MTB Bab 1 Fix
MTB Bab 1 Fix
BAB I
PENDAHULUAN
2. Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan (Hardness Test) adalah pengujian material untuk
mengetahui kemampuan suatu ketahanan material terhadap deformasi plastik
ataupun goresan yang terlokalisasi (Callister, 2013, p.191). Ada beberapa
macam metode dalam pengujian kekerasan, yaitu;
a. Metode Brinell
Pengujian kekerasan dengan metode Brinell bertujuan untuk
menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material
terhadap bola baja (indentor) yang ditekankan pada permukaan material uji
tersebut (spesimen) (Sari, 2018, p.31).
Uji kekerasan Brinell biasanya terdiri dari tekanan hidrolik vertikal
yang dioperasikan tangan, yang dirancang untuk memaksa indentor bola
ke dalam spesimen uji. Prosedur standar tes dilakukan dengan bola
berdiameter 10 mm di bawah beban 3.000 kg untuk logam besi, atau 500
kg untuk logam non besi (Avner 1974, p.27).
b. Metode Vickers
Dalam metode ini, instrumen menggunakan penekan berbasis persegi
berlian-piramida dengan sudut termasuk 136° antara penampang yang
berlawanan arah (lihat Gambar 1.3). Kisaran beban biasanya antara 1 dan
120 kg (Avner 1974, p.31).
Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan untuk
menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material
terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 136 derajat yang
ditekankan pada permukaan pada material uji tersebut (Sari, 2018, p.36).
c. Metode Rockwell
Tes kekerasan ini menggunakan instrumen yang adapat dibaca
langsung berdasarkan prinsip pengukuran kedalaman diferensial
(Gambar 1.4). Tes dilakukan dengan perlahan-lahan menaikkan
spesimen melawan indentor sampai beban minor yang tetap telah
diterapkan. Ini ditunjukkan pada pengukur dial (dial gauge) (Avner,
1974, p. 30).
B. Pengujian Non-Destruktif
Pengujian Non-Destruktif adalah pengujian suatu material dengan segala cara
dengan tidak merusak atau menyebabkan cacat pada material tersebut (Avner,
1974, p.45). Contoh dari pengujian Non-Destruktif, diantaranya :
a. Pengujian Visual
Metode ini bertujuan untuk menemukan cacat atau retak serta melihat
korosi pada permukaan. Digunakan alat bantu optikal untuk dapat melihat
cacat atau retakan pada permukaan secara jelas.
b. Pengujian Cairan Penetrant
Cara ini dipakai untuk mendeteksi cacat dengan penembusan zat pada
celah cacat di permukaan. Cairan fluoresen atau cairan pewarna dipakai untuk
maksud ini. Yang pertama diamati di bawah sinar UV dengan panjang
geombang 330-390 mm, dan yang terakhir diamati di bawah sinar tampak
terang (Shinroku, 1995, p.42).
c. Pengujian Ultrasonik
Gelombang ultrasonik 1-5 MHz merambat dalam bahan dan memantul di
tempat cacat, dari deteksi gelombang pantulan dapat diketahui adanya cacat.
Untuk memancarkan dan menerima gelombang ultrasonik dipergunakan kristal
barium titanat atau lainnya yang mempunyai sifat efek piezoelektrik.
Gelombang ultrasonik memantul 100% dari celah dan retakan, oleh karena itu,
kepekaan pengamatan sangat tinggi dibandingkan dengan pengujian dengan
penyinaran yang tidak dapat mengamati cacat kecuali jika benda ujinya
mempunyai ketebalan 1-2 inch. Akan tetapi yang terdeteksi adalah puncak
gelombang pantulan yang memerlukan pengalaman untuk menentukan keadaan
cacat pada bahan (Shinroku, 1995, p.42).
f. Pengujian Radiography
1. Kekuatan (Strength)
Merupakan kemampuan suatu bahan untuk menerima tegangan tanpa
menyebabkan bahan tersebut patah (Callister, 2007, p.144).
2. Kekerasan (Hardness)
Yaitu kemampuan material logam menerima gaya berupa penetrasi,
indentasi, serta pengikisan atau penggoresan tanpa mengalami deformasi
(Callister, 2007, p.155).
3. Kekakuan (Stiffness)
Yaitu kemampuan suatu bahan menerima beban tegangan tanpa
menyebabkan perubahan bentuk / defleksi (Callister, 2007, p.138).
4. Ketangguhan (Toughness)
Yaitu sifat yang menyatakan kemampuan bahan untuk menyerap
sejumlah energi hingga patah (Callister, 2007, p.150).
5. Elastisitas (Elasticity)
9. Kegetasan (Brittleness)
Yaitu sifat kerapuhan pada material, yang berarti material tersebut
pecah dengan sedikit pergeseran permanen (Avner, 1974, p.669).
10. Mulur (Creep)
Yaitu deformasi plastis suatu material secara terus menerus pada
temperature tinggi ketika tegangan masih dibawah batas yield (Avner,
1974, p.45).
11. Keausan (Wearness)
Yaitu ketidaksengajaan pengikisan permukaan pada suatu material
karena penggunaan material (Avner, 1974, p.567).
Dalam sifat mekanik terdapat beberapa macam pembebanan, yaitu :
1. Pembebanan statik, yaitu pembebanan yang sifatnya statik atau besarnya tetap
dari waktu ke waktu.
2. Pembebanan dinamik, yaitu pembebanan yang besarnya beban dapat berubah-
ubah.
1. Kadar karbon
Kandungan karbon ini juga mempengaruhi keuletan, ketangguhan dan sifat
mampu mesin karena semakin tinggi kadar karbon maka kekerasan akan semakin
tinggi namun akan menjadi rapuh.
2. Unsur kimia
Penambahan unsur kimia dapat mempengaruhi sifat mekanik logam karena
sifat dari unsur itu sendiri. Unsur – unsur kimianya antara lain:
a. Nikel (Ni)
- Meningkatkan kekuatan dan kekerasan.
- Meningkatkan kekerasan terhadap korosi.
- Meningkatkan keuletan dan ketahanan dari gesekan.
b. Krom (Cr)
- Meningkatkan kekerasan.
- Menambah karbida.
- Menambah keelastisan pada pegas.
c. Mangan (Mn)
- Meningkatkan kekerasan.
- Meningkatkan ketahanan terhadap suhu tinggi.
- Membuat bahan mengkilap.
d. Silikon (Si)
- Meningkatkan sifat mekanis.
- Membuat sifat logam menjadi kaku.
e. Karbon (C)
- Meningkatkan kekerasan dan kekuatan.
- Membentuk karbida Fe3C.
- Menurunkan elastisitas.
3. Homogenitas struktur mikro
Homogenitas akan mempengaruhi kekerasan, karena semakin homogen suatu
material atau semakin sama arah orientasi kristalnya maka material tersebut bersifat
semakin ulet. Bila strukturnya heterogen maka materialnya akan bersifat keras dan
getas.
4. Perlakuan panas
Perlakuan panas akan mempengaruhi kekerasan, karena semakin tergantung
pada perlakuan yang diberikan. Hardening akan meningkatkan kekerasan,
berikutnya tempering, lalu normalizing, dan yang paling lunak adalah annealing.
2. Hardening
Hardening merupakan perlakuan panas yang bertujuan untuk memperoleh
kekerasan maksimum pada baja dengan dipanaskan hingga di atas temperatur
AC3 kemudian ditahan cukup lama agar mencapai temperatur austenite yang
seragam, setelah didinginkan secara cepat (quenching) dengan kecepatan
3. Normalizing
Normalizing pada baja dilakukan dengan memanaskan pada suhu sampai
100°F diatas garis A3 dan didinginkan pada udara dengan temperatur ruangan.
Proses ini bertujuan untuk menghaluskan struktur butiran yang mengalami
pemanasan berlebihan, menghilangkan tegangan dalam, meningkatkan
permesinan, dan memperbaiki sifat mekanik material (Avner, 1974, p. 254).
4. Tempering
Dalam kondisi martensit ,baja bersifat brittle dan tidak dapat digunakan.
Bentukan martensite masih meninggalkan tekanan sisa yang tinggi. Oleh
karena itu, hardening dilanjutkan dengan proses Tempering yang memanaskan
baja pada di bawah temperatur kritis yang lebih rendah. Tempering bertujuan
untuk mengurangi tegangan dalam dan melunakkan bahan setelah di-
hardening dan meningkatkan keuletan. Hal itu karena baja yang dikeraskan
dengan pembentukan martensit biasanya sangat getas sehingga tidak cukup
baik untuk berbagai pemakaian (Avner, 1974, p.305).
b. Austempering
Austempering bertujuan untuk meningkatkan keuletan, ketahanan
impact, dan mengurangi distorsi. Struktur yang dihasilkan adalah bainit.
Pada proses pendinginan, baja didinginkan dalam media garam pada suhu
di atas garis Ms.
b. Liquid Carburizing
Proses carburizing pengerasan material dengan cara memasukan
material ke dalam cyanide panas lalu karbon akan ber difusi ke dalam
material (Avner, 1996, p.323).
c. Gas Carburizing
Logam dipanaskan dengan senyawa karbon monoksida atau
hidrokarbon yang mana telah terurai di Carburizing Temperature (Avner,
1996, p.323).
2. Nitriding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan adanya
porsi yang sesuai antara amonia dan amonia yang telah terpisahkan (Avner,
1996, p.328).
3. Cyaniding
Proses ini merupakan proses penjenuhan permukaan baja dengan terjadinya
kasus pembentukan karbon di dalam air garam (cyaniding) atau dengan gas
atmosfer (Carbonitrinding) (Avner, 1996, p.326).
Dari gambar 1.19, dapat kita lihat pada proses pendinginan perubahan struktur
kristal dan struktur makro sangat bergantung pada komposisi kimia. Pada kandungan
karbon 0,83% sampai 6,67% terbentuk struktur makro yang dinamakan cementite Fe3C.
Angka 6,67 berasal dari :
ArC 12
= x 100 %=6,67 %...............................................................................(1-1)
Mr Fe 3 C 100
Keterangan diagram fasa Fe-Fe3C akan dijelaskan sebagai berikut:
0,008%C : batas kelarutan maksimum karbon pada ferrite dengan suhu kamar.
0,025%C : batas ketentuan maksimum karbon pada ferrite temperature 723°C.
0.83%C : titik eutectoid
2%C : batas kelarutan karbon pada besi gamma pada temperature 1403°C.
Garis A0 : garis temperatur dimana terjadi perubahan magnetic dari cementite.
Garis A1 : garis temperatur pendinginan perubahan austenite menjadi ferrite.
GarisA2 : garis temperatur dimana terjadi transformasi magnetic pada ferrite.
Garis A3 : garis dimana terjadi perubahan ferrite menjadi austenite (gamma)
pada pemanasan.
Garis ACM : garis kelarutan karbon pada besi gamma.
Garis solidus : garis yang menunjukkan awal dari proses pembekuan.
Garis liquidus : garis yang menunjukkan awal dari proses pendinginan.
Garis solvus : garis yang menunjukkan batas antara fasa padat dengan fasa padat
lainnya
Garis A : garis yang menunjukkan kandungan karbon minimum dari transformasi
baja hypoeutectoid
Garis B : garis yang menunjukkan kandungan karbon minimum dari
transformasi baja hypereutectoid.
Garis E : garis yang menunjukkan transformasi eutectoid.
(Sari, 2018, p.109).
c. Reaksi HyperEutectoid
Pada jenis ini baja apabila ferrite dipanaskan hingga suhu austenite maka akan
menjadi fasa austenite. Di dinginkan hingga suhu di bawah garis Acm maka
komposisi austenite telah mencapai komposisi eutektoid. Sehingga austenite akan
mengalami reaksi eutectoid menjadi perlite. Dan apa bila melewati garis A 3,1 maka
perlite akan dikelilingi oleh cementite (Setyabudi, 2014, p.26).
4. Solid Solution
Pada dasarnya suatu larutan terdiri dari zat terlarut (solute) dan pelarut
(solvent). Sedangkan pada solid solution atau larutan padat, keadaan ini terjadi
karena terdiri dari dua atau lebih jenis atom yang berkombinasi. Jika dilihat pada
diagram fase Fe-Fe3C, solid solution terjadi pada fase austenite. Ketika suatu baja
dipanaskan melebihi suhu dari austenite, sebagian dari karbon akan terlarut dan jika
dipanaskan melebihi suhu austenite akan menjadi logam liquid.
5. Transformasi Allotropic
Transformasi allotropic adalah adanya transformasi dari suatu bentuk susunan
atom (sel satuan) kebentuk susunan atom lain. Transformasi allotropic yang pada
besi Fe(δ), Fe(γ) dan Fe(α) terjadi secara difusi sehingga membutuhkan waktu
tertentu pada temperatur konstan karena reaksi mengeluarkan panas laten.
Dari gambar 1.23, dapat dilihat bahwa di sebelah kiri kurva tidak terjadi deformasi,
austenite hanya berubah kestabilan. Selanjutnya austenite yang sudah tidak stabil
tersebut mengalami dekomposisi secara isothermal. Pendinginan yang sangat cepat
berpotensi terhadap hyper-eutectoid ukuran butiran anti kritis yang berubah disamping
meningkatkan austenite yang dapat mendukung terbentuknya fase baru seperti
martensite. Ketika austenite didinginkan secara lambat, struktur yang terbentuk adalah
pearlite. Akibat dari laju pendinginan yang meningkat, maka temperature transformasi.
Pearlite akan lebih rendah. Mikrostruktur material akan berubah secara signifikan
akibat peningkatan laju pendinginan melalui sebuah pengujian pemanasan dan
pendinginan. Kita dapat mencatat transformasi dari austenite.
Pearlite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang
lebih rendah dibandingkan dengan pearlite yang halus. Hal ini erat kaitannya dengan
kelakuan presipitasi cementite dari austenite.
Bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi memiliki kekerasan yang
lebih rendah dibanding dengan bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih
rendah. Struktur bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi relatif
berbeda dengan struktur bainite yang terbentuk pada temperatur yang lebih rendah.
Pembentukan martensite sangat berbeda dibandingkan dengan pembentukan perlite
atau bainite. Pembentukan martensite hampir tidak tergantung pada waktu. Sebagai
contoh martensite mulai terbentuk sekitar 200°C (Ms) dan terus berlanjut sampai
temperatur mencapai 26°C yaitu pada saat martensite mencapai 100%
(Mf).Pembentukan martensite dikaitkan dengan waktu pada diagram dinyatakan dengan
garis horizontal. Pada 66°C hampir 60 % martensite telah terbentuk. Perbandingan ini
tidak berubah terhadap waktu sepanjang temperaturnya dijaga konstan.
Bentuk diagram tergantung dari komposisi kimia terutama kadar karbon dalam
baja. Posisi hidung dari diagram TTT dapat bergeser menurut kadar karbon. Posisi
hidung bergeser makin ke kanan menunjukkan karbon itu semakin mudah untuk
membentuk bainite atau martensite atau makin mudah untuk dikeraskan. Untuk baja
karbon kurang dari 0,83% yang ditahan suhunya pada titik tertentu akan menghasilkan
struktur pearlite dan ferite.
Garis sebelah kiri menunjukkan saat setelah berapa lama dimulai transformasi dan
garis disebelah kanannya adalah akhir transformasi (100%) pada tiap tiap suhu.
Transformasi pada gambar 1.27 terlihat bahwa dengan menggeser nose, maka
proses pendinginan yang relatif lebih lambat dibanding TTT. Diagram untuk
perbandingan kontinyu seringkali disebabkan oleh kelebihan diagram TTT yang
memberikan perkiraan terhadap klasifikasi mikrostruktur baja selama pendinginan
kontinyu.
Pada proses laju pendinginan perlahan akan menghasilkan pearlite, pada proses laju
pendinginan yang sedang akan dihasilkan pearlite dan martensite. Pada laju
pendinginan cepat akan menghasilkan yang seluruhnya martensite
∞ ∞
∑ TC ' x %C ∑ TC x %C
c=a
TC= ∞
%C= c=a ∞ ..................................................................…..(1-7)
∑ %C ∑ TC
c=a c=a
Dimana:
TC = Suhu eutectoid (C)
%C = Persentase kadar karbon (%)
Contoh soal :
Spesimen dengan komposisi kimia Cr = 1,2%, Mn = 0,3%, Si = 0,2%. Tentukan
pergeseran titik eutectoidnya.
Penyelesaiannya :
∑ TC ' x %C
TC= c=a ∞ .....................................................................................................(1-8)
∑ %C
c=a
∑ TC ' x %C
%C= c=a ∞ ....................................................................................................(1-9)
∑ TC
c=a
Keterangan : A. Fe – Fe3C
B. Pergeseran titik eutectoid
Gambar 1.30 Grafik Pergeseran Tititk Eutectoid