Anda di halaman 1dari 11

Pandemic VS Me

“Seperti itu update perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia hari ini. Tetap patuhi protokol
kesehatan dimanapun kalian berad. Ingat pesan ibu!” Terdengar suara seorang pembawa
berita dari salah satu stasiun televisi, memenuhi ruang keluarga saat ini. “Bi, aku mau keluar
sebentar. Kalau mama pulang bilang saja, ada yang harus aku selesain.” Gadis tinggi
semampai dengan balutan cardigan warna krem, dan memakai masker mulut turun dari
tangga menuju ruang keluarga. Aktivitas Bi Minah yang sedang menyapu lantai sambil
melihat televisi terhenti.

“Loh neng, tadi ada berita kasus Covid-19 semakin tambah setiap harinya. Lebih baik neng
diem dirumah saja ya?” Bi Minah menasehati.

“Aku mau keluar. Sebentar saja kok Bi, lagian Mama sama Papa ga ada dirumah juga.”
Bantah gadis itu.

“Kalau gak terlalu penting mah, gak usah keluar-keluar. Nanti Mamasama Papa tahu,
gimana? Mama sama Papa titip pesan ke Bi Minah buat Neng.”

“Aku pulang sebelum mama sama papa pulang.”

“Tapi neng, Bibi khawatir.” Ucap Bi Minah mengkhawatirkan gadis itu layaknya seorang ibu
kepada anak kandung. Ia telah bekerja dikeluarga ini selama bertahun-tahun, sejak gadis yang
telah remaja itu berumur 5 tahun.

“Pamit ya, Bi.” Gadis itu tak menghiraukan perkataan Bi Minah, dan tetap pergi kelua.

Bi Minah akhirnya mengalah. Ia paham betul dengan sikap Alaia yang sangat keras kepala.
Menasehati orang yang berwatak keras kepala, pada akhirnya akan tetap sama. Orang itu
akan kukuh pada penderiannya. Kecuali, jika ia membuka hatinya, mendengarkan dan
melakukan apa yang orang lain katakan.

Alaia Selina Pramudita. Gadis berparas manis, namun keras kepala. Anak tunggal dari
keluarga yang cukup terpandang, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan mereka
masing-masing, hidup tanpa memiliki saudara kandung membuatnya terkadang bosan diam
di rumah. Walaupun ada Bi Minah yang menemaninya dari kecil, namun usia mereka terpaut
sangat jauh. Saat Alaia bergurau lelucon dengan Bi Minah, Bi Minah tidak mengerti. Selalu
berakhir membosankan.

Alaia sedang duduk di salah satu kursi halaman rumah, menunggu ojek online yang ia pesan
beberapa menit lalu. Ia telah membuat janji dengan teman-temannya, bahwa mereka sepakat
bertemu di salah satu kafe pada siang hari ini. Tak perlu waktu lama untuk menunggu, ojek
online yang ia pesan sudah berada diluar gerbang rumahnya. Gadis itu bergegas membuka
gerbang, sambil membawa helm miliknya sendiri.

“Mbak Alaia Selina, betul?” Tanya driver ojek online itu dari balik masker mulut yang ia
pakai.

“Iya betul.” Jawab Alaia dengan nada ramah.


“Sesuai protokol kesehatan, mbak memakai helm milik pribadi ya mbak.” Ujarnya
mengingatkan.

“Iya, ini sudah dibawa. Tinggal pakai.”

“Oke mbak, sesuai aplikasi ya.”

Kendaraan beroda dua itu melaju, mengantarkan Alaia yang sudah tidak sabar bertemu
dengan teman-temannya.

Cuaca siang hari ini sedikit mendung. Matahari nampak tertutupi awan-awan putih
kehitaman. Kondisi PSBB transisi masih dilaksanakan didaerah Alaia tinggal. Tidak banyak
orang dan kendaraan lalu lalang di jalan. Kota yang kecil, namun mempunyai sejuta cerita.
Kesenangan dan kesedihan ia dapat di kota ini. Begitulah yang Alaia deskripsikan tentang
kota kelahirannya.

Terlihat jelas spanduk dengan tulisan “La Vinthetic.” Di pinggir bangunan krem itu. Sesuai
dengan namanya, bangunan yang bisa dibilang “tua” ini bernuansa vintage, dipadu dengan
ornamen-ornamen yang menambah nilai estetika. Saat pertama kali masuk, pengunjung
disuguhkan pemandangan instagramable disetiap sudutnya.

Sebelum masuk, ia menuju tempat pengecekkan suhu tubuh. Tertera angka 36 derajat celcius
di thermogun tersebut. Itu artinya suhu tubu Alaia normal. Setelahnya, ia memakai hand
sanitizer yang sudah disediakan. Saat ia membuka pintu, aroma kopi dan kudapan mulai
memenuhi indra penciuman.

Tidak banyak pengunjung kafe pada hari ini. Hanya ada dua sampai tiga orang saja yang
sedang berbincang, yang lainnya merupakan pelayan kafe. Alaia memilih untuk menempati
tempat duduk bagian depan, dekat pintu kafe. Tembok di sini menggunakan kaca, sehingga
pengunjung kafe bisa melihat ke arah luar dengan jelas.

Keadaan masih sepi di luar sana. Siang menuju sore, rintik hujan mulai turun. Terlihat orang-
orang yang berjalan disekitar kafe berdatangan, sekedar untuk menepi dari rintik hujan yang
mulai membesar. Alunan musik bergenre pop terdengar sedang diputar. Kenangan Manis dari
Pamungkas. Lagu itu merupakan salah satu lagu kesukaan Alaia. Saat pertama kali
mendengarnya, ia langsung jatuh cinta dengan lirik disetiap baitnya.

Tawa yang terlepas tanpa ada makna

Cerita lama yang selalu dibawa

Diam-diam hati ini mengerti

Teringat dan jadi ciri tentangmu, tentangmu ⠀⠀⠀⠀

Tuk sementara, sampai berjumpa

Bersama-sama, bercanda lagi

Kenangan manis di hari ini


Jadi alasan untuk kembali

Seolah lagu tersebut cocok dengan keadaannya saat ini. Rintik hujan dipadu dengan alunan
musik merupakan kombinasi yang sempurna. Gadis itu menikmati keadaan, meresapi setiap
lirik pada musik yang diputar. Terlintas satu peristiwa dibenaknya. Peristiwa masa lalu
bersama keluarganya, kebersamaan dan kehangatan yang mungkin hanya menjadi kenangan
manis. Tidak akan bisa terulang lagi. Karena sibuknya kedua orang tua Alaia dengan
pekerjaan masing-masing.

“Halo, Far? Gue udah sampai, nih. Lo masih dimana?” Tanya Alaia yang sedang menelepon
temannya.

“Gue otw nih, bentar lagi sampai kok.” Jawab Farrah dari seberang sana.

“Cepetan, Gue sendiri disini. Yang lain pada belum datang.”

“Coba lo tanya di grup chat, deh. Jangan-jangan mereka lupa.”

“Oke. Lo cepat ya, gak enak banget gue sendirian.”

“Iya, iya. Bawel amat lo.”

“He-em.” Maureen mengakhiri sambungan, lalu membuka aplikasi berlogo hijau di beranda
smartphone-nya.
***
GRUP SAJA
Anda, Bella, Farrah, Dan 3 Lainnya ⠀ ⠀⠀⠀

Alaia Selina:
Halo-halo, ditunggu nih di Vinthetic. Meja deket pintu, cewek pake cardigan krem.

Bella:
Lho, Ngapain disana, Ren?

Alaia Selina:
Kita kan mau ngumpul

Revano Pradipta: Eh, iya. Gue lupa.

Farrah Adrienne: Nahkan, pada linglung lo semua.

Alaia Selina: Gue udah kesini lho, Farrah juga lagi otw.

Javas Algavin: Iya, iya tenang. Gue otw.

Bella: Oh itu, maaf ya, gue gak diizinin sama Mama. Lagi situasi gini, soalnya.

Alaia Selina: Yah, ya udah mau gimana lagi. Gak apa-apa, Bell.
Radika Dhanuraja: Ren, Gue lagi di parkiran.
***
Lonceng pintu berbunyi, menandakan ada yang masuk kafe ini. Derap langkah terdengar dari
tempat duduk Alaia. Gadis itu mengalihkan pandangan, Radika menghampirinya. Alaia bisa
mengenali postur tubuh dan matanya walau lelaki itu memakai masker.

“Lho, Lo duluan, Dik yang sampai. Padahal Farrah udah otw beberapa menit lalu.”

“Tadi gue lagi beli barang disekitar sini. Pas mau balik, gue buka hp, ada notifikasi dari
grup. Langsung aja gue kesini.” Jelasnya.

Lelaki bertubuh tegap itu duduk berhadapan dengan Alaia. Merebahkan punggungnya sambil
menarik napas, terlihat kelelahan. Alaia hanya ber-ooh panjang. Suasana kembali hening.

“Eh, Apa kabar, Dik?” Tanya Alaia memecah keheningan.

“Kabar baik. Lo apa kabar, Al?” Radika menatap sepasang mata gadis di depannya.

“Syukur kalau gitu. Kabar baik juga.” Jawab Alaia hangat.

“Dorr!” Suara keras itu datang dari balik tubuh Alaia. Dua tangan memegang pundaknya, ia
membalikkan tubuh dan melihat Farrah. Gadis berbadan sehat yang sudah datang.

“Farrah! Kangen banget, ih.” Alaia meluapkan kerinduan. Ia memeluk sahabatnya itu sangat
erat.

“Eh, eh. Corona, inget woy!” Radika mengingatkan kedua temannya.

Mereka melepas pelukan, “Eh, Gue lupa.” Alaia lupa jika sekarang sedang Pandemi Virus
Corona.

Farrah duduk disamping Alaia. Di tengah mereka terdapat jarak satu meter, sesuai dengan
protokol kesehatan.

“Kalian belum pesan apa-apa?”

“Belum, Far. Tunggu yang lain aja.” Jawab Alaia.

“Tuh, yang lain datang.” Radika melihat kedua teman laki-lakinya.

Javas dan Revano. Mereka datang bersamaan. Bedanya, Javas berpenampilan rapi.
Sedangkan Revano sedikit berantakan, terlihat seperti terburu-buru.

“Apa kabar, semuanya?” Sapa Revano. Lelaki itu melakukan jabat sikut lengan bersama
teman-temannya. Sering orang lakukan sebagai pengganti jabat tangan saat ini. Ia duduk
disamping Radika, dan Javas menarik kursi dari meja lain.

“Kabar bosan!” Jawab Alaia, Farrah, dan Radika serempak.

“Santai, santai. Nah, gitu dong, kompak.” Lanjut Revano dengan nada menyebalkan.
“Van, Jav, Kalian berdua lama amat, sih!” Protes Alaia.

“Biasa Al, Anak Manja minta jemput.” Javas mulai bersuara.

“Maksud lo, Revano?”

Javas menganggukan kepalanya. Revano yang tidak setuju dengan pernyataan Javas,
membela diri.“Dih, apaan. Gue udah bilang ke lo, Jav. Si Hitam lagi di bengkel. Hujan juga
mulai turun.”

“Motor lo ke bengkel mulu, minta diganti, tuh.” Radika ikut bersuara.

“Gak bakal gue ganti. Dia yang nemenin gue selama tiga tahun ini. Udah terlanjur sayang.”
Sergah Revano dengan nada dramatis.

“Bilang aja itu motor gak bisa diganti karena uang tabungan lo udah habis, kan?” Celetuk
Radika menjahili temannya itu yang membuat Javas, Alaia, dan Farrah terkekeh pelan.

“Udah, udah. Ganti topik!” Lanjut Revano yang merasa dipojokkan.

“Bella mana?” Tanya Javas.

“Dia gak diizinin ikut, katanya. Lo gak buka grup?”

“Gak liat pesan Bella.” Javas menjawab perkataan Alaia dengan singkat, dan padat.

“Gue udah laper. Pesan makanan yuk, Al.” Ajak Farrah kepada Alaia.

Semua pesanan sudah datang. Aroma dari Americano Coffee milik Javas memenuhi indra
penciuman. Katanya, kopi berasa pahit seperti itu, cocok diminum saat cuaca hujan seperti
sekarang. Kopi yang memberi efek tenang karena mengandung kafein.

Mereka membuka masing-masing masker mulutnya, mulai menyantap hidangan hangat yang
terlihat sangat menggugah selera. Disela menyantap hidangan, sesekali mereka mengobrol.
Tak terasa, antara satu dengan yang lain menjadi tidak berjarak. Saling melempar tawa dan
candaan, melupakan protokol kesehatan. Alaia terlihat paling bahagia diantara teman-
temannya. Ia merasakan kebebasan juga kebahagiaan bersama mereka, berbanding terbalik
dengan keadaan rumahnya sekarang.

Selesai makan, Farrah berpamitan kepada teman-temannya. “Guys, Gue balik duluan, ya?
Bunda udah nelponin, nih.”

“Gue juga, gak bisa lama-lama.” Serta Javas.

“Kalau lo balik, Gue juga balik, dong?” Tanya Revano.

“Ya, kalau mau gratisan.” Jawabnya


“Oh jelas dong, kan lo temen terbaik gue, hehe.” Ucap Revano sambil terkekeh. Arah rumah
Javas dan Revano memang searah, terlebih lagi Revano saat datang ke sini, sudah bersama
Javas.

Merasa hari semakin gelap, satu per satu teman-teman berpamitan. Meninggalkan Alaia dan
Radika yang masih terduduk manis di kursi masing-masing.

Hujan sudah berhenti setengah jam yang lalu. Perlahan senja mulai menampakkan dirinya.
Semburat cahaya nampak menghiasi langit sore. Dedaunan di pohon terlihat masih berair
karena derasnya hujan tadi. Udara semakin terasa dingin. Karena sore akan berganti dengan
gelapnya malam. Rasanya, cardigan krem yang dipakai Alaia tidak cukup untuk
menghangatkan tubuhnya saat ini. Jam operasional Kafe Vinthetic dikurangi sesuai kebijakan
pemerintah sermpat. Kafe itu akan tutup jam tujuh malam.

“Al, Kapan lo balik?”

“Entahlah, Dik. Mungkin sampai kafe ini tutup. Temani gue, ya?”

“Yang bener aja, Lo. Inget, Al. Sekarang masih corona, jangan keluar rumah kelamaan.”

“Sendirinya, ikut ngumpul.”

“Kebetulan aja sekalian keluar. Udah lama juga gak ketemu kalian. Kecuali lo sih, Kemarin
kita ketemu gara-gara lo minta antar ke swalayan. Padahal bisa pesan online.”

“Seenggaknya gue lebih bahagia sama lo, sama teman-teman daripada di rumah sendirian.
Garing.”

Radika yang paham maksud dari perkataan Alaia tersebut terdiam. Larut dengan pikirannya
tentang gadis yang ada dihadapannya saat ini.

Mungkin orang-orang akan mengira bahwa kehidupan Alaia pasti sangat menyenangkan.
Bagaimana tidak? Alaia terlahir dari keluarga yang cukup terpandang, nama kedua orang
tuanya terkenal sebagai orang berpengaruh di bidang perusahaan, kediaman yang besar nan
megah, dan ia juga merupakan anak tunggal di keluarganya, semua yang ia inginkan bisa ia
dapat. Kecuali satu, Perhatian. Gadis itu merasa tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya
semenjak wabah ini merajalela. Keduanya menjadi semakin sibuk mengurus perusahannya
masing-masing. Ya, Maureen—Ibunda Alaia adalah wanita karir. Butiknya mengalami
penurunan omset sangat drastis pada masa pandemi. Sebagian karyawan diberhentikan
sementara, menyebabkan ia harus turun mengelola butiknya bersama dengan seluruh
karyawan yang masih bertahan. Tentang Januar—Ayah Alaia, tidak usah ditanya lagi. Beliau
selalu sibuk karena memegang jabatan tertinggi di perusahaan miliknya. Keduanya selalu
pulang malam, terkadang bisa bermalam di tempat mereka bekerja dan tidak pulang ke
rumah. Karena letak rumah mereka dan tempat mereka bekerja di kota yang berbeda.

“Semangat, Al. Masih ada gue sama teman-teman disisi lo. Ya udah, sekarang waktunya
pulang. Kafe sebentar lagi mau tutup. Ayo, Al. Gue antar.” Ia menyemangati temannya itu,
dengan tulus. Radika beranjak dari tempat duduknya. Alaia yang tersenyum mendengar
perkataan itu mengikuti Radika dari belakang.
Perjalanan dari Kafe Vinthetic menuju rumah Alaia membutuhkan waktu 15 menit. Motor
besar merah milik Radika terlihat mencolok diantara kendaraan hitam dan putih yang
melintas di jalanan sore hari ini. Perlahan hujan mulai kembali turun. Radika menambah
sedikit kecepatan motornya itu, agar sampai tujuan lebih cepat sebelum hujan semakin deras.

“Alaia, pegangan. Nanti lo jatuh!” Ucap Radika sedikit berteriak, agar suaranya bisa
terdengar jelas diantara hujan.

“Apa, Dik? Suara lo gak jelas!” Alaia mendekatkan kepalanya agar sejajar dengan kepala
Radika.

“Pegangan, nanti lo jatuh.” Suaranya kini merendah, melihat kepala Alaia yang mendekat
padanya.

“Ohh… Oke!” Gadis itu memegang pundak lelaki didepannya. Radika melirik spion motor,
ia tersenyum simpul dibalik helm fullface-nya.

Kendaraan itu memasuki salah satu perumahan ternama di kota ini. Blok rumah Alaia berada
dekat dengan gerbang perumahan. Radika memberhentikan motornya tepat di depan gerbang
rumah Alaia. Gadis itu memberikan helm milik Radika yang tadi ia gunakan. Ia
mengucapkan terima kasih, lalu Radika dan motornya pergi menjauh dari kediaman Alaia.

Pintu garasi terbuka.Tampak mobil putih kecil milik Maureen sudah terparkir di dalam garasi
rumahnya. Menandakan wanita itu sudah pulang. Wah, gawat. Mama sudah pulang. Batin
Alaia.

Gadis itu diam-diam membuka pintu rumahnya. Berjalan perlahan melewati ruang keluarga,
naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Maureen yang sedang menonton acara di televisi
mendengar suara seseorang. Gagal. Alaia tertangkap basah oleh Maureen.

“Pantas saja, Mama cari ke kamar gak ada. Ternyata habis keluar. Darimana aja kamu,
Alaia?” Maureen beranjak dari sofa menghampiri anak gadisnya itu.

“Keluar sebentar, Ma.”

“Mama sudah titip pesan sama kamu, jangan keluar. Kenapa masih keluar? Alaia, ingat, ini
masih pandemi, Nak.”

“Tapi, Ma. Alaia cuma keluar sebentar. Mama sama Papa juga sering keluar.”

“Lho? Mama sama Papa keluar karena ada kepentingan, Nak. Gak bisa mama melakukan itu
di rumah.”

“Kepentingan apa? Pekerjaan? Kenapa sih, Mama sama Papa lebih mentingin pekerjaan
daripada anaknya sendiri?” Alaia sudah emosional, matanya berkaca-kaca.

Maureen menarik napas. Matanya menatap lurus sepasang mata Alaia. “Mama sama Papa
kerja itu buat kamu, agar hidupmu layak, seperti sekarang ini. Kalau Mama sama Papa gak
kerja, kamu gak bisa mendapatkan semua fasilitas yang kamu pakai sekarang, Sayang.” Jelas
Maureen kepada anak gadis semata wayangnya itu.
“Cukup, Ma. Alaia gak mau dengar alasan lagi dari Mama.” Gadis itu bertingkah layaknya
anak kecil, yang belum mengerti tentang apa gunanya bekerja. Aku hanya ingin perhatian
dari Mama, aku hanya ingin Mama sama Papa perhatian seperti dahulu. Batin Alaia dalam
hati kecilnya.

“Ada apa ini, Ma?” Januar berjalan menuju ruang keluarga.


Maureen hanya diam, memandang lirih ke arah anaknya itu.

“Kenapa, Alaia?”

“Gak apa-apa, Pah.” Gadis itu berlari naik ke lantai dua rumahnya.

Maureen hanya bisa memandangi punggung anaknya itu menjauh. “Alaia, kapan kamu bisa
mengerti, Nak?” Ucap Maureen lirih hampir tidak terdengar oleh Januar.

“Gak mungkin anak itu gak apa-apa, kan, Ma?” Tanya Januar kepada istrinya.

Maureen menjelaskan kejadian tersebut dari awal. “Mungkin dia lelah, biarkan saja dulu agar
beristirahat.” Ucap Januar menenangkan istrinya.

Alaia masuk ke kamarnya, lalu masuk ke kamar mandi di dalam kamar untuk membersihkan
diri. “Kok bibir gue pucat, ya?” Gadis itu melihat pantulan dirinya dari cermin kaca. “Ah,
kecapekan kali.” Sambungnya.

Malam yang terasa lebih dingin dari sebelumnya. Alaia sudah memakai selimut tebal
kesayangannya, AC sudah ia matikan. Namun, udara masih terasa dingin. Gadis itu tidak bisa
tertidur karena dinginnya udara malam hari ini. Ia turun menuju dapur, membuat lalu
meminum secangkir teh hangat berharap agar tubuhnya mendapat kehangatan.

Sang fajar mulai terbit. Hari Minggu di pagi ini diawali dengan turunnya hujan. Hujan turun
setiap harinya di akhir tahun. Awalnya hanya rintik, kemudian membesar, lalu kembali lagi
seperti semula. Maureen dan Januar tidak bekerja hari ini, mereka sudah siap di meja makan
untuk sarapan. Hanya Alaia saja yang belum turun untuk sarapan bersama.

“Ma, Panggil Alaia, ajak dia sarapan bersama. Sudah jarang kita sarapan bersama
dengannya.” Perintah Januar kepada Maureen.

Tok! Tok! Maureen mengetuk pintu, namun tak ada jawaban dari dalam sana. Ia mencoba
membuka pintu itu. Tidak dikunci. Semalam saat Alaia meminum secangkir teh, ia lupa tidak
mengunci pintu kamarnya lagi.

“Alaia? Sayang ayo bangun, kita sarapan bersama hari ini.” Gadis yang dipanggil tak
menjawab, selimut tebalnya menutupi seluruh tubuh Alaia.

“Alaia?” Maureen membuka selimut itu, terlihat Alaia yang sedang menggigil.

“Ya ampun, Kamu panas banget, Sayang.” Maureen meletakkan tangannya pada dahi Alaia.
Ia segera mengambil termometer yang ada di atas laci kecil dekat pintu kamar. Tertera angka
38 disana. Suhu tubuh Alaia panas!
“Mama, kenapa, Ma?” Alaia bertanya lemas setengah memejamkan mata.

“Kamu panas, Kita ke rumah sakit.” Alaia diantar Maureen dan Januar pergi menuju rumah
sakit terdekat. Karena standar rumah sakit pada masa pandemi, pasien hanya dapat ditunggu
oleh satu orang. Maureen yang menunggu Alaia, sedangkan Januar keluar membawa
mobilnya dari kawasan rumah sakit. Alaia melakukan rapid test setelah ia diperiksa dokter
umum. Untuk mengetahui adanya antibodi yang ada dalam tubuh ketika ada infeksi virus.
Setelah menunggu 10-15 menit, hasil rapid test milik Alaia keluar. Hasilnya positif. Petugas
rumah sakit mengatakan, besok Alaia harus diperiksa dengan melakukan swab untuk tes PCR
guna memastikan apakah benar terdapat infeksi SARS-Cov-2.

Keesokan harinya Alaia kembali datang mengunjungi rumah sakit diantar oleh Januar. Alaia
melakukan pemeriksaan swab untuk tes PCR. Ia bisa mengetahui hasilnya besok.

Alaia dan seluruh penghuni rumahnya menjalani isolasi mandiri selama ini. Walau hasil rapid
test Maureen, Januar, Bi Minah, dan Pak Karso—satpam, negatif, tetap saja mereka semua
harus menjalani isolasi mandiri. Selama isolasi, Alaia hanya bisa berkomunikasi dengan
temannya melalui media sosial.

Satu malam telah berlalu, pagi harinya Alaia kembali diantar Januar ke rumah sakit. Hasil
swab test PCR-nya sudah keluar. Hasilnya sama seperti rapid test lusa. Alaia positif terpapar
Virus SARS-CoV-2. Atau biasa masyarakat sebut, Virus Covid-19. Tak bisa dipungkiri, virus
itu sudah masuk ke dalam tubuh Alaia. Menyesal pun tidak ada gunanya, semua ini sudah
terjadi. Istilah “Penyesalan datang diakhir” memang benar adanya.

Gadis itu dijemput di rumah sakit oleh satgas covid-19 berseragam APD lengkap untuk
diisolasi bersama dengan pasien lainnya di wisma tempat penampungan pasien covid-19
sementara.

Ambulans dengan sirine-nya mengantar Alaia menuju wisma. Kendaraan itu membelah
ramainya jalanan kota siang hari ini.

Januar kembali ke rumah dengan keadaan terpukul. Berat rasanya berpisah dengan anak
sematang wayangnya selama berminggu-minggu. Ditambah lagi mereka berpisah saat
keadaan Alaia sakit.

“Lho, Pah? Alaia mana?”

Januar membuka jaketnya, menyimpannya ditempat pakaian kotor yang disediakan di depan
pintu masuk rumah. Memakai hand sanitizer dan menyemprotkan disinfektan ke seluruh
tubuhnya.

Ia menatap sepasang mata Maureen. “Alaia positif, Ma. Dia dibawa ke wisma untuk isolasi
disana. Mau kasih tau kamu, tapi kata petugasnya gak usah. Karena Alaia harus secepatnya
diisolasi.”

Air mata Maureen mulai turun, kedua tangannya menutup mulut. Tidak bisa percaya bahwa
anaknya itu terpapar Virus Covid-19. Betapa terpukulnya kedua orang tua Alaia, dan seluruh
kerabat dekatnya saat mengetahui Alaia terpapar virus.
Berdoa dan berharap yang terbaik. Hanya itu yang bisa Alaia, Maureen, Januar, dan semua
teman-temannya lakukan. Seluruh orang yang kontak erat dengan Alaia diperiksa. Satu lagi
yang mendapat hasil positif. Radika. Lelaki itu positif terpapar Virus Covid-19 sama seperti
Alaia.

“Dika, Gue minta maaf ya. Karena gue, Lo jadi terpapar juga.” Keadaan Alaia sudah
membaik selama 7 hari ini. Sekarang ia sedang menelpon Radika. Lelaki itu berada
diperjalanan pulang. Ia lebih dahulu pulang ke rumah. Padahal, Alaia yang lebih lama
diisolasi. Karena kata dokter, daya tahan tubuhnya lebih kuat dibandingkan dengan Alaia.

“Santai aja, gak usah merasa bersalah, Al. Takdir kita emang kayak gini. Udah diatur dari
sananya.”

“Tapi benar kata Mama, harusnya gue patuh sama pesannya. Harusnya gue patuh sama
pemerintah. Harusnya gue keluar kalau memang keadaan penting aja. Harusnya gue-“ Alaia
tidak melanjutkan ucapannya. Air mata kembali mengalir. “Ha-harusnya…”

“Memang penyesalan itu datangnya belakangan. Kalau datang diawal bukan penyesalan
namanya. Tapi selamat datang.” Radika mencoba mencairkan suasana.

“Apaan sih, Dik. Gak jelas tau!” Ucap Alaia sambil tertawa.

“Gitu dong, ketawa. Jangan sedih mulu. Nih ya, kata dokter, kalau mood kita bagus itu bisa
meningkatkan imunitas tubuh. Terus kalau pikiran kita selalu positif juga bisa meningkatkan
imunitas tubuh. Makanya gue cepet sembuh. Lo juga harus gitu, Al.”

“Siap! Pak Dokter!” Serunya sambil tertawa.

“Semangat, Al. Gue tau lo itu anaknya gak gampang nyerah.” Perbincangan itu ditutup oleh
semangat dari Radika.

14 hari telah berlalu. Alaia sudah bisa kembali berkumpul bersama keluarganya. Namun
tetap, ia masih menjalani isolasi mandiri di rumahnya. Selama isolasi, Alaia tidak boleh pergi
keluar rumah. “Ma, Pa, maaf ya aku gak dengerin pesan Mama waktu itu.” Maafnya kepada
Maureen dan Januar.

“Jangan minta maaf ke mama sama papa. Minta maaf ke diri kamu sendiri, Sayang.”

“Aku sadar, perbuatan aku selama ini ngerugiin diri sendiri, Ma. Aku nyesel, nyesel banget.
Karena aku, orang lain terpapar juga.”

“Ini pelajaran untuk kamu. Bahwa, jangan sepelekan virus kecil yang bisa membunuh ini.
Mama dan Papa juga sebenarnya khawatir saat kami bekerja keluar rumah. Tapi syukur,
Allah masih sayang sama kita. Allah juga sayang sama kamu, Al. Allah melatih kesabaran
kamu, menguji hawa nafsu agar kamu tidak ke luar rumah. Kamu juga dilatih menjadi orang
yang peduli terhadap sesama, dilatih disiplin, dan tidak egois.” Januar mengelus anak rambut
gadis itu. Memberi senyuman hangat yang selama ini Alaia rindukan.
Mereka mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Tidak ada lagi yang ke luar rumah jika
memang tidak darurat, tidak ada lagi dari mereka yang bekerja ke luar rumah. Semuanya
dilakukan dari rumah. Sejak kejadian itu, Alaia aktif ikut serta dalam penyuluhan tentang
covid-19 secara online. Ia menjadi narasumber di kegiatan positif itu, bersama dengan satu
dokter yang juga berperan dalam penyuluhan ini.

Mereka melakukan penyuluhan di berbagai media sosial seperi Instagram, YouTube, Twitter,
dan lain-lain. Menyampaikan kepada masyarakat luas betapa penting dan wajibnya kita
menerapkan protokol kesehatan dimanapun berada.

Alaia tersentuh hatinya, saat ia mengetahui kerja keras para garda terdepan selama ini.
Banyak dari mereka yang telah gugur di medan tugas sebagai pahlawan berjasa. Menaruhkan
nyawa-nya demi menyelamatkan nyawa orang lain. Sungguh mulia. Semoga seluruh tenaga
medis dan masyarakat Indonesia diberikan kesehatan, kesabaran, dan kesadaran. Semoga
pandemi ini bisa cepat berakhir. Itu doa Alaia disepertiga malam, setiap harinya.

“Mari terapkan protokol kesehatan dimanapun kita berada. Tetap memakai masker, menjaga
jarak, dan menghindari kerumunan. Siapalagi jika bukan kita yang memulai? Dari kita, untuk
kita. Mari buat Indonesia berbahagia dengan berakhirnya pandemi ini. Ingat pesan Ibu!
Terimakasih.” Alaia menutup kegiatan penyuluhan secara online tersebut. Sudut bibirnya
tertarik, membentuk senyum layaknya bulan sabit.

TAMAT

Nama: Regina Ainun Nisa


Kelas: Xii Askep 3
Absen: 15

Anda mungkin juga menyukai