DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS TRISAKTI
DAFTAR ISI
Transfer pricing adalah suatu kebijakan yang diatur oleh perusahaan untuk menentukan
harga transfer atas suatu transaksi, baik harga atas barang, jasa, harta tak berwujud, ataupun
transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan.
Transfer pricing bisa juga diartikan sebagai besaran harga yang dibebankan satuan usaha
individu pada perseroan multi satuan atas transaksi yang terjadi di antara mereka.Terdapat
dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan inter-company
transfer pricing. Intra-company transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi
dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer
pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksinya sendiri
bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun dengan negara yang
berbeda (international transfer pricing).Pengertian itu merupakan pengertian yang netral,
walaupun sering sekali istilah transfer pricing dikonotasikan dengan sesuatu yang tidak baik
(sering disebut abuse of transfer pricing), yaitu suatu pengalihan penghasilan dari suatu
perusahaan dalam suatu negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi ke perusahaan lain dalam
satu grup di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah sehingga mengurangi total beban
pajak group perusahaan tersebut.
Eden (2001) dalam Darussalam dan Sepriadi (2008) mengistilahkan transfer pricing
manipulation dengan suatu kegiatan untuk memperbesar biaya atau merendahkan tagihan
yang bertujuan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Manipulasi harga yang dapat
dilakukan dengan transfer pricing antara lain manipulasi pada:
- Harga penjualan;
- Harga pembelian;
- Alokasi biaya administrasi dan umum atau pun pada biaya overhead;
- Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder
loan);
- Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen,
imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya;
- Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
- Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak
mempunyai substansi usaha (seperti: dummy company, letter box company atau
reinvoicing center)
a. Tujuan Penerapan Transfer Pricing
Apa sih sebenarnya tujuan dari penerapan transfer pricing? Ada 7 hal yang menjadi tujuan
dari transaksi ini, di antaranya:
Berdasarkan pihak yang terlibat di dalamnya, transaksi ini dapat dikelompokan menjadi dua
jenis, yaitu:
• Intercompany transfer pricing : Transaksi yang terjadi antara dua perusahaan yang
mempunyai hubungan istimewa.
• Intracompany transfer pricing : Transaksi yang terjadi antar divisi dalam suatu
perusahaan.
Transfer pricing meliputi beberapa aspek, di antaranya:
• Harta Berwujud Harta berwujud merujuk pada semua aset fisik bisnis, yang dapat
meliputi persediaan (bahan mentah, barang setengah jadi & barang jadi, serta barang
dagangan lainnya), mesin & peralatan, inventaris, tanah & bangunan, barang modal &
bidang keperluan usaha lainnya.
• Harta Tidak Berwujud Harta tak berwujud dari aspek transfer pricing dibedakan
antara manufacturing intangibles (yang timbul karena kegiatan pabrikasi atau upaya
peneliatan dan pengembangan oleh produsen) dan marketing intangibles (yang
berasal dari upaya pemasaran, distribusi dan jasa purna jual)
• Penyerahan Jasa Dari aspek harga transfer, penyerahan jasa kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dapat berkisar dari yang sederhana, seperti jasa rutin
akuntansi dan legal, jasa teknis antar perusahaan, hingga pengiriman karyawan.
Contoh Kasus
PT Abadi Jaya Esa yang berkedudukan di negara Malaysia memiliki anak perusahaan di
Indonesia, yaitu PT Abadi Jaya Makmur. Untuk memproduksi mainan yang dijual di
Indonesia, PT Abadi jaya Makmur mengimpor bahan baku dari Abadi Jaya Esa.
PT Abadi Jaya Esa yang berkedudukan di negara Malaysia memiliki anak perusahaan di
Indonesia yaitu PT Abadi Jaya Makmur. Untuk memproduksi mainan yang dijual di
Indonesia, PT Abadi jaya Makmur mengimpor bahan baku dari Abadi Jaya Esa. Jika harga
wajar bahan baku tersebut misalnya US$10/buah, dalam transaksi antara PT Abadi Jaya Esa
dan PT Abadi Jaya Makmur harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/buah.
Maka, harga yang di-markup terjadi karena prinsip harga pasar wajar (Arm’s Length Price
Principle). Mengapa perusahaan menerapkan prinsip ini?
3. Pembebanan Bunga
PT. Boha Mambaen Kedan (BMK) memiliki 70% saham PT . Ai So Ise (ASI). Atas
kepemilikan saham tersebut PT. BMK berkewajiban menyetorkan modal ke PT. ASI.
Namun masih terdapat modal yang belum disetorkan sebesar Rp600.000.000,-. Dari
catatan PT. BMK, diketahui terdapat pinjaman sebesar Rp800.000.000,- dengan bunga
sebesar 15% atau Rp120.000.000,- per tahun. Tingkat bunga yang berlaku pada saat itu
adalah 12%.
Dari ilustrasi ini, nilai pinjaman yang menjadi dasar perhitungan beban bunga seharusnya
adalah Rp200.000.000,- (Rp800.000.000,- – Rp600.000.000,-) dengan tarif 12%.
Sehingga biaya bunga yang boleh dibebankan adalah sebesar Rp24.000.000,- dan selisih
signifikan senilai Rp96.000.000,- (Rp120.000.000,- – Rp24.000.000,-) merupakan
penghasilan lain yang kerap diidentikkan dengan pembayaran Dividen Terselubung.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) arm’s length principle dilakukan dengan
menggunakan langkah-langkah berikut:
1. Wajib pajak memiliki penyertaan modal langsung atau tidak langsung lebih rendah
25% pada wajib pajak lainnya.
2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya dua atau lebih wajib pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung.
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus atau ke samping satu derajat.
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ini maksudnya adalah prinsip yang mengatur
bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang memiliki
hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang
menjadi pembanding. Singkatnya, transaksi antara usaha yang memiliki hubungan
istimewa harus sebanding dengan transaksi yang dilakukan oleh usaha yang tidak
memiliki hubungan istimewa.
Praktisi pajak internasional, Steven Hannes, ada beberapa faktor kunci yang harus
diperhatikan dalam melakukan metode perbandingan harga:
Selain ke delapan hal tersebut, besarnya cakupan pasar baik dari segi geografis maupun
demografis dan juga biaya transportasi barang tersebut juga perlu diperhatikan dalam analisis
perbandingan harga.
Dengan metode CUP atau perbandingan ini, harga jual barang mentah X yang wajar dari PT
AAA ke PT BBB seharusnya sebesar Rp. 50.500.000.
Harga yang terjadi pada resale tersebut dikurangi dengan laba kotor (mark up) wajar
sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang memiliki afiliasi (hubungan istimewa).
Ada syarat yang harus dilakukan sebelum menerapkan metode RPM ini. Pertama, tingkat
kesebandingan yang tinggi antara transaksi yang memiliki hubungan istimewa dengan yang
tidak memiliki hubungan istimewa.
Kedua, pihak penjual kembali, tidak memiliki signifikansi nilai harga atas barang atau jasa
yang ditransaksikan.
Ternyata ada transaksi barang sejenis antara PT AA dan PT BB yang sama sekali tidak
memiliki hubungan istimewa dengan mark up 20%.
Adapun metode ini tepat digunakan ketika barang setengah jadi dijual kepada pihak yang
terafiliasi (memiliki hubungan spesial) Selain itu pihak yang terafiliasi (memiliki hubungan
spesial) memiliki kontrak jangka panjang atau kontrak perjanjian penggunaan fasilitas
bersama.
Metode ini sangat efektif apabila digunakan pada usaha dengan transaksi penyedia jasa.
Di sisi lain, PT Y juga memproduksi barang yang sama dengan biaya Rp 600.000 dan
menjualnya ke PT Z yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan harga Rp. 900.000.
Jika dilihat dari rasio laba kotor penjualan PT Y, maka didapat 50% (30:60)
Dengan analisis biaya-plus ini, dapat diketahui harga transfer wajar PT A ke PT B adalah:
Biasanya ROS digunakan untuk usaha penjualan yaitu distributor baik whole
seller atau retailer. ROS (net margin) dihitung dengan formula sebagai berikut:
Biasanya digunakan untuk usaha pabrikan dan penyedia jasa. ROTC (Net Mark-up) dihitung
dengan formula sebagai berikut:
Biasanya digunakan untuk assets-intensive business. ROA dihitung dengan formula sebagai
berikut:
ROA = 𝑳𝒂𝒃𝒂𝒃𝒆𝒓𝒔𝒊𝒉𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂/(𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍𝑨𝒔𝒔𝒆𝒕𝒔−𝑵𝒐𝒏𝑶𝒑𝒆𝒓𝒂𝒕𝒊𝒏𝒈𝑨𝒔𝒔𝒆𝒕𝒔,i𝒏𝒄𝒍𝒖𝒅𝒊𝒏𝒈𝒄𝒂𝒔𝒉) x
100%
Total operating assets termasuk aset tetap operasi (termasuk tanah, bangunan, pabrik dan
peralatan). Aset tidak berwujud yang digunakan dalam usaha (seperti paten atau know-how),
dan working capital assets (seperti persediaan dan piutang dagang dikurangi utang dagang).
Investasi dan kas tidak termasuk dalam operating assets kecuali perusahaan yang bergerak
dalam industri keuangan.
TAMBAHAN INFORMASI DAN KESIMPULAN
Kita telah mengetahui bahwa karena adanya transfer pricing , yaitu kebijakan perusahaan
dalam menentukan harga transfer atas suatu transaksi , membuat harga yang terbentuk
bukanlah harga yang seharusnya terjadi . Oleh sebab itu , transaksi haruslah berdasarkan
prinsip Arm’s Length Principle , yaitu prinsip yang mengatur bahwa kondisi transaksi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa haruslah sebanding dengan
kondisi transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang independent . Dalam hal terjadi
transfer pricing ini , maka kita harus melakukan / menentuka nilai wajar dari transaksi yang
terjadi .
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: