Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

TRAKHEOSTOMI DINI PADA PASIEN TETANUS


UMUM GRADE 3 YANG DISERTAI DENGAN
COMMUNITY ACQUIREDE PNEUMONIA

Oleh:
dr. DHADI GINANJAR DARADJAT, SpAn.

PEMBIMBING:
dr. SOBARYATI, Sp.S – KIC, M.Kes

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2020
TRAKHEOSTOMI DINI PADA PASIEN TETANUS UMUM GRADE 3 YANG
DISERTAI DENGAN COMMUNITY ACQUIREDE PNEUMONIA

Dhadi Ginanjar Daradjat, Sobaryati


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin

ABSTRAK
Pendahuluan : Tetanus adalah penyakit akibat produksi toksin yang dihasilkan bakteri
Clostridium tetani yang ditandai kekakuan umum dan kejang otot yang dapat menyebabkan
henti napas dan kematian. Mengamankan jalan napas pada awal proses penyakit dengan
trakheostomi merupakan intervensi yang penting dalam penanganan tetanus dimana bantuan
ventilasi seringkali dibutuhkan berminggu-minggu.berbeda dengan intubasi endotracheal
yang dapat merangsang spasme laring dan memperburuk gangguan saluran napas.
Kasus : Laki-laki, 51tahun datang dengan keluhan kaku seluruh badan sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit disertai dengan trismus, disfagia dan riwayat demam. Kaki pasien terluka
dalam kecelakaan 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat kejang dan vaksinasi tetanus
disangkal. Pasien kompos mentis, hemodinamik stabil, trismus, risus sardonikus, opistotonos,
disertai spasme seluruh otot. Pasien diberi anti tetanus serum, ceftriaxone, metronidazole dan
dilakukan tindakan nekrotomi debridemen serta trakheostomi pada hari pertama perawatan.
Pasien mengalami gagal napas dan community acquired pneumonia sehingga dirawat di
Intensive Care Unit menggunakan ventilasi mekanik dengan terapi midazolam, atracurium,
morphine, antibiotik sesuai hasil kultur sputum.
Diskusi : Prinsip penanganan tetanus diantaranya dengan menetralisir toksin tetanus,
eradikasi clostridium tetani dan membersihkan luka, mengontrol spasme otot, mengatasi
gangguan sistem otonom dan terapi suportif.
Simpulan : Trakeostomi dini dalam waktu kurang dari 24 jam dari waktu masuk perawatan
pada kasus tetanus sedang dan berat dapat berperan dalam penatalaksanaan tetanus.

Kata Kunci : tetanus, trakheostomi dini, respiratory failure


EARLY TRACHEOSTOMY IN GRADE 3 GENERAL TETANUS
PATIENTS WITH COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA

Dhadi Ginanjar Daradjat, Sobaryati


Department of Anesthesiology and Intensive Care
Faculty of Medicine Padjadjaran University
Hasan Sadikin Hospital

ABSTRACT
Introduction : Tetanus is a toxin-mediated disease produced by the bacterium Clostridium
tetani characterized by generalized rigidity and muscle spasms that may cause respiratory
arrest and death. Securing the airway early in tetanus with a tracheostomy is an important
intervention in the management of tetanus where artificial ventilation is often necessary for
weeks, in contrast to endotracheal intubation which can stimulate laryngeal spasms and
exacerbate airway compromise.
Case : Man, 51 years old, was admitted with complaints of whole body rigidity since 2 days
before admission, accompanied with trismus, dysphagia and a history of fever. The patient's
leg was injured in the accident 8 days before admission to hospital. There is no history of
vaccinations. The patient’s condition is composmentis, hemodynamically stable, trismus,
risus sardonicus, opistotonus accompanied by spasm of all muscles. Patients were given anti-
tetanus serum, ceftriaxone, metronidazole and performed debridement necrotomy and
tracheostomy on the first day of treatment. The patient experienced respiratory failure and
community acquired pneumonia. He was admitted to the Intensive Care Unit using
mechanical ventilation with midazolam, atracurium, morphine therapy, antibiotics according
to sputum culture results.
Discussion : The principles of treating tetanus include neutralization of tetanus toxin,
clostridium tetani eradication and wound debridement, controlling muscle spasm, controll of
autonomic system dysfunction and supportive therapy.
Conclusion : Early tracheostomy within less than 24 hours from time of admission for
moderate and severe tetanus may play a role in tetanus management

Keyword : tetanus, early tracheostomy, respiratory failure


BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit yang disebabkan infeksi oleh clostridium tetani yang
sebetulnya dapat dicegah. Secara global dilaporkan lebih dari 1 juta orang terinfeksi
tetanus setiap tahunnya dengan rasio 18 kasus per 100.000 populasi dan diperkirakan
angka mortalitas mencapai lebih dari 200.000 per tahun. Prevalensi tetanus sering
terjadi di daerah rural dengan higienitas yang buruk dan terbatasnya pelayanan
kesehatan. Oleh karena itu tetanus sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
pada negara-negara berkembang.1
Manifestasi klinis tetanus timbul akibat pelepaskan toksin tetanolysin dan
tetanospasmin. Tetanospasmin akan berikatan dengan membran ganglion presinaptik
baik pada neuromuscular junction maupun pada sistem saraf pusat. Tetanospasmin
kemudian akan menghambat pelepasan nuerotrasmiter inhibisi seperti glisin, Gamma
Amino Butyric Acid (GABA), dopamine dan noradrenalin pada penghambatan sinaps
sistem saraf pusat. Masa inkubasi tetanus berkisar 1 hari sampai beberapa bulan,
namun pada umumnya sekitar 8 hari. Diagnosis dari tetanus ditegakkan berdasarkan 3
trias klinis yaitu kekakuan, spasme otot dan disfungsi otonom yang menyertai riwayat
luka dalam 3 minggu terakhir. Tetanus diklasifikasikan menjadi tetanus umum
(mengenai seluruh otot tubuh), tetanus terlokasir (kaku dan spasme pada area tertentu
otot), tetanus cephalic (luka pada area kepala dan mengganggu saraf kranial) dan
tetanus neonatorum.2
Prinsip penanganan tetanus diantaranya dengan menetralisir toksin tetanus, erad
ikasi clostridium tetani dan membersihkan luka, mengontrol spasme otot, mengatasi
gangguan sistem otonom dan terapi suportif.2-5
Tetanus dapat menimbulkan komplikasi serius dan membutuhkan perawatan di
Intensive Care Unit (ICU). Tingkat mortalitas tetanus pada daerah dengan
keterbatasan fasilitas perawatan intensif dan dukungan ventilasi mekanik dapat
mencapai lebih dari 50% akibat obstruksi jalan napas, gagal napas dan gagal ginjal.
Mengamankan jalan napas pada awal perjalanan penyakit dengan trakeostomi
merupakan intervensi yang penting dalam manajemen tetanus dimana dukungan
ventilasi mekanit seringkali dibutuhkan hingga berminggu-minggu. Trakheostomi
lebih menguntungkan oleh karena intubasi dengan endotracheal dapat lebih
merangsang spasme laring dan memperburuk permasalahan jalan napas.2,4
Pada tulisan ini akan disajikan laporan kasus tetanus umum dengan gagal napas
yang diakibatkan community acquired pneumonia (CAP) dan dilakukan tindakan
trakheostomi dini. Pasien dirawat di ICU Rumah Sakit Hasan Sadikin pada bulan
April – Mei 2020.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn A
No medrec : 0001831886
Tanggal lahir : 1 Juli 1968
Alamat : Cikalong wetan
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMP
Tanggal Masuk : 7 April 2020

II. Perawatan Ruang Intensif

Subjektif
Keluhan utama : Kaku seluruh badan
Riwayat penyakit sekarang :
Kaku seluruh tubuh dirasakan pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit yang muncul apabila ada rangsangan. Keluhan disertai dengan
demam. Penurunan kesadaran (-), lemah anggota gerak (-), penglihatan
ganda (-), muntah (-).
Pasien telah dirawat dilakukan tindakan tracheostomy dan necrotomy
debridement saat di Instalasi Gawat Darurat, kemudian dirawat di ruang
Neurology Intensive Care selama 3 hari.
Pasien rujukan dari RSUD Cikalong Wetan dan telah mendapatkan terapi
Tetagam 3000 iu.
Pasien mengalami luka di kaki 8 hari sebelum masuk rumah sakit akibat
kecelakaan lalu lintas dan berobat ke klinik.
Objektif
Kesadaran : GCS : E2M4VTC
Tanda Vital : Tekanan Darah : 112/74 mmHg
Nadi : 98 x/m
Laju Napas : 35 x/m
SpO2 : 89% T-Piece 6 lpm
Suhu : 38 o C
Cor : S1-S2 regular, murmur (-)
Pulmo : VBS kanan = kiri, Rhonki +/+
Status Neurologis : Trismus (+), spasme rangsang (+), Opistotonus (+),
risus sardonicus (+), spasme spontan (+)
Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium (7 April 2020) :
Hb : 11,9 g/dL, Hematokrit : 35,8 %, Lekosit : 12,71 103/L, Trombosit :
279 103/L, GDS : 148 mg/dL, SG0T : 273 mg/dL, SGPT 98 mg/dL,
Ureum 71 mg/dL, Kreatinin 0,98 mg/dL, Natrium : 146 meq/L,
Kalium : 3,5 meq/L, Kalsium : 3,81 meq/L

Thorax Photo (7 April 2020) :


- Pneumonia kanan
- Bronkhopneumonia kiri
- Kardiomegali tanpa bendungan paru

EKG : Sinus ritme

Assessment
- Respiratory Failure
- Community Acquired Pneumonia
- Tetanus umum gr III
- Transaminitis ec ischemic hepatitis related tetanus
- Vulnus laceratum a/r cruris dextra

Planning
- Pemasangan ventilasi mekanik
- Pemberian sedasi dan pelumpuh otot
- Ceftriaxone 1 x 2 gr
- Levofloxacin 1x750 mg
- Metronidazole 3 x 500 mg
- Kultur sputum
- Pemasangan central venous catheter
Tanggal Status Present Pemeriksaan Penunjang Assessment Planning
11/04/2020 S : Kejang (+) Lab : - Respiratory failure - F : Diet 25 KKal/kg,
Hari ke-1 O: Hb 11,5 Ht 34,5 L 9.570 Tr - CAP Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : DPO 279.000 PT 12,6 INR 1,13 APTT - Tetanus gr III Cairan
CV : TD : 112-146/55-92 mmHg 25,8 30 cc/Kg/24 jam
HR : 70 – 90 x/m Na 145 K 3,8 Ca 3,77 Mg 1,1 Alb -A : Morfin 10
Resp : PCV Pins 10 Frek 12 2,12 Ur 64,2 Cr 1,06 GDS 159 mcg/kg/jam
Peep 5 FiO2 50% SGOT 102 SGPT 98 Laktat 2,7 Paresetamol 3x1 gr
SpO2 : 97–99% pH 7,487 pCO2 32,0 pO2 108,1 - S : Midazolam 5 mg/jam
GIT : BU(+), NGT retensi (-) HCO3 24,2 BE 1,9 SpO2 98,6 - T:-
Status Neurologi : - H : Head u2p 30O
Trismus (+), spasme rangsang (+), - U : Omeprazole 2x40 mg
Opistotonus (+), risus sardonicus - G:-
(+), spasme spontan (+) - Ceftrioxone 1x2 gr
- Levofloxacin 1x750 mg
- Metronidazole 500
mg/6jam
- Atracurium 15 mg/jam
- Koreksi Mg 4 gr
- Kultur sputum
16/04/2020 S : Kejang (+) Lab : - Respiratory failure - F : Diet 30 KKal/kg,
Hari ke-6 O: Hb 9,7 Ht 31,5 L 7.431 Tr - CAP Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : DPO 289.000 - Tetanus gr III Cairan
CV : TD : 98-150/52-94 mmHg pH 7,431 pCO2 43,5 pO2 96,8 30 cc/Kg/24 jam
HR : 70 – 110 x/m HCO3 36,1 BE 10,8 SpO2 97,6 -A : Morfin 10
Resp : PCV Pins 10 Frek 12 P/F 193,6 mcg/kg/jam
Peep 8 FiO2 50% - S : Midazolam 5 mg/jam
SpO2 : 95–98% Kultur sputum : - T:-
GIT : BU(+), NGT retensi (-) Klebsiella pneumonia , - H : Head up 30O
Status Neurologi : Sensitif : amikacin, ertapenem, - U : Omeprazole 2x40 mg
Trismus (+), spasme rangsang (+), meropenem, tigecycline - G:-
Opistotonus (+), risus sardonicus Resisten : Ceftriaxone, - ATS 20.000 unit
(+), spasme spontan (+) gentamicin, cefepime, - Amikacin 1x1 gr (1)
ciprofloxacin, ampicillin, - Levofloxacin 1x750 mg
cotrimoxazole (5)
- Metronidazole 500
mg/6jam
- Atracurium 15 mg/jam
- Kultur sputum
17/04/2020 S : Kejang frekewensi menurun - Respiratory failure - F : Diet 30 KKal/kg,
Hari ke-7 O: - CAP Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : DPO - Tetanus gr III Cairan
CV : TD:100-155/52-100 mmHg 30 cc/Kg/24 jam
HR : 68 – 128 x/m - A : Parasetamol 3x1 gr
Resp : SIMV Pins 14 Frek 8 PS - S : Midazolam 5 mg/jam
14 - T:-
Peep 8 FiO2 50% - H : Head up 30O
SpO2 : 95–98% - U : Omeprazole 2x40 mg
GIT : BU(+), NGT retensi (-) - G:-
Status Neurologi : - ATS 25.000 unit
Trismus (+) perbaikan, spasme - Amikacin 1x1 gr (4)
rangsang (+), Opistotonus (-), - Levofloxacin 1x750 mg
risus sardonicus (+), spasme (6)
spontan (-) - Metronidazole 500
mg/6jam
- Atracurium stop
21/04/2020 S : Kejang frekwensi menurun Laboratorium : - Respiratory failure - F : Diet 30 KKal/kg,
Hari ke-11 O: Hb 8,5 Ht 26,4 Leu 5.880 Tr perbaikan Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : DPO 386.000 - CAP Cairan
CV : TD:102-150/50-100 mmHg Na 135 K 4,2 Cl 99 Ca 4,55 Mg - Tetanus gr III 30 cc/Kg/24 jam
HR : 80 – 110 x/m 1,9 Albumin 1,99 - A : Parasetamol 3x1 gr
Resp : SIMV Pins 8 Frek 8 PS 12 pH 7,535 pCO2 43,4 pO2 182.3 - S : Midazolam 5 mg/jam
Peep 8 FiO2 50% HCO3 37.3 BE 13.7 SpO2 99,7 - T:-
SpO2 : 97–99% P/F 364,6 - H : Head up 30O
GIT : BU(+), NGT retensi (-) - U : Omeprazole 2x40 mg
Status Neurologi : Kultur sputum : - G:-
Trismus (+) perbaikan, spasme - Isolate 1 :Acinetobacter - Amikacin 1x1 gr (5)
rangsang (+), Opistotonus (-), baumanii - Meropenem 3x1 gr (1)
risus sardonicus (+), spasme Sensitif : amikacin, ertapenem, - Metronidazole 500
spontan (-) tigecycline mg/6jam
- Isolate 2 : Klebsiella - Albumin 20% 100 cc
pneumoniae
Sensitif : gentamicin, amikacin,
meropenem, cotrimoxazole

Thorax foto (20/04):


- Bronkhopneumonia
- Kardiomegali tanpa bendungan
paru

26/04/2020 S : Kejang (+) frekwensi menurun Laboratorium : - Respiratory failure - F : Diet 30 KKal/kg,
Hari ke-16 O: Hb 9,4 Ht 29,1 Leu 6.760 Tr perbaikan Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : E3M6VTC 504.000 - CAP Cairan
CV : TD:102-124/52-74 mmHg pH 7,425 pCO2 45,1 pO2 110,4 - Tetanus gr III 30 cc/Kg/24 jam
HR : 62 – 84 x/m HCO3 29,9 BE 5,5 SpO2 98,1 - A : Parasetamol 3x1 gr
Resp : PS 8 Peep 6 FiO2 40% P/F 275 - S : Midazolam 3 mg/jam
SpO2 : 97–99% - T:-
GIT : BU(+), NGT retensi (-) Kultur sputum : - H : Head up 30O
Status Neurologi : Tidak ditemukan pertumbuhan - U:-
Trismus (+) perbaikan , spasme bakteri - G:-
rangsang (+), Opistotonus (-), - Meropenem 3x1 gr (6)
risus sardonicus (-), spasme Thorax foto (23/04): - Baclofen 2 x 2 mg
spontan (-) - Bronkhopneumonia - Weaning ventilator
- Kardiomegali tanpa bendungan
paru

5/05/2020 S : Kejang (-) Laboratorium : - Respiratory failure - F : Diet 30 KKal/kg,


Hari ke-24 O: Kultur sputum : perbaikan Protein 2 gr/kg,
CNS : GCS : E4M6VTC Tidak ditemukan pertumbuhan - CAP Cairan
CV : TD:102-124/52-74 mmHg bakteri Tetanus gr III 30 cc/Kg/24 jam
HR : 62 – 84 x/m - A : Parasetamol 3x1 gr
Resp : RR : 16-22 x/m Thorax foto (28/04): - S : (-)
T-piece 6 lpm - Bronkhopneumonia perbaikan - T:-
SpO2 : 97–99% - Kardiomegali tanpa bendungan - H : Head up 30O
GIT : BU(+), NGT retensi (-) paru - U:-
Status Neurologi : - G:-
Trismus (+) perbaikan , spasme - Meropenem 3x1 gr (11)
rangsang (-), Opistotonus (-), risus - Baclofen 2 x 2 mg
sardonicus (-), spasme spontan (-) - Alih rawat ruangan
BAB III
PEMBAHASAN

Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif clostridium tetani yang bersifat anaerob,
berspora dan terdapat pada tanah, feses manusia maupun hewan. Spora bakteri ini masuk ke
dalam tubuh manusia melalui jaringan yang rusak biasanya melalui tusukan atau laserasi pada
kulit. Oleh karena itu tetanus dapat timbul pada kondisi pasca operasi, luka bakar, gangrene,
ulkus kronis, gigitan anjing, suntikan obat-obatan, infeksi gigi, abortus dan pasca melahirkan.
Spora ini kemudian akan berproliferasi dalam bentuk vegetatif dan memproduksi toksin
tetanospasmin serta tetanolysin.1 Tetanolysin akan menimbulkan kerusakan jaringan lokal dan
merangsang pembentukan jaringan di sekitar infeksi sehingga mengoptimalkan kondisi bakteri
untuk bermultiplikasi.2 Sedangkan tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten dimana
dengan jumlah 0,01 mg dapat bersifat letal untuk manusia pada umumnya. Infeksi clostridium
tetani bersifat lokal, namun toksin yang dihasilkannya dapat menyebar melalui aliran darah
kemudian akan terdistribusi ke ujung saraf motorik dan sistem saraf pusat.1
Tetanospasmin bekerja dengan memecah synaptobrevin yang merupakan membran protein
vesikel pada daerah sinaps yang berperan penting dalam pelepasan neurotransmitter. Toksin ini
terutama akan mengganggu jalur inhibisi dengan menghambat pelepasan glycine dan Gamma
Amino Butyric Acid (GABA). Saat saraf motorik alfa terganggu makan akan terjadi gangguan
pada proses penghambatan refleks motorik, sehingga akan terjadi peningkatan tonus dan
kekakuan otot, diikuti dengan spasme otot yang tiba-tiba dan berpotensi menimbulkan
kerusakan. Otot – otot wajah akan terganggu lebih awal oleh karena jalur aksonnya yang pendek,
sedangkan saraf simpatis akan terganggu paling akhir. Gangguan proses inhibisi sistem otonom
akan mengakibatkan hilangnya kontrol otonom sehingga terjadi aktifitas berlebih dari sistem
simpatis dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan toksin dengan sistem saraf bersifat
irreversible, sehingga pemulihan akan terjadi setelah terbentuknya terminal saraf yang baru.
Inilah yang menjelaskan mengapa tetanus dapat berlangsung dalam durasi yang lama.3
Tetanus didiagnosis secara klinis dengan adanya trias dari kekakuan otot, spasme otot dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awal dari tetanus adalah kekakuan leher, nyeri tenggorokan,
disfagia dan trismus. Spasme otot dapat menyebabkan nyeri yang hebat dimana dapat timbul
spontan maupun akibat rangsangan raba, visual, pendengaran maupun emosional. Spasme otot
dapat terjadi secara berlebihan dan menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi dan patah tulang.
Spasme pada otot wajah dapat menimbulkan ekspresi wajah khas yang dinamakan risus
sardonicus. Spasme truncal menimbulkan opistotonus. Pada kondisi spasme yang
berkepanjangan dapat terjadi hipoventilasi berat dan menyebabkan ancaman jiwa. Spasme laring
juga dapat terjadi sehingga menimbulkan obstruksi jalan napas dan kegagalan pernapasan.
Gangguan sistem otonom pada umumnya terjadi beberapa hari setelah spasme dan berlangsung
1−2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan
hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini
muncul silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistol yang tiba - tiba.
Gambaran gangguan otonom lainnya dapat berupa salivasi, keringat berlebihan, meningkatnya
sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.2,3
Klasifikasi tetanus berdasar tingkat keparahan penyakit dapat dilakukan dengan beberapa
sistem. Di antara sistem klasifikasi yang paling sering digunakan adalah sistem Ablett (tabel 1).
Sedangkan prognosis tetanus dapat diprediksi dengan menggunakan skor Dakar (tabel 2) dimana
tingkat mortalitas pada skor < 3 adalah 14%, sedangkan skor ≥ 3 adalah 59%.6

Tabel 1. Klasifikasi Ablett : Tingkat Keparahan Tetanus6


Grade Kategori Tanda Klinis
1 Ringan Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada gangguan
respirasi, tidak spasme , tidak difagia
2 Sedang Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan,
gangguan respirasi sedang, frekwensi napas >30 x/m
3 Berat Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme berkepanjangan,
disfagia berat, serangan apnea, denyut nadi >120 x/m, frekwensi
napas >40x/m
4 Sangat Berat Grade 3 disertai dengan ketidakstabilan otonom berat

Tabel 2. Sistem Skoring Dakar : Prognosis Tetanus6


Skor
Faktor Prognostik
Skor 1 Skor 0
Periode inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar, uterus,
Selain yang telah disebut atau
Tempat masuk infeksi fraktur terbuka, luka operasi,
tidak diketahui
injeksi intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38,4 O C < 38,4 O C
Dewasa > 120 x/m Dewasa < 120 x/m
Takikardia
Neonatus > 150 x/m Neonatus < 150 x/m

Pasien pada kasus ini didapatkan tanda-tanda tetanus berupa trismus berat, opistotonus,
spasme rangsang dan spontan yang berkepanjangan, disfagia berat dan risus sardonikus dengan
nadi dan frekwensi pernapasan yang masih normal. Tanda-tanda gangguan sistem otonom tidak
didapatkan pada pasien ini. Berdasarkan tanda-tanda tersebut, sesuai dengan klasifikasi Ablett,
pasien didiagnosis dengan tetanus umum grade 3. Dari sisi prognosis, skor Dakar pada pasien ini
didapat nilai 3 (Periode inkubasi < 7 hari, periode onset < 2 hari dan adanya spasme) dengan
prediksi mortalitas sekitar 59%.
Prinsip penanganan tetanus diantaranya dengan menetralisir toksin tetanus, eradikasi clostr
idium tetani dan membersihkan luka, mengontrol spasme otot, mengatasi gangguan sistem
otonom dan terapi suportif.. Menetralisir toksin bebas dan membersihkan bakteri pada sumber
infeksi harus dilakukan pada hari pertama perawatan.2-5 Tidak terdapat konsensus terkait
pemberian anti toksin tetanus. Saat ini Human antitetanus immunoglobulin (HIG) lebih banyak
digunakan dibanding antitetanus serum (ATS) yang bersumber dari kuda. Keduanya bekerja
menetralisir toksin yang masih bebas di sistem sirkulasi, namun tidak berefek pada yang sudah
berikatan pada sistem saraf. Terdapat beberapa rekomendasi dalam pemberian HIG, diantaranya
dapat diberikan 500 unit intramuscular atau intravena.1,4 Rekomendasi lain menyebutkan
pemberian HIG dapat diberikan dengan dosis 3 – 6000 unit intramuscular. 2 British National
Formulary merekomendasikan pemberian HIG dengan dosis 5000 – 10.000 unit intra vena tanpa
pengulangan. Hal ini disebabkan HIG memiliki waktu paruh yang panjang yaitu sekitar 23 hari. 3
Bila tidak didapatkan HIG, maka dapat diberikan ATS dengan dosis 500 – 1.000 unit/kg
intravena maupun intramuskular. Pemberian ATS dapat menyebabkan reaksi anafilaksis pada
20% kasus, sehingga harus diantisipasi dengan mempersiapkan obat – obatan emergensi.6
Selain itu perlu dilakukan pembersihan sumber infeksi dan pemberian antibiotik untuk
menghilangkan bakteri penyebab tetanus yang mungkin masih terdapat pada pasien. Antibiotik
yang direkomendasikan adalah penicillin dengan dosis 100.000 – 200.000 unit/kg/hari selama 7
– 10 hari. Namun strukturnya yang mirip dengan GABA diduga dapat menimbulkan reaksi
antagonis kompetitif terhadap GABA. Metronidazole merupakan alternatif lain yang aman dan
kini menjadi terapi lini pertama pengobatan tetanus. Penelitian Ahmadsyah dan Salim
menyimpulkan pemberian metronidazole dapat menurunkan mortalitas tetanus dibandingkan
dengan penicillin. Dosis Metronidazole yang disarankan 500 mg intravena setiap 6 jam selama 7
– 10 hari. Selain itu dapat juga diberikan eritromicin, tetrasiklin, vancomycin, clindamycin,
doxycycline dan kloramfenikol.1-8
Pada pasien ini, rumah sakit perujuk telah memberikan HIG dengan dosis 3.000 unit
intramuskular. Pada hari ke 7 perawatan di ICU, dilakukan pemberian ATS 25.000 unit
intramuskular dengan pertimbangan kondisi klinis pasien yang belum membaik. Pembersihan
luka yang diduga menjadi sumber infeksi telah dilakukan pada hari pertama perawatan di
instalasi gawat darurat RSHS. Antibiotik yang dipilih pada pasien ini adalah metronidazole 500
mg intravena setiap 6 jam.
Spasme otot yang terjadi menyeluruh merupakan kondisi yang mengancam jiwa dimana
dapat mengarah menuju komplikasi berupa gagal napas, aspirasi dan menimbulkan kelelahan
secara umum. Golongan obat benzodiazepine merupakan pilihan utama dalam mengontrol
spasme otot pada tetanus. Diazepam merupakan golongan obat benzodiazepine yang sangat
efektif dalam penanganan tetanus, dimana bekerja sebagai agonis terhadap GABA. Keunggulan
diazepam adalah adanya sifat sebagai anti kejang dan dapat merelaksasi otot sehingga dapat
mengontrol rigiditas dan spasme otot. Diazepam dapat diberikan dengan dosis mulai dari 5 mg
dan dititrasi hinggga spamse terkontrol tanpa menimbulkan sedasi berat dan hipoventilasi. Dosis
diazepam dapat diberikan hingga total 600 mg/hari. 3,4 Penggunaan jenis benzodiazepine lain
yaitu midazolam dapat diberikan dan secara teoritis lebih baik dibandingkan diazepam karena
lama kerja yang lebih singkat dan akumulasi dalam tubuh lebih sedikit. Obat sedasi lainya yang
dapat digunakan adalah phenobarbitone, phenothiazine, dantrolene dan intratecal baclofen.2,7
Apabila sedasi tidak cukup mengontrol spasme otot pada pasien tetanus, makan pemberian obat
pelumpuh otot dan dukungan ventilasi mekanik harus diberikan. Obat pelumpuh otot golongan
aminosteroid (vecuronium, rocuronium) dapat diberikan dan tidak memiliki dampak pada sistem
kardiovaskular dan pelepasan histamin. Namun penggunaan jangka panjang obat golongan
aminosteroid ini dilaporkan dapat mengakibatkan neuropati dan miopati. 2,5 Pilihan lainnya adalah
atracurium. Penggunaan atracurium dalam jangka panjang pada pasien dengan fungsi ginjal dan
hepar yang normal dilaporkan tidak menimbulkan penumpukan metabolit laudanosine yang
bersifat epileptogenik.2
Pada pasien ini didapatkan spasme rangsang dan spasme spontan yang berkepanjangan,
Terapi yang diberikan adalah midazolam, atrakurium dan dukungan ventilasi mekanik.Terapi
diberikan hingga kondisi klinis membaik dimana tidak didapatkan spasme dan rigiditas otot
khususnya otot pernapasan.
Komplikasi tetanus yang dapat terjadi adalah adanya disfungsi dari sistem otonom dimana
terjadi peningkatan aktivitas simpatis dan pelepasan katekolamin yang meningkat hingga 10 kali
lipat dari normal. Manifestasi klinis dapat berupa hipertensi, takikardia dan keringat berlebih.
Penanganan yang bisa dilakukan adalah dengan pemberian sedasi benzodiazepine dan morfin
untuk meminimalisir efek dari tetanospasmin. Morfin bekerja untuk menggantikan opioid
endogen yang berkurang pada pasien tetanus dan juga dapat menurunkan pengeluaran
katekolamin. Magnesium dapat diberikan sebagai ajuvan sedasi dengan target konsentrasi serum
antara 2,5 – 4 mmol/L Magnesium bekerja dalam menghambat pelepasan katekolamin dari sel
saraf dan medulla adrenal, serta menurunkan respon dari reseptor katekolamin. Magnesium juga
berperan dalam relaksasi otot sehingga dapat membantu dalam mengontrol spasme otot.1,3
Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tanda disfungsi sistem otonom. Morfin tetap
diberikan untuk mencegah pengeluaran katekolamin dan sebagai terapi nyeri dimana spasme
berkepanjangan pada pasien tetanus dapat menimbulkan nyeri yang berat.
Komplikasi pada sistem pernapasan yang tersering adalah aspirasi, hipoventilasi dan
spasme laring yang dapat menyebabkan kematian. Menjaga jalan napas tetap aman dengan
trakheostomi dini lebih disarankan karena pipa endotracheal lebih merangsang timbulnya spasme
dan memperburuk permasalahan jalan napas.4 Penelitian yang dilakukan oleh Espinosa dan
Vinco pada 109 pasien tetanus sedang dan berat menunjukkan tindakan trakheostomi dini pada
kurang dari 24 jam awal perawatan di rumah sakit berhubungan dengan length of stay rumah
sakit dan penggunaan ventilasi mekanik yang lebih singkat, namun tidak berbeda dalam hal
mortalitas dan morbiditas.9 Pada penelitian lain dilakukan tindakan trakheostomi pada 60 pasien
tetanus grade 2 dan menunjukkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah dibanding
dengan pasien yang tidak dilakukan trakheostomi.10 Demikian juga merekomendasikan untuk
melakukan trakheostomi sesegera mungkin dalam 24 jam pertama pada pasien tetanus sedang
dan berat yang membutuhkan proteksi jalan napas atau dukungan ventilasi mekanik. 11 Tindakan
trakheostomi pada pasien tetanus lebih direkomendasikan menggunakan teknik percutaneous
tracheostomy. Teknik ini memungkinkan untuk dilakukan di ruang ICU sehingga menghindari
rangsangan kejang yang tidak perlu. Selain itu, dengan teknik ini kehilangan darah lebih sedikit,
kemudian dapat mengurangi morbiditas pasca operasi dan komplikasi jangka panjang
dibandingkan teknik operasi tradisional.6
Pada kasus ini dilakukan trakheostomi dini pada hari pertama perawatan di rumah sakit.
Pasien dapat dilakukan pelepasan ventilator pada hari perawatan ke 24 di ICU dan dilakukan
dekanulasi pipa trakheostomi 10 hari setelah pasien alih rawat di ruangan.
Pasien pada kasus ini didapatkan sejak masuk rumah sakit dalam kondisi CAP yang
kemungkinan diakibatkan oleh aspirasi pada awal onsep penyakit. Hal ini ditandai dengan tanda
klinis demam, batuk dan frekwensi napas yang meningkat, disertai dengan gambaran pneumonia
pada foto thorax pada saat awal masuk rumah sakit. Kondisi pasien mengalami perburukan
ditandai dengan SpO2 menurun. Pasien kemudian dirawat di ICU dan diberikan dukungan
ventilasi mekanik. Terapi antibiotik untuk pneumonia pada awalnya diberikan secara empiris dan
kemudian disesuaikan dengan hasil kultur dan tes resistensi.
BAB IV
SIMPULAN

Tetanus masih merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang. Tingkat
mortalitas tetanus masih tinggi disebabkan komplikasi dan kebutuhan pengelolaan kondisi kritis
di ICU dalam jangka waktu yang lama. Penegakan diagnosis yang cepat, pemberian terapi yang
tepat untuk menetralisir toksin dan eradikasi bakteri penyebab, pengelolaan komplikasi dan
terapi suportif yang adekuat menjadi kunci dalam menentukan luaran pasien. Tindakan
trakheostomi dini dalam 24 jam pertama perawatan di rumah sakit pada kasus tetanus sedang dan
berat direkomendasikan dengan tujuan akhir untuk lebih mempersingkat penggunaan ventilasi
mekanik, lama rawat di rumah sakit dan menurunkan morbiditas serta mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lipman J. Tetanus. Dalam : Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual. 6th ed.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2019. 692-6.
2. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: A review of the literature. Br J Anaesth
[Internet]. 2001;87(3):477–87. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.1093/bja/87.3.477
3. aylor AM. Tetanus. Contin Educ Anaesthesia, Crit Care Pain. 2006;6(3):101–4.
4. WHO Communicable Diseases Working Group on Emergencies. Current recommendations
for treatment of tetanus during humanitarian emergencies WHO Technical Note. Commun
Dis Surveill Response, WHO Reg Off Am. 2010;(January):1–6.
5. Somia IKA. Management of tetanus complication. IOP Conf Ser Earth Environ Sci.
2018;125(1).
6. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Tetanus. 2000;292–301.
7. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological management of tetanus: An
evidence-based review. Crit Care [Internet]. 2014;18(2):1–10. Tersedia pada: Critical Care
8. Ahmadsyah I, Salim A. Treatment of tetanus: An open study to compare the efficacy of
procaine penicillin and metronidazole. Br Med J (Clin Res Ed). 1985;291(6496):648–50.
9. Espinosa W, Vinco V. Timing of Tracheostomy and Outcomes in Adults with Moderate and
Severe Tetanus. Philipp J Otolaryngol Head Neck Surg. 2019;34(2):20–3.
10. Saeed A Bin, Muazzam M, Mansoor SA, Iqbal J. Impact of Early Tracheostomy on
Outcome in Tetanus Patients. Jszmc [Internet]. 2013;5(2):597–600. Tersedia pada:
http://www.jszmc.com/Files_pdf/jszmc Vol.0502/597-2014.pdf
11. Lisboa T, Ho Y-L, Henriques Filho GT, Brauner JS, Valiatti JLDS, Verdeal JC, et al.
Guidelines for the management of accidental tetanus in adult patients. Rev Bras Ter
intensiva [Internet]. 2011;23(4):394–409. Tersedia pada:
http://www.scielo.br/pdf/rbti/v23n4/en_a04v23n4.pdf

Anda mungkin juga menyukai