Anda di halaman 1dari 25

TUGAS UAS BENCANA

“SIMULASI BENCANA”

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat UAS Mata Kuliah Keperawatan Bencana
Dosen Pembimbing : Irpan Ali Rahman, S.Kep.,Ners.,M.Kep.

Oleh:
FIDYA ANISA FIRDAUS
1703277016
4A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MUHAMMADIYAH CIAMIS
Jl. K.H Ahmad Dahlan NO. 20 Ciamis tlp. 0265-773052
2021
SOAL
1) Pengelolaan penanggulangan becana dengan pendekatan
komprehentif meliputi ( prevention, mitigation dan planning /
response)
2) Promosi Kesehatan, pencegahan penyakit dan pengurangan resiko
3) Komunikasi dan penyebaran informasi
4) Perawatan psikososial dan spiritual pada korban bencana
5) Perawatan untuk populasi rentan (lansia, bumil, anak anak,
berpenyakit kronis, disabilitas dan sakit mental)
6) Perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver
7) Kerjasama tim inter dan multidisiplin
8) Pemberdayaan masyarakat
JAWABAN
1. Pengelolaan penanggulangan becana dengan pendekatan
komprehentif meliputi ( prevention, mitigation dan planning /
response)
Menurut Hodgetts & Jone (2002), faktor yang mendukung
keberhasilan dalam pengelolaan bencana adalah manajemen bencana.
Penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya komprehentif dalam
pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Kegiatan dalam Pra bencana
ditunjukkan untuk mengurangi resiko bencana bersifat preventif yaitu
kemampuan yang diperlukan untuk menghindari dan mencegah bencana,
serta untuk mengurangi dampak dari bencana seperti pencegahan, mitigasi
dan kesiapsiagaan meliputi peringatan dini dan perencanaan (APHN,
2007). Pencegahan /mitigasi adalah proses yang dirancang untuk
mencegah atau meminimalkan risiko yang terkait dengan bencana. Dalam
fase pencegahan/mitigasi terbagi menjadi 2 meliputi tindakan struktural
dan non struktural. Tindakan non struktural terdiri dari pengurangan risiko
bencana, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Tindakan struktural
meliputi kebijakan pemerintah dan perencanaan (BNPB, 2015).
Dalam kejadian bencana alam, fasilitas kritis termasuk pusat
kesehatan masyarakat harus mampu melindungi masyarakat dan korban
bencana, terutama pada saat tanggap darurat bencana. Fasilitas kritis
tersebut adalah puskesmas yang merupakan suatu kesatuan organisasi
kesehatan fungsional sebagai pusat pengembangan kesehatan masyarakat,
pembina peran serta masyarakat, pemberi pelayanan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan
pokok yang meliputi upaya pencegahan terjadinya kasus gawat darurat
bencana (Ditjen Binkesmas Depkes, 2005).
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP
No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Mitigasi didefinisikan sebagai upaya yang ditujukan untuk mengurangi
dampak dari bencana, Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
(UU No 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9) (PP No
21 Tahun 2008, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6).
Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan
untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada
kawasan rawan bencana. (UU No 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat (1)
sedangkan mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf
c dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak yang diakibatkan oleh
bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
(PP No 21 Tahun 2008 Pasal 20 ayat (1) baik bencana alam, bencana ulah
manusia maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara atau
masyarakat. Dalam konteks bencana, dikenal dua macam yaitu (1) bencana
alam yang merupakan suatu serangkaian peristiwa bencana yang
disebabkan oleh fakto alam, yaitu berupa gempa, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan tanah longsor, dll. (2) bencana
sosial merupakan suatu bencana yang diakibatkan oleh manusia, seperti
konflik sosial, penyakit masyarakat dan teror. Mitigasi bencana merupakan
langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari
manajemen bencana (Kurniawan, 2020).
Mitigasi bencana dapat dilakukan secara struktural maupun kultural
(non struktural). Mitigasi struktural mencakup perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak
dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk
kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan
memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana,
seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk
menahan serta memperkokoh struktur ataupun membangun struktur
bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain.
Sedangkan mitigasi Non Struktural merupakan upaya mitigasi untuk
menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi
bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah
serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah (Hanny,
Franklin, & Lakat, 2019).
Pemulihan recovery Pada tahapan ini dilakukan pemulihan atau meng
embalikan kondisi lingkungan yang rusak atau kacau akibat bencana sepert
i pada mulanya. Pemulihan ini tidak hanya dilakukan pada lingkungan fisi
k saja tetapi korban yang terkena bencana juga diberikan pemulihan baik s
ecara fisik maupun mental (Fatmawati, 2017).
2. Promosi Kesehatan, pencegahan penyakit dan pengurangan resiko
Program Promosi Kesehatan (Promkes) dan pencegahan penyakit
berfokus pada proses mempertahankan kesehatan masyarakat. Program
promkes bertujuan untuk melibatkan dan memberdayakan individu dan
komunitas untuk berperilaku sehat. Program ini juga mengupayakan
perubahan perilaku untuk mengurangi risiko sakit (PMI, 2016).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan Promkes
sebagai: tindakan yang memungkinkan orang untuk meningkatkan kendali
atas kesehatan pribadi. Tindakan ini mencakup berbagai intervensi sosial
dan lingkungan yang dirancang untuk memberi manfaat dan melindungi
kesehatan dan kualitas hidup individu. Tindakan ini tidak hanya berfokus
pada pengobatan dan penyembuhan melainkan dengan menangani dan
mencegah akar penyebab penyakit.
Sementara pencegahan penyakit berfokus pada upaya khusus dengan
tujuan untuk mengurangi perkembangan dan keparahan penyakit dan
angka kesakitan lainnya. Promkes dan program pencegahan penyakit
sering menjadi faktor penentu sosial dari kesehatan. faktor penentu sosial
ini pada umumnya mempengaruhi perilaku berisiko yang dapat
dimodifikasi. Faktor penentu sosial kesehatan antara lain: Ekonomi, Sosial,
Budaya, Politik, Geografi/lingkungan tempat tinggal (Fatmawati, 2017).
3. Komunikasi dan penyebaran informasi
Istilah komunikasi bencana belum menjadi konsep popular dalam
bidang komunikasi maupun bidang kebencanaan. Meski penelitian
komunikasi bencana sendiri telah banyak dilakukan, namun di Indonesia
kajian komunikasi terkait bencana baru banyak dilakukan setelah peristiwa
bencana alam gempa dan tsunami Aceh tahun 2014. Meski demikian,
kesadaran akan pentingnya komunikasi dalam penanganan bencana
semakin tinggi belakangan ini. Salah satu titik penting yang menjadi
perhatian terkait komunikasi dalam bencana adalah masalah
ketidakpastian. Menurut Frank Dance (dalam Littlejohn, 2006: 7), salah
satu aspek penting di dalam komunikasi adalah konsep reduksi
ketidakpastian. Komunikasi itu sendiri muncul karena adanya kebutuhan
untuk mengurangi ketidakpastian, supaya dapat bertindak secara efektif
demi melindungi atau memperkuat ego yang bersangkutan dalam
berinteraksi secara indivuidual maupun kelompok. Dalam penanganan
bencana, informasi yang akurat diperlukan oleh masyarakat maupun
lembaga swasta yang memiliki kepedulian terhadap korban bencana.
Komunikasi dalam bencana tidak saja dibutuhkan dalam kondisi
darurat bencana, tapi juga penting pada saat dan pra bencana.
Sebagaimana dikatakan bahwa komunikasi adalah cara terbaik untuk
kesuksesan mitigasi bencana, persiapan, respon, dan pemulihan situasi
pada saat bencana. Kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
tentang bencana kepada publik, pemerintah, media dan pemuka pendapat
dapat mengurangi resiko, menyelamatkan kehidupan dan dampak dari
bencana (Haddow and Haddow, 2008)
Menurut Haddow dan Haddow (2008: 2) terdapat 5 landasan utama
dalam membangun komunikasi bencana yang efektif yaitu:
1. Costumer Focus, yaitu memahami informasi apa yang dibutuhkan
oleh pelanggan dalam hal ini masyarakat dan relawan. Harus dibangun
mekanisme komunikasi yang menjamin informasi disampaikan
dengan tepat dan akurat
2. Leadership commitment, pemimpin yang berperan dalamtanggap
darurat harus memiliki komitmen untuk melakukan komunikasi
efektif dan terlibat aktif dalam proses komunikasi.
3. Situational awareness, komunikasi efektif didasari oleh pengumpulan,
analisis dan diseminasi informasi yang terkendali terkait bencana.
Prinsip komunikasi efektif seperti transparansi dan dapat dipercaya
menjadi kunci.
4. Media partnership, media seperti televisi, surat kabar, radio, dan
lainnya adalah media yang sangat penting untuk menyampaikan
informasi secara tepat kepada publik. Kerjasama dengan media
menyangkut kesepahaman tentang kebutuhan media dengan tim yang
terlatih untuk berkerjasama dengan media untukmendapatkan
informasi dan menyebarkannya kepada public
Penanggulangan bencana, harus didukung dengan berbagai
pendekatan baik soft power maupun hard power untuk mengurangi resiko
dari bencana. Pendekatan soft power adalah dengan mempersiapkan
kesiagaan masyarakat melalui sosialisasi dan pemberian informasi tentang
bencana.Sementara hard power adalah upaya menghadapi bencana dengan
pembangunan fisik sepeti membangun sarana komunikasi, membangun
tanggul, mendirikan dinding beton, mengeruk sungai dll. Dalam UU, dua
hal ini yang disebut mitigasi bencana. Pada dua pendekatan inilah,
komunikasi bencana amat dibutuhkan .

4. Perawatan psikososial dan spiritual pada korban bencana


Bencana memberikan dampak pada individu dan keluarga yaitu
terganggunya masalah fisik dan mental dikarenakan peristiwa traumatis.
Dampak lainnya yaitu menimbulkan kerugian dan penderitaan sehingga
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan baik lingkungan dan sosial (Keliat,
et al, 2011). Dukungan psikososial merupakan bantuan yang diberikan
kepada individu dan masyarakat yang mengalami gangguan psikologis,
dimana bantuan ini dilakukan secara terus menerus dan saling
mempengaruhi antara aspek psikologis dan aspek sosial dalam lingkungan
dimana individu atau masyarakat berada. Ansietas, Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) serta depresi merupakan masalah kejiwaan yang dapat
ditimbul pada masyarakat baik sebagai korban secara langsung ataupun
tidak langsung saat terjadinya bencana (Stuart, 2013). Psychological first
aid (PFA) merupakan tanggapan pertama dalam durasi yang singkat yang
diberikan kepada orang yang mengalami tekanan karena bencana atau
keadaan darurat untuk membantu keadaan pada saat itu.
FPA memfokuskan kepada beberapa hal diantaranya:
a. penyediaan dukungan dan perawatan praktis yang bersifat tidak
memaksa
b. pengenalan dan pemenuhan kebutuhan dasar
c. kesediaan untuk mendengarkan korban tanpa memaksanya berbicara
d. kesediaan untuk membuat korban merasa nyaman
e. membantu korban mendapatkan informasi tentang pelayanan dan
dukungan sosial
f. melindungi korban dari hal-hal yang membahayakan layanan secara
umum FPA memiliki tiga prinsip yaitu :
1)Melihat, tercakup di dalamnya adalah mengecek reaksi distress yang
serius mengecek keselamatan dan mengecek kebutuhan dasar korban.
2)Mendengar, tercakup di dalamnya mendekati mereka yang
memerlukan dukungan, bertanya tentang perhatian dan kebutuhannya,
mendengar keluhannya, menerima semua perasaan yang mereka
tumpahkan dan membantunya merasa tenang.
3) Menghubungkan, tercakup di dalamnya menolong mereka yang
tertekan untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya, membantu mereka
mengakses pelayanan dan mengatasi permasalahannya, membantu
mereka mendapatkan informasi yang factual, membantu mereka
menghubungi orang-orang terdekat,serta mempermudah mereka
mendapatkan akses dukungan sosial (Winurini, 2014).
Dukungan Psikososial dilaksanakan dalam beberapa tahapan, sebagai
berikut :
a. Rapid Assesment
Kaji cepat dapat dilakukan kepada sasaran/ penyintas mulai dari
kelompok rentan, penyintas yang kehilangan anggota keluarga saat
terjadi bencana, penyintas yang mengalami luka berat, penyintas
yang rumahnya hancur atau rusak berat, orang dewasa, ibu hamil,
penyandang disabilitas.
Asesmen dilakukan dengan teknik :
 Wawancara terbuka
 Wawancara tertutup dengan menggunakan instrument kaji cepat
 Activity Daily Living Mapping
Metode ini digunakan untuk asesmen pada kelompok wanita dan
pria dewasa dengan menuliskan aktivitas penyintas sehari-hari
sebelum bencana, aktivitas saat ini setelah pengungsian, masalah
dan harapan penyintas.
 Tools berupa body mapping
Body mapping digunakan untuk asesmen pada kelompok anak
dan remaja, dengan menggambar secara utuh bentuk manusia
secara abstrak, kemudian menuliskan apa yang mereka fikirkan,
mereka lihat, mereka dengar, mereka cium, mereka rasakan pada
saat bencana, dan menuliskan harapan mereka
 Cerita dan menggambar pada anak  
4)Intervensi
Intervensi yang dilakukan berupa
 Intervensi individu dan kelompok
 Teknik katarsis dan ventilation
Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan yang
dialaminya   sehubungan dengan bencana yang terjadi
 Teknik support
Memberikan semangat bahwa apa yang sedang dihadapinya
sekarang bukanlah   akhir dari kehidupannya
 Teknik debriefing
Memfasilitasi penyintas untuk mengungkapkan perasaan/
kesedihan yang dialaminya sehubungan dengan bencana yang
terjadi, kalau bisa kesedihan tersebut dialamui secara penuh dan
utuh, tidak tertunda
 Teknik motivasi dan support
Mengajak penyintas untuk untuk meningkatkan kembali motivasi
hidupnya kearah ke depan bersama keluarganya
 Play therapy (untuk anak-anak), dengan berbagai bentuk kegiatan,
 Seperti bernyanyi bersama, menggambar,mendengarkan
dongeng, permainan   (games), dan lain-lain dengan tujuan utama
agar anak-anak memiliki keceriaan
Bencana yang terjadi juga mempengaruhi kondisi spiritual korban
bencana. Hal ini disebabkan oleh kejadian bencana yang terjadi secara tiba-
tiba dan mengakibatkan kerugian yang besar bagi korban. Banyak individu
yang sangat bergantung pada keyakinan dan praktik keagamaan untuk
menghilangkan stres ketika sakit atau terjadi bencana agar dapat
mempertahankan harapan, makna dan tujuan hidup. Keterlibatan agama
dapat membantu pertumbuhan psikologis yang lebih baik. Hasil penelitian
menunjukkan bawah praktik spiritual berperan penting dalam pemulihan
korban bencana. Apabila perawatan psikologis dan spiritual terintegrasi
maka akan mendapatkan hasil lebih baik dan holistik sehingga korban
bencana lebih adaptif dalam menghadapi bencana. Penelitian Kar (2010)
menjelaskan spiritualitas yang sehat dapat dihubungkan dengan tingkat
gejala dan masalah klinis yang lebih rendah pada masyarakat korban
bencana. Sebagian besar negara percaya bahwa spiritualitas adalah aspek
fundamental yang penting dan dapat digunakan saat terjadinya
bencana(Husna & Elvania, 2013). spiritualitas yang disebut sebagai
spiritual transenden yaitu kemampuan individu untuk berada diluar
pemahaman dirinya akan waktu dan tempat, serta untuk melihat kehidupan
dari perspektif yang lebih luas dan objektif. Spiritual sebagai rangkaian
karakteristik motivasional, kekuatan emosional umum yang mendorong
mengarahkan dan memilih beragam tingkah laku individu. spiritualitas
sebagai usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan
pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati hal ini berarti
bahwa sebagai manusia kita sepenuhnya sadar akan
kematian(Surwaningsih, Muhafilah, & Herawati, 2019) (Surwaningsih et
al., 2019).

5. Perawatan untuk populasi rentan (lansia, bumil, anak anak,


berpenyakit kronis, disabilitas dan sakit mental)
IBU HAMIL
wanita yang diduga dalam keadaan hamil harus ditanyakan hal-hal
berikut:
1. alergi obat
2. obat yang di gunakan sehari-hari
3. Tanggal haid terakhir, durasi, dan jumlah keluaran
4. penggunaan kontrasepsi
5. kehamilan sebelumnya, abortus(bedakan yang spontan dan
teraeutik), kehamilan ektopik.
6. dismenore lampau, pendarahan disfungsional uterus, atau
dispareunia
7. pendarahan yang terjadi sekarang
8. nyeri yang kini di alami
9. kntrasepsi yang terjadi sekarang
10. keberadaan gerakan janin
Saat dilakukan eerawatan maka kita harus memastikan :
1. DJJ dalam batas normal
2. Monitring janin secara kontinue
3. berikan obat-obatan yang aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil.
Jika terjadi pendarahan pada trimester pertama, maka yang harus
dilakukan:
1. pengkajian pendahuluan dengan memeriksa tanda-tanda vital
lengkap dan serial jika diperlukan.
2. Hinrasi intravena menggunakan angikateter dengan ukuran mini mal
18g, dengan salin normal atau ringer laktat.
3. pemeriksaan lab meliuti nilai dasar hemaktrokit, glongan (ABO)
serta rhesus, dan tes serum kehamilan. Jika hemaktrokit kurang dari
30%, atau bila anda menduga bila pasien nantinya akan dibawa ke
kamar bedah, lakukan emeriksaan glongan darah dan pencocokan
silang untuk 2-4 unit darah lengkap.
4. Siapkan asien untuk emeriksaan pelvis, kandung kemih harus sudah
dikosngkan sebelum pemeriksaan
5. siapkan pasien untuk ultrasonografi diagnostik.
6. periksa dan ganti pembalut wanita dengan sering
7. jaga privasi klien
8. tunjukan sikap yang suvortif dalam mengatasi eksfresi ketakutan
atau rasa bersalah, dan berikan kesempatan kepada klien untuk
berinteraksi dengan anggota keluarga atau temannya jika ia
menghendaki
9. berikan dukungan tmbahan bila diperlukan
10. jika psien diulangkan dari UGD, sampaikan petunjuk tertulis yang
berinstrusikan saat pulang, instruksi medikasi, dan informasi lainnya.
LANSIA
1. Lakukan pengkajian, terutama pada Psikolgis karena mempengaruhi
terhadap proses penuaan.
2. lakukan pemeriksaan lablatorium dan gas darah . Jika terjadi
abnrmalitas ari hasil lablatorium, kita jangan mengaitkan terlebih
dahulu dengan proses penuaan, tetapi harus diteliti terlebih dahulu
3. lakukan proses pengkajian dengan metode wawancara, agar hasilnya
akurat.
4. Batasi penggunaan obat-obatan
5. Gunakan etika
ANAK-ANAK
1. lakukan pengkajiajn dengan menggunakan metode lintas ruangan
2. Observasi tingkat aktivitas anak (bermain, berbaring, diam)
3. Jalan napas (pertukaran udara pernapasan yang normal atau air liur
yang menetes)
4. Pernapasan (Upaya pernapasan yang normal)
5. Sirkulasi ( warna kulit yang normal, pucat)
6. Status neorologis (Sadar, Somnolen)

BERPENYAKIT KRONIS
1. Berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah kesehatan
mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan
dari orang-orang yang berada di tempat dengan mendengarkan
secara seksama dan memahami penyakt mereka yang sedang dalam
proses pengobatan. Sebagai contohnya pada penyakit diabetes
2. Diperkirakan munculnya gejala khas, seperti gangguan jantung,
ginjal, dan psikologis yang memburuk karena kurang control
kandungan gula di darah bagan pasien diabetes.
3. Perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan
apakah mereka diperksa dokter dan minum obat dengan teratur.
Karena banyak obat-obatan komersial akan di distribusikan ke
tempat pengungsian, maka munculah resiko bagi pasien penyakit
krons yang mengkonsumskan beberapaobat tersebut tanpa
memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat tersebut dan obat
yang di berikan.
DISABILITAS
1. Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh dari
lokasi bencana.
2. Mengevakuas penyandang disabilitas yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana.
3. Menampung di pengungsan.
4. Membawa korban kerumah sakit.
5. Melakukan pendataan dan penilaian.
6. Memberikan konseling.
7. Memberikan terapi.

SAKIT MENTAL
1. Intervensi masalah psikososial dini dilakukan bersama dengan tim
lain yang terkait dimulai setelah 48 jam kejadian bencana.
2. Intervensi kesehatan jiwa :
a. Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya
keadaan yang membahayakan diri sendiri atau orang lain,
psikosis, depresi berat, mania, epilepsi) di pos kesehatan.
b. Melaksanakan prinsip 'pertolongan pertama pada kelainan
psikologik akut' yaitu, mendengarkan, menyatakan keprihatinan,
menilai kebutuhan, tidak memaksa berbicara, menyediakan atau
mengerahkan pendamping dari keluarga atau orang yang dekat,
melindungi dari cedera lebih lanjut.
c. Tidak dianjurkan untuk memaksa orang untuk berbagi
pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami.
Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers)
jika mungkin. Dalam beberapa keadaan, dimungkinkan kerja sama
antara praktisi tradisional dan kedokteran.
6. Perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver
Caregiver adalah individu yang memberikan bantuan kepada orang
lain yang mengalami disabilitas atau ketidakmampuan dan
memberikan bantuan dikarenakan penyakit dan keterbatasannya yang
meliputi keterbatsan fisik dan lingkungan (widiastuti, 2009). Adapun
yang menjadi fungsi caregiver adalah memberkan bantuan dan
perawatan terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, baik
secara fisik, psikologis, spiritual, emosional, sosial, dan finansial.
Berbagai bentuk bantuan dan perawatan diberikan caregiver untuk
membantu keberfungsian sistem kehidupan korban bencana (Bates,
2007). Menurut McQuerrey (2012) karakteristim caregiver yang baik
adalah:
 Empathy
 Patience
 Realistic outloock
 Strong constitution
 Soothing nature
 Reliability
Caregiver dibagi menjadi 2 yaitu:
 Caregiver informal adalah sesorang individu ( anggota keluarga,
teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa dibayar,
paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun
berpisah dengan orang yang dirawat.
 Caregiver formal adalah realawan atau individu yang dibayar untuk
menyediakan pelayanan.
Keduanya termasuk orang-orang yang menyediakan bantuan yang
berhubungan dengan aktivitas sehari-hari dan tenaga profesional yang
menyediakan pelyanan terutama dalam hal kesehatan mental maupun
jasmani. (Kahana dkk, 1994 dan Day, 2014 dalam akupune, 2015).
a. Tugas-tugas caregiver
 Physical care/perawatan fisik, yaitu: merupakan tindakan yang
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan fisik atau kebutuhan
sehari-hari seperti memberi makan, menggantikan pakaian,
memotong kuku, membersihkan kamar, dll
 Sosial care/ kepedulian sosial, antara lain: mengunjungi tempat-
tempat bencana atau pengunsian korban bencana sebagai
pengihbur dan memberi hiburan, menjadi supir, bertindak sebagai
sumber informasi dari seluruh dunia di luar perawatan di rumah.
 Emotional care/, yaitu menunjukan kepedulian, cinta dan kasih
sayang kepada pasien yang tidak selalu ditunjukan ataupun
dikatakan tetapi ditunjukan melalui tugas-tugas lain yang
dikerjakan.
 Quality care, yaitu: memantau meningkatkan tingkat perawatan,
standar pengobatan, dan idndikasi kesehatan.
b. Standarisai petugas pelayanan kesehatan dan caregiver dalam
bencana.
 Standarisasi petugas pelayan kesehatan Untuk memastikan kualitas
dan profesionalitas dalam menangani kondisi gawat darurat dan
tangap bencana, ada ada beberapa sertifikasi yang diterapkan oleh
negara dan fungsinya: Sertifikasi BTCLS, PPGD, BTLS, GELS,
Ke-Gawat-darurat-an, Basic Sea Survival, Sertifikasi perawat
penerbangan, Sertifikasi hemodialisa, Keperawtan intensiv care
unit (ICU)
 Kecakapan relawan Dalam Perka BNPB Nomor 17 tahun 2001
tentang pedoman relawan penanggulangan bencana mengatakan
bahwa relawan penanggulangan bencana perlu memilik kecakapan-
kecakapan atau keterampilan khusus yang dibutuhkan dalam
penggolongan bencana, kemahiran relawan dapat digolongkan
dalam kelompok kecakapan berikut: Perencanaan, Pendidikan,
Pelatihan, gealdi dan simulasi bencana, kaji cepat bencana,
Pencarian dan penyelamatan (SAR) dan evakuasi, Logistik,
Keamanan pangan dan nutrisi, Pengelolaan lokasi pengunsian dan
huntara, Pengelolaan posko penanggulangan bencana, Kesehatan
medis
c. Perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver
Istilah perlindungan hukum, yakni perlindungan hukum bisa
berarti perlindungan yang di berikan terhadap hukum agar tidak
ditafsirkan berbeda dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum
dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum
terhadap sesuatu. Hakatnya setiap orang berhak mendapatkan
perlindungan dari hukum. Dengan demikian hampir seluruh hubungan
hukum harus mendapat perlindungan dari hukum. Oleh karena itu
terdapat banyak macam perlidungan huku. Secara umum
perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika subjek
hukum yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yakni keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subjek hukum sesuai dengan
aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun
dalam bentuk yang bersifat repsepsif (pemaksaan), baik secara yang
tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakan peraturan
hukum. Dalam penelitian yang ditulis oleh M. Fakih,S.H, di fakultas
hukum UGM, yang berjudul “Aspek keperdataan dalam pelaksanaan
tugas tenaga keperawatan dibidang pelayanan kesehatan di provinsi
Lampung”. Dalam pernyataannya menyebutkan bahwa”mengingat
perawat sebagai tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan
di masyarakat, pemerintah menerbitkan peraturan menteri
kesehatan(Permenkes) nomor HK.02/Menkes/148/2010 tentang izin
dan penyelenggaraan praktik perawat. Pasal 8 ayat (3) Permenkes
menyebutkan praktik keperawatan meliputi pelaksanaan asuhan
keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan
pasal tersebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara
mandiri (indenpendent) berdasar pada ilmu dan asuhan keperawatan,
dimana tugas utama adalah merawat (care) dengan cara memberikan
asuhan keperawatan untuk memuaskan kebutuhan fisiologis dan
psikologis pasien (BNPB, 2015).

7. Kerjasama tim inter dan multidisiplin


A. Kerjasama
Menurut parmuji, Kerjasama adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan,
dilakukan oleh sekelompok orang yang melibatkan interaksi antara
individu-individu yang saling bekerja bersama hingga tujuannya
tercapai. Tujuan utama kerja sama adalah meningkatkan kemempuan
dalam memprediksi bencana dan meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat terhadap bencana gempa bumi, tsunami, gunung berapi dll.
Tujuan khususnya adalah :
a. Memperkuat kerjasama dan pengurangan risiko bencana
b. Menjadi sarana untuk saling mengemukakan opini dan berpendapat
c. Membuat pelaku kegiatan ini untuk saling mengenal
Manfaat kerjasama :
a. Memicu munculnya semangat persatuan dan kesatuan dalam diri
seseorang
b. Mempererat ikatan bagi orang ataupun kelompok yang melakukan
kegiatan ini
c. Dengan melakukan hal secara bersama-sama suatu kegiatan bisa
menjadi ringan
d. Menyelesaikan suatu kegiatan dengan bersama-sama akan membuat
pekerjaan menjadi cepat selesai
B. Multidisiplin
Multidisiplin merupakan kerja bersama beberapa disiplin ilmu
yang berbeda dalam menyelesaikan suatu pokok permasalahan umum
(common subject) sesuai dengan batas disiplin ilmu masing-masing
Menurut pretice, Multidisiplin merupakan kombinasi dari berbagai
disiplin ilmu dalam tugas, tidak harus bekerja secara terintegrasi atau
terkoordinasi, dimana dalam pemecahan suatu masalah menggunakan
berbagai sudut pandang ilmu yang relevan. Penggabungan beberapa
disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu.
Ciri-ciri multidisiplin
a. Setiap bagian ikut berperan cukup besar, melakukan perencanaan
pengelolaan bersama
b. Setiap bagian beraktivitas berdasarkan ilmunya
c. Konseptual dan operasional :terpisah-pisah
d. Dalam pelayanan kesehatan, berbagai bidang ilmu berupaya
mengintegrasikan pelayanan untuk kepentingan pasien. Namun
setiap disiplin membatasi diri secara ‘tegas’ untuk tidak
memasuki ranah ilmu lain
C. Interdisiplin
Merupakan kombinasi dari berbagai disiplin ilmu dalam tugas,
namun dalam pemecahan suatu masalah saling bekerjasama dengan
disiplin ilmu lain, saing berkaitan. Interaksi intensif antar satu atau
lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak,
melalui program – program pengajaran dan penelitian dengan tujuan
melakukan integrasi konsep, metode, dan analisis.
Ciri-ciri interdisiplin
a. Peran dan tanggung jawab tidak kaku, dapat beralih sesuai dengan
perkembangan.
b. Menyadari adanya tumpang tindih kompetensi dan menerapkan
dalam praktek sehari-hari
c. Menemui dan mengenali keunikan peran berbagai disiplin yang
tidak bisa diabaikan dan merupakan modal bersama
d. Ranah perluasan ilmu dan keterampilan yang dimiliki dan akan
diterapkan merupakan yag paling komperhensif, terdapat
keinginan untuk memikul beban berat bersama, hasrat untuk
saling berbagi pengalaman dan pengetahuan
e. Interdisiplin dimulai dari disiplin, setelah itu mengembangkan
permasalahan seputar disiplin tersebut

8. Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses untuk
menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam
mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri. Berikut ini terdapat beberapa ciri-ciri
pemberdayaan masyarakat, terdiri atas:
1) Community leader: petugas kesehatan melakukan pendekatan
kepada tokoh masyarakat atau pemimpin terlebih dahulu. Misalnya
Camat, lurah, kepala adat, ustad, dan sebagainya.
2) Community organization: organisasi seperti PKK, karang taruna,
majlis taklim,dan lainnnya merupakan potensi yang dapat dijadikan
mitra kerja dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
3) Community Fund: Dana sehat atau Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang dikembangkan dengan prinsip
gotong royong sebagai salah satu prinsip pemberdayaan
masyarakat.
4) Community material : setiap daerah memiliki potensi tersendiri
yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pelayanan kesehatan.
Misalnya, desa dekat kali pengahsil pasir memiliki potensi untuk
melakukan pengerasan jalan untuk memudahkan akses ke
puskesmas.
5) Community knowledge: pemberdayaan bertujuan meningkatkan
pengetahuan masyarakat dengan berbagai penyuluhan kesehatan
yang menggunakan pendekatan community based health education.
6) Community technology: teknologi sederhana di komunitas dapat
digunakan untuk pengembangan program kesehatan misalnya
penyaringan air dengan pasir atau arang.
Menurut Mardikanto “2014:202”, terdapat enam tujuan pemberdayaan
masyarakat yaitu:
1) Perbaikan Kelembagaan “Better Institution”
Dengan perbaikan kegiatan/tindakan yang dilakukan, diharapkan
akan memperbaiki kelembagaan, termasuk pengembangan jejaring
kemintraan usaha.
2) Perbaikan Usaha “Better Business”
Perbaikan pendidikan “semangat belajar”, perbaikan
aksesibisnislitas, kegiatan dan perbaikan kelembagaan, diharapkan
akan memperbaiki bisnis yang dilakukan.
3) Perbaikan Pendapatan “Better Income”
Dengan terjadinya perbaikan bisnis yang dilakukan, diharapkan
akan dapat memperbaiki pendapatan yang diperolehnya, termasuk
pendapatan keluarga dan masyarakat.
4) Perbaikan Lingkungan “Better Environment”
Perbaikan pendapatan diharapkan dapat memperbaiki lingkungan
“fisik dan sosial” karena kerusakan lingkungan seringkali
disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
5) Perbaikan Kehidupan “Better Living”
Tingkat pendapatan dan keadaan lingkungan yang membaik,
diharapkan dapat memperbaiki keadaan kehidupan setiap keluarga
dan masyarakat.
6) Perbaikan Masyarakat “Better Comunity”
Kehidupan yang lebih baik yang didukung oleh lingkungan “fisik
dan sosial” yang lebih baik, diharapkan akan terwujud ke
kehidupan masyarakat yang lebih baik pula.
a. Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk suksesnya
program pemberdayaan yaitu prinsip kesetaraan, pasrtisipasi,
keswadayaan atau kemandirian dan berkelanjutan “Najiati dkk,
2005:54”, adapun penjelasan terhadap prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat tersebut ialah sebagai berikut:
1) Prinsip Kesetaraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat ialah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan
antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-
program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun
perempuan. Dinamika yang dibangun ialah hubungan kesetaraan
dengan mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan,
pengalaman, serta keahlian satu sama lain. Masing-masing saling
mengakui kelebihan dan kekurangan, sehingga terjadi proses saling
belajar.
2) Partisipasi
Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
masyarakat ialah program yang sifatnya partisipatif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun
untuk sampai pada tingkat tersebut perlu waktu dan proses
pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen
tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat.
3) Keswadayaan atau Kemandirian
Prinsip keswadayaan ialah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat dari pada bantuan pihak lain. Konsep ini
tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak
berkemampuan “the have not”, melainkan sebagai subjek yang
memiliki kemampuan sedikit “the have little”.
4) Berkelanjutan
Program pemberdayaan perlu dirancang untuk berkelanjutan,
sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan
dibanding masyarakat sendiri. Tapi secara perlahan dan pasti, peran
pendamping akan makin berkurang, bahkan akhirnya dihapus,
karena masyarakat sudah mampu mengelola kegiatannya sendiri.
b. Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat memiliki tujuh tahapan atau langkah yang
dilakukan sebagai berikut “Soekanto, 1987:63”.
1) Tahap Persiapan
Pada tahapan ini ada dua tahapan yang harus dikerjakan yaitu
pertama, penyimpangan petugas yaitu tenaga pemberdayaan
masyarakat yang bisa dilakukan oleh community woker dan kedua
penyiapan lapangan yang pada dasarnya diusahakan dilakukan
secara non-direktif.
2) Tahapan Pengkajian “Assessment”
Pada tahapan ini yaitu proses pengkajian dapat dilakukan secara
individual melalui kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dalam
hal ini petugas harus berusaha mengidentifikasi masalah kebutuhan
yang dirasakan “feel needs” dan juga sumber daya yang dimiliki
klien.
3) Tahap Perencanaan Alternatif Program Atau Kegiatan
Pada tahapan ini petugas sebagai agen perubahan “exchange agent”
secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berfikir
tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana cara
mengatasinya. Dalam konteks ini masyarakat diharapkan dapat
memikirkan beberapa alternatif program dan kegiatan yang dapat
dilakukan.
4) Tahap Pemfomalisasi Rencana Aksi
Pada tahapan ini agen perubahan membantu masing-masing
kelompok untuk merumuskan dan menentukan program dan
kegiatan apa yang mereka akan lakukan untuk mengatasi
permasalahan yang ada. Di samping itu juga petugas membantu
memformalisasikan gagasan mereka ke dalam bentuk tertulis
terutama bila ada kaitannya dengan pembuatan proposal kepada
penyandang dana.
5) Tahap Pelaksanaan “Implemantasi” Program Atau Kegiatan
Dalam upaya pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat
peran masyarakat sebagai kader diharapkan dapat menjaga
keberlangsungan program yang telah dikembangkan. Kerja sama
antar petugas dan masyarakat merupakan hal penting dalam
tahapan ini karena terkadang sesuatu yang sudah direncanakan
dengan baik melenceng saat dilapangan.
6) Tahap Evaluasi
Eveluasi sebagai proses pengawasan dari warga dan petugas
program pemberdayaan masyarakat yang sedang berjalan sebainya
dilakukan dengan melibatkan warga. Dengan keterlibatan warga
tersebut diharapkan dalam jangka waktu pendek biasanya
membentuk suatu sistem komunitas untuk pengawasan secara
internal dan untuk jangka panjang dapat membangun komunikasi
masyarakat yang lebih mendirikan dengan memanfaatkan sumber
daya yang ada.
7) Tahap Terminasi
Tahap terminasi merupakan tahapan pemutusan hubungan secara
formal dengan komunitas sasaran dalam tahap ini diharapkan
proyek harus segera berhenti

REFFERENSI
BNPB. (2015). Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015
- 2030. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Vol. 1).
Fatmawati, E. (2017). Kesiapsiagaan perpustakaan dalam menghadapi bencana
banjir. Jurnal Iqra, 11(1), 1–28.
Hanny, P., Franklin, P., & Lakat, R. (2019). PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DALAM KESIAP SIAGAAN MENGANTISIPASI
ANCAMAN BENCANA ALAM DI DESA KALI DAN KALI SELATAN
MINAHASA. Jurnal Media Matrasain, 16(1), 25–39.
Husna, C., & Elvania, J. (2013). PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWAT
TERHADAP PENANGANAN MASALAH PSIKOLOGIS DAN
SPIRITUAL PADA PASIEN PASCA BENCANA: A COMPARATIVE
STUDY, 6(3), 1–6. https://doi.org/10.13841/j.cnki.jxsj.2013.01.021
Kurniawan, L. (2020). Buku Dasar penanggulangan bencana dan pengurangan
risiko bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, VIII.
PMI. (2016). Memperkuat Undang-Undang dan Pengurangan Risiko Bencana
( PRB ) di Indonesia. International Federation of Red Cross and Red
Cresent Societies, 1–104.
Surwaningsih, Muhafilah, I., & Herawati, T. M. (2019). Perubahan Kondisi
Psikososial Dan Spiritual Pada Korban Ptsd ( Post Traumatic Stress Disorder
). Jurnal Ilmu Kesehatan, 11(1), 1–11.
Winurini, S. (2014). Kontribusi Psychological First Aid (PFA) Dalam Penanganan
Korban Bencana Alam. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan Informasi
(P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, VI(3), 9–12.

Anda mungkin juga menyukai