Kawasan yang mulai direvitalisasi sejak 2018 itu sebelumnya adalah pasar
tradisional dengan bangunan yang khas dengan cendawannya. Nama Cinde sendiri
menurut Pemerhati Sejarah Kota Palembang, Rd Muhammad Ikhsan berasal dari nama
petilasan Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim saat muda yakni Kimas Hindi. Ada
kemungkinan lafal cinde dari nama Hindi, lengkapnya Kimas Hindi. Dikarenakan
dalam tulisan aksara Arab berbahasa Melayu antara pelafalan dengan penulisan tidak
persis sama. Kemudian petilasan pada masa akhir hayatnya dijadikan makam di Cinde
Welang. Kawasan ini pula dulunya merupakan kawasan pemakaman yang luas, itu
sekitar seratus tahun lalu menurut penuturan lisan RM Husein Natodiradjo yang sering
menjadi referensi sejarah kota Palembang. Sejak tahun 1916, Pemerintah Kotapraja
Gementee Palembang mengeluarkan aturan yang menutup kawasan ini sebagai
pemakaman dan sebagai solusinya membuatkan tempat pemakaman umum baru yang
sering disebut kandang kawat, yakni Kandang Kawat Dukuh, Talang Ilir atau Kamboja
dan Puncak Sekuning.
Pasar Cinde sendiri sebelum dibangun permanen di tahun 1958 lebih akrab
disebut warga sebagai pasar Lingkis. Konon disebut pasar Lingkis karena banyak
masyarakat dari daerah Lingkis Ogan Komering Ilir yang menjadi pedagang di tempat
tersebut. Nama Lingkis pun saat ini tetap ada dan menjadi sebuah lorong di jalan KS
Tubun di sekitar SMA Negeri 15 sekarang. Semua lokasi pasar berada di tengah jalan
yang sekarang dibangun monumen perjuangan, dulunya sangat kumuh sehingga
menimbulkan kesan yang jelek sekali. Pemindahannya ke lokasi yang sekarang sudah
direncanakan oleh Walikota Sudarman.
Ada beberapa hal yang menarik dari sejarah pasar cinde ini, yaitu: