Anda di halaman 1dari 94

NEGARA DALAM PERSPEKTIF SANTO AUGUSTINUS

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Ilmu Sosial dan ilmu Politik

Diajukan oleh:

NOVA DEWI L. TAMBUNAN


120906036

Dosen Pembimbing : Warjio, MA,. Ph.D

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan, Sang Juru Selamat, sebab kita

hidup hanya oleh karena besar kasih setia-Nya bagi hidup kita. Bagi Dialah pujian

dan hormat kini kekal sampai selamanya. Skripsi ini berjudul “Negara Menurut

Perspektif Santo Augustinus”. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk

memperoleh gelar sarjana dari Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap skripsi ini dapat

memberi kontribusi kepada pembaca khususnya para pecinta pemikiran politik

barat dan dapat menambah cakrawala berpikir bagi penulis dalam memulai

mengembangkan kreatifitas menulis sebagai akademisi penulis.

Penulis bersyukur dan sungguh menyadari bahwa dalam setiap perjalanan

kehidupan ini, Tuhan begitu setia menyertai dan memberi pertolongan, secara

khusus didalam mengerjakan dan menyelesaikan pengerjaan skripsi ini. Tanpa

campur tangan Tuhan didalamnya, sungguhlah penulis tidak akan sanggup

menyelesaikannya. Penulis juga menyadari bahwasanya banyak pihak-pihak yang

Tuhan tempatkan disisi penulis untuk boleh memberikan dukungan dan semangat

bagi penulis dalam pengerjaan dan penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis

sangat mengapresiasi atas setiap hal boleh diberikan kepada penulis hingga sampai

saat ini.

Terimakasih dan penghargaan terbesar juga penulis sampaikan kepada

segenap keluarga tercinta, Ayahanda Binsar Tambunan dan Ibunda Saria

Pangaribuan. terimakasih yang tak terbatas penulis ucapkan atas setiap hal yang

boleh diberikan selama ini, baik untuk setiap motivasi, dukungan dan juga setiap

ii

Universitas Sumatera Utara


doa. Penulis sangat meminta maaf jikalau penulis harus butuh waktu yang cukup

lama dalam menyelesaikan studi di bangku perkuliahan ini. Terimakasih buat

semua kakak/adik tercinta (Kak Elisa Duma Yanti Tambunan, Romauli Tambunan,

Quarty Lamria Tambunan, Grace Inda Marito Tambunan, Lamhot Samuel

Marsahala Tambunan, Theresa Julyana Tambunan dan Monang Ferdinan

Tambunan), terimakasih sudah setia setiap waktu untuk menanyakan

perkembangan studi dan skripsi penulis, juga telah setia memberikan motivasi dan

doa bagi penulis. Tak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih buat semua

keluarga besar dari penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, kiranya

kasih setia Tuhan senantiasa memelihara keluarga kita.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang memberikan

dukungan, bimbingan dan bantuan kepada penulis selama proses pengerjaan sampai

penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik.

2. Bapak Warjio, MA,. Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Politik sekaligus

Dosen Pembimbing penulis, yang telah begitu sabar memberikan waktu,

arahan, bimbingan dan juga memberikan semangat kepada penulis selama

membimbing penulis dan mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Husnul Isa Harahap, S.Sos, M.Si selaku Dosen Penguji I dan Bapak

Prof. Subhilhar, MA, Ph.D selaku dosen penguji II, yang telah banyak

memberikan saran dan masukan untuk kebaikan dari skripsi ini.

iii

Universitas Sumatera Utara


4. Seluruh dosen pengajar Program Studi Ilmu Politik, Fakultas ILmu Sosial

dan Ilmu Politik, yang sudah memberikan ilmu dan pengajaran selama

penulis menjalani studi.

5. Seluruh pegawai di Departemen, Fakultas dan juga Kampus, terkhusus buat

Bapak Burhanuddin Harahap dan juga Kak Ema yang sudah membantu

penulis dalam mengurus setiap urusan kemahasiswaan, pendidikan,

administrasi dan lain-lain selama ini.

6. Segenap teman-teman seperjuangan, Mahasiswa Departemen Ilmu Politik,

terkhusus stambuk 2012 yang sudah menjadi teman dalam menjalani masa

studi selama ini, terimakasih atas kebersaman dan setiap hal yang boleh

dilewati bersama selama ini.

7. Teman-teman seperjuangan di masa akhir pengerjaan skipsi Mauliada Ulfa,

Khairina Firdani, Rien Annisa Putri, Logika Ginting, Javier Warganda,

Dian Oktaviana, Muhammad Fahruza, Arya Pranata, Suci Rahmadhani,

yang telah bersama dan saling membantu di setiap kebutuhan pengerjaan

skripsi penulis.

8. Semua adek-adek rohani dari penulis (Darwis Ndruru, Suhermanto Ndruru,

Rojoti Siregar, Lorina Sianturi, Krisman Zendrato, Saka Halawa, Martha

Aritonang dan Siedi Laia), terimakasih penulis sampaikan atas kebersamaan

dan kesediaan dalam mengingatkan dan memberikan dukungan dan doa

kepada penulis.

9. Teman dan abang/kakak rohani dari penulis (Bang Donal Siagian, Kak

Nova Aritonang, Ratna Manurung, Kak Artha Gultom, Bang Erianto

Pasaribu, Novauli Gultom, Rizal Lumban Toruan, Priska Sitohang dan

iv

Universitas Sumatera Utara


Theresia Aruan), penulis bersyukur dan berterima kasih atas setiap

dukungan dan doa-doanya.

10. Segenap keluarga besar PD Maranatha yang menjadi tempat dalam berbagi

dan saling mendukung di setiap suka duka yang boleh penulis alami selama

menjalani studi ini.

11. Sahabat-sahabat penulis yang setia (Hartati Siahaan, Erawaty Sianipar,

Fanni Tambunan dan Purnama Sari Dianda), terimakasih telah menjadi

teman berbagi dan saling memberi semangat dan dukungan sampai saat ini.

Maafkan penulis yang kadang sering menjauh dan hilang komunikasi.

12. Dan ucapan terima kasih yang terbatas kepada semua pihak-pihak lain yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang sudah memberikan

kontribusinya bagi penulis terkhusus dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Teman-teman satu kosan Kak Andriani Ambarita, Elsabet Siregar, Purnama

Situmorang, Lidya Nainggolan, Hartono Simanjuntak yang selalu juga ikut

mengingatkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Teman-teman satu perjuangan di Kepengurusan Koodinasi PD Maranatha

(Kak Winda Situmeang, Bang Caisario Sirait, Bang Hartono Marbun,

Sahma Naibaho, Dora Togatorop, Yosua Hutagalung, Rio Depari Damanik,

Yesika Gultom dan yang lainnya yang juga mengambil bagian

mengingatkan dan memberikan semangat bagi penulis dalam

menyelesaikan studi selama ini.

15. Semua pihak-pihak lain yang tidak tersebutkan oleh penulis, yang penulis

sadari juga turut membantu dan mendoakan penulis selama ini.

Universitas Sumatera Utara


Skripsi ini tidaklah lepas dari kekurangan dan mungkin jauh dari kata

sempurna, untuk itu penulis juga mengharapkan saran dan kritik terhadap kebaikan

skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya untuk kemajuan akademik.

Medan, Agustus 2018

Penulis

Nova Dewi L. Tambunan

vi

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK

NOVA DEWI L. TAMBUNAN


120906036
NEGARA MENURUT PERSPEKTIF SANTO AUGUSTINUS
Rincian Isi Skripsi vi, 82 halaman, 31 buku, 2 skripsi, 3 situs internet.

ABSTRAK
Augustinus adalah tokoh besar pemikir Kristen pertama yang berhasil
menuangkan teori teokratik ke dalam filsafat yang tercatat dalam sejarah filsafat
politik. Sumbangan pikiran yang cukup menakjubkan yang dipersembahkan
Augustinus bagi filsafat politik ialah analisanya tentang dua negara, negara sekuler
dan negara Allah yang dipaparkannya di dalam karya tulisnya yang berjudul De
Civiate Dei (Negara Allah). Lewat karyanya itu, pemikiran-pemikirannya yang
dikembangkannya yang mencakup hampir seluruh ajaran-ajaran kuno
mempengaruhi filsafat Eropa abad pertengahan. Penelitian ini mengulas isi dari
pemikiran Augustinus tentang Negara dan yang melatarbelakanginya.
Augustinus mendapat pengaruh dari Manicheisme, filsafat Platonisme dan
doktrin Kristen yang mempengaruhi pandangan dan ajarannya. Gagasan-gagasan
politik Augustinus berpusat pada konsepnya tentang dua kota, negara Tuhan dan
negara Duniawi, yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Penelitian ini
mencoba menguraikan pemikiran Augustinus tentang negara dan menganalisa
tentang dua negara itu sembari mencoba menjelajahi aspek-aspek lainnya yang
turut memperkaya filsafat politik Augustinus yang memang memiliki cakupan yang
begitu komprehensif dan menyeruak hampir ke segala arah dalam upayanya
menghampiri permasalahan-permasalahan politik yang begitu genting, yang
acapkali meragukan dan tak menentu serta serba sulit.
Sumbangsih pemikiran politik Agustinus merupakan landasan rasional
terhadap pemerintahan Allah atau bentuk pemerintahan teokrasi. Negara yang
paling baik dan oleh sebab itu harus diupayakan perwujudannya adalah negara
Allah dan negara duniawi adalah negara yang buruk. Antara negara Tuhan dan
negara sekuler merupakan sebuah cara hidup pemerintahan yang seharusnya ada,
pemerintah harus melakukan prinsip negara Tuhan dan menghindari kondisi negara
sekuler meskipun pada kenyataannya akan ada suatu kondisi negara sekuler pada
suatu pemerintahan. Pengertian dari kondisi dari negara Tuhan dan negara sekuler
merupakan pandangan subjektif terhadap suatu agama yaitu Agama Kristen.
Namun dapat menjadi acuan yang baik pada keberlangsungan pemerintahan jika
diimplementasikan.

Kata Kunci : Negara, Augustinus

vii

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

NOVA DEWI L. TAMBUNAN


120906036
COUNTRY BY SANTO AUGUSTINUS’S PERSPECTIVE
Details of the contents of the thesis vi, 82 pages, 31 books, 2 theses, 3 internet
sites.

ABSTRACT
Augustinus was the first great Christian thinker to succeed in pouring
theocratic theory into philosophy recorded in the history of political philosophy.
The astonishing contribution of thought offered by Augustine to political
philosophy is his analysis of the two countries, the secular state and the state of God
which he describes in his paper entitled De Civiate Dei (God's State). Through his
work, his developed ideas which covered almost all ancient teachings influenced
medieval European philosophy. This study examines the contents of Augustine's
thinking about the State and its background.
Augustinus was influenced by Manicheism, Platonism philosophy and
Christian doctrine which influenced his views and teachings. Augustine's political
ideas centered on his concept of two cities, the state of God and the earthly state,
which contradict each other. This research attempts to elaborate on Augustine's
thoughts on the state and analyze the two countries while trying to explore other
aspects that have contributed to enriching Augustine's political philosophy which
indeed has such a comprehensive scope and almost everywhere in its efforts to
approach such critical political issues, which is often dubious and erratic and
difficult.
The contribution of Augustine's political thought was a rational basis for
God's rule or theocratic form of government. The country that is the best and
therefore must be pursued is the state of God and the earthly state is a bad country.
Between the state of God and the secular state is a way of life that should exist, the
government must do the principle of the state of God and avoid the condition of a
secular state even though in reality there will be a condition of a secular state in a
government. Understanding of the conditions of the state of God and the secular
state is a subjective view of a religion, namely Christianity. But it can be a good
reference for the sustainability of the government if implemented.

Keywords: Country, Augustine

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

ABSTRAK ......................................................................................................... vii

DAFTAR ISI...................................................................................................... ix

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 6

1.3 Batasan Masalah ........................................................................................... 7

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................................. 7

1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................................. 8

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Negara ............................................................................................ 8

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian ............................................................... 21

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 22

1.7.3 Teknik Analisa Data....................................................................... 22

BAB II : BIOGRAFI SANTO AURELIUS AUGUSTINUS

2.1 Riwayat Hidup St. Augustinus ...................................................................... 24

2.1.1 Karya dan Akhir Hidup St. Augustinus ......................................... 29

ix

Universitas Sumatera Utara


2.2 Latar Belakang Lahirnya Ide/ Pemikiran “Dua Negara” ............................. 31

2.3 De Civitate Dei/ City of God

2.3.1 Karya Tulis Yang Mengagumkan .................................................. 36

2.3.2 Maksud Penulisan De Civitate Dei ................................................ 37

2.3.3 Ikhtisar De Civitate Dei .............................................................. 38

BAB III : ANALISA PERSEKTIF ST. AUGUSTINUS TENTANG NEGARA

3.1 Pengertian dan Hakekat Negara Allah dan Negara Duniawi ........................ 44

3.2 Asal Mula dan Tujuan Negara Allah dan Negara Duniawi .......................... 46

3.3 Masyarakat Negara Allah dan Negara Duniawi ........................................... 49

3.4 Sejarah Perkembangan Negara Allah dan Negara Duniawi

3.4.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Allah ........................... 50

3.4.2 Kehidupan dan Pemerintahan Negara Allah .................................. 51

3.4.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Duniawi ....................... 59

3.4.4 Masalah-Masalah Yang Melanda Negara Duniawi ....................... 60

3.4.5 Akhir Sejarah Negara Allah dan Negara Duniawi ......................... 74

BAB IV : PENUTUP

4.1 Kesimpulan ................................................................................................... 77

4.2 Saran ............................................................................................................. 79

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 81

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ada tiga peradaban yang mempunyai peranan penting terhadap

pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik Barat: Yunani-Romawi,

Judeo-Kristiani dan Islam. Masing-masing peradaban ini memberikan sumbangan

yang khas. Arnold Tonybeed berpendapat bahwa peradaban Barat dewasa ini lahir

dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Dunia Barat berutang

budi kepada Yunani-Romawi hampir dalam semua aspek peradaban, berupa seni,

sains, filsafat, etika, politik, dan ilmu lainnya. Dari segi paham atau pandangan

hidup (way of life) yang berkembang di Barat sejak Renaisans hingga sekarang,

dapat dikatakan sama dan kelanjutan dari pandangan hidup orang-orang Yunani,

seperti pandangan rasionalisme, indivudualisme, liberalism, optimisme, dan

sekularisme. Demikian juga dengan tradisi keagamaan Barat, kini memantulkan

secara transparan tradisi keagamaan Yunani Kuno yang memandang agama

sepenuhnya bersifat duniawi, praktis, mengabdi kepada kepentingan manusia

(bukan Tuhan).1 Sejarah seluruh filsafat Barat merupakan rangkaian dari catatan

kaki dari tiga tokoh pemikir Yunani, yaitu Plato, Socrates dan Aristoteles.2

Kemudian kemunculan sumbangan terbesar peradaban Romawi kepada

pemikiran Barat antara lain di bidang hukum dan lembaga politik. Dari segi hukum,

1
Lihat Burns, Edward Marshal and Philip Ralp, World Civilization from Ancient. Lihat juga Ahmad
Suhelmi dalam Pemikiran Politik Barat.
2
Dr. Firdaus Syam, M.A., Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya
Terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, hal 3-4.

Universitas Sumatera Utara


banyak yang mempraktikkan hukum Romawi. Sementara dari segi pemikiran

politik Romawi, 3 memberikan pemahaman kepada Barat tentang teori imperium.

Sebuah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara dimana kedaulatan dan

kekuasaaan negara dianggap sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada

penguasa Negara. Menurut teori ini, pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik

rakyat, penguasa politik hanyalah lembaga yang melaksanakan, bukan menguasai

serta mendominasi dan menggunakan kedaulatan untuk kebaikan seluruh rakyat.

Menurut teori ini, rakyat memilih hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi

tertinggi kedaulatan Negara.4

Dalam rangka pemikiran inilah, Romawi mengembangkan gagasan kontrak

pemerintahan (government contract), kemudian menjadi model teoritis bagi para

pemikir politik Barat seperti John Locke, Rousseau, Hobbes dan lainnya. Domain

utamanya sangat berpengaruh di dalam paham Kristiani dalam membangun

peradaban pemikiran, kekuasaan, dan sistem politik Barat sepanjang 600 tahun

lebih. Ini berupa “Kerajaan Tuhan” yang berkuasa atas bangsa Eropa, sebuah

konsep politik “Theocracy”; telah menjelma dalam bentuk kekuasaan “Pendeta dan

Gereja” demikian mutlak tampilnya tokoh Saul (Paulus), St. Augustinus dan

Thomas Aquinas, telah menjelaskan bagaimana paham gereja yang telah

mengadopsi kebudayaan Romawi, telah memainkan perannya hingga keruntuhan.5

St. Augustinus, seorang pendosa yang menjadi filsuf Kenegaraan dan

Inspirator Katolik dan Protestan. Setelah pertobatannya, St. Agustinus yang

3
Sharma, Western Political Thoought, (Plato to Hugo Grotius), New Delhi: Sterling Private Limited,
1982, hal 97.
4
Ibid.
5
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


kemudian menjadi “pelayan” dan diangkat menjadi bishop di Hippo. Ia sangat aktif

dalam perkabaran Alkitab dan menulis tentang berbagai persoalan teologis, social,

politik etika Kristiani dan bahkan menulis biografinya. Dari kegiatan itulah

kemudian lahir karya-karyanya antara lain City of God dan The Convessions.6 St.

Augustinus adalah tohoh besar pemikir Kristen yang pertama yang berhasil

menuangkan teori teokratik ke dalam pemkiran filsafati yang tercatat dalam sejarah

filsafat politik. Sumbangan pikiran yang cukup menankjubkan yang

dipersembahkan Augustinus ialah analisanya tentang dua negara, yaitu Negara

Duniawi dan Negara Allah.

Bagi St. Augustinus, kejatuhan Roma memberikan inspirasi yang kaya

untuk penulisan karyanya terutama De Civitate Dei. Ini berisi asal muasal

masyarakat politik, hubungan pemerintahan Sipil dengan Hukum Tuhan, hukum

alam dan keadilan; persyaratan kualitas seorang penguasa negara dan kaum oposisi,

penguasa tiran serta sikap orang-orang Kristiani terhadap perbudakan dan


7
kemiskinan. Peristiwa historis yang disaksikan oleh St. Augustinus

mempengaruhinya dalam menuliskan pemikirannya; pertama, kejatuhan Roma ke

tangan Barbar Visigoth dan Alarik tahun 410 M; kedua, diterimanya agama

Kristiani, melalui dekrit politik Kaisar Theodosius menjadi agama resmi imperium

Romawi, 393 M. Karya The City of God, yang mengandung pandangan St.

Augustinus berhubungan dengan masalah negara dan kekuasaan, ini merupakan

hasil interaksi-interaksi dirinya dalam melihat serta menyikapi realitas sosio-politik

yang mengitarinya. Karya yang diselesaikan dalam kurun waktu tiga belas tahun,

6
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politi Barat, Jakarta: Gramedia, 2001, hal 73.
7
Sharma, Op. Cit, hal 167.

Universitas Sumatera Utara


terdiri atas dua puluh dua buku yang meliputi sepuluh buku berisikan sanggahan

dan jawaban terhadap pertanyaan sekitar kehancuran Roma, dan sisanya dua belas

buku mengenai manusia dan masyarakat.8 St. Augustinus menganalogikan negara,

imperium dan masyarakat ibarat manusia, dapat lahir, berkembang, matang, 9 dan

setelah melalui fase kematangan yang cukup panjang mengalami kehancuran.

Itulah sebabnya menurut Augustinus adalah suatu hal yang tidak terelakkan bahwa

suatu saat kelak peradaban Romawi akan mengalami kemerosotan, yang pada

akhirnya mengalami kehancuran.

Pemikiran St. Augustinus merupakan pemikiran pertama yang dengan jelas

mengajukan tuntutan legitimasi etis terhadap negara. Ia menganalogikan Negara

ibarat tubuh (body) dan jiwa (soul). Tubuh tidaklah kekal, fana, semasa akan hancur

secara alamiah. Bagian ini yang mendorong hawa nafsu untuk memiliki keinginan

segala yang berhubungan dengan haa nafsu biologis. Akan tetapi, ini juga yang

menjadi sumber persoalan yang dapat meneyebabkan manusia lupa atau jauh dari

Tuhan, dan bergelimang dosa. Doktrin ini yang kebenarannya selama berabd-abad

diberlakukan di Barat. Sebaliknya, jiwa itu bersifat kekal abadi dan tidak akan

pernah mati atau hancur, ia tetap hidup. Berdasarkan dengan hal itu, Augustinus

membuat kategori dua bentuk negara, yaitu Negara Tuhan (City of God atau

Heavenly City) atau bahasa Yunaninya Civitate Dei dan Negara Iblis atau Negara

Duniawi (City of Man atau Eartly City) bahasa Yunaninya Civitate Terrena atau

Civitate Diaboli).10

8
Ahmad Suhelmi, Op. Cit, hal 74.
9
Robert Nisbet, The Social Philosopher Community and Conflict in Western Thought, New York:
Washington Square Press, 1983, hal 91.
10
Ahmad Suhelmi, Op. Cit, hal 83-84.

Universitas Sumatera Utara


Negara Tuhan berdasarkan cinta kasih Tuhan yang bersifat immortal,

merupakan faktor perekat yang mengintegrasikan Negara menjadi suatu ekesatuan

politik. (political entity), yakni kepatuhan warga Negara terhadap hukum-hukum

Negara dilaksanakan atas kesadaran kolektif, semua dilakukan demi mencapai

kebaikan bersama, dan kebaikan bersama ini menjadi pehatian utama dalam Negara

Tuhan. Negara Tuhan bersifat universal, tidak dibatasi sekat-sekat territorial

bangsa, suku, bahasa maupun waktu. Ia dapat berlangsung sepanjang waktu. Oleh

sebab itu, Augustinus percaya bahwa masyarakat atau Negara yang ideal

seharusnya dibangun oleh umat Kristiani adalah semacam “Negara”


11
Persemakmuran Kristiani. Unsur penting dalam Negara Tuhan adalah

perdamaian-hubungan positif dalam keharmonisan serta kerukunan atau

perdamaian dilihat sebagai the most orderly and concordant partnership in the

function of God and of another in God.12

Adapun Negara Duniawi didasarkan pada cinta diri (self love), merupakan

suatu komunitas yang dibangun diatas jaringan kepentingan social, ekonomi dan

politik manusia yang juga-sebagai negara Tuhan-menciptakan kebajikan. Tetapi

kebajikan itu amat rapuh karena semata-mata disasarkan pada cinta diri yang juga

bersifat rapuh, temporal dan profane.13 Cinta diri mendorong lahirnya ambisi untuk

meraih segala nilai-nilai kebesaran hidup yang bersifat hedonistic dan materialistic,

dan mendorong motivasi untuk berkuasa dan mendominasi orang lain. Kekerasan

dan paksaan merupakan esensi utama Negara Duniawi yang digunakan para

penguasa untuk menciptakan kepatuhan terhadap hukum negara, mengontrol

11
Ahmad Suhelmi, Op. Cit, hal 80-81.
12
Sharma, Op, Cit, hal 120.
13
Nisbet, Op. Cit, hal 95.

Universitas Sumatera Utara


perilaku masyarakat dan demi pemuasan ambisi politik penguasa. Tujuan Negara

Duniawi adalah untuk mengakumulasi kekuasaan.

Perpektif-perspektif seperti diatas ini membuat penulis tertarik untuk

membahas dan mengkaji lebih jauh tentang bagaimana gambaran negara yang

menurut St. Augustinus. Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk mengangkat

persoalan ini menjadi judul skripsi, yaitu mengenai : “Negara Menurut Perspektif

St. Augustinus.”

1.2 Rumusan Masalah

Dalam menganalisis pemikiran-pemikiran Augustinus, diperlukan telaah

mendalam yang didapat dari pendapat dan pernyataan yang dikemukakannya dalam

karya tulisnya maupun tulisan-tulisan lain seperti para tokoh yang membahas

tulisannya atau juga yang memberikan kritikan terhadap tulisan dan pemikirannya.

Tulisan-tulisan itulah yang dianalisis dan digabungkan sehingga membentuk suatu

paparan dan gambaran yang jelas. Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana deskripsi St. Augustinus tentang Negara?

2. Bagaimanakah perspektif St. Augustinus tentang Negara Tuhan dan

Negara Duniawi?

3. Analisa Perspektif Augustinus tentang Negara.

1.3 Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian ini, penulis perlu membuat pembatasan

masalah terhadap masalah yang akan dibahas, supaya hasil penelitian yang

Universitas Sumatera Utara


diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu menjadi suatu

karya tulis yang sistematis dan tidak melebar. Maka batasan masalah dalam

penelitian ini adalah : Negara menurut perspektif St. Augustinus, seperti yang

ditulisnya dalam karyanya yaitu “City of God”, tentang konsep Negara Tuhan dan

Negara Duniawi. Penelitian ini juga berisi tentang keingintahuan apa yang

melandasi atau membangun konsep tersebut.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk lebih memahami deskripsi dan perspektif Augustinus tentang

Negara.

2. Untuk menganalisis perspektif Augustinus tentang Negara Tuhan dan

Negara Allah.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan pada

umumnya dan ilmu politik pada khususnya dalam kajian tentang negara.

2. Untuk menambah referensi hasil penelitian yang juga dijadikan sebagai

rujukan untuk penelitian bagi mahasiswa politik selanjutnya, serta

diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan memperluas

cakrawala pengetahuan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Universitas Sumatera Utara


1. Menjadi sumbangan pemikiran untuk kelembagaan akademisi dalam

meningkatkan pemahaman tentang negara.

2. Untuk memberikan masukan – masukan kepada pihak – pihak atau

lembaga – lembaga yang membutuhkannya, terutama bagi lembaga

akademisi.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Negara

Apa yang sekarang disebut Negara dahulu biasa disebut kerajaan, atau ada

kalanya juga disebut imperium. Misalnya imperium Romanun, yang berarti daerah

kekuasaan atau Negara Romawi. 14 Negara, dalam istilahnya ataupun dalam

pengertiannya, bukanlah begitu saja terjadi dan tetap tinggal sama selama-lamanya.

Itu terjadi dengan melalui evolusi pertumbuhan yang berabad-abad lamanya. Pada

beberapa abad sebelum masehi, Socrates, Plato dan Aristoteles telah mengajarkan

beberapa teori tentang negara, tetapi bisa dimengerti bahwa pengertian Negara pada

waktu itu barulah meliputi lingkungan kota, atau Negara kota yang disebut polis.

Menurut Aristoteles, pengertian Negara itu adalah keluarga rumah tangga, adalah

dasar pembinaan Negara, dari beberapa keluarga berdirilah suatu kampung. Dari

beberapa kampung berdiri suatu kota, dari beberapa kota berdiri satu provinsi, dan

dari beberapa provinsi berdiri satu Negara.15

Istilah Negara berasal dari terjemahan bahasa asing yaitu kata (a) Staat

bahasa Belanda dan Jerman yang artinya negara; (b) State bahasa Inggris yang

14
Victor Situmorang, S.H, Intisari Ilmu Negara, Jakarta: Bina aksara, 1987, hal 14.
15
Ibid, hal 15.

Universitas Sumatera Utara


artinya negara; (c), E’tat bahasa Perancis artinya negara. Kata-kata staat (state,

e’tat) yang diambil dari bahasa Latin status atau statum, yang berarti menaruh

dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, menempatkan dalam keadaan yang tegak

dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.16 Kata statum

lazim diartikan sebagai standing atau station (kedudukan). Istilah ini dihubungkan

dengan kedudukan persekutuan hidup manusia, yang juga sama dengan istilah

status civitatis atau status republicae. Kata status yang berasal dari bahasa Latin

itu dialihbahasakan kedalam istilah “estate” dalam arti “real estate” atau “personal

estate” dan juga “estate” dalam arti Dewan atau Perwakilan golongan social.Dari

pengertian yang terakhir inilah, kata status pada abad ke -16 dikaitkan dengan kata

Negara.17

Kata “ lo stato” bahasa Italia juga merupakan kata Latin “status” yang

digunakan pada abad ke XVI, Niccolo Machiavelli (bangsa Italia) dalam memulai

kalimat-kalimat pertamanya dengan:

“Semua Negara (stati) dan bentuk-bentuk pemerintah yang pernah ada dan
yang sekarang menguasai manusia adalah Repblik atau Kerajaan.”18

Maka Machiavelli lah yang pertama kali memperkenalkan istilah “lo stato”

itu dalam kepustakaan politik. Maka demikianlah dia dianggap sebagai Bapak Ilmu

Politik Modern setelah Aristoteles. Sejak kata Negara diterima sebagia pengertian

yang menunjukkan organisasi bangsa yang bersifat territorial dan mempunyai

kekuasaan tertinggi, yang perlu ada untuk mneyelenggarakan kepentingan bersama

dan mencapai tujuan bersama; sejak itu pula kata Negara ditafsirkan dalam berbagai

16
M. Iwan Satriawan & Siti Khoiriah, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hal 1.
17
Samidjo, S.H, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico, 2002,Hal 31-32.
18
Ibid, Hal 32.

Universitas Sumatera Utara


arti. Pertama, kata Negara dipakai dalam arti penguasa, jadi untuk mengatakan

orang atau orang-orang yang melakuka kekuasaan yang tertinggi atau persekutuan

rakyat yang bertempat tinggal dalam suatu daerah. Kedua, perkataan Negara

dipakai dalam arti persekutuan rakyat, jadi untuk menyatakan sesuatu bangsa yang

hidup dalam suatu daerah, dibawah kekuasaan tertinggi, menurut kaidah-kaidah

hukum yang sama.19

Satu pertanyaan yang sering mengusik para pemikir politik dan kenegaraan

adalah apa sebenarnya negara itu? Secara defenisi, Negara adalah suatu organisasi

dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh
20
rakyatnya. Setiap Negara merupakan kumpulan masyarakat dan setiap

masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan. Karena manusia senantiasa

bertindak untuk mencapai suatu yang mereka anggap baik. Namun jika seluruh

masyarakat bertuuan pada kebaikan, Negara atau masyarakat politik memiliki

kedudukan tertinggi daripada yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang

lainnya, serta bertujuan pada kebaika yang tertinggi.21

Mr Soenarko dalam bukunya “ Susunan Negara Kita, Jilid I” menyebut:

“Negara itu adalah organisasi masyarakat yang mempunyai daerah atau teritorir

tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai souverein”. 22

Negara dalam pengertian sosiologis, merupakan sebuah lembaga yang tidak netral,

berpihak, mengklaim dirinya berdiri diatas semua golongan masyarakat dan

mengabdi pada kepentingan umum. Sedangkan disisi lain, ideologi Negara netral

19
Ibid.
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal 17.
21
Aristoteles, Politik (La Politica), Jakarta: Visi Media, 2007, hal 3.
22
Mr. Soenarko, Susunan Negara Kita I, Jakarta: Djambatan, 1951, hal 10.

10

Universitas Sumatera Utara


dan berdiri diatas semua golongan masyarakat, merupakan suatu ideologi23 yang

ampuh bagi keabsahan berkuasanya sebuah negara. Negara bukan saja berhak

mengeluarkan undang-undang yang bersifat mengikat bagi warga negaranya, tapi

juga berhak menggunakan kekerasan kalau para warga tidak mau mematuhi

peraturan yang dibuat oleh Negara.24

Teori dan pengertian dari Negara ini sebenarnya sudah menjadi sebuah

harapan besar bagi sebuah masyarakat, bahwa sebuah Negara harus bisa menjadi

wadah yang dimana terdapat sebuah kehidupan yang nyaman bagi rakyatnya.

Dalam Negara tentu ada yang namanya pemimpin Negara dan beberapa perwakilan

rakyat yang diamanahi oleh rakyat secara keseluruhan untuk menjalankan tugas-

tugas sebuah Negara. Namun untuk menyaring siapa yang layak menjadi pemimpin

Negara, dan siapa yang berhak mewakili rakyat dia Negara, harus ada yang

namanya kompetisi. Kompetisi inilah yang kita sebut sebagai politik.

Defenisi tentang Negara berjumlah hampir sebanyak para pemikirnya,

sesuai pengertian dan pemahaman masing-masing yang tentu saja tidak terlepas

dari situasi dan kondisi serta kenyataan yang hidup disekitarnya yang berada dalam

konteks sejarah dan budayanya masing-masing. Berikut beberapa defenisi-defenisi

para ahli :

23
Secara etimologis, ideologi berasal dari 2 suku kata, yaitu “ideos” yang berarti ide atau konsep
dan “logos” yang berarti ilmu, sehingga ideology diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide
manusia atau ilmu tentang ide. Tentang ideology dapat dilihat dalam Karl Manheim, Ideology dan
Utopia: Menyingkap kaitan Pikiran dan Politik, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hal 59-60, lihat juga Arif
Rohman, Politik, Ideology, Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009, Baksara T.
Wardaya. Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Jakarta: Galang Press, 2007, hal 67.
24
Anom Surya Putra, Agamaku Terbang Tinggi, Surabaya: Inspirasi, 2001, hal 22.

11

Universitas Sumatera Utara


1. Plato (427-348 SM) mengatakan bahwa Negara adalah suatu tubu yang

senantiasa maju, berevolusi, terdiri dari orang-orang (individu-individu).25

2. Logemann mengatakan bahwa: “Negara adalah suatu organisasi

kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta

menyelenggarakan sesuatu masyarakat. Organisasi itu suatu pertambatan

jabatan-jabatan atau lapangan-lapangan kerja.

3. Grotius diseebut juga Hugo De Groot (1583-1654) mengatakan, bahwa

Negara adalah ibarat suatu perkakas yang dibuat manusia untuk melahirkan

keberuntungan tangan dan kesejahteraan umum.26

4. Thomas Hobbes (1588-1679) mengatakan bahwanNegara adalah suatu

tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing

berjanji akan memakainya menjadi alat untuk keamanan dan perlindungan

bagi mereka.27

5. John Locke mengemukakan adanya “pactum unionis” dan

“pactumsubjections” yaitu bahwa sebagian besar (mayoritas) anggota suatu

masyarakat membentuk persatuan (union) terlebih dahulu, baru kemudian

anggota masyarakat menjadi kawula (subject) negara. Negara tidak

berkuasa secara absolut seperti pendapat Hobbes, tetapi ada bagian yang

berada pada masing-masing orang yaitu hak asasi.

6. Karl Marx (1818-1883), mengatakan bahwa Negara adalah suatu alat

kekuasaan bagi manusia (penguasa) untuk menindas kelas manusia yang

lainnya.28

25
Samidjo, Loc, Cit hal 28.
26
Ibid, Hal 28-29.
27
Ibid, Hal 29.
28
Ibid, Hal 29.

12

Universitas Sumatera Utara


7. Jean Jacques Rosseau (1712-1778), mengatakan bahwa Negara adalah

perserikatan dari rakyat bersama-sama yang melindungi dan

mempertahankan hak masing-masing diri dan harta benda anggota-anggota

yang tetap hidup dengan bebas merdeka.29

8. Bullefroid, mengatakan bahwa negara itu suatu persekutuan hukum yang

menempati sesuatu wilayah untuk selama-lamanya dan yang dilengkapi

dengan suatu kekuasaan tertingggi untuk menyelenggarakan kemakmuran

rakyat yang sebesar-besarnya.30

9. Roger H. Soltau

“Negara adalah alat/agen/kewenangan (agency atau wewenang

(authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan

bersama, atas masyarakat (The state is an agency or authority managing or

controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the

community).31

10. Ibnu Chaldun, mengemukakan pandangan lebih dalam bahwa Negara

adalah sutu tubuh yang persis keadaannya sebagai tubuh manusia,

mempunyai sfat tabiat sendiri, mempunyai baddan jasmani dan rohani dan

mempunyai batas umur sebagai halnya keadaan manusia. Ada masanya

lahir dan tumbuh (groei), ada pula masanya muda dan dewasa (bloei), dan

ada lagi masanya tua bangka dan mati (vergaan).32

11. Harold J. Laski

29
Ibid.
30
Ibid.
31
Miriam Budiardjo, Op. Cit, hal 49.
32
Samidjo, S.H, Loc.Cit, Hal 29.

13

Universitas Sumatera Utara


Bicara tentang sifat negara: Harold J. Laski menyebut: “Negara-negara

adalah suatu persekutuan manusia yang megikuti jika perlu dengan tindakan

paksaan-satu cara hidup yan tertentu. Dalam alinea lain, Laski berkata: “

Negara sebagai sistem peraturan-peraturan hukum, adalah suatu

parallelogram sementara dari kekuatan-kekuatan yang berubah-ubah

bentuknya menurut sementara negara itu”.33

12. Max Weber

“Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam

penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah (The state is a

human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use

of physical force within a given territory).34

13. Robert M. Maciver

“Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam

suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum

yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut

diberi kekuasaan memaksa (The sate is an association which, acting through

law as promulgated by a government endowed to this end with coercive

power, maintains within a community territorially demarcated the external

conditions of order).35

Tidak dapat disangkal lagi bahwa negara itu merupakan alat untuk mencapai

suatu tujuan. Alat itu berupa organisasi yang berwibawa. Organisasi disini diartikan

33
Harold J.Laski, Pengantar Ilmu Politik, terjemahan Toto Sudarto Bachtiar, Djakarta, PT
Pembangunan, 1966, Hal 21.
34
Ibid.
35
Miriam Budiardjo, Op. Cit, hal 40.

14

Universitas Sumatera Utara


sebagai bentuk bersama yang bersifat tetap. 36 Negara adalah suatu bentuk

pergaulan hidup manusia, satu “community”. Negara itu mempunyai syarat-syarat

tertentu, yaitu mempunyai daerah tertentu, rakyat tertentu dan mempunyai

pemerintahan. Negara bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi diadakan oleh

manusia menurut kemauan sendiri. Negara sebagai gejala social dimana terdapat

sejumlah besar manusia hidup bersama-sama di dalam satu sistem hukum,

dikendalikan oleh suatu kekuasaan.

Pemahaman tentang Negara dapat dipahami secara sederhana bahwa

Negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh

sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada

peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolist dari

kekuasaan yang sah. 37 Suatu wilayah atau kekuasaan dapat dikatakan sebagai

sebuah negara apabila memenuhi unsur-unsur negara.

Adapun unsur-unsur yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat politik agar

dapat dianggap sebagai negara, menurut Oppenheim Lauterpacht adalah sebagai

berikut :38

1. Wilayah

Terbentuknya sebuah negara salah satu indikatornya negara harus memiliki

wilayah yang berdaulat. Wilayah ini harus dikuasai oleh pemerintahan yang

efektif bukan di bawah pengaruh negara lain. 39 Setiap negara menduduki

tempat tertentu di muka bumi dan mempunyai perbatasan tertentu. Kekuasaan

36
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hal 57.
37
http://google.com/pengertian negara, diakses pada tanggal 19 Juli 2018.
38
M.Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung: Alumni, 1981, hal 10.
39
M. Iwan Satriawan & Siti Khoiriah, Op. Cit, hal 17.

15

Universitas Sumatera Utara


negara mencakup seluruh wilayah, tidak hanya tanah, tetapi juga laut

disekelilingnya dan angkasa diatasnya.40

Mempelajari wilayah suatu negara perlu diperhatikan beberapa variable,

antara lain besar kecilnya suatu negara. Dalam putusan Pengadilan

Internasional, lahir satu prinsip atau asas “suatu negara dapat diakui sebagai

negara asalkan ia mempunyai wilayah betapa pun besar-kecilnya sepanjang

wilayah tersebut konsisten”. 41 Dalam perkembangannya, karena pengaruh

kepentingan ekonomi maka luas wilayah negara yang dihitung dari pantai

terluar pada mulanya sejauh 3 mil (kira-kira 5,5 km) dianggap sebagai perairan

territorial yang dikuasai sepenuhnya oleh negara sudah berubah menjadi 12 mil,

hanya ini kemudian disebut dengan ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif).42

2. Penduduk/ Rakyat

Setiap negara harus mempunyai penduduk, dan kekuasaan negara

menjangkau semua penduduk di dalam wilayahnya. Oppenheim-Lauterpacht

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah kumpulan manusia

dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama, meskipun mereka berasal dari

keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan atau memiliki

warna kulit yang berlainan. 43 Dalam mempelajari soal penduduk ini, perlu

diperhatikan faktor-faktor seperti kepadatan penduduk, tingkat pembangunan,

tingkat kecerdasan, homogenitas dan masalah nasionalisme.

Penduduk dalam suatu negara dapat dibagi dua yaitu: warga negara dan

warga asing. Keduanya berbeda hubungannya dengan negara. Setiap warga

40
Miriam Budiardjo, Op. Cit, hal 51.
41
M. Iwan Satriawan & Siti Khoiriah, Op. Cit, hal 19.
42
Ibid.
43
M.Solly Lubis, Op.Cit, hal 10.

16

Universitas Sumatera Utara


negara mempunyai hubungan yang tidak terputus, walaupun warga negara

tersebut berdomisili di engara lain.

Menurut hukum internasional, tiap-tiap negara menetapkan sendiri siapa

yang akan menjadi warga negaranya. Untuk itu ada asas yang bisa dipakai

dalam penentuan kewarganegaraan yaitu asas Ius Soli dan Asas Ius Sanguinis.

Asas Ius Soli adalah kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat

kelahirannya. Selain tempat kelahiran, Asas Ius Soli adalah siapapun yang

bertempat tinggal dalam waktu tertentu disuatu tempat maka yang bersangkutan

dinyatakan sebagai warga negara di tempat tersebut. 44 Sedangkan Asas Ius

Sanguinis adalah menetukan kewarganegaraan berdasarkan darah yaitu;

siapapun yang merupakan anak kandung dilahirkan oleh seorang warga tertentu

maka anak tersebut juga dianggap warga negara yang bersangkutan.45

3. Pemerintah

Setiap negara mempunyai organisasi yang berwenang untuk merumuskan

dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk

didalam wilayahnya.46 Keputusan ini antara lain berbentuk undang-undnag dan

peraturan-peraturan. Pemerintah bertindak atas nama negara dan

menyelenggarakan kekuasaan dari negara. 47 Pemerintah ialah seorang atau

beberapa orang dan memerintah menurut hukum negerinya atau sekelompok

orang yang menjalankan aturan dengan maksud menjadi ketertiban dan

keamanan disatu pihak, sedangkan di pihak lain dituntut pelayanannya

44
Inu Kencana, Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010, hal 14.
45
Ibid.
46
Miriam Budiardjo, Op. Cit, hal 54.
47
Ibid.

17

Universitas Sumatera Utara


48
terhadap berbagai persoalan masyarakat. Suatu masyarakat anarchitis

bukanlah negara.49

Utrecht mengatakan, bahwa istilah pemrintah meliputi tiga pengertian yang

tidak sama:

a. Pemerintah sebagai gabungan dari semua beban kenegaraan yang

berkuasa memerintah, dalam arti kata yang luas, yakni semua badan-

badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan

umum (legislatif/ pembuat peraturan, eksekutif/ yang menjalankan

peraturan, dan yudikatif/ yang mengawasi peraturan).

b. Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan tertinggi yang

berkuasa memerintah di wilayah sesuatu negara, misalnya: Raja,

Presiden, badan Soviet Tertinggi, Yang Dipertuan Agung di Malaysia.

c. Pemerintah dalam arti kepala negara (presiden) bersama –sama dengan

menteri-menterinya, yang berarti organ ekesekutif, yang biasa disebut

Dewan Menteri atau Kabinet di Inggris disebut: Privy Council)50

4. Kedaulatan

Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi yaitu kekuasaan yang tidak

berada dibawah kekuasaan lain/ merdeka dari pada pengaruh kekuasaan lainnya

dimuka bumi untuk membuat undang-undang dan melaksanakan dengan semua

cara yang tersedia. Fenwick; Negara mempunyai kekuasaan tertinggi untuk

memaksa seluruh penduduknya agar menaati undang-undang serta peraturan-

48
Inu Kencana, Op. Cit, hal 13.
49
M.Solly Lubis, Op. Cit, hal 13.
50
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan VI, Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1959, hal
377

18

Universitas Sumatera Utara


peraturan. Kedaulatan merupakan suatu konsep yuridis, dan konsep kedaulatan

ini tidak selalu sama dengan kompetisi dan letak dari kekuasaan politik.51

Unrecht menyebut ada empat teori kedaulatan:

a. Teori Kedaulatan Tuhan

Tuhan memilih pemerintah suatu negara. Contohnya: Raja Belanda yang

menyebut dirinya Raja “bij de gratie Gods (atas kehendak Tuhan).

b. Teori Kedaulatan Rakyat

Segala kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat

bersama.

c. Teori Kedaulatan Negara

Dalam wilayah negara, maka negara itulah yang berdaulat. Kekuasaan yang

melekat pada suatu pemerintahan adalah karena pemerintah merupakan alat

negara itu.

d. Teori Kedaulatan Hukum

Segala kekuasaan dalam negara didasarkan pada hukum.

Negara mempunyai sifat-sifat, antara lain adalah:52

a. Sifat Memaksa,

b. Sifat Monopoli,

c. Sifat mencakup semua

Menurut Roger H. Saltau, tujuan Negara ialah memungkinan rakyatnya

berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the freest

possible development and creative self-expression of its members). Dan menurut

51
Miriam Budiardjo, Loc. Cit, hal 54.
52
Miriam Budiardjo, Op. Cit, hal 40-41.

19

Universitas Sumatera Utara


Harold J. Laski, tujuan Negara ialah menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat

mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal (creation of those

conditions under which the members of the state may attain the maximum

satisfaction of their desire).

Terlepas dari ideologinya, Negara menyelenggarakan beberapa minimum

fungsi yang mutlak perlu, yaitu :

1. Melaksanakan penertiban (law and order)

2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

3. Pertahanan

4. Menegakkan keadilan.

1.7 Metode Penelitian

Suatu penelitian memerlukan metode untuk mendapatkan data yang akurat,

sehingga dapat diuji kebenarannya. Ini juga bertujuan untuk mempermudah

mendapatkan data yang berkenaan dengan masalah yang sedang dibahas, sehingga

penelitian berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Metode dalam suatu penelitian

merupakan hal yang sangat esensial, sebab dengan adanya metode, akan dapat

memperlancar penelitian. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode :

1.7.1 Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan

(Library Research). Penelitian kepustakaan adalah “suatu penelitian yang

20

Universitas Sumatera Utara


dilakukan dengan cara mengumpulkan buku-buku literatur dan

mempelajarinya”.53

b. Sifat Penelitian

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif

analisis yaitu prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan suatu objek atau subjek penelitian, pada saat sekarang

berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya.54

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode studi tokoh,

pengkajian studi tokoh, yaitu pengkajian secara sistematis terhadap

pemikiran/ gagasan seorang pemikir, keseluruhannya atau sebagiannya.

Pengkajian meliputi latar belakang internal, eksternal, perkembangan

pemikiran, hal-hal yang diperhatikan dan kurang diperhatikan, kekuatan dan

kelemahan pemikiran tokoh, serta kontribusinya bagi zamannya dan masa

sesudahnya..

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian adalah

mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam penelitian skripsi

ini, penulis hanya menggunakan data sekunder, sebab data sekunder dianggap

sudah mewakili dari segala pemikiran tentang studi tokoh tersebut. Data sekunder

itu didapat dari pengumpulan data Library Research Method (Metode Penelitian

Pustaka), yaitu sumber yang diambil langsung berasal dari data buku, majalah, surat

kabar, kamus, bahkan didapat dari akses internet dan literature lain yang

53
Muhammad Munawar Ahmadi, Prinsip-Prinsip Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Sumbangsih,
1975, hal 2.
54
Suprapto, Metode Riset dan Aplikasinya dalam Pemasaran. Jakarta: Bhineka Cipta, 1981, hal
11.

21

Universitas Sumatera Utara


berhubungan dengan judul skripsi ini. Dengan demikian diperoleh data sekunder

sebagai kerangka kerja teoritis.

1.7.3 Teknik Analisi Data

Langkah yang digunakan dalam menganalisis data skripsi ini adalah

memeriksa data-data yang telah dikumpulkan secara konsepsional atas makna yang

terkandung secara intensif.

Dalam penelitian pemikiran tokoh, metode yang dipakai dalam meneliti

adalah kualitatif. Menurut Arief Furcan dan Agus Maimun dalam bukunya “Studi

Tokoh : Metode Penelitian Mengenai Tokoh”, melalui metode kualitatif, penulis

dapat mengenal tokoh secara pribadi dan melihat dia, mengembangkan defenisinya

sendiri tentang dunia dengan berbagai pemikiran, karya dan perilaku yang

dijalaninya. Disamping itu, metode kualitatif dapat dipergunakan untuk

menyelidiki lebih mendalam mengenai konsep atau ide-ide. Konsep dan ide yang

pernah ditulis dalam karya-karya tokoh akan dapat dikaji dengan melihat kualitas

dari tulisan-tulisannya yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan

pemikiran selanjutnya. Pengaruh tersebut tidak hanya dalam perkembangan teori,

tetapi juga dalam hal praktek sehingga akan dapat dikatakan apakah pemikiran

tokoh tersebut dapat dikatakan ilmiah dan memenuhi kriteria ilmu pengetahuan.

Dari pengaruh terhadap perkembangan pemikiranlah akan terlihat kekuatan dari

pemikiran tokoh tersebut.

Penelitian studi tokoh dengan metode kualitatif menelusuri pemikiran

melalui karya-karya, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya karya tersebut dan

pengaruh dari karya yang dihasilkan. Data kualitatif terdiri dari kutipan-kutipan

orang dan deskripsi keadaan, kejadian, imteraksi dan kegiatan. Dengan

22

Universitas Sumatera Utara


menggunakan jenis data kualitatif, memungkinkan peneliti mendekati komponen-

komponen keterangan yang analitis, konseptual dan kategoris dari data itu sendiri.

23

Universitas Sumatera Utara


BAB II

BIOGRAFI SANTO AURELIUS AUGUSTINUS

2.1. Riwayat Hidup St. Augustinus

“Pendosa yang menjadi filsuf kenegaraan dan inspirator katolik serta

protestan” begitulah filsuf politisi barat ini disebut.55 Saint/Santo Agustinus lahir

pada 13 November 354 M di Tagaste (sekarang: Souk-Ahras), Numidia (sekarang

Aljazair) di Afrika Utara yang pada saat itu menjadi wilayah kekaisaran romawi.

Ibunya bernama Monika dan bergelar Santa yang beragama Katolik Roma, dan

terkenal sebagai seorang Kristen yang saleh dan taat. Oleh ibunya inilah,

Augustinus dibesarkan dan dididik secara Kristen, kendatipun karena adat-istiadat

yang berlaku pada masa itu ia tidak dibaptiskan ketika masih bayi. Ayahnya

bernama Patricius, seorang kaum Paganisme, seorang tuan tanah kecil dan anggota

dewan kota yang menyembah Dewa-dewa Romawi.Tak banyak yang dapat

diketahui mengenai ayahnya.56

Augustinus sering berpindah-pindah dalam menempuh pendidikannya,

mulai dari pendidikan dasar di Tagaste, dimana dia secara khusus mempelajari

bahasa Latin dan Ilmu Hitung, dan dalam bebarapa waktu juga mulai mempelajari

bahasa Yunani. Ketika ia berusia sekitar sebelas atau dua belas tahun, ia dikirim

oleh ayahnya ke sebuah kota kecil yang bernama Madaura, yang hanya sekitar

duapuluhan mil jarkanya dari Tagaste. Disana ia menyelesaikan pendidikan

55
Dr. Firdaus Syam, M.A, Op.Cit., 40.
56
J.H. Rapar, “Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli”. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002, hal 279.

24

Universitas Sumatera Utara


dasarnya dan berhasil meraih pengetahuan yang cukup mengagumkan dalam tata

bahasa dan sastra latin. Keberhasilan Augustinus ini membangkitkan semangat dan

harapan ayahnya untuk melanjutkan pendidikan Augustinus seperti yang ayahnya

dambakan ingin Augustinus menjadi seorang ahli hukum. Berkat kemurahan hati

seorang warga Tagaste, pada 370 M, Augustinus berangkat ke Chartago untuk

melanjutkan studinya disana. Namun di Chartago, Augustinus tidak mempelajari

ilmu hukum sebagaimana yang diimpikan ayahnya. Augustinus lebih tertarik

mempelajari ilmu pidato oleh karena pada amsa itu kefasihan lidah akan

mempermudah seseorang untuk meraih jabatan yang tinggi. Pada saat yang sama,

ayah Augustinus meninggal sesudah ia dibaptiskan menjadi orang Kristen.57

Iklim kehidupan di kota besar ternyata sanggup merobohkan tembok

pertahanan moralitas Kristen yang dimiliki oleh Agustinus dan yang telah dibangun

sejak kecil oleh ibunya. Tidak lama setelah Augustinus tiba di Chartago, ia

memiliki seorang anak yang bernama Adeodatus hasil hubungan perzinahannya

dengan seorang wanita. Ia hidup bersama dengan wanita itu selama lebih dari empat

belas tahun, dan mengenai anaknya Adeodatus, Augustinus mengatakan bahwa ia

adalah buah dari dosanya.58

Di sekolah tempat ia belajar, Agustinus memiliki nama yang baik. Ia dikenal

sebagai seorang yang serius, cerdas dan rajin dan tekun. . Pada usia 19 tahun, ia

mulai menekuni pelajaran filsafat setelah membaca buku Hortensius karya Cicero

yang berisi pujian dan pujaan terhadap filsafat. Sesudah membaca Hortensius,

Augustinus lalu benar-benar jatuh cinta kepada filsafat. Karena filsafat berarti cinta

57
J.H. Rapar, Op.Cit. hal 280.
58
Ibid.

25

Universitas Sumatera Utara


akan hikmat, maka mulailah ia mencari hikmat dan kebenaran. 59 Disinilah mulai

berkembang berbagai pemikiran teokrasinya yang nantinya melalui beberapa

karyanya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Kartago, Agustinus kembali ke

kampung halamannya di Tagaste, namun ibunya sangat sedih ketika mengetahui

bahwa Agustinus mengikuti ajaran Manikheisme yang mengkritik kitab perjanjian

lama60, Manikheisme sendiri berasal dari Persia yang disebar melalui Mani, seorang

Rasul di zaman Babilonia Kuno. Ajaran ini membahas bahwa sejak awal segala

sesuatu memiliki dua objek atau sifat yang berlawanan, yaitu kuasa terang dan

kuasa gelap, atau kuasa kebaikan dan kuasa kejahatan. Alasan mengapa Agustinus

mengikuti ajaran ini karena dia sendiri sejak mulai memelajari filsafat selalu

meragukan isi dari kitab perjanjian lama yang menurutnya tidak konsisten,

misalnya di satu sisi ada ayat yang memperbolehkan pembunuhan sedangkan ayat

lain tidak memperbolehkan atau pada tokoh-tokoh terkenal dalam Perjanjian Lama

yang diperbolehkan berpoligami. Manikheisme menurutnya menjawab

ketidakkonsitensi tersebut dengan teori Kuasa Terang dan Kuasa Gelap yang selalu

bertarung didunia ini, apabila Kuasa Terang menang maka tokoh di Perjanjian

Lama akan melakukan kebaikan, namun apabila Kuasa Gelap yang menang maka

tokoh di Perjanjian Lama akan melakukan hal-hal jahat. 61 Manikheisme juga

mengkritik isi Perjanjian Lama yang menyebutkan setiap manusia bertanggung

jawab atas dosanya, menurut Manikheisme dosa yang dilakukan oleh manusia

adalah karena pengaruh Kuasa Gelap, oleh karena itu manusia tidak bertanggung

59
J.H. Rapar, Op.Cit. hal 281.
60
Ibid
61
Ibid.

26

Universitas Sumatera Utara


jawab atas dosanya melainkan harus melepaskan kuasa gelap yang berada ditubuh

dan membebaskan kuasa terang yang berada didalam jiwa manusia.

Setelah diusir oleh ibunya, Agustinus kembali ke Kartago dan mendirikan

sekolah retorika pada tahun 374. Pada saat inilah Agustinus mulai meragukan ilmu

Manikheisme yang dianutnya. Dia mulai merasakan bahawa sebenarnya keinginan

intelektualnya selama itu tak kunjung terpuaskan. Menurutnya ilmu Manikheisme

hanya bersifat destruktif dan hanya dapat mengkritik segala ilmu yang ada didunia,

sanggup merusak dan memusnahkan segala sesuatu namun tidak dapat

membangun atau memberikan suatu ilmu filsafat baru sebagai solusi dari apa yang

kaum Manikheis kritik. Sementara itu, ia semakin melihat kebobrokan moralitas

para penganut Manicheisme yang ternyata lebih buruk daripada dugaannya semula.

Ditambah lagi banyak pengikut kaum Manikheisme yang menurutnya terlalu

membanggakan ilmu Manikheis namun kenyataannya tidak dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang Agustinus berikan. Ia menganggap kebanggaan

pengikut Manikheisme hanyalah merupakan suatu kebanggaan yang palsu dan

semu. Oleh sebab itu, kemudian Augustunus meninggalkan Manicheisme yang

sudah dia ikuti selama kurang lebih sembilan tahun.62

Dalam beberapa waktu lamanya, Augustinus menjadi seorang yag skeptic.

Dalam keadaan yang demikian, pada tahun 383 dia meninggalkan Afrika pindah ke

Roma. Di Roma, dia semakin skeptis, menertawakan dan mempertanyakan Doktrin

Kristen disana yang mengajarkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjelma menjadi

62
J.H. Rapar, Op.Cit. hal 283-284.

27

Universitas Sumatera Utara


bentuk manusia dan menyelamatkan dan menebus dosa umat manusia.63 Setelah

Roma, Agustinus pergi ke Milano, sebuah kota kecil di Italia Utara. Disini,

Agustinus diangkat menjadi guru besar dalam ilmu retorika. Ia berupaya mengejar

kesenangan dan kehormatan, tetapi ia merasakan bahwa kehausan jiwanya yang

terdalam tetap tak terpuaskan. Tak berapa lama kemudian, ia mulai mempelajari

filsafat Neo-Platonis yang menggabungkan ajaran Plato dan Aristoteles dengan

menawarkan konsep teologi dan kosmologi bahwa Tuhan tidak berbentuk dan tidak

menjelma kedalam bentuk apapun. Ajaran ini dikembangkan oleh Plotinus sejak

abad ke-3 SM. Dari sini, Agustinus menjadi semakin dekat dengan agama Kristen

sehingga ia mulai membaca Alkitab, khususnya surat-surat Paulus, meskipun dia

tidak benar-benar ingin menjadi seorang Kristen. 64

Pada tahun 386, Augustinus mengambil keputusan untuk menjadi seorang

Kristen dan dibaptis. Pertama-tama, ia melepaskan jabatannya selaku mahaguru

dalam retorika menjelang akhir musim panas tahun 386. Sesudah itu, bersama

dengan ibunya, Monica dan anaknya Adeodatus serta beberapa sahabat karibnya,

Augustinus berangkat ke Cassiacum dan tinggal di sebuah rumah yang dipinjamkan

kepadanya oleh seorang sahabatnya yang bernama Verecundus. Pada tahun 387,

Agustinus memutuskan kembali ke kampung halamannya Tagaste, namun dalam

perjalanan menunggu kapal di pelabuhan Ostia, Roma, ibunya Monica meninggal

dunia sehingga mereka menunda keberangkatan mereka di Tagaste. Lenih dari

setahun setelah itu mereka menetap di Roma. Menjelang akhir tahun 388, mereka

pun berangkat menuju ke Afrika dan menetap di Tagaste. Dia Tagaste, Augustinus

63
Bertrand Russel, History of Western Philosopy, London: George Allend & Unwin Ltd, 1945, Hal
478.
64
J.H. Rapar, Op.Cit. hal 284.

28

Universitas Sumatera Utara


menjual semua harta miliknya dan hasil penjualannya dibagi-bagikan kepada

orang-orang miskin, lalu mereka mulai menjadi seorang biara di gereja di kota

Hippo dan mengahasilkan karya-karya filsafat dan teologi Kristen yang terkenal di

sana sehingga Agustinus bergelar Saint/Santo .

2.1.1 Karya dan Akhir Hidup St. Agustinus

Augustinus senantiasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tak habis-

habisnya sesuai panggilan tugas jabatannya, baik ketika ia masih menjabat jabatan

professor dalam ilmu retorika, apalagi sesudah ia menajadi imam dan kemudian

menjadi uskup di Hippo. Seluruh waktunya seolah-olah telah tersita habis oleh

tugas-tugas jabatannya itu. Sesudah ia ditahbiskan menjadi imam dan uskup, ia

harus memimpin Gerejanya, mengarahkan dan membina para imam, berkhotbah,

menghadiri konferensi-konferensi dan pertemuan-pertemuan para uskup, berdebat

dengan penganjur-penganjur aliran sesat dan lain-lain sebaginya. Kendatipun

demikian sibuk, namun ia senantiasa menyisihkan waktu untuk menulis. Alau

kadang terburu-buru, tapi tetap saja hasil karya tulisnya menunjukkan bahwa ia

adalah seorang pemikir besar.65

Pada 386, ia mengahasilkan dua karya tulis, yang masing-masing berjudul

De beata vita (On The Happy Life) dan De ordine (On Order). Sesudah pertobatan

dan menjelang pembaptisannya pada Paskah 387, ada dua karya tulis yang

dihasilkannya, yaitu De immortaliate animae (On The Immortality of The Soul)dan

Soliloquites (Monologue). Pada 389, Augustinus menyelesaikan De magistro

(Concerning The Teacher). Pada tahun yang sama ia mulai menulis De vera

65
J.H. Rapar, Op. Cit, hal 293-294.

29

Universitas Sumatera Utara


religion (On True Religion) yang selesai pada 391. Pada 395, ia menyelesaikan

tulisannya yang berjudul De libero arbitrio (On Free Will) yang sudah mulai

dikerjakan sejak 388. Sejak 397, Augustinus mulai menulis karyanya yang amat

terkenal “Convessiones (Convessions) yang baru dapat diselesaikan pada 401. Pada

397, ia menyelesaikan De diversis quastionitiana ad Simplicianum. Pada 400, ia

mneyelesaikan Contra Faustum Manichaeum (Against The Manichaean, Faustus),

yang terdiri dari tiga puluh tiga buku. Pada tahun yang sama, ia mulai menulis salah

satu karyanya yang besar, yang terdiri dari lima belas buku, berjudul De

Trinitate(On The Trinity) yang diselesaikannya pada tahun 417. Pada tahun yang

sama pula (400), terbit beberapa karya tulis lainnya yang berjudul De catechizandis

rudibus, De concensu evangelistarum dan De opera monachorum.

Pada 412-427, Augustinus menyelesaikan karya tulisnya yang terbesar dan

yang sangat termasyhur yang berjudul De Civitate Dei (The City of God). Sejak

413, ia mulai menggarap Enarrationes in Psalmos. Pada 415, ia menyelesaikan Ad

orosium, Contra Priscillianistas et Origenistas dan De nature et gratia (On Nature

and Grace). Pada 417, De gestis dan Pelagil. Pada tahun yang sama, ia

menyelesaikan dua karya tulis yang telah mulai dikerjakannya sejak 416, yaitu In

Joannis evangelium dan In epistolas Joannis ad Parthos. Pada 426, Augustinus

merasa bahwa hidupnya tak lama lagi. Pada tahun itu ia menyelesaikan

Retractiones (Retractions). Sesudah itu, ia mulai mempersiapkan pergantiannya

yang akan meneruskan memimpin Gereja di Hippo.

Karya-karya tulis tersebut diatas baru merupakan sebagian dari karya-karya

tulisnya yang begitu banyak, belum terhitung surat-surat dan khotbah-khotbah yang

telah dihasilkannya. Dari sekian karya-karya nya yang paling dikenal adalah tulisan

30

Universitas Sumatera Utara


The Confession dan The City Of God. Saint Agustinus meninggal pada 28 Agustus

430 bersamaan dengan penyerbuan bangsa Vandal di seluruh wilayah Romawi di

Afrika Utara, termasuk kota Hippo. Namun kendatipun kota Hippo telah hancur

oleh bangsa Vandal, gereja Hippo Agustinus tidak disentuh sehingga karya-karya

nya yang tersimpan di perpustakaan gereja masih tersimpan dan disebar luaskan di

penjuru Dunia.

2.2. Latar Belakang Lahirnya Ide/ Pemikiran “Dua Negara”

St. Augustinus merupakan tokoh terbesar diantara para pemuka agama

Kristen sepanjang era Patristik.66 Ia bahkan merupakan salah satu tokoh terbesar

dari seluruh sejarah Kristen. Pemikirannya memiliki pengaruh yang luas di

kalangan filsafat maupun teologi di Eropa pada masa itu.

Pemikiran Santo Agustinus melalui salah satu tulisannya yaitu The City of

God dilatar belakangi oleh kondisi yang pada saat itu di Roma terjadi sentimen yang

dilakukan oleh kaum Paganisme yang menyalahkan kaum Kristiani atas kekalahan

tentara Romawi terhadap bangsa Visigoth. Pada dasarnya sentimen tersebut sudah

ada pada Kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Nero Claudius Germanicus pada

tahun 54-68 Masehi. 67 Berawal dari keinginannya untuk membakar perumahan

rakyat yang terletak di sekitar bukit Esquiline untuk membangun satu istana pribadi

di tempat itu, namun api secara tidak sengaja meluas tidak terkendali hingga

merambah ke sebagian besar kota Roma.68 Untuk menghindari amukan rakyat dan

66
Patristik merupakan sebuah zaman yang berlangsung setelah zaman Perjanjian Baru sampai
abad ke-VIII/ sampai pada masa Thomas Aquinas. Lihat juga https://m.wikipedia.org>wiki>Patristik
67
roman-empire.net, 2018
68
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 15.

31

Universitas Sumatera Utara


pejabat istana lainnya, Kaisar Nero menuduh umat Kristen yang sudah ada sejak

awal Masehi dan terjadilan penganiayaan dan intimidasi terhadap kaum Kristiani.

Namun intimidasi terhadap kaum kristiani sempat mereda pada masa Kaisar

Constantinus. Dia menganggap bahwa dukungan pihak Gereja sangat

memengaruhi dalam mempertahankan keutuhan dan kesatuan negara yang pada

saat itu terjadi perebutan kekuasaan sejak Kaisar Galerius meninggal. 69 Kaisar

Constantinus bahkan mengeluarkan perintah Edik Milano yang pokok isinya adalah

bahwa Gereja memperoleh kebebasan penuh dan semua harta milik Gereja yang

telah dirampas oleh negara harus dikembalikan atau dibayar. Gereja bahkan

mendapatkan kekuasaan dan kedudukan yang sama sebagai salah satu pejabat

pemerintah yang pada saat itu pemerintah sendiri terlalu sibuk dalam meredakan

pemberontakan kaum Goth.

Pada tahun 410, kaum Goth akhirnya menduduki Roma dan membunuh

banyak rakyat Romawi termasuk kaum paganisme yang menyembah Dewa-Dewi

Romawi. Kekalahan negara Roma terhadap Visigoth dianggap oleh kaum

Paganisme sebagai salah satu akibat dari perkembangan dan pengaruh Gereja yang

pada saat itu tumbuh dengan pesat. Selama Jupiter masih dipuja Roma tetap

berkuasa; sekarang karena para Kaisar telah memalingkan diri, Jupiter pun tak sudi
70
lagi melindungi orang-orang Roma. Berawal dari inilah yang kemudian

memancing Agustinus yang hidup pada saat itu untuk menyanggah pernyataan

mereka melalui tulisannya yaitu The City of God atau Kota Allah. Salah satu

sanggahannya yang menarik dalam buku ini adalah bahwa menurutnya justru Dewa

69
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 16.
70
Bertrand Russel, Op. Cit, Hal 477.

32

Universitas Sumatera Utara


Jupiter selaku Dewa tertinggi Romawi lah yang tidak memberi perlindungan

sementara Gereja menyediakan perlindungan, karena banyak yang pada saat kaum

Goth menyerang, mereka tidak menghancurkan bahkan menyentuh Gereja-gereja

yang ada di Roma sehingga orang-orang yang berlindung Gereja pun selamat dari

peristiwa tersebut, hal ini menurut Agustinus berbanding terbalik pada kuil-kuil

Juno sesembahan kaum Pagan yang dihancurkan oleh kaum Visigoth. Selain itu

dalam buku The City of God yang ditulis pada tahun 412 hingga 427, Agustinus

menyatakan bahwa di Dunia ini terdapat dua kota, yaitu Kota Allah dan Kota

Duniawi.71

. Menurut Augustinus, Allah adalah penguasa dan pemerintah. Negara yang

surgawi adalah negara yang penuh dengan kedamaian, diciptakan atas landasan

kasih Allah dan penuh dengan ketertiban, kebaikan, kebenaran, keadilan, ketaatan,

kedamaian dan keselamatan. Ia menguasai dan memerintah segala sesuatu yang

diciptakannya. Bagi Agustinus, Allah adalah Raja. Allah benar-benar layak menjadi

Raja karena keagungan keberadaanNya dan perbuatanNya yang ajaib serta

kemulianNya yang abadi. Membangun dan mendirikan negara yang surgawi adalah

Allah yang Mahabijak. Kebijaksanaan Allah adalah hal yang paling penting . Hanya

Allah yang menurut Agustinus pantas dan layak memerintah dinegara surgawi yang

dicipta, dibangun dan didirikanNya itu.

Kekuasaan merupakan suatu hal yang paling penting dan paling utama bagi

suatu pemerintahan. Maka tidaklah heran jika ada yang mengatakan bahwa

pemerintahan adalah sistem kekuasaan. Agustinus menegaskan bahwa Allah

71
Bertrand Russel, Op. Cit, Hal 479.

33

Universitas Sumatera Utara


disebut mahakuasa karena Ia mampu dan bebas berbuat apa saja yang ia kehendaki.

Allah disebut mahakuasa karena Ia berkuasa menciptakan segala macam sesuatu

yang ada yang begitu mencengangkan. Hanya Allah yang mahakuasa yang

berkuasa memerintah negara surgawi dengan kebijaksanaan yang sempurna.

Kemahakuasaan Allah tak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.

KemahakuasaanNya itu abadi. Agustinus juga mengatakan bahwa hanya Allah

yang memiliki pengetahuan yang sebenarnya karena Allah itu Mahatahu. Ia

mengetahui segala sesuatu karena ialah yang menciptakan segala sesuatu itu.

Agustinus juga mengatakan bahwa sesungguhnya oleh kemahakuasaanNya, Allah

mengetahui segala sesuatu sebelum segala sesuatu itu terjadi.

Kebaikan suatu pemerintahan terletak pada kesediaan pemerintahanya

untuk menjunjung dan mengabdi kebenaran. Pemerintah yang arif akan mengabdi

kebenaran dan kebenaran itu akan melahirkan keadilan. Menurut Agustinus, Allah

sangat menjunjung kebenaran karena Allah sendiri adalah kebenaran. Allah

mengatakan “ Akulah kebenaran “ (God o Truth). God of Truth adalah satu-satunya

Allah yang benar menurut Agustinus. Kebenaran Allah senantiasa sejalan dengan

keadilanNya. Kebenaran dan keadilan Allah senantiasa mewarnai

pemerintahannya. Allah adalah satu-satunya yang paling berhak dan yang paling

berdaulat atas negara surgawi, yang kelak akan meliputi segala sesuatu yang telah

diciptakanNya.

Agustinus telah meletakkan landasan rasional bagi pemerintahan Allah

(Teokrasi). Karena segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan berasal dari Tuhan,

maka rasio pun berasal dari Tuhan. Bahkan Tuhan sendiri adalah rasio yang paling

sempurna yang tertinggi, yang utuh dan yang teratur yang oleh bangsa Yunani

34

Universitas Sumatera Utara


disebut Logos. Para warga negara surgawi itu mengangkat raja dan para penguasa

untuk memimpin mereka, namun para raja dan para penguasa itu dengan sadar

menempatkan diri bersama-sama dengan warga negara surgawi lainnya selaku

hamba dan abdi Allah. Oleh sebab itu, bagi Agustinus bentuk pemerintahan yang

paling baik dan yang paling pantas adalah teokrasi.

Berkaca pada pernyataan Plato yang mengatakan bahwa keadilan dalam

negara hanya akan terwujud nyata apabila semua orang dalam semua kelas

memiliki hubungan yang harmonis, yang memungkinkan setiap orang dan setiap

kelas dalam negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya, Agustinus yakin bahwa

hakikat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara manusia dengan

Allah yang mengakibatkan terciptanya hubungan yang tepat dan benar antar

manusia. Jelas terlihat betapa pentingnya keadilan itu bagi negara dan bagi individu.

Menurut Agustinus, keadilan adalah kebajikan yang paling pokok. Negara atau

kerajaan yang tak didasarkan pada keadilan tidak lebih dari gerombolan-

gerombolan penyamun belaka. Dengan kata lain, bagi Agustinus, suatu negara

hanya dapat disebut sebagai negara apabila ia berlandaskan keadilan. Tanpa

dilandasi keadilan, negara itu hanya akan menjadi suatu gerombolan perampok.

Agustinus menandaskan bahwa suatu persekutuan politik yang sejati yang disebut

negara itu, haruslah dapat mewujudkan keadilan. Tetapi keadilan itu takkan

mungkin terwujud dalam suatu negara yang tak menyembah dan mengabdi kepada

Allah dalam hidupnya.

35

Universitas Sumatera Utara


2.3. De Civitate Dei/ City of God

2.3.1 Karya Tulis Yang Mengagumkan

Di tengah-tengah kesibukannya selaku seorang uskup, sejak 412,

Augustinus mulai menulis De Civitate Dei, yang membutuhkan waktu selam

kurang lebih lima belas tahun untuk menyelesaikannya, karena baru pada 427,

karya tulis itu dapat dirampungkan seluruhnya. Tak ada karya tulis Augustinus yang

lain yang digelutinya dalam waktu yang begitu lama untuk menyelesaikannya, dan

ternyata jerih payahnya tidak sia-sia. Hasil karyanya itu sangat menakjubkan.

Lewat karyanya itu, Augustinus telah mengembangkan hampir seluruh pemikiran

filsafat dan teologinya. Tidak heran apabila ada berbagai pandangan dan penilaian

yang dilontarkan para ahli terhadap karya tulis Augustinus itu.72

Ada sarjana-sarjana yang menganggap bahwa De Civitate Dei merupakan

suatu karya gemilang dalm bidang filsafat agama dan teologia. Adapula yang

menilai bahwa karya itu merupakan hasil pemikiran yangs angat mengagumkan

dalam bidang etika. Banyak juga para ahli yang sependapat bahwa De Civitate Dei

adalah karya pertama dan yang agung dalam filsafat sejarah. Memang harus diakui

bahwa De Civitate Dei merupakan buku pertama yang memaparkan tentang teori

waktu dan proses sejarah yang bertentangan dengan teori dan gagasan yang

digenggam erat-erat oleh para filsuf Yunani dan filsuf-filsuf sebelum masa

Augustinus. Ada lagi para ahli yang berpendapat bahwa De Civitate Dei bukan

72
Rapar, Op, Cit, hal 296.

36

Universitas Sumatera Utara


hanay merupakan filsafat sejarah tetapi juga filsafat politik yang pertama yang

berhasil menciptakan teori teokratis yang rasional.73

Sesungguhnya pandangan dan penilaian para ahli tersebut diatas, tak satu

pun yang keliru. De Civitate Dei memang merupakan suatu karya tulis yang

meliputi bidang-bidang filsafat politik, filsafat sejarah, filsafat agama, etika dan

teologia. De Civitate Dei mencerminkan kebesaran Augustinus yang selalu berpikir

secara paripurna. Oleh sebab itu, tak berlebihan jika dikatakan bahwa De Civitate

Dei adalah karya tulis yang mengagumkan.74

2.3.2 Maksud Penulisan De Civitate Dei

Di dalam kata pengantar buku pertama De Civitate Dei, Augustinus

mengatakan bahwa karyanya itu ditulis atas permintaan sahabatnya yang bernama

Marcellinus. Marcellinus adalah orang yang ditugaskan oleh kaisar untuk

menyelenggarakan suatu konferensi gerejawi pada tahun 411 untuk menilai ajaran

Donatisme yang hasilnya ialah sejak saat itu ajaran donatisme dinyatakan sebagai

ajaran sesat dan oleh sebab itu, menjadi ajaran yang terlarang.

Marcellinus mendesak Augustinus untuk menulis karyanya yang sangat

mengangumkan itu, oleh karena situasi di kota Roma yang begitu merugikan orang-

orang Kristen pada waktu itu. Pada tahun 410, terjadilah peristiwa yang amat

mengejutkan , Alarik, raja bangsa Goth Barat yang telah mengerahkan pasukan

Alarik menjarah rayah di kota Roma dan hanya Gereja serta orang-orang Kristen

yang terlindung dari penjarahan tersebut karena Alarik adalah seorang Kristen.

73
Rapar, Op, Cit, hal 296-297.
74
Rapar, Op, Cit, hal 297.

37

Universitas Sumatera Utara


Peristiwa itu merupakan suatu pukula yang sangat menggoncangkan kekaisaran

Romawo Barat. Menyaksikan dan mengalami peristiwa yang begitu getir, orang-

orang kafir Romawi mulai angkat bicara. Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya

kekristenanlah yang menyebabkan kekaisaran Romawi kehilangan kejayaan dan

kewibawaannya. Penyerbuan raja Alarik pun adalah karena kekristenan itu. Dewa-

dewa Romawi telah mengutuk kaisar dan orang-ornag Romawi yang telah murtad

dari agama asli lalu memeluk agama Kristen. Kekristenanlah satu-satunya

penyebab kutukan para dewa dijatuhkan ke atas kekaisaran Romawi. Untuk

mengenyahkan kutukan itu, maka tidak ada jalan lain selain mengenyahkan

kekristenan dari kekaisaran Romawi.75

Situasi dan kondisi yang demikian itulah yang telah mendorong Marcellius

untuk mendesak Augustinus agar menulis sesuatu yang dapat menjawab tuduhan

orang-orang kafir itu. Oleh sebab itu, De Civitate Dei sebenarnya merupakan suatu

pembelaan terhadap ajaran Kristen yang telah disebutkan sebelumnya, dalam

menulis pembelaan itu, Augustinus telah berhasil mengembangkan hampir seluruh

pemikiran filsafat dan teologinya.76

2.3.3 Ikhisar De Civitate Dei

De Civitate Dei yang dituli sekitar lima belas tahun terdiri dari dua puluh

dua buku. Pada buku pertama, Augustinus menjawab serangan orang-orang kafir

yang mengatakan bahwa bencana yang dialami oleh kekaisaran Romawi

disebabkan oleh agama Kristen. Augustinus menjelaskan bahwa kebahagiaan atau

75
Rapar, Op, Cit, hal 298.
76
Ibid.

38

Universitas Sumatera Utara


kemalangan, berkat atau kesulitan hidup adalah hal-hal yang biasa dialami oleh

semua orang tanpa pandang bulu. Bukan hanya orang jahat, tetapi orang baik pun

sering mengalami sukaduka kehidupan itu. Jadi bencana yang menimpa kekaisaran

Romawi itu bersifat umum dan universal.77

Buku kedua, menguraikan bahwa bencana yang menimpa kekaisaran

Romawi itu bukan baru dialami saat itu, melainka telah sering dan biasa dialami

oleh engara Romawi sejak masa sebelum Kristen. Bahkan, mereka yang

menyembah dewa-dewai itu telah pula mengalami bencana spiritual, yakni

kemerosotan moral, perilaku yang tak senonoh dan kecemaran jiwa, karena tuntutan

dewa-dewa itu. Jadi dewai-dewa mereka bukanlah melindungi mereka melainkan

menimpakan bencana spiritual bagi mereka.78

Kemudian uraian itu kembali dilanjutkan dalam buku ketiga dengan

membuktikan bahwa bencana spiritual dan bencana fisik yang disebutkannya itu

senantiasa dialami oleh orang-orang Romawi sejak kota Roma didirikan. Dan

dewa-dewa yang mereka sembah tak pernah melepaskan mereka dari bencana-

bencana itu.79

Di dalam buku keempat, Augustinus membuktikan bahwa kejayaan negara

Romawi selam itu bukanlah karena perlindungan dan pemeliharaan dewa-dewa

yang disembah oleh orang-orang kafir. Kejayaan Romawi itu adalah karena

pelindunagan dan pemeliharaan Allah Yang Maha Esa dan yang Maha Benar, yang

juga mengaruniakan kebahagiaan kepada siapa yang diperkenankanNya. Allah

77
Ibid.
78
Rapar, Op, Cit, hal 298-299.
79
Rapar, Op, Cit, hal 299.

39

Universitas Sumatera Utara


yang demikian itulah yang memiliki kuasa atas segala ciptaanNya dan yang kelak

akan menghakimi kerajaan-kerajaan duniawi.80

Buku kelima, mendiskusikan soal takdir. Selain itu, Augustinus

menunjukkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang sesuatu yang belum terjadi

(prescience) tidak bertentangan dengan kehendak bebas manusia. Ia juga

menunjukkan bagaimana Tuhan telah mengembangkan kekuasaan Romawi

kendatipun orang-orang Romawi tidak menyembahNya. Kemudian Augustinus

menjelaskan tentang kebahagiaan sejati yang dialami oleh kaisar-kaisar yang telah

beragama Kristen.81

Di dalam buku keenam, argumentasi-argumentasi yang dikemukakan oleh

Augustinus secara khusu terarah pada mereka yang begitu yakin bahwa dewa-dewa

kembali harus disembah agar dapat terlepas dari situasi yang sedang dihadapi oleh

kekaisaran Romawi. Ini secara khusus hendak menyanggah keyakinan mereka yang

mengira bahwa demi kehidupan yang kekal maka dewa-dewa harus disembah dan

diabdi. Augustinus juga menunjukkan betapa buruknyab teologia kafir yang

dikembangkan oleh Varro, penulis kafir yang sangat dihargai dan dipuja oleh

orang-orang kafir. Varro membagi teologia ke dalam tiga jenis, yaitu: teologia

mistik, teologia natural, dam teologia sipil (civil theology). Augustinus mengatakan

bahwa baik teologi misti atau sipil tak sanggup memberi sesuatu apa pun bagi

kebahagiaan hidup di masa depan.82

80
Ibid.
81
Ibid.
82
Rapar, Op, Cit, hal 299-300

40

Universitas Sumatera Utara


Lewat bukunya yang ketujuh, Augustinus menunjukkan bahwa kehidupan

yang kekal tak mungkin diperoleh dengan menyembah dewa Yanus, dewa Yupiter,

dewa Saturnus atau dewa-dewa lainnya.83

Pada buku kedelapan, Augustinus menguji teologia natural Varro. Ia

mempertanyakan apakah penyembahan terhadap dewa-dewa dalam teologia natural

dapat menjamin kebahagiaan dalam hidup yang akan datang. Diskusi yang

dikembangkan Augustinus berdasarkan pertanyaan itu, dengan memanfaatkan

sistem platonic yang dianggapnya sebagai sistem filsafat yang paling baik dan dekat

dengan kebenaran kristiani. Augustinus menolak ajaran Apulcius yang mengatakan

bahwa setan-setan harus disembah selaku mediator antara dewa-dewa dengan

manusia.84

Buku kesembilan, merupakan lanjutan dari buku kedelapan. Augustinus

membuktikan penolakannya kepada ajaran Apulcius bahwa setan-setan itu dalam

ribuan cara menampakkan diri sebagai roh-roh jahat. Dia mengatakan bahwa

pandangan mereka itu adalah keliru.85

Buku kesepuluh, mengajarkan bahwa ada malaikat-malaikat yang tugasnya

melayani Allah. Kemudian Augustinus menentang ajaran Porphyry mengenai

prinsip-prinsip dan cara-cara pembersihan jiwa dan pembebasannya.86

83
Rapar, Op, Cit, hal 300.
84
Ibid.
85
Ibid,
86
Rapar, Op, Cit, hal 300-301.

41

Universitas Sumatera Utara


Buku kesebelas, mulai memaparkan tentang asal mula, sejarah dan tujuan

dari dua negara, yaitu negara sekuler dan negara Allah. Augustinus juga

menjelaskan tentang penciptaan dunia.87

Buku keduabelas, menguraikan tentang malaikat-malaikat serta asal mula

dari kehendak yang jahat dan tentang penciptaan manusia. Augustinus

menunjukkan bahwa manusia tidak berasal dari kekekalan tapi diciptakan Allah,

yang artinya manusia memiliki awal, jadi tak mungkin ada pra-eksistensi bagi

manusia.88

Buku ketigabelas, Augustinus mengajarkan bahwa kematian adalah suatu

hukuman terhadap dosa manusia yang berasal dari Adam.89

Buku keempatbelas, Augustinus kembali membahas tentang dosa manusia

pertama, yaitu Adam dan mengatakan bahwa dosa manusia pertama itulah yang

menjadi asal mula dari kehidupan duaniwi dan nafsu-nafsu keji manusia.90

Bukun kelimabelas, memaparkan tentang pertumbuhan dan perkembangan

negara sekuler dan negara sorgawi.91

Buku keenambelas menceritakan perkembangan negara sekuler dan negara

sorgawi mulai dari zaman Nuh sampai raja-raja.92

87
Rapar, Op, Cit, hal 301.
88
Ibid.
89
Ibid.
90
Ibid.
91
Ibid
92
Ibid

42

Universitas Sumatera Utara


Buku ketujuhbelas, Augustinus menguraikan sejarah negara sorgawi pada

masa raja-raja dan nabi-nabi sampai pada masa Kristus.93

Buku kedelapanbelas menunjukkan peristiwa-peristiwa yang parallel antara

negara sekunder dan negara sorgawi sejak masa Abraham sampe akhir.94

Buku kesembilanbelas mendiskusikan tentang akhir dari kedua negara.95

Buku keduapuluh memaparkan tentang penghakiman terakhir.96

Buku keduapuluh satu menunjukkan apa yang akan terjadi pada negara

sekuler, yaitu hukuman kekal.97

Buku keduapuluh dua melukiskan tentang akhir dari negara Allah.98

93
Rapar, Op, Cit, hal 302.
94
Ibid.
95
Ibid.
96
Ibid.
97
Ibid.
98
Ibid.

43

Universitas Sumatera Utara


BAB III

ANALISA PERSPEKTIF ST. AUGUSTINUS TENTANG NEGARA

3.1 Pengertian dan Hakekat Negara Allah dan Negara Duniawi

Augustinus mengatakan bahwa sesungguhnya ada dua macam negara. Yang

pertama ialah Negara Allah (Civitas Dei) yang sering juga disebutnya sebagai

negara surgawi. Yang kedua ialah negara sekuler (civitas terrena/ negara duniawi)

yang sering juga disebutnya sebagai negara diaboli.99 Negara yang paling baik dan

oleh sebab itu harus senantiasa diupayakan perwujudannya ialah negara Allah.

Negara sekuler adalah negara yang buruk dan oleh sebab itu tak layak menjadi

dambaan manusia.100

Kehidupan di dalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan dan kasih

Allah. Negara Allah menghargai segala sesuatu yang baik seperti: kejujuran,

keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang terpuji, keindahan dan lain-lain

sebagainya. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan dan cinta yang egois.

Negara sekuler merupakan manifestasi dari ketidakjujuran, pengumbaran hawa

nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, keburukan, kemaksiatan,

kejahatan dan lain-lain sebagainya.101

Jelas terlihat bahwa gagasan negara Allah Augustinus merupakan

penjelmaan gagasan negara ideal Plato. Sama seperti negara indeal Plato, demikian

pula negara Allah Augustinus dipenuhi dengan segala kebajikan, kedamaian dan

99
Diaboli berasal dari kata Yunani “diabolos” yang berarti penghianat, iblis, setan dan sebagainya.
Jadi negara diabolic berarti negara yang menghianati hakikatnya atau negara setan.
100
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 303.
101
Ibid.

44

Universitas Sumatera Utara


keselarasan. Sebaliknya, negara sekuler sangat materialistis, karena penduduknya

mengejar harta kekayaan dan bukan mencari kebajikan. Mereka tidak

mengutamakan kedamaian dan keselarasan, melainkan kepuasan dan keuntungan

diri yang sebesar-besarnya, gila hormat, gila kuasa, yang menyebabkan pertikaian,

permusuhan dan kekacauan yang tak habis-habisnya.102

Menurut Augustinus, kendatiupun cara hidup di dalam kedua negara itu

amat berbeda, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, namun di dalam

praktek, kedua-duanya sangat sulit dipisahkan. Itu berarti keduanya senantiasa

berada dan hadir bersama. Tetapi, bagaimana mungkin dua macam negara yang

saling bertentangan dapat berada dan hadir bersama? Hal itu tidak mungkin apabila

kedua macam negara itu diinterpretasikan sebagai dua bentuk lembaga atau

organisasi yang ada di dunia ini. Oleh sebab itu, tidak benar apabila dikatakan

bahwa yang dimaksud oleh Augustinus dengan negara Allah adalah gereja dan

negara sekuler adalah organisasi negara seperti kekaisaran Romawi dan lain –

lain.103

Sebagai seorang filsuf dan teolog, Augustinus tidak mempersoalkan

masalah-masalah praktis organisasi negara atau organisasi gereja. Ia sebenarnya

lebih tertarik mempercakapkan soal cara hidup (ways of life) dan prinsip-prinsip

hidup (principle of life). Oleh sebab itu, gagasan Augustinus tentang negara Allah

dan negara sekuler. Tidak teracu kepada bentuk organisasi tertentu, melainkan yang

terutama agar orang-orang mengenal dan mempraktekkan prinsip-prinsip yang

terdapat di negara Allah dan agar orang-orang mengenal lalu menolak prinsip-

102
Ibid.
103
Ibid

45

Universitas Sumatera Utara


prinsip negara sekuler. Dalam hal itu, Augustinus hanya menggemakan kembali

pendapat Plato tentang eksistensi negara ideal yang dikatakannya:

...saya tidak memikirkan ia (negara ideal) berada dimana pun juga di muka
bumi…di kayangan, barangkali, sebuah pola dari negara itu disimpan bagi
dia yang memiliki mata untuk melihat…Persoalnnya sama sekali bukan
apakah negara itu berada dimana saja atau akan berada; melainkan agar
prinsip-prinsipnya dipraktekkan, itu saja.104

3.2 Asal Mula dan Tujuan Negara Allah dan Negara Duniawi

Allah yang telah menciptakan alam semesta ini, menciptakan segala sesuatu

yang ada, dalam kondisi yang amat baik. Segala sesuatu yang diciptakanNya itu

menyatakan kebesaran dan kemuliaan Sang Pencipta. Demikian pulalah Allah

menciptakan Negara Allah yang apada hakikatnya meliputi seluruh ciptaanNya.

Negara surgawi itu telah diciptakan Allah sebelum manusia diciptakan. Negara

Allah adalah terang, yang diciptakan Allah tatkala Ia menciptakan para malaikat

dalam terang, agar mereka hidup secara bijaksana did alam kelimpahan berkat

Allah dan di dalam terang itu sendiri. Tetapai beberapa malaikat itu meninggalkan

terang dan oleh kebodohan mereka sendiri, mereka memilih kegelapan dan itu

berarti mereka meninggalkan hidup yang penuh dengan yang abadi.105

Negara Allah, penuh dengan kebaikan karena ia diciptakan di atas landasan

kasih Allah. Kasih Allah itulah pula yang menghadirkan ketertiban dan keadilan

abadi di dalam Negara Surgawi. Negara Allah diperintah oleh si Penciptanya

sendiri. Sesungguhnya, Negara Allah adalah negara yang amat terpuji oleh karena

104
Plato, The Complete Texts of Great Dialogues of Plato, terjemahan W.H.D. Rouse, New York:
New American Library, 1970, hal 459
105
Augustinus, The City of God, XI.I, terjemahan Marcus Dods, D.D, USA: Hendrickson Publishers.
Inc, 2009, hal 16.

46

Universitas Sumatera Utara


Allah sendiri yang memerintah Negara itu, sehingga ketertiban, kebaikan,

kebenaran keadilan, ketaatan, kedamaian dan keselamatan yang dilandasi dan

diwarnai sepenuhnya oleh kasih Allah yang menjadi wujud yang paling hakiki dari

negara surgawi yang abadi itu.106

Benih-benih terbentuknya negara sekuler mulai tersemai sejak

penyelewengan para malaikat, yaitu ketika beberapa diantara para malaikat itu
107
meninggalkan terang dan memilih kegelapan. Negara duniawi itu

memanifestasikan dirinya ketika manusia yang pertama jatuh ke dalam dosa.

Kejatuhan manusia pertama itu menghadirkan kefanaan.108 Akar yang terdalam dari

kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah cinta diri (self love) dan itulah yang

menjadi alas dan dasar yang kokoh bagi bangunan Negara sekuler. Batu pertama

telah diletakkan lewat penyelewengan beberapa malaikat yang meninggalkan

terang lalu merangkul kegelapan dan dari batu pertama itu tersusunlah batu-batu

yang lain menjadi dasar yang diperlukan oleh bangunan Negara Sekuler.109

Jadi, Negara Sekuler dibangun atas dasar cinta diri. Inilah yag mewarnai

dan menguasai Negara sekuler itu sehingga keangkuhan, ketidaktaatan, kejahatan,

keburukan, ketidakadilan, kekacauan, ketidakdamaian, hawa nafsu, keserakahan,

gila kuasa, gila hormat, perselisihan, pertikaian, kemunafikan dan kekejaman

menjadi wujud yang hakiki dari Negara sekuler. Kendatipun negara sekuler yang

didamba-dambakan manusia, namun kebahagiaan sejati hanya dapat diperoleh dan

106
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 306.
107
Augustinus, Op. Cit XI, hal 11.
108
Augustinus, Op. Cit XIII, hal 11.
109
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 306-307.

47

Universitas Sumatera Utara


dinikmati di negara surgawi. Oleh sebab itu, manusia seyogianya menolak negara

sekuler itu dan menyambut Negara Allah.110

Kendatipun baru merupakan benih, tapi kedua negara itu telah ada sebelum

dunia dan manusia diciptakan. Dan sesudah manusia pertama jatuh kedalam dosa,

barulah kedua negara itu mulai menampakkan diri secara jelas. Augustinus

mengatakan bahwa kedua negara itu dibangun atas dua dasar cinta, negara Allah

atas dasar kasih Allah dan Negara Duniawi atas dasar cinta-diri. Negara yang

dibangun atas dasar kasih Allah akan senantiasa mengupayakan segala sesuatu yang

baik demi kemuliaan Allah. Negara itu akan selalu terarah kepada Allah, karena

baginya, Allah adalah segala-galanya. Sementara negara yang dibangun atas cinta-

diri akan mengejar kemuliaan bagi diri sendiri, bukan Allah tetapi manusia. Negara

itu akan senantiasa terarah kepada diri sendiri dan kepentingan, keuntungan dan

kemuliaan diri merupakan segala-galanya dalam negara ini.111

Dengan demikian, terlihat pula dengan jelas bahwa oleh karena dasar yang

melandasi kedua negara itu berbeda, maka tujuan utama kedua negara itupun

berbeda. Tujuan Negara Allah adalah kemuliaan bagi Allah, sedangkan tujuan

utama Negara Duniawi adalah kemuliaan manusia atau diri sendiri. Untuk

menempuh tujuan masing-masing, kedua negara itupun menempuh cara yang

berbeda, negara Allah menempuh jalan yang penuh dengan damai sejahtera, akan

senantiasa berupaya menghindari berbagai bentuk kekerasan, sebaliknya negara

duniawi tidak akan segan-segan menggunakan cara apa pun demi mencapai

110
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 307.
111
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 307-308.

48

Universitas Sumatera Utara


tugasnya. Agar tujuan tercapai, Negara duniawi tanpa canggung dan malu akan

sanggup menggunakan kekerasan dan kekejaman serta terror.112

3.3 Masyarakat Negara Allah dan Negara Duniawi

Adam adalah bapa dari dua garis keturunan yang kemudian membentuk dua

jenis masyarakat negara. Garis keturunan yang pertama membentuk masyarakat

Negara Duniawi dan garis keturunan kedua membentuk masyarakat Negara

Allah. 113 Masyarakat Negara Surgawi, oleh Augustius disebut juga masyarakat

orang-orang suci (society of the saint),114 sedangkan masyarakat Negara duniawi

disebutnya sebagai masyarakat orang-orang yang tak saleh (society of the

impious).

Masyarakat Negara Allah terdiri dari orang-orang yang terpilih atau orang-

orang beriman, yang memiliki harapan untuk hidup dalam keselamatan dan

perdamaian sorgawi sementara masyarakat Negara Duniawi terdiri dari orang-

orang yang mendewakan diri sendiri, yang megejar kesenangan jasmani. Orang-

orang ini desebut terkutuk dan penuh dengan tipu muslihat dan kejahatan. Kedua

masyarakat ini sama-sama mendiami bumi sampai hari kebangkitan, barulah

mereka akan dipisahkan. Selama kedua masyarakat ini ada dibumi, maka terjadilah

pergumulan dan pertentangan yang tak kunjung usai antara dua prinsip dasar yang

berlainan. Bagi Augustinus, hanya prinsip-prinsip hidup masyarakay sorgawilah

112
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 308.
113
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 308.
114
Augustinus, Op. Cit, XIV, hal 28.

49

Universitas Sumatera Utara


yang abadi. Segala yang ada di dunia ini tidak ada yang abadi, demikan juga dengan

prinsip-prinsip hidup masyarakat sekuler yang pasti akan sirna suatu saat nanti.115

3.4 Sejarah Perkembangan Negara Allah Dan Negara Duniawi

3.4.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Allah

Negara Alah didirikan oleh Allah sendiri ketika ia menciptakan para

malaikat dalam terang. Negara surgawi itu didirikan di atas dasar Kasih Allah.

Namun ternyata, ada diantara para malaikat itu yang meninggalkan terang, yang

sebenarnya merupakan hakikat keberadaannya. Penyelewengan beberapa malaikat

itu berarti penolakan terhadap kasih Allah yang menjadi dasar negara surgawi.

Penyelewengan itu lalu menjadi benih bagi terbentuknya negara sekuler yang pada

hakekatnya merupakan pengingkaran terhadap kasih Allah.116

Penciptaan langit dan bumi serta manusia, telah memungkinkan kedua

negara itu bertumbuh dan berkembang. Terjerumusnya manusia pertama ke dalam

dosa membuat negara sekuler memperoleh tempat berpijak yang kokoh dan yang

membuatnya tidak asing di dunia ini, bahkan yang menjadikan negara sekuler itu

tak terpisahkan lagi dari dunia ini. Sebaliknya, negara Allah menjadi pengembara

yang sadar bahwa ia tidak berasal dari dunia ini dan ia tidak akan berakhir

kendatipun dunia ini akan berakhir kelak. Augustinus mengatakan bahwa negara

Allah itu abadi. (That city is eternal).117 Karena dunia ini akan berakhir, sedangkan

115
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 311.
116
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 317.
117
Augustinus, V, hal 16.

50

Universitas Sumatera Utara


negara surgawi itu abadi, maka warga negara Allah itu sadar dan tahu bahwa

mereka hanyalah pengembara di dunia ini.118

Bagi Augustinus, negara Allah yang mengembara di dunia ini, tidak pernah

mengikatkan diri dengan suatu lembaga negara manapun juga dan tidak pernah

mengikatkan diri dengan organisasu gereja. Negara surgawi itu benar-benar haya

mengembara di dunia ini dan ia akan tetap mengembara hingga kelak tiba di

penghujung sejarah dunia yang pada suatu saat pasti akan berakhir. Oleh sebab itu,

negara Allah tidak pernah dapat diidentikan dngan suatu lembaga negara ataupun

dengan organisasi gereja di dunia ini. Bahkan Augustinus berpendapat, baik negara

surgawi maupun duniawi, keduaya tidak dapat diidentikkan dengan institusi dan

organisasi manusia manapun yang ada di dunia ini. Hal itu berarti, bahwa gereja

atau suatu institusi negara yang baik yang diperintah oleh penguasa yang ebragama

Kristen sekalipun, tidaklah sama dengan negara Allah, demikian pula negara yang

buruk yang diperintah oleh penguasa yang jahat tidaklah sama dengan negara

sekuler.119

3.4.2 Kehidupan dan Pemerintahan Negara Allah

3.4.2.1 Teokrasi

Negara surgawi yang diciptakan atas landasan kasih Allah dan yang penuh

dengan ketertiban, kebaikan, kebenaran, keadilan, ketaatan, kedamaian dan

keselamatan sesungguhnya dicipta, dibangun dan didirikan oleh Allah sendiri.

Negara ini diperintah oleh Allah yang telah menciptakan, membangun dan

118
Ibid.
119
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 321.

51

Universitas Sumatera Utara


mendirikannya. Allah adalah penguasa dan pemerintah. Ia menguasai dan

memerintah segala sesuatu yang diciptakanNya. Allah adalah Raja. 120 Bagi

Augustinus, Allah benar-benar layak menjadi Raja karena keagungan

keberadaanNyadan perbuatanNya yang ajaib serta kemuliaanNya yang abadi. Hal

itulah yang hendak diungkapkan oleh Augustinus di dalam De Civitate Dei, sejak

dari awal sampai akhir karya tulisnya.

Augustinus mengatakan bahwa Allah yang mencipta, membangun dan

mendirikan negara surgawi adalah Allah yang mahabijak, melampaui segala

kebijakan para raja atau filsuf, sebab kebodohan Allah jauh lebih bijak dari

kebijakan manusia yang paling bijaksana dan kelemahan Allah jauh lebih kuat

daripada kekuatan manusia yang paling kuat.121 Bahkan adapula yang mengatakan

bahwa kebijaksanaan (filsafat) itu sendiri adalah Allah, sehingga barangsiapa yang

mencintai kebijaksanaan, ia telah mencintai Allah.122 Augustinus menyebut bahwa

kebijaksanaan Allah sesungguhnya tidak terukur.

Kebijaksanaan adalah hal yang sangat penting bagi para penguasa. Bahkan,

menurut gagasan Plato, hanya para filsuf, yaitu mereka yang bijaksana yang layak

memerintah. Gagasan filsuf-raja dalam arti yang sesungguhnya perlu digenggam

seerat-eratnya apabila memang dikehendaki terciptanya suatu pemerintahan yang

benar-benar baik.

Kekuasaan merupakan suatu hal yang paling penting dan utama bagi suatu

pemerintahan. Tidak heran, apabila ada yang mengatakan bahwa pemerintahan

adalah sistem kekuasaan, bahkan ada pula yang mengidentikkan pemerintahan

120
Augustinus, Op Cit, 1. Pre.
121
Augustinus, Op Cit, X. hal 28.
122
Augustinus, Op Cit, VII. Hal 1.

52

Universitas Sumatera Utara


dengan kekuasaan itu sendiri. Allah menunjukkan bahwa Allah berada di atas

segala kekuasaan sebab Dia adalah Allah yang memiliki kekuasaan tertinggi.

Augustinus menyebutnya dengan “Ia patut disebut mahakuasa” sebab Dia mampu

dan bebas berbuat apa saja yang ia kehendaki. Keabadiaan kekuasaan Allah

merupakan jaminan yang paling sempurna dan terpercaya bagi kekekalan

pemerintahanNya.

Plato mengatakan bahwa yang layak menjadi penguasa negara adalah

mereka yang berpengetahuan, karena hanya mereka yang dapat

mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Dan menurut pandangan

Augustinus, hanya Allah lah yang memiliki pengetahuan yang sebenarnya karena

Allah Mahatahu. Penemuan-penemuan manusia mengenai pengetahuan akan

sesuatu, sesungguhnya telah diketahui Allah.

Kebaikan suatu pemerintahan terletak pada kesediaan pemerintahnya untuk

menjunjung dan mengabdi kebenaran. Pemerintah yang arif akan mengabdi

kebenaran dan kebenaran itu akan melahirkan keadilan. Menurut Augustinus, Allah

sangat menjunjung kebenaran sebab Dia adalah kebenaran. Barangsiapa

menyembah dan mengabdi Allah yang benar, ia telah menyembah dan mengabdi

kebenaran Allah. Kebenaran Allah akan senantiasa sejalan dengan keadilan, dan

itulah yang akan mewarnai pemerintahanNya. Oleh sebab itu, menurut Augustinus

hanya Allah kebenaran lah yang patut memerintah negara sorgawi.

St. Augustinus telah meletakkan landasan rasional bagi pemerintahan Allah

(Teokrasi), karena segala sesuatu diciptakan oleh Tuhandan berasal dari Tuhan,

maka rasio pun berasal dari Tuhan. Bahkan Tuhan adalah rasio yang paling

sempurna, yang tertinggi, yang utuh dan yang teratur yang oleh bangsa Yunani

53

Universitas Sumatera Utara


disebut Logos. Tuhan adalah asal dan akar dari rasinalitas manusia, yang membuat

manusia menyadari bahwa karena Tuhan adalah mahakuasa, mahatahu, mahabenar

dan mahaarif sehingga patut ditempatkan sebagai Penguasa Tertinggi. Inilah

bentuk pemerintahan yang paling baik menurut Augustinus.

3.4.2.2 Keadilan Sebagai Dasar Negara

Keadilan merupakan konsep sentral dalam Republik Plato, karena bagi

Plato, Negara adalah manusia (individu) dalam ukuran besar, maka itu berarti

bahwa ada keadilan dalam negara dan ada pula keadilan individual. Keadilan dalam

negara tercapai apabila ketiga kelas dalam negara dapat berfungsi sebagaimana

mestinya, yaitu jika pembagian kerja diatur sesuai dengan bakat, bidang keahlian

dan keterampilan setiap warga negara. Ini akan membuat negara makmur, kesatuan

dan keutuhan terpelihara dengan baik. Keadilan individual akan terwujud nyata

apabila ketiga bagian jiwa manusia dapat terpelihara keutuhannya lewat

penguasaan diri, yaitu jika bagian rasional dapat mengendalikan kedua bagian jiwa

lainnya, yaitu semangat atau keberanian dan keinginan atau nafsu. Jadi bagi Plato,

keadilan dalam negara hanya akan terwujud nyata apabila semua orang dalam

semua kelas memiliki hubungan yang harmonis, yang memungkinkan setiap orang

dan setiap kelas dalam negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Demikian

pula dengan keadilan indivual tercapai apabila bagian-bagian jiwa manusia itu

memiliki hubungan yang serasi.

Augustinus kemudian mentransformasikan gagasan Plato menjadi suatu

konsep religious. Bagi Augustinus, hakikat keadilan ialah adanya relasi yang tepat

dan benar antara manusia dengan Allah, yang mengakibatkan terciptanya hubungan

54

Universitas Sumatera Utara


yang tepat dan benar antar manusia. Keadilan ini adalah suatu hal yang paling

hakiki bagi Negara. Dia mengatakan bahwa kebenaran mengalir dari mata air

keadilan.123 Jadi, jika keadilan tidak ada, maka kebenaran pun tidak ada. 124 Jelas

terlihat betapa pentingnya keadilan itu bagi negara dan bagi individu. Menurut

Augustinus, keadilan adalah kebajikan yang paling pokok. Manusia tanpa keadilan

adalah manusia tanpa kebajikan. Negara atau kerajaan yang tidak didasarkan pada

keadilan tidak lebih dari gerombolan-gerombolan penyamun belaka. 125 Dengan

kata lian, negara hanya akan disebut negara apabila berlandaskan keadilan.

3.4.2.3 Kehidupan Warga Negara

Menurut Augustinus, awal kewarganegaraan sekuler ialah ketidakpatuhan

yang selanjutnya menjadi warna khusus yang paling dominan dalam kehidupan

warga negara duniawi. Sebaliknya, yang mewarnai kehidupan warga negara

sorgawi adalah kepatuhan. 126 Kepatuhan ini bukan hanya karena rasa takut,

melainkan kepatuhan yang timbul oleh karena kasih. Karena negara Allah dibangun

atas dasar kasih Allah.127 Kepatuhan ini adalah kepatuhan yang murni dan sejati

yang bertumbuh secara wajar dan tanpa paksaan. Kepatuhan ini akan

memanifestasikan dirinya dalam penghormatan kepada Allah, penghormatan akan

hukum dan ketetapan-ketetapan yang berlaku demi ketertiban dan keteraturan,

penghormatan kepada pimpinan dan penghargaan yang tulus terhadap sesama

123
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 21..
124
Ibid.
125
Augustinus, Op. Cit, IV, hal 4.
126
Augustinus, Op. Cit, XIII, hal 28.
127
Ibid.

55

Universitas Sumatera Utara


manusia, sehingga akan mendorong mereka untuk saling melayani satu sama

lainnya didalam kasih.

Kepatuhan dalam warga negara Allah bukan untuk mendapatkan

penghargaan Allah atau untuk memperoleh pujian dari manusia, bukan kepatuhan

yang dibuat-buat demi meraih kemuliaan sendiri, tetapi sebagai wujud pengabdian

diri bagi Tuhan. Warga negara Allah juga menyadari bahwa kepatuhan mereka

bukanlah kepatuhan yang didasarkan atas kearifan manusia, sebab tidak ada tempat

bagi kearifan manusia (human wisdom). Bagi Augustinus, kepatuhan yang tidak

didasarkan pada kearifan manusia semata-mata adalah suatu kehidupan yang penuh

dengan kesalehan (godliness).128

3.4.2.4 Kebebasan

Dalam hal tertentu, ada kemiripan antara gagasan kebebasan oleh

Aristoteles dengan gagasan kebebasan St. Augustinus, keduanya menghubungkan

kebebasan dengan kesamaan hak. Menurut Aristoteles, kebebasan dan kesamaan

hak hanya menjadi milik dari orang-orang yang berada di lapisan atas, sebab tidak

mungkin orang miskin dan yang tak terdidik yang harus bekerja keras untuk

mencari nafkah memiliki kebebasan. Bagi Aristoteles, hukum kodrat menunjukkan

bahwa yang rasional menguasai yang tidak rasional, akal budi menguasai tubuh,

pria menguasai wanita, yang baik menguasai yang buruk, manusia menguasai

hewan, pemerintah menguasai rakyatnya dan lain-lain.

128
Augustinus, Op. Cit, XIII, hal 28.

56

Universitas Sumatera Utara


Menurut Augustinus, segala makhluk ciptaan Tuhan memang terdiri dari

yang rasional dan yang tidak rasional. Makhluk rasional adalah manusia, sedangkan

makhluk lainnya tidak rasional. Makhluk rasional memang pantas menguasai

makhluk yang tidak rasional. Jika demi kepentingan bersama, ada orang-orang yang

dianggap menjadi pemimpin atau penguasa, dan mereka inilah yang harus

menghargai dan menghormati kebebasan yang dimiliki oleh sesama manusia.

Penguasa tidak boleh memperkosa kebebasan yang dimiliki oleh orang-orang yang

dipimpinnya. Sekalipun manusia memperoleh kekuasaan, itu bukanlah kekuasaan

yang tak terbatas dan diperoleh bukan berdasarkan diri sendiri, jadi harus

dipertanggungjawabkan kepada si pemberi kekuasaan itu. Demikian halnya dengan

kebebasan yang juga bukanlah kekebasan tak terbatas.129

3.4.2.5 Penguasa Selaku Pelayan dan Pengabdi

Plato menempatkan filsafat pengetahuan di tempat yang paling utama dan

paling mulia, karena ia yakin bahwa hanya filsafat/pengetahuan itu saja yang

sanggup menuntun manusia ke pengenalan yang benar akan segala sesuatu yang

ada dalam keberadaannya masing-masing. Karena itu, sudah selayaknya jika

pengetahuan itu menjadi sumber kekuasaan, dan ia menyebut bahwa pengetahuan

adalah kebebasan. 130 Lalu Aristoteles mengatakan bahwa Filsfata/pengetahuan

tidak pantas menjadi sumber kekuasaan, demikian juga dengan dewa-dewi, harta

milik atau kekayaan, kedudukan, pangkat dan jabatan, semuanya tidak pantas

menjadi sumber kekuasaan. Ia menganjurkan politeia (pemerintahan yang

berkonstitusi) sebagai bentuk pemerintahan yang paling realistisdan praktis,

129
Rapar, Op.Cit, hal 367-368.
130
Plato, Op. Cit, hal 335.

57

Universitas Sumatera Utara


sehingga ia mengatakan bahwa bagi setiap warga negara yang baik, hukum haruslah

memiliki kedaulatan dan kewibawaan tertinggi, jadi hukum menjadi sumber

kekuasaan.

Bagi Augustinus, kendatipun hukum dan pengetahuan itu amat berguna bagi

pemerintah dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, tapi itu tidak dapat

menjadi sumber kekuasaan. Dalam negara sorgawi, segala sesuatu harus terhubung

dengan sang Pencipta dan sang Raja. Penyelenggaraa kekuasaan tidak boleh

sewenang-wenang, sebab pemerintah negara sorgawi menyadari betul apa yang

harus ia perbuat atas kekuasaan yang diterimanya dari Tuhan. Dia tahu bahwa

warga negara yang dipercayakan kepadanya selama pengembaraan di dunia, harus

senantiasa dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang mengkehendaki damai

sejahtera abadi (eternal peace)131 bagi manusia dan seluruh ciptaanNya. Di negara

Sorgawi, penyelenggaraan kekuasaan berdasarkan hukum kasih, yang dilukiskan

Augustinus bagaikan hubungan yang terdapat dalam kehidupan keluarga orang

beriman, yaitu kesediaan untuk melayani dan memelihara seluruh isi keluarga.

3.4.2.6 Kebahagiaan Sejati Para Penguasa

Menurut Augustinus, kebahagiaan sejati para penguasa negara sorgawi

bukanlah karena pemberian yang mereka peroleh, seperti memerintah dalam waktu

yang lama, mati dalam damai sejahtera, memiliki putra-putra yang cakap untuk

menggantikan mereka atau karena mereka berhasil menaklukkan musuh-musuh

mereka. , tetapi kebahagiaan itu adalah apabila mereka dapat berbuat baik dan

dalam pemerintahan mereka, mereka senantiasa tahu memulikan Allah yang benar.

131
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 14.

58

Universitas Sumatera Utara


Sesungguhnya, kebahagiaan sejati para penguasa Negara Sorgawi terletak pada

pelayanan dan pengabdian mereka yang ebnar-benat terarah bagi hormat

kemuliaan Allah.

3.4.3 Pertumbuhan dan Perkembangan Negara Duniawi

Negara sekuler yang telah ada sejak penyelewengan beberapa malaikat,

mulai menampakkan karakter, sifat-sifat dan indentitasnya lewat Kain, manusia

pertama yang menajdi warga negara sekuler. Pembunuhan Habel menunjukkan

bagaimana sebenarnya karakter, sifat-sifat dan identitas negara duniawi itu dan

sejak itu negara duniawi bertumbuh dan berkembang dengan cepat. Kota yg

didirikan Kain dengan nama anaknya Henokh, menurut Augustinus mengatakan

bahwa itu berarti dedikasi, oleh Karen itu nama kota pertama dari negara duniawi

itu amat tepat, karena negara sekuler secara khusu dipersembahkan dan

didedikasikan bagi dunia ini, dunia tempat ia dibangun dan mengembangkan diri

dan dunia tempat ia memuaskan segala keinginannya, untuk mencapai tujuannya

serta untuk meraih cita-citanya.132

Pertumbuhan dan perkembangan negara duniawi tampak dengan jelas

dalam garis keturunan Kain. Apakah dengan berhentinya garis keturunan Kain

maka terhenti pulalah perkembangan dan pertumbuhan negara duniawi? Tidak,

Menurut Augustinus, negara duniawi yang hidup demi memuaskan hawa nafsu dan

keinginan jasmani takkan pernah terhenti hingga dunia ini berakhir. 133 Karena

132
Augustinus, Op. Cit, XV, hal 17.
133
Ibid.

59

Universitas Sumatera Utara


dimana saja ada orang yang hidup menurut kehendaknya sendiridan bukan menurut

kehendak Tuhan, maka disitu negara duniawi pun hadir.134

Negara sekuler terus berkembang dengan pesat menunjukkan bahwa

manusia semakin jauh meninggalkan Allah, Sang Pencipta. Kerajaan Assyria

adalah negara terbesar di masanya karena telah menaklukkan seluruh wilayah

Asia135, kemudian ada Sycon dan Mesir. Tatlaka para penguasa kekaisaran Romawi

berupaya menindas dan menghambat perkembangan agama Kristen lewat

penganiayaan yang begitu kejam terhadap orang-orang Kristen, maka semakin

tampaklah dengan sempurna wajah negara duniawi yang senantiasa memusuhi

kebenaran, keadilan dan kasih Allah. Dan memang, sejak semula Roma dibangun,

ia telah didirikan di atas dasar cinta manusia atau cinta diri, yang merupakan dasar

utama dari negara duniawi.

3.4.4 Masalah-Masalah Yang Melanda Negara Duniawi

a. Konflik dan Perdamaian

Hingga kini, kesan yang diperoleh dari uraian terdahulu mengenai negara

sekuler ialah bahwa negara duniawi itu semata-mata jahat tanpa kebaikan sama

sekali. Tak mungkin dapat ditemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam negara

itu. Sesungguhnya, menurut Augustinus, tidaklah demikian adanya. Augustinus

mengatakan bahwa negara duniawi pun mendambakan kebaikan, kedamaian dan

kebahagiaan. Oleh sebab itu, tak dapat dikatakan bahwa negara duniawi itu

mengkehendaki yang jahat. Augustinus berkata:

134
Ibid.
135
Augustinus, Op. Cit, XVIII, hal 2.

60

Universitas Sumatera Utara


…the things which this city desires cannot justly be said to be evil, for it is
itself, in its own kind, better than all other human good.136
…hal-hal yang diinginkan oleh negara ini tak tepat dikatakan jahat, karena
keinginan itu sendiri, menurut ukuran kebaikannya sendiri, lenih baik dari
segala kebajikan manusia yang lain.

Dengan demikian, pandangan Augustinus mengenai negara sekuler itu,

cukup objektif. Ia mengaku bahwa apa yang didambakan oleh engara duniawi itu,

sesungguhnya baik bagi manusia menurut ukuran yang dipakai oleh manusia itu

sendiri. Salah satu bukti kebaikan negara sekuler itu ialah hasratnya untuk

memperoleh damai. Dan bukankah damai itu sendiri merupakan sesuatu yang baik?

Namun Augustinus segera menandaskan pula bahwa damai yang didambakan oleh

negara sekuler adalah damai yang bersifat dunaiwi (eartly peace). Augustinus

berkata:

…it desires earthly peace for the sake of enjoying earthly goods…137
… ia mendambakan damai duniawi demi mereguk kenikmatan benda-benda
duniawi…

Menurut Augustinus, karena negara duniawi tidak kekal, maka dami

duniawi itu pun tidak abadi. Kenikmatan barang-barang duniawi yang tersaji lewat

damai duniawi di dalam negara sekuler hanya dapat direguk di dalam dunia yang

fana ini dan kegembiraan yang diperoleh pun hanya sejauh keriangan yangd apat

diberikan oleh barang-barang duniawi itu dalam keadaannya yang amat terbatas.

Karena itu Augustinus berkata:

…the earthly city, which shall not be everlasting (for it will no longer be a
city when it has been committed to extreme penalty), has its good in this
world and rejoices in it with such joy as such things can afford.138
…negara duniawi, yang takkan abadi itu (karena ia tak lagi menjadi sebuah
negara apabila ia telah menjalankan hukumannya yang dahsyat), meraih
kebaikannya di dunia ini dan bersukacita di dalamnya dengan keriangan
yang mampu dihasilkannya.
136
Augustinus, Op. Cit, XV, hal 4.
137
Ibid.
138
Ibid.

61

Universitas Sumatera Utara


Kendatipun Augustinus mengakui bahwa negara dunaiwi dapat juga

memberi kebaikan dan damai bagi para warganya, namun kenikmatan yang dapat

direguk lewat kebaikan dan dami itu, tidak abadi. Ketidakabadiaan kenikmatan

yang dapat direguk lewat kebaikan dan damai duniawi, bukan hanya sebatas usia

yangd apat dicapai oleh engara sekuler, tetapi juga ditentukan oleh berbagai

peristiwa yang terjadi di dalam negara duniawi itu sendiri. Dan peristiwa-peristiwa

yang terjadi di dalam negara duniawi itu disebabkan oleh banyak hal. Misalnya saja,

karena negara sekuler itu dibangun diatas dasar cinta-diri, maka demi kepentingan

diri sendiri, terpecah-belahlah negra duniawi itu dalam dirinya sendiri. Karena

masing-masing mencari keuntungan diri sendiri maka akan terjadilah tabrakan-

tabrakan kepentingan yang akan menimbulkan pertikaian dan permusuhan. Karena

keangkuhan yang dimiliki oleh semua pihak, mak akan terjadilah peperangan demi

menjaga superioritas masing-masing. Memang kecenderungan yang dimiliki oleh

negara dunaiwi itu ialah terpecah-pecah di dalam dirinya sendiri. Karena itu,

Augustinus mengatakan bahwa:

…this city is often divided against itself by litigations, wars, quarrels…139


…negara ini seringkali terbagimelawan dirinya sendiri oleh karena
penggugatan-penggugatan, peperangan-peperangan, pertikaian-
pertikaian…

Sesungguhnya, peristiwa-peristiwa serupa itulah yang membatasi

kenikmatan yang dapat direguk lewat kebaikan dan damai duniawi. Keadaan saling

menggugat-gugat, peperangan dan pertikaian terjadi hampir setiap saat dalam

139
Ibid.

62

Universitas Sumatera Utara


negara sekuler. Bahkan upaya untuk meraih damai pun begitu diwarnai dengan

berbagai peperangan.140 Augustinus berkata:

…it makes war in order to attain to this peace…141

…negara duniawi itu berperang agar dapat mencapai dami ini…


Sesungguhnya tiada damai yang langgeng di negar dunaiwi. Dan damai

yang sanggup dicapai pun senantiasa terancam oleh konflik. Karena pada saat dami

itu hendak dinikmati maka pada saat itu akan tampil suatu pihak yang beroposisi

yang jga merasa turut berkepentingan untuk menikmati damai duniawi itu. Padahal,

menurut Augustinus, damai duniawi itu serta kenikmatannya

…were too small to satisfy both.142


…terlampau kecil untuk memuaskan kedua belah pihak.

Jelas terlihat bahwa sesungguhnya negara duniawi itu senantiasa dipenuhi

oleh konflik. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa negara sekuler itu bereksistensi di

dalam konflik. Di dalam konflik ia lahir dan berkembang. Did alam konflik ia

bergulat untuk mencapai apa yang didambakannya. Di dalam konflik pula ia hendak

mereguk kenikmatan dari apa yang telah dicapainya, yaitu: damai duniawi. oleh

sebab itu, damai duniawi sesungguhnya hanyalah bayangan yang menggoda demi

melanggengkan konflik.143

b. Rakus akan kekuasaan

Negara duniawi yang didirikan di atas dasar cinta-diri, mengawali

penampakan dirinya di dunia ini dengan suatu peristiwa pembunuhan. Kain, bapa

140
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 327.
141
Augustinus, Loc.Cit. XV, hal 4.
142
Augustinus, Loc. Cit. XV, hal 4.
143
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 328.

63

Universitas Sumatera Utara


negara duniawi ini, membunuh adiknya Habel. Kain cemburu melihat persembahan

Habel diterima Tuhan, sedangkan persembahannya ditolak. Mengenai peristiwa

pembunuhan itu, Augustinus berkata:

…the founder of the earthly city was a fratricide. Overcome with envy, he
slew his own brother, a citizen of the eternal city, and a sojourner on
earth…144
…pendiri negara duniawi adalah seorang pembunuh saudara. Dikuasai oleh
rasa cemburu, ia membunuh adiknya sendiri, yang adalah seorang warga
negara abadi dan seorang musafir di dunia.

Peristiwa pembunuhan yang pertama merupakan suatu tindakan criminal

yang kemudia menjadi pola anutan bahkan yang begitu mewarnai kehidupan arga

negara duniawi. augustinus mengemukakan bahwa hal yang serupa terjadi pula di

awal sejarah Romawi; Remus dibunuh oleh Romulus. Pembangunan negara

Romawi amat mirip dengan pambangunan negara sekuler di dunia ini.

Perbedaannya adalah Kain adalah warga negara duniawi dan Habel yang dibunuh

oleh Kain adalah warga negara surgawi. Sedangkan Remus dan Romulus kedua-

duanya adalah warga negara duniawi. baik Remus maupun Romulus, keduanya

mendambakan kemuliaan bagi diri mereka sendiri. Keduanya ingin berkuasa di

negara Romawi. Nafsu untuk berkuasa yang begitu besar itulah yang mneyebabkan

yangs eorang terpaksa harus menyingkirkan yang lainnya, demi meraih kemuliaan

yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri.

Pada peristiwa pembunuhan Habel, hanya Kain yang mendambakan

kemuliaaan dan kehormatan bagi dirinya sendiri. Lewat peristiwa pembunuhan itu,

Kain hendak mendemonstrasikan kekuasaannya terhadap adiknya. Dengan

perbuatan itu, Kian hendak mengatakan bahwa dialah yang berkuasa terhadap

144
Augustinus, Loc. Cit, XV, hal 4.

64

Universitas Sumatera Utara


adiknya. Sadar atau tidak, ia telah mengungkapkan nafsu untuk berkuasa, namun

tidak begitu dengan adiknya Habel. Oleh sebab itu, kisah pembunuhan Habel

hendak menunjukkan pertentangan yang terdapat di antara negara duniawi dan

negara sorgawi. Negara duniawi senantiasa berupaya menyingkirkan dan

mematikan negara surgawi, agar ia dapat meraih segala-galanya bagi dirinya

sendiri.145 Dan adapun pembunuhan Remus oleh Romulus hendak menunjukkan

pertentangan dan permusuhan yang terjadi di negara duniawi itu sendiri.

Augustinus mengatakan:

The quarrel,…between Romulus and Remus shows how the earthly city is
devided against itself…146
Perselisihan…antara Romulus dan Remus menunjukkan bagaimana negara
duniawi itu terbagi-bagi dalam dirinya sendiri…

Pertentangan dan permusuhan yang senantiasa terjadi didalam negara

duniawi itu tak dapat dihentikan. Pihak-pihak yang bertikai mungkin dapat

diperdamaikan satu sama lainnya. Menurut Augustinus, hal itu akan berlangsung

terus demikian, karena tak satu pihak pun yang sudi membagi kemuliaan kekuasaan

pada pihak yang lain. Masing-masing ingin meraih kekuasaan yang sebesar-

besarnya bagi diri sendiri. Semua pihak rakus akan kekuasaan. Sekali mereka

mencicipi kenikmatan kekuasaan itu, merka semakin ingin menggenggamnya bagi

diri sendiri dan tak sudi melepaskan atau berbagi dengan orang lain. Itulah

kenyataan yang paling menonjol dalam negara sekuler.147

Berbagi kekuasaan berarti harus bersedia mengurangi kemuliaan kekuasaan

yang sedang digenggam. Tentulah hal itu sangat merugikan diri sendiri. Dan tak

145
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 328.
146
Augustinus, Op. Cit, XV, hal 5.
147
Augustinus, Op. Cit, XV,hal 5.

65

Universitas Sumatera Utara


seorang pun warga negara duniawi ingin dirugikan, cinta-diri mereka membuat

mereka selalu mengejar keuntungan terbesar bagi diri sendiri. Augustinus

mengatakan:

…he who wished to have the glory of ruling would certainly rule less if his
power were shared by a living consort.148
…ia yang berhasrat untuk meraih kemuliaan memerintah tentu saja hanya
kan berkuasa sedikit jika kekuasaan yang dimilikinya dibagi dengan
seorang rekan hidupnya.

Oleh sebab itu, agar seluruh kemuliaan kekuasaan itu dapat dinikmati

sendiri, maka semua saingan yang ada haruslah disingkirkan dan dilenyapkan.149

Cara yang demikian kadang-kadang berhasil juga dengan baik dan akibatnya adalah

negara duniawi itu berkembang sedemikian rupa dan negara Allah seolah-olah

terdesak dan semakin kecil. Namun bagi Augustinus, kendatipun negara duniawi

itu berada di puncak kejayaannya, tetapi tetap saja ia bermutu rendah (inferior),

sedangkan negara surgawi, kendatipun kelihatan seolah-olah semakin terdesak dan

kecil, tetapi tetap saja ia bermutu lebih tinggi dan lebih baik.150

c. Peperangan

Peperangan merupakan suatu hal yang tak asing bagi engara duniawi. tanpa

peperangan, negara duniawi seakan tidak memilki kebanggan. Oleh sebab itu,

peperangan bukan sesuatu hal yang harus diatasi, tapi harus ada demi kelanggengan

eksistensi negara sekuler itu sendiri. Mereka yang menginginkan kedamaian, harus

mendapatkan melalui pererangan, sebab damai hanya hadir saat perang telah usai.

Karena itu perang merupakan alat untuk menghadirkan damai. Augustinus

mengatakan:

148
Ibid.
149
Ibid.
150
Ibid

66

Universitas Sumatera Utara


…peace is the end sought for by war. For every man seeks peace by
wagging war…151
…damai adalah tujuan akhir yang hendak diraih oleh peperangan. Karena
setiap orang mencari damai lewat peperangan…

Sebagai alat, peperanagn bukan hanya untuk meraih damai, tetapi juga

untuk meraih hal-hal yang dikendaki, salah satunya persatuan dan kesatuan (unity).

Kendatipun manusia sudah tercerai berai, namun keinginan untuk bersatu tetap

terukir di hati manusia. Hambatan untuk bersatu bukan hanya karena perbedaan

bahasa, tapi juga motivasi yang melandasi keinginan itu telah berubah, bukan lagi

dalam bentuk persekutuan yang merasa sederajat tapi atas dasar keunggulan satu

dengan yang lainnya.persatuan dicapai dengan menaklukkan yang lain, dan kalau

berhasil, tampillah kerajaan-kerajaan besar yang merupakan hasil dari

penggabungan negara-negara taklukan melalui perang.152

Persatuan dan kesatuan yang dicapai dari halsi peperangan bersifat

sementara, dan sebenarnya hasil itu memadai disbanding dengan akibat-akibat

peperangan itu sendiri, karena itupun tidak sanggup mengakhiri segala

kesengsaraan manusia. Augustinus berkata:

…how many great wars, How much slaughter and bloodshed, have
provided this unity! And though these are past, the end of these miseries has
not yet come.153
…betapa banyaknya peperangan besar, betapa banyaknya pembantaian dan
pertumpahan darah, yang etlah menciptakan kesatuan ini! Dan kendatipun
semua ini telah berlalu, namun akhir dari segala kesengsaraan ini belum
juga tiba.

Bagi Augustinus, peperangan itu sendiri merupakan suatu malapetaka besar

bagi manusia, karena oleh peperangan itu, terjadilah pembantaian da penumpahan

darah antar sesama manusia.

151
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 12.
152
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 332-333.
153
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 7.

67

Universitas Sumatera Utara


d. Ketidakadilan Dalam Pengadilan

Kebenaran didalam negara sekuler yang dibangun atas dasar cinta-diri,

kebenaran yang sebenarnya telah tersembunyi oleh karena ulah para warga negara

yang secara sadar hendak mematikan kebenaran itu. Karena kebenaran telah

tersembunyi dan dipisahkan dari keadilan, maka lembaga-lembaga pengadilan yang

seyogianya menegakkan keadilan, telah dipenuhi oleh ketidakadilan. Akibata

tersembunyinya kebenaranm maka amat sukar bagi para hakim untuk menetapkan

keputusan pengadilan yang benar-benar adil. Karen apara hakim adalah manusia

biasa, yang tak mungkin sanggup menjenguk isi hati dari setiap orang yang tertuduh

yang harus diadilinya, maka ia pasti membuat banyak kekeliruan dalam

pelaksanaan tugas-tugasnya. Menurut Augustinus, pengadilan yang serupa:

Melancholy and lamentable judgments they are, since the judges are men
who cannot discern the consciences of those all their bar, and are therefore
frequently compelled to put innocent witnesses to the torture to ascertain
the truth regarding the crimes of other men.154
Kesemuanya adalah pengadilan-pengadilan yang menyedihkan dan yang
patut disesalkan, Karena para hakim adalah manusia-manusia yang tak
dapat melihat sampai ke dalam hati nurani manusia yang ada di hadapan
pengadilan mereka dan oleh sebab itu seringkai terpaksa mneyiksa saksi-
saksi yang tak bermasalah dmei memastikan kebenaran kesaksian mereka
mengenai kejahatan-kejatan orang lain.

Hakim juga kerap memperlakukan tertuduh dengan tidak adil, menganiaya

mereka agar hakim dapat mengetahui benar tidaknya tuduhan yang ditimpakan

kepada si tertuduh. Acapkali si tertuduh itu sebenarnya tidak bersalah apa-apa.

Augustinus berkata:

What shall I say of forture applied to the accused himself? He is tortured to


discover whether he is guilty, so that, though innocent, he suffers most
undoubted punishment for crime that is still doubtful, nt because it is proved

154
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 6.

68

Universitas Sumatera Utara


that he committed it, but because it is not ascertained that he did not commit
it.155
Apa yang hendak saya katakan mengenai penganiayaan yang dilakukan
terhadap si tertuduh itu sendiri? Ia disiksa untuk mengetahui apakah ia
bersalah,s ehingga kendatipun tak bersalah, ia telah menderita hukuman
yang begitu pasti bagi kejahatan yang masih diragukan, bukan karena dia
telah terbukti melakukannya, melainka karena tidak dapat dipastikan bahwa
ia tidka melakukannya. Dan yang lebih parah, kadang para tertuduh harus
mengakui melakukan kesalahan yang tidak pernah dilakukannya hanya
karena dia dianiaya oleh hakim, membuatnya di hukum mati, tanpa sang
hakim menyadari bahwa ia telah menghukum orang yang tak bersalah.156

e. Ketidakpatuhan

Menurut Augustinus, kehidupan amsyarakat negar sekuler acapkali begitu

porak poranda. Undang-undang dan beberapa peraturan yang dibuat untuk

mengatur dan menerbitkan kehidupan masyarakat terlalius erring dilanggar dan

tidak diacuhkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa undang-undang dan

peraturan-peraturan itu dibuat untuk dilanggar. Lembaga pengadilan dibentuk dan

hakim-hakim diangkat, justru menunjukkan adanya pelanggaran-pelanggaran yang

harus mendapatkan ganjaran hukuman yang adil demi menjaga ketertiban hidup

masyarakat.157

Para penguasa sering dibuat pusing oleh pemberontakan-pemberontakan

yang muncul dari mereka yang memaksa menyuarakan suara dan keinginan

mereka. Adapula pemberontakan yang ingin merebut kekuasaan agar mereka bebas

berbuat apa saja. Pemberontakan-pemberontakan ini menyebabkan kekacauan,

membuat masyarakat bingung dan tidak jarang membawa malapetaka besar bagi

manusia. Semua peristiwa ini terjadi karena ketidakpatuhan (disobedience).

155
Ibid.
156
J.H. Rapar, Op. Cit, hal 338.
157
Ibid.

69

Universitas Sumatera Utara


Menurut Augustinus ini bukan hal yang sepele, tapi merupakan dosa yang amat

serius bahkan amat menjijikkan:

…the disobedience of the first man was…detestable…158


…ketidakpatuhan manusia pertama itu… menjijikkan…
Menurut Augustinus, ketidakpatuhan telah menghancurkan dan

merusakkan segala-galanya, bukan hanya hubungan manusia dengan Allah,tetapi

juga hubungan manusia dengan sesamanya, lebih jauh akan mengarah kepada diri

sendiri. Augustinus menyebut:

For what else is man’s misery but his own disobedience to himself…159
Oleh sebab itu apa lagikah kesengsaraan manusia selain ketidakpatuhannya
sendiri terhadap dirinya sendiri…

f. Keangkuhan

Keangkuhan mengundang hadirnya berbagai persoalan dan permasalahan

didalam negara duniawi. keangkuhan menimbulkan pertengkaran, pertikaian,

permusuhan dan dalam ukuran yang besar akan menimbulkan peperangan.

Menurut Augustinus, keangkuhan adalah kehendak dan upaya untuk menutupi

kesalahan diri sendiri dengan mempermasalahkan orang lain.160 Jadi keangkuhan

adalah keinginan dan usaha untuk membenarkan diri lewat menimpakan kesalahan

kepada orang lain dan menurut Augustinus, keangkuhan ini adalah dosa yang

buruk, karena manusia yang kejahatan dan dosanya telah terungkap secara nyata,

masih tetap berupaya mencari dalih untuk menutupi kejahatan dan dosanya itu

dengan mempermasalahkan pihak lain. Augustinus mengatakan bahwa mereka

158
Augustinus, Op. Cit, XIV, hal 15.
159
Ibid.
160
Augustinus, Op.Cit, hal 14.

70

Universitas Sumatera Utara


yang melakukan pelanggaran itu harus tetap bertanggung-jawab sepenuhnya atas

segala perbuatan mereka.161

g. Perbudakan

Aristoteles berpendapat bahwa alam semesta (makro kosmos) dan manusia

(mikro kosmos) takluk di bawah hukum kodrat. Hukum kodrat yang bersangkut-

paut dengan kehidupan manusia, antara lain, yang rasional menguasai yang

irrasional, akal budi menguasai tubuh, pria menguasai wanita, yang baik menguasai

yang buruk, manusia menguasai hewan, pemerintah menguasai rakyat dan lain-lain.

Bertolak dari kenyataam bahwa ada manusia yang sanggup berpikir secara rasional

dan ada pula manusia yang hanya dapat mengandalkan kekuatan fisik tetapi tak

berakal budi, maka menurut Aristotele, selayaknyalah yang berakal budi itu

menguasai yang tak berakal budi, yakni mereka yang hanya dapat mengandalkan

kekuatan fisik belaka. Dan karean manusia telah dikodratkan untuk memerintah

atau diperintah,162 maka yang berakal budi itu pantas menjadi penguasa dan yang

tak berakal budi pantas menjadi yang dikuasai. Dengan kata lain ada yang

dikodratkan menjadi tuan dan ada yang menjadi budak. Jadi, menurut Aristoteles,

perbudakan adalah sesuai dengan kodrat manusia dan tetap harus dipertahankan.

Selain perbudakan karena kodrat, Aristoteles mengenal pula jenis

perbudakan yang lain yang disebutnya perbudakan legal. 163 Ini terjadi akibat

peperangan, dimana pihak yang menang perang memaksa pihak yang kalah

menjadi budaknya. Ini merupakan perbudakan karena paksaan jadi harus

161
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 343-345.
162
Aristoteles,The Politics, terjemahan T.A Sinclair, edisi revisi oleh Trevor J. Saunder,
Harmondsworth: Penguin, 1984, 1254a 17 f.
163
Ibid. Hal 1255a3 f.

71

Universitas Sumatera Utara


dihapuskan dan yang harus dipertahankan hanyalah perbudakan yang sesuai dengan

kodrat manusia. Namun, Augustinus tidak sependapat dengan Aristoteles. Baginya,

perbudakan bukanlah kodrat manusia tetapi akibat dari dosa manusia.164Apabila

manusia tidak terjerumus ke dalam dosa, perbudakan pun takkan pernah terjadi.

Augustinus mengatakan bahwa memang benar, sesuai tertib alam (order of nature),

yang berakal budi patut menguasai yang berakal budi, namun hal itu berlaku dalam

hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya dan tidak berlaku dalam

hubungan manusia dengan sesamanya. Manusia harus dapat melihat sesamanya

sama seperti dirinya sendiri.

Untuk membenarkan kebenaran pendapatnya, Augustinus menguraikan

tentang asal-usul ialah budak dalam bahasa Latin. Istilah budak itu dikenakan

kepada orang-orang yag sebenarnya telah terbunuh di dalam peperangan karena

berada di pihak yang kalah perang. Setiap peperangan menun jukkan adanya dosa.

Augustinus mengenal dua jenis perbudakan yang melanda negara duniawi. Yang

pertama adalah perbudakan akibat dosa yang nyata lewat hubungan antar manusia,

yang membuat manusia yang satu memperbudak manusia yang lain. Yang

memperbudak mengangkat diri sebagai tuan, dan yang siperbudak menjadi hamba.

Si hamba kehilangan segalanya, baik kebebasan, kepribadian, dan hak-haknya.

Yang kedua, akibat dosa yang nyata dalam hubungan manusia dnegan dirinya

sendiri, yaitu manusia diperbudak oleh dosa itu sendiri.

h. Penyembahan Dewa- Dewi Yang Tak Berdaya

164
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 15

72

Universitas Sumatera Utara


Warga negara duniawi tidak mengenal Allah yang benar, sehingga mereka

mengangkat allah-allah yang mati untuk dipuja dan disembah, yaitu dewa-dewi

dengan berbagai nama, serta berbagai rupa dan bentuk yang diukir oleh para

seniman mereka ke dalam beragam patung yang menjadi objek penyemabahan.

Dewa-dewi ini dijadikan tempat pengharapan mereka untuk melindungi mereka

dari berbagai mara bahaya dan melepaskan mereka dari tangan musuh bahkan

sanggup memebri kemenangan dalam berperang. Augustinus mengatakan bahwa

sesungguhnya dewa-dewi itu tak dapat berbuat sesuatu apapun juga. Hal itu terlihat

jelas dalam sejarah bangsa-bangsa yang menyembah dewa-dewi.

Sebagai contoh, Augustinus menunjuk kepada kejatuhan dan kehancuran

kota Troya yang merupakan asal nenek moyang orang Romawi. Aeneas sendiri

pernah berkata: “… para dewa taklukannya dengan tangan yang gemetar... 165 hal

itu menunjukkan jangankan melindungi manusia, melindungi diri sendiri pun sulit

dilakukan oleh para dewa. Augustinus mengatakan betapa tidak warasnya orang

yag memuja dan menyembah dewa-dewi, alangkah bodohnya mereka , seharusnya

mereka sadar bahwa dewa-dewi yang mereka sembah tak sanggup melakukan apa-

apa.

i. Kejahatan dan kekejaman

Tatkala Alarik, Raja Goth Barat menyerbu masuk dan menduduki kota

Roma, orang-orang kafir Romawi mengatakan beta jahat dan kejamnyaperbuatan

Alarik dan pasukannya, padahal Alarik adalah seorang raja yang Bergama Kristen.

Menurut Augustinus, apa yang diperbuat oleh Alarik dan pasukannya adalah sesuai

165
Augustinus, Op. Cit, hal 13.

73

Universitas Sumatera Utara


dengan hukum perang yang berlaku. Bahkan Alarik menunjukkan kemurahan hati

yang benar-benar kristiani. Gedung-gedung gereja serta semua orang yang

berlindung di dalamnya, tidak diganggu sedikitpun oleh Alarik dan pasukannya,166

bahkan yang berlindung pun ada yang buka orang Kristen tapi juga orang kafir.

Kemurahan hati yang didemonstrasikan oleh Alarik dan pasukannya, tak

mungkin dapat ditemukan di dalam negara duniawi, karena dalam setiap

peperangan, negara sekuler senantiasa diwarnai oleh kejahatan dan kekejaman yang

sedikitpun tak mengenal belas kasihan. Sebagai contoh beberapa tkh besar di

Romawi. Marcus Marcellus, tatakala menaklukkan kota pujaan, Syracuse. Dia

menghancurkan, memerintahkan pasukannya menyerang kota itu dan

membinasakan setiap orang, sesuai ketentuan perang, tanpa meluputkan seorang

pun. Fabius, penakluk kota Tarentum, bahkan mengolok-olok para dewa penduduk

Tarentum. Romulus pendiri kota Roma, dengan perbuatannya telah mewariskan

kekejaman dan kejahatan yang luasr biasa ketika membunuh Remus, saudaranya

sendiri, tanpa belas kasihan. Benarlah, bahwa dalam negara duniawi kekerasan dan

kejahatan justru dikagumi karena menunjukkan keberanian dan keperkasaan.167

3.4.5 Akhir Sejarah Negara Allah dan Negara Duniawi

Sejarah dunia ini akan mencapai satu titik yang akan mengakhiri periode

perkembangan negara dan yang juga akan mengakhiri masa pengembaraan negara

surgawi di dunia ini. Dengan kata lain, negara duniawi dan negara surgawi itu,tidak

akan abadi dalam cara beradanya seperti yang sekarang ini. Akhir dari cara yang

berada, tidak berarti akhir dari eksistensi atau keberadaan kedua negara itu sendiri.

166
Ibid, 1.7.
167
J.H. Rapar, Op. Cit, Hal 352-353.

74

Universitas Sumatera Utara


Akhir dari sejarah negara sekuler dan akhir dari masa pengembaraan negara

surgawi di dunia ini akan memiliki dampak tertentu bagi keberadaan hidup para

warga kedua negara itu. Hal itu rupanya begitu menarik perhatian Augustinus

sehingga dalam The Citu of God, ia membutuhkan empat buku (buku XIX-XXII)

untuk memaparkan pandangan dan keyakinannya.

Bagi para warga negara sekuler, Augustinus mengatakan bahwa di akhir

sejarahnya:

…they who do not belong to this city of God shall inherit eternal misery,
which is also called the second death, because the soul shall then be
separated from God its life, and therefor cannot be said to live, and the body
shall be subjected to eternal pains.168
...mereka yang bukan warga negara Allah akan mewarisi kesengsaraan
abadi, yang juga disebut sebagai kematian yang kedua, sebab jiwa akan
dipisahkan dari Allah kehidupannya dank arena itu tak dapat dikatakan
hidup dan tubuh akan menjalani penderitaan abadi.
Selanjutnya, Augustinus mengatakan bahwa kematian yang kedua itu,

keadaannya akan lebih hebat dan mengerikan, karena tidak ada lagi suatu kematian

yang lain yang akan mengakhiri keadaan itu. 169 Keadaan yang demikian itu

merupakan hukuman yang benar-benar setimpal terhadap orang-orang yang berbuat

jahat. Menurut Augustinus. Keabadian hukuman itu telah diramalkan oleh nabi-

nabi seperti yang tercantum dalam Kitab Suci. Augustinus mengatakan bahwa

itulah hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang hidup menurut keinginan

tubuh demi pemuasaan hawa nafsu. Sungguh suatu penderitaan abadi yang sangat

dahsyat dan mengerikan. Dan justru itulah pula akhir dari negara duniawi, negara

yang dibangun di atas dasar cinta-diri dan yang mengejar kemuliaan manusia.

168
Augustinus, Op. Cit, XIX, hal 28.
169
Ibid.

75

Universitas Sumatera Utara


Apabila akhir dari negara sekuler itu membawa penderitaan abadi yang

amat dahsyat dan sangat mengerikan bagi para warganya, maka sebaliknya, akhir

masa pengembaraan negara surgawi di dunia mengantar para warganya memasuki

suatu kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan

yang tiada berkesudahan yang melampaui segala kesengsaraan dan penderitaan

yang mereka alami selama pengembaraan di dunia ini. Pada akhir pengembaraan

negara Allah di dunia ini, ia akan memasuki masa yang gemilang, puncak kejayaan,

dan kemuliaan kekal. Pada masa itu, Allah, Raja dari negara Sorgawi itu akan

tinggal bersama dengan umatnya, menghapus setiap tetesan air mata umatnya dan

sejak saat itu tidak aka nada lagi kesusahan, tangisan ataupun penderitaan, karena

semuanya telah berlalu.170 Kerajaan Allah adalah kerajaan yang abadi. Betapa besar

dan sempurnya kebahagiaan yang dimiliki oleh warga negara surgawi. Augustinus

mengatakan bahwa mereka takkan dicemari lagi oleh noda kejahatan dan dosa.

Mereka takkan kekurangan kebaikan dan kebajikan. Semua itu dapat terjadi karena

Allah menjadi semua di dalam semua.171 “Segala pengalaman yang pahit dan getir

di masa silam telah terlupakan. Augustinus mengatakan itulah akhir yang tanpa

akhir”.172

170
Augustinus, Op. Cit, XX, hal 17.
171
Augustinus, Op. Cit, XXII, 30.
172
Ibid.

76

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Agustinus merupakan tokoh terbesar di antara para pemuka agama Kristen

sepanjang era Patristik. Ia bahkan merupakan salah satu tokoh terbesar dari seluruh

sejarah gereja Kristen. Pemikirannya memiliki pengaruh yang luas di kalangan

filsafat maupun teologi di Eropa pada masa itu. Bahkan, pemikirannya menguasai

pemikiran Kristiani hingga abad 13 (800 tahun). Santo Agustinus menempuh

banyak pengajaran dan pembelajaran. Agustinus melahirkan karya-karya, terutama

“Confessions” dan “City of God”, yang menjadi karya klasik dalam filsafat agama

dan doktrin Kristen.

Karya The City of God yang berisi pemikiran Augustinus mengenai Negara

dan kekuasaaan adalah sebuah produk interaksi-dialektis antara dirinya dengan

realitas sosio-politik yang mengitarinya. Karya ini merupakan respon kreatifnya

terhadap peristiwa-peristiwa nyata yang dihadapinya. Karya ini diselesaikan

Augustinus selama hampir lima belas tahun, terdiri dari dua puluh dua buku.

Sepuluh buku berisikan sanggahan dan jawaban terhadap pertanyaan sekitar

kehancuran Roma, sisanya dua belas buku mengenai manusia dan masyarakat.

Secara keseluruhan De Civitate Dei berisi pandangan Augustinus tentang asal

muasal masyarakat politik, hubungan pemerintahan sipil dengan hukum Tuhan,

hukum alam dan keadilan; persyaratan kualitas seorang penguasa negara dan kaum

77

Universitas Sumatera Utara


oposis penguasa tiran serta sikap orang-orang Kristen terhadap perbudakan dan

kemiskinan.

Bagi Santo Antonius, Monarki merupakan bentuk negara yang

menghormati Tuhan itu sendiri dengan cara menghormati representatif Tuhan yakni

Raja. Pernyataan ini berasal dari gagasan utama hasil pemikiran Santo Agustinus

yang kemudian berkembang menjadi dogma yang dipercayai, yakni bahwa

sejatinya negara yang berarti persekutuan sejumlah manusia itu digolongkan

menjadi 2 jenis, negara Allah atau negara Surga dan negara duniawi. Menurut Santo

Agustinus, negara Surga merupakan negara ideal dimana terdapat segalanya yang

baik dan tidak ada dosa dan kejahatan. Sebaliknya, negara duniawi adalah tempat

keegoisan dan keculasan merajalela. Negara Surga yang disebut oleh Santo

Agustinus ini kemudian sesungguhnya menunjukkan wujud ideal surga itu sendiri,

yakni tempat segala kebaikan tanpa sedikitpun kejahatan. Santo Agustinus yang

juga pengagum Plato mengatakan bahwa negara Surga inilah yang oleh Plato

dijelaskan sebagai suatu tempat bersekutu atau berkumpul atau bermasyarakat yang

ideal. Sementara negara duniawi, oleh Santo Agustinus digambarkan dengan

keadaan dunia saat itu, yang penuh kejahatan dan cenderung nampak kelam.

Menurut Santo Agustinus juga, kedua negara ini ia percaya ada dan eksis,

bahkan hidup berdampingan dan susah dipisahkan. Namun meskipun Santo

Agustinus pemikiran sangat dipengaruhi oleh Filsafat Kristen, bukan berarti yang

dimaksud negara surgawi oleh Agustinus adalah bentuk kepemerintahan agama

Kristen atau Keuskupan, namun lebih tepat jika pengertian dari negara surgawi

merupakan bentuk normatif abstrak atau ways of life dimana dalam menjalankan

kepemerintahan harus melakukan suatu Prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip

78

Universitas Sumatera Utara


tersebut adalah; kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang

terpuji, keindahan dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan negara sekuler

merupakan suatu kondisi dimana setiap manusia yang terefleksi pada pemerintahan

diwarnai dengan dosa, keangkuhan, dan cinta yang egois. Hal tersebut berarti

mencerminkan bahwa pada bentuk pemerintahan yang seharusnya menjunjung

nilai-nilai keTuhanan pada masing-masing agama, dapat dilihat dari kutipan buku

The City of God dalam Filsafat Politik Agustinus yang ditulis Rapar yaitu : “Negara

Allah, penuh dengan kebaikan karena ia diciptakan diatas landasan kasih Allah.

Kasih Allah itulah pula yang menghadirkan ketertiban dan keadilan abadi oleh si

Penciptanya sendiri. Allah adalah Raja dalam kerajaanNya yang meliputi segala

sesuatu itu”

4.2 Saran

1. Keadilan yang menjadi landasan dasar dalam negara Allah menurut St.

Augustinus perlu diterapkan di negara-negara yang masih bersifat otoriter.

2. Kehidupan dalam berbangsa dan bernegara baik oleh pemerintah dan juga

rakyatnya perlu belajar dari kekuasaan pemerintah di negara Allah, yaitu

pemerintah yang bersifat melayani rakyatnya, bukan mendominasi

rakyatnya.

3. Segala keputusan tentang hidup berbangsa dan bernegara memang harus

dibicarakan bersama supaya hak-hak setiap orang tersalurkan.

4. Kalangan akademisi harus kritis terhadap setiap kondisi yang terjadi di

tengah-tengah bangsa dan Negara.

79

Universitas Sumatera Utara


5. Orang-orang yang memiliki wawasan yang luas terhadap ilmu-ilmu penting

yang berkaitan dengan negara sangat perlu untuk terlibat dalam bidang

politik bangsa dan negara.

6. Dalam menentukan siapa yang akan memimpin Negara maka sangat perlu

diperhatikan setiap bidang kehidupan dari calon pemimpin, baik dari segi

intelektual, moral, dan spritualitasnya.

80

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Ahmadi, 1975, Muhammad Munawar, Prinsip-Prinsip Metodologi Penelitian,


Yogyakarta: Sumbangsih.

Aristoteles, 2007, Politik (La Politica), Jakarta: Visi Media.

Aristoteles, 1984, The Politics, terjemahan T.A Sinclair, edisi revisi oleh Trevor J.
Saunder, Harmondsworth: Penguin.

Augustinus, 2009, The City of God, V, terjemahan Marcus Dods, D.D, USA:
Hendrickson Publishers. Inc.

Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik,Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama.

Harold J.Laski, 1964, Pengantar Ilmu Politik, terjemahan Toto Sudarto Bachtiar,
Djakarta: PT Pembangunan.

Kencana , Inu, 2010, Ilmu Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2000, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama.

Lubis, M.Solly, 1981, Ilmu Negara, Bandung: Alumni.

Manheim, Karl, 1991, Ideology dan Utopia: Menyingkap kaitan Pikiran dan
Politik, Yogyakarta: Kanisius.

Markoff , John, 2002, Gelombang Demokrat Dunia: Gerakan Sosial dan


Perubahan Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mr. Soenarko, 1951, Susunan Negara Kita I, Jakarta: Djambatan.

Nisbet, Robert, 1983, The Social Philosopher Community and Conflict in Western
Thought, New York: Washington Square Press.

M. Hutauruk, S.H, 1983, Azas-Azas Ilmu Negara, Jakarta: Erlangga.

Noer, Deliar, 1997, Pemikiran Politik Barat, Bandung: Mizan.

Plato, 1970, The Complete Texts of Great Dialogues of Plato, terjemahan W.H.D.
Rouse, New York: New American Library.

Putra , Anom Surya, 2001, Agamaku Terbang Tinggi,Surabaya: Inspirasi.

81

Universitas Sumatera Utara


Rapar, J.H, 2002, “Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli”.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Rohman , Arif, 2009, Politik, ideology, Pendidikan, Yogyakarta: Laksbang


Mediatama.

Russel, Bertrand, 1945,History of Western Philosopy, London: George Allend &


Unwin Ltd.

Ryrie , Charles C, 1991, Teologi dasar 1, Yogyakarta: ANDI.

Samidjo, S.H, 2002, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico.

Satriawan , M. Iwan dan Siti Khoiriah, 2016, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers.

Sharma, 1982Western Political Thoought, (Plato to Hugo Grotius), New Delhi:


Sterling Private Limited.

Situmorang , Victor, S.H, 1987, Intisari Ilmu Negara, Jakarta: Bina aksara.

Suhelmi , Ahmad, 2001, Pemikiran Politi Barat, Jakarta: Gramedia.

Suprapto, 1981, Metode Riset dan Aplikasinya dalam Pemasaran. Jakarta: Bhineka
Cipta.

Suseno , Magnis, 1991, Etika Politik; Prinsip-Pronsip Moral dasar Kenegaraan


Modern, Jakarta: Gramedia.

Syam, Firdaus, 2007, Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara.

E. Utrecht, 1959, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cetakan VI, Jakarta: PT


Ichtiar Baru.

Wardaya, Baksara T, 2007, Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto, Jakarta: Galang


Press.

Sumber Internet

http://google.com/pengertian negara, diakses pada tanggal 19 Juli 2018


roman-empire.net, 2018
https://m.wikipedia.org>wiki>Patristi

82

Universitas Sumatera Utara


Sumber Skripsi

Ginting, Mburak Perianta, 2009, Negara Dan Agama Menurut Pemikiran Santo
Augustinus, Skripsi, Universitas Sumatera Utara.
Naufal, Muhammad Fauzan, 2017, Hubungan Agama Dan Negara Dalam
Pemikiran Politik Islam Di Indonesia, Skripsi, Universitas Negeri Islam
Raden Intan Lampung.

83

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai