Anda di halaman 1dari 58

ASKEP KRITIS TRAUMA ABDOMEN, KETOASIDOSIS DIABETIK

(KAD), KRISIS THYOROID.

KELOMPOK 8 :

1. NI LUH LINDA AYUNI TANIA (17089014108)

2. I DEWA GEDE VEGA MAHADEWA (17089014092)

3. LUH RINA SONIA (17089014074)

4 PUTU KUSLITA DEWI (17089014105)

5. FAHMI FERDINAN FAUZAN (17089014109)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

i
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat,
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Askep kritis trauma abdomen,
ketoasidosis diabetic (KAD), krisis thyoroid.Makalah ini penulis susun, untuk menyelesaikan
tugas kelompok dari mata kuliah keperawatangawat darurat.

Dalam penyusunan makalah ini terdapat dukungan dari anggota kelompok, untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada anggota kelompok yang telah berkontribusi dan
menyumbangkan ide-idenya sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik dan tepat waktu.

Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan para
pembaca mengenai Askep kritis trauma abdomen, ketoasidosis diabetic (KAD), krisis
thyoroid.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan kritik, saran ataupun pertanyaan yang dapat membangun makalah ini, serta
penulis dapat membuat makalah di masa mendatang dengan lebih baik lagi.

Singaraja, 19 maret 2020

Penulis,

ii
DAFTAR ISI

COVER..................................................................................................................... i

KATA PENGGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
1.3 Tujuan............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3

2.1 Teori Trauma Abdomen................................................................................ 3

2.2 Teori Asuhan Keperawatan Ketoasidosis Diabetik (KAD).......................... 12

2.3 TeoriAsuhan Keperawatan Krisis Thyoroid.................................................. 22

BAB III Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Ketoasidosis Diabetik (KAD) 35

3.1 Pengkajian............................................................................................................ 35

3.2 Analisa Data......................................................................................................... 43

3.3 Diagnosa............................................................................................................... 43

3.4 Rencana Keperawatan.......................................................................................... 44

BAB IV PENUTUP.................................................................................................. 11

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................... 34

3.2 Saran..................................................................................................................... 34

iii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 35

iv
DAFTAR TABEL

1.1 Tabel analisa data................................................................................................. 43


1.2 Tabel rencana keperawatan.................................................................................. 44

v
DAFTAR GAMBAR

1.1 Gambar trauma abdomen..................................................................................... 50

vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik
dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah yang
berbeda: pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua berasal dari kritik sastra, di mana
digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang
didasarkan atas kritik; dengan demikian, teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis
adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka.
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School,
yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl
Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk
pembebasan manusia.Teori Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima
tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter
Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György
Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen
Habermas.Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoretis dalam idealisme Jerman,
dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika.Kepedulian terhadap "dasar dan
suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori
kritis kontemporer.
Sementara teori kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,
kecenderungan mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan
analisis Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan tuduhan
revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh filsuf Marxis Leninis.
Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis paling baik dipahami dengan
tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu atau ideologi tertentu, tetapi sebagai pengganggu
dari sistem lain

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Teori Trauma Abdomen?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Ketoasidosis Diabetik (KAD) ?
3. Bagaimana Asuhan Keperawatan Krisis Thyoroid ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui Teori Trauma Abdomen
2. Mengetahui Asuhan Keperawatan Ketoasidosis Diabetik (KAD)
3. Mengetahui Asuhan Keperawatan Krisis Thyoroid

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Trauma Abdomen
1. Definisi
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang
mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati,
pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh
darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia,
13 Juli 2000)
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus
serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).(Hidayati, 2019)
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan
dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
Trauma Abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi
dan gangguan faal berbagai organ (Sjamsuhidayat, 1997).

2. Etiologi
Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.
Menurut sjamsuhidayat, penyebab trauma abdomen adalah, sebagai berikut :
1. Penyebab trauma penetrasi
·         Luka akibat terkena tembakan
·         Luka akibat tikaman benda tajam
·         Luka akibat tusukan
2. Penyebab trauma non-penetrasi
·         Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh
·         Hancur (tertabrak mobil)
·         Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut
·         Cidera akselerasi / deserasi karena kecelakaan olah raga

3
3. Klasifikasi
Trauma pada dinding abdomen terdiri dari :
1.      Kontusio dinding abdomen
Disebabkan trauma non-penetrasi.Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra
abdomen, kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan lunak
dan masa darah dapat menyerupai tumor.
2.      Laserasi
Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga abdomen harus di
eksplorasi.Atau terjadi karena trauma penetrasi.Trauma Abdomen adalah terjadinya atau
kerusakan pada organ abdomen yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga
terjadi gangguan metabolisme, kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.
Trauma abdomen pada isi abdomen, menurut Suddarth& Brunner (2002) terdiri dari:
1)      Perforasi organ viseral intraperitoneum
Cedera pada isi abdomen mungkin di sertai oleh bukti adanya cedera pada dinding
abdomen.(INDRIYANI et al., 2020)
2)      Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen
Luka tusuk pada abdomen dapat menguji kemampuan diagnostik ahli bedah.
3)      Cedera thorak abdomen
Setiap luka pada thoraks yang mungkin menembus sayap kiri diafragma, atau sayap
kanan dan hati harus dieksplorasi

4. Patofisiologi
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas,
penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma
merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan
tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk)
untuk menahan tubuh.(INDRIYANI et al., 2020)(Hidayati, 2019) Pada tempat benturan karena
terjadinya perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan.
Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga
tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh.Elastisitas adalah kemampuan
jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya.Viskositas adalah kemampuan jaringan

4
untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan
tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada
seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang
harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan
benturan.(Sander, 2018) Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan
beberapa mekanisme :
 Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
 Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks
 Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler

5
PATHWAY
Trauma
(kecelakaan)

Penetrasi & Non-Penetrasi

Terjadi perforasi lapisan abdomen
(kontusio, laserasi, jejas, hematom)

Menekan saraf peritonitis

Terjadi perdarahan jar.lunak dan rongga abdomen → Nyeri

Motilitas usus

Disfungsi usus → Resiko infeksi

Refluks usus output cairan berlebih

Gangguan cairan Nutrisi kurang dari


dan eloktrolit kebutuhan tubuh

Kelemahan fisik

Gangguan mobilitas fisik

(Sumber : Mansjoer,2001)

6
5. Manifestasi Klinis
Kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis menurut
Sjamsuhidayat (1997), meliputi: nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen,
demam, anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh, nyeri spontan.
Pada trauma non-penetrasi (tumpul) biasanya terdapat adanya:
 Jejas atau ruftur dibagian dalam abdomen
 Terjadi perdarahan intra abdominal.
 Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga fungsi usus tidak
normal dan biasanya akan mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan
BAB hitam (melena).
 Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.
 Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio pada dinding abdomen.
Pada trauma penetrasi biasanya terdapat :
 Terdapat luka robekan pada abdomen
 Luka tusuk sampai menembus abdomen.
 Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak perdarahan/memperparah
keadaan.
 Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam andomen
Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :
1. Nyeri, Nyeri dapat terjadi mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri
dapat timbul di bagian yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan
dan nyeri lepas.
2. Darah dan cairan, Adanya penumpukan darah atau cairan dirongga
peritonium yang disebabkan oleh iritasi.
3. Cairan atau udara dibawah diafragma ,Nyeri disebelah kiri yang disebabkan
oleh perdarahan limpa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi rekum
4. Mual dan muntah
5. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah) Yang disebabkan oleh
kehilangan darah dan tanda-tanda awal shock hemoragi

7
6 Komplikasi
Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).

7 Penatalaksanaan
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto thoraks
Untuk melihat adanya trauma pada thorak.
2. Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus
menerus.Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit.Pemeriksaan leukosit yang melebihi
20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak
kemungkinan ruptura lienalis.Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan
adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus.Kenaikan transaminase menunjukkan
kemungkinan trauma pada hepar.(Takaendengan et al., 2016)
3. Plain abdomen foto tegak
Memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperineal dekat
duodenum, corpus alineum dan perubahan gambaran usus.
4. Pemeriksaan urine rutin
Menunjukkan adanya trauma pada saluran kemih bila dijumpai hematuri.Urine yang
jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital.
5.   VP (Intravenous Pyelogram)
Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal.
6. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Dapat membantu menemukan adanya darah atau cairan usus dalam rongga
perut.Hasilnya dapat amat membantu.Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada keraguan,
kerjakan laparatomi (gold standard)
1. Indikasi untuk melakukan DPL adalah sebagai berikut :
- Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya
- Trauma pada bagian bawah dari dada
- Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas

8
- Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat, alkohol, cedera otak)
- Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
- Patah tulang pelvis
2. Kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah sebagai berikut :
- Hamil
- Pernah operasi abdominal
- Operator tidak berpengalaman
7. Ultrasonografi dan CT Scan
Sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan
adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum.
- Penatalaksanaan Medis :
1. Abdominal paracentesis
Menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritonium, merupakan indikasi
untuk laparotomi.
2. Pemeriksaan laparoskopi
Mengetahui secara langsung penyebab abdomen akut.
3. Pemasangan NGT
Memeriksa cairan yang keluar dari lambung pada trauma abdomen
4. Pemberian antibiotic
Mencegah infeksi.
5.   Laparotomi
- Penatalaksanaan Keperawatan
1. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai
indikasi.
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat
menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan
menimbulkan hemoragi masif.
a. Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
b.    Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan
c. Gunting baju dari luka.
d. Hitung jumlah luka.

9
e. Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
3.   Kaji tanda dan gejala hemoragi
4. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
5. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi
luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan
mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
6. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah
untuk mencegah kekeringan visera.
7. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria
dan pantau haluaran urine.
8. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan
darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.

8 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat
Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas,
Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseim Bangan cedera (trauma)
2. Sirkulasi
Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), polanapas (hipoventilasi, hiperventilasi,
dll).
3. Integritas ego
Data Subyektif : Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau dramatis)
Data Obyektif : Cemas, Bingung, Depresi.
4. Eliminasi
Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.
5. Makanan dan cairan
Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan Selera makan.
Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen.
6. Neurosensori.
Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo

10
Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,Kesulitan
dalam menentukan posisi tubuh.
7. Nyeri dan kenyamanan
Data Subyektif : Sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama.
Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih.
8. Pernafasan
Data Subyektif : Perubahan pola nafas.
9. Keamanan
Data Subyektif : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan.
Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif, gangguan rentang gerak.

B. Diagnosa Keperawatan
a) Defisit volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan perdarahan
b) Nyeri akut berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi
abdomen
c) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak adekuatnya
pertahanan tubuh
d) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan
e) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik

11
2.2 Asuhan Keperawatan Ketoasidosis Diabetik (KAD)
1. Definisi
Diabetes ketoasidosis adalah suatu kondisi dimana terjadi akibat adanya
defisiensi insulin yang bersifat absolute dan terjadinya peningkatan kadar
hormone yang berlawanan dengan isulin. (Wijaya, 2013, hal. 13)
Diabetik ketoasidosis adalah keadaan kegawat daruratan atau akut dari
diabetes tipe 1, yang di sebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh benda-
benda keton akibat kekurangan atau defisiensi insulin.KAD di karakteristikkan
dengan hiperglikemia, asidosis metanolik, dan keton sebagai akibat
kekurangannya insulin. (Krisanty, 2009, hal. 137)
Jadi Ketoasidosis Diabetik adalah suatu kondisi gawat di mana terjadi
akibat adanya defisiensi insulin yang bersifat absolut atau kekurangan insulin dan
menimbulkan meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton.

2. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali.Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus.Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam
pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Tidak adanya insulin atau
tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :
1) Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
2) Keadaan sakit atau infeksi
3) Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan
tidak diobati
Beberapa penyebab terjadinya KAD adalah:
1) Infeksi : pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis. diketahui bahwa
jumlah sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi yang mendasari
infeksi.
2) Ketidakpatuhan: karena ketidakpatuhan dalam dosis
3) Pengobatan: onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat

12
4) Kardiovaskuler : infark miokardium
5) Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, kehamilan, pengobatan
kortikosteroid and adrenergik.
(Samijean Nordmark,2008)

3. Patofisiologi
Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena
dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan
terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam
sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya
terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri
suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat
infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan
sebagainya.
Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan
ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun
kehilangan insulin.Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada
ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak
langsung dari kekurangan insulin. Menurunnya transport glukosa kedalam
jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan
glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam
asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton,
menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit
seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi
terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat
menimbulkan syok hipovolemik.
Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh
peningkatan derajat ventilasi (pernafasan Kussmaul).
Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan
air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian

13
dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk
membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan
berkurang juga .(Yati & Tridjaja, 2017)
Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua
faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan
glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa
bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik
yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi
dan kehilangan elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat
kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium
serta klorida selama periode waktu 24 jam.Akibat defisiensi insulin yang lain
adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol.
Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis
diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari
kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan
tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah,
badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik. (Lihat Pathway KAD)

4. Klasifikasi
Untuk kepentingan tata laksana, KAD diklasifikasikan berdasarkan derajat
beratnya asidosis dan dibagi menjadi:
• KAD ringan : pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
• KAD sedang : pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
• KAD berat : pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L

5. Manifestasi Klinis
Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat badan.
• Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi.
• Mual, muntah, nyeri perut, takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun, dan syok.

14
• Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung
sampai koma.
• Pola napas Kussmaul.

6. Komplikasi
Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:
1. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )
Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini.Bila
penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat
protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah.
Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan
gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa
menimbulkan gagal jantung kongesif.
2. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )
Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa
mata.Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan.
3. Syaraf ( Neuropati Diabetik )
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa
stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan
(mati rasa).
4. Kelainan Jantung.
Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya
aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai
komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut,
maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri.Ini merupakan penyebab
kematian mendadak.
5. Hipoglikemia.
Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan
kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera.
Keterlambatan dapat menyebabkan kematian.Gejala yang timbul mulai dari rasa
gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.

15
6. Hipertensi.
Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal
penderita diabetes harus bekerja ekstra berat.Selain itu tingkat kekentalan darah
pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan
pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan
mengirimkan signal ke otak untuk menambah tekanan darah.

7. Penatalaksanaan
PEMERIKSAAN PENUNJANG KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)
a) Pemeriksaan Laboratorium
1. Glukosa.
Kadar glukosa dapat bervariasi dari 300 hingga 800 mg/dl. Sebagian
pasien mungkin memperlihatkan kadar gula darah yang lebih rendah dan
sebagian lainnya mungkin memiliki kadar sampai setinggi 1000 mg/dl
atau lebih yang biasanya bergantung pada derajat dehidrasi. Harus
disadari bahwa ketoasidosis diabetik tidak selalu berhubungan dengan
kadar glukosa darah. Sebagian pasien dapat mengalami asidosis berat
disertai kadar glukosa yang berkisar dari 100 – 200 mg/dl, sementara
sebagian lainnya mungkin tidak memperlihatkan ketoasidosis diabetikum
sekalipun kadar glukosa darahnya mencapai 400-500 mg/dl.
2. Natrium.
Efek hiperglikemia ekstravaskuler bergerak air ke ruang
intravaskuler. Untuk setiap 100 mg / dL glukosa lebih dari 100 mg / dL,
tingkat natrium serum diturunkan oleh sekitar 1,6 mEq / L. Bila kadar
glukosa turun, tingkat natrium serum meningkat dengan jumlah yang
sesuai.
3. Kalium.
Ini perlu diperiksa sering, sebagai nilai-nilai drop sangat cepat
dengan perawatan.EKG dapat digunakan untuk menilai efek jantung
ekstrem di tingkat potasium.
4. Bikarbonat.

16
Kadar bikarbonat serum adalah rendah, yaitu 0- 15 mEq/L dan pH
yang rendah (6,8-7,3). Tingkat pCO2 yang rendah ( 10- 30 mmHg)
mencerminkan kompensasi respiratorik (pernapasan kussmaul) terhadap
asidosisi metabolik. Akumulasi badan keton (yang mencetuskan asidosis)
dicerminkan oleh hasil pengukuran keton dalam darah dan urin.Gunakan
tingkat ini dalam hubungannya dengan kesenjangan anion untuk menilai
derajat asidosis.
5. Sel darah lengkap (CBC).
Tinggi sel darah putih (WBC) menghitung (> 15 X 109 / L) atau
ditandai pergeseran kiri mungkin menyarankan mendasari infeksi.
6. Gas darah arteri (AGD)
pH sering <7.3. Vena pH dapat digunakan untuk mengulang pH
measurements. Brandenburg dan Dire menemukan bahwa pH pada
tingkat gas darah vena pada pasien dengan KAD adalah lebih rendah dari
pH 0,03 pada AGD.
7. Keton.
Diagnosis memadai ketonuria memerlukan fungsi ginjal.Selain itu,
ketonuria dapat berlangsung lebih lama dari asidosis jaringan yang
mendasarinya.
8. ß-hidroksibutirat.
Serum atau hidroksibutirat ß kapiler dapat digunakan untuk
mengikuti respons terhadap pengobatan. Tingkat yang lebih besar dari
0,5 mmol / L dianggap normal, dan tingkat dari 3 mmol / L berkorelasi
dengan kebutuhan untuk ketoasidosis diabetik (KAD).
9. Urinalisis (UA)
Cari glikosuria dan urin ketosis.Hal ini digunakan untuk mendeteksi
infeksi saluran kencing yang mendasari.
10. Osmolalitas
Diukur sebagai 2 (Na +) (mEq / L) + glukosa (mg / dL) / 18 + BUN
(mg / dL) / 2.8. Pasien dengan diabetes ketoasidosis yang berada dalam
keadaan koma biasanya memiliki osmolalitis > 330 mOsm / kg H2O.Jika

17
osmolalitas kurang dari > 330 mOsm / kg H2O ini, maka pasien jatuh
pada kondisi koma.
11. Fosfor
Jika pasien berisiko hipofosfatemia (misalnya, status gizi buruk,
alkoholisme kronis), maka tingkat fosfor serum harus ditentukan.
12. Tingkat BUN meningkat.
Anion gap yang lebih tinggi dari biasanya.
13. Kadar kreatinin
Kenaikan kadar kreatinin, urea nitrogen darah (BUN) dan Hb juga
dapat terjadi pada dehidrasi. Setelah terapi rehidrasi dilakukan, kenaikan
kadar kreatinin dan BUN serum yang terus berlanjut akan dijumpai pada
pasien yang mengalami insufisiensi renal.
b) Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk ketoasidosis diabetik dapat dilakukan
dengan cara:
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari
200mg/dl). Biasanya tes ini dianjurkan untuk pasien yang
menunjukkan kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat
menandakan ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan
propensitas pada terjadinya aterosklerosis.
6) Aseton plasma: Positif secara mencolok
7) As. Lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meninggkat
8) Elektrolit: Na normal/menurun; K normal/meningkat serum
Fosfor turun
9) Hemoglobin glikosilat: Meningkat 2-4 kali normal
10) Gas Darah Arteri: pH rendah, penurunan HCO3
(asidosismetabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik

18
11) Trombosit darah: Ht mungkin meningkat, leukositosis,
hemokonsentrasi
12) Ureum/creatinin: meningkat/normal
13) Amilase darah: meningkat mengindikasikan pancreatitis akut
c. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan :
1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi),
2. Menghentikan ketogenesis (insulin),
3. Koreksi gangguan elektrolit,
4. Mencegah komplikasi,
5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.
Airway dan Breathing
Oksigenasi / ventilasi
Jalan napas dan pernapasan tetap prioritas utama.Jika pasien dengan kesadaran /
koma (GCS <8) mempertimbangkan intubasi dan ventilasi.Pada pasien tsb
sementara saluran napas dapat dipertahankan oleh penyisipan Guedel's saluran
napas.Pasang oksigen melalui masker Hudson atau non-rebreather masker jika
ditunjukkan.Masukkan tabung nasogastrik dan biarkan drainase jika pasien
muntah atau jika pasien telah muntah berulang.Airway, pernafasan dan tingkat
kesadaran harus dimonitor di semua treatment DKA.

Circulation
Penggantian cairan.Sirkulasi adalah prioritas kedua.DKA pada pasien yang
menderita dehidrasi berat bisa berlanjut pada shock hipovolemik.Oleh sebab itu,
cairan pengganti harus dimulai segera.Cairan resusitasi bertujuan untuk
mengurangi hiperglikemia, hyperosmolality, dan counterregulatory hormon,
terutama dalam beberapa jam pertama, sehingga mengurangi resistensi terhadap
insulin.Terapi Insulin paling efektif jika didahului dengan cairan awal dan
penggantian elektrolit. Defisit cairan tubuh 10% dari berat badan total maka lebih
dari 6 liter cairan mungkin harus diganti. Resusitasi cairan segera bertujuan untuk
mengembalikan volume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal dengan

19
solusi kristaloid, koloid dan bisa digunakan jika pasien dalam syok hipovolemik.
Normal saline (NaCl 0,9%) yang paling sesuai. Idealnya 50% dari total defisit air
tubuh harus diganti dalam 8 jam pertama dan 50% lain dalam 24 jam berikutnya.
Hati-hati pemantauan status hemodinamik secara teliti (pada pasien yang tidak
stabil setiap 15 menit), fungsi ginjal, status mental dan keseimbangan cairan
diperlukan untuk menghindari overload cairan.
(Elisabeth Eva Oakes, RN. 2007. Diabetic Ketoacidosis DKA)

8. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, Kram otot, tonus otot menurun,
gangguan istirahat/tidur
Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau aktifitas,
Letargi/disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot
2. Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, Klaudikasi, kebas dan kesemutan
pada ekstremitas, Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, Takikardia
Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, Nadi yang menurun/tidak
ada, Disritmia, Krekels, Distensi vena jugularis, Kulit panas, kering, dan
kemerahan, bola mata cekung
3. Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, Masalah finansial yang berhubungan
dengan kondisi
Tanda : Ansietas, peka rangsang
4. Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa nyeri/terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang, Nyeri tekan abdomen, Diare
Tanda :Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), Urin berkabut, bau busuk
(infeksi), Abdomen keras, adanya asites, Bising usus lemah dan menurun,
hiperaktif (diare)

20
5. Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, Mual/muntah, Tidak mematuhi diet, peningkattan
masukan glukosa/karbohidrat, Penurunan berat badan lebih dari beberapa
hari/minggu, Haus, penggunaan diuretik (Thiazid)
Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, Kekakuan/distensi abdomen, muntah,
Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula
darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)
6. Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, Kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,
parestesia, Gangguan penglihatan
Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut). Gangguan
memori (baru, masa lalu), kacau mental, Refleks tendon dalam menurun (koma),
Aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA)
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)
Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati
8. Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak)
Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, Frekuensi pernapasan
meningkat
9. Keamanan
Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit
Tanda : Demam, diaforesis, Kulit rusak, lesi/ulserasi, Menurunnya kekuatan
umum/rentang erak, Parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika
kadar kalium menurun dengan cukup tajam)
10. Seksualitas
Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi), Masalah impoten pada pria, kesulitan
orgasme pada wanita
11. Penyuluhan/pembelajaran

21
Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan
yang, Lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan
fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak
memerlukan obat diabetik sesuai pesanan
Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengatuan diet,
pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah

DIAGNOSA KEPERAWATAN KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)


1. Defisit volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik akibat
hiperglikema, pengeluaran cairan berlebihan: diare, muntah, pembatasan intake
akibat mual, kacau mental
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kompensasi asidosis metabolik
3. Resiko tinggi terhadap infeksi (sepsis) berhubungan dengan peningkatan kadar
glukosa
4. Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
ketidak cukupan insulin, penurunan masukan oral, status hipermetabolisme.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan informasi

2.3 Asuhan Keperawatan Krisis Thyoroid


1. Pengertian
Krisis tiroid adalah suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis
dengan sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai oleh hyperpireksia,
takikardia dan kadang-kadang vomitus yang terus menerus.
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan
sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan
gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa
kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat
berlebihan,terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis.
Krisis tiroid merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh
terhadap tirotoksikosis tersebut. Tipikalnya terjadi pada pasien dengan

22
tirotoksikosis yang tidak terobati atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh
tindakan operatif, infeksi, atau trauma.

2. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular
toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid
folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak
menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Meskipun
tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi
tiroid.Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada
pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah
operasi.Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami
penyakit Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya
kanker tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat
menyebabkan kematian.
Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat.Seorang kasus
wanita berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi ginjal
menunjukkan adanya hipokalsemia.Hipokalsemia pada kasus tersebut telah ada
saat kreatinin serumnya masih normal.Kadar serum normal fragmen ujung asam
amino hormon paratiroid dalam keadaan hipokalsemia pada kasus tersebut
menunjukkan adanya gangguan fungsi paratiroid. Karena kadar serum
magnesiumnya normal dan tidak memiliki riwayat operasi tiroid ataupun terapi
radio-iodium, hipoparatiroidisme yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini
adalah kasus ketujuh yang disebutkan di literatur tentang penyakit Grave yang
disertai hipoparatiroidisme idiopatik.
Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis interstisial. Kasus
seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan tiamazol (5 mg/hari)
menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam setelah dilakukan
eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan dinaikkan setelah
eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis tiroid pada hari ke-52
pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga menunjukkan disfungsi ginjal

23
(kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca eksodontia). Kadar hormon tiroid
kembali dalam batas normal setelah tiroidektomi subtotal. Namun, kadar serum
kreatinin masih tetap tinggi. Pria ini kemudia didiagnosis dengan nefritis
interstisial berdasarkan hasil biopsi ginjal dan diterapi dengan prednisolon 30
mg/hari.Kasus ini mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi meskipun tiamazol
ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia.Tampak bahwa nefritis interstisial
sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat meningkatkan fungsi
tiroid.Setelah buruknya respon terhadap obat anti-tiroid, penting untuk mencegah
krisis tiroid dengan menentukan faktor-faktor ini dan pengobatan yang sesuai.

3. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk
menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang
memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.Tepatnya, kelenjar ini
menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama
oleh hati dan ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3).
T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk:
1)      bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik;
2)      bentuk yang terikat padathyroid-binding globulin (TBG).
Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan gambaran
klinis klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon tiroid ketika
keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan
pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-
iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen
utama pada patofisiologi penyakit ini.Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus
oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan
karena peningkatan produksi hormon tiroid.Autoantibodi tersebut paling banyak
ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1.Antibodi ini menyebabkan

24
pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine
monophosphate  (cyclic AMP).Selain itu, antibodi ini juga
merangsang uptake  iodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis.Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang
semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa
peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel
tubuh. Pada derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi
untuk bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan
kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien
tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori
berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak
meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid.Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin.Respon dramatis
krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan
obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat
terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar

25
hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat
ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine(RAI).
Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan
terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan
tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat
kemiripan strukturnya dengan katekolamin.

4. Manifestasi Klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-
gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan
berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi
sekolah yang menurun akibat penurunan rentang perhatian.Riwayat penyakit
sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak,
penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan.Keluhan saluran cerna yang
sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut,
dan jaundice.Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas
(paling banyak pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5oC.Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi
41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara
lain  hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase
berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.
Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,
seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan
tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan
tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma.Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.
Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan kasus
seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan
normotensif) yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel, seperti

26
asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi.Kasus ini menunjukkan bahwa kedua sistem organ ini
terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik ini pada
kasus-kasus krisis tiroid yang dihadapi.

5. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada
gambaran laboratoris.Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi
tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium
atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan
konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien
belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat
dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan
biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4danbentuk bebasnya,
peningkatan uptake resinT3,penurunankadarTSH,dan peningkatan uptake iodium
24 jam.
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal
ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak
spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin
kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar
gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan
memonitor penanganan jangka pendek.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa langkah.
Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi, dan aksi
perifer hormon tiroid.Penanganan suportif yang agresif dilakukan kemudian
untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi
organ.Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif

27
untuk mencegah kekambuhan.Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang
memerlukan perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.
MACAM – MACAM PENATALAKSANAA KRISIS TIROID
a.      Penatalaksanaan : menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil  (PTU)
dan methimazole  (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis hormon tiroid.
PTU juga menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih
disukai daripada MMI pada kasus-kasus krisis tiroid.Sedangkan MMI merupakan
agen farmakoogik yang umum digunakan pada keadaan hipertiroidisme.
Keduanya menghambat inkorporasi iodium ke TBG dalam waktu satu jam setelah
diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau agranulositosis dari terapi tioamida
sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua obat tersebut. 4 PTU diindikasikan
untun hipertiroidisme yang disebabkab oleh penyakit Graves.Laporan penelitian
yang mendukungnya menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya
toksisitas hati atas penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan
hati serius telah ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga
diantaranya meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini
kedua kecuali pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau
untuk wanita dengan kehamilan trimester pertama.Penggunaan metimazol selama
kehamilan dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun
merupakan kasus yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala dan
tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi
dimulai.Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji
kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU
tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran
terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan
edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut:
kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya
mata maupun kulit pasien.
b.      Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid

28
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan dapat
dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium
di kelenjar tiroid.Cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat digunakan
untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu jam setelah
pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan secara
tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat
semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk
keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan
iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi
perifer.Kalium iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya
digunakan sebelum operasi pada tirotoksikosis.
Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan litium yang
juga mengganggu pelepasan hormon tiroid.Pasien yang tidak dapat menggunakan
PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan iodium
tunggal dapat diperdebatkan.Litium menghambat pelepasan hormon tiroid melalui
pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan dialisis
peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik lain yang digunakan untuk
menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi darah.  Namun, sekarang
teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap
penanganan lini awal. Preparat intravena natrium iodida (diberikan 1 g dengan
infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran
c.       Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer hormon
tiroid.Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah konversi
T4 menjadi T3.Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada manifestasi klinis
dan efektif dalam mengurangi gejala.Namun, propranolol menghasilkan respon
klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis yang besar.Pemberian
secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan terhadap irama
jantung pasien.
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi ultra-cepat yang
berhasil digunakan pada krisis tiroid.Agen-agen beta-blocker non-selektif, seperti

29
propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan gagal
jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma.Untuk kasus-kasus ini, dapat
digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin.Pengobatan dengan reserpin
berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap dosis besar
propranolol.Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan pada dalam
keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.
d.      Penatalaksanaan: penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk mengatasi
dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan dengan
peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan yang
cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per hari.
Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia
dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah
dapat digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang
adekuat.Berikan pulan cairan intravena yang mengandung glukosa untuk
mendukung kebutuhan gizi.Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat
ditambahkan untuk mencegah ensefalopati Wernicke.Hipertermia diatasi melalui
aksi sentral dan perifer.
Asetaminofen merupakan obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin
dapat menggantikan hormon tiroid untuk terikat pada reseptornya dan malah
meningkatkan beratnya krisis tiroid.Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat
digunakan untuk menyerap panas secara perifer.Oksigen yang dihumidifikasi
dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan
peningkatan angka harapan hidup.Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk
mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan
degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin
mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh
insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptakeiodium dan
titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi anyaman
vaskuler.Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat memiliki efek

30
menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian,  dosis glukokortikoid,
seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin diberikan.
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi
jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa
penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk
mengendalikan laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium.  Obat-obat anti-
koagulasi mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika
tidak ada kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar
daripada dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar
digoksin untuk mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis
digoksin dapat mulai diturunkan.Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat
gangguan kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan
dengan kateter Swan-Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien
hipertiroid.Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia
miokardial transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG)
dapat meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut.Blokade
saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan
efek agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan
memperbaiki ketidakseimbangan simpatovagal.
e.       Penatalaksanaan: efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau gusi
mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan atas,
peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi (terjadi
akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif, vaskulitis maupun
ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun termasuk
rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa obat ini
harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit Graves selama
kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan kematian, telah
dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan pertama terapi.

31
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada penggunaan
obat anti-tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat dari komunitas
dan mengancam jiwa pasien yang menggunakan obat-obat ini.Manifestasi klinis
yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan (85%).Diagnosis
klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis akut (38%),
pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%).Kultur darah positif
untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Capnocytophaga species.Kematian disebabkan oleh infeksi yang tidak
terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang multipel.Basil Gram negatif,
seperti Klebsiella pneumoniae dan P. aeruginosa, merupakan patogen yang
paling sering ditemui pada isolat klinis.Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas
anti-pseudomonas harus diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang
disebabkan oleh obat anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi
yang berat.

7. Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat
oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan
curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang
jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang
mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan
pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar
plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga
6,238 mM.
Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk
menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan

32
penanganan kegawatdaruratan.Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip
standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.

8. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. PENGKAJIAN
Dasar Data Pengkajian
a.       Aktifitas / istirahat
Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan
otot.
Tanda : atrofi otot.
b.      Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda : disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan
darah dengan tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps,
syok (krisis tiroksikosi)
c.       Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d.      Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e.       Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan
banyak, makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f.       Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung,
disorientasi, gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan
beberapa bagian tersentak-sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g.      Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h.      Pernapasan

33
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada
krisis tirotoksikosis).
i.        Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap
iodium (mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan
kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema
(sering terjadi pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j.        Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi.
3. Perubahan nutirsi kurang dari keb.tubuh berhubungan dengan proses
penyakit.
4. Bersihan jalan napas berhubungan pembengkakan
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya terpajanya informas

34
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KETOASIDOSIS
DIABETIK
3.1  PENGKAJIAN
3.1.1   Identitas (Data Biografi)
Nama : Tn. B
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Agama : Hindu
Pekerjaan : Pegawai Negeri
3.1.2   Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan utama
Pasien mengatakan sering haus dan lapar
2.    Riwayat kesehatan sekarang
Datang dengan keluhan mual muntah, pernafasan kusmaul, hiperglikemia, poliuria, nadi
cepat/lemah, gejala-gejala gastrointestinal.
3.      Riwayat penyakit dahulu
Klien memiliki riwayat penyakit diabetes
4.    Riwayat penyakit keluarga.
Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit keturunan diabetes

3.1.3   Pengkajian Berdasarkan pola Gordon


1.      Pola persepsi dan manajemen kesehatan.
Biasanya klien mengetahui tentang faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke,
hipertensi. Penyembuhan yang lambat, penggunaan obat seperti steroid, diuretik
(thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin
atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan. Rencana pemulangan : Mungkin
memerlukan bantuan dalam pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan
terhadap glukosa darah.
2.      Pola nutrisi dan metabolic.

35
Biasanya hilang nafsu makan, mual / muntah, tidak mematuhi diet, peningkattan
masukan glukosa / karbohidrat, Penurunan berat badan lebih dari beberapa hari /
minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid). Yang ditandai kulit kering / bersisik,
turgor jelek, kekakuan / distensi abdomen, muntah, Pembesaran tiroid (peningkatan
kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis / manis, bau buah
(napas aseton).
3.      Pola eliminasi.
Biasanya sebelum sakit pola eleminasi teratur setiap pagi hari namun setelah sakit
terjadi perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, Rasa nyeri/terbakar, kesulitan
berkemih (infeksi), ISSK baru/berulang, Nyeri tekan abdomen, Diare.Yang ditandai
urine encer, pucat, kuning, poliuri (dapat berkembang menjadi oliguria / anuria, jika
terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), Abdomen keras, adanya
asites, Bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare).
4.      Pola aktivitas dan latihan.
Biasanya sebelum sakit klien dapat melakukan aktivitas seperti biasa (bekerja,
berolahraga, melakukan hal mandiri) namun setelah sakit klien mengalami penurunan
aktivitas, lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, Kram otot, tonus otot menurun, letargi /
disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot
5.      Pola istirahat dan tidur.
Klien mengalami gangguan istirahat / tidur, takikardia dan takipnea pada keadaan
istirahat atau aktifitas.
6.      Pola kognitif dan persepsi.
Adanya kekhawatiran karena adanya nyeri pada daerah abdomen (mungkin parah).
7.      Pola persepsi dan konsep diri.
Gangguan citra diri akibat dari perubahan fungsional KDM
8.     Pola peran dan hubungan.
Biasanya Klien gelisah, cemas, mudah tersinggung. Bila bisa menyesuaikan tidak akan
menjadi masalah dalam hubungannya dengan anggota keluarganya.
9.      Pola seksualitas dan produksi.
Biasanya rabas vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada pria, kesulitan
orgasme pada wanita.

36
10.  Pola koping dan toleransi stress.
Biasanya timbul stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan
dengan kondisi.Yang ditandai ansietas, peka rangsang.
11.  Pola nilai dan keyakinan.
Biasanya tergantung pada kebiasaan, ajaran dan aturan dari agama yang dianut oleh
individu tersebut.

3.1.4   Pemeriksaan fisik


1.    TTV (tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu )
a.   Suhu biasanya meningkat (infeksi) atau menurun :normal : 36-37 0C
Oral : dikatakan normal apabila suhu tubuh 37,0°C
Rectal : dikatakan normal apabila suhu 37,5°C
Aksila : dikatakan normal apabila suhu 36,7°C
Esophagus : dikatakan normal apabila suhu 37,3°C
b.   Nadi biasanya takikardi/bradikardi (normal 60-100x/menit)
c.   RR biasanya takipnea (normal 16-24 x/menit)
Keadaan umum : Composmentis atau apatis
Kesadaran : Biasanya mungkin sadar, sementara lainnya letargik, atau
normal
d.      Tekanan darah biasanya hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri)
= (normal : sistolik = 90-120 dan diastolic =60-79 mmHg).

2.   Head To Toe


1.    Pemeriksaan kepala dan leher:
a.    Kepala dan rambut
   Tulang tengkorak
Inspeksi : ukuran cranium, deformitas, benjolan. Pembesaran kepala pada hidrosefalus.
Palpasi : keseluruhan kepala, adakah nyeri tekan.
b)   Wajah
Perhatikan ekspresi wajah dan konturnya.
Perhatikan keadaan asimetris, edema, dan massa

37
c)   Rambut
Inspeksi: kuantitas, distribusi, tekstur, ketombe atau kutu.
Rambut yg halus hipertiroidisme
Rambut kasarhipotiroidisme
d)  Kulit kepala
Apakah ada skuama, benjolan, nevus, atau lesi
Kemerahan & skuama ditemukan pd dermatitis seboroika.
b.   Mata (penglihatan):
a)   Inspeksi
Penglihatan kabur
Amati letak kesimetrisan mata, gerakan mata, lapang pandang, & visus
Amati kelopak mata (palpebra)Lebar fisura palpebra, edema, warna, lesi, keadaan &
arah bulu mata, kemampuan mengatup.
Amati konjungtivawarna (anemis, ikterik,merah), infeksi, atau pus
Amati skelerawarna (ikterik, merah)
Amati warna iris, ukuran & bentuk pupil.
Amati reaksi pupil thdp cahaya. N= isokor. Bila mengecil disebut miosis, melebar
disebut midriasis, sangat kecil disebut pin point.
Amati kornea dan lensa.Perhatikan kekeruhan.
Inspeksi gerakan mata : amati adakah nistagmus, strabismus ; cek fungsi 6 otot mata.
b)   Palpasi
Tekanan bola mata : (intraokuler)Tonometer.
Pemeriksaan dengan oftalmoskop.
c.    Hidung (penciuman)
a)   Inspeksi :
Pernafasan cepat
Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung.
Tidak terdapat jaringan parut dalam hidung.
Tidak terdapat deviasi septum.
Tampak pembengkakan dan hiperemis pada konka hidung.
Tidak tampak udem mukosa.

38
Mukosa hidung hiperemis.
Terdapat secret.
b)   Palpasi :
Tidak terdapat nyeri tekan.
Tidak ada krepitasi.
d.   Telinga (pendengaran)
a)   Inspeksi
Pinna : ukuran, bentuk, warna, lesi, ada massa.
Canalis : bersih, serumen ,nanah.
Reflek cahaya politzer : tarik daun telinga ke atas & belakang (dewasa); ke bawah (anak-
anak)membran timpani utuh atau tidak.
b)   Palpasi
jaringan lunak, jaringan keras, tulang mastoid. Bila ada peradangan akan terasa nyeri.
Tes pendengaran Garpu Tala: Rinne, Webber.
e.    Mulut dan gigi
a)      Inspeksi
Mukosa bibir kering
Gigi : sisa makanan, karang, caries, gigi palsu/tdk
Lidah : lurus, warna, ulkus, kebersihan
Selaput Lendir : warna, bengkak, tumor, sekresi, ulkus, berdarah
Faring : radang
Tonsil : ukuran
Uvula: simetris
f.    Tenggorokan :
a)   Inspeksi :
Mukosa lidah dalam batas normal, tidak terdapat gambaran peta.
Mukosa faring : hiperemis (+), granuler (+), oedem (+).
Ovula : tidak ada kelainan.
Tonsil : tidak membesar, tidak hiperemis.
Detritus (-)
b)   Palpasi :

39
Pembesaran submandibula (-), nyeri tekan (-)
g.   Leher
a)    Inspeksi
Bentuk, warna, bengkak, massa, jaringan parut
b)   Palpasi
Nodul kelenjar limfe, vena jugularis, kelenjar tiroid.
Pemeriksaan kaku kuduk/ tengkuk ciri adanya rangsang /iritasi meningeal akibat
perdarahan/ peradangan sub arachnoid.

2.    Pemeriksaan Thoraks/ dada :


a.    Pemeriksaan paru:
-    Inspeksi : Bentuk dinding dada simetris, adanya nafas kusmaul
-    Palpasi : Bentuk normalnya tidak ada kreptasi, tidak ada nyeri
tekan, vocal fremitus kanan dan kiri sama.
-    Perkusi : Tidak ada pembesaran dinding dada sonor pada kedua
lapang paru
-    Auskultasi : Suara nafas vesikuler atau tidak, suara nafas tambahan
tidak ada, ronci (-), wheezing (-)
b.   Pemeriksaan jantung
-    Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
-    Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
-    Perkusi :
a.       Batas jantung kanan atas: SIC II LPS dextra
b.      Batas jantung kanan bawah : SIC V LPS dextra
c.       Batas jantung kiri atas: SIC II LMC sinistra
d.      Batas jantung kiri bawah: SIC VI LAA sinistra
-       Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada bunyi jantung tambahan, dan tidak
ada murmur.

3.    Pemeriksaan abdomen


-       Inspeksi : Bentuk flat dan simetris, adanya distensi abdominal

40
-       Auskultasi : Peningkatan bising usus (>20x/mnt)
-       Palpasi : Terkadang dapat nyeri abdomen
-       Perkusi : Terdapat bunyi pekak.

3.    Pemeriksaan Penunjang


1.      Glukosa darah : Meningkat 200-100 mg/dL, atau lebih.
2.      Aseton plasma ( keton ) : Positif secara mencolok.
3.      Asam lemak bebas : Kadar lipid dan kolestrol meningkat.
4.      Osmolalitas serum : Meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l
5.      Elektrolit :
6.      Natrium : mungkin normal, meningkat atau menurun.
7.      Kalium : Normal atau meningkat semu ( perpindahan seluler ), selanjutnya akan
menurun.
8.      Fosfor : lebih sering menurun.
9.      Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang
mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir (lama hidup SDM)
dan karenanya sangat bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak
adekuat versus DKA yang berhubungan dengan insiden ( mis. ISK baru).
10.  Gas darah arteri : Biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO 3
(asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
11.  Trombosit darah : Ht mungkin meningkat (dehidrasi) : leukosit hemokonsentrasi,
merupakan respons terhadap stres atau infeksi.
12.  Ureum / kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi /penurunan fungsi
ginjal).
13.  Amilase darah : mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pankreatitis akut
sebagai penyebab dari KDA.
14.  Insulin darah : Mungkin menurun/bahkan sampai tidak ada (pada tipe I) atau normal
sampai tinggi (tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin / gangguan dalam
penggunaannya (endogen /eksogen), resisten insulin dapat berkembang sekunder
terhadap pembentukan antibodi (autoantibodi).

41
15.  Pemeriksaan fungsi tiroid : Peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan
glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
16.  Urine : Gula dan aseton positif : berat jenis, dan osmolalitas mungkin meningkat.
17.  Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi
pernafasan dan infeksi pada luka (Doengoes, 1999).

3.2 Contoh Analisa Data.


1.1 Daftar gambar analisa data
No Data Etiologi Problem
1. DS: Klien mengeluh badannya Diuresis osmotik Kekurangan
lemas, sering minum dan (dan volume cairan
biasanya haus terus-menerus hiperglikemia)
DO:
o  Polidipsi
o  Dehidrasi berat
o  kulit membrane mukosa kering,
penurunan turgor kulit.
2. DS: Klien mengatakan tidak Ketidak cukupan Nutrisi,
nafsu makan insulin perubahan:
DO: Kurang dari
Lemas kebutuhan tubuh
Mual muntah
A : BB SMRS : 50 kg
BB MRS : 45 kg
B : HB meningkat 2-4 kali
lipat, Ht mungkin meningkat
C :Turgor kulit menurun (kembali >
2 dtk). Mukosa bibir kering.
D : Penurunan nafsu makan, Porsi
makan tidak habis.
3. DS: Keluarga mengatakan Hiperventilasi Ketidakefektifan
nafas klien semakin dalam dan pola nafas

42
lambat
DO:
Adanya pernafasan kusmaul
4. DS: Klien mengeluh tidak bisa Perubahan kimia Keletihan
menjalankan aktivitas seperti darah
biasanya
DO:
Klien tampak lemas
5. DS: Klien mengatakan tidak Keterbatasan Kurang
mengetahui tentang penyakit kognitif pengetahuan
yang dialaminya
DO:
Klien tampak bingung

3.3    Diagnosa
1.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dan hiperglikemia)
2.   Nutrisi, perubahan: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan denganketidakcukupan
insulin
3.   Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
4.   Keletihan berhubungan denganperubahan kimia darah
5.   Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif

3.4 Contoh Rencana Keperawatan


1.2 Daftar gambar rencana keperawatan
1.   Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dan hiperglikemia)

43
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC NIC
 Fluid balance Fluid management
 Hydration o   Pertahankan catatan intake dan output
 Nutrition status : food and fluid yang akurat
 Intake o   Monitor status hidrasi ( kelembaban
membran mukosa, nadi adekuat, tekanan
Kriteria Hasil : darah ortostatik ) jika diperlukan
 Mempertahankan urine output
o   Monitor vital sign
sesuai dengan usia dan BB, BJ
o   Monitor masukan makanan / cairan IV
urine normal, HT normal o   Berikan cairan IV pada suhu ruangan
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh
o   Kolaborasi dengan dokter
dalam batas normal
 Tidak ada tanda dehidrasi, Hypovelemia Management
 Elastisitas turgor kulit baik,
o   Monitor tingkat Hb dan hematokrit
membran mukosa lembab, tidak
o   Monitor tanda vital
ada rasa haus yang berlebihan o   Monitor respon pasien terhadap
penambahan cairan
o   Pemberian cairan IV monitor adanya
tanda dan gejala kekurangan volume
cairan

2.   Nutrisi, perubahan: Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan
insulin.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC NIC
 Nutritional status : Nutrition Management
 Nutritional status : food and
o   Kaji adanya alergi makanan
fluid o   Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
 Intake menentukan jumlah kalori dan nutrisi

44
 Nutritional status : nutrient yang dibutuhkan pasien
intake o   Anjurkan pasien untuk meningkatkan
 Weigh control intake Fe
o   Yakinkan diet yang dimakan mengandung
Kriteria Hasil : tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Adanya peningkatan BB sesuai
o   Berikan makanan yang terpilih (sudah
dengan tujuan dikonsultasikan dengan ahli gizi )
 BB ideal sesuai dengan tinggi
o   Ajarkan pasien bagaimana membuat
badan catatan makanan harian
 Mampu mengidentifikasi
o   Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
kebutuhan nutrisi kalori
 Tidak ada tanda-tanda malnutrisio   Berikan informasi tentang kebutuhan
 Menunjukkan peningkatan nutrisi
fungsi pengecapan dari menelano   Kaji kemampuan pasien untuk
 Tidak terjadi penurunan BB mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
yang berarti
Nutrition Monitoring
o   BB pasien dalam batas normal
o   Monitor adanya penurunan BB
o   Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
bisa dilakukan
o   Monitor intraksi klien selama makan
o   Monitor lingkungan selama makan
o   Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
selama jam makan
o   Monitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi
o   Monitor turgor kulit
o   Monitor kekeringan, rambut kusam, dan
mudah patah
o   Monitor mual dan muntah

45
o   Monitor kadar Hb, dan kadar Ht
o   Monitor kalori dan intake nutrisi

3.   Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


NOC NIC
 Respiratory Status : Ventilation Airway management
 Respiratory Status : Airway
o   Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift
Patency atau jaw thrust bila perlu
 Vital and Signs o   Posisikan pasien untuk memaksimalkan
ventilasi
Kriteria Hasil : o   Identifikasi pasien perlunya pemasangan
 Mendemonstrasikan batuk alat jalan nafas buatan
efektif dan suara nafas yang
o   Pasang mayo bila perlu
bersih, tidak ada sianosis dan
o   Lakukan fisioterapi dada jika perlu
dispneu (mampu mengeluarkan
o   Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
sputum, mampu bernafas dengan nafas tambahan
mudah, tidak ada pursed lips). o   Berikan bronkodilator bila perlu
 Menunjukkan jalan nafas yang
o   Berikan pelembab udara kassa basah
paten (klien tidak merasa NaCl lembab
tercekik, irama nafas, frekuensi
o   Atur intake untuk cairan
pernafasan dalam rentang
o   Monitor respirasi dan status O2
normal, tidak ada suara nafas
abnormal). Oxygen Therapy:
o   Pertahankan jalan nafas yang paten
o   Atur peralatan oksigenasi
o   Monitor aliran oksigen
o   Pertahankan posisi pasien

46
o   Observasi adanya tanda – tanda
hiperventilasi
o   Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital Sign Monitoring


o   Monitor TD. Nadi, suhu dan RR
o   Catat adanya fluktuasi TD
o   Monitor VS saat pasien berbasis duduk
atau berdiri
o   Auskukltasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
o   Monitor TD, nadi, RR sebelum, selama
dan sesudah aktivitas
o   Monitor kualitas dari nadi
o   Monitor frekuensi dan irama pernafasan
o   Monitor pola pernafasan abnormal
o   Identifikasi penyebab dan perubahan vital
sign

4.   Keletihan berhubungan dengan perubahan kimia darah


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
NOC NIC
 Endurance Energy Management
 Consentrasion o   Observasi adanya pembatasan klien dalam
 Energy conservation melakukan aktifitas
 Nutrisional status : energy o   Kaji adanya factor yang menyebabkan
kelelahan
Kriteria Hasil : o   Monitor klien akan adanya fisik dan
 Memverbalisasikanpeningkatan emosi secara berlebihan

47
energy dan merasa lebih baik o   Monitor respon kardiovaskuler terhadap
 Menjelaskan penggunaan energy ativitas
untuk mengatasi kelelahan o   Monitor pola tidur dan lamanya tidur
 Kecemasan menurun istirahat klien
 Glukosa darah adekuat o   Dukung klien dan keluarga untuk
 Kwalitas hihup meningkat mengungakpkan perasaan, berhubungan
 Istirahat cukup dengan perubahan hidup yang disebabkan
 Mempertahankan kemampuan oleh keletihan
untuk berkonsentrasi o   Bantu aktivitas seharihari sesuai dengan
kebutuhan
o   Tingkatkan tirah baring dan pembatasan
aktivitas

5.   Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


NOC NIC
 Knowledge : disease process Teaching : Disease Process
 Knowledge : health behaviuour o   Berikan penilaian tentang tingkat
pengetahuan klien penyakit yang spesifik
Kriteria Hasil : o   Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
 Pasien dan keluarga menyatakan bagaimana hal ini berhubungan dengan
pemahaman tentang penyakit, anatomi dan fisiologi dengan cara yang
kondisi, prognosis dan program tepat
pengobatan o   Gambarkan tanda dan gejala yang biasa
 Pasien dan keluarga mampu muncul pada penyakit dengan cara yang
melaksanakan prosedur yang tepat
dijelaskan secara benar o   Gambarkan proses penyakit dengan cara
 Pasien dan keluarga mampu yang tepat
mejelaskan kembali apa yang
o   Identifikasi kemungkinan penyebab

48
dijelaskan perawat/tim
o   Sediakan informasi pada pasien tentang
kesehatan lainnya kondisi
o   Beritahu keluarga informasi tentang
kemajuan klien
o   Diskusikan perubahan gaya hidup yang
mungkin diperlukan untuk mencegah
komplikasi dimasa yang akan datang atau
proses pengontrolan penyakit
o   Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
o   Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan
cara yang tepat atau di indikasikan

DAFTAR GAMBAR
1.1 Gambar trauma abdomen

49
BAB IV
PENUTUP

50
4.1 Kesimpulan
Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen
yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ
padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar,
pembuluh – pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh
Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli 2000)
Diabetes ketoasidosis adalah suatu kondisi dimana terjadi akibat adanya
defisiensi insulin yang bersifat absolute dan terjadinya peningkatan kadar hormone yang
berlawanan dengan isulin. (Wijaya, 2013, hal. 13)
Krisis tiroid adalah suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis
dengan sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai oleh hyperpireksia, takikardia
dan kadang-kadang vomitus yang terus menerus.

4.2 Saran
Kami masih dalam proses belajar, untuk kesempurnaan makalah asuhan
keperawatan ini mohon diberikan koreksi dan masukkannya agar kami bisa
memperbaiki dan menjadikan makalah asuhan keperawatan kegawat daruratan ini
menjadi lebih baik lagi .

DAFTAR PUSTAKA

51
Hidayati, N. (2019). ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA
PASIEN KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD) DI RUANG ICU RSUD A.
WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA. Journal of Chemical Information and
Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
INDRIYANI, I., WIDIASTUTI, W., LAWEI, T., & ISMAIL, D. (2020).
DIAPHRAGMATIC RUPTURE AN EMERGENCY CASE REPORT. Smart
Medical Journal. https://doi.org/10.13057/smj.v2i2.38518
Sander, M. A. (2018). RUPTUR LIEN AKIBAT TRAUMA ABDOMEN:
BAGAIMANA PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN
PENATALAKSANAANNYA. Saintika Medika.
https://doi.org/10.22219/sm.vol14.smumm1.6646
Takaendengan, D. T., Wowiling, P. A. V., & Wagiu, A. M. J. (2016). Profil 10 besar
kasus di Instalasi Gawat Darurat Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode
Januari – Desember 2015. E-CliniC. https://doi.org/10.35790/ecl.4.2.2016.14567
Yati, N. P., & Tridjaja, B. (2017). Panduan Praktik Klinis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1. IKatan
Dokter Anak Indonesia.

52

Anda mungkin juga menyukai