 1 = terjadi Nominal
phlebitis langsung dengan mengobservasi Lembar phlebitis
pasien yang terpasang IV line, Observasi 2 = tidak terjadi
tanda dan gejala yang muncul Plebitis, phlebitis
seperti nyeri, kemerahan,
pembengkakan, pireksia (suhu
tubuh lebih dari 37,8 derajat),
keluar cairan pus, vena teraba
keras.
58

E. Instrumen Penelitian

Alat pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

kuesioner. Kuesioner adalah suatu bentuk atau dokumen yang berisi beberapa

item pertanyaan atau pernyataan yang dibuat berdasarkan indikator-indikator

suatu variabel (Dharma, 2011).

Kuesioner yang digunakan adalah untuk mengukur kepatuhan perawat

pelaksana dalam menjalankan pemasangan infus sesuai dengan standart

operasional prosedur. Cara pengukuran dilakukan dengan cara mengambil data

secara langsung dari responden (data primer) dengan cara responden mengisi

kuesioner yang diberikan oleh peneliti lalu ditunggu dan dikembalikan pada

peneliti.

Kuesioner yang telah disusun dan dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan

dengan indikator kepatuhan dimana didalam kuesioner yang telah dibuat

terdapat indikator seseorang dikatakan patuh jika terdapat indikator konformitas,

penerimaan dan ketaatan dengan 29 item pernyataan pada variabel kepatuhan

perawat.

1. Kuesioner kepatuhan perawat

Responden memberi tanda (√) pada pernyataan yang sesuai dengan

responden. Jawaban item pernyataan menggunakan skala Likert meliputi

Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju.


59

Tabel 3.3
Kisi-Kisi Kuesioner Efektivitas
No. Pertanyaan
No. Dimensi Total
Positif Negatif
1. Tindakan pemasangan infus sesuai 1,2,4,5,9,10,1 3,6,7,8,11,12, 22
dengan standart operasional prosedur 3,15,16,17,18, 14
19,20,21,22
2. Tindakan yang dilakukan dengan 23,24 25,26 4
senang hati yang dipengaruhi oleh
komunikasi persuasif dari orang yang
berpengetahuan luas
3. Ketaatan seorang perawat dalam 27,28 29 3
menjalankan standart operasional
prosedur
Total pernyataan 29

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur atau

menilai variabel pada objek penelitian (Dharna, 2011). Jenis instrumen yang

digunakan pada penelitian ini menggunakan lembar observasi Pencegahan

phlebitis ditambah dengan hematoma dan infiltrasi (VIP) oleh Abdrew Jakcson,

Salah satu cara untuk mencegah dan mengatasi plebitis yaitu dengan

mendeteksi dan menilai terjadinya plebitis selama pemasangan infus. Menurut

RCN (2010), adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan

VIP score. Dinas Kesehatan di Inggris tahun 2010, dan INS di Inggris tahun

2011 dan RCN di Amerika Serikat tahun 2010 merekomendasikan VIP score

sebagai alat atau indikator yang valid, reliabilitas dan secara klinis layak

digunakan untuk menentukan indikasi dini plebitis dan menentukan skor yang

tepat untuk plebitis. VIP score sudah diterima sebagai standar internasional,

sudah digunakan di banyak negara dan sudah diterjemahkan ke dalam beberapa


60

bahasa.

F. Uji Validitas dan Reabilitas

1. Uji Validitas

Uji validitas adalah syarat mutlak bagi suatu alat ukur agar dapat

digunakan dalam suatu pengukuran (Dharma, 2011). Suatu kuesioner dan

lembar observasi dikatakan valid jika komponen yang digunakan mampu

untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur.

Untuk mengetahui valid atau tidaknya setiap butir soal yang ada pada

instrument penelitian, maka dilakukan uji pada masing-masing item

pernyataan menggunakan Uji Product Moment, berdasarkan uji statistik ini

maka dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian dikatakan valid jika

diperoleh nilai r hitung lebih besar dari r tabel pada taraf signifikansi 0,10

dengan rumus sebagai berikut (Arikunto, 2013):

1.

Keterangan :

r : koefesien korelasi dari setiap item dengan skor total

x : skor pertanyaan

y : skor total

n : jumlah subjek

xy : skor pertanyaan dikalikan skor total


61

2. Uji Reabilitas

Reliabilitas adalah tingkat konsistensi dari suatu pengukuran. Tujuan

dari dilakukannya uji reliabilitas adalah untuk mengetahui, apakah

pengukuran menghasilkan data yang konsisten jika instrumen digunakan

kembali secara berulang (Dharma, 2011).

Cara untuk mengukur reliabilitas instrumen yang digunakan dilakukan

dengan cara menganalisis hasil uji coba instrumen yang digunakan

dilakukan dengan cara menganalisis hasil uji coba instrumen menggunakan

rumus Alpha Cronbach:

Keterangan :

k : Jumlah item

Error: Reference source not found : Jumlah variansi semua item

Error: Reference source not found : Variasi skor total

Error: Reference source not found : Reliabilitas instrumen

Nilai reliabilitas suatu instrumen dikatakan reliabel berkisar 0,0

sampai 1,0. Semakin kecil nilai reliabilitas makin semakin besar error.

Nilai koefesien reliabilitas tinggi jika nilai Alpa Cronbach >0,60 (Arikunto,

2013).
62

G. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:

1. Persiapan

Prosedur administrasi

Pada saat prosedur administrasi, peneliti mengurus surat studi

pendahuluan penelitian di Prodi DIV Keperawatan Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Kalimantan Timur untuk dilanjutkan ke bagian

Pendidikan dan Pelatihan RSUD Abdul Wahab Sjahranie dalam rangka

untuk memperoleh surat izin pengambilan data, kemudian peneliti

menyampaikan surat izin pengambilan data ke bagian PPI khusus untuk

Pencegahan infeksi nosokomial dan mendapatkan data tentang

Pencegahan phlebitis tertinggi pada tahun 2016 dan 2017 di ruang rawat

inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

2. Pelaksanaan

a. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan penelitian kepada

responden.

b. Peneliti memberikan informasi tentang penelitian dan meminta

kesediaan responden untuk terlibat dalam penelitian.

c. Peneliti memberikan lembar persetujuan (Inform Consent) bagi

responden yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian.


63

3. Teknik Pengolahan data

a. Editing merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir

atau kuesioner apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah lengkap,

jelas, relevan dan konsisten.

b. Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi

angka/bilangan. Semua data yang terkumpul dilakukan coding atau

pemberian kode dengan menggunakan symbol-simbol angka terhadap

setiap jawaban responden atas pernyataan yang diajukan, hal ini

memudahkan dalam pengolahan dan analisis data.

c. Processing merupakan kegiatan yang dilakukan setelah semua kuesioner

terisi penuh dan benar serta sudah melewati pengkodean maka

selanjutnya memproses data agar data yang sudah dientry dapat di

analisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry data

kuesioner ke paket program computer.

d. Cleaning merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di

entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahn tersebut dimungkinkan

terjadi pada saat kita meng-entry ke computer.

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan setiap variabel


64

penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan presentase dari setiap variabel (Notoatmodjo, 2015).

Distribusi berupa frekuensi dan presentase yang disajikan adalah dalam

bentuk tabel maupun grafik. Rumus yang digunakan adalah (Sudjana,

2001):

f
p x100%
n

p : Presentase

f : Frekuensi

n : Jumlah data

2. Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi. Uji Chi Square adalah teknik statistik yang

digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif bila dalam populasi terdiri

atas dua kelas atau lebih dari dua kelas, data berbentuk ordinal dan

sampelnya besar (Notoatmodjo, 2015).

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi. Uji Chi Square adalah teknik statistik yang

digunakan untuk menguji hipotesis deskriptif bila dalam populasi terdiri

atas dua kelas atau lebih dari dua kelas, data berbentuk ordinal dan

sampelnya besar (Notoatmodjo, 2015).

Uji yang dilakukan pada penelitian ini adalah chi-square dengan


65

batas kemaknaan α = 0,05 dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

x2 = Chi kuadrat

f0 = Frekuensi yang diobservasi

fn = Frekuensi yang diharapkan.

Adapun syarat dalam pemilihan uji chi-square, yaitu:

a) Tidak ada sel yang nilai observed yang bernilai nol

b) Sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20%

dari jumlah sel.

Jika syarat uji chi-square tidak terpenuhi, maka dilakukan uji

alternatifnya, yaitu:

a) Alternatif uji chi-square untuk tabel 2 x 2 adalah uji fisher

b) Alternatif uji chi-square untuk tabel 2 x k adalah Kolmogorov-

smirnov.

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan ethical clearance di

Poltekkes Kaltim dan dinyatakan telah lulus uji etik. Selanjutnya mengajukan

permohonan izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini ruang rawat
66

inap RSUD A.W Sjahranie Samarinda.

Setelah mendapat persetujuan, peneliti melakukan penelitian dengan

menerapkan tiga prinsip etik umum (Dahlan, 2008) :

1. Menghormati Privasi dan Kerahasiaan Subjek

Setiap subjek penelitian memiliki privasi dan hak untuk mendapatkan

kerahasian informasi, dengan cara identitas nama, alamat, umur, dan

lain-lain dapat diganti dengan kode tertentu. Sehingga identitas subjek tidak

terekspos secara meluas.

2. Menghormati Keadilan dan Inklusivitas

Penelitian yang mengandung makna bahwa penelitian ini mengandung

makna secara jujur, hati-hati dan cermat dilakukan secara profesional. Dan

prinsip keadilan yaitu memberikan keuntungan dan beban secara merata

bagi semua subjek.

3. Memperhitungkan Manfaat dan Kerugian yang Ditimbulkan

Bahwa setiap penelitian ini harus sangat mempertimbangkan manfaat

yang sebesar-besarnya bagi subjek dan populasi saat penelitian berlangsung,

serta meminimalisir risiko kerugian bagi subjek penelitian.


67

J. Alur Penelitian

Alur pengambilan data pada penelitian ini mulai dari tahap persiapan hingga

tahap penelitian dijelaskan secara singkat pada skema berikut:

Izin Penelitian Prodi DIV Keperawatan

Mengajukan surat permohonan izin penelitian ke Ketua Prodi

Keperawatan

Memilih sampel sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi

Pengambilan data responden

Tanda tangan persetujuan menjadi responden

Melakukan observasi kepada responden

Pengolahan Data

Kesimpulan hasil penelitian

3.4 Alur Penelitian


68

Jadwal Penelitian

Dalam penelitian ini dimana peneliti memiliki jadwal penelitian yaitu:

Tabel 3.5 Jadwal Penelitian


No Nama Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus September
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Pengumpulan literatur                
2. Pengumpulan data                
awal/studi pendahuluan
3. Penyusunan proposal                
4. Perizinan penelitian            
5. Pengajuan ethical            
clearance
6. Pengumpulan data          
penelitian
7. Penyusunan laporan
hasil penelitian
69

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS)

merupakan salah satu dari dua Rumah Sakit rujukan milik Pemerintah

Provinsi Kalimantan Timur, dan merupakan Rumah Sakit rujukan

tertinggi. Rumah Sakit milik Pemerintah ini beralamatkan di Jalan Palang

Merah Indonesia No.1, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda.

Saat ini RSUD A. W. Sjahranie Samarinda merupakan Rumah Sakit

kelas A pendidikan dengan capaian akreditasi Paripurna dari Komisi

Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Pada tahun 2015, RSUD A. W. Sjahranie

membentuk komite Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien sebagai

salah satu bentuk solusi peningkatan penerapan budaya keselamatan

pasien.

Visi RSUD A. W. Sjahranie adalah menjadi Rumah Sakit bertaraf

internasional pada tahun 2018. Sedangkan misi RSUD A. W. Sjahranie

Samarinda adalah meningkatkan akses kualitas dan pelayanan bertaraf

internasional dan, mengembangkan Rumah Sakit sebagai pusat pendidikan

dan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan.


70

B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik responden

Sebelum menjelaskan hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

maka akan dipaparkan terlebih dahulu mengenai karakteristik responden

berdasarkan umur responden, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan lama

bekerja di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda.

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur di Ruang Rawat Inap
RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Klasifikasi Umur Frekuensi Persentase
Responden (Tahun) (n) (%)
20-30 50 71,4
31-40 16 22,9
>41 4 5,7
Total 70 100
Sumber: Analisa data primer, 2018

Berdasarkan karakteristik umur sebagian besar responden berada

pada kelompok umur 20-30 tahun sebanyak 50 orang (71,4%), sebagian

kecil umur responden berada pada kelompok umur 31-40 tahun sebanyak

16 orang (22,9%), sebagian kecil lagi responden berada pada kelompok

umur >41 tahun sebanyak 4 orang (5,7%).


71

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Ruang Rawat
Inap RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Klasifikasi Pendidikan Frekuensi Persentase
Terakhir Responden (n) (%)
DIII 57 81,4
S1 9 12,9
DIV 4 5,7

Total 70 100
Sumber: Analisa data primer, 2018

Berdasarkan tabel tingkat pendidikan responden yang diperoleh

melalui analisa data primer responden dengan tingkat pendidikan

perguruan tinggi didapatkan bahwa, sebagian besar responden dengan

tingkat pendidikan DIII sebanyak 57 orang (81,4%), sebagian kecil

responden dengan tingkat pendidikan DIV sebanak 9 orang (12,9%),

sebagian kecil lagi dengan tingkat pendidikan S1 sebanyak 4 orang

(5,7%).

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di
Ruang Rawat Inap RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Klasifikasi Jenis Frekuensi Persentase
Kelamin Responden (n) (%)
Laki-laki 24 34,3
Perempuan 46 65,7
Total 70 100
Sumber: Analisa data primer, 2018

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa karakteristik

responden berjenis kelamin laki-laki berjumlah 24 orang (34,3%) dan

sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan berjumlah 46

orang (52,2%).
72

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Bekerja di Ruang Rawat Inap
RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Klasifikasi Lama Frekuensi Persentase
Bekerja Responden (n) (%)
(Tahun)
1-5 41 58,6
6 -10 23 32,9
>11 6 8,6

Total 70 100
Sumber: Analisa data primer, 2018

Berdasarkan karakteristik lama bekerja didaptkan bahwa sebagian

besar responden berada pada kelompok dengan lama bekerja 1-5 tahun

sebanyak 41orang (58,6%), sebagian lagi dengan lama bekerja 6-10 tahun

sebanayk 23 orang (32,9%), serta sebagian kecil dengan lama bekerja >11

tahun sebanyak 6 orang (8,6%).

2. Distribusi efektivitas standart operasional prosedur pemasangan

infus

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan hasil

penelitian semua variabel. Adapun variabel yang telah dilakukan analisis

dalam penelitian ini, sebagai berikut:

Tabel 4.5
Distribusi efektivitas standart operasional prosedur
pemasangan
infus di Ruang Rawat Inap RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Distribusi Responden Kepatuhan Perawat Frekuensi Persentase
Pelaksana (n) (%)
Baik 67 95,7
Cukup Baik 3 4,3
Kurang 0 0
Total 70 100
Sumber : Analisa data primer 2018

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan karakteristik responden


73

berdasarkan kepatuhan perawat pelaksana dalam menjalankan standart

operasional prosedur sebagian besar responden memiliki kepatuhan yang

baik sebanyak 67 orang (95,7%) dan sebagian kecil responden dengan

kepatuhan cukup baik sebanyak 3 orang (4,3%), dan tidak ada perawat

dengan kepatuhan yang kurang baik.

3. Distribusi Pencegahan phlebitis

Tabel 4.6
Distribusi Responden Berdasarkan Pencegahan Phlebitis di RSUD A.W
Sjahranie
Distribusi Responden Frekuensi Persentase
Pencegahan Phlebitis, (n) (%)
Terjadi 5 7,1
Tidak Terjadi 65 92,9
Total 70 100
Sumber : Analisa data primer 2018

Berdasarkan tabel 4.6 diatas data menunjukkan karakteristik

responden yang telah dilakukan observasi selama 3 hari berdasarkan

Pencegahan phlebitis dengan hasil Pencegahan phlebitis sebanyak 5

orang pasien (7,1%) dan tidak terjadi phlebitis sebanyak 65 orang

pasien (92,9%). Selama dilakukan observasi selama 3 hari, peneliti tidak

menemukan adanya Pencegahan hematoma maupun infiltrasi sehingga

pada Pencegahan ini lebih banyak terjadi phlebitis.

4. Analisis hubungan pelaksanaan standart operasional prosedur

terhadap Pencegahan phlebitis

Analisis bivariat ini digunakan untuk mengetahui adanya hubungan


74

kepatuhan perawat pelaksana dalam menjalankan standart operasional

terhadap Pencegahan phlebitis di Ruang Rawat Inap RSUD A.W

Sjahranie.

Analisis untuk mencari suatu hubungan antara variabel bebas

(kepatuhan perawat pelaksana dalam menjalankan standart operasional

prosedur) dan variabel terikat ( Pencegahan phlebitis, hematoma,

infiltrasi) dengan menggunakan uji chi-square. Taraf signifikansi yang

digunakan adalah 95%, dan nilai kemaknaan yang dipilih, dengan kriteria

yaitu : jika p value > 0,05 maka Ho diterima, jika p value < 0,05 maka Ho

ditolak (Notoatmodjo, 2015).

Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 4.7
Efektivitas Standart Operasional Prosedur Terhadap Pencegahan Phlebitis di
Ruang Rawat Inap RSUD A.W Sjahranie
Pencegahan Phlebitis,
Kepatuhan
Hematoma, Infiltrasi Total p
Perawat
Terjadi Tidak Terjadi value
Pelaksana
n % n % n %
Baik 5 7,5 62 92,5 67 100
0,78
Cukup Baik 0 0,2 3 2,8 3 100
Sumber : Analisa data primer 2018

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa kepatuhan perawat

pelaksana baik bisa saja menimbulkan terjadinya phlebitis, hematoma,

maupun infiltrasi. Dan kepatuhan perawat pelaksana yang cukup baik

cenderung tidak menimbulkan terjadinya phlebitis, hematoma, infiltrasi.

Analisis hubungan kepatuhan perawat pelaksana dalam

menjalankan standart operasional prosedur terhadap Pencegahan

phlebitis dilakukan dengan rumus chis square dengan taraf signifikan α


75

5 % dengan nilai p value didapatkan sebesar 0,78 (p < α 0,05).

Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa Ho diterima,

artinya secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna kepatuhan

perawat pelaksana dalam menjalankan standart operasional prosedur

terhadap Pencegahan phlebitis, hematoma, infiltrasi.

Terdapat 5 dari 62 (7,5%) kepatuhan perawat baik menunjukkan

Pencegahan phlebitis dan 0 dari 3 (0,2%) kepatuhan perawat pelaksana

menunjukkan tidak terjadinya Pencegahan phlebitis, hematoma,

infiltrasi.

C. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian secara univariat maupun bivariat, maka

dapat dilakukan pembahasan dari masing-masing hasil penelitian, yakni:

a. Karakteristik responden berdasarkan umur, tingkat pendidikan,

jenis kelamin, lama bekerja

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden

sebagian besar berumur 20-30 tahun sebanyak 50 orang (71,4%),

sebagian lagi responden dengan umur 31-40 tahun sebanyak 16 orang

(22,9%), sebagian kecil responden dengan umur >41 tahun sebanyak 4

orang (5,7%).

Depkes RI menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 15-54

tahun. Dalam penelitian ni umur yang diambil adalah umur antara 17-54

tahun, sehingga usia tersebut masih termasuk usia kerja yang produktif.

Peran dan faktor umur memberikan respon terhadap situasi yang


76

potensial menimbulkan stress. Tenaga kerja yang usianya sudah lanjut (>

60 tahun) kemampuan dalam beradaptasi menurun karena adanya

penurunan fungsi organ di dalam tubuhnya (Roesram, 2003).

Peneliti berasumsi, bahwa seseorang pekerja dengan usia produktif

memiliki pemikiran yang fresh sehingga mudah dalam menerima

informasi. Seseorang dengan usia yang produktif masih sanggup dan

energik untuk bekerja, masih dapat berkarya, pekerja keras, bekerja

dengan cerdas, memiliki pandangan dan rencana dalam menghasilkan

sesuatu. Bisa saja seorang perawat dapat menghasilkan suatu inovasi

baru untuk meminimalisir terjadi phlebitis, berdasarkan pengetahuan dan

pengalaman kerja yang didapatkan dengan usianya yang masih

produktif.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden sebagian

besar tamat perguruan tinggi DIII sebanyak 57 orang (81,4%), sebagian

lagi dengan tingkat pendidikan S1 sebanyak 9 orang (12,9%), sebagian

kecil dengan tingkat pendidikan DIV sebanyak 4 orang (5,7%).

Menurut Taufik Effendi (2005:72) pendidikan adalah “ segala

usaha yang bertujuan mengembangkan sikap dan kepribadian,

pengetahuan dan keterampilan “.

Marilayani (2010) memiliki pendapat bahwa baiknya pengetahuan

tenaga kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapan faktor diantaranya

pendidikan tenaga kesehatan, pendidikan sangat mempengaruhi terhadap

pengetahuan seseoarang karena pendidikan merupakan suatu proses


77

pembelajaran pola pikir seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dan

jenjang pendidikan ini lah dapat diketahui pola pikir seseorang, semakin

tinggi tingkat pendidikan maka ilmu yang diperoleh semakin banyak.

Peneliti berasumsi semakin tinggi tingkat pendidikan seorang

perawat maka seseorang tersebut memiliki lebih banyak pengetahuan-

pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut dapat diturunkan melalui

sikap bekerja yang baik. Sehingga dari pengetahuan yang ia miliki dapat

meminimalisir kerjadian phlebitis, hamatoma, maupun infiltrasi.

Dari hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa

sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 46

orang (65,7%), sebagain lagi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24

orang (34,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suciawati (2015),

yang menunjukkan bahwa responden perempuan sebagian besar berjenis

kelamin perempuan dari pada laki-laki. Suciawati berasumsi bahwa pada

umumnya wanita lebih patuh pada saat melakukan tindakan dari pada

pria, karena wanita lebih perduli. Selain itu perempuan juga lebih

mempunyai keunggulan dalam melakukan pekerjaan tertentu karena sifat

perempuan yang lebih teliti dibandingkan dengan laki-laki.

Peneliti berasumsi, bahwa perempuan dalam melakukan pekerjaan

lebih detail, berkonsentrasi, dan cenderung lebih rapi dari pada laki-laki.

Peneliti menjumpai beberapa Pencegahan bahwa pasien cenderung

lebih nyaman dan leluasa dalam menyampaikan keluh kesahnya pada


78

perawat perempuan, karena sikap dan sifat perempuan yang cenderung

lebih perduli.

Dari hasil penelitian berdasarkan perawat pelaksana dengan lama

bekerja 1-5 tahun sebanyak 41 orang (58,6%), lama bekerja 6-10 tahun

sebanayak 23 orang (32,9%), lama bekerja >11 sebanyak 6 orang

(8,6%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Suciawati (2015), berdasarkan

hasil penelitiannya bahwa responden sebagian besar responden dengan

lama bekerja 1-5 tahun sebanyak 61 (82,4%) responden.

Peneliti berasumsi bahwa semakin lama perawat pelaksana bekerja

maka dalam menjalankan tugasnya atau melakukan pekerjaan perawat

akan memiliki pengalaman pekerjaan yang banyak, semakin lama

bekerja, perawat akan menjumpai pengalaman-pengalaman yang

berharga bagi dirinya sehingga perawat akan memiliki pengetahuan yang

baik dan tahu apa yang akan dilakukan berdasarkan pengalaman baik

yang pernah ia alami. Perawat akan memiliki pengetahuan dari

pengalaman yang pernah ia dapatkan sehingga dapat ia turunkan melalui

sikap bekerja yang baik. Semakin banyak informasi dapat

mempengaruhi atau menambah pengetahuan seseorang, dan dengan

pengetahuan menimbulkan kesadaran yang akhirnya seseorang akan

berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.

b. Distribusi kepatuhan perawat pelaksana dalam menjalankan


79

standart operasional prosedur pemasangan infus

Berdasarkan tabel 4.5 peneliti telah melakukan analisis Univariat

dengan hasil perawat pelaksana melakukan pemasangan infus sesuai

dengan standart operasional prosedur dengan kepatuhan baik sebanyak 67

orang (95,7%), kepatuhan perawat pelaksana cukup baik sebanyak 3

orang (4,3%).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut Setiadi

(2007) , pengetahuan, sikap, kemampuan, dan motivasi. Faktor-faktor

tersebut memiliki peran penting pada kepatuhan seseorang. Pengetahuan

adalah hasil dari tahu, dan hasil tersebut diperoleh setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

dari mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007).

Hal ini sejalan dengan penelitian Suciawati (2015), berdasarkan

hasil penelitiannya sebagian besar kepatuhan perawat pelaksana dalam

menjalankan pemasangan infus sesuai dengan standart operasional

prosedur termasuk dalam kategori patuh (baik) sebanyak 52 (70,3%).

Pada saat peneliti melakukan penelitian, ada beberapa ruangan

yang memiliki evaluasi terhadap kinerja dan evaluasi SOP saat

melakukan over shift, salah satunya dalam SOP pemasangan infus

sehingga perawat pelaksana mampu menjawab atau mengisi kuesioner

sesuai dengan standart operasional prosedur pemasangan infus. Evaluasi


80

pemasangan infus yang dilakukan memiliki pengaruh terhadap

Pencegahan phlebitis, hematoma, infiltrasi. Karena dengan adanya

evaluasi dengan pembacaan dan bagaimana melakukan pemasangan infus

yang benar sesuai dengan SOP perawat pelaksana menjadi tahu dan ingat

berdasarkan dengan pengetahuan yang didapatkan sehingga hal tersebut

dapat diingat dan diturunkan melalui sikap kerja sesuai dengan

pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat memotivasi untuk melakukan

pemasangan infus sesuai dengan standart operasional prosedur.

c. Distribusi Pencegahan phlebitis

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan bahwa Pencegahan phlebitis

sebanyak 5 orang pasien (7,1%) sedangkan yang tidak terjadi phlebitis

sebanyak 65 orang pasien (92,9% ). Pada Pencegahan tersebut

menunjukkan lebih banyak pasien yang tidak terjadi phlebitis hal

tersebut bisa saja dikarenakan banyak perawat pelaksana yang

menjalankan standart operasioanl sesuai dengan standart yang telah

berlaku.

Pemasangan infus sesuai dengan standart operasional prosedur

merupakan hal yang harus di lakukan oleh perawat sebagai upaya

pencegahan phlebitis, hematoma dan infiltrasi. Pemasangan infus sesuai

prosedur juga akan mneingkatkan pasient safety dan menurunkan risiko

infeksi.

Phlebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi


81

mikroorganisme yang dialami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat

di rumah sakit diikuti dengan manifestasi klinisyang muncul sekurnag-

kurangnya 3x24 jam, dan Pencegahan phlebitis menjadi indikator mutu

pelayanan minimal rumah sakit dengan satandart Pencegahan <1,5%

(Depkes, RI). Dan 5 permil menurut RSUD Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda.

Saat dilakukan observasi, pasien yang masih dapat melakukan

aktifitas masih aktif dalam melakukan pergerakan pada ekstermitas atas

yang dilakukan pemasangan infus, seperti mandi, makan, menyisir

rambut, memakai baju dilakukan sendiri. Beberapa pasien dengan cairan

pekat yang dapat menimbulkan Pencegahan phlebitis seperti tranfusi

darah, albumin, dextrose 5%. Peneliti berasumsi, Pencegahan phlebitis,

hematoma infiltrasi tidak hanya karena standart operasional prosedur,

terdapat faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadi phlebitis,

hematoma, infiltrasi.

d. Analisis efektivitas standart operasional prosedur terhadap

Pencegahan phlebitis

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa tidak ada

hubungan bermakna antara kepatuhan perawat pelaksana dalam

menjalankan standart operasional prosedur terhadap Pencegahan

phlebitis, hematoma, infiltrasi. Dari analisis tersebut secara statistik

menunjukkan tidak adanya hubungan, bisa saja hal tersebut dapat


82

dipengaruhi oleh faktor lain seperti pemilihan lokasi yang kurang tepat,

pemilihan kateter yang kurang sesuai, cairan yang memiliki kepekatan

yang tinggi, hand hygien yang kurang baik maupun dari faktor-faktor

lain.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian mengenai hubungan kepatuhan perawat pelaksana dalam

menjalankan standart operasional prosedur terhadap Pencegahan phlebitis di

Ruang Rawat Inap RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda memiliki

keterbatasan-keterbatasan dalam melakukan penelitian, adapun keterbatasan-

keterbatasan dalam penelitian tersebut sebagai berikut:

1. Peneliti terkendala dengan responden yang agaknya susah untuk ditemui.

2. Peneliti merasa kelelahan karena jarak dari ruangan yang harus di

lakukan penelitian cukup jauh.

3. Peneliti kesulitan dengan kebijakan ruangan yang menyarankan peneliti

untuk datang setiap kali hand over dilakukan.


83

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti

didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Karakteristik responden berdasarkan umur sebagian besar responden

berumur 20-30 tahun dengan jumlah 50 orang ( 71,4%), berdasarkan

tingkat pendidikan sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan

DIII berjumlah 57 orang (81,4%), berdasarkan jenis kelamin sebagian

besar responden berjenis kelamin perempuan dengan jumlah 46 orang

(65,7%), berdasarkan lama bekerja sebagian besar responden dengan

lama bekerja 1-5 tahun berjumlah 41 orang (58,6%).

2. Karakteristik responden berdasarkan kepatuhan dalam menjalankan

standart operasional prosedur, sebagian besar responden memiliki

kepatuhan baik sebanyak 67 (95,7%) responden.

3. Karakteristik Pencegahan phlebitis, hematoma, infiltras dengan hasil

sebagian besar tidak terjadi sebanyak 65 (92,9%).

4. Tidak ada hubungan antara kepatuhan perawat pelaksana dalam

menjalankan standart operasional prosedur terhadap Pencegahan

phlebitis, hematoma, infiltrasi.


84

B. Saran

1. Bagi Ilmu Keperawatan

Standart operasional prosedur yang telah di bakukan dan telah

ditetapkan serta dijalankan oleh pihak rumah sakit dapat menjadi acuan

untuk menekan angka Pencegahan phlebitis, hematoma, infiltrasi.

Peneliti berharap penelitian yang telah dilakukan ini dapat menjadi bahan

evaluasi dan pertimbangan bagi ilmu keperawatan untuk dapat

menurunkan terjadinya phlebitis, hematoma dan infiltrasi. Sehingga

dengan adanya informasi penelitian mengenai standart operasional

prosedur ini dapat menambah informasi, pengetahuan bagi ilmu

keperawatan sehingga penelitian ini masih bisa disempurnakan bagi

peneliti selanjutnya. Bahwa standart operasional yang telah

terstandarisasi sangat dapat menekan terjadinya phlebitis, hematoma,

infiltrasi.

2. Bagi Perawat Ruang Rawat Inap

Hendaknya perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap mau

memberikan waktunya walaupum hanya sebentar kepada peneliti, agar

peneliti dapat bersemangat dengan adanya kerelaan perawat pelaksana

dalam meluangkan waktunya.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya, agar dapat

menyiapkan enumerator yang banyak agar tidak kelelahan dalam

melakukan penelitian. Kelelahan dapat mempengaruhi jalannya


85

penelitian yang dapat menyebabkan terganggunya konsentrasi saat

melakukan penelitian. Kelelahan juga dapat membuat semangat

berkurang dalam menjalankan penelitian. Peneliti selanjutnya juga

diharapkan untuk menyiapkan diri terutama dari segi kelelahan agar tidak

jatuh sakit yang dapat menghambat jalannya penelitian.


86

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, R., et al. (2009). Prosedur klinik keperawatan pada mata ajar kebutuhan
dasar manusia. Jakarta: TIM
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial, problematika dan pengendaliannya. Jakarta:
Salemba Medika Firmina,
Y.L (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan perawat dalam
pelaksanaan SOP pemasangan infus dibangsal melati RSUD Penembahan
Senopati Bantul.
Maria, Ince. (2012). Kepatuhan perawat dalam melaksanakan standar prosedur
operasional pemasangan infus terhadap phlebitis.
www.stikesbaptisjurnal@ymail.com. Diakses tanggal 4 oktober 2012
Nursalam. (2011). Manajemen keperawatan, aplikasi dalam praktik keperawatan
professional, edisi 3. Jakarta: Salemba Medika
Nurjanah, D., Solechan, A., dan Kristiyawati, S.P. (2011). Hubungan antara
lokasi penusukan infus dan tingkat usia dengan Pencegahan flebitis di
ruang rawat inap dewasa RSUD Tugurejo Semarang.
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/indek.php/ilmukeperawatan/artikel/do
w nload. Diunduh tanggal 10 desember 2012.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Pasaribu. (2006). Analisis pelaksanaan standar operasional prosedur
pemasangan infuse terhadap Pencegahan phlebitis di ruang rawat inap
RS Haji Medan. Diunduh tanggal 28 November 2012.
Perry & Potter. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan; konsep, proses dan
praktik. Volume 1 dan 2. Edisi 4. Jakarta: EGC
Pinzon, R. (2006). Konsep dasar patient safety dalam pelayanan kesehatan.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 11409170173-1411-9498.pdf.
Diunduh tanggal 28 november 2012.
Simamora, R.H. (2012). Buku ajar manajemen keperawatan. Jakarta: EGC
Smeltzer, C.S., & Bare, B.G. (2001). Buku ajar keperawatan medikal bedah
87

Brunner & Suddarth. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC


Setya, I. (2001). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat
dalam mendokumentasikan asuhan keperawatan.
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/416./gd/hub-gdl-S1-2011-
IntanSetya20775-fkm225-k.pdf. Diunduh tanggal 7 november 2012.
Wayunah. (2011). Hubungan pengetahuan perawat tentang terapi infuse dengan
Pencegahan phlebitis dan kenyamanan pasien di ruang rawat inap RSUD
Indramayu, FIK.UI.SKRIPSI.www.knowledgehound.com. Diunduh
tanggal 15 november 2012.
88

RINCIA BIAYA
EFEKTIVITAS STANDART OPERASIONAL PROSEDUR PEMASANGAN
INFUS TERHADAP PENCEGAHAN PLEBITIS DI RS AW SYAHRANI
SAMARINDA
1. Bahan Habis Pakai
Satuan Jumlah
No Uraian kebutuhan Justifikasi Pemakaian Kwantitas (Rp) (Rp)
Kerta A4 Mencetak proposal, 2 Rim 71,000 142,000
1 persuratan dan laporan
2 Tinta printer Isi ulang printer 2 Set 60,000 120,000
3 Catridge printer Mencetak 1 Pkt 255,000 255,000
4 Alat tulis Pengisian kuisioner 3 Box 30,000 90,000
Komsumsi ( makan Konsumsi rapat tim penelitian 50 OK 30,000 1,500,000
5 + snak) 10 X 5 org
6 Foto Copy Penggandaan 1 Pkt 420,500 420,500
7 Jilid Administrasi 1 Pkt 60,000 60,000
Jumlah 2,587,500

2. Perjalanan
Satuan Jumlah
NO Uraian Perjalanan Justifikasi Perjalanan Kwantitas (Rp) (Rp)
1 Perjalanan Peneliti Perizinan penelitian 5 OK 120,000 600,000
Perjalanan Enumerator Observasi lapangan 5 org 10 OK 120,000 1,200,000
2 X 10 hr

Jumlah 1,800,000

3. Lain-lain
Kegiatan Justifikasi Satuan Jumlah
No Kwantitas (Rp) (Rp)
1 Perizinan Perizinan di Rumah Sakit 1 Pkt 320,000 320,000
2 Ethycal clearence Komisi Etik RS 1 Pkt 300,000 300,000
Jumlah 620,000
  Total 5,007,500
89

Lampiran Biodata Peneliti


Identitas Diri
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Joko Sapto Pramono, SKp., MPHM.
2. Jenis Kelamin Laki-laki
3. Jabatan Fungsional Lektor kepala
4. NIP 196611261988031002
5. NIDN 4026116602
6. Tempat dan Tanggal Lahir Sragen, 26 Nopember 1966
7. E-mail Jokosp2005@yahoo.com
8. Nomor Telepon/ HP 08125525251
9. Alamat Kantor Jl. Wolter Monginsidi No. 38 Samarinda
10 Nomor Telepon (0541) 738153
.
11 Mata Kuliah yang Diampu Anatomi Fisiologi
. Kebijakan Kesehatan Nasional
Keperawatan Medikal Bedah I
Keperawatan Medikal Bedah II
Penanganan TB Paru dengan Strategi DOTS

Riwayat Pendidikan
S-1 S-2 S-3
Nama Perguruan Tinggi Universitas Mahidol University, -
Indonesia Bangkok
Bidang Ilmu Keperawatan Manajemen PHC / -
Kesehatan Masyarakat
Tahun Masuk – Lulus 1996-1998 1999-2000 -

Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun terakhir


No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah (Rp)
1. 2014 Analisa Kadar Hemoglobin Ditinjau Pribadi 4.500.000
Dari Indeks Masa Tubuh, Pola Makan,
dan Lama Jam Kerja Paa Wanita
Pekerja Dinas Pertamanan
2. 2014 Gambaran Pengetahuan tentang Pribadi 3.500.000
Jamkesda pada Peserta Jamkesda
3. 2014 Hubungan Pengetahuan Wanita Pekerja Pribadi 3.500.000
Seks Komersial Tentang HIV/AIDS
dengan Partisipasi Mengikuti Voluntary
Counselling and Test (VCT)
90

4 2017 Hubungan Asap Rokok Dengan Pribadi 6000.000


Kejadian Faringitis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Klandasan Ilir Balikpapan
5 2017 Faktor Kesehatan Lingkungan yang Risbinakes 6000.000
berhubungan dengan kejadian TB
6 2018 Pengaruh Senam Asma Terhadap kada Risbinakes 6000.000
TNF Alfa pada mahasiswa Poltekkes
Kemenkes Kaltim
7 2018 Efektivitas Standart Operasional Mandiri 5,007,500
Prosedur Pemasangan Infus Terhadap
Pencegahan Plebitis di RS AW
Syahrani Samarinda
91

Publikasi Artikel Ilmiah dalam 5 Tahun terakhir


No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Vol/ Nomor/
Tahun
1. Analisa Kadar Hemoglobin Jurnal Husada Ma hakam Vol 3 No 8
Ditinjau Dari Indeks Masa Tubuh, http://husadamahakam.po
(2014):
Pola Makan, dan Lama Jam Kerja ltekkes-
November
Pada Wanita Pekerja Dinas kaltim.ac.id/ojs/index.ph
Pertamanan (Peneliti 1) p/Home/article/view/36 2014

2. Gambaran Pengetahuan tentang Jurnal Husada Mahakam Vol.4/ No.2/


Jamkesda pada Peserta Jamkesda http://husadamahakam.po Tahun 2014
(Peneliti 1) ltekkes-
kaltim.ac.id/ojs/index.ph
p/Home/article/view/40/4
6
3. Hubungan Pengetahuan Wanita Jurnal Husada Mahakam Vol.4/ No.2/
Pekerja Seks Komersial Tentang http://husadamahakam.po Tahun 2014
HIV/AIDS dengan Partisipasi ltekkes-
Mengikuti Voluntary Counselling kaltim.ac.id/ojs/index.ph
and Test (VCT) (Peneliti 1) p/Home/article/view/43/4
9
4 Inovasi Buah Merah (Pandanus Jurnal Husada Mahakam
Conoideus) Sebagai Balutan Primer Volume 3 No
Dalam Mempertahankan http://husadamahakam.po
ltekkes- 9 (2015): Mei
Kelembaban Untuk Memperecepat
kaltim.ac.id/ojs/index.ph
Penyembuhan Luka Diabetik p/Home/article/view/31/3 2015
(Peneliti 2) 7

5 Hubungan Asap Rokok Dengan Jurnal Husada Mahakam Vol 4 No 4


Kejadian Faringitis Di Wilayah http://husadamahakam.po (2017): Mei
Kerja Puskesmas Klandasan Ilir ltekkes- 2017
Balikpapan (Peneliti 2) kaltim.ac.id/ojs/index.ph
p/Home/article/view/94/1
00
6 Implementation of Behavioral Health Notions Journal Volume 2
Theory in Learning of http://heanoti.com/index. Number 8
Competency-Based Nursing php/hn/article/view/hn20 (August 2018)
811
Practices (Peneliti 2)
92

Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Persentation) dalam 5 Tahun terakhir


No. Nama Pertemuan Ilmiah/ Seminar Judul Artikel Waktu dan
Tempat
1 Seminar Nasional Kesehatan Faktor Kesehatan Samarinda 27
“Mensinergiskan Germas dengan Lingkungan yang November
Penatalaksanaan Penyakit Tidak berhubungan dengan 2017
Menular” kejadian TB Paru

Anda mungkin juga menyukai