“SIMULASI BENCANA”
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UAS Mata Kuliah Keperawatan Bencana
Dosen Pembimbing : Irpan Ali Rahman, S.Kep.,Ners.,M.Kep.
Oleh:
FIDYA ANISA FIRDAUS
1703277016
4A
BERPENYAKIT KRONIS
1. Berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan
mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan
dari orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan
secara seksama dan memahami penyakt mereka yang sedang dalam
proses pengobatan. Sebagai contohnya pada penyakit diabetes
2. Diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang control
kandungan gula di darah bagan pasien diabetes.
3. Perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperksa dokter dan minum obat dengan teratur.
Karena banyak obat-obatan komersial akan di distribusikan ke
tempat pengungsian, maka munculah resiko bagi pasien penyakit
krons yang mengkonsumskan beberapaobat tersebut tanpa
memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat
yang di berikan.
DISABILITAS
1. Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari
lokasi bencana.
2. Mengevakuas penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana.
3. Menampung di pengungsan.
4. Membawa korban kerumah sakit.
5. Melakukan pendataan dan penilaian.
6. Memberikan konseling.
7. Memberikan terapi.
SAKIT MENTAL
1. Intervensi masalah psikososial dini dilakukan bersama dengan tim
lain yang terkait dimulai setelah 48 jam kejadian bencana.
2. Intervensi kesehatan jiwa :
a. Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya
keadaan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain,
psikosis, depresi berat, mania, epilepsi) di pos kesehatan.
b. Melaksanakan prinsip 'pertolongan pertama pada kelainan
psikologik akut' yaitu, mendengarkan, menyatakan keprihatinan,
menilai kebutuhan, tidak memaksa berbicara, menyediakan atau
mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat,
melindungi dari cedera lebih lanjut.
c. Tidak dianjurkan untuk memaksa orang untuk berbagi
pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami.
Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers)
jika mungkin. Dalam beberapa keadaan, dimungkinkan kerja sama
antara praktisi tradisional dan kedokteran.
6. Perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver
Caregiver adalah individu yang memberikan bantuan kepada orang
lain yang mengalami disabilitas atau ketidakmampuan dan
memberikan bantuan dikarenakan penyakit dan keterbatasannya yang
meliputi keterbatsan fisik dan lingkungan (widiastuti, 2009). Adapun
yang menjadi fungsi caregiver adalah memberkan bantuan dan
perawatan terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, baik
secara fisik, psikologis, spiritual, emosional, sosial, dan finansial.
Berbagai bentuk bantuan dan perawatan diberikan caregiver untuk
membantu keberfungsian sistem kehidupan korban bencana (Bates,
2007). Menurut McQuerrey (2012) karakteristim caregiver yang baik
adalah:
Empathy
Patience
Realistic outloock
Strong constitution
Soothing nature
Reliability
Caregiver dibagi menjadi 2 yaitu:
Caregiver informal adalah sesorang individu ( anggota keluarga,
teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa dibayar,
paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun
berpisah dengan orang yang dirawat.
Caregiver formal adalah realawan atau individu yang dibayar untuk
menyediakan pelayanan.
Keduanya termasuk orang-orang yang menyediakan bantuan yang
berhubungan dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga profesional yang
menyediakan pelyanan terutama dalam hal kesehatan mental maupun
jasmani. (Kahana dkk, 1994 dan Day, 2014 dalam akupune, 2015).
a. Tugas-tugas caregiver
Physical care/perawatan fisik, yaitu: merupakan tindakan yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik atau kebutuhan
sehari-hari seperti memberi makan, menggantikan pakaian,
memotong kuku, membersihkan kamar, dll
Sosial care/ kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat-
tempat bencana atau pengunsian korban bencana sebagai
pengihbur dan memberi hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai
sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah.
Emotional care/, yaitu menunjukan kepedulian, cinta dan kasih
sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukan ataupun
dikatakan tetapi ditunjukan melalui tugas-tugas lain yang
dikerjakan.
Quality care, yaitu: memantau meningkatkan tingkat perawatan,
standar pengobatan, dan idndikasi kesehatan.
b. Standarisai petugas pelayanan kesehatan dan caregiver dalam
bencana.
Standarisasi petugas pelayan kesehatan Untuk memastikan kualitas
dan profesionalitas dalam menangani kondisi gawat darurat dan
tangap bencana, ada ada beberapa sertifikasi yang diterapkan oleh
negara dan fungsinya: Sertifikasi BTCLS, PPGD, BTLS, GELS,
Ke-Gawat-darurat-an, Basic Sea Survival, Sertifikasi perawat
penerbangan, Sertifikasi hemodialisa, Keperawtan intensiv care
unit (ICU)
Kecakapan relawan Dalam Perka BNPB Nomor 17 tahun 2001
tentang pedoman relawan penanggulangan bencana mengatakan
bahwa relawan penanggulangan bencana perlu memilik kecakapan-
kecakapan atau keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam
penggolongan bencana, kemahiran relawan dapat digolongkan
dalam kelompok kecakapan berikut: Perencanaan, Pendidikan,
Pelatihan, gealdi dan simulasi bencana, kaji cepat bencana,
Pencarian dan penyelamatan (SAR) dan evakuasi, Logistik,
Keamanan pangan dan nutrisi, Pengelolaan lokasi pengunsian dan
huntara, Pengelolaan posko penanggulangan bencana, Kesehatan
medis
c. Perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver
Istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa
berarti perlindungan yang di berikan terhadap hukum agar tidak
ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum
dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum
terhadap sesuatu. Hakatnya setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan dari hukum. Dengan demikian hampir seluruh hubungan
hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu
terdapat banyak macam perlidungan huku. Secara umum
perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika subjek
hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan
aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun
dalam bentuk yang bersifat repsepsif (pemaksaan), baik secara yang
tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakan peraturan
hukum. Dalam penelitian yang ditulis oleh M. Fakih,S.H, di fakultas
hukum UGM, yang berjudul “Aspek keperdataan dalam pelaksanaan
tugas tenaga keperawatan dibidang pelayanan kesehatan di provinsi
Lampung”. Dalam pernyataannya menyebutkan bahwa”mengingat
perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan
di masyarakat, pemerintah menerbitkan peraturan menteri
kesehatan(Permenkes) nomor HK.02/Menkes/148/2010 tentang izin
dan penyelenggaraan praktik perawat. Pasal 8 ayat (3) Permenkes
menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan
keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan
pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara
mandiri (indenpendent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan,
dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara memberikan
asuhan keperawatan untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan
psikologis pasien (BNPB, 2015).
8. Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam
mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri. Berikut ini terdapat beberapa ciri-ciri
pemberdayaan masyarakat, terdiri atas:
1) Community leader: petugas kesehatan melakukan pendekatan
kepada tokoh masyarakat atau pemimpin terlebih dahulu. Misalnya
Camat, lurah, kepala adat, ustad, dan sebagainya.
2) Community organization: organisasi seperti PKK, karang taruna,
majlis taklim,dan lainnnya merupakan potensi yang dapat dijadikan
mitra kerja dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
3) Community Fund: Dana sehat atau Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang dikembangkan dengan prinsip
gotong royong sebagai salah satu prinsip pemberdayaan
masyarakat.
4) Community material : setiap daerah memiliki potensi tersendiri
yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan.
Misalnya, desa dekat kali pengahsil pasir memiliki potensi untuk
melakukan pengerasan jalan untuk memudahkan akses ke
puskesmas.
5) Community knowledge: pemberdayaan bertujuan meningkatkan
pengetahuan masyarakat dengan berbagai penyuluhan kesehatan
yang menggunakan pendekatan community based health education.
6) Community technology: teknologi sederhana di komunitas dapat
digunakan untuk pengembangan program kesehatan misalnya
penyaringan air dengan pasir atau arang.
Menurut Mardikanto “2014:202”, terdapat enam tujuan pemberdayaan
masyarakat yaitu:
1) Perbaikan Kelembagaan “Better Institution”
Dengan perbaikan kegiatan/tindakan yang dilakukan, diharapkan
akan memperbaiki kelembagaan, termasuk pengembangan jejaring
kemintraan usaha.
2) Perbaikan Usaha “Better Business”
Perbaikan pendidikan “semangat belajar”, perbaikan
aksesibisnislitas, kegiatan dan perbaikan kelembagaan, diharapkan
akan memperbaiki bisnis yang dilakukan.
3) Perbaikan Pendapatan “Better Income”
Dengan terjadinya perbaikan bisnis yang dilakukan, diharapkan
akan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya, termasuk
pendapatan keluarga dan masyarakat.
4) Perbaikan Lingkungan “Better Environment”
Perbaikan pendapatan diharapkan dapat memperbaiki lingkungan
“fisik dan sosial” karena kerusakan lingkungan seringkali
disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
5) Perbaikan Kehidupan “Better Living”
Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang membaik,
diharapkan dapat memperbaiki keadaan kehidupan setiap keluarga
dan masyarakat.
6) Perbaikan Masyarakat “Better Comunity”
Kehidupan yang lebih baik yang didukung oleh lingkungan “fisik
dan sosial” yang lebih baik, diharapkan akan terwujud ke
kehidupan masyarakat yang lebih baik pula.
a. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya
program pemberdayaan yaitu prinsip kesetaraan, pasrtisipasi,
keswadayaan atau kemandirian dan berkelanjutan “Najiati dkk,
2005:54”, adapun penjelasan terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat tersebut ialah sebagai berikut:
1) Prinsip Kesetaraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat ialah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan
antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-
program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan. Dinamika yang dibangun ialah hubungan kesetaraan
dengan mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan,
pengalaman, serta keahlian satu sama lain. Masing-masing saling
mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga terjadi proses saling
belajar.
2) Partisipasi
Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
masyarakat ialah program yang sifatnya partisipatif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun
untuk sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses
pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen
tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.
3) Keswadayaan atau Kemandirian
Prinsip keswadayaan ialah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat dari pada bantuan pihak lain. Konsep ini
tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak
berkemampuan “the have not”, melainkan sebagai subjek yang
memiliki kemampuan sedikit “the have little”.
4) Berkelanjutan
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan
dibanding masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran
pendamping akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus,
karena masyarakat sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri.
b. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat memiliki tujuh tahapan atau langkah yang
dilakukan sebagai berikut “Soekanto, 1987:63”.
1) Tahap Persiapan
Pada tahapan ini ada dua tahapan yang harus dikerjakan yaitu
pertama, penyimpangan petugas yaitu tenaga pemberdayaan
masyarakat yang bisa dilakukan oleh community woker dan kedua
penyiapan lapangan yang pada dasarnya diusahakan dilakukan
secara non-direktif.
2) Tahapan Pengkajian “Assessment”
Pada tahapan ini yaitu proses pengkajian dapat dilakukan secara
individual melalui kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam
hal ini petugas harus berusaha mengidentifikasi masalah kebutuhan
yang dirasakan “feel needs” dan juga sumber daya yang dimiliki
klien.
3) Tahap Perencanaan Alternatif Program Atau Kegiatan
Pada tahapan ini petugas sebagai agen perubahan “exchange agent”
secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berfikir
tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana cara
mengatasinya. Dalam konteks ini masyarakat diharapkan dapat
memikirkan beberapa alternatif program dan kegiatan yang dapat
dilakukan.
4) Tahap Pemfomalisasi Rencana Aksi
Pada tahapan ini agen perubahan membantu masing-masing
kelompok untuk merumuskan dan menentukan program dan
kegiatan apa yang mereka akan lakukan untuk mengatasi
permasalahan yang ada. Di samping itu juga petugas membantu
memformalisasikan gagasan mereka ke dalam bentuk tertulis
terutama bila ada kaitannya dengan pembuatan proposal kepada
penyandang dana.
5) Tahap Pelaksanaan “Implemantasi” Program Atau Kegiatan
Dalam upaya pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
peran masyarakat sebagai kader diharapkan dapat menjaga
keberlangsungan program yang telah dikembangkan. Kerja sama
antar petugas dan masyarakat merupakan hal penting dalam
tahapan ini karena terkadang sesuatu yang sudah direncanakan
dengan baik melenceng saat dilapangan.
6) Tahap Evaluasi
Eveluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas
program pemberdayaan masyarakat yang sedang berjalan sebainya
dilakukan dengan melibatkan warga. Dengan keterlibatan warga
tersebut diharapkan dalam jangka waktu pendek biasanya
membentuk suatu sistem komunitas untuk pengawasan secara
internal dan untuk jangka panjang dapat membangun komunikasi
masyarakat yang lebih mendirikan dengan memanfaatkan sumber
daya yang ada.
7) Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan tahapan pemutusan hubungan secara
formal dengan komunitas sasaran dalam tahap ini diharapkan
proyek harus segera berhenti
REFFERENSI
BNPB. (2015). Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015
- 2030. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Vol. 1).
Fatmawati, E. (2017). Kesiapsiagaan perpustakaan dalam menghadapi bencana
banjir. Jurnal Iqra, 11(1), 1–28.
Hanny, P., Franklin, P., & Lakat, R. (2019). PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DALAM KESIAP SIAGAAN MENGANTISIPASI
ANCAMAN BENCANA ALAM DI DESA KALI DAN KALI SELATAN
MINAHASA. Jurnal Media Matrasain, 16(1), 25–39.
Husna, C., & Elvania, J. (2013). PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT
TERHADAP PENANGANAN MASALAH PSIKOLOGIS DAN
SPIRITUAL PADA PASIEN PASCA BENCANA: A COMPARATIVE
STUDY, 6(3), 1–6. https://doi.org/10.13841/j.cnki.jxsj.2013.01.021
Kurniawan, L. (2020). Buku Dasar penanggulangan bencana dan pengurangan
risiko bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, VIII.
PMI. (2016). Memperkuat Undang-Undang dan Pengurangan Risiko Bencana
( PRB ) di Indonesia. International Federation of Red Cross and Red
Cresent Societies, 1–104.
Surwaningsih, Muhafilah, I., & Herawati, T. M. (2019). Perubahan Kondisi
Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Ptsd ( Post Traumatic Stress Disorder
). Jurnal Ilmu Kesehatan, 11(1), 1–11.
Winurini, S. (2014). Kontribusi Psychological First Aid (PFA) Dalam Penanganan
Korban Bencana Alam. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, VI(3), 9–12.