Anda di halaman 1dari 75

HUBUNGAN ANTARA SUHU, MEROKOK DAN KONSUMSI MINUMAN

BERALKOHOL DENGAN TERJADINYA DISFUNGSI EREKSI PADA


SOPIR ANGKUTAN UMUM DI TERMINAL PAAL DUA KOTA
MANADO TAHUN 2014

TESIS

Oleh

GRACE L. A. TURALAKI
13202111006

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2015
HUBUNGAN ANTARA SUHU, MEROKOK DAN KONSUMSI MINUMAN
BERALKOHOL DENGAN TERJADINYA DISFUNGSI EREKSI PADA
SOPIR ANGKUTAN UMUM DI TERMINAL PAAL DUA KOTA
MANADO TAHUN 2014

TESIS

Disusun sebagai salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Magister Kesehatan
pada
Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

Oleh

GRACE L. A. TURALAKI
13202111006

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
PROGRAM PASCASARJANA
MANADO
2015
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Hubungan Antara Suhu, Merokok Dan Konsumsi

Minuman Beralkohol Dengan Terjadinya Disfungsi

Ereksi Pada Sopir Angkutan Umum Di Terminal Paal

Dua Kota Manado Tahun 2014

Nama : Grace Lendawati Amelia Turalaki

NIM : 13202111006

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Bidang Minat : Kesehatan Lingkungan

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

dr. A. J. M. Rattu, MS, PhD, AIFO dr. Paul A. T. Kawatu, M.Sc


Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi


Direktur Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat

Prof. Dr. Ir. Lucia C. Mandey, MS Prof. Dr. dr. Grace D. Kandou, M.Kes

NIP. 19611004 198603 2 001 NIP. 19670926 199702 2 001


SURAT PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Karya tulis Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan

gelar akademik Magister, baik di Universitas Sam Ratulangi maupun di

Perguruan Tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian Saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain kecuali arahan Tim Komisi Pembimbing dan para Tim

Penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah tersebut nama pengarang dan dicantumkan dalam

daftar pustaka.

4. Pernyataan ini Saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, yang telah

diperoleh karya tulis ini, saya bersedia untuk menerima sanksi akademik serta

sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.

Manado, Maret 2015

Yang membuat pernyataan,

Nama : Grace L. A. Turalaki

NIM : 13202111006
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan berulang pada pria dalam mencapai

dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual

(Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010; Lakin and Wood, 2012; Irianto,

2014; Pangkahila, 2014). Definisi tersebut menunjukkan bahwa proses fungsi

seksual pria mempunyai 2 komponen, yaitu mencapai keadaan ereksi dan

mempertahankannya.

Masalah disfungsi ereksi merupakan masalah yang dialami oleh banyak pria di

dunia. Lebih dari 50% pria berusia 40 dan 70 tahun mengalami disfungsi ereksi

dan angka ini naik mendekati 70% pada usia 70 tahun (Team Dee Publishing,

2010; Sherwood, 2014). Pada tahun 1995 diperkirakan 152 juta pria mengalami

disfungsi ereksi dan pada tahun 2025 jumlahnya akan menjadi 322 juta pria

seiring dengan pertambahan jumlah manusia di dunia, artinya akan terjadi

penambahan sebanyak 170 juta penderita dalam kurun waktu 30 tahun (Anonim,

2014a). Berdasarkan data Massachusetts Male Aging Study (MMAS),

diperkirakan ada sekitar 17.781 kasus baru disfungsi ereksi di Massachusetts dan

617.715 kasus di Amerika Serikat setiap tahun (Lakin and Wood, 2012). Pada

tahun 2025, jumlah laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi di Eropa

diperkirakan mencapai 43 juta orang (Anonim, 2014b).

1
Di Indonesia belum ada data pasti tentang jumlah pria yang mengalami

disfungsi ereksi. Diduga sekitar 10-20% pria menikah mengalami disfungsi

ereksi karena berbagai penyebab (Anonim, 2014b; Pangkahila, 2014).

Pada umumnya penyebab disfungsi ereksi dikelompokkan menjadi 2 faktor,

yaitu faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik meliputi gangguan atau

penyakit yang berkaitan dengan gangguan hormon, pembuluh darah dan saraf

(misalnya, defisiensi testosteron akibat suhu panas, gangguan fungsi hati,

gangguan kelenjar tiroid, diabetes mellitus, kolesterol tinggi, hipertensi, hipotensi,

penyakit jantung, penyakit ginjal dan obesitas), gaya hidup tidak sehat (misalnya,

merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol berlebihan, penyalahgunaan obat

dan kurang tidur), efek samping obat (misalnya, obat anti hipertensi, obat anti

depresi, obat penenang dan obat tidur secara berlebihan atau dalam jangka

panjang), serta akibat operasi yang potensial merusak saraf pelvis atau kavernosus

(misalnya, reseksi abdominal perineal, sistektomi radikal, prostatektomi radikal

dan bedah prostat). Faktor psikologis disebabkan oleh stres, depresi, kecemasan,

perasaan bersalah, takut keintiman dan kebimbangan tentang jenis kelamin

(Anonim, 2014c; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010; Pangkahila, 2011;

Irianto, 2014).

Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi spermatogenesis dan

proses pembentukan hormon pada pria. Dalam proses produksi, testis sebagai

pabrik sperma dan hormon membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu

tubuh, yaitu 34-350 Celcius. Hal ini sangat penting untuk terjadinya proses yang

optimal (Tendean, 2010). Hormon androgen memegang peranan penting pada

aktivitas seksual pria yang merupakan proses sinkronisasi dari timbulnya

2
keinginan seksual pada otak (sistem sentral) dan ditransmisikan ke sistem perifer

sehingga terjadi ereksi penis. Testosteron termasuk bagian dari hormon androgen

yang berperan pada kedua sistem tersebut dan mempertahankan struktur normal

dari jaringan ereksi (Vignozzi et al, 2005; Nasser, 2006; Traish and Guay, 2006;

Pan et al, 2006; Bai and Deng, 2006; Davies and Melman, 2008).

Paparan yang lama atau reguler dalam suhu panas dapat mengubah

kemampuan tubuh menjaga suhu testis sehingga dapat menyebabkan atrofi testis

yang mengganggu proses spermatogenesis, selanjutnya dapat mengakibatkan

terjadinya defisiensi hormon testosteron dan pada akhirnya merupakan salah satu

penyebab disfungsi ereksi (Dada et al, 2003).

Rokok mengandung banyak bahan kimia. Kandungan rokok sangat berbahaya

bagi perokok aktif maupun yang bukan perokok namun berada di sekitarnya

(perokok pasif) (Fitriani, 2010). Menurut World Health Organization (WHO),

ada 13 milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari populasi global yang

berusia 15 tahun ke atas. Indonesia menduduki peringkat ke-4 jumlah perokok

terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang (Gondodiputro, 2007).

Pada hasil survei MMAS ditemukan bahwa pada perokok memiliki resiko 24%

terjadinya disfungsi ereksi sedang dan berat, sementara pada bukan perokok hanya

memiliki resiko sebesar 14% (Kumar, 2010).

Merokok dapat merusak pembuluh darah, nikotin menyempitkan arteri yang

menuju penis, mengurangi aliran darah dan tekanan darah menuju penis. Ereksi

tidak dapat terjadi bila darah tidak mengalir bebas ke penis. Efek ini meningkat

bersamaan dengan waktu (Gondodiputro, 2007; Horasanli et al, 2008; Familia,

2010; Team Dee Publishing, 2010; Anonim, 2014a). Selain itu nikotin juga

3
dapat berpengaruh langsung pada fungsi endotel dan otot polos ruang-ruang

korpus kavernosum di dalam penis, akibatnya fungsi relaksasi ruang pembuluh

darah di dalam penis terganggu sehingga aliran darah terhambat dan ereksi

terganggu atau tidak terjadi (Kumar, 2010).

Alkohol adalah depresan yang berfungsi memperlambat refleks, termasuk

dalam olah seksual (Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010). Menurut

penelitian Masters dan Johnson, sekitar 30-40% pria peminum alkohol

menunjukkan libido yang menurun dan 40% menderita kesulitan ereksi, walaupun

tidak dijelaskan secara detail mengenai lamanya konsumsi minuman beralkohol

(Mayo Clinic, 2011; Grover et al, 2014). Penelitian Lee et al (2010) pada laki-

laki Cina memperlihatkan bahwa mengkonsumsi minuman beralkohol 3 gelas

standar atau lebih per minggu dapat mengurangi kepuasan seksual dan

mengganggu fungsi ereksi pada perokok. Chao et al (2014) meneliti hubungan

antara mengkonsumsi minuman beralkohol dengan disfungsi ereksi pada

penduduk Taiwan dari suku aborigin menemukan bahwa 49% dari 192 responden

memiliki riwayat alkoholik dan 79 responden (84%) yang alkoholik mengalami

disfungsi ereksi.

Masalah seksual pada pria alkoholik mungkin disebabkan pengaruh langsung

alkohol terhadap testis. Alkohol menurunkan produksi hormon testosteron

sehingga terjadi peningkatan relatif maupun absolut hormon estrogen dan

peningkatan persentase testosteron yang terikat ke protein sehingga testosteron

bebas yang aktif menjadi berkurang, akibatnya dorongan seksual menurun atau

tertekan. Di samping itu terjadi juga gangguan proses pembentukan spermatozoa.

Selain mengakibatkan gangguan hormon, penggunaan alkohol dalam jangka

4
panjang juga menimbulkan akibat lain yang dapat mengganggu fungsi seksual.

Akibat lain yang sering terjadi ialah gangguan fungsi hati, gangguan metabolisme

neurotransmitter, gangguan saraf tepi dan kurang darah (anemia). Semua

gangguan tersebut pada akhirnya juga dapat mengganggu fungsi seksual (Familia,

2010; Team Dee Publishing, 2010).

Pekerjaan sopir merupakan salah satu jenis pekerjaan yang setiap hari terpapar

dengan suhu yang tidak ideal bagi testis, khususnya para sopir angkutan umum

dengan jenis kendaraan yang mesinnya berada di bawah tempat duduk sopir

sehingga penghantaran panas yang lama dan reguler pada tempat duduk diduga

akan berdampak terhadap testis. Ditambah lagi dengan gaya hidup para sopir

yang sebagian besar memiliki kebiasaan merokok dan mengkonsumsi minuman

beralkohol, sehingga menambah resiko pekerjaan sopir terhadap terjadinya

disfungsi ereksi.

Dengan demikian, pada penelitian ini penulis bermaksud ingin mengetahui

hubungan antara suhu, merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum. Peneliti belum

mendapatkan data penelitian yang lengkap mengenai hal ini sebelumnya di

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka masalah yang menjadi pertanyaan penelitian

adalah bagaimana hubungan antara suhu, merokok dan konsumsi minuman

beralkohol dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum?

5
C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis hubungan antara suhu,

merokok dan mengkonsumsi minuman beralkohol dengan terjadinya disfungsi

ereksi pada sopir angkutan umum.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis hubungan antara suhu dengan terjadinya disfungsi ereksi

pada sopir angkutan umum

b. Menganalisis hubungan antara merokok dengan terjadinya disfungsi ereksi

pada sopir angkutan umum.

c. Menganalisis hubungan antara mengkonsumsi minuman beralkohol

dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

d. Menganalisis besarnya hubungan antara suhu, merokok dan

mengkonsumsi minuman beralkohol dengan terjadinya disfungsi ereksi

pada sopir angkutan umum.

D. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan antara suhu, merokok dan

mengkonsumsi minuman beralkohol dengan terjadinya disfungsi ereksi pada

sopir angkutan umum.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan bagi penelitian

selanjutnya terutama untuk mencari faktor-faktor lingkungan lain yang

mempengaruhi terjadinya disfungsi ereksi.

6
3. Memberikan manfaat bagi peneliti dalam menambah wawasan yang lebih

mendalam mengenai disfungsi ereksi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Persarafan Penis

Organ reproduksi pria mempunyai 2 fungsi esensial. Pertama,

spermatogenesis (menghasilkan sperma). Kedua, menyalurkan sperma ke wanita

(Sherwood, 2014). Sistem reproduksi pria dibedakan menjadi organ kelamin luar

dan organ kelamin dalam. Organ reproduksi luar terdiri dari penis yang

merupakan organ kopulasi (hubungan antara alat kelamin jantan dan betina untuk

memindahkan semen ke dalam organ reproduksi betina) dan skrotum (selaput

pembungkus tipis yang merupakan pelindung testis serta mengatur suhu yang

sesuai bagi spermatozoa). Organ reproduksi dalam terdiri dari testis yang

merupakan kelenjar kelamin yang berjumlah sepasang dan akan menghasilkan sel-

sel sperma serta hormon testosteron, epididimis, vas deferens, saluran ejakulasi,

uretra, kelenjar asesoris, vesikula seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar cowper

(Saryono, 2010).

Penis terdiri atas 3 buah korpora berbentuk silindris, yaitu 2 buah korpora

kavernosum yang saling berpasangan dan 1 buah korpus spongiosum yang berada

di sebelah ventralnya. Korpora kavernosum dibungkus oleh jaringan ikat padat

kuat, yaitu tunika albuginea. Korpora kavernosum penis dan uretra terdiri dari

jaringan erektil yang mengandung sejumlah besar lumen vena yang dilapisi sel-sel

endotel utuh dan dipisahkan oleh trabekula yang terdiri atas serat jaringan ikat dan

sel otot polos (Mescher, 2014; Snell, 2014).

8
Korpus spongiosum membungkus uretra mulai dari diafragma urogenitalis dan

di sebelah proksimal dilapisi oleh otot bulbo-kavernosus. Korpus spongiosum ini

berakhir pada sebelah distal sebagai glans penis. Ketiga korpora ini dibungkus

oleh fasia Buck dan lebih superfisial lagi oleh fasia Colles atau fasia Dartos yang

merupakan kelanjutan dari fasia Scarpa (Mescher, 2014).

Di dalam setiap korpus yang terbungkus oleh tunika albuginea terdapat

jaringan erektil, yaitu berupa jaringan kavernus (berongga) seperti spon. Jaringan

ini terdiri atas sinusoid atau rongga lakuna yang dilapisi oleh endotelium dan otot

polos kavernosus. Rongga lakuna ini dapat menampung darah yang cukup

banyak sehingga menyebabkan ketegangan batang penis (Mescher, 2014).

Prepusium merupakan lipatan kulit retraktil yang mengandung jaringan ikat

dengan otot polos di bagian dalamnya. Kelenjar sebasea tedapat di lipatan dalam

dan di kulit yang menutupi glans penis (Mescher, 2014).

Vaskularisasi arteri penis diperoleh dari arteri pudenda interna, yang menjadi

asal arteri profunda dan arteri dorsalis penis. Arteri profunda bercabang-cabang

menjadi arteri nutritif dan arteri helicinae. Arteri nutritif memberikan oksigen dan

zat makanan ke trabekula, sedangkan arteri helicinae bermuara langsung ke dalam

ruang-ruang kavernosum (jaringan erektil). Terdapat pirau arteriovenosa di antara

arteri helicinae dan vena dorsalis profunda (Mescher, 2014; Snell, 2014).

Arteri pudenda interna memasok darah ke penis, masuk ke dalam organ

tersebut pada permukaan dorsal dan berpenetrasi ke jaringan erektil korpus

kavernosum. Vena yang berasal dari penis masuk ke pleksus prostatika baik

secara langsung atau melalui vena dorsalis penis. Ereksi penis terjadi ketika ruang

kavernosum yang luas pada korpus kavernosum dan korpus spongiosum terisi

9
darah. Pembesaran penis ini menghambat aliran balik vena dan memungkinkan

ereksi terus berlangsung (Mescher, 2014; Snell, 2014).

Persarafan penis sangat penting untuk ereksi. Pasokan saraf ke penis berasal

dari nervus pudenda (nervus sakralis ke-2, 3 dan 4) dan pleksus otonom pelvis.

Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatis dan simpatis) dan

persarafan somatik (sensoris dan motoris). Serabut saraf parasimpatis yang

menuju ke penis berasal dari neuron pada kolumna intermediolateral segmen

kolumna vertebralis S2-S4. Saraf simpatis berasal dari kolumna vertebralis T4-

L2, turun melalui pleksus preaortik ke pleksus hipogastrik dan bergabung dengan

cabang saraf parasimpatis membentuk nervus kavernosus, selanjutnya memasuki

penis pada pangkalnya dan mempersarafi otot-otot polos trabekel (Mescher, 2014;

Snell, 2014).

B. Mekanisme Ereksi

Peristiwa ereksi terjadi melalui gabungan kerjasama antara otak, susunan saraf

tepi dan pembuluh darah di penis. Rangsang seksual diramu oleh otak kemudian

diteruskan oleh sistem saraf tepi sampai ke penis sehingga terjadi peningkatan

aliran darah masuk ke penis serta tertutupnya aliran darah ke luar penis, sehingga

penis menjadi memanjang, kaku dan keras (Brosnan, 2008).

Ereksi pada laki-laki terjadi secara bertahap sebagai akibat berbagai stimulasi

seksual. Penglihatan, suara, bau dan rangsangan psikis lainnya yang kemudian

diperkuat oleh rangsangan rabaan langsung pada kulit tubuh dan khususnya kulit

kelamin menyebabkan stimulus aferen yang kuat pada sistem saraf pusat (Familia,

2010; Team Dee Publishing, 2010; Snell, 2014). Impuls eferen berjalan turun ke

10
medulla spinalis menuju sistem parasimpatis pada segmen S2-S4. Serabut-serabut

preganglion parasimpatis masuk ke pleksus hipogastrika inferior dan bersinapsis

ada neuron postganglion mengikuti perjalanan arteri pudenda interna dan

didistribusikan sepanjang percabangannya yang masuk ke jaringan erektil pada

radiks penis, kemudian terjadi vasodilatasi arteri yang menimbulkan peningkatan

aliran darah secara cepat ke dalam ruangan jaringan erektil. Korpora kavernosum

dan korpora spongiosum penis membesar karena terisi darah dan menekan aliran

vena terhadap fasia yang membungkusnya. Dengan cara ini, aliran keluar darah

dari jaringan erektil dihambat sehingga tekanan interna meningkat dan tetap

dipertahankan dalam keadaan demikian. Dengan demikian panjang dan diameter

penis bertambah besar dan disebut berada dalam keadaan ereksi (Snell, 2014).

Ereksi terjadi bila rangsangan vasodilator dari sistem parasimpatis

menimbulkan relaksasi pembuluh-pembuluh penis dan otot polos kavernosum.

Vasodilatasi juga melibatkan hambatan impuls vasokonstriksi simpatis di jaringan

penis. Pembukaan arteri penis dan ruang kavernosum menyebabkan peningkatan

aliran darah, pengisian ruang-ruang kavernosum dan kekakuan penis. Kontraksi

dan relaksasi korpora kavernosum bergantung pada kalsium intrasel, yang pada

gilirannya dimodulasi oleh guanosin monofosfat (Sherwood, 2014; Snell, 2014).

Ereksi penis memerlukan reproduksi testosteron yang memadai dan fungsi

hipofisis yang bagus. Ereksi normal membutuhkan peningkatan suplai darah ke

penis secara simultan saat darah masuk dengan cepat. Disfungsi ereksi adalah

hasil dari kurangnya darah mengalir ke tubuh atau kegagalan pembuluh darah

menghantarkan darah di dalam tubuh (Brosman, 2008).

11
Secara klinis, 3 jenis yang berbeda dari ereksi telah didiferensiasi yaitu ereksi

refleksiogenik, psikogenik dan nokturnal (Tendean, 2011). Ereksi refleksiogenik

diinduksi oleh rangsangan langsung dari daerah genital dan ditransmisikan oleh

saraf penis dormal. Ereksi psikogenik terjadi saat neurotransmitter, khususnya

dopamin dan nitric oxide (NO) dilepaskan setelah rangsangan erotik dalam pusat

seksual sentral. Sinyal ditransmisikan ke korpora kavernosum melalui aktivasi

dari sistem saraf parasimpatis dan transfer sinyal dalam pusat erektil sakral, disaat

NO dan polipeptida intestinal vasoaktif (VIP) berperan sebagai transmiter utama.

Ereksi nokturnal terjadi dari perputaran siang atau malam dan tonus parasimpatis

yang menonjol selama malam hari menyebabkan ereksi otonomik intermiten.

C. Disfungsi Ereksi

1. Definisi

Definisi disfungsi ereksi berdasarkan National Institute of Health (NIH)

adalah ketidakmampuan berulang pada pria dalam mencapai dan mempertahankan

ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan (Mirone,

2006; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010; Lakin and Wood, 2012;

Irianto, 2014; Pangkahila, 2014). Definisi tersebut menunjukkan bahwa proses

fungsi seksual pria mempunyai 2 komponen, yaitu mencapai keadaan ereksi dan

mempertahankannya dan ketidakmampuan ini bersifat menetap atau berulang

(Pangkahila, 2014).

2. Etiologi

Disfungsi ereksi dapat disebabkan oleh banyak faktor, namun pada umumnya

dapat dikelompokkan menjadi dua faktor, yaitu organik (fisik) dan psikogenik

12
(Anonim, 2014c; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010; Pangkahila, 2011;

Irianto, 2014).

a. Disfungsi Ereksi Organik

Disfungsi ereksi organik menyangkut ketidakmampuan melakukan senggama

karena disebabkan oleh faktor fisik, yaitu semua gangguan atau penyakit yang

berkaitan dengan gangguan hormon, pembuluh darah dan saraf. Beberapa

contoh penyakit adalah gangguan fungsi hati, gangguan kelenjar tiroid,

diabetes mellitus, kolesterol tinggi, hipertensi, hipotensi, penyakit jantung,

penyakit ginjal dan obesitas. Faktor fisik juga berkaitan dengan gaya hidup

tidak sehat, efek samping obat, serta akibat operasi yang potensial merusak

saraf pelvis atau kavernosus. Beberapa contoh gaya hidup tidak sehat adalah

merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol berlebihan, penyalahgunaan

obat (narkoba) dan kurang tidur. Beberapa contoh obat adalah obat anti

hipertensi, obat anti depresi, obat penenang dan obat tidur secara berlebihan

atau dalam jangka panjang. Beberapa contoh operasi yang potensial merusak

saraf pelvis atau kavernosus adalah reseksi abdominal perineal, sistektomi

radikal, prostatektomi radikal dan juga bedah prostat.

b. Disfungsi Ereksi Psikogenik

Disfungsi ereksi psikogenik merupakan jenis yang sering ditemukan.

Disfungsi ereksi psikogenik bisa saja terjadi akibat stres, depresi, kecemasan,

perasaan bersalah, takut keintiman dan kebimbangan tentang jenis kelamin.

3. Epidemiologi

Masalah disfungsi ereksi merupakan masalah yang dialami banyak pria di

dunia. Lebih dari 50% pria berusia 40 dan 70 tahun mengalami disfungsi ereksi

13
dan angka ini naik mendekati 70% pada usia 70 tahun (Team Dee Publishing,

2010; Sherwood, 2014). Pada tahun 1995 diperkirakan 152 juta pria mengalami

disfungsi ereksi dan pada tahun 2025 jumlahnya akan menjadi 322 juta pria

seiring dengan pertambahan jumlah manusia di dunia, artinya akan terjadi

penambahan sebanyak 170 juta penderita dalam kurun waktu 30 tahun (Anonim,

2014a).

Berdasarkan data MMAS pada tahun 1994 yang dilakukan pada kelompok

pria usia 40-70 tahun, ditemukan 52% responden melaporkan beberapa derajat

dari disfungsi ereksi. Disfungsi ereksi ringan dialami 17% responden, disfungsi

ereksi sedang dialami 25% responden dan disfungsi ereksi berat dialami 10%

responden (Feldman et al 1994; Mirone, 2006). The National Health and Social

Life Survey melaporkan adanya disfungsi ereksi pada 18% pria berusia 50 dan 59

tahun (Mirone, 2006).

Data MMAS memperkirakan ada sekitar 17.781 kasus baru disfungsi ereksi di

Massachusetts dan 617.715 kasus di Amerika Serikat setiap tahun (Lakin and

Wood, 2012). Pada tahun 2025, jumlah laki-laki yang mengalami disfungsi ereksi

di Eropa diperkirakan mencapai 43 juta orang (Anonim, 2014b).

Di Indonesia belum ada data pasti tentang jumlah pria yang mengalami

disfungsi ereksi. Diduga sekitar 10-20% pria menikah mengalami disfungsi

ereksi karena berbagai penyebab (Anonim, 2014b; Pangkahila, 2014).

4. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya disfungsi ereksi menurut Hilsted dan Low (1993)

merupakan kombinasi neuropati otonom dan keterlibatan arteriosklerosis arteri

pudenda interna (Anonim, 2014d).

14
Menurut Moreland (sebagaimana dikutip oleh Wibowo, 2007), ada 2

pandangan utama patofisiologi kasus disfungsi ereksi, pada hipotesis pertama

perubahan yang dipengaruhi tekanan oksigen pada penis selama ereksi ditujukan

untuk mempengaruhi struktur korpus kavernosum dengan cara menginduksi

sitokin yang bermacam-macam. Faktor vasoaktif dan faktor pertumbuhan pada

kondisi tekanan oksigen yang berbeda akan mengubah metabolisme otot polos

dan sistesis jaringan ikat. Penurunan rasio antara otot polos dengan jaringan ikat

pada korpus kavernosum dihubungkan dengan meningkatnya vena difus dan

kegagalan mekanisme penyumbatan vena. Hipotesis tersebut menyertakan bukti

adanya perubahan pada fase ereksi penis malam hari dan perubahan sirkadian

hubungannya dengan oksigenasi yang penting dalam pengaturan ereksi sehat.

Hipotesis yang lain menyatakan bahwa disfungsi ereksi adalah hasil dari

ketidakseimbangan metabolik antara proses kontraksi dan relaksasi di dalam otot

polos trabekula, misalnya dominasi protes kontraksi. Kedua hipotesis ini

dikaitkan dengan strategi penanganan disfungsi ereksi (Anonim, 2014d).

Menurut Barton dan Jouber (2000), pada kasus-kasus dengan penyebab

biologis jelas (misal neuropati diabetika), pengobatan dan akibat dalam jangka

panjang kelainan seksual sekunder tersebut akan terpengaruh juga oleh faktor

psikoseksual. Penyebab organik disfungsi ereksi termasuk vaskuler, neurologik,

hormonal, penyakit, atau obat-obatan tertentu dan sejumlah orang mempunyai

faktor penyebab ganda. Pada faktor neurologik dapat berupa stroke, penyakit

demielinasi, kelainan dengan bangkitan atau kejang, tumor atau trauma sumsum

belakang dan kerusakan saraf tepi (Anonim, 2014d).

15
5. Klasifikasi

Berdasarkan terjadinya, disfungsi ereksi terbagi atas (Familia, 2010; Team

Dee Publishing, 2010; Irianto, 2014):

a. Disfungsi Ereksi Primer

Disfungsi ereksi yang diperoleh sejak semula, yaitu seorang pria tidak pernah

mampu mencapai ereksi sehingga tidak pernah berhasil melakukan hubungan

seksual dengan pasangannya. Bentuk disfungsi ereksi ini sangat jarang dan

seringkali disebabkan oleh kondisi psikologis yang ekstrim, seperti rasa takut

terhadap keintiman, perasaan bersalah dan tingkat kecemasan yang tinggi.

b. Disfungsi Ereksi Sekunder

Bila seorang pria sudah pernah berhasil melakukan hubungan seksual, tetapi

kemudian gagal karena suatu sebab yang mengganggu ereksinya disebut

disfungsi sekunder dan lebih umum terjadi. Pria dengan disfungsi ereksi

sekunder dapat melakukan hubungan seksual walaupun hanya 25% dari waktu

normal biasanya.

Untuk mengetahui tingkat keparahan disfungsi ereksi yang diderita maka perlu

dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan IIEF (International Index of

Erectile Function) (Brosman, 2008; Team Dee Publishing, 2010; Anonim,

2014d; Irianto, 2014; Pangkahila, 2014). Indeks ini terdiri dari 6 pertanyaan dan

tiap-tiap pertanyaan diberi nilai 0 sampai 5. Hasil penjumlahan nilai tiap

pertanyaan diinterpretasikan menjadi: tidak disfungsi (jika penjumlahan dari 6

pertanyaan hasilnya 25-30), disfungsi ringan (jika penjumlahan dari 6 pertanyaan

hasilnya 19-24), disfungsi sedang-ringan (jika penjumlahan dari 6 pertanyaan

16
hasilnya 13-18), disfungsi sedang (jika penjumlahan dari 6 pertanyaan hasilnya 7-

12) dan disfungsi berat (jika penjumlahan dari 6 pertanyaan hasilnya 0-6).

Selain IIEF, penilaian mengenai kualitas ereksi dapat dilakukan dengan EHS

(Erection Hardness Score). EHS lebih sederhana daripada kuisioner IIEF. Pria

dengan nilai 1 (penis membesar tetapi tidak keras) mengalami disfungsi ereksi

berat, nilai 2 (penis mengeras tetapi tidak cukup untuk melakukan penetrasi ke

dalam vagina) menunjukkan disfungsi ereksi sedang, nilai 3 (penis keras, mampu

melakukan penetrasi ke dalam vagina dan melakukan hubungan seksual tetapi

tidak maksimal) menunjukkan disfungsi ereksi ringan dan nilai 4 (penis keras

maksimal) menunjukkan pria dengan fungsi ereksi normal (Pangkahila, 2014).

D. Suhu

1. Definisi

Suhu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ukuran kuantitatif

terhadap temperatur. Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

spermatogenesis dan proses pembentukan hormon pada pria. Dalam proses

produksi, testis membutuhkan suhu yang lebih dingin daripada suhu tubuh, yaitu

34-350 Celcius. Hal ini sangat penting untuk terjadinya proses yang optimal

(Tendean, 2010).

Hormon androgen memegang peranan penting pada aktivitas seksual pria yang

merupakan proses sinkronisasi dari timbulnya keinginan seksual pada otak (sistem

sentral) dan ditransmisikan ke sistem perifer sehingga terjadi ereksi penis.

Testosteron termasuk bagian dari hormon androgen yang berperan pada kedua

sistem tersebut dan mempertahankan struktur normal dari jaringan ereksi

17
(Vignozzi et al, 2005; Nasser, 2006; Traish and Guay, 2006; Pan et al, 2006;

Bai and Deng, 2006; Davies and Melman, 2008).

2. Pengaruh Suhu Terhadap Disfungsi Ereksi

Paparan yang lama atau reguler dalam suhu panas dapat mengubah

kemampuan tubuh menjaga suhu testis. Pria yang bekerja di lingkungan panas

mempunyai kesuburan dibawah normal bahkan dalam peningkatan temperatur

testis beberapa derajat saja dapat menyebabkan terjadinya infertilitas (Dada et al,

2003).

Pengaruh suhu terhadap saluran pria telah diperiksa pada tikus, hamster,

kelinci, serta spesies lainnya yang termasuk hewan pengerat alami. Pada

prinsipnya, peningkatan kecil dalam suhu testis tidak merusak epitel germinal,

namun mengurangi berat testis dan produksi sperma, juga membawa insiden lebih

besar dari spermatid morfologis abnormal dan spermatozoa. Hal ini menunjukkan

bahwa testis sebagian dapat ditekan namun tetap fungsional dalam menghadapi

peningkatan moderat dalam suhu lingkungannya (Momen et al, 2010).

Akibat terpapar panas, terjadi penurunan 60% dalam produksi inhibin. Inhibin

adalah hormon yang membentuk lingkaran umpan balik negatif dengan FSH,

hormon reproduksi lain yang dibuat dalam kelenjar pituitari. Rendahnya tingkat

inhibin menciptakan peningkatan kadar FSH. Peningkatan level FSH berbanding

seimbang dengan kerusakan sel Sertoli yang dapat mengindikasikan tingkat

kerusakan testikuler. Level FSH merupakan parameter endokrin untuk

mengevaluasi fungsi testis (Steinberger, 1991).

Jadi paparan yang lama atau reguler dalam suhu panas diduga dapat mengubah

kemampuan tubuh dalam menjaga suhu testis sehingga menyebabkan atrofi testis

18
yang mengganggu proses spermatogenesis dan mengakibatkan terjadinya

defisiensi hormon testosteron. Defisiensi hormon testosteron merupakan salah

satu penyebab disfungsi ereksi.

E. Merokok

1. Definisi

Rokok menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah daun tembakau yang

dicacah kemudian dibungkus dengan kertas yang panjangnya antara 70-120 mm

dengan diameter 10 mm dan merokok adalah sebuah kegiatan membakar rokok

untuk dihisap asapnya. Menurut WHO (2000), merokok aktif adalah aktivitas

menghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari.

2. Kandungan

Asap rokok mengandung 4000 jenis bahan kimia dan setidaknya 200 jenis

diantaranya berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada tembakau antara lain:

nikotin, tar, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen sianida, ammonia,

akrolein, benzene dan etanol. Kandungan rokok sangat berbahaya bagi perokok

aktif maupun yang bukan perokok namun berada di sekitarnya (perokok pasif).

Asap rokok yang terhirup dapat menyebabkan penyakit berbahaya, yaitu kanker,

penyakit jantung, emfisema, gangguan hormonal, gangguan spermatogenesis,

merusak viabilitas spermatozoa dan menyebabkan adanya bahan toksik pada

spermatozoa. Merokok juga memberikan dampak negatif pada kesehatan

reproduksi pria dan wanita seperti kemandulan, disfungsi ereksi, gangguan

kehamilan dan perkembangan janin (Gondodiputro, 2010; Fitriani, 2010).

19
3. Jenis dan Produk

Bentuk-bentuk sediaan tembakau sangat bervariasi dan penggunaannya juga

berbeda-beda. Pembedaan ini didasarkan atas bahan pembungkus, bahan baku

atau isi, proses pembuatan dan penggunaan filter pada rokok. Di seluruh dunia,

bentuk sediaan ini mempunyai nama-nama khas. Produk-produk tembakau

digunakan secara luas oleh masyarakat dan produk komersial tembakau mengacu

pada 3 jenis sediaan sebagai berikut: a) gulungan tembakau (rolls of tobacco)

yang dibakar dan dihisap (rokok), contohnya adalah bidi, cigar, cigarette; b) pipa

(pipes); c) sediaan oral (oral preparations) untuk digunakan dengan cara

menguyah, didiamkan di dalam mulut atau ditempatkan di dalam hidung,

contohnya adalah snuff, snus, betel quid.

4. Klasifikasi

Berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap (kuantitatif), Samed et al

(1988) membuat definisi perokok menjadi:

a. Perokok aktif ringan jika merokok sigaret 1-10 batang per hari

b. Perokok aktif sedang jika merokok sigaret 11-20 batang per hari

c. Perokok aktif berat jika merokok sigaret lebih dari 20 batang per hari.

5. Epidemiologi

Menurut WHO, ada 13 milyar perokok di dunia dan sepertiganya berasal dari

populasi global yang berusia 15 tahun ke atas. Indonesia merupakan negara

terbesar ke-7 di dunia yang memproduksi tembakau. Diperkirakan konsumsi

rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 milyar batang rokok. Dari segi

jumlah perokok, Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia dengan jumlah

sekitar 141 juta orang. Prevalensi merokok di kalangan orang dewasa (15 tahun

20
keatas) pada tahun 2007 sebesar 33,08% (Gondodiputro, 2007). Menurut hasil

Riskesdas 2013, perilaku merokok penduduk 15 tahun keatas masih belum terjadi

penurunan dari tahun 2007 ke 2013, cenderung meningkat dari 34,2% tahun 2007

menjadi 36,3% tahun 2013. Sebanyak 64,9% laki-laki masih menghisap rokok di

tahun 2013.

Hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi diperlihatkan pada penelitian

kohort terhadap 2115 laki-laki kaukasia berusia 40-79 tahun di Minnesota (Naomi

et al, 2005). Hasil survei MMAS ditemukan bahwa perokok memiliki resiko 24%

terjadinya disfungsi ereksi sedang dan berat, sementara pada bukan perokok hanya

memiliki resiko sebesar 14% (Kumar, 2010). Penelitian meta-analisis yang

dilakukan Cao et al (2014) terhadap 1 penelitian kohort dan 9 penelitian cross-

sectional memperlihatkan adanya hubungan positif dose-response antara kuantitas

dan durasi merokok dengan resiko terjadinya disfungsi ereksi. Hasil penelitian

Maiorina et al (2014) memperlihatkan bahwa setelah 1 tahun, disfungsi ereksi

mengalami perbaikan signifikan pada lebih dari 25% pria yang berhenti merokok

dan bukan pada pria yang tetap merokok.

6. Pengaruh Merokok Terhadap Disfungsi Ereksi

Merokok dapat merusak pembuluh darah, nikotin menyempitkan arteri yang

menuju penis, mengurangi aliran darah dan tekanan darah menuju penis. Ereksi

tidak dapat terjadi bila darah tidak mengalir bebas ke penis. Efek ini meningkat

bersamaan dengan waktu lamanya merokok (Gondodiputro, 2007; Horasanli et

al, 2008; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010; Anonim, 2014a). Selain

itu, nikotin juga dapat berpengaruh langsung pada fungsi endotel dan otot polos

ruang-ruang korpus kavernosum di dalam penis. Akibatnya fungsi relaksasi ruang

21
pembuluh darah di dalam penis terganggu sehingga aliran darah terhambat dan

ereksi terganggu atau tidak terjadi (Kumar, 2010).

F. Konsumsi Minuman Beralkohol

1. Definisi

Alkohol menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cairan tidak berwarna

yang mudah menguap, mudah terbakar, dipakai dalam industri dan pengobatan,

merupakan unsur ramuan yang memabukkan dalam kebanyakan minuman keras.

Alkohol murni tidak dikonsumsi manusia, alkohol yang sering dikonsumsi adalah

minuman mengandung bahan sejenis alkohol, biasanya etil alkohol atau etanol

(Snyder, 2007). Alkohol merupakan depresan yang berfungsi memperlambat

refleks, termasuk dalam olah seksual (Familia, 2010; Team Dee Publishing,

2010).

2. Jenis dan Produk

Alkohol yang terdapat dalam minuman beralkohol berasal dari biji-bijian dan

umbi-umbian sehingga sering dinamakan grain alcohol. Alkohol adalah cairan

tidak berwarna dan pahit rasanya. Alkohol dapat diperoleh melalui fermentasi

oleh mikrorganisme (sel ragi) dari gula, sari buah, biji-bijian, madu, umbi-umbian

dan getah kaktus tertentu. Melalui proses fermentasi, hanya akan diperoleh kadar

alkohol 14% karena bila kadar alkohol lebih dari 14% sel ragi akan mati.

Kebanyakan bir berkadar alkohol 2-5%, anggur minuman berkadar alkohol 10 -14

%, sherry, port dan muskatel berkadar 20%, sedangkan wiski, rum, gin, vodka dan

brendi berkadar 40-50%. Melalui proses penyulingan di pabrik, dapat diproduksi

alkohol dengan persentase lebih tinggi, bahkan sampai 100% (Joewana, 2005).

22
Produk alkohol ada yang berupa produk lokal dalam bentuk Saguer dan Cap

tikus yang diproduksi secara tradisional di Indonesia khususnya daerah Sulawesi

Utara. Bahan pembuat minuman ini dapat berasal dari tape, air nira, buah kelapa

dan aren. Cap tikus termasuk minuman yang mengandung alkohol 30-40% yang

dihasilkan dari penyulingan Saguer atau air nira (Barlina et al, 2006). Semakin

bagus sistem penyulingan maka semakin tinggi pula kadar alkoholnya. Selain itu

ada juga jenis anggur Cap Burung, anggur putih dan anggur Kasegaran yang

merupakan produk pabrik lokal dengan komposisi bahan dari olahan Cap tikus

ditambah karamel sebagai pewarna merah kecoklatan serta sedikit esens sebagai

aroma (Nurwijaya dan Ikawati, 2009).

3. Metabolisme

Sekitar 90-98% etanol yang diabsorbsi di dalam tubuh akan mengalami

oksidasi oleh enzim. Biasanya sekitar 2-10% diekskresikan tanpa mengalami

perubahan, baik melalui paru maupun ginjal. Sebagian kecil dikeluarkan melalui

keringat, air mata, empedu, cairan lambung dan air ludah (Darmono, 2006).

Proses oksidasi enzimatik etanol pertama terjadi dalam hati kemudian dalam

ginjal. Proses metabolisme melibatkan 3 jenis enzim. Pada proses pertama etanol

dioksidasi menjadi acetaldehyd oleh enzim alkohol dehidrogenase dan

memerlukan kovaktor NAD (Nicotamid Adenid Dehidrogenase). Enzim alkohol

dehidrogenase dalam hati adalah enzim yang tidak spesifik, enzim ini juga

mengubah alkohol primer lainnya menjadi aldehid, begitu juga pada alkohol

sekunder dan keton. Pada tahap kedua acedaldehyd diubah menjadi asam asetat

oleh enzim aldehid dehydrogenase juga dibantu oleh kovaktor NAD. Tahap

berikutnya diubah lagi menjadi acetyl koenzim A, kemudian CoA masuk dalam

23
siklus krebs dan mengalami metabolisme menjadi CO 2 dan H2O (Darmono,

2006).

Proses metabolisme etanol mengakibatkan terjadinya perubahan NAD menjadi

reaksi NADH, sehingga menyebabkan penurunan rasio antara NAD dan NADH di

dalam hati dan terjadi gangguan metabolisme karbohidrat, karena intoksikasi dari

etanol. Walaupun terjadi gangguan metabolisme karena keracunan etanol sangat

kompleks, tetapi dapat diduga bahwa hambatan proses glukoneogenesis oleh

etanol akibat kekurangan NAD. Oleh sebab itu asam amino yang biasanya masuk

ke dalam jalur glikolisis dan siklus asam trikarboksilat (TCA) berubah lain jalur.

Sebagai akibatnya terjadi penurunan kandungan oksaloasetat dan piruvat dan

terjadi penimbunan laktat dan ketoasit. Juga terjadi reduksi dalam metabolisme

gliserol yang mengakibatkan terjadinya penimbunan lemak di organ hati

(Darmono, 2006).

4. Perilaku Konsumsi Alkohol

Patterns of Drug Use in Australia mengklasifikasikan perilaku konsumsi

alkohol dengan menggabungkan informasi pada kuantitas dan frekuensi konsumsi

pada laki-laki sebagai berikut (Makkai & McAllister, 1998):

a. Harmful / hazardous-drinking, jika mengkonsumsi 5 minuman atau lebih

selama 7 hari dalam seminggu, atau mengkonsumsi > 7 minuman selama

4-6 hari per minggu, atau mengkonsumsi > 12 minuman selama 2-3 hari

per minggu.

b. Binge drinking / pesta minum, jika mengkonsumsi 7 minuman atau lebih,

tapi tidak lebih dari 1 hari per minggu.

c. Heavy drinking, jika mengkonsumsi 5 minuman.

24
d. Moderate drinking, jika mengkonsumsi kurang dari 5 minuman.

e. Non-drinkers, jika tidak pernah mencoba atau mantan peminum.

Pada beberapa negara kadar alkohol darah yang dianggap aman adalah 100

mg/dL atau untuk laki-laki maksimum 4 gelas alkohol standar per hari dengan 2

hari bebas alkohol dalam seminggu. Intoksikasi alkohol terjadi pada kadar

alkohol darah 50-150 mg/L pada pria non alkoholik (Emanuele, 2001; Arackal,

2007; Horasanli et al, 2008).

5. Epidemiologi

Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk

konsumsi minuman beralkohol adalah 4,6% dan Provinsi Sulawesi Utara

termasuk salah satu diantara 15 provinsi yang mempunyai prevalensi konsumsi

minuman beralkohol diatas prevalensi nasional.

Disfungsi seksual sering dialami oleh pasien-pasien dengan ketergantungan

alkohol. Konsumsi minuman beralkohol dosis rendah berguna untuk membantu

ereksi, tetapi pada dosis tinggi dapat menurunkan libido dan meningkatkan resiko

terjadinya disfungsi ereksi (Arackal, 2007; Horasanli et al, 2008). Menurut

penelitian Masters dan Johnson, sekitar 30-40% pria peminum minuman

beralkohol menunjukkan libido yang menurun dan 40% menderita kesulitan

ereksi, walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai lamanya konsumsi

minuman beralkohol (Mayo Clinic, 2011; Grover et al, 2014). Bahkan setelah

berhenti menggunakan alkohol selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, hanya

50% kasus yang fungsi seksualnya kembali normal (Pangkahila, 2014).

Hasil penelitian Lee et al (2010) pada laki-laki Cina memperlihatkan bahwa

mengkonsumsi minuman beralkohol 3 gelas standar atau lebih per minggu dapat

25
mengurangi kepuasan seksual dan mengganggu fungsi ereksi pada perokok, tetapi

efek ini lebih kurang terjadi pada bukan perokok, sedangkan hasil penelitian

Dissiz et al (2011) di Turki menyimpulkan bahwa disfungsi seksual pada pria

alkoholik berhubungan dengan tingkat edukasi, tidak memiliki pekerjaan dan

riwayat memulai konsumsi minuman beralkohol pada usia muda. Chao et al

(2014) meneliti hubungan antara mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

disfungsi ereksi pada penduduk Taiwan dari suku aborigin menemukan bahwa

49% dari 192 responden memiliki riwayat alkoholik dan 79 responden (84%)

yang alkoholik mengalami disfungsi ereksi.

6. Pengaruh Konsumsi Minuman Beralkohol Terhadap Disfungsi Ereksi

Masalah seksual pada pria alkoholik mungkin disebabkan oleh pengaruh

langsung alkohol terhadap testis. Alkohol menurunkan produksi hormon

testosteron sehingga terjadi peningkatan relatif maupun absolut hormon estrogen

dan peningkatan persentase testosteron yang terikat ke protein sehingga

testosteron bebas yang aktif menjadi berkurang. Akibatnya dorongan seksual

menurun atau tertekan (Emanuele, 2001; Jabaloyas et al, 2006; Familia, 2010;

Team Dee Publishing, 2010).

Selain mengakibatkan gangguan hormon, penggunaan alkohol dalam jangka

panjang juga menimbulkan akibat lain yang dapat mengganggu fungsi seksual.

Akibat lain yang sering terjadi ialah gangguan fungsi hati, gangguan metabolisme

NO, gangguan saraf tepi dan kurang darah (anemia). Semua gangguan tersebut

pada akhirnya juga dapat mengganggu fungsi seksual (Emanuele, 2001; Familia,

2010; Team Dee Publishing, 2010; Maiorino et al, 2014).

26
G. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan teori sebelumnya dapat dibuat kerangka teori seperti

pada gambar di bawah ini:

FAKTOR FISIK
(ORGANIK)

GANGGUAN GAYA HIDUP TIDAK AKIBAT


HORMON, SEHAT OPERASI YANG
PEMBULUH (merokok dan EFEK POTENSIAL
DARAHdan SARAF mengkonsumsi SAMPING MERUSAK
(defisiensi testosteron minuman beralkohol OBAT SARAF PELVIS
akibat suhu panas) berlebihan) ATAU
KAVERNOSUS

DISFUNGSI

EREKSI

Kebimbangan
Stres Depresi Kecemasan Perasaan Takut tentang jenis
bersalah keintiman kelamin

FAKTOR PSIKOLOGIS

Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian


(Sumber: Anonim, 2014c; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010;
Pangkahila, 2011; Irianto, 2014)

27
H. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka teori dapat dibuat kerangka konsep penelitian seperti

pada gambar berikut ini:

SUHU

MEROKOK DISFUNGSI
EREKSI

KONSUMSI MINUMAN
BERALKOHOL

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian


(Sumber: Anonim, 2014c; Familia, 2010; Team Dee Publishing, 2010;
Pangkahila, 2011; Irianto, 2014)

I. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Utama (Ho)

a. Tidak ada hubungan antara suhu dengan terjadinya disfungsi ereksi pada

sopir angkutan umum.

b. Tidak ada hubungan antara merokok dengan terjadinya disfungsi ereksi

pada sopir angkutan umum.

28
c. Tidak ada hubungan antara mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

d. Suhu, merokok dan mengkonsumsi alkohol tidak memiliki hubungan yang

besar dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

2. Hipotesis Alternatif (H1)

a. Ada hubungan antara suhu dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir

angkutan umum.

b. Ada hubungan antara merokok dengan terjadinya disfungsi ereksi pada

sopir angkutan umum.

c. Ada hubungan antara mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

d. Suhu, merokok dan mengkonsumsi alkohol memiliki hubungan yang besar

dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

29
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan cross

sectional study dan pengambilan data dilakukan pada waktu yang bersamaan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Terminal Angkutan Umum Paal Dua Kota

Manado pada bulan Desember 2014 – Februari 2015. Adapun yang menjadi

alasan dipilihnya terminal tersebut sebagai lokasi penelitian yaitu karena

merupakan salah satu terminal besar di Kota Manado yang menjadi tempat

pertemuan berbagai jalur angkutan umum, populasi sopirnya cukup tinggi dan

belum pernah dilakukan penelitian serupa di tempat ini.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua sopir angkutan umum di Terminal

Paal Dua Kota Manado dengan jenis kendaraan yang mesinnya berada di bawah

tempat duduk sopir dan usia kendaraan lebih dari 10 tahun. Pertimbangan subyek

penelitiannya adalah sopir pada jalur-jalur angkutan umum yang menuju terminal

tersebut selalu melintasi beberapa titik kemacetan, sehingga menyebabkan sopir

berada lebih lama dalam kendaraan.

30
2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian yaitu sopir di Terminal Paal Dua Kota Manado yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan kerangka pengambilan sampel

sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi:

1) Sudah menikah dan tinggal serumah dengan isteri.

2) Bekerja sebagai sopir angkutan umum minimal 1 tahun dengan 8 jam kerja

per hari.

3) Sehat jasmani (tidak memiliki penyakit fisik yang berat) dan rohani (tidak

dalam keadaan stres, depresi, kecemasan, dll).

4) Berusia 17 - 60 tahun.

5) Dapat berkomunikasi dengan baik dan mengerti bacaan dengan jelas

sehingga mampu memberikan respon terhadap pernyataan dalam

kuesioner.

6) Bersedia menjadi subjek penelitian dengan mengisi lembaran informed

consent.

b. Kriteria Eksklusi:

1) Responden mempunyai riwayat penyakit yang berkaitan dengan gangguan

hormon lainnya, pembuluh darah dan saraf (misalnya: gangguan kelenjar

tiroid, diabetes mellitus, hipertensi, hipotensi, penyakit jantung, penyakit

ginjal, dll)

2) Responden mempunyai riwayat penyalahgunaan obat (narkoba),

mengkonsumsi obat anti depresi, obat penenang, obat tidur secara

31
berlebihan atau dalam jangka panjang dan obat-obat lainnya yang

menyebabkan gangguan ereksi.

3) Responden mempunyai riwayat operasi yang potensial merusak saraf

pelvis atau kavernosus (misalnya: reseksi abdominal perineal, sistektomi

radikal, prostatektomi radikal dan bedah prostat).

3. Cara Pemilihan Sampel

Sampel penelitian diambil dari total populasi yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi dengan teknik consecutive sampling. Pada penelitian ini, jumlah

sampel yang digunakan yaitu 60 sampel.

D. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Formulir wawancara

Formulir wawancara berguna untuk mendapatkan data pribadi, riwayat

kesehatan (fisik dan mental), riwayat pekerjaan, riwayat merokok dan riwayat

konsumsi minuman beralkohol.

2. Kuesioner IIEF

Kuesioner IIEF adalah kuesioner untuk mengetahui tingkat keparahan disfungsi

ereksi yang diderita. Indeks ini terdiri dari 6 pertanyaan dan tiap-tiap

pertanyaan diberi nilai 0 sampai 5.

3. Alat pengukur suhu ruangan kerja

Alat pengukur suhu ruangan kerja menggunakan sinar laser yang diarahkan

pada tempat duduk sopir untuk mendeteksi suhu.

32
4. Sphygmomanometer air raksa dan stetoskop digunakan untuk mengukur

tekanan darah.

E. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini yaitu:

1. Suhu, merokok dan konsumsi minuman beralkohol sebagai variabel bebas

atau variabel independen.

2. Disfungsi ereksi sebagai variabel terikat atau variabel dependen.

F. Definisi Operasional

1. Suhu adalah suhu yang diukur di tempat duduk sopir pada jam kerja aktif.

Suhu diukur 2 kali untuk tiap kendaraan responden pada jam 09.00-10.00 dan

15.00-16.00, kemudian dilakukan penghitungan suhu rata-rata seluruh

kendaraan.

Suhu dikatagorikan ‘baik’ jika suhu kendaraan responden ≤ suhu rata-rata

keseluruhan dan ‘kurang baik’ jika suhu kendaraan responden > suhu rata-rata

keseluruhan. Skala pengukuran ordinal

2. Merokok adalah kebiasaan merokok dari responden minimal 1 batang rokok

dalam sehari (Martini & Hendrati, 2006), selama lebih dari 3 bulan.

Merokok dikatagorikan ‘ya’ jika merokok dan ‘tidak’ jika tidak merokok.

Skala pengukuran nominal.

3. Konsumsi minuman beralkohol adalah kebiasaan mengkonsumsi minuman

beralkohol dari responden dalam minimal 12 bulan terakhir (Depkes, 2008).

33
Mengkonsumsi minuman beralkohol dikatagorikan ‘ya’ jika mengkonsumsi

dan ‘tidak’ jika tidak mengkonsumsi. Skala pengukuran nominal

4. Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan responden dalam mencapai atau

mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang

memuaskan.

Disfungsi ereksi diukur dengan menggunakan kuesioner IIEF dan

dikatagorikan ‘ya’ jika penjumlahan dari 6 pertanyaan hasilnya 0-24 dan

‘tidak’ jika penjumlahan dari 6 pertanyaan hasilnya 25-30. Skala pengukuran

nominal.

G. Jalan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu :

1. Tahap persiapan

Tahap ini meliputi penyusunan proposal penelitian, pengurusan perijinan

termasuk surat pengantar untuk melaksanakan survei pendahuluan, surat

pengantar untuk melaksanakan penelitian dan surat permohonan peminjaman

alat. Penelitian diawali dengan mengurus ijin di Dinas Perhubungan UPT

Terminal Pemerintah Kota Manado, berdasar surat pengantar untuk

melaksanakan penelitian dari Program Pasca Sarjana Unsrat. Setelah

mendapat ijin dari Dinas Perhubungan UPT Terminal, peneliti menghubungi

Kepala Urusan Terminal Paal Dua untuk menginformasikan dan menjelaskan

jalannya penelitian.

Saat melakukan penelitian, peneliti dibantu oleh 3 orang mahasiswa Pasca

Sarjana Unsrat dan 1 orang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat

34
Unsrat yang diberi penjelasan sesuai dengan tujuan penelitian dan dilatih

teknik pengukuran tekanan darah, teknik wawancara dan cara pengisian

instrumen kuesioner.

2. Tahap pelaksanaan

a. Penjaringan sampel dilakukan dengan melihat data pada Terminal Paal

Dua Kota Manado, kemudian menentukan subjek penelitian yang

memenuhi kriteria.

b. Memberikan penjelasan kepada responden mengenai tujuan penelitian dan

tahapan jalannya penelitian.

c. Meminta persetujuan responden yang bersangkutan untuk menandatangani

surat persetujuan (informed consent).

d. Melakukan pengukuran tekanan darah secara sederhana sebagai

penyaringan awal untuk memastikan bahwa responden dalam keadaan

sehat fisik dengan metode auskultasi menggunakan sphygmomanometer

air raksa dan stetoskop yang telah dikalibrasi dan validitasnya terjamin.

e. Melakukan pengumpulan data dengan wawancara dan pengisian

kuesioner.

f. Melakukan 2 kali pengukuran suhu tempat duduk pada kendaraan

responden pada jam kerja aktif, yaitu jam 09.00-10.00 dan jam 15.00-

16.00 dengan menggunakan alat pengukur suhu ruangan.

3. Tahap penyelesaian

Setelah data terkumpul, dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian

pengisian data dalam instrumen penelitian. Selanjutnya dilakukan entry data

dan analisis data dengan menggunakan perangkat komputer.

35
H. Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil formulir wawancara dan

kuesioner yang diisi oleh responden, juga hasil pengukuran suhu tempat duduk

sopir.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh secara tidak langsung dari obyek yang diteliti. Data

sekunder dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan pustaka.

I. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul diolah secara manual dan komputerisasi dengan

melalui tahapan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan kembali (editing) untuk memastikan kebenaran data.

b. Pengkodean (coding) untuk mempermudah analisis data dan mempercepat

entry data.

c. Proses atau entry data (processing) untuk melakukan entry data ke dalam

sistem komputerisasi.

d. Pembersihan data (cleaning) untuk melakukan pengecekan kembali data

yang sudah dimasukkan sehingga terhindar dari kekeliruan.

2. Analisis data

Data yang telah terkumpul dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan uji

statistik dengan bantuan komputer.

36
a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan distribusi frekuensi dari

masing-masing variabel yang diteliti yaitu suhu, merokok, konsumsi

minuman beralkohol dan disfungsi ereksi.

b. Analisis Bivariat

Pengujian hipotesis dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara

variabel bebas variabel terikat yaitu:

1) Hubungan antara suhu dan disfungsi ereksi.

2) Hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi.

3) Hubungan antara konsumsi minuman beralkohol dengan disfungsi

ereksi.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square untuk melihat

hubungan antara variabel bebas dan variabel teribat dan untuk melihat risk

estimate dan penghitungan Odd Ratio (OR), dengan dasar pengambilan

keputusan menerima atau menolak hipotesis berdasarkan probabilitas

(signifikansi) sebagai berikut:

1) H0 diterima atau H1 ditolak, bila probabilitas > 0,05.

2) H0 ditolak atau H1 diterima, bila probabilitas < 0,05.

c. Analisis Multivariat

Untuk melakukan analisis multivariat, terlebih dahulu dilakukan analisis

bivariat. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel mana

yang paling dominan diantara: suhu, merokok, konsumsi minuman

beralkohol dengan uji regresi logistik dan sebagai variabel terikatnya

adalah disfungsi ereksi. Hasil dari analisis bivariat, bila didapatkan nilai p

37
< 0,25 maka variabel tersebut masuk dalam analisis multivariat. Hasil

analisis bivariat selanjutnya akan dilakukan analisis multivariat secara

bersama-sama, kemudian dari hasil tersebut, variabel yang memiliki nilai p

> 0,05 akan dikeluarkan secara bertahap dimulai dari p yang paling besar.

38
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Terminal Paal Dua terletak di Kelurahan Dendengan Luar Kecamatan Tikala

Kota Manado, berbatasan sebelah timur dengan pertokoan, berbatasan sebelah

barat dan selatan dengan perumahan penduduk dan berbatasan sebelah utara

dengan Jalan Raya Yos Sudarso. Terminal Paal Dua yang memiliki luas lahan

sebesar 8.608 m2 termasuk terminal tipe B dan merupakan salah satu terminal

besar di Kota Manado dan menjadi tempat berkumpulnya berbagai jalur

kendaraan.

Terminal Paal Dua melayani Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP),

Angkutan Pinggiran Kota (ANGPINGKOT) dan Angkutan Dalam Kota

(ANGKOT). AKDP terdiri dari 9 trayek, yaitu Manado - Bitung, Manado -

Kema, Manado - Tatelu, Manado - Likupang, Manado - Airmadidi, Manado -

Kolongan, Manado – Kembes dan Manado - Warisa. ANGPINGKOT terdiri dari

3 trayek, yaitu: Manado - Maumbi, Manado – Wusa dan Manado - Talawaan.

ANGKOT terdiri 1 trayek yang terbagi dalam 9 jaringan trayek, yaitu Pusat Kota -

Paal Dua (21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29).

Terminal Paal Dua dapat menampung 227 unit kendaraan, yang terdaftar pada

Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Utara adalah 427 unit kendaraan,

39
sedangkan yang beroperasi rata-rata sebanyak 86 unit kendaraan (Dishubkominfo

Sulut, 2013).

2. Deskripsi Karakteristik Responden

a. Umur

Tabel 1 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan umur.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

Umur N %

< 30 Tahun 11 18,3

31 - 40 Tahun 13 21,7

41 - 50 Tahun 21 35,0

> 50 Tahun 15 25,0

Total 60 100,0

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 60 responden dalam

penelitian ini, sebagian besar berumur 41 – 50 tahun sebanyak 35%, > 50

tahun sebanyak 25,0%, 31 - 40 tahun sebanyak 21,7% dan ≤ 30 tahun

sebanyak 18,3%.

b. Tingkat Pendidikan

Tabel 2 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan tingkat

pendidikan.

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

tingkat pendidikan adalah SMA sebanyak 51,7%, SMP sebanyak 30,0%, SD

sebanyak 16,7% dan Akademi atau Sarjana yaitu sebanyak 1,7%.

40
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan N %

SD 10 16,7

SMP 18 30,0

SMA 31 51,7

Akademi/Sarjana 1 1,7

Total 60 100,0

c. Status Perkawinan

Tabel 3 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan status

perkawinan.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Perkawinan

Status Kawin N %

Kawin 60 100,0

Belum Kawin 0 0,0

Total 60 100,0

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa seluruh responden dalam

penelitian ini sudah kawin (100%).

d. Masa Kerja

Tabel 4 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan masa kerja

sebagai sopir angkutan umum.

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 60 responden dalam

penelitian ini, sebagian besar masa kerja 21 – 30 tahun sebanyak 33,3%, 31 –

41
40 tahun sebanyak 31,7%, 11 – 20 tahun sebanyak 21,7%, ≤ 10 tahun

sebanyak 10,0% dan > 40 tahun sebanyak 3,3%.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja N %

≤ 10 Tahun 6 10,0

11 – 20 Tahun 13 21,7

21 – 30 Tahun 20 33,3

31 - 40 Tahun 19 31,7

> 40 Tahun 2 3,3

Total 60 100,0

e. Riwayat Penyakit

Tabel 5 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan riwayat

penyakit.

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit

Riwayat Sakit N %

Ada 0 0,0

Tidak Ada 60 100,0

Total 60 100,0

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa dari seluruh responden dalam

penelitian ini tidak mempunyai riwayat penyakit (100%).

f. Riwayat Gangguan Psikologis

Tabel 6 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan riwayat

gangguan psikologis.

42
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Gangguan
Psikologis

Riwayat Psikis N %

Ada 0 0,0

Tidak Ada 60 100,0

Total 60 100,0

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa seluruh responden dalam

penelitian ini tidak mempunyai riwayat gangguan psikologis (100%).

g. Riwayat Konsumsi Obat

Tabel 7 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan riwayat

konsumsi obat.

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Riwayat Konsumsi


Obat

Riwayat Obat N %

Ada 0 0,0

Tidak Ada 60 100,0

Total 60 100,0

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa seluruh responden dalam

penelitian ini tidak mempunyai riwayat konsumsi obat (100%).

3. Deskripsi Hasil Analisis Univariat Variabel Penelitian

Analisis univariat dimaksud untuk mengetahui distribusi frekuensi dan

karakteristik dari variabel-variabel yang diteliti, dengan tujuan untuk mengetahui

kelayakan data yang dikumpulkan dalam keadaan optimal untuk dianalisis.

43
a. Suhu

Tabel 8 menunjukkan distribusi katagori suhu tempat duduk sopir.

Tabel 8. Distribusi Katagori Suhu

Katagori N Persentase (%)

Baik 22 36,7

Kurang Baik 38 63,3

Jumlah 60 100,0

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa sebagian besar suhu tempat

duduk sopir dalam katagori kurang baik. Dimana dari 60 kendaraan

responden dalam penelitian ini, sebanyak 38 kendaraan (63,3%) mempunyai

suhu tempat duduk yang kurang baik sedangkan 22 kendaraan (36,7%)

mempunyai suhu yang baik.

b. Merokok

Tabel 9 menunjukkan distribusi katagori merokok pada sopir.

Tabel 9. Distribusi Katagori Merokok

Katagori N Persentase (%)

Ya 41 68,3

Tidak 19 31,7

Jumlah 60 100,0

Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar sopir

mempunyai kebiasaan merokok. Dimana dari 60 orang responden dalam

penelitian ini, sebanyak 41 orang (68,3%) mempunyai kebiasaan merokok

sedangkan 19 orang (31,7%) tidak mempunyai kebiasaan merokok.

44
c. Konsumsi Minuman Beralkohol

Tabel 10 menunjukkan distribusi katagori konsumsi minuman beralkohol

pada sopir.

Tabel 10. Distribusi Katagori Konsumsi Minuman Beralkohol

Katagori N Persentase (%)

Ya 41 68,3

Tidak 19 31,7

Jumlah 60 100,0

Berdasarkan tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar sopir

mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Dimana dari 60

orang responden dalam penelitian ini, sebanyak 41 orang (68,3%) mempunyai

kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol sedangkan 19 orang (31,7%)

tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol.

d. Disfungsi Ereksi

Tabel 11 menunjukkan distribusi terjadinya disfungsi ereksi pada sopir.

Tabel 11. Distribusi Katagori Disfungsi Ereksi

Katagori N Persentase (%)

Ya 41 68,3

Tidak 19 31,7

Jumlah 60 100,0

Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui sebagian besar sopir angkutan umum

di Terminal Paal Dua Kota Manado mengalami disfungsi ereksi. Dimana dari

60 orang responden dalam penelitian ini, sebanyak 41 orang (68,3%)

45
mengalami disfungsi ereksi sedangkan 19 orang (31,7%) tidak mengalami

disfungsi ereksi.

4. Hasil Analisis Bivariat Variabel Penelitian

a. Hubungan antara Suhu dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir Angkutan Umum

di Terminal Paal Dua Kota Manado

Hubungan antara suhu tempat duduk sopir dengan terjadinya disfungsi

ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado dapat

dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Hubungan Suhu dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir Angkutan Umum
di Terminal Paal Dua Kota Manado

Disfungsi Ereksi
OR
Suhu Ya Tidak Total % Nilai p
(95% CI)
N % N %

Kurang Baik 32 53,3 6 10,0 38 63,3


7,70
Baik 9 15,0 13 21,7 22 36,7 0,001
(2,28 - 26,03)
Total 41 68,3 19 31,7 60 100,0

Data pada tabel 12 menunjukkan bahwa dari 38 kendaraan yang

mempunyai suhu tempat duduk sopir yang kurang baik, 53,3% sopir

mengalami disfungsi ereksi sedangkan sopir yang tidak mengalami disfungsi

ereksi sebanyak 10,0%. Data juga menunjukkan bahwa dari 22 kendaraan

yang mempunyai suhu tempat duduk sopir yang baik, 15,0% sopir mengalami

disfungsi ereksi sedangkan sopir yang tidak mengalami disfungsi ereksi

sebanyak 21,7%. Dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,001 dengan

demikian probabilitas (signifikansi) lebih kecil dari 0,05 (0,001 < 0,05), maka

46
H1 diterima atau ada hubungan antara suhu tempat duduk sopir dengan

terjadinya disfungsi ereksi. Dilihat dari OR (Odds Ratio) menunjukkan bahwa

sopir dengan suhu tempat duduk kendaraan yang kurang baik mempunyai

resiko mengalami disfungsi ereksi sebesar 7,70 kali lebih besar dibandingkan

sopir dengan suhu tempat duduk kendaraan yang baik.

b. Hubungan antara Merokok dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir Angkutan

Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Hubungan antara merokok dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir

angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado dapat dilihat pada tabel

13.

Tabel 13. Hubungan antara Merokok dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir
Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Disfungsi Ereksi
OR
Merokok Ya Tidak Total % Nilai p
(95% CI)
N % N %

Ya 35 58,3 6 10,0 41 68,3


12,64
Tidak 6 10,0 13 21,7 19 31,7 0,000
(3,45-46,3)
Total 41 68,3 19 31,7 60 100,0

Data pada tabel 13 menunjukkan bahwa dari 41 responden yang

mempunyai kebiasaan merokok, 58,3% mengalami disfungsi ereksi sedangkan

yang tidak mengalami disfungsi ereksi sebanyak 10,0%. Data juga

menunjukkan bahwa dari 19 responden yang tidak mempunyai kebiasaan

merokok, 10,0% mengalami disfungsi ereksi sedangkan yang tidak mengalami

disfungsi ereksi sebanyak 21,7%. Dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,000

47
dengan demikian probabilitas (signifikansi) lebih kecil dari 0,05 (0,000 <

0,05), maka H1 diterima atau ada hubungan antara kebiasaan merokok pada

sopir dengan terjadinya disfungsi ereksi. Dilihat dari OR (Odds Ratio)

menunjukkan bahwa sopir dengan kebiasaan merokok mempunyai resiko

mengalami disfungsi ereksi sebesar 12,64 kali lebih besar dibandingkan sopir

yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.

c. Hubungan antara Konsumsi Minuman Beralkohol dengan Disfungsi Ereksi

pada Sopir Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Hubungan antara kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua

Kota Manado dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14. Hubungan antara Konsumsi Minuman Beralkohol dengan Disfungsi


Ereksi pada Sopir Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Disfungsi Ereksi
Konsumsi OR
Ya Tidak Total % Nilai p
Alkohol (95% CI)
N % N %

Ya 32 53,3 9 15,0 41 68,3 3,95

Tidak 9 15,0 10 16,7 19 31,7 (1,23- 0,038

Total 41 68,3 19 31,7 60 100,0 12,67)

Data pada tabel 14 menunjukkan bahwa dari 41 responden yang

mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol, 53,3% mengalami

disfungsi ereksi sedangkan yang tidak mengalami disfungsi ereksi sebanyak

15,0%. Data juga menunjukkan bahwa dari 19 responden yang tidak

mempunyai kebiasaan merokok, 15,0% mengalami disfungsi ereksi sedangkan

48
yang tidak mengalami disfungsi ereksi sebanyak 16,7%. Dilihat dari nilai

signifikansi sebesar 0,038 dengan demikian probabilitas (signifikansi) lebih

kecil dari 0,05 (0,038 < 0,05), maka H1 diterima atau ada hubungan antara

kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol pada sopir dengan terjadinya

disfungsi ereksi. Dilihat dari OR (Odds Ratio) menunjukkan bahwa sopir

dengan kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol mempunyai resiko

mengalami disfungsi ereksi sebesar 3,95 kali lebih besar dibandingkan sopir

yang tidak mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol.

5. Hasil Uji Multivariat

Setelah diuji dengan analisis bivariat, data kemudian diuji menggunakan

analisis multivariat dimana uji dilakukan dengan analisis regresi logistik untuk

mengetahui variabel independen yang paling dominan. Hasil uji multivariat

dengan menggunakan regresi logistik dapat dilihat pada tabel 15.

Tabel 15. Hasil Analisis Regresi Logistik

95% C.I
Variabel S. E Sig OR
Lower Upper

Suhu 0,967 0,647 1,557 0,234 10,356

Merokok 0,965 0,036 7,584 1,144 50,270

Konsumsi Alkohol 0,702 0,215 2,387 0,603 9,446

Constant 1,371 0,000 0,005

Tabel 15 hasil analisis menunjukkan variabel suhu (p=0,647), variabel

merokok (p=0,036) dan variabel konsumsi minuman beralkohol (p=0,215).

49
Tabel 15 hasil analisis menunjukkan variabel suhu dan konsumsi minuman

berakohol mempunyai nilai p > 0,05. Nilai p yang terbesar adalah variabel suhu

sehingga pemodelan selanjutnya adalah variabel suhu dikeluarkan dari model.

Tabel 16. Hasil Analisis Regresi Logistik setelah Variabel Suhu dikeluarkan

95% C.I
Variabel S. E Sig OR
Lower Upper

Merokok 0,678 0,001 10,462 2,769 39,531

Konsumsi Alkohol 0,693 0,188 2,487 0,640 9,665

Constant 1,334 0,000 0,005

Tabel 17. Perubahan OR setelah Variabel Suhu dikeluarkan

Variabel OR Suhu Ada OR Suhu Tak Ada Perubahan OR (%)

Merokok 7,584 10,462 37,9

Konsumsi Alkohol 2,387 2,487 4,2

Perubahan OR setelah variabel suhu dikeluarkan dapat dilihat pada tabel 17.

Tabel 18. Hasil Analisis Regresi Logistik setelah Variabel Konsumsi Minuman
Beralkohol dikeluarkan

95% C.I
Variabel S. E Sig OR
Lower Upper

Suhu 0,931 0,515 1,834 0,296 11,379

Merokok 0,937 0,026 8,068 1,287 50,591

Constant 1,103 0,000 0,011

Setelah variabel suhu dikeluarkan, OR variabel merokok berubah > 10%,

dengan demikian variabel suhu dimasukkan kembali dalam model. Kemudian

50
variabel konsumsi minuman beralkohol dikeluarkan karena nilai p > 0,05 dan

memiliki nilai p yang paling besar sesudah variabel suhu.

Perubahan OR setelah variabel konsumsi minuman beralkohol dikeluarkan dapat

dilihat pada tabel 19.

Tabel 19. Perubahan OR setelah Variabel Konsumsi Minuman Beralkohol


dikeluarkan

Variabel OR Alkohol Ada OR Alkohol Tak Ada Perubahan OR (%)

Suhu 1,557 1,834 17,8

Merokok 7,584 8,068 6,4

Tabel 19 menunjukkan bahwa setelah variabel konsumsi minuman beralkohol

dikeluarkan, OR variabel suhu berubah > 10% dengan demikian variabel

konsumsi minuman beralkohol dimasukkan kembali dalam model.

Tabel 20. Model Akhir Uji Regresi Logistik

95% C.I
Variabel S. E Sig OR
Lower Upper

Suhu 0,967 0,647 1,557 0,234 10,356

Merokok 0,965 0,036 7,584 1,144 50,270

Konsumsi Alkohol 0,702 0,215 2,387 0,603 9,446

Constant 1,371 0,000 0,005

Tabel 20 hasil analisis menunjukkan bahwa kebiasaan merokok pada sopir

merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap terjadinya

disfungsi ereksi dengan nilai OR = 7,6 (95% CI: 1,1 – 50,2), dibandingkan dengan

pengaruh kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol terhadap terjadinya

disfungsi ereksi dengan nilai OR = 2,4 (95% CI: 0,6 – 9,5) dan pengaruh suhu

51
tempat duduk sopir terhadap terjadinya disfungsi ereksi dengan nilai OR = 1,6

(95% CI: 0,23 – 10,36). Dilihat dari OR menunjukkan bahwa kebiasaan merokok

mempunyai peluang 7,6 kali terhadap terjadinya disfungsi ereksi pada sopir

angkutan umum dibandingkan dengan kebiasaan mengkonsumsi minuman

beralkohol dan suhu tempat duduk sopir.

B. Pembahasan

1. Deskripsi Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil pengolahan data untuk distribusi responden menurut

golongan umur sopir yang menjadi objek penelitian, paling banyak responden

berada pada kelompok umur 41 - 50 tahun (35%), disusul dengan responden pada

kelompok umur > 50 tahun (25,0%), selanjutnya responden berada pada

kelompok umur 31 - 40 tahun (21,7%) dan sebanyak 18,3% responden berada

pada kelompok umur ≤ 30 tahun.

Hasil pengolahan data untuk distribusi responden berdasarkan tingkat

pendidikan terakhir dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa paling banyak

responden berlatar belakang pendidikan SMA (51,7%), disusul dengan responden

berlatar belakang pendidikan SMP (30,0%), selanjutnya responden berlatar

belakang pendidikan SD (16,7%) dan sebanyak 1,7% responden berlatar belakang

pendidikan Akademi atau Sarjana.

Hasil pengolahan data untuk distribusi responden berdasarkan lama masa kerja

dapat diketahui bahwa paling banyak responden mempunyai masa kerja 21 - 30

tahun (33,3%), disusul dengan responden dengan masa kerja 31 - 40 tahun

(31,7%), selanjutnya responden dengan masa kerja 11 - 20 tahun (21,7%),

52
responden dengan masa kerja ≤ 10 tahun (10,0%) dan sebanyak 3,3% responden

mempunyai masa kerja > 40 tahun.

Berdasarkan hasil pengolahan data distribusi responden untuk status

perkawinan dapat diketahui bahwa seluruh responden sudah kawin, sedangkan

untuk riwayat penyakit, riwayat gangguan psikologis dan riwayat konsumsi obat

dapat diketahui bahwa seluruh responden berada dalam keadaan sehat jasmani dan

rohani, serta tidak sedang mengkonsumsi obat tertentu. Hal ini sesuai dengan

kriteria inklusi dan eksklusi pada proses pengambilan sampel penelitian ini yang

mengharuskan responden berada dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta

tidak sedang mengkonsumsi obat tertentu.

2. Deskripsi Univariat Penelitian

Suhu tempat duduk sopir dalam penelitian ini berada pada katagori kurang

baik. Dimana dari 60 kendaraan responden dalam penelitian ini, sebanyak 38

kendaraan (63,3%%) berada pada katagori yang kurang baik sedangkan 22

kendaraan (36,7%) berada dalam katagori yang baik. Hal ini kemungkinan

disebabkan karena seluruh kendaraan berusia lebih dari 10 tahun yang

menyebabkan suhu mesin menjadi lebih cepat panas dibandingkan kendaraan

yang berusia kurang dari 10 tahun. Ditambah lagi dengan kemungkinan bahwa

sebagian besar kendaraan tidak lagi diservis secara teratur. Letak mesin pada

kendaraan responden berada di bawah tempat duduk sopir sehingga penghantaran

panas mesin berdampak pada suhu tempat duduk. Penelitian yang dilakukan oleh

Dada et al (2003) mendapatkan bahwa paparan yang lama atau reguler dalam

suhu panas dapat mengubah kemampuan tubuh menjaga suhu testis.

53
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunyai kebiasaan merokok. Dimana dari 60 responden dalam penelitian ini,

sebanyak 41 orang (68,3%) mempunyai kebiasaan merokok sedangkan 19 orang

(31,7%) tidak mempunyai kebiasaan merokok. Hal ini kemungkinan disebabkan

oleh keinginan responden sendiri untuk merokok (faktor intrinsik), misalkan

untuk meningkatkan harga diri, menghabiskan waktu saat dalam kemacetan lalu

lintas, berada dalam kondisi stres atau cemas atau depresi, menghabiskan waktu

senggang dan lain-lain. Pengaruh lingkungan juga dapat mempengaruhi

kebiasaan merokok responden (faktor ekstrinsik), misalkan memiliki anggota

keluarga lain yang mempunyai kebiasaan merokok, faktor pergaulan dan lain-lain.

Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa perilaku merokok penduduk 15

tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari tahun 2007 ke 2013, cenderung

meningkat dari 34,2% tahun 2007 menjadi 36,3% tahun 2013. Sebanyak 64,9%

laki-laki masih menghisap rokok di tahun 2013.

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Dimana dari 60

responden dalam penelitian ini, sebanyak 41 orang (68,3%) mempunyai kebiasaan

mengkonsumsi minuman beralkohol sedangkan 19 orang (31,7%) tidak

mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh keinginan responden sendiri untuk mengkonsumsi minuman

beralkohol (faktor intrinsik), misalkan untuk meningkatkan harga diri, berada

dalam kondisi stres atau cemas atau depresi, menghabiskan waktu senggang dan

lain-lain. Pengaruh lingkungan juga dapat mempengaruhi kebiasaan

mengkonsumsi minuman beralkohol responden (faktor ekstrinsik), misalkan

54
memiliki anggota keluarga lain yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi

minuman beralkohol, faktor pergaulan, faktor budaya lokal dan lain-lain. Hasil

Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional untuk konsumsi

minuman beralkohol adalah 4,6% dan Provinsi Sulawesi Utara termasuk salah

satu diantara 15 provinsi yang mempunyai prevalensi konsumsi minuman

beralkohol diatas prevalensi nasional.

Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa sebagian besar responden

mengalami disfungsi ereksi. Dimana dari 60 responden dalam penelitian ini,

sebanyak 41 orang (68,3%) mengalami disfungsi ereksi sedangkan 19 orang

(31,7%) tidak mengalami disfungsi ereksi. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

letak mesin pada kendaraan responden berada di bawah tempat duduk sopir

sehingga paparan yang lama atau reguler dalam suhu panas mengubah

kemampuan tubuh menjaga suhu testis, kebiasaan merokok pada responden,

kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol dan faktor-faktor lainnya yang

belum diteliti pada penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Feldman et al

(1994) pada kelompok pria usia 40-70 tahun, ditemukan 52% responden

melaporkan beberapa derajat dari disfungsi ereksi. Di Indonesia, diduga sekitar

10-20% pria menikah mengalami disfungsi ereksi karena berbagai penyebab.

3. Hasil Analisis Bivariat Penelitian

a. Hubungan antara Suhu dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir Angkutan Umum

di Terminal Paal Dua Kota Manado

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi-square

didapat bahwa nilai p = 0,001. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat

55
hubungan yang signifikan antara suhu tempat duduk sopir dengan terjadinya

disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi spermatogenesis dan proses pembentukan hormon pada pria.

Dalam proses-proses tersebut, testis membutuhkan suhu yang lebih dingin

daripada suhu tubuh, yaitu 34-350 Celcius untuk terjadinya proses yang optimal.

Hormon androgen yang terbentuk memegang peranan penting terhadap aktivitas

seksual yang merupakan proses sinkronisasi dari timbulnya keinginan seksual

pada otak (sistem sentral) dan ditransmisikan ke sistem perifer sehingga terjadi

ereksi penis. Testosteron merupakan bagian dari hormon androgen yang berperan

pada kedua sistem tersebut dan mempertahankan struktur normal dari jaringan

ereksi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dada et al (2003) mendapatkan bahwa

paparan yang lama atau reguler dalam suhu panas dapat mengubah kemampuan

tubuh menjaga suhu testis. Penelitian oleh Momem et al (2010) memperlihatkan

pengaruh suhu terhadap saluran pria telah diperiksa pada tikus, hamster, kelinci,

serta spesies lainnya yang termasuk hewan pengerat alami. Pada prinsipnya,

peningkatan kecil dalam suhu testis tidak merusak epitel germinal, namun

mengurangi berat testis dan produksi sperma, juga membawa insiden lebih besar

dari spermatid morfologis abnormal dan spermatozoa. Hal ini menunjukkan

bahwa testis sebagian dapat ditekan namun tetap fungsional dalam menghadapi

peningkatan moderat dalam suhu lingkungannya.

Jadi sesuai dengan teori, salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya

disfungsi ereksi adalah defisiensi hormon testosteron. Paparan yang lama atau

56
reguler dalam suhu panas diduga dapat mengubah kemampuan tubuh dalam

menjaga suhu testis, selanjutnya terjadi atrofi testis yang pada akhirnya

mengganggu proses pembentukan hormon sehingga mengakibatkan terjadinya

defisiensi hormon testosteron.

b. Hubungan antara Merokok dengan Disfungsi Ereksi pada Sopir Angkutan

Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi-square

didapat bahwa nilai p = 0,000. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan terjadinya disfungsi

ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa merokok dapat merusak pembuluh darah,

nikotin menyempitkan arteri yang menuju penis, mengurangi aliran darah dan

tekanan darah menuju penis. Ereksi tidak dapat terjadi bila darah tidak mengalir

bebas ke penis. Efek ini meningkat bersamaan dengan waktu lamanya merokok.

Selain itu nikotin juga dapat berpengaruh langsung pada fungsi endotel dan

otot polos ruang-ruang korpus kavernosum di dalam penis. Akibatnya fungsi

relaksasi ruang pembuluh darah di dalam penis terganggu sehingga aliran darah

terhambat dan ereksi terganggu atau tidak terjadi.

Hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi diperlihatkan pada penelitian

kohort oleh Naomi et al (2005) terhadap 2115 laki-laki kaukasia berusia 40-79

tahun di Minnesota. Hasil survei MMAS oleh Kumar (2010) menemukan bahwa

pada perokok memiliki resiko 24% terjadinya disfungsi ereksi sedang dan berat,

sementara pada bukan perokok hanya memiliki resiko sebesar 14%. Penelitian

meta-analisis yang dilakukan Cao et al (2014) terhadap 1 penelitian kohort dan 9

57
penelitian cross-sectional memperlihatkan adanya hubungan positif dose-response

antara kuantitas dan durasi merokok dengan resiko terjadinya disfungsi ereksi.

Hasil penelitian Maiorina et al (2014) memperlihatkan bahwa setelah 1 tahun,

disfungsi ereksi mengalami perbaikan signifikan pada lebih dari 25% pria yang

berhenti merokok dan bukan pada pria yang tetap merokok.

c. Hubungan antara Konsumsi Minuman Beralkohol dengan Disfungsi Ereksi

pada Sopir Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi-square

didapat bahwa nilai p = 0,038. Nilai p < 0,05 menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol

dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal

Dua Kota Manado.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa masalah seksual pada pria alkoholik

mungkin disebabkan oleh pengaruh langsung alkohol terhadap testis. Alkohol

menurunkan produksi hormon testosteron sehingga terjadi peningkatan relatif

maupun absolut hormon estrogen dan peningkatan persentase testosteron yang

terikat ke protein sehingga testosteron bebas yang aktif menjadi berkurang.

Akibatnya dorongan seksual menurun atau tertekan. Di samping itu terjadi juga

gangguan proses pembentukan spermatozoa.

Selain mengakibatkan gangguan hormon, penggunaan alkohol dalam jangka

panjang juga menimbulkan akibat lain yang dapat mengganggu fungsi seksual.

Akibat lain yang sering terjadi ialah gangguan fungsi hati, gangguan metabolisme

NO, gangguan saraf tepi dan kurang darah (anemia). Semua gangguan tersebut

pada akhirnya juga dapat mengganggu fungsi seksual

58
Disfungsi seksual sering dialami oleh pasien-pasien dengan ketergantungan

alkohol. Menurut penelitian Grover et al (2014), sekitar 30-40% pria peminum

minuman beralkohol menunjukkan libido yang menurun dan 40% menderita

kesulitan ereksi, walaupun tidak dijelaskan secara detail mengenai lamanya

konsumsi minuman beralkohol. Bahkan menurut teori, setelah berhenti

menggunakan alkohol selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, hanya 50%

kasus yang fungsi seksualnya kembali normal.

Hasil penelitian Lee et al (2010) pada laki-laki Cina memperlihatkan bahwa

mengkonsumsi minuman beralkohol 3 gelas standar atau lebih per minggu dapat

mengurangi kepuasan seksual dan mengganggu fungsi ereksi pada perokok, tetapi

efek ini lebih kurang terjadi pada bukan perokok, sedangkan hasil penelitian

Dissiz et al (2011) di Turki menyimpulkan bahwa disfungsi seksual pada pria

alkoholik berhubungan dengan tingkat edukasi, tidak memiliki pekerjaan dan

riwayat memulai konsumsi minuman beralkohol pada usia muda. Chao et al

(2014) meneliti hubungan antara mengkonsumsi minuman beralkohol dengan

disfungsi ereksi pada penduduk Taiwan dari suku aborigin menemukan bahwa

49% dari 192 responden memiliki riwayat alkoholik dan 79 responden (84%)

yang alkoholik mengalami disfungsi ereksi.

4. Variabel yang Dominan Berpengaruh terhadap Disfungsi Ereksi

pada Sopir Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Manado

Berdasarkan hasil analisis uji bivariat dengan menggunakan

uji Chi-square diketahui bahwa variabel bebas yaitu suhu tempat

duduk sopir, kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol

59
memiliki hubungan dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir

angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado. Pada analisis

multivariat dengan metode regresi logistik menunjukkan bahwa

variabel merokok merupakan variabel yang paling berpengaruh dengan

nilai Odds Ratio paling tinggi yaitu OR = 7,6 (95% CI: 1,1 – 50,2).

Hal ini menunjukkan bahwa sopir yang mepunyai kebiasaan merokok

mempunyai peluang 7,6 kali terhadap terjadinya disfungsi ereksi dibandingkan

dengan sopir yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.

Kebiasaan merokok paling berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi

karena kemungkinan berkaitan dengan lamanya jam kerja sopir angkutan umum

menyebabkan sopir memilih merokok untuk menghabiskan waktu saat berada

dalam kemacetan lalu lintas, saat menunggu antrian jalur penumpang dan saat

waktu senggang bersama sopir lainnya. Diluar jam kerja pun kemungkinan sopir

tetap merokok dengan berbagai alasan.

Konsumsi minuman beralkohol menjadi variabel selanjutnya yang

berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi dengan nilai OR = 2,4 (95% CI:

0,6 – 9,5). Hal ini menunjukkan bahwa sopir yang mepunyai kebiasaan

mengkonsumsi minuman beralkohol mempunyai peluang 2,4 kali terhadap

terjadinya disfungsi ereksi dibandingkan dengan sopir yang tidak mempunyai

kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol.

Konsumsi minuman beralkohol menjadi variabel selanjutnya yang

berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi karena kemungkinan kebiasaan

merokok disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi minuman beralkohol.

60
Kebiasaan ini kemungkinan juga berkaitan dengan budaya lokal, dimana

berdasarkan data Riskesdas 2007, Provinsi Sulawesi Utara termasuk salah satu

diantara 15 provinsi yang mempunyai prevalensi konsumsi minuman beralkohol

diatas prevalensi nasional.

Suhu tempat duduk sopir mempunyai pengaruh yang paling kecil terhadap

terjadinya disfungsi ereksi dengan nilai OR = 1,6 (95% CI: 0,23 – 10,36). Hal

ini menunjukkan bahwa sopir dengan suhu tempat duduk kendaraan yang

kurang baik mempunyai peluang 1,6 kali terhadap terjadinya disfungsi ereksi

dibandingkan dengan sopir dengan suhu tempat duduk kendaraan yang baik.

Suhu tempat duduk sopir mempunyai pengaruh paling kecil terhadap

terjadinya disfungsi ereksi karena kemungkinan berkaitan dengan lamanya jam

kerja sopir (minimal 8 jam kerja per hari) menyebabkan sopir terpapar dengan

penghantaran suhu panas mesin hanya pada saat sopir berada di atas tempat duduk

kendaraan.

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa suhu tempat duduk sopir, kebiasaan

merokok dan konsumsi minuman beralkohol memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap terjadinya disfungsi ereksi. Hal ini berarti penting untuk lebih

memperhatikan suhu tempat duduk sopir, kebiasaan merokok dan konsumsi

minuman beralkohol agar dapat mencegah atau tidak memperberat disfungsi

ereksi yang diderita sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado

61
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Terdapat hubungan yang signifikan antara suhu dengan terjadinya

disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum di Terminal Paal Dua

Kota Manado.

2. Terdapat hubungan yang signifikan antara merokok dengan

terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum di

Terminal Paal Dua Kota Manado.

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi minuman

beralkohol dengan terjadinya disfungsi ereksi pada sopir

angkutan umum di Terminal Paal Dua Kota Manado.

4. Variabel merokok merupakan variabel yang paling dominan

terhadap terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum

di Terminal Paal Dua Kota Manado.

62
B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka saran yang bisa diajukan untuk

mencegah atau memperberat terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan

umum adalah sebagai berikut:

1. Bagi Sopir Angkutan Umum di Terminal Paal Dua Kota Manado, diberikan

anjuran untuk:

a. Sedapat mungkin mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan merokok.

b. Sedapat mungkin mengurangi atau bahkan menghentikan kebiasaan mengkonsumsi

minuman beralkohol.

c. Melakukan servis kendaraan secara berkala agar suhu mesin selalu terpantau.

d. Menambah lapisan kursi tempat duduk sopir menjadi lebih tebal agar penghantaran

panas dari mesin kendaraan dapat diminimalisasi.

e. Memakai celana yang nyaman saat bekerja dan sedapat mungkin menghindari

pemakaian celana yang tebal agar tidak menambah panas suhu pada testis.

f. Bila telah didapati gejala dan tanda disfungsi ereksi, sopir sebaiknya melakukan

pemeriksaan dan pengobatan ke dokter ahli sedini mungkin.

2. Bagi Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Manado adalah dengan melakukan

penyuluhan tentang bahaya dan dampak merokok, bahaya dan dampak

mengkonsumsi minuman beralkohol, dampak suhu lingkungan kerja, serta

faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya disfungsi ereksi.

3. Bagi Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Manado adalah dengan

memperketat pemberian ijin beroperasi kendaraan angkutan umum yang

berusia lebih dari 10 tahun.

63
4. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan yaitu perlu adanya penelitian lebih

lanjut mengenai faktor-faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh dominan

terhadap terjadinya disfungsi ereksi pada sopir angkutan umum.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, D. dan R. Muliawati. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.


Nuha Medika. Yogyakarta.

Anonimous. 2014. Disfungsi Ereksi. Online (http://disfungsiereksi.org/disfungsi-


ereksi) diakses pada 14 November 2014.

Anonimous. 2014. Penyebab Disfungsi Ereksi. Online


(http://disfungsiereksi.org/penyebab-disfungsi-ereksi) diakses pada 14
November 2014.

Anonimous. 2014. Referat Kedokteran: Disfungsi Ereksi, Etiologidan Klasifikasi.


Online (http://www.infokedokteran.com/refarat-kedokteran/refarat-
kedokteran-disfungsi-ereksi-etiologi-dan-klasifikasi.html) diakses pada 15
November 2014.

Anonimous. 2014. Referat Kedokteran: Patofisiologi, Diagnosisdan


Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Online
(http://www.infokedokteran.com/refarat-kedokteran/refarat-kedokteran-

64
patofisiologi-diagnosis-dan-penatalaksanaan-disfungsi-ereksi.html) diakses
pada 14 November 2014.

Arackal, B.S. and V. Benegal. 2007. Prevalence of Sexual Dysfunction in Male


Subjects With Alcohol Dependence. Indian Journal of Psychiatry; 49(2), hal
109-12.

Bai, W.J. and S.Z. Deng. 2006. Androgen Regulates Penile Erection at The
Peripheral Level. Zhonghua Nan Ke Xue; 12(12), hal 1059-62.

Barlina, R., S. Karouwdan P. Pasang. 2006. Pengaruh Sabut Kelapa Terhadap


Kualitas Nira Aren dan Palm Wine. Jurnal Littri; 12(4), hal 166-171.

Brosman, S.A. 2008. Erectile Dysfunction. Online


(http://emedicine.medscape.com/article/444220-overview) diakses pada 29
Oktober 2014.

Cao, S., Y. Gan, X. Dong, J. Liu, and Z. Lu. 2014. Association of Quantity and
Duration of Smoking With Erectile Dysfunction: A Dose-Response Meta-
Analysis. Journal Sex Med; 11(10), hal 2376-84.

Chao, J.K., M.C. Ma, Y.C. Lin, H.S. Chiang, and T.I. Hwang. 2014. Study on
Alcohol Dependence and Factors Related to Erectile Dysfunction Among
Aborigines in Taiwan. American Journal Mens Health.

Dada, R., N.P. Gupta, and K. Kucheria. 2003. Spermatogenic Arrest In Men With
Testicular Hyperthermia. Teratogenesis, Carcinogenesis, and Mutagenesis;
S1, hal 235-43.

65
Darmono. 2006. Pengaruh Neurotoksisitasnya pada Saraf Pusat. Toksikologi
Narkoba dan Alkohol. UI-Press. Jakarta.

Davies, K.P. and A. Melman. 2008. Markers of Erectile Dysfunction. Indian


Journal of Urology; 24(3), hal 320-28.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatahn Dasar


Riskesdas Indonesia Tahun 2007.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Laporan Hasil Riset Kesehatahn Dasar


Riskesdas Indonesia Tahun 2013.
Dissiz, M. and U.Y. Oskay. 2011. Evaluation of Sexual Functions in Turkish
Alcohol-Dependent Males. Journal Sex Med; 8(11), hal 3181-7.

Emanuele, M.A. and N. Emanuele. 2001. Alcohol and the Male Reproductive
System. NIH Alcohol Research Health; 25(4), hal 282-7.

Familia, D. 2010. Seluk-Beluk dan Fakta Disfungsi Seksual Yang Wajib Anda
Ketahui. Cetakan I. A Plus Books. Yogyakarta.

Feldman, H.A., I. Goldstein, D.G. Hatzichristou, R.J. Krane, and J.B. McKinlay.
1994. Impotence and Its Medical and Psychosocial Correlates: Results of
The Massachusetts Male Aging Study. Journal of Urology; 151(1), hal 54-
61.

Fitriani, K. Erianidan W. Sari. 2010. The Effect of Cigarettes Smoke Exposure


Cause Fertility of Male Mice (mus musculus). Jurnal Natural; 10(2).

Gades, N.M., A. Nehra, D.J. Jacobson, M.E. McGree, C.J. Girman, T. Rhodes,
R.O. Roberts, M.M. Lieber, and S.J. Jacobsen. 2004. Association Between

66
Smoking and Erectile Dysfunction: A Popular-based Study. American
Journal of Epidemiology; 161(4), hal 346-51.

Gondodiputro, S. 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-Bentuk Sediaan


Tembakau. Unpad: Fakultas Kedokteran; Bagian Ikmas. Bandung.

Grover, S., S.K. Mattoo, S. Pendharkar, and V. Kandappan. 2014. Sexual


Dysfunction in Patients With Alcohol and Opioid Dependence. Indian
Journal of Psychological Medicine; 36(4), hal 355-65.

Horasanli, K., U. Boylu, M. Kendirci, and C. Miroglu. 2008. Do Lifestyle


Changes Work For Improving Erectile Dysfunction. Asian Journal of
Andrology; 10(1).

Irianto, K. 2014. Seksologi Kesehatan. Alfabeta. Bandung.

Jabaloyas, M.J.M, Q.A. Zaragoza, P.F. Hernandez, G.M. Salom, and C.P. Nuez.
2006. Testosterone Levels in Men With Erectile Dysfunction. BJU
International; 97(6), hal 1278-83.

Joewana, S. 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


Psikoaktif. EGC. Jakarta.

Kumar, R. 2010. The Association Between Smoking and Male Fertility and
Sexual Health. Indian Journal of Cancer; 47(1), hal 107-8.

Lakin, M. and H. Wood. Erectile Dysfunction. Online


(http://clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/endocrin
ology/erectile-dysfunction) diakses pada 15 November 2014.

67
Lee, A.C.K., L.M. Ho, A.W.C. Yip, S. Fan, and T.H. Lam. 2010. The Effect of
Alcohol Drinking on Erectile Dysfunction in Chinese Men. International
Journal of Impotence Research; 22, hal 272-78.

Maiorino, M.I., G. Bellastella, and K. Esposito. 2014. Lifestyle Modification and


Erectile Dysfunction: What Can Be Expected? Asian Journal of Andrology.

Makkai, T. and I. McAllister. 1998. Patterns of drug use in Australia 1985-1995.


Canberra: National Drug Strategy, Commonwealth Department of Health
and Family Services, Commonwealth of Australia. Online
(https://www.safetyandquality.gov.au/internet/main/...nsf/.../patterns.pdf)
diakses pada 14 Maret 2010.

Martini, S. dan L.Y. Hendrati. 2006. Usia Merokok Pertama Kali merupakan
Faktor yang Meningkatkan Risiko Kejadian Hipertensi: Besar Risiko
Kejadian Hipertensi Menurut Pola Merokok. Jurnal Kedokteran Yarsi;
14(3), hal 191-198.

Mayo Klinik. 2011. Kehilangan Libido-Bagaimana Mengatasi Gairah Seks Yang


Menurun. Mitra Media.

Mescher, A.L. 2014. Histologi Dasar Mescher Teks dan Atlas. EGC. Jakarta.

Mirone, V. 2006. Investigating A Patient With Erectile Dysfunction: Is It Really


Necessary? Indian Journal of Urology; 22(3), hal 220-224.

68
Momen, M.N., F.B. Ananian, I.M. Fahmy, and T. Mostafa. 2010. Effects of High
Environmental Temperature on Parameters Among Fertile Men. Fertility
and Sterility; 93(6), hal 1884-6.

Nasser, M. 2006. Does Testosterone Have a Role in Erectile Function. The


American Journal of Medicine; 119(5), hal 373-82.

NIH Consensus Conference. 1993. Impotence: NIH Consensus Development


Panel on Impotence. The Journal of The American Medical Association;
270(1), hal 83-90.

Notoadmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta.


Jakarta.

Nurwijaya, H. & Z. Ikawati. 2009. Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah


Kecanduannya. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Pan, L.J., X.Y. Xia, and Y.F. Huang. 2006. Androgen Deficiency and Erectile
Dysfunction. Zhonghua Nan Ke Xue; 12(11), hal 1030-4.

Pangkahila, W. 2011. Anti-Aging Tetap Muda dan Sehat. Kompas Media


Nusantara. Jakarta.

Pangkahila, W. 2014. Seks dan Kualitas Hidup. Kompas Media Nusantara.

Jakarta.

Santoso, S. 2008. SPSS Statistik Multivariat. Elex Media Komputindo. Jakarta.

69
Saryono dan M. Badrushshalih. 2010. Andropause (Menopause Pada Laki-Laki)
Plus Penyakit Pada Lansia. Cetakan I. Nuha Medika. Yogyakarta.

Sastroasmoro, S. dan S. Ismael. 2006. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Edisi ke-2. CV Sagung Seto. Jakarta.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia-Dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. EGC.


Jakarta.

Snell, R.S. 2014. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. EGC. Jakarta.

Snyder, G. 2004. The Gallup Youth Survey: Isu dan Tren Utama Remaja dan
Alkohol. PT Intan Sejati. Bandung.

Steinberger, A. 1991. Effects of Temperature On The Biochemistry of The Testis.


In Zorgniotti (ed.). Temperature and Environmental Effects on The Testis.
Plenum Press. New York.

Team Dee Publishing. 2010. Kupas Tuntas Impotensi dan Ejakulasi Dini. Cetakan
I. Dee Publishing. Yogyakarta.

Tendean, O.S. 2010. Infertilitas Pria. Fakultas Kedokteran Unsrat. Manado.

Tendean, O.S. 2011. Perilaku Seksual dan Endokrinologi Reproduksi. Fakultas


Kedokteran Unsrat. Manado.

Traish, A.M. and A.T. Guay. 2006. Are Androgen Critical for Penile Erections in
Humans? Examining The Clinical and Preclinical Evidence. Journal Sex
Med; 3(3), hal 382-404.

70
Vignozzi, L., G. Corona, L. Petrone, S. Filippi, A.M. Morelli, G. Forti, and M.
Maggi. 2005. Testosterone and Sexual Activity. Journal Endocrinology
Invest; 28(3), hal 39-44.

Wibowo, S. dan A. Gofir. 2007. Disfungsi Ereksi. Pustaka Cendekia Press.


Yogyakarta.

71

Anda mungkin juga menyukai