Anda di halaman 1dari 65

MAKALAH

“PEMENUHAN KEBUTUHAN JANGKA PANJANG”


DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEP. BENCANA
Dosen Pembimbing : Ns. Pipin Yunus S.Kep., M.Kep

OLEH
KELAS : D KEPERAWATAN 2017
KELOMPOK : 5

SITI NAZIMATULHIKMA F. YUSUF


RAHMAWATI DALI
SRI WAHYUNIANTY TALIB
NARTI PAKAYA
SLAMED ARDIANSYAH MAHMUD

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
T.A 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Gorontalo, 24 Januari 2021

Penyusun
Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI


2.1 Manajemen Penanggulan Bencana....................................................... 3
2.2 Tujuan & Prinsip Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang.................... 5
2.3 Konsep Dasar Bencana ........................................................................ 6

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan........................................................................................... 13
3.2 Saran .................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 16
LAMPIRAN REFERENSI............................................................................ 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Secara geografis, Indonesia termasuk sebagai wilayah yang rawan
terhadap berbagai kejadian bencana alam, yang dapat menimbulkan ancaman
bagi masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh baik faktor alam dan faktor
manusia (perbuatan manusia). Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008
menyebutkan bahwa penanggung jawab dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah Pemerintah Pusat dan Daerah sebab
Pemerintah memiliki wewenang untuk melaksanakan penanggulangan
bencana mulai dari prabencana, saat tanggap darurat, hingga pasca bencana.
Dalam penanggulangan pasca bencana yang disebutkan pada pasal 1 ayat
10 bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi
dan rekonstruksi berupa perbaikan dan pemulihan dari berbagai aspek yang
terdampak. Dengan demikian baik pemerintah pusat dan daerah mempunyai
tanggung jawab yang lebih besar terhadap pemulihan pasca bencana.
Fase rehabilitasi dan rekonstruksi biasanya merupakan perbaikan
infrastruktur dan fasilitas untuk memulihkan fungsi sosial dan ekonomi daerah
yang terkena bencana. Sedangkan fase rekonstruksi muncul sebagai restorasi
jangka panjang yang tidak hanya mencakup perbaikan fisik masyarakat yang
terkena dampak tetapi juga kebangkitan mata pencaharian, ekonomi, industry,
budaya, tradisi, dan lingkungan (Ong, Jamero 2016).
Phillips dalam (Sagala & Lutfiana, 2015) mengatakan pada fase
pemulihan pasca bencana pembangunan kembali dari berbagai aspek lebih
menitik beratkan pada pembangunan jangka panjang, pemulihan pasca
bencana meliputi bebrapa aspek yang menjadi fokus pemerintah yaitu Sektor
Perumahan, Ekonomi, Lingkungan Infrastruktur, Sosial Psikologis, dan
Pelayanan Publik.

1
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana pemenuhan kebutuhan jangka panjang pada penanggulangan
bencana ?

1.3 Tujuan
1) Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca dan penulis dalam hal
pemenuhan kebutuhan jangka panjang pada penanggulangan bencana
2) Pembaca dapat menerapkan upaya pemenuhan kebutuhan pada
penanggulangan bencana, terutama untuk para petugas keputusan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Penanggulangan Bencana Pada fase Pasca Bencana


Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana ini dibagi
menjadi dua tahap, yaitu fase pemulihan/recovery dan fase rekonstruksi/
rehabilitasi. Berikut adalah uraiannya
1. Fase Pemulihan
Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai
kapan, tetapi fase ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat
dengan kemampuannya sendiri dapat memulihkan fungsinya seperti
sediakala (sebelum terjadi bencana). Orang-orang melakukan
perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah ke rumah sementara,
mulai masuk sekolah ataupun bekerja kembali sambil memulihkan
lingkungan tempat tinggalnya. Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi
lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali usahanya. Institusi
pemerintah juga mulai memberikan kembali pelayanan secara normal
serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus
memberikan bantuan kepada para korban.(Suryani, 2017)
Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan dan
tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum
bencana terjadi. Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan
dari kondisi darurat ke kondisi tenang. Tahap pemulihan meliputi
tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang dilakukan pada tahap
rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena
bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal yang lebih baik,
agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi:
1. Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2. Perbaikan prasarana dan sarana umum;

3
3. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4. Pemulihan sosial psikologis;
5. Pelayanan kesehatan;
6. Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7. Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya
8. Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9. Pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10. Pemulihan fungsi pelayanan public

2. Fase Rekonstruksi
Setelah fase tanggap darurat terlewati, berikutnya adalah fase
rekonstruksi/ rehabilitasi. Jangka waktu fase rehabilitasi/rekonstruksi
juga tidak dapat ditentukan, namun ini merupakan fase dimana
individu atau masyarakat berusaha mengembalikan fungsifungsinya
seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap
seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat
kembali pada keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana,
sehingga dengan menggunakan pengalamannya tersebut diharapkan
kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat dikembangkan
secara progresif. Sedangkan tahap rekonstruksi merupakan tahap untuk
membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana
secara lebih baik dan sempurna. Oleh sebab itu pembangunannya
harus dilakukan melalui suatu perencanaan yang didahului oleh
pengkajian dari berbagai ahli dan sektor terkait.
1. Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2. Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3. Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyaraka
4. Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5. Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat;

4
6. Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7. Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
8. Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

2.2 Tujuan dan Prinsip Pemberian Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Jangka


Panjang
a. Tujuan
1. Meningkatnya mobilitas sumber daya bantuan dari pemberi
bantuan kepada penerima bantuan.
2. Tersalurkannya pemberian bantuan pemenuhan jangka panjang
kepada korban bencana secara cepat, tepat dan dapat di
pertanggung jawabkan.
3. Terselenggaranya proses pemberian bantuan sesuai dengan
prosedur dan mekanisme yang di tentukan

b. Prinsip
1. Cepat dan tepat
2. Prioritas
3. Koordinasi dan keterpaduan
4. Berdaya guna dan berhasil guna
5. Transpalansi dan akuntabilitas
6. Kemitraan
7. Pemberdayaan

5
2.3 Pemenuhan Kebutuhan Jangka Panjang
A) Pemenuhan Kebutuhan Di Bidang Kesehatan Lingkungan
Kondisi bencana alam kerap menimbulkan permasalahan lingkungan
seperti lingkungan yang tidak higenis, persediaan air yang terbatas, dan
jamban yang tidak layak. Kondisi tersebut menyebabkan korban bencana
lebih rentan untuk mengalami berbagai penyakit bahkan kematian. Dengan
demikian, sanitasi merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal
terjadinya bencana (The Sphere Project, 2011; Tekeli-Yesil, 2006)
(Suryani, 2017).
Hal itu terjadi pada berbagai bencana alam yang melanda berbagai
belahan dunia, termasuk Indonesia. Seperti bencana gempa dan tsunami di
Indonesia pada akhir 2006 lalu diikuti beberapa permasalahan terkait
kesehatan lingkungan dan sanitasi. Menurut Widayatun (2013)
permasalahan tersebut tidak secara mudah dan cepat diselesaikan karena
keterbatasan sarana dan prasarana, distribusi dan akses yang tidak merata,
privasi dari para korban bencana (khususnya perempuan) dan juga
kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi pada kondisi
darurat bencana. Sedangkan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan
lingkungan dalam penanggulangan bencana yang harus dipenuhi antara
lain:
1. Kebutuhan air bersih dan sanitasi.
2. Pangan.
3. Sandang.
4. Pelayanan Kesehatan.
5. Pelayanan psikososial.
6. Penampungan dan tempat hunian.
Standar minimal kebutuhan bidang kesehatan lingkungan saat bencana
telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 1357/Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal

6
Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 12/MENKES/SK/I/2002
tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana Di Lapangan.
Kebijakan dalam bidang sanitasi saat penanganan pengungsi adalah
mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit melalui media
lingkungan akibat terbatasnya sarana kesehatan lingkungan yang ada di
tempat pengungsian, melalui pengawasan dan perbaikan kualitas
kesehatan lingkungan dan kecukupan air bersih. Dalam situasi bencana
mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak cukup, dan dalam hal
ini pengadaan air yang layak dikonsumsi menjadi paling mendesak.
Namun biasanya problemproblem kesehatan yang berkaitan dengan air
muncul akibat kurangnya persediaan dan kondisi air yang sudah tercemar
sampai tingkat tertentu.
Air di tempat pengungsian harus layak diminum dan cukup volumenya
untuk keperluan dasar seperti minum, memasak, menjaga kebersihan
pribadi, dan rumah tangga. Air bersih tersebut juga tidak menyebabkan
timbulnya risiko besar terhadap kesehatan akibat penyakit maupun
pencemaran kimiawi atau radiologis dalam penggunaan jangka pendek.
Dari segi sanitasi, masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah
jamban yang cukup dengan jarak yang tidak jauh dari pemukiman mereka,
supaya bisa diakses secara mudah dan cepat. Masyarakat juga harus
memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis. Pada saat penanganan pascabencana
beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan membutuhkan
penanganan lebih lanjut adalah
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal,
sakit, cacat) dan ciri–ciri demografinya.
2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan
swasta.
3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.

7
5. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita,
ibu hamil, bunifas, dan manula).
6. Kemampuan dan sumberdaya setempat.

Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk menyelamatkan korban


semaksimal mungkin guna menekan angka morbilitas dan mortalitas. Hal
tersebut dipengaruhi oleh jumlah korban, keadaan korban, geografi, lokasi,
fasilitas yang tersedia di lokasi, dan sumberdaya yang ada. Faktor lain yang
juga mempengaruhi penanganan bencana adalah organisasi di lapangan,
komunikasi, dokumen, dan tata kerja.

B) Kebutuhan Pasca Bencana Sektor Permukiman


Kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana sektor
permukiman terdiri atas pemenuhan kebutuhan stimulant bantuan
pembangunan/perbaikan rumah rusak berat dan rumah rusak sedang,
sedangkan bagi rumah rusak ringan diserahkan kebijakannya pada
pemerintah daerah setempat.

C) Kebutuhan Pasca Bencana Sektor Infrastruktur


Secara umum pemenuhan kebutuhan sektor infrastruktur adalah
membangun kembali dengan kualitas lebih baik terhadap asset yang rusak
pada sub sektor Transportasi, Energi, Air dan Sanitasi, dan Sumberdaya
Air. Selain memperbaiki aset yang rusak, kebutuhan infrastruktur menuju
daerah relokasi juga perlu dipenuhi.

D) Kebutuhan Pasca Bencana Sektor Ekonomi Produktif


Akibat kejadian bencana kegiatan perekonomian masyarakat terhenti
dan tidak dapat melakukan aktivitas ekonomi karena kehilangan mata
pencaharian. Perkiraan kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi sektor
ekonomi produktif mencakup Pertanian, Peternakan, Perdagangan,
Koperasi, Perikanan, Pariwisata, Lahan Kritis dan Sumberdaya Air.

8
E) Kebutuhan Pasca Bencana Sektor Sosial
Dampak bencana pada sektor sosial meliputi sub sektor pendidikan,
kesehatan, agama, dan lembaga sosial.

F) Kebutuhan Pasca Bencana Sektor Lintas Sektor


Kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana untuk sektor
lintas sektor adalah berupa pembangunan kembali bangunan yang rusak
berat dan perbaikan untuk bangunan yang mengalami rusak sedang dan
rusak ringan.

G) Strategi Rehabilitasi dan Rekonstruksi


Berdasarkan penilaian kerusakan dan kerugian atau dampak bencana,
dan di presentasikan kerusakan dan kerugian yang paling besar.
1. Sektor Permukiman
Permasalahan pokok dalam pemulihan perumahan dan
permukiman korban bencana adalah:
a. Hilangnya tempat tinggal yang tersebar dan bervariasi termasuk aset-
aset rumah tangga sehingga dapat menyebabkan munculnya bencana
lain akibat kondisi tempat pengungsian, seperti wabah penyakit dan
permasalahan kesehatan.
b. Rumah yang juga digunakan sebagai tempat usaha kecil/mikro,
berakibat pada hilang/rusaknya peralatan produksi
Untuk itu, ditetapkan strategi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi
sektor perumahan dan permukiman sebagai berikut:
a. Bantuan stimulant untuk rumah rusak berat dan rumah rusak sedang
b. Pemberian bantuan stimulant berdasarkan hasil verifikasi penerima
bantuan perumahan, status kepemilikan lahan dan bangunan
berdasarkan by name by address yang akan dibentuk dalam
kelompok

9
c. Bantuan stimulant diperuntukan untuk membangun struktur rumah
ramah gempa sesuai dengan standar konstruksi yang didalamnya
termasuk biaya bahan dan upah
d. Strategi pembangunan perumahan bertumpu pada inisiatif dan
prakarsa masyarakat dengan tidak meninggalkan kearifan local
e. Untuk relokasi, perlu melakukan penataan ulang tata letak bangunan
melalui participatory planning yang berpedoman pada rencana tata
ruang wilayah yang berbasis pengurangan risiko bencana
f. Berkoordinasi dengan Kemeterian PU-Pera untuk pendampingan
pelaksanaan pembangunan rumah

2. Sektor Infrastruktur
Strategi pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sektor
infrstruktur meliputi:
a. Rehabilitasi dan rekonstruksi sektor infrastruktur dilaksanakan
dalam rangka mendukung terselenggaranya pemulihan
perekonomian masyarakat
b. Pembangunan kembali infrastruktur publik dengan memperhatikan
kebijakan sektor terkait dan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten/Kota
c. Memulihkan fungsi dan membangun kembali infrastruktur publik,
yaitu transportasi dan sumber daya air sesuai dengan
kewenangannya
d. Rehabilitasi dan rekonstruksi infrastruktur mengacu pada standar
teknis terkait

3. Sektor Ekonomi
Pada sektor ekonomi produktif, sub sektor perdagangan merupakan
yang paling terdampak, strategi yang ditetapkan meliputi:
a. Mendorong dan mendukung rehabilitasi dan rekonstruksi prasarana
fisik di bidang ekonomi

10
b. Pemberian pendampingan dalam pemulihan usaha, termasuk
pelatihan kewirausahaan
c. Berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam
menyaipkan kebijakan/skema pemulihan dan pengembangan
UMKM, perindustrian, termasuk pemanfaatan dana APBN atau
sumber lain
d. Koordinasi dengan pihak swasta dalam dukungan pemanfaatan
corporate social responsibility (CSR)

4. Sektor Sosial
Strategi yang ditetapkan untuk mencapai sasaran penyelenggaraan
pelayanan pendidikan, kesehatan dan peribadahan dalam rehabilitasi
dan rekonstruksi di sektor sosial meliputi:
a. Pemulihan layanan pendidikan melalui rehabilitasi sarana dan
prasarana pendidikan milik pemerintah (misalnya fasilitas PAUD,
TK, SD, SMP, dan SMU), pemberian bantuan peralatan sekolah
dan inisiasi sekolah siaga bencana
b. Pemulihan layanan kesehatan melalui rehabilitasi sarana dan
prasaranan kesehatan milik pemerintahb(Rumah Sakit dan
Puskesmas), layanan gizi masyarakat, dan pemulihan psikososial
c. Pemulihan sarana dan prasarana peribadahan
d. Pendidikan dan pelatihan pengurangan risiko bencana guna
menumbuhkan dan menanamkan budaya keselamatan dan
kesiapsiagaan bagi masyarakat yang berada di kawasan rawan
bencana tinggi

5. Lintas Sektor
Strategi untuk mencapai sasaran penyelenggaraan pelayanan lintas
sektor meliputi:
a. Pemulihan kembali fungsi layanan publik dan sarana prasarana
pemerintahan

11
b. Fasilitas kemudahan dalam proses pengurusan surat berharga dan
administrasi kependudukan
c. Sosialisasi dan pelatihan pengurangan risiko bencana dalam rangka
meningkatkan pemahaman dan kesiapsiagaan masyarakat terhadap
bencana
d. Penggalian dan pendokumntasian pembelajaran pelaksanaan
rehabilitasi dan rekonstruksi berbasis manajemen pengetahuan
(knowledge management), untuk memastikan bencana dimasa yang
akan datang.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara geografis, Indonesia termasuk sebagai wilayah yang rawan terhadap berbagai
kejadian bencana alam, yang dapat menimbulkan ancaman bagi masyarakat Indonesia yang
disebabkan oleh baik faktor alam dan faktor manusia (perbuatan manusia).
Manajemen penanggulangan bencana pada fase pasca bencana ini dibagi menjadi dua
tahap, yaitu fase pemulihan/recovery dan fase rekonstruksi/ rehabilitasi.
1. Fase Pemulihan
Fase pemulihan sulit dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase ini
merupakan fase dimana individu atau masyarakat dangan kemampuannya sendiri dapat
memulihkan fungsinya seperti sediakala (sebelum terjadi bencana).
2. Fase Rekontruksi
Setelah fase tanggap darurat terlewati, berikutnya adalah fase rekonstruksi/rehabilitasi.
Jangka waktu rehabilitasi/rekonstruksi juga tidak dapat ditentukan, namun ini merupakan
fase dimana individu atau masyarakat berusaha mengembalikan fungsi-fungsinya seperti
sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi terhadap seluruh komunitas.
Permasalahan tersebut tidak secara mudah dan cepat diselesaikan karena keterbatasan
sarana dan prasarana, distribusi dan akses yang tidak merata, privasi dari para korban
bencana (khususnya perempuan) dan juga kurangnya kesadaran dan prilaku masyarakat
terkait sanitasi pada kondisi darurat bencana. Sedangkan berdasarkan UU No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana pemenuhan kebutuhan dasae bidang kesehatan
lingkungan dalam penanggulangan bencana yang harus dipenuhi antara lain:
1) Kebutuhan air bersih dan sanitasi
2) Pangan
3) Sandang
4) Pelayanan kesehatan
5) Pelayanan psikososial
6) Penampungan dan tempat hunian
Pada saat penanganan pascabencana beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan
membutuhkan penanganan lebih lanjut adalah
1) Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal, sakit, cacat)
dan ciri-ciri demografinya.
2) Jumlah fasilitas kesehtan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta
3) Ketersediaan obat dan alat kesehatan
4) Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas
5) Kelompok-kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu hamil,
bunifas, dan manula)
6) Kemampuan dan sumberdaya setempat
Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk menyelamatkan korban semaksimal mungkin guna
menekan angka morbilitas dan mortalitas. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah korban,
keadaan korban, geografi, lokasi, fasilitas yang tersedia dilokasi, dan sumber daya yang ada.
Faktor lain yang juga mempengaruhi penanganan bencana adalah organisasi di lapangan,
komunikasi, dokumen, dan tata kerja.

3.2 Saran
Terkait dengan hal tersebut, saya menyarankan beberapa hal untuk diperhatikan seperti
berikut ini :
a. Menjadi perawat yang mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas baik
sebelum terjadi bencana atau pasca bencana
b. Perlu adanya peningkatan pengetahuan dasar masyarakat tentang pengurangan risiko
bencana, agar masyarakat dapat berkontribusi secara nyata dalam penanggulangan
bencana di daerahnya masing-masing.
c. Perlu dikembangkan kerjasama dengan stakeholder lain dalam pengurangan resiko
bencana sehingga dapat berjalan optimal dan berkelanjutan, berwawasan lingkungan
hidup dan berkeadilan.
d. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran karena masih banyak kekurangan dan
Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan
lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Suryani, A. S. (2017). Pemenuhan Kebutuhan Dasar Bidang Kesehatan Lingkungan Bagi


Penyintas Bencana Studi di Peovinsi Riau dan Jawa Tengah. Aspirasi, 8(1), 43–63.
https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/1254
LAMPIRAN REFERENSI
PEMULIHAN PASCA BENCANA GEMPA BUMI DI LOMBOK
UTARA PADA TAHUN 2018

Heru Kusuma Bakti1, Achmad Nurmandi2

1 ,2Magister
Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan
Brawijaya, Geblagan, Tamantirto, Kec. Kasihan, Bantul, DIY, 55183, Indonesia
e-mail: herukusuma3@gmail.com

Diterima: 21 Februari 2020, Direvisi: 04 April 2020, Disetujui: 22 Juni 2020

Abstrak

Guncangan gempa bumi berkekuatan 7.0 SR yang terjadi di Provinsi NTB khususnya
Lombok Utara pada tahun 2018 yang lalu telah berdampak kepada kondisi berbagai
aspek kehidupan masyarakat dan pemerintah di Kabupaten Lombok Utara, untuk itu
tentu pemerintah daerah punya tanggung jawab yang lebih besar untuk melakukan
pemulihan pasca terjadinya bencana hal tersebut juga tertuang dalam Undang-undang
No 24 Tahun 2007, penelitian ini bertujuan untuk melihat upaya pemulihan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah melalui proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan
di olah dengan aplikasi Nvivo 12 Plus. Hasil menunjukan bahwa upaya yang dilakukan
oleh pemerintah daerah adalah dengan melakukan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang
telah ditetapkan melalui 5 aspek utama yaitu Sektor Sosial, Ekonomi, Infrastruktur,
Pemukiman serta Lintas Sektor. Akan tetapi dalam proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah banyak menimbulkan persoalan di masyarakat
khususnya di Sektor Pemukiman, rumitnya proses birokrasi menimbulkan lambatnya
pemulihan sektor pemukiman, ketidak puasan masyarakat dalam pendataan kategori
rusak ringan, sedang maupun rusak berat yang dilakukan oleh pemerintah daerah serta
kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses pemulihan juga merupakan
permasalahan yang terjadi pada proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi.

Kata kunci: Bencana, Gempa Bumi, Pemulihan Bencana, rehabilitasi dan rekonstruksi

Abstract

Shock earthquake with a magnitude of 7.0 that occurred in NTB Province, especially
North Lombok in 2018, has had an impact on the conditions of various aspects of
community and government life in North Lombok. Therefore, local governments have a
greater responsibility to carry out recovery after the occurrence disaster, this study aims
to look at the recovery efforts undertaken by the local government through the
Rehabilitation and Reconstruction process. This research is descriptive in nature using a
qualitative research method and treated with the application of Nvivo 12 Plus. The
results show that the efforts made by the local government are to carry out the
Rehabilitation and Reconstruction that have been determined through 5 main aspects
namely the Social, Economic, Infrastructure, Settlement and Cross-Sector . However, in
the process of Rehabilitation and Reconstruction carried out by the Regional
Government, many problems in the community, especially in the Settlement Sector, the
complexity of the bureaucratic process caused slow recovery of the residential sector,
community dissatisfaction in the data collection categories of minor, moderate and
severe damage carried out by the local government as well the lack of community
involvement in the recovery process is also a problem in the Rehabilitation and
Reconstruction process.

Keywords: Disasters, Earthquakes, Disaster Recovery, rehabilitation and reconstruction

PENDAHULUAN ancaman tinggi terhadap gempa bumi. Hal ini


Secara geografis, Indonesia termasuk juga didukung oleh kondisi struktur geologi
sebagai wilayah yang rawan terhadap berbagai Pulau Lombok. Daerah Kabupaten Lombok
kejadian bencana alam, yang dapat Utara, meskipun tidak berada langsung di zona
menimbulkan ancaman bagi masyarakat tumbukan lempeng besar seperti di Lombok
Indonesia yg disebabkan oleh baik faktor alam bagian Selatan, tapi tumbukan pada lempeng
dan faktor manusia (perbuatan manusia). Salah besar tersebut juga akan bisa memicu getaran
satu bencana yang sering terjadi di Indonesia pada daerah Back Arc (Busur Belakang)
adalah Gempa Bumi seperti yang terjadi di dimana lokasi Kabupaten Lombok Utara
Lombok Nusa Tenggara Barat pada tahun menurut tatanan tektoniknya. Berikut data
2018 yang lalu. Bencana yang terjadi di sebaran gempa Lombok pada Juli 2018 lalu.
Indonesia khususnya Lombok telah
menimbulkan keperihatinan semua lapisan
Masyarakat terkhususnya pemerintah yang
mempunyai peran penting dalam pencegahan
ataupun penanganan setelah terjadinya
bencana.
Sejak satu tahun berlalu gempa
berkekuatan 7.0 SR yang melanda Nusa
Tenggara Barat khususnya di Kabupaaten
Lombok Utara pada tanggal 5 Juli 2018 masih
menyisakan duka mendalam bagi masyarakat
Lombok Utara, sebagian masyarakat masih
tinggal di rumah sementara karena masih
trauma dan sampai saat ini gempa kecil pun
masih sering terjadi. Kepulauan Nusa
Tenggara Barat khususnya Lombok secara
tektonik memang kawasan seismik aktif.
Lombok menjadi wilayah yang rawan terhadap
Gambar 1. Peta Sebaran Pusat Gempa
potensi diguncang bencana Gempa Bumi
Lombok pada Bulan Juli sampai dengan 13
karena Lombok terletak diantara pembangkit
September 2018
gempa dari selatan dan utara. Sebelah selatan
terdapat zona subduksi lempeng Indo- Dampak dari gempa di Lombok Utara
Australia yang menunjam kebawah Pulau menyebabkan sebanyak 537 jiwa meninggal
Lombok, dari sebelah utara terdapat struktur dunia, 101.735 jiwa mengungsi, hampir 76
geologi Sesar Naik Flores, yang jalurnya ribu bangunan rumah mengalami rusak berat,
memanjang dari laut Bali ke timur hingga rusak sedang maupun rusak ringan, selain itu,
Flores, dari pada ituPulau Lombok memang berbagai fasilitas ekonomi (pasar, pertokoan,
rawan gempa jalur Sesar naik Flores(Tim perhotelan dan akomodasi lainnya), fasilitas
Seismologi Teknik BMKG, 2018). Sejalan umum dan sosial, kantor pemerintahan, sarana
dengan Lewerissa dalam Wekke menjelaskan dan prasarana transportasi, komunikasi, air
bahwa Gempa bumi yang menghantam Pulau bersih serta layanan publik lainnya terganggu.
Lombok disebabkan oleh lempeng tektonik
Australia yang bergerak ke barat laut sampai
ke utara (Wekke et al., 2019).
Semua Desa di Kabupaten Lombok
Utara termasuk dalam kategori memiliki
Tabel 1. Rekapitulasi Penilaian Kerusakan dan Kerugian
Total Kerusakan
Nilai Kerusakan Nilai Kerugian
No Sektor dan Kerugian
(Rp) (Rp)
(Rp)
1 Pemukiman 3,505,485,200,000 3,731,409,800,000 7,236,895,000,000
2 Infrastruktur 303,676,794,062 15,943,406,000 319,620,200,062
3 Sosial 1,160,633,995,036 169,893,013,566 1,330,527,008,602
4 Ekonomi 274,310,973,839 428,718,820,000 703,029,793,839
5 Lintas Sektor 235,104,235,250 166,009,017,698 401,113,252,948
TOTAL 5,479,211,198,187 4,511,974,057,264 9,991,185,255,451
Sumber: Dokumen Rencana Aksi Rehab Rekon Pasca Gempa Lombok Utara 2018

Dari tabel di atas angka kerusakan dan tanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi
kerugian yang di alami oleh pemerintah daerah dan rekonstruksi berupa perbaikan dan
mencapai 10 Triliun, sebagai Kabupaten baru pemulihan dari berbagai aspek yang
pemerintah daerah tentunya membutuhkan terdampak. Dengan demikian baik Pemerintah
dukungan dari semua pihak, dan dari tabel Pusat dan Daerah mempunyai tanggung jawab
tersebut sektor pemukiman menjadi kerugian yang lebih besar terhadap pemulihan pasca
terbesar bagi pemerintah daerah. Dengan bencana.
angka kebutuhan Rehabilitasi dan Pemulihan pasca bencana menjadi
Rekonstruksi mencapai 6 Triliun, dengan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan
komposisi rencana pendanaan dari APBN dengan manajemen kebencanaan yang ada di
sebesar 51,04,51% yang terdiri dari DSP Indonesia. Manajemen bencana gempa bumi
BNPB, Anggaran Kementerian/Lembaga dan terdiri dari dua kegiatan (1) Pra bencana dan
Usulan Hibah RR. Dana berasal dari sumber (2) Pasca bencana. Kegiatan pasca bencana,
lainnya yaitu dana masyarakat dan dunia usaha mencakup, antara lain, respons bencana /
sebesar 21,11%, berasal APBD Kabupaten tanggap darurat, serta pemulihan bencana.
Lombok Utara sebesar 3,44% dan dari APBD Kegiatan pra bencana meliputi kesiapsiagaan,
Provinsi NTB sebesar 0,35%. Dalam Undang- pendidikan kesadaran risiko, pelatihan,
undang No. 24 Tahun 2007 tentang perencanaan tata ruang, dan desain struktur
penangulangan bencana juga telah tahan bencana (Kholil et al., 2019).
mengamanatkan pemerintah baik itu (Army, 2015) berpendapat proses
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah pemulihan telah menjadi salah satu langkah
sebagai penyelenggara utama yang penting yang harus diimplementasikan setelah
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bencana terjadi senada dengan (Ziqiang Han,
kegiatan pemulihan pasca bencana (Daswati et 2017) pemulihan bencana dapat
al., 2019). Peraturan Pemerintah Nomor 21 dikonseptualisasikan sebagai proses diferensial
Tahun 2008 juga menyebutkan bahwa memulihkan, membangun kembali, dan
penanggung jawab dalam penyelenggaraan membentuk kembali lingkungan fisik, sosial
penanggulangan bencana adalah Pemerintah ekonomi dan alam melalui perencanaan dan
Pusat dan Daerah sebab Pemerintah memiliki tindakan pasca terjadinya bencana, pemulihan
wewenang untuk melaksanakan bencana bisa menjadi peluang untuk
Penanggulangan bencana mulai dari pemerintah dalam membangun daerah agar
prabencana, saat tanggap darurat, hingga lebih baik dan dapat bertahan pada resiko
pascabencana. Dalam penanggulangan pasca bencana yang lebih besar pada waktu
bencana yang disebutkan pada pasal mendatang. Proses pemulihan tersebut disebut
1 ayat 10 bahwa pemerintah memiliki
sebagai fase Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Fase rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana masih dilakukan oleh
biasanya merupakan perbaikan infrastruktur pemerintah Lombok Utara dan tentu tidak
dan fasilitas untuk memulihkan fungsi sosial cukup sampai 1 atau 2 tahun kedepan untuk
dan ekonomi daerah yang terkena bencana mengembalikan fungsi
sedangkan fase rekonstruksi muncul sebagai penghidupan masyarakat seperti sebelum
restorasi jangka panjang yang tidak hanya terjadinya bencana dan dari pada itu penulis
mencakup perbaikan fisik masyarakat yang akan membahas tentang upaya pemulihan yang
terkena dampak tetapi juga kebangkitan mata dilakukan oleh pemerintah Lombok Utara
pencaharian, ekonomi, industri, budaya, pasca bencana gempa bumi yang terjadi di
tradisi, dan lingkungan (Ong, Jamero 2016). NTB pada tahun lalu khususnya di Lombok
Proses pemulihan pasca bencana tentu Utara di berbagai sektor seperti Pemukiman,
membutuhkan waktu beberapa minggu hingga Infrastruktur, Ekonomi, Sosial, dan Lintas
lebih dari satu tahun, tergantung pada tingkat Sektor.
kerusakan dan infrastruktur yang akan
diperbaiki. Phillips dalam (Sagala & Lutfiana, METODE PENELITIAN
2015) mengatakan pada fase pemulihan pasca
bencana pembangunan kembali dari berbagai Penelitian ini mengkaji tentang
aspek lebih menitikberatkan pada pemulihan pasca gempa yang terjadi di Nusa
pembangunan jangka panjang, pemulihan Tenggara Barat khususnya di Lombok Utara
pasca bencana melputi beberaapa aspek yang pada tahun 2018 yang lalu, penelitian ini
menjadi fokus pemerintah yaitu Sektor menggunakan pendekatan metode deskriftif
Perumahan, Ekonomi, Lingkungan kualitatif, data primer yang digunakan oleh
Infrastruktur, Sosial Psikologis dan Pelayanan peneliti ialah dokumen perencanaan
Publik. (Horney et al., 2018) berpendapat rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah di
pemulihan bencana yang baik harus tetapkan oleh pemerintah daerah dan data
mendukung peningkatan dalam perencanaan sekunder di ambil dari berita online terkait
mitigasi, kesiapan, dan pengembangan yang rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa
akan berkontribusi pada peningkatan Lombok Utara yang bisa di pertanggung
ketahanan bencana di masa depan. Untuk itu jawabkan tingkat keakuratannya, dan data
pemerintah tidak hanya memberikan tersebut di olah dengan menggunakan aplikasi
pelayanan kepada masyarakat akan tetapi Nvivo 12 Plus setalah di lakukan
mempersiapkan resioko bencana yang akan pengcodingan langkah yang dilakukan
datang dengan melihat perencanaan mitigasi, selanjutnya adalah dengan menggunakan
kesiapan dan sebagainya, apalagi Lombok crostab untuk melihat upaya-upaya yang
masih mempunyai resiko bencana Gempa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam
besar yang akan datang. United Nations proses rehabilitasi dan rekonstruksi.
Development Programme (UNDP) pada
artikelnya juga menjelaskan bahwa proses HASIL DAN PEMBAHASAN
pemulihan pasca terjadinya bencana mencakup
Pemulihan Pasca Bencana Gempa Bumi
4 bidang yang harus terpenuhi dengan
berfokus pada : (1) Pemulihan sektor ekonomi, Lombok Utara Tahun 2018
(2) Sektor pelayanan publik seperti Pada bab ini peneliti akan menyajikan
pendidikan, kesehatandan serta pelayanan hasil serta pembahasan terkait pemulihan
publik lainnya (3) Perumahan yang terdampak pasca bencana dalam hal ini proses rehabilitasi
bencana, (4) Sektor infrastruktur (UNDP, dan rekonstruksi yang telah di olah dari
2015). aplikasi Nvivo 12 Plus, hasil menunjukkan
Sampai pada saat ini kegiatan pemulihan
bahwa dalam proses pemulihan rehabilitasi
dan rekonstruksi yang dilakukan oleh
pemerintah Lombok Utara ditatapkan melalui
Sektor Sosial, Ekonomi, Pemukiman,
Infrastruktur serta
Lintas Sektor dan di berbagai sektor tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan
telah di tetapkan melalui sub bidang masing- pembangunannya dan meningkatnya kondisi
masing yang telah di rencanakan melalui ekonomi masyarakat lokal dan daerah yang
proses penilaian kerusakan dan kerugian, atau lebih baik, lebih aman dan lebih berkelanjutan
penilaian dan perhitungan dalam jangka panjang untuk itu pemerintah
pascabencana (JITUPASNA) Lombok utara harus memulihkan sektor
yang menghasilkan estimasi ekonomi berbasis ketahanan untk
kerusakan dan kerugian yang dihitung untuk 5 keberlanjutan masyarakat. Pada pemulihan
(lima) sektor utama tersebut. pasca bencana Lombok pemerintah telah
menetapkan rencana aksi dalam proses
Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang meliputi
Sektor Pemukiman, Sosial, Infrastruktur,
Ekonomi, serta Lintas Sektor sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan oleh baik
BNPB maupun pemerintah pusat, dibeberapa
daerah juga telah dilakukan hal serupa untuk
melakukan rencana aksi dalam proses
rehabilitasi dan rekonstruksi. (Coffey, 2017)
pada kasus pasca bencana letusan gunung
Merapi dan Sinabung pemerintah juga telah
menetapkan untuk melakukan proses
Rehabilitasi dan Rekonstruksi melalui
Gambar 2. Pemerintah Daerah dalam berbagai sektor di antaranya Sektor
Pemulihan berbagai Sektor Pemukiman, Sosial, Infrastruktur, Ekonomi,
serta Lintas Sektor. Pada kasus pasca bencana
Meskipun saat ini sektor pemukiman letusan merapi pemulihan awal yang dilakukan
dan sosial menjadi prioritas utama dalam oleh pemerintah setempat meliputi
pemulihan pasca bencana tetapi dari grafik di memulihkan fungsi dan layanan dasar
atas menjelaskan bahwa sektor ekonomi lebih pemerintah, infrastruktur, serta kehidupan
dominan dikarenakan dalam pengolahan data sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat
di Nvivo lebih banyak berbicara terkait dengan dengan cara memulihkan lembaga-lembaga
program yang di upayakan pemerintah sosial masyarakat yang terkena dampak yang
bersama lembaga pemerintah lain dan swasta vital untuk proses pemulihan (rehabilitasi dan
untuk memperbaiki kondisi ekonomi rekonstruksi) jangka panjang. Memberikan
masyarakat terdampak, sebab sektor ekonomi stimulus untuk pemulihan mata pencaharian
merupakan bidang yang terpenting untuk ekonomi dan pendapatan. Tak hanya itu
penghidupan masyarakat yang akan datang. penelitian (Kurnia, 2017) tentang pelaksanaan
Menurut (Hadi, 2019) dari pengalaman kebijakan rehab rekon perumahan pasca
pemulihan ekonomi pascabencana sebelumnya gempa 30 september 2009 di Sumatra Barat
dari beberapa bencana lain yang telah pemerintah menetapkan rencana aksi
dilakukan, khususnya setelah gempa pemulihan pasca bencana meliputi pada
Yogyakarta dan letusan Gunung Merapi, kegiatan 4 sektor yaitu: Sektor Perumahan,
bahwa proses dan tahapan pemulihan ekonomi Infrastruktur, gedung pemerintahan, Sosial,
membutuhkan waktu yang relatif lebih lama Ekonomi produktif. Berikut peneliti akan
dibandingkan dengan pemulihan bidang lain, menjelaskan hasil temuan dari masing-masing
sehingga target pemulihan yang tidak hanya sektor.
pulih ke kondisi awal dapat tercapai, tetapi
lebih
Pemulihan Sektor sosial sekolah, pemerintah pusat melalui
Sektor sosial merupakan sektor yang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
terkena dampak terbesar setelah pemukiman, menyiapkan dana bantuan pendidikan Rp 229
kebutuhan pemulihan terbesar pada sektor miliar untuk mendukung pemulihan sarana
sosial terdapat pada sarana keagamaan pendukung kegiatan belajar dan mengajar
67,32%, Pendidikan sebesar 19,42%, Fasilitas pascagempa Lombok khusunya di Lombok
kesehatan 11,71% dan sarana seni budaya Utara sebelumnya pemerintah telah
sebesar 1,56%. Kerusakan pada sektor sosial menyediakan tenda darurat untk belajar
di bidang pendidikan telah menyebabkan siswa mengajar di sekolah, sampai saat ini Dinas
tidak dapat bersekolah untuk beberapa minggu Dikpora Lombok Utara mengklaim
yang diakibatkan gedung sekolah hancur pasca pembangunan gedung sekolah mencapai
gempa, Pelayanan kesehatan yang menurun, 70 % dan sisanya masih dalam tahap
dan masyarakat tidak dapat melakukan ibadah pengerjaan, untuk mengurangi resiko bencana
di tempat-tempat ibadah. , Pemulihan di sektor kedepannya pemerintah daerah haruslah
sosial dilakukan di beberapa sub-sektor di mendesain rekonstruksi gedung sekolah
bidang pendidikan, kesehatan, agama dan berbasis tahan terhadap gempa.
budaya. Di bidang Kesehatan hampir seluruh
puskesmas dan pustu hancur akibat dari
bencana Gempa Bumi, tentu masyarakat
membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik
pasca terjadinya bencana , pemulihan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah pada awal
masa pemulihan adalah pendirian puskesmas
darurat atau sementara untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
terdampak bencana, saat ini pemerintah telah
mulai membangun puskesmas melalui
kementerian kesehatan pemerintah memberi
bantuan dana kepada pemerintah daerah,
pembangunan yang di prioritaskan pertama
Gambar 3. Pemulihan Sektor Sosial Dari
adalah RSUD Lombok Utara dikarenakan
bangunan yang sudah tak layak pakai akibat
figure hasil Nvivo 12 di atas
bencana gempa, pemerintah juga mendapat
pemulihan sektor sosial dilakukan melalui sub
dukungan dari berbagai pihak non pemerintah
bidang bidang pendidikan dan kesehatan, pada
atau lembaga swasta dalam pembangunan
bidang pendidikan hampir seluruh fasilitas
fasilitas kesehatan seperti pustu, tidak hanya
pendidikan di Lombok Utara hancur mulai dari
dari pembangunan fisik saja akan tetapi
SD, SMP dan SMA serta setingkat lainnya,
memberikan pelayanan trauma healing kepada
akibatnya banyak siswa yang tidak bisa belajar
masyarakat terutama kepada anak-anak dengan
disekolahnya masing-masing, mereka
tujuan memulihkan kondisi psikologis atau
menggunakan tenda-tenda darurat untuk
trauma pasca terjadinya bencana gempa bumi.
mengikuti proses belajar mengajar. Upaya
Pada aspek keagamaan juga dampak kerusakan
pemulihan awal yang dilakukan oleh
yang tidak akibat dari bencana gempa bumi,
pemerintah adalah membuat tenda- tenda
untuk membangun kembali fasilitas ibadah
darurat atau sekolah sementara untuk proses
masyarakat pemerintah bekerjasama dengan
belajar menajar. Pemerintah juga melibatkan
berbagai lembaga non pemerintah untuk
lembaga atau arganisasi lain dalam
membangun fasilitas
merekonstruksi gedung
ibadah baik semi permanan ataupun permanen. (Baytiyeh, 2019). Belajar dari gempa di cina
Pemerintah telah membangun gedung sekolah Sebelum membangun gedung dilakukan survei
dengan skema tahan terhadap gempa, geologis terlebih dahulu untuk mengidentifikasi
membangun sekolah yang tahan terhadap topografi, geologi, dan kemudian membangun
gempa dapat dianggap sebagai langkah bangunan di daerah di mana bangunan tahan
pertama untuk membuat sekolah tangguh gempa serta diusahakan untuk menghindari
dalam menghadaapi gempa yang akan datang lokasi bangunan yang aseismik. Perlu dicatat
bahwa dalam hal apa pun, sekolah tidak boleh sarana dan prasarana dari pariwisata yang
dibangun di atas patahan aktif, tanah longsor, rusak dll menyebabkan terjadinya
atau pencairan tanah, yang berada di area pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil bagi
tahan gempa. Ini akan mencegah gedung pemerintah dan masyarakat. Upaya pemulihan
sekolah dari kerusakan parah akibat gempa yang dilakukan oleh pemerintah di bidang
bumi (Duan et al., 2018). Begitupun dengan Sektor Ekonomi meliputi berbagai sub bidang
gedung pelayanan kesehatan seperti Rumah di antaranya UMKM, pertanian dan
Sakit dan Puskesmas pemerintah harusnya perkebunan, perikanan dan peternakan,
melakukan kajian mendalam terlebih dahulu, perdagangan, serta pariwisata seperti yang
mengambil kebijakan yang tepat adalah salah terlihat pada Gambar berikut.
satu dari keberhasilan pemulihan pasca
bencana. Peneliti berpendapat bahwa untuk
pemulihan pasca gempa yang terjadi perlu
adanya ketahanan berbasis masyarakat
dikarenakan seperti yang sudah di katakan
NTB khususnya Lombok mempunyai resiko
gempa yang besar di masa yang akan datang
untuk perlunya membangun kesadaran
masyarakat untuk bisa berdampingan dengan
bencana yang akan datang, pemerintah harus
memberi edukasi kepada masyarakat
bagaimana memberi ketahanan terhadap
bahaya bencana.

Pemulihan Sektor Ekonomi Gambar 4. Pemulihan Sektor Ekonomi Pada


Perekonomian di Lombok Utara pasca
gempa bumi merupakan sektor yang pemulihan tahap awal
mengalami kerugian cukup signifikan, pembangunan pasar menjadi prioritas
rusaknya aset dari para pelaku usaha dan pemerintah dalam mengembalikan kondisi
UMKM, para petani mengalami kerugian pada ekonomi masyarakat agar perekonomian
saat panen serta banyaknya fasilitas masyarakat bisa berjalan dengan baik.
Dibidang UMKM yang dilakukan oleh
pemerintah daerah adalah memberikan
santunan kepada pelaku usaha kecil melalui
kementerian, sebanyak 148 orang pedagang
usaha kecil yang tersebar di beberapa
kecamatan yang ada di lombok utara menerima
masing-masing Rp 2 Juta untuk membantu
pemulihan kondisi usaha ekonomi. Pada
bidang UMKM pemerintah lebih banyak
memberikan pendampingan kepada pelaku
usaha dalam hal ini pemerintah bekerjasama
dengan pihak non pemerintah untuk memberi
pelatihan kepada pelaku usaha UMKM untk
mengelola serta meningkatkan nilai jual atau
meningkatkan produktifitas dari usaha yang
dimiliki dengan mengelola sumber daya alam
lokal, tidak pemerintah daerah
juga berupaya menciptakan Wira Usaha Baru upaya yang di lakukan oleh pemerintah dalam
(WUB) bagi masyarakat dengan memberikan membantu petani pasca pemulihan bencana
peralatan penunjang untuk produksi, dalam dengan melakukan
melakukan kegiatan tersebut pemerintah perlu pendistribusian bantuan pupuk, bibit tanaman,
dukungan dari semua pihak pemangku alat pertanian dan perkebunan melalui koperasi
kepentingan baik di Provinsi, Pusat dan maupun unit usaha tani, pengadaan pelatihan
Organisasi Swasta, pada bidang pertanian manajemen lahan untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya petani dalam mengolah lahan bersinergi dalam membantu masyarakat untuk
agar semakin efektif serta pelatihan dan bangkit dari keterpurukan akibat gempa. 60 %
pendampingan usaha pertanian Pendapatan dari pemerintah daerah berasal
berkelanjutan dengan bekerjasama dengan dari Pariwisata, meskipun perbaikan sarana-
Koperasi, BUMDES, BUMD, Pemerintah dan prasarana pariwisata sudah dilakukan akan
Swasta untuk meningkatkan produktifitas hasil tetapi itu tidak cukup untuk menarik
pertanian dan bernilai jual karena menurut wisatawan datang ke Lombok Utara perlu
(Abraham, 2018) kejadian gempa di Lombok adanya langkah strategis dari pemerintah
Utara berdasarkan waktu dan data kerugian dalam pemulihan pariwisata contoh konkrit
yang dilaporkan, terjadi pada saat panen, ini yang bisa dilakukan oleh pemerintah selain
yang menyebabkan pada akhirnya hasil dari melakukan perbaikan fisik adalah dengan
panan tersebut mengalami kerugian serta mengembalikan citra pariwisata Lombok
penurunan kualitas dan tentu para petani akan Utara, karena citra merupakan kesan atau
lebih fokus untuk bisa membangun kembali penilaian yang diberikan publik terhadap objek
rumah mereka yang rusak. pariwisata yang ada di Lombok Utara pasca
Pada bidang pariwisata
terjadinya gempa pada tahun 2018 pariwisata
pemerintah memberikan bantuan atau dana NTB khususnya Lombok Utara mendapat citra
stimulan untuk perbaikan sarana prasarana yang negatif dari berbagai wisatawan sehingga
desa wisata serta untuk peningkatan ekonomi para wisatawan berfikir kembali untuk datang
pelaku usaha di desa wisata selain itu melalui ke Lombok, tentu pemerintah harus berupaya
pemerintah pusat pemerintah daerah terus sedemikian rupa untuk mengembalikan citra
melakukan perbaikan pada fasilitas wisata pariwisata yang ada d Lombok Utara. (Joakim
yang ada di Lombok Utara dikarenakan & Wismer, 2015) belajar dari pemulihan pasca
pemasukan PAD Lombok Utara masuk gempa yogyakarta pada tahun 2006 untuk
melalui pariwisata. Pada pemulihan sektor pemulihan sektor ekonomi masyarakat bantul
ekonomi masyarakat di tuntut untuk membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mengembangkan ekonomi berdasarkan sumber bisa pulih kembali, upaya yang dilakukan oleh
daya potensial yang ada di sekitar, serta pemerintah Bantul hampir sama dengan apa
pengembangan ekonomi kreatif yang di yang dilakukan oleh Pemerintah Lombok
dasarkan pada kearifan lokal dalam hal ini Utara sepeti memberikan pelatihan kepada
pemerintah bersama pihak swasta pelaku UMKM dan memberikan bantuan
peralatan untk mendukung usaha masyarfakat
akan tetapi pemerintah tidak mendirikan
lembaga keuangan mikro untuk memberikan
dukungan modal pelaku usaha untuk baik
pelaku usaha UMKM yang sudah terbentuk
maupun akan di bentuk serta masyarakat diberi
dukungan pemasaran dan jaringan untuk
mempromosikan penjualan produk mereka,
inilah yang harus di upayakan oleh pemerintah
Lombok Utara dalam membantu para pelaku
usaha UMKM sebab peralatan tanpa dukungan
modal tentu tidak akan berjalan secara
maksimal. Senada dengan (Dinda, 2018)
dalam
penelitian tentang pemulihan pasca bencana Akibat dari bencana gempa yang
Gunung Sinabung pada pemulihan ekonomi melanda Lombok pada tahun lalu sektor
pemerintah memberikan kursus keterampilan perumah merupakan sektor yang sangat besar
kepada masyarakat dan memberi modal untuk dampaknya bagi masyarakat dan pemerintah
usaha kecil dan menengah dan pemerintah daerah, dari data yang ada hampir 50 ribu unit
sendiri membuka lapangan pekerjaan berbasis rumah mengalami kerusakan baik rusak berat,
keterampilan ekonomi kreatif. sedang maupun ringan, pembangunan
pemukiman nantinya di kelola dengan skema
Sektor Pemukiman swakelola berbasis masyarakat yangdirancang
menggunakan strategi pengorganisasian ringan. tapi pada sampai saat rekonstruksi
masyarakat serta bertumpu pada inisiatif dan rumah masih menjadi permasalahan pemeintah
prakarsa masyarakat dan tentu dengan tidak bersama masyarakat di daerah, banyak
meninggalkan kearifan lokal serta gotong masyarakat belum menerima haknya untuk
royong dalam membangun rumah berbasis bantuan rekonstruksi rumah tersebut,
tahan gempa,ada beberapa pilihan yang di permasalahan terbesar pada pembangunan
tawarkan oleh pemerintahan kepada RTG tersebut ada pada proses birokrasi yang
masyarakat seperti Risha (rumah instan berbelit, mulai dari persoalan penerima,
sederhana sehat), Rika (rumah instan kayu) pokmas, nama ganda penerima, belum lagi
dan Riko (rumah instan konvensional). Untuk persoalan fasilitator yang kurang, bahan
pemulihan awal yang dilakukan oleh bangunan yang langka SDM tukang yang
pemerintah daerah bersama kementerian dan minim dan masih banyak lagi. Salah satu
pihak non pemerintah atau lembaga swasta lembaga non pemerintah yang membantu
adalah membangun rumah sementara kepada daerah dalam penanggulangan pasca bencana
masyarakat yang terdampak meskipun tidak adalah lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT),
semua mendapat bantuan serta masyarakat bentuk kerjasama yang dilakukan ditunjukkan
juga lebih banyak bergerak sendiri untuk dengan penyediaan posko- posko pengungsian
membuat rumah sementara sebagai tempat serta membuat pemukiman sementara untuk
tinggal. Pemerintah melalui Kementerian para korban bencana tak hanya itu ACT juga
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun WC Umum di beberapa tempat
menyediakan dana rekonstruksi sekitar Rp50 khususnya tempat yang jauh dari jangkauan,
juta per keluarga untuk mereka yang menderita tak hanya ACT tetapi PMI juga telah
kerusakan perumahan berat 25 juta per membangun fasilitas umum berupa 20 Toilet
keluarga untuk mereka yang menderita umum serta mushola. tapi yang menjadi
kerusakan perumahan sedang dan Rp10 juta permasalahan sampai pada saat ini adalah
per keluarga untuk mereka yang menderita banyaknya masyarakat yang masih mengeluh
kerusakan perumahan terhadap kualitas perumahan yang di bangun
sebab banyak bangunan yang tidak sesuai
dengan spek yang di tawarkan karena
pekerjaan pemukiman ini melalui pihak ketiga
dan masih banyaknya masyarakat yang belum
mendapatkan dana stimulan untuk
pembangunan rumah. Dari data yang ada
jumlah total rumah rusak berat 44.014 yang
sudah jadi 100 persen baru sebanyak 6.863
dengan presentase 15.59 persen. Sementara
untuk rumah rusak sedang yang totalnya 1.758
unit yang sudah jadi 100 persen baru 101 unit
atau 3.75 persen. Untuk rumah rusak ringan
dari total 4.081 yang sudah jadi sebanyak 316
atau 7.74 persen sedangkan dari perkiraan
awal pemulihan sektor permukiman
dilaksanakan selama dua tahun anggaran,
yakni tahun anggaran 2018-2019 dengan
prioritas pembangunan rumah dilaksanakan
pada tahun 2018 tetapi pada kenyataannya
masih jauh dari yang di rencanakan (Ong et resiko rawan terhadap bencana yaitu pada sesar
al., 2016) mengatakan Rekonstruksi aktif ditetapkan kebijakan pemindahan atau
perumahan adalah salah satu kegiatan relokasi ke tempat yang aman sesuai dengan
terpenting pada proses rekonstruksi rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
pascabencana, tanpa membangun kembali Bencana Geologi (PVMBG) melalui mekanisme
rumah, kemampuan rumah tangga untuk relokasi komunal maupun mandiri. Adapun
melakukan kegiatan normal akan terhambat. rumah yang berada pada zona aman dapat
Untuk pemukiman yang berada di kawasan dilakukan pembangunan kembali/perbaikan
secara in-situ (tapak semula) tetapi sampai di rasakan dengan baik. berbeda dengan yang
pada pemulihan saat ini relokasi warga tidak dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
dapat dilakukan karena berbagai pertimbangan Lombok Utara dalam rencana aksi rehabilitasi
akibatnya masyarakat tetap membangun rumah dan rekonstruksi menekankan bahwa dalam
di tempat semula. Upaya untuk merehabilitasi pembangunan kembali rumah warga perlunya
dan rekonstruksi yang telah dilakukan keterlibatan masyarakat atau partisipasi
pemerintah pun telah dilaksakan hingga saat masyarakat dalam pembangunan rumah akan
ini, tetapi banyak yg menjadi masalahan saat tetapi pada kenyataannya keterlibatan
pembangunan rumah warga dari awal masyarakat dalam
pelaksanaan sampai pada saaat ini, dari perencanaan sampai pada pelaksanaan
keadaan birokrasi yang berbelit-belit sampai rekonstruksi rumah keterlibatan partisipasi
masih adanya masyarakat yang belum masyarakat masih kurang, dibentuknya
mernerima dana stimulan perbaikan rumah. Kelompok Masyarakat atau POKMAS
(Christ et al., 2017) Belajar dari
memang dinilai baik untuk membawa
pengalaman erupsi merapi 2010 tentang semangat gotong royong akan tetapi tidak
rekonstruksi permukiman berbasis masyarakat berjalan secara maksimal karena sebagian
di Kabupaten Cangkringan pemerintah besar masyarakat lebih memilih untuk
menggunakan sistem Rekompak yang diadopsi menggunakan pihak ketiga dalam
dari keberhasilan pemulihan di Aceh dan pembangunan rumah, dari segi pengawasan
Bantul. Sistem ini menempatkan pemerintah pun masih lemah ini terlihat dari
masyarakat sebagai aktor utama dalam banyaknya rumah yang tidak sesuai dengan
rekonstruksi permukiman. Setiap fase dalam spesifikasi rumah tahan gempa, serta
Rekonstruksi Permukiman Berbasis banyaknya aplikator yang korupsi uang dana
Masyarakat di Kabupaten Cangkringan seperti stimulan rumah. Penelitian dari (Ophiyandri et
perencanaan, konstruksi, kontrol dan evaluasi, al., 2013) mengungkapkan keberhasilan Aceh,
melibatkan masyarakat, Masyarakat Nias dan Yogyakarta dalam merekonstruksi
mengambil peran penting dalam proses perumahan di dukung oleh beberapa faktor
rekonstruksi, hasil dari program ini bagi yaitu, transparansi dan akuntabilitas, strategi /
masyarakat benar-benar kebijakan rekonstruksi yang tepat, dan
pemahaman tentang metode berbasis
masyarakat, partisipasi dan kontrol masyarakat
serta koordinasi dan komunikasi yang baik.
Tanpa adanya transparansi dari pemerintah
tentu masyarakat menaruh ketidakpercayaan
kepada pemerintah serta akan berdampak
kepada faktor keberhasilan yang lainnya.
Pemerintah seharusnya melakukan
mengevaluasi dikarenakan banyaknya
permasalahan yang masih terjadi di
masyarakat khususnya rekonstruksi rumah
warga sebab rekonstruksi menjadi suatu yang
penting bagi kehidupan masyarakat.
Sektor Infrastruktur ekonomi masyarakat sekitar. Dari laporan yang
ada angka kerugian yang di timbulkan mencapai
Sektor Infrastruktur merupakan sektor Rp.303.676.794.062, pemulihan pada sektor
penting untuk mendukung kegiatan aktifitas Infrastruktur dilakukan melalui sub bidang di
sosial dan ekonomi masyarakat, tanpa antaranya terdiri atas pemenuhan kebutuhan sub
infrastruktur yang baik tentu aktifitas sosial sektor transportasi baik darat laut dan
ekonomi masyarakat menjadi terhambat. sebagainya, energi, sumber daya air, pos dan
Terjadinya bencana gempa yang komunikasi serta sanitasi dan kebutuhan air
terjadi pada tahun 2018 di Lombok Utara bersih.
mengakibatkan rusaknya berbagai infrastruktur
yang ada dan aktifitas masyarakat menjadi
terganggu serta secara tidak langsung
berdampak terhadap kondisi sosial dan
terputusnya jaringan air bersih PDAM dan
sumur milik masyarakat yang tertutup akibat
reruntuhan gempa membuat para warga
kesulitan dalam mendapatkan air bersih, tentu
dalam perbaikan jaringan PDAM tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama. Pada
bidang transportasi darat pemerintah
melakukan perbaikan jalan yang mengalami
kerusakan berat guna memudahkan akses baik
untuk menyalurkan bantuan ataupun untuk
mendukung kegiatan ekonomi masyarakat,
beberapa jembatan
penghubung antar wilayah saat ini juga telah
Gambar 5. Pemulihan sektor infrastruktur
selesai di rekonstruksi bersama kementerian
Pekerjaan Umum. Pada bidang Sanitasi dan air
Dari figure diatas dapat dilihat bahwa bidang
bersih pemulihan awal yang dilakukan oleh
air bersih menjadi suatu perhatian serisu dari
pemerintah bersama lembaga terkait ataupun
pemerintah dan non pemerintah karena
swasta memberikan sumur bor kepada wilayah
menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat,
yang terdampak terutama yang jauh dari
pemenuhan air bersih dan sanitasi pasca
jangkauan air dan saat ini rekonstruksi Sumber
bencana merupakan suatu hal yang paling
air telah selesai di kerjakan oleh institusi
mendasar dan tentu menjadi priorotas dalam
terkait dalam hal ini PDAM.
pemulihan pasca bencana yang terjadi di
Lombok Utara terlihat dari berbagai upaya
yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah,
Lintas Sektor
pada saat gempa Dampak yang di timbulkan pasca
terjadinya gempa bumi pada lintas sektor
berupa kerusakan fisik dari kantor-kantor
pemerintaha yang ada di Lombok Utara
sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas
pelayanan kepada masyarakat, kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana
lintas sektor terdiri atas pemenuhan kebutuhan
sub sektor Pemerintahan, keamanan ketertiban,
Lingkungan Hidup, perbankan dan
pengurangan resiko bencana, dengan perkiraan
total kebutuhan sebesar Rp. 389,195,154,943
diperuntukan tersebesar untuk sub sektor
pemerintahan yaitu 58,58% mengingat hampir
seluruh kantor pemerintahan mengalami
kerusakan berat maupun sedang.

Meskipun dari hasil Nvivo 12


pengurangan resiko bencana mencapai 33
% tetapi prioritas awal yang dilakukan oleh
pemerintah adalah pada pemulihan kembali
fungsi pelayanan publik dan sarana prasarana
pemerintahan seperti pembangunan tenda-tenda
darurat atau kantor sementara untuk kebutuhan
pelayanan kepada masyarakat.
Pembangunan kembali secara permanen
gedung-gedung pemerintahan yang rusak tentu
akan dilakukan secara bertahap mengingat
kebutuhan yang di butuhkan oleh pemerintah
Gambar 6. Pemulihan Lintas Sektor
daerah tidaklah sedikit, seiring dengan
menunggu komitmen pemerintah pusat untuk serta penghidupan masyaraka
memberikan anggaran lebih kepada kedepannya, upaya lain yang telah di lakukan
pemerintah Lombok Utara. Pemerintah oleh pemerintah daerah dalam rangka
menginginkan untuk pembangunan gedung meningkatkan pemahaman serta kesiapsiagaan
kantor bupati diharapkan Kemendagri bisa masyarakat terhadap resioko bencana yang
membantu dalam hal pembiayaan. Pada bidang akan datang yaitu dengan memberikan
pengurangan resiko bencana warga yang sosialisasi dan memberi pelatihan pengurangan
berada di kawasan rawan bencana tinggi, resiko bencana, serta pepemrintah telah
diupayakan untuk di lakukan relokasi ke membentuk desa siaga bencana di beberapa
tempat yang aman sesuai dengan rekomendasi desa, Pendidikan dan pelatihan pengurangan
PVMBG karena ada beberapa wilayah risiko bencana juga telah dilakukan guna
berdasarkan hasil kajian di rekomendasikan menumbuhkan dan menanamkan budaya
untk di relokasi sebab ada sekitar 29 Dusun di keselamatan dan kesiapsiagaan bagi
dataran tinggi dinilai harus direlokasi, masyarakat yang berada di kawasan rawan
pemerintah juga tidak semudah itu untuk bencana tinggi selain itu pemerintah juga
melakukan relokasi, dan yang menjadi membentuk sekolah siaga bencana untuk
permasalahan adalah banyak warga yang beberapa sekolah di Lombok Utara, siswa di
menolak di relokasi karena beberapa beri pelatihan atau edukasi terkait dengan
pertimbangan dan juga pemerintah mitigasi bencana tentu ini menjadi langkah
memerlukan kajian yang lebih luas terkait yang baik untuk pemerintah mengurangi resiko
dengan pembiayaan bencana untuk yang akan datang. Seperti yang
di ketahui pemulihan Lintas Sektor dilakukan
melalui berbagai sub bidang tetapi yang
menjadi sorotan penting dalam diskusi ini
adalah Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
yang akan datang sebab potensi adanya
bencana di Lombok masih sangat besar untuk
itu sangat penting PRB menjadi prioritas
pemerintah daerah selain merekonstruksi di
bidang lain. Pemerintah daerah mempunyai
kapasitas atau peran penting dalam
pengurangan resiko bencana, pengurangan
risiko bencana menjadi suatu kebutuhan yang
harus direncanakan secara sistematis oleh
pemangku kepentingan dalam menghadapi
resiko bencana yang akan datang, pengurangan
resiko bencana berbasis masyarak bisa menjadi
jawaban dalam hal tersebut pemerintah harus
melibatkan masyarakat serta memberikan
pendidikan kebencanaan kepada
masyarakt, penelitian dari (Pascapurnama et
al., 2018) belajar dari jepang negara yang
rawan akan adanya resiko bencana, pendidikan
bencana di Jepang telah diterapkan sejak sedini
mungkin kepada anak-anak sekolah
yang dinamakan Sekolah Siaga Bencana (SSB) sekolah dasar, siswa diajarkan mengenali jenis-
pemerintah Jepang menyadari bahwa siswa jenis bencana, mengetahui peran pekerja publik
adalah salah satu ujung tombak dalam seperti petugas pemadam kebakaran, dan
pencegahan dan tanggapan bencana. Di mencegah cedera ketika terjadi bencana. Di
sekolah, pendidikan bencana diatur tingkat masyarakat umum pemerintah harus
berdasarkan Undang-Undang yang telah melibatkan dalam hal kesiapsiagaan, tanggap
ditetapkan oleh pemerintah jepang serta darurat, dan pemulihan dari bencana alam. PRB
pendidikan kebencanaan telah masuk ke berbasis masyarakat memungkinkan masyarakat
kurikulum sekolah, misalnya, di tingkat untuk berpartisipasi secara positif dan aktif
dalam rencana PRB sehingga mereka dapat membuat pemetaan resiko bencana agar
diberdayakan dan memiliki peningkatan memudahkan dalam perencanaan PRB
kapasitas mereka untuk mengurangi tersebut.
kerentanan mereka terhadap bahaya alam. Di
Indonesia, kegiatan-kegiatan dalam PRB
KESIMPULAN
berbasis masyarakat secara umum memang
telah di terapakan tetapi sangat sedikit Dari penelitian yang telah dilakukan
pemerintah yang paham akan konsep dari PRB kesimpulan ialah pemerintah lombok utara
berbasis masyarakat tersebut atau tidak dalam melakukan pemulihan pasca bencana
berjalannya secara efektif. Pasca terjadinya berfokus melalui 5 Sektor diantaranya Sektor
Gempa Bumi di Lombok Utara pemerintah Pemkiman, Ekonomi, Infrastruktur, Sosial dan
memang telah menerapkan dibeberapa sekolah Lintas Sektor dari berbagai sektor tersebut
program Sekolah Siaga Bencana (SSB) ini memiliki sub bidang pemulihan, serta
merupakan langkah baik yang telah di lakukan pemulihan pasca bencana berpedoman kepada
oleh pemerintah yang perlu mencadi evaluasi Inpres Nomor 5 tahun 2018 tentang percepatan
adalah tidak hanya memberikan sekedar Rehabilitasi dan Rekonstruksi penanganan
simulasi kebencanaan gempa Lombok yang telah di buat oleh
akan tetapi harus dimasukkan kedalam Presiden RI, penyusunan rencana rehabilitasi
kurikulum pendidikan sekolah agar bisa dan rekonstruksi pasca terjadinya bencana
bertahan pada resiko bencana mendatang serta didasarkan pada hasil Pengkajian Kebutuhan
agenda PRB harus masuk kedalam ke dalam Pasca Bencana (Jitu Pasna) yang telah di susun
rencana pembangunan daerah, pemerintah bersama lembaga pemerintah yang mempunyai
daerah harus mulai meninjau dan wewenang dan rencana tersebut dipadukan
mengevaluasi rencana tata ruang yang ada dengan kebijakan serta kemampuan
untuk disinkronkan dengan rencana dan pembiayaan dari pemerintah Pusat maupun
program untuk mengurangi Risiko Bencana. Daerah, dunia usaha atau sumber dana lainnya
Dalam hal ini, BAPPEDA memiliki posisi yang sah.Pemulihan pasca gempa lombok juga
strategis sebagai perencana PRB serta telah melibatkan berbagai lembaga
pemerintah daerah harus kepentingan yang terkait seperti kementerian
dan lembaga lain serta pihak non pemerintah
atau swasta telah banyak bersinergi dengan
pemerintah daera untuk membantu
meringankan beban masyarakat. Pada awal
masa pemulihan pasca bencana pembangunan
pemukiman masyarakat, fasilitas fisik
pendidikan sperti gedung sekolah serta
pemulihan sektor ekonomi menjadi skala
prioritas pemerintah daerah, pemulihan sektor
ekonomi telah dilakukan dengan berbagai
upaya pendampingan serta pelatihan kepada
masyarakat khususnya pelaku UMKM akan
tidak cukup kuat untuk memberikan modal
ataupun keberlanjtan pemasaran yang
diberikan oleh pemerintah. Meskipun
pemulihan berjalan dengan baik sampai pada
saat ini tetapi ada sejumlah permasalahan yang
harus di jadikan bahan
evaluasi pemerintah daerah seperti yang dibangun masih jauh yang di harapkan.
keterlambatan pembangunan Rumah Tahan
Gempa (RTG) bagi masyarakat yang sampai DAFTAR PUSTAKA
pada saat ini juga masih banyak yang belum
menerima bantuan serta masih adanya Abraham , Wiwaha, A. D. (2018). Strategi
fasilitator yang bermasalah di lapangan Recovery Sektor Pertanian
sehingga menyebabkan terjadinya Pascabencana Gempa Di Kabupaten
keterlambatan ini terlihat dari jumlah rumah Lombok Utara. Journal Dialog
Penanggulangan Bencana BNPB, 9(2), Shelters post disaster ( ICS ) in the City of
102–115. Palu.
Army, B. T. H. E. (2015). Post-Disaster Housing Dinda Kurnia Putri, Syafri Anwar, I. U. (2018).
Reconstruction in Indonesia: Review and Jurnal kapita selekta geografi.
Lessons from 1(November), 56–63.
Aceh, Yogyakarta, West
Java and Duan, Y., Bo, J., Li, X., & Su, Z. (2018).
West Sumatera Earthquakes. Earthquake damage analysis of school
8(1), 78–85. buildings in Jiuzhaigou. IOP Conference
https://doi.org/10.1007/978-4-431- Series: Materials Science and
54255-1 Engineering, 392(4).

Baytiyeh, H. (2019). Why School Resilience https://doi.org/10.1088/1757-


Should Be Critical for the Post- 899X/392/4/042016
Earthquake Recovery of Communities in Hadi, S. (2019). Learning from The Legacy of
Divided Societies. Education and Urban Post-Disaster Recovery in Indonesia for
Society, 51(5), 693–711. The Acceleration of Post-Disaster
https://doi.org/10.1177/0013124517 Recovery in Lombok. Jurnal Perencanaan
747035 Pembangunan: The Indonesian Journal
Christ, Samekto, D., & Nuh, M. (2017). Journal of Development Planning, 3(1),
of Public Administration Studies 14–31.
Evaluation of community-based
https://doi.org/10.36574/jpp.v3i1.56
settlement reconstruction program  :
Case study in post-disaster recovery of Horney, J. A., Dwyer, C., Chirra, B., McCarthy,
2010 Merapi volcano eruption in K., Shafer, J., & Smith, G. (2018).
Cangkringan district. 1(3), 64–70. Measuring Successful Disaster Recovery.
International Journal of Mass
Coffey, M. (2017). The role of Post Disaster
Emergencies and Disasters, 36(1), 1–22.
Needs Assessments in adressing
vulnerability of Internally Displaced https://www.researchgate.net/publi
Persons in the Post Disaster Recovery cation/325155344
Process. Review, 85(6), 1–22.
Joakim, E. P., & Wismer, S. K. (2015).
https://doi.org/10.20955/r.85.67
Livelihood recovery after disaster.
Daswati, D., Samad, M. A., & Wekke, I. S.
Development in Practice, 25(3), 401–
(2019). Collaborative Governance Dalam 418. https://doi.org/10.1080/09614524.20
Pengelolaan Integrated Community 15.1020764
Shelter Pasca Bencana Di Kota Palu Kholil, Setyawan, A., Ariani, N., & Ramli,
Collaborative Governance in the S. (2019). Bencana Gempa Bumi Di
management of Integrated Community Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat
( Disaster Commuication in 4 . 0 Era  :
Review Earthquake Disaster Mitigation
in Lombok West Nusa Tenggara ). 11(1),
0–3. https://doi.org/10.9734/AJEE/2019

/v11i130128
Kurnia, M. L. (2017). Pelaksanaan Kebijakan
Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Perumahan Pasca Gempa
30 September 2009 di Sumatera Barat.
Pagaruyuang Law Journal,
1(1), 76–91.
http://joernal.umsb.ac.id/index.php
/pagaruyuang/index
Ong, J. M., Jamero, M. L., Esteban, M.,
Honda, R., & Onuki, M. (2016).
Sagala, S. Am. R. P. B. G. B. J. B. 2009, &
Lutfiana, D. (2015). Manajemen
Rekonstruksi Pasca Bencana Gempa
Bumi Jawa Barat 2009. 1–13.

Tim Seismologi Teknik BMKG. (2018).


Ulasan Guncangan Tanah Akibat
Gempa Bumi Lombok Utara.

UNDP. (2015). Supporting Nepal in Building


Back Better: Livelihoods and
Community Infrastructure. May.

Wekke, I. S., Rajindra, R., Pushpalal, D.,


Samad, M. A., Yani, A., & Umam, R.
(2019). Educational Institution on
Responding Disasters in Palu of
Indonesia. INA-Rxiv
Papers.
https://doi.org/10.31227/osf.io/drc 8q
Ziqiang Han. (2017). Recovering
from Catastrophic
Disaster in Asia.
https://doi.org/https://doi.org/10.
1108/S2040-726220160000018001
PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR
BIDANG KESEHATAN LINGKUNGAN BAGI PENYINTAS
BENCANA STUDI DI PROVINSI RIAU DAN JAWA TENGAH

Fullfillment of Basic Needs in Environmental Health for Disaster


Survivors
Study in Riau and Central Java Province

Anih Sri Suryani

Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta
Naskah diterima: 10 Maret 2017
Naskah dikoreksi: 21 Mei 2017 Naskah diterbitkan: Juni 2017

Abstract: Various disasters that often happen in Indonesia have caused


various disadvantages and catastrophes for the victims and the disaster
survivors. This paper aims to examine the fulfillment of basic environmental
health needs for disaster survivors in Riau and Central Java Provinces.
Questionnaires and interviews were distributed to various stakeholders in both
provinces. The disaster that often struck Riau Province is the smoke haze
caused by land and forest fires. While Central Java Province has a high index
of disaster vulnerability, with high frequency occurrence of flood, landslide,
drought and abrasion/tides on the beach among others. The results showed
that respondents thought that the needs of the disaster survivors have been
met. Similarly, basic compliance indicators such as clothing, food, clean water
and sanitation, health full met or at least partly met care, psychosocial
services, and shelter have also been fully met or at least partly met. Likewise
various government programs and community participation have been
undertaken to ensure that disaster survivors have received satisfactory
assistante in terms of environmental health.

162
Keywords: environmental health, disaster survivors, disaster management.

Abstrak: Berbagai kejadian bencana yang kerap terjadi di Indonesia telah


menimbulkan berbagai kerugian dan malapetaka bagi para korban dan
penyintas bencana. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah pemenuhan
kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan bagi para penyintas bencana di
Provinsi Riau dan Jawa Tengah. Penyebaran kuesioner dan wawancara
dilakukan kepada berbagai stakeholder di kedua provinsi tersebut. Bencana
yang kerap melanda Provinsi Riau adalah kabut asap yang disebabkan
kebakaran lahan dan hutan. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah mempunyai
indeks kerawanan bencana yang tinggi dan bencana dengan frekuensi kejadian
yang tinggi seperti: banjir, longsor, kekeringan, dan abrasi/gelombang pasang
di pantai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden beranggapan
pemenuhan kebutuhan bagi para penyintas bencana telah dilakukan dengan
baik. Begitu juga indikator pemenuhan dasar seperti sandang, pangan,
kebutuhan air bersih, dan sanitasi, pelayan kesehatan, pelayanan psikososial
dan penampungan serta tempat hunian telah dipenuhi dengan baik atau
minimal cukup baik. Berbagai program pemerintah dan partisipasi masyarakat
juga telah dilakukan untuk memastikan bahwa para penyintas bencana telah
mendapatkan pemenuhan kebutuhan di bidang kesehatan lingkungan dengan
baik.

Kata Kunci: kesehatan lingkungan, penyintas bencana, manajemen bencana.

Pendahuluan
Berlokasi di Cincin Api Pasifik (sebuah area dengan banyak aktivitas
tektonik), Indonesia harus beradaptasi dengan berbagai resiko bencana yang
kerap terjadi seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir, dan tsunami.
Selama 15 tahun terakhir, Indonesia menjadi headline di media- media dunia
karena bencana alam yang mengerikan dan menyebabkan korban jiwa dan harta
benda. Berbagai bencana tersebut telah menimbulkan kematian ratusan ribu

163
manusia dan hewan. Selain itu, bencana juga menghancurkan wilayah daratan,
termasuk sekian banyak lahan dan fasilitas infrastruktur yang telah dibangun.
Perubahan paradigma yang terkandung di dalam semangat UU No. 24
Tahun 2007 ialah penanganan bencana secara sistematis sesuai dengan standar
penanganan bencana internasional yang mengikuti siklus disaster management.
Perlu diperhatikan bahwa kegiatan penanganan bencana harus dilaksanakan ketika
bencana itu sendiri belum terjadi. Para pemangku kepentingan harus
menyesuaikan diri dengan perspektif sistem penanggulangan bencana bahwa
bencana adalah bagian dari program pembangunan atau pelayanan publik yang
harus dilaksanakan secara rutin, meliputi semua aspek yang menyangkut
pengurangan risiko bencana, bukan hanya pada saat terjadi darurat bencana.
Dengan demikian, pengelolaan bencana harus diarahkan kepada semua kegiatan
yang terdapat dalam siklus penanggulangan bencana, mulai ketika tidak ada
bencana, kesiapsiagaan atau mitigasi, tanggap-darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi, hingga pendidikan kepada masyarakat mengenai pentingnya upaya
pencegahan dan penyelamatan ketika terjadi bencana.
Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Indonesia memiliki 12 jenis ancaman bencana yang berisiko tinggi, yakni: (1)
gempa bumi, (2) tsunami, (3) letusan gunung berapi, (4) gerakan tanah (tanah
longsor), (5) banjir, (6) banjir bandang, (7) kekeringan, (8) cuaca ekstrim, (9)
gelombang ekstrim dan abrasi, (10) kebakaran hutan dan lahan, (11) epidemi dan
wabah penyakit, dan (12) gagal teknologi.
Pada Juni 2016 lalu, bencana banjir dan longsor melanda 16 daerah
Provinsi Jawa Tengah. Ribuan rumah hancur disapu banjir atau tertimbun longsor
akibat hujan lebat yang turun sejak pagi hingga malam hari di Purworejo,
Banjarnegara, Kendal, Sragen, Purbalingga, Banyumas, Sukoharjo, Kebumen,
Wonosobo, Pemalang, Klaten, Magelang, Wonogiri, Cilacap, Karanganyar, dan
Solo. Akibat bencana tersebut tercatat setidaknya 47 orang tewas dan 15 orang
dinyatakan hilang. Sementara ribuan orang harus dievakuasi karena kondisi
tempat tinggalnya yang sudah tidak layak huni lagi.1

164
Di samping bencana geologis, bencana lain yang akhir-akhir ini melanda
berbagai wilayah di Indonesia secara rutin adalah bencana kabut asap. Kabut
asap yang terjadi disebabkan oleh kebakaran hutan. Tercatat setidaknya 6 provinsi
dengan bencana kabut asap yang parah, yakni Riau, Jambi dan Sumatera Selatan
di Pulau Sumatra dan Provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan
Kalimantan Timur di Pulau Kalimantan. Pada 14 September 2015, keadaan
darurat ditetapkan di Provinsi Riau karena tingkat pencemaran udara dari asap
yang melebihi batas berbahaya. Ribuan warga terpaksa keluar dari ibukota
Pekanbaru, terutama anak-anak dan ibu hamil.2

1
Korban Longsor Jawa Tengah, 47 Tewas dan 15 hilang,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160620_in
donesia_longsor_ purworejo, diakses 17 Januari 2017.
2
Polusi Asap Asia Tenggara 2015, https://id.wikipedia.
org/wiki/Polusi_asap_Asia_Tenggara_2015, diakses 9 Juni 2016.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan total


lahan yang terbakar di Sumatra dan Kalimantan mencapai 1,7 juta hektar dengan
titik api sekitar 1.800. Kabut asap tersebut selain mengganggu secara kesehatan,
juga menganggu aktivitas perdagangan dan ekonomi masyarakat. Dampak
ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai
lebih dari Rp200 trilliun, dihitung secara kasar dilihat dari kerugian ekonomi,
tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa, dan penerbangan.3
Sementara itu, Urban Planning and Disaster Management Bappenas,
mengungkapkan sepanjang 10 tahun terakhir kerugian diderita Indonesia akibat
bencana alam mencapai Rp162 triliun. Jumlah tersebut sedikit lebih kecil jika
dibandingkan dengan data yang dimiliki United National Development Project
(UNDP) sebesar Rp400 triliun.4
Bencana alam merupakan situasi yang gawat dan mengakibatkan penderitaan
bagi manusia. Manusia dianggap tidak berdaya pada bencana alam, bahkan sejak
awal peradabannya. Ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya

165
manajemen darurat menyebabkan kerugian dalam berbagai bidang seperti bidang
keuangan, struktural, dan korban jiwa. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada
kemampuan manusia untuk mencegah dan menghindari bencana serta daya
tahannya. Menurut Bankoff (2003) “bencana muncul bila bertemu dengan
ketidakberdayaan”. Dengan demikian aktivitas alam yang berbahaya dapat
berubah menjadi bencana alam apabila manusia tidak memiliki daya tahan yang
kuat. Risiko kematian, risiko cedera, risiko penularan penyakit, kehilangan tempat
tinggal, kekurangan bahan makanan, dan minimnya layanan kesehatan dasar saat
bencana cukup tinggi.
Bencana demi bencana yang terjadi di Indonesia tentu membutuhkan
penanganan yang baik, agar masyarakat yang tertimpa bencana mampu bangkit
kembali. Terlepas dari perdebatan mengenai bencana alam yang juga merupakan
dampak dari buruknya hubungan manusia dengan alam, ada poin penting yang
sangat mengkhawatirkan dalam rangkaian bencana ini, yaitu sektor
penanggulangan bencana.

3
Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indones
ia_kabutasap, diakses 9 Juni 2016.
4
Bappenas: Kerugian Bencana di Indonesia Capai Rp 162 Triliun,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/09/193100726/Bappen
as.Kerugian. Bencana.di.Indonesia.Capai.Rp.162.Triliun, diakses 9 Juni
2016.

Dalam penanggulangan bencana di berbagai pelosok Nusantara beberapa


tahun terakhir, pemerintah tampak kewalahan. Alasan klasik seperti minimnya
peralatan dan sarana pemenuhan kebutuhan korban bencana selalu muncul.
Misalnya, dalam kasus banjir pemerintah selalu beralasan kekurangan perahu
karet, minimnya pasokan kebutuhan pengungsi, ketiadaan genset cadangan, dan
berbagai kendala lain. Seperti sebuah siklus, kerusakan alam dan lingkungan
menimbulkan terjadinya bencana, namun kemudian bencana itu sendiri membuat
kondisi alam dan lingkungan menjadi semakin parah kerusakannya. Seperti

166
halnya bencana longsor yang salah satu penyebabnya adalah kerusakan
lingkungan karena ketiadaan tanaman penahan longsor di hulu.
Pasca bencana, kondisi bentangan alam dapat berubah, berbagai infrastruktur
termasuk sarana prasarana lingkungan mengalami kerusakan. Demikian juga
pada bencana kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran lahan dan hutan. Saat
dan setelah bencana terjadi, sekian banyak hutan dan lahan musnah menjadi
arang dan udara bersih menjadi hal yang langka di kawasan tersebut. Dengan
kondisi sedemikian, banyak hal yang menjadi korban. Para penyintas bencana
merupakan korban yang utama. Kerugian baik berupa materi, nonmateri, korban
harta benda bahkan nyawa mereka rasakan langsung. Penyintas bencana (dalam
bahasa Inggris diistilahkah survivor) merupakan korban yang selamat dan dapat
bertahan hidup. Penyintas ini memiliki perspektif yang lebih aktif, berdaya dan
lebih positif daripada istilah ‘korban’ (victim) yang seolah-olah menderita,
tersakiti, dsb.5
Pada beberapa kasus kebencanaan, penderitaan korban makin bertambah
karena kebutuhan dasar mereka seperti sandang, pangan, dan papan tidak
terpenuhi. Misalnya pada bencana longsor di Kabupaten Dairi Sumatera Utara,
walaupun bantuan berupa makanan dan layak pakai telah disiapkan baik oleh
pemerintah maupun dari warga lainnya, namun tidak dapat sampai ke korban.
Penyebab utamanya adalah akses jalan yang terganggu, sehingga barang- barang
bantuan tersebut tidak dapat didistribusikan kepada para korban dan penyintas
bencana.
Demikian juga saat terjadi bencana tanah longsor di Sumatera Barat. Bantuan
untuk korban tanah longsor di Kecamatan Salak dan Kerajaan di Sumatera
Barat, seperti roti, buah-buahan, dan sayur-sayuran terus mengalir.

4 Psikologi Bencana, Pelayanan Penyintas–Disaster Psychology,


http://www.academia.edu/254528/Psikologi_Bencana_Pelayanan_Penyintas
_Disaster_Psychology, diakses 17 Mei 2017.

167
Tetapi, karena jalanan rusak, banyak makanan yang diterima dalam kondisi
membusuk. Keadaan tersebut membuat sebagian penyumbang kecewa dan lebih
memilih menyalurkan barang secara langsung ke lokasi terdekat. Kondisi
demikian menyebabkan pengguliran bantuan menjadi timpang dan tidak merata.6
Persediaan pangan yang tidak mencukupi berdampak pada penurunan derajat
kesehatan dalam jangka panjang dan memengaruhi secara langsung tingkat
pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Demikian juga dengan tempat
pengungsian. Tempat tinggal sementara para korban bencana (shelter) sering kali
tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga secara langsung maupun tidak
langsung dapat menurunkan daya tahan tubuh dan bila tidak segera ditanggulangi
akan menimbulkan masalah di bidang kesehatan. Sementara itu, pemberian
pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat
rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat
kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini
tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani
(Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen
Kesehatan, 2001 dalam Fatoni 2015).
Bencana menimbulkan berbagai potensi permasalahan kesehatan bagi
masyarakat terdampak. Dampak ini akan dirasakan lebih parah oleh kelompok
penduduk rentan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi: 1).
Bayi, balita, dan anak-anak; 2). Ibu yang sedang mengandung atau menyusui; 3).
Penyandang cacat; dan 4) Orang lanjut usia. Selain keempat kelompok penduduk
tersebut, dalam Peraturan Kepala BNPB No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Tata
Cara Pemenuhan Kebutuhan Dasar ditambahkan ‘orang sakit’ sebagai bagian dari
kelompok rentan dalam kondisi bencana.7 Anak- anak dan perempuan adalah
kelompok paling rentan mengalami trauma pascabencana. Selain kejadian
bencana itu sendiri, kondisi posko pengungsian yang minim fasilitas dan tidak ada
hiburan cenderung membuat anak berada dalam keadaan depresi dan stres.

168
Anak-anak membutuhkan kekuatan mental yang lebih ketimbang orang dewasa
dalam menghadapi bencana.8

6
Derita Korban Bencana Alam belum Usai, http://news.
liputan6.com/read/4736/derita-korban-bencana-alam- belum-usai, diakes 5
Mei 2017.
7
Ibid.
8
Perempuan dan Anak-anak Kelompok Rentas Saat Bencana,
http://m.covesia.com/berita/ 18937/perempuan- dan-anak-anak-kelompok-
rentan-saat-bencana.html, diakes 5 Mei 2017.
Upaya perlindungan sudah seyogyanya diprioritaskan pada kelompok rentan
tersebut, mulai dari penyelamatan, evakuasi, pengamanan sampai dengan
pelayanan kesehatan dan psikososial. Namun, meskipun sebagai kelompok
rentan, anak-anak biasanya paling terabaikan dalam penanganan bencana di
Indonesia. Hal ini terjadi karena faktanya, penanganan bencana lebih banyak
untuk menyelamatkan harta benda, tetapi kurang mempedulikan kejiwaan anak-
anak dan kelompok rentan lainnya.
Melihat berbagai kondisi di atas, maka pemenuhan kebutuhan dasar berupa
sandang, pangan, dan papan menjadi prioritas pertama yang perlu dilakukan
dalam menolong korban bencana. Tantangan berikutnya adalah memastikan
bahwa kesehatan mereka terjamin dan mereka berada dalam lingkungan yang
layak dan memenuhi standar kebersihan dan higenistas. Pada beberapa kasus,
pemenuhan lingkungan dan sanitasi yang baik bagi para korban bencana di
daerah pengungsian atau penampungan sementara kerap diabaikan. Akibatnya,
bencana alam tersebut juga menimbulkan krisis kesehatan masyarakat dan
penurunan kualitas lingkungan, antara lain: lumpuhnya pelayanan kesehatan,
masalah gizi, masalah air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit
menular, gangguan kejiwaan, dan gangguan pelayanan reproduksi.
Menurut Fatoni (2015) salah satu permasalahan kesehatan akibat bencana
adalah meningkatnya potensi kejadian penyakit menular maupun penyakit tidak

169
menular. Bahkan, tidak jarang kejadian luar biasa (KLB) untuk beberapa
penyakit menular tertentu, seperti KLB diare dan disentri serta Infeksi saluran
Pernafasan Akut (ISPA). Jenis penyakit disebabkan oleh lingkungan dan
sanitasi yang memburuk akibat bencana seperti banjir, letusan gunung berapi
maupun kebakaran hutan dan lahan. Dalam upaya Penanggulangan bencana,
penggulangan krisis kesehatan masih menghadapi berbagai macam kendala,
antara lain: sistem informasi dan mekanisme koordinasi yang belum berjalan
baik, mobilisasi bantuan ke lokasi bencana masih terhambat, dan sistem
pembiayaan yang belum mendukung. Kendala kendala tersebut
menyebabkan pertolongan kepada korban bencana tidak optimal. Sehingga
krisis kesehatan akibat bencana tidak dapat ditanggulangi sedini mungkin
(Suryani, 2012).
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan bagi para
korban bencana? Adapun rumusan masalahnya akan membahas tentang
kebijakan apa yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam upaya memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat khususnya bidang kesehatan lingkungan di lokasi
penelitian.
Maksud penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana
pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan bagi para korban
bencana dilakukan di Provinsi Riau dan Jawa Tengah serta bagaimana
kebijakan pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut.
Adapun tujuannya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan sejauh mana
kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan dapat dipenuhi khususnya oleh
pemerintah yang berwenang melakukan penanggulangan bencana.
Pada tataran akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah ilmu kebijakan publik khususnya pada pengembangan konsep
penanggulangan bencana yang di dalamnya membahas tentang perumusan dan
implementasi kebijakan sosial dan lingkungan. Sementara itu pada tataran
praktik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan berarti bagi para

170
anggota DPR dan pemerintah khususnya Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang
terkait dengan pemenuhan kebutuhan kesehatan lingkungan dan upaya
penanggulangan bencana yang dilakukan secara efektif.
Penelitian ini menggabungkan dua desain penelitian (mixed method),
kuantitatif dan diperdalam secara kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan
dengan metode pengumpulan data dengan kuesioner, sedangkan untuk
memaknai hasil pengolahan data dari kuesioner dilakukan pengumpulan data
dengan wawancara kepada stakeholder terkait.
Responden pada penelitian ini adalah pegawai BPBD Provinsi Riau dan
Provinsi Jawa Tengah. BPBD merupakan leading sector dalam penanggulangan
bencana di daerah. Dengan demikian diharapkan responden mengetahui secara
mendalam sejauh mana kebutuhan dasar bagi korban bencana telah dipenuhi.
Angket atau kuesioner merupakan salah satu teknik pengumpulan data
utama dalam pendekatan kuantitatif yang berfungsi sebagai bahan dalam
melakukan analisis data. Analisis data dilakukan untuk melihat persepsi
responden terkait pemenuhan kebutuhan dasar sesuai UU tentang
Penanggulangan Bencana, yakni: air bersih dan sanitasi, pangan, sandang,
pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan. Rekapitulasi
jawaban mayoritas dari responden dianggap dapat menggambarkan sejauh mana
kebutuhan dasar tersebut telah dipenuhi pada masing-masing lokasi penelitian.
Dari hasil analisis tersebut, dilakukan penelitian tahap kedua, yaitu berusaha
memberikan makna yang mendalam terhadap data statistik yang diperoleh dari
kuesioner. Pada tahap ini data diambil melalui instrumen wawancara terhadap
informan yang mengetahui secara persis kebijakan, program dan pelaksanaan
penanggulangan bencana khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar
bidang kesehatan lingkungan pada lokasi bencana terkait.
Tulisan ini merupakan hasil dari Penelitian Kelompok dengan Judul
“Pengaruh Dana Siap Pakai Terhadap Penanggulangan Bencana (Studi BPBD
Provinsi Riau dan BPBD Provinsi Jawa Tengah)”. Lokasi penelitian dipilih

171
berdasarkan tingginya intensitas daerah yang mengalami bencana, yakni
Provinsi Jawa Tengah dan Riau. Penelitian di Riau dilakukan pada tanggal 11-
17 Agustus 2016, sedangkan di Jawa Tengah dilakukan pada tanggal 29
Agustus- 4 September 2016.

Manajemen Bencana
Bencana adalah suatu kejadian atau serangkaian kejadian yang menimbulkan
jumlah korban dan/ atau kerusakan, kerugian harta benda, infrastruktur,
pelayanan-pelayanan penting atau sarana kehidupan pada satu skala yang berada
di luar kapasitas normal (Coburn, A, W, dkk., 1994).
UNISDR mendefinisikan bencana sebagai suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada
kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan menggunakan
sumberdaya mereka sendiri. Sedangkan menurut Kamadhis (2007), bencana alam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh gejala-gejala alam yang dapat mengakibatkan kerusakan
lingkungan, kerugian materi, maupun korban manusia.
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 definisi bencana adalah peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Karena
penyebab bencana tidak hanya berasal dari alam, tetapi juga nonalam dan manusia
maka dalam Undang-Undang tersebut juga terdefinisi mengenai bencana alam,
bencana nonalam, dan bencana manusia.
Menurut Bankoff (2003) bencana muncul bila bertemu dengan
ketidakberdayaan. Bencana alam merupakan situasi yang gawat dan
mengakibatkan penderitaan bagi manusia. Manusia dianggap tidak berdaya pada
bencana alam, bahkan sejak awal peradabannya. Ketidakberdayaan manusia

172
akibat kurang baiknya manajemen darurat menyebabkan kerugian dalam berbagai
bidang seperti bidang keuangan, struktural, dan korban jiwa. Risiko kematian,
risiko cedera, risiko penularan penyakit, kehilangan tempat tinggal, kekurangan
bahan makanan, dan minimnya layanan kesehatan dasar merupakan berbagai
kerugian yang kerap terjadi saat bencana. Kerugian yang dihasilkan tergantung
pada kemampuan manusia untuk mencegah dan menghindari bencana serta daya
tahannya. Oleh karena itu, peran manajemen bencana menjadi penting dalam
rangka meminimalisir kerugian yang dimungkinkan terjadi.
Dalam perspektif manajemen bencana, dampak negatif dan kerugian akibat
bencana dapat direduksi dengan melakukan pengurangan total risiko (total risk
reduction). Pengurangan risiko total dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-
hatian pada setiap manajemen bencana.9 Manajemen bencana adalah upaya
sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana
secara cepat, tepat dan akurat untuk menekan korban dan kerugian yang
ditimbulkannya (Ramli, 2009 dalam Haryanto, 2012).
Manajemen bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan
dan penanggulangan bencana berupa siklus yang diterapkan secara utuh pada
sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana. Pada saat yang sama terdapat empat
kegiatan yang dilakukan, yaitu: mitigasi dan kesiapsiagaan (sebelum), respons
(saat), dan pemulihan (setelah). Penanggulangan bencana alam atau mitigasi
adalah upaya berkelanjutan untuk mengurangi dampak bencana terhadap manusia
dan harta benda. Mitigasi bencana bertujuan agar orang dan komunitas yang akan
terkena dampak bencana alam dapat sekecil-kecilnya. Perbedaan tingkat dan jenis
bencana dengan tingkat kerusakan yang berbeda- beda mempunyai program
mitigasi yang berbeda- beda pula sesuai dengan sifat masing-masing bencana
alam tersebut (Tun Lin Moe & Pairote Pathranarakul, 2006).
Setiap tahapan bencana tersebut dapat digambarkan dalam suatu siklus seperti
pada Gambar 1. Setiap tahap penanggulangan tersebut tidak dapat dibatasi secara
tegas, dalam pengertian bahwa upaya prabencana harus terlebih dahulu
diselesaikan sebelum melangkah pada tahap tanggap darurat dan dilanjutkan ke

173
tahap berikutnya yakni pemulihan. Siklus ini harus dipahami bahwa setiap waktu,
semua tahapan dapat dilaksanakan secara bersama-sama pada satu tahapan
tertentu dengan porsi yang berbeda (Kemenkes, 2011).

9
Prawiroharjo, Ermawan.”Jurnal Manajemen Bencana,”
http://www.academia.edu/7395570/Jurnal_Manajemen_ Bencana, diakses 1
Februari 2017.

Gambar 1. Siklus Penanggulangan Bencana


Sumber: Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana, Kementerian Kesehatan 2011.

Pada wilayah-wilayah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard), maka


masyarakat yang tinggal di daerah tersebut memiliki kerentanan/ kerawanan
(vulnerability). Namun bencana alam tersebut tidak akan memberi dampak yang luas
jika masyarakat setempat memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience).
Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan
infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah, dan menangani tantangan-
tantangan serius dari bencana alam. Sistem ini memperkuat daerah rawan bencana
yang memiliki jumlah penduduk yang besar (G. Bankoff, G. Frerks, D. Hilhorst
(eds.), 2003).
Dalam hal penanggulangan bencana, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi

174
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.
Di Indonesia lembaga pemerintah yang secara khusus melakukan upaya
penanggulangan bencana adalah BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Fungsi BNPB dan BPBD adalah merumuskan dan menetapkan
kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak
secara cepat dan tepat serta efektif dan efisien. Penanganan masyarakat dan
pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan,
penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan
kebutuhan dasar.10
10
Kebijakan Penanganan Pengungsi Bencana. https://www.
bnpb.go.id/home/detail/1695/Kebijakan-penanganan-pengungsi-
bencana, diakses 7 Mei 2017.
Sebagai implementasi kebijakan terkait dengan penanganan pengungsi maka
telah ditetapkan beberapa Peraturan Kepala BNPB (Perka BNPB), antara lain:
– Perka BNPB 6/2008 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai.
– Perka BNPB 7/2008 tentang Pedoman Tata Cara Pemberian Bantuan
Pemenuhan Kebutuhan Dasar.
– Perka BNPB 8/2008 tentang Pedoman Pemberian dan Besaran Bantuan
Santunan Duka Cita.
– Perka BNPB 9/2008 tentang Prosedur Tetap Tim Reaksi Cepat BNPB.
– Perka BNPB 14/2010 tentang Pedoman Pembentukan Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana.
– Perka BNPB 17/2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan RR Pasca
Bencana.
– Perka BNPB 6.A/2011 tentang Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai
Pada Status Keadaan Darurat Bencana.
– Perka BNPB 8/2011 tentang Standardisasi Data Kebencanaan.
Dalam kebijakan dan struktur kelembagaan di Indonesia ada pemisahan
yang jelas antara tanggap darurat dan pemulihan (rehabilitasi dan
rekonstruksi). Direktorat yang bertanggung jawab dalam penanganan

175
pengungsi (Direktorat Penanganan Pengungsi) berada di bawah Kedeputian
Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB. Kondisi saat ini proses rehabilitasi dan
rekonstruksi pascabencana secara resmi dapat dilakukan setelah proses tanggap
darurat selesai.11

11
Ibid.

Pemenuhan Dasar Bidang Kesehatan Lingkungan


Kondisi bencana alam kerap menimbulkan permasalahan lingkungan seperti
lingkungan yang tidak higenis, persediaan air yang terbatas, dan jamban yang
tidak layak. Kondisi tersebut menyebabkan korban bencana lebih rentan untuk
mengalami berbagai penyakit bahkan kematian. Dengan demikian, sanitasi
merupakan salah satu kebutuhan vital pada tahap awal terjadinya bencana
(The Sphere Project, 2011; Tekeli-Yesil, 2006).
Hal itu terjadi pada berbagai bencana alam yang melanda berbagai belahan
dunia, termasuk Indonesia. Seperti bencana gempa dan tsunami di Indonesia pada
akhir 2006 lalu diikuti beberapa permasalahan terkait kesehatan lingkungan dan
sanitasi. Menurut Widayatun (2013) permasalahan tersebut tidak secara mudah
dan cepat diselesaikan karena keterbatasan sarana dan prasarana, distribusi dan
akses yang tidak merata, privasi dari para korban bencana (khususnya perempuan)
dan juga kurangnya kesadaran dan perilaku masyarakat terkait sanitasi pada
kondisi darurat bencana.
Sedangkan berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan dalam
penanggulangan bencana yang harus dipenuhi antara lain:
1. Kebutuhan air bersih dan sanitasi.
2. Pangan.
3. Sandang.

176
4. Pelayanan Kesehatan.
5. Pelayanan psikososial.
6. Penampungan dan tempat hunian.
Standar minimal kebutuhan bidang kesehatan lingkungan saat bencana telah
diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1357/
Menkes/SK/XII/2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan
Akibat Bencana dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
12/MENKES/SK/I/2002 tentang Pedoman Koordinasi Penanggulangan Bencana Di
Lapangan. Kebijakan dalam bidang sanitasi saat penanganan pengungsi adalah
mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit melalui media lingkungan akibat
terbatasnya sarana kesehatan lingkungan yang ada di tempat pengungsian,
melalui pengawasan dan perbaikan kualitas kesehatan lingkungan dan kecukupan air
bersih. Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun tidak
cukup, dan dalam hal ini pengadaan air yang layak dikonsumsi menjadi paling
mendesak. Namun biasanya problem- problem kesehatan yang berkaitan dengan air
muncul akibat kurangnya persediaan dan kondisi air yang sudah tercemar sampai
tingkat tertentu.
Air di tempat pengungsian harus layak diminum dan cukup volumenya untuk
keperluan dasar seperti minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi, dan rumah
tangga. Air bersih tersebut juga tidak menyebabkan timbulnya risiko besar
terhadap kesehatan akibat penyakit maupun pencemaran kimiawi atau radiologis
dalam penggunaan jangka pendek. Dari segi sanitasi, masyarakat korban bencana
harus memiliki jumlah jamban yang cukup dengan jarak yang tidak jauh dari
pemukiman mereka, supaya bisa diakses secara mudah dan cepat. Masyarakat
juga harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat limbah
padat, termasuk limbah medis.12
Pada saat penanganan pascabencana beberapa hal yang perlu mendapatkan
perhatian dan membutuhkan penanganan lebih lanjut adalah:13
1. Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal, sakit,
cacat) dan ciri–ciri demografinya.

177
2. Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta.
3. Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
4. Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
5. Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu hamil,
bunifas, dan manula).
6. Kemampuan dan sumberdaya setempat.
Upaya-upaya tersebut ditujukan untuk menyelamatkan korban semaksimal
mungkin guna menekan angka morbilitas dan mortalitas. Hal tersebut dipengaruhi
oleh jumlah korban, keadaan korban, geografi, lokasi, fasilitas yang tersedia di
lokasi, dan sumberdaya yang ada. Faktor lain yang juga mempengaruhi
penanganan bencana adalah organisasi di lapangan, komunikasi, dokumen, dan
tata kerja.14

12
Standar minimal pelayanan air bersih dan sanitasi pada daerah bencana.
http://www.bapelkescikarang.or.id/ single.php?idartikel=AR105, diakses
10 Mei 2017.
13
Sanitasi Darurat Daerah Bencana, http://www.indonesian- publichealth.
com/sanitasi-bencana/,diakses 10 Mei 2017.
14
Ibid.

Dimensi Pemenuhan Kebutuhan Dasar Bidang Kesehatan Lingkungan di


Provinsi Riau
Kuesioner diberikan kepada 48 orang pegawai BPBD Provinsi Riau.

178
Pemilihan responden ini didasarkan pada anggapan bahwa pegawai BPBD adalah
subjek penelitian yang memahami kondisi penanggulangan bencana di lapangan.
Pengalaman dan pengetahuannya terkait berbagai program dan kegiatan yang
telah dilakukan pemerintah diharapkan dapat memberi gambaran yang utuh
terkait pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan lingkungan ini.
Dari 6 item pertanyaan pada dimensi pemenuhan kebutuhan dasar, jawaban
dari 48 responden atas kuesioner terhadap masing-masing tanggapan responden
mengenai pemenuhan kebutuhan dasar dapat dilihat dalam tabel 2 dan tabel 3.
Tabel 2 dan 3 menunjukkan adanya variasi dalam setiap jawaban responden.
Urutan paling banyak menjawab bahwa kebutuhan dasar bagi para penyintas
bencana telah dipenuhi dengan cukup baik, urutan kedua baik, dan urutan ketiga
tidak baik. Secara ideal, skor tertinggi yang diharapkan dari jawaban responden
terhadap pertanyaan tentang dimensi penentuan status keadaan darurat bencana
ini adalah 5 (skor tertinggi) x 6 (jumlah item pertanyaan) x 48 (jumlah responden) =
1440. Dengan demikian rekapitulasi sebaran jawaban responden menunjukkan
bahwa skor yang diperoleh adalah 940 atau 65,28 persen dari kriteria yang
ditetapkan. Apabila diinterpretasikan, nilai 65,28 persen tersebut terletak pada
daerah baik. Artinya responden berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar
korban bencana telah dilakukan dengan baik.
Berdasarkan Tabel 4 dan Grafik 2 terlihat bahwa sebagian besar responden
menjawab bahwa pemenuhan kebutuhan dasar bagi para penyintas bencana cukup
baik. Untuk semua dimensi, tidak ada satupun responden yang menjawab bahwa
pemenuhan kebutuhan dasar sangat tidak baik.
Untuk dimensi pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan,
pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, penampungan, dan tempat hunian,
mayoritas responden menjawab cukup baik. Sedangkan untuk pemenuhan
sandang, mayoritas responden menjawab sudah dipenuhi dengan baik.
Para penyintas bencana tentu memerlukan air bersih dalam jumlah yang
mencukupi dan akses terhadap sanitasi layak. Mengacu pada jawaban responden,
dalam hal berbagai bencana yang melanda Provinsi Riau, nampaknya pemenuhan

179
terhadap air bersih tidak menjadi kendala. Hal ini dimungkinkan terjadi karena
bencana yang kerap terjadi di daerah ini adalah kabut asap, sehingga pasokan air
bersih dan sarana prasarana sanitasi yang ada sebelumnya tidak begitu terganggu.

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, pihak BPBD telah memberikan


bantuan dalam bentuk makanan kering seperti mie instan, sarden, beras, dan nasi
bungkus. Kesulitan yang kerap muncul adalah sulitnya mendata jumlah korban
yang terkena bencana dan membutuhkan bantuan.

180
Penutup
Simpulan
Jenis bencana yang kerap terjadi di Provinsi Riau adalah kebakaran hutan.
Kondisi iklim dan lahan di provinsi ini yang didominasi lahan gambut
menyebabkan potensi kebakaran lahan dan hutan yang kemudian diikuti dengan
sebaran kabut asap menjadi kian besar. Dengan demikian dampak negatif dari
segi kesehatan yang disebabkan oleh kualitas udara yang buruk akan dirasakan
langsung oleh para penyintas bencana.
Sedangkan untuk Provinsi Jawa Tengah, ragam jenis bencana alam kerap
terjadi di wilayah ini, sehingga menempati peringkat pertama nasional sebagai
provinsi paling rawan bencana. Bencana banjir, tanah longsor, gelombang
pasang/abrasi, dan gempa bumi merupakan bencana dengan frekuensi kejadian
tertinggi. Mengacu pada berbagai kejadian bencana tersebut, maka dampak
negatif bagi masyarakat sedemikian luas.

20
“Pemerintah Siapkan RISHA untuk Relokasi Korban Longsor Banjarnegara,”
http://www.pu. go.id/main/ view/9908. diakses 4 Maret 2017.

Tidak hanya dari aspek kesehatan, namun juga berdampak pada sosial-
ekonomi masyarakat. Misalnya apabila terjadi bencana maka para penyintas
bencana kehilangan tempat tinggal, terganggu pekerjaannya bahkan seringkali
korban harta dan jiwa terjadi.
Berdasaran pengolahan data kuesioner, pemenuhan kebutuhan dasar bidang

181
kesehatan lingkungan bagi para penyintas bencana di Provinsi Riau telah
dilakukan dengan baik (skor sebesar 65,28%). Pemenuhan kebutuhan air bersih
dan sanitasi, pangan, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, serta
pemenuhan penampungan dan tempat hunian telah dipenuhi dengan cukup baik.
Demikian juga sandang telah dipenuhi dengan baik. Pemenuhan kebutuhan
dasar yang menjadi prioritas di provinsi adalah layanan kesehatan, kemudian
rumah/tempat singgah sebagai penampungan bagi para korban asap kabut yang
dikarenakan kebakaran hutan dan lahan.
Sedangkan hasil rekapitulasi jawaban di Provinsi Jawa Tengah, sebaran
jawaban responden menunjukkan bahwa skor yang diperoleh 71,06 persen dari
kriteria yang ditetapkan. Nilai tersebut terletak pada daerah baik. Artinya
responden berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar bidang kesehatan
lingkungan bagi para penyintas bencana telah dilakukan dengan baik.
Pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan
kesehatan telah dipenuhi dengan baik, sedangkan pelayanan psikososial serta
penampungan dan tempat hunian telah dipenuhi dengan cukup baik. Berbagai
kebutuhan dasar yang menjadi prioritas untuk disediakan di provinsi ini
bergantung pada tipe bencananya. Air bersih sangat diperlukan pada saat
bencana kekeringan, tempat hunian dan penampungan diperlukan bagi para
korban banjir dan tanah longsor, sementara penyediaan pangan dan sandang
juga menjadi prioritas, terutama bagi para penyintas bencana yang tinggal di
pengungsian.
Berbagai kebijakan dan program telah dilakukan Pemerintah Provinsi Riau
bekerja sama dengan berbagai instansi terkait misalnya TNI, Polri, dan juga
berbagai organisasi dan komunitas masyarakat dalam mengantisipasi bencana
kebakaran lahan dan hutan. Status siaga darurat ditetapkan pemerintah untuk
memaksimalkan penanganan karhutla. Upaya- upaya teknis lainnya dilakukan
untuk memadamkan titik api dan menghambat penyebaran api ke lokasi lainnya.
Sementara itu komitmen Pemerintah Jawa Tengah dalam upaya penanggulangan
bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi para penyintas bencana dilakukan

182
mulai dari gubernur, BPBD provinsi, dinas terkait, hingga ke masyarakat.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana dilakukan dengan penerapan Early
Warning System (EWS) yang dapat mendeteksi bencana sejak dini di wilayah
paling rawan bencana. Posko-posko dibuat untuk memenuhi kebutuhan dasar para
penyintas bencana. Selain itu sosialiasi dan pemberian informasi kerap diberikan
kepada masyarakat agar masyarakat dapat turut berperan serta secara aktif dalam
upaya penanggulangan bencana. Dari segi regulasi beberapa peraturan telah
ditetapkan dalam upaya penanggulangan bencana, baik itu dalam bentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan juga Keputusan Gubernur.

Saran
Penanggulangan bencana hendaknya bukan hanya dimaksudkan untuk
rehabilitasi fisik tetapi juga membangkitkan kegiatan usaha, penyediaan sarana
umum, serta kegiatan ekonomi produktif lainnya. Sesuai dengan standar SPHERE
dalam Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum dalam Respons Bencana,
kegiatan-kegiatan tanggap- darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi harus
diupayakan untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum masyarakat dan
memastikan bahwa masyarakat korban bencana selanjutnya dapat berfungsi
kembali secara fisik, sosial dan ekonomi yang produktif secara berkelanjutan.
Dengan demikian damage and loss assessment harus dilakukan dengan
mengutamakan keberlanjutan kegiatan usaha (livelihood) bukan sekadar
rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan fisik.
Manajemen bencana kesehatan sebaiknya ditempatkan pada jajaran tinggi
kementerian kesehatan. Program ini menjadi tanggung jawab di tingkat nasional
atau pusat, di tingkat provinsi atau regional, departemen epidemiologi maupun
instansi yang berwenang dalam bidang kesehatan lingkungan. Keberadaan rumah
sakit maupun pusat pelayanan kesehatan lainnya beserta fasilitasnya, institusi
jaminan sosial yang mapan, organisasi yang bergerak dalam bidang bantuan
kemanusiaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan pilar-pilar
yang harus tersedia dengan baik dan mencukupi dalam mendukung upaya

183
pemenuhan kebutuhan dasar para penyintas dan korban bencana.

DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Kamadhis. 2007. Eka-Cita Bersatu dalam Dharma. Buletin Kamadhis UGM
Nomor. XXVII/ September/2007, Yogyakarta.
Moe, Tun Lin, Pathranarakul P. 2006. An Integrated Approach to Natural
Disaster Management. Disaster Prevention and Management Journal .
Vol. 15 No. 3. 2006. hal. 396-413.
Suryani, Anih Sri. 2012. Penanganan Asap Kabut Akibat Kebakaran Hutan Di
Wilayah Perbatasan Indonesia. Aspirasi Vol. 3 No. 1, Juni 2012.

Widayatun dan Zainal Fatoni. 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi


Bencana: Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal
Kependudukan Indonesia. Vol. 8 No.1 Tahun 2013 (ISSN 1907-2902).

Buku
Barnard, I. Chester. 1992. Organisasi dan Manajemen Struktur, Perilaku dan
Proses. Jakarta: Gramedia.
Cambel, JP. 1989. Riset Dalam Efektivitas Organisasi, terjemahan Sahat
Simamora. Jakarta: Erlangga.
Carter, W. Nick. 1991. A Disaster Manager’s Handbook.
Manila: Asian Development Bank.
Dunn, William. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gajah Mada Universitas Press.
Fakhriyani. 2011. Implementasi Kebijakan Mitigasi Bencana Gempa dan
Tsunami Pemerintah Kota Padang, Skripsi. Jurusan Ilmu Politik Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Andalas.
G. Bankoff, G. Frerks, D. Hilhorst. 2003. Mapping Vulnerability: Disasters,
Development and People. (eds.) (21 November 2003) ISBN ISBN 1-
85383- 964-7.

184
Glover, David, Timothy Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana.
Bandung: Penerbit ITB.
Haryanto, Agus Joko. 2012. Manajemen Bencana dalam Menghadapi
Ancaman Bencana Industri di PT Lautan Otsuka Chemical Cilegon.
Thesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Magister Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Universitas Indonesia.
Hidayat, Bambang. 2002. Bencana Mengancam Indonesia. Jakarta: Kompas
Pan American Health Organization. tt. Natural Disaster: Protecting The
Public’s Health. Jakarta: EGC.

Internet
Bappenas: Kerugian Bencana di Indonesia Capai Rp 162 Triliun,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/10/09/193100726/Bappenas.Ker
gian. Bencana.di.Indonesia.Capai.Rp.162.Triliun, diakses 9 Juni 2016.
Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indonesi
a_kabutasap, diakses 9 Juni 2016.
Dampak Kebakaran Riau, http://lem.fkt.ugm. ac.id/2014/03/dampak-kebakaran-
riau/, diakses 1 Februari 2017.

Dokumen dan Perundang-undangan


Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana.
Kementerian Kesehatan 2011.
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019.BNPB. 2014.
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi Jawa Tengah 2012-2016.

185

Anda mungkin juga menyukai