Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata adalah salah satu indra yang penting bagi manusia, melalui mata

manusia menyerap informasi visual yang digunakan untuk melaksanakan berbagai

kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan banyak terjadi, mulai dari

gangguan ringan hingga gangguan berat yang dapat mengakibatkan kebutaan

(Kemenkes, 2014). Mata adalah alat indra yang sangat kompleks dan jika terjadi

kerusakan akan menyebabkan manusia mengalami penurunan penglihatan, sekitar

65 % kasus gangguan penglihatan dan 82 % kasus kebutaan berusia 50 tahun atau

lebih (Feriyani dkk, 2018). Penyebab kebutaan adalah katarak (51%), glaukoma

(8%), kebutaan pada anak dan kekeruhan kornea sebanyak (4%), retinopati

diabetik(1%), dan (21%) lainnya tidak diketahui. Kelainan refraksi yang tidak

dikoreksi dan trakoma sekitar (3%) (Feriyani dkk, 2018).

Katarak merupakan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi

lensa, sehingga sinar yang masuk terhalang (Asmara dkk, 2019). Pada umumnya

katarak terjadi karena proses degenerasi, karena bertambanya usia atau penuaan

(Hutauruk, J.A dan Sharita R.S, 2017). Katarak senilis atau katarak karena usia

merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya peneban progresif secara

bertahap dari lensa mata. Katarak senilis dapat dikategorikan menjadi 3 jenis pada

pathogenesis yaitu katarak nuklear, katarak kortikal, dan katarak subkapsularis

posterior. Pada diagnosis katarak senilis dibagi lagi menjadi 4 jenis stadium yaitu

katarak insipien, katarak imatur, katarak matur, dan katarak hipermatur. Katarak

1
2

senilis merupakan salah satu penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan

di dunia (Asmara dkk, 2019).

Kebutaan akibat katarak masih mendominasi tingkat kebutaan di

Indonesia. Pasalnya tingkat kebutaan ini masih cukup tinggi, hingga mencapai

tiga persen. Katarak merupakan penyumbang terbesar kebutaan di Indonesia yang

hampir mencapai 60 persen (Kemenkes, 2018). Diperkirakan setiap tahun kasus

baru buta katarak akan selalu bertambah sebesar 0,1% dari jumlah penduduk atau

kira-kira 250.000 orang/tahun (Kemenkes, 2017). Mengutip hasil survei kebutaan

di Indonesia yang dikembangkan oleh International Center of Eye Health (ICEH)

dan direkomendasikan oleh WHO melalui metode Rapid Assasment of Avoidable

Cataract (RAAB), yang memberikan gambaran situasi aktual dan data akurat

prevalensi kebutaan serta gangguan penglihatan. Survei yang dilakukan di 15

Propinsi Indonesia pada populasi usia 50 tahun, mendapatkan angka prevalensi

kebutaan tertinggi sebesar 4,4,% (Jawa Timur) dan terendah sebesar 1,4%

(Sumatera Barat), yang mana sebanyak 64-95% disebabkan oleh katarak

(Kemenkes, 2017).

Satu-satunya cara menyembuhkan katarak adalah dengan pembedahan.

Pembedahan merupakan satu-satunya terapi untuk penderita katarak yang

bertujuan memperbaiki visus atau tajam penglihatan (Feriyani dkk, 2018). Bedah

katarak adalah menghilangkan lensa berkabut dan menggantinya dengan lensa

buatan untuk mengembalikan daya penglihatan yang jelas. Bedah katarak

dilakukan dengan mengambil lensa mata yang terkena katarak kemudian diganti

dengan lensa implan atau Intraokuler Lens (IOL) (Feriyani dkk, 2018). Bedah

katarak telah mengalami perubahan drastis selama 30 tahun terakhir ini. Perbaikan
3

terus berlanjut dengan peralatan otomatis dan berbagai modifikasi lensa

intraocular yang memungkinkan dilakukan bedah melalui insisi kecil .Metode

bedah yang digunakan sekarang adalah Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE),

Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE), Fakoemulsifikasi, dan Small Incision

Cataract Surgery (SICS) (Feriyani dkk, 2018)

Pemulihan tajam penglihatan pasca bedah sangat penting bagi penderita

untuk meningkatkan kualitas hidup. Tajam penglihatan sudah mulai di periksa

mulai 1 minggu pasca operasi katarak. Dengan semakin maju metode operasi

katarak, diharapkan pemulihan tajam penglihatan pasca bedah semakin baik.

Pemulihan tajam penglihatan pasca bedah bisa melebihi dari yang di prediksi

sebelumnya tetapi dapat juga mengecewakan (Wildan, 2014). Studi terbaru di

Nepal, Cina, dan India, menunjukkan bahwa 40-75% orang yang telah menjalani

operasi katarak memiliki ketajaman visual yang lebih buruk dari 6/18 di mata

yang dioperasikan, dan 21-53% memiliki kurang dari 6/60 (Olawoye et al dalam

Firdaus, 2017). Meskipun ada kemajuan dalam prosedur bedah seperti teknik

bedah mikro modern, teknologi IOL baru, metode biometri canggih, dan

perhitungan daya IOL canggih, hasil visual yang tidak memuaskan kadang-

kadang masih terjadi, menyebabkan masalah dan frustrasi baik untuk pasien dan

ahli bedah (Abdelghany & Alio dalam Firdaus, 2017).

Dari hasil studi pendahuluan dengan perawat di ruang Poli Mata RSUD

Mardi Woluyo Kota Blitar, didapatkan data tentang hasil pengukuran tajam

penglihatan pasien satu minggu pasca operasi katarak pada bulan September 2019

sejumlah 20 pasien, pasien dengan tajam pengliahatan baik (6/6-6/18) sejumlah 15

pasien, pasien dengan tajam penglihatan sedang (<6/18-6/60) sejumlah


4

pasien. Bulan Oktober 2019 sejumlah 17 pasien, pasien dengan tajam

pengliahatan baik (6/6-6/18) sejumlah 14 pasien, dan pasien dengan tajam

penglihatan buruk (<6/60) sejumlah 3 pasien. November 2019 sejumlah 20 pasien,

pasien dengan tajam pengliahatan baik (6/6-6/18) sejumlah 11 pasien, pasien

dengan tajam penglihatan sedang (<6/18-6/60) sejumlah 5 pasien, dan pasien

dengan tajam penglihatan buruh (<6/60) sejumlah 4 pasien. Berdasarkan uraian di

atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran

Ketajaman Penglihatan Pasien Pasca Operasi Katarak Senilis di Poli Mata RSUD

Mardi Waluyo”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah ketajaman penglihatan pasien pasca operasi katarak senilis

di Poli Mata RSUD Mardi Waluyo?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menggambarkan ketajaman penglihatan pasca operasi katarak

senilis di Poli Mata RSUD Mardi Waluyo.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui fafktor yang mempengaruhi ketajaman penglihatan

pasien pasca operasi katarak senilis.

2. Untuk mengetahui keluhan sebelum operasi katarak dan setelah operasi

katarak senilis.
5

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi

ilmiah tentang deskripsi hasil ketajaman penglihatan dari pasien pasca

operasi katarak senilis.

2. Hasil penelitian ini juga berguna untuk penelitian lebih lanjut terkait

dengan hasil ketajaman penglihatan dari pasca operasi katarak senilis.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lensa

2.1.1 Letak lensa

Lensa termasuk dalam segmen anterior mata dan terletak di bagian tengah

bola mata dibatasi bagian depan oleh iris dan bagian belakang oleh vitreus. Lensa

dipertahankan posisinya oleh zonula zinnii, yang terdiri dari serat-serat yang

melekat pada korpus siliaris (Budiono et al., 2013).

2.1.2 Struktur lensa

Lensa mata bersifat tasparan dan berbentuk bikonveks, memiliki fungsi

mempertahankan kejernihan, membiaskan cahaya dan berakomodasi.

Lensa mata dapat mempertahankan kejernihan karena tersusun dari surface

ectoderm yang mempunyai susunan sel yang teratur sehingga bersifat transparan.

Lensa mata mampu membiaskan cahaya karena memiliki indeks bias sekitar 1,4

ditengah dan 1,36 dibagian tepinya, berbeda dengan indeks bias humor aquos dan

korpus vitreous yang mengelilinginya. Mata memiliki retfraksi keseluruhan

sebesar 60 dioptri (D), dalam kondisi tanpa akomodasi lensa memiliki kontribusi

sekitar 15-20 D sedangkan udara dan permukaan kornea memiliki kekuatan

refraksi 43D. Kemampuan akomodasi dan berubah bentuk dikarenakan adanya

otot siliaris. Kemampuan akomodasi ini akan menurun dengan bertambahnya usia

yaitu 8D pada usia 40 tahun dan 1-2 D pada usia 60 tahun.

Lensa terdiri dari kapsul, epitel lensa, kortek dan nukleus. Lensa

berkembang sepanjang hidup. Saat lahir memiliki diameter 6,4 mm dan ketebalan

3,5 mm dan berat 90 mg. Lensa dewasa memiliki diameter 9 mm dan ketebalan

6
7

5mm dan berar 255 mg. Ketebalan relatif meningkat dari kortek seiring dengan

usia.

Kapsul lensa berupa membran basal yang tranparan dan elastis, terdiri dari

kolagen tipe IV, dibentuk dari sel sel epitel. Ketabalan kapsul berfariasi, paling

tebal didaerah tepi lensa (17-28 um) dan paling tipis di daerah sentral kutub

posterior (2-4um).kapsul lensa akan mengalami perubahan ketebalan sepangjang

hidup.

Epitel lensa terletak di bawah atau belakang kapsul lensa anterior berupa

satu lapisan sel. Lapisan sel ini memiliki aktivitas metabolisme. Perubahan

morfologi yang paling dramatis terjadi ketika sel-sel epitel memanjang

membentuk sel-sel serat lensa. Perubahan ini dikaitkan dengan peningkatan luar

biasa dari massa protein selular pada membran setiap sel serat lensa. Pada saat

yang sama, sel-sel kehilangan organel, termasuk inti sel, mitokondria, dan

ribosom sehingga metabolisme tergantung pada glikolisis untuk produksi energi.

Bagian terluar pada lensa adalah korteks sedangkan bagian tengahnya

nukleus. Tidak ada perbedaan morfologi antara korteks dan nukleus kecuali pada

kondisi terdapat kelainan pada lensa mata (katarak) perbedaan antara

nukleus,epinukleus dan korteks terlihat. Perbedaan anatara korteks dan nukleus

digunakan juga dalam menentukan tipe katarak (katarak nuklear, katarak kortikal).

Lensa ini didukung oleh serat zonular yang berasal dari lamina basal epitel

nonpigmented dari pars plana dan pars plicata badan siliar. Serat zonular ini

masuk atau menempel pada kapsul lensa daerah ekuator, 1,5 mm ke arah anterior

dan 1,25 ke arah posterior. Serat zonular berdiameter 5-30 um (Budiono et al.,

2013).
8

2.1.3 Fisiologi Lensa

Metabolisme lensa

Sel epitel lensa akan terus membelah dan berkembang menjadi serat lensa,

menghasilkan pertumbuhan lensa yang terus menerus. Sel-sel lensa dengan

tingkat metabolisme tertinggi berada di epitel dan korteks bagian luar. Sel-sel

superfisial memanfaatkan oksigen dan glukosa untuk pengangkutan aktif

elektrolit, karbohidrat, dan asam amino kedalam lensa.

Lensa manusia normal mengadung sekitar 66 % air dan 33 % protein, dan

jumlah ini mengalami sangat sedikit perubahan dengan proses penuaan. Sekitar

5% dari volume lensa adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa dalam

ruang ekstraseluler. Konsentrasi natrium dan kalium pada lensa berbeda dengan

konsentrasi pada humor akuos dan korpus vitreous.

Aspek yang paling penting dari fisiologi lensa adalah mekanisme yang

mengontrol keseimbangan air dan elektrolit, yang beberperan sangat penting

untuk menjaga transparansi lensa. Karena tranparansi sangat tergantung pada

komponen struktural dan makromolekul lensa, gangguan hidrasi seluler dapat

dengan mudah menyebabkan kekeruhan.

Penghambat NA+, K+-ATPase menyebabkan hilangnya keseimbangan

kation dan meningkatkatnya kadar air lensa. Beberapa penelitian menunjukkan

berkurangnya kegiatan Penghambat NA+, K+-ATPase, sedangkan penelitian

yang lain menunjukkan tidak ada perubahan. Namun penelitian lain menyarankan

bahwa permeabilitas pasif membran untuk kation meningkat pada proses penuaan

dan pembentukan katarak.


9

Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran sering disebut

sebagai sistem pump-leak lensa. Menurut teori pump leak, kalium dan molekul

lain seperti asam amino secara aktif di angkut ke dalam anterior lensa melalui

epitelium anterior. Penemuan ini mendukung hipotesis bahwa epitel adalah tempat

utama untuk tranport aktif dalam lensa. Hal ini menghasilkan gradient yang

berlawanan dari ion natrium dan kalium di lensa, dengan konsentrasi ion kalium

di yang lebih tinggi pada bagian depan lensa dan lebih rendah di bagian belakang

lensa,berlawanan dengan konsetrasi natrium. Homeostasis kalsium juga penting

untuk lensa.hilangnya homeostasis kalsium dapat sangat mengganggu

metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat menyebabkan perubahan

yang merusak, termasuk depresi metabolisme glukosa, pembentukan protein

dengan berat molekul yang tinggi, dan aktivitas protease yang merusak.

Membran transportasi dan permeabilitas juga pertimbangan penting dalam

nutrisi lensa. Tranportasi asam amino aktif terjadi pada epitel lensa dengan

mekanisme tergantung pada gradien natrium, yang dibawa oleh pompa natrium.

Glukosa memasuki lensa melalui proses difusi yang tidak secara langsung terkait

dengan sistem tranpor aktif. Sisa hasil metabolisme lensa meninggalkan lensa

melalui difusi sederhana. Berbagai zat, termasuk asam askorbat, myo-inositol,

memiliki mekanisme transpor tersendiri pada lensa (Budiono et al., 2013).

2.2 Konsep Katarak Senilis

2.2.1 Pengertian Katarak Senilis

Kata katarak sebenarnya berarti air terjun. Ini dipakai untuk

mendefinisikan suatu penyakit mata berupa perubahan lensa mata yang semula

jernih tembus cahaya menjadi keruh seperti berkabut, jadi penderita seolah-olah
10

melihat dari balik air terjun. Katarak terjadi akibat perubahan komposisi kimia

lensa, seperti hidrasi (penambahan cairan) lensa, dan denaturasi protein lensa

akibat dari keduanya (Khomsan, 2009). Sementara katarak senilis disebabkan oleh

perubahan degeneratif pada orang-orang yang menginjak masa-masa usia lanjut

(Djing, 2007).

2.2.2 Faktor Resiko Katarak Senilis

Faktor risiko utama pada katarak senilis adalah proses penuaan terutama

ada pasien dengan usia diatas 50 tahun (Ilyas dalam Effendi I.K, 2017). Meskipun

belum terdapat penjelasan etiopatologi yang jelas namun terdapat beberapa faktor

yang diperkirakan dapat mempengaruhi onset, tipe dan maturasi katarak senilis

diantaranya (Khurana dalam Effendi I.K, 2017).

1. Hereditas

Riwayat penyakit keluarga terkait katarak dapat mempengaruhi kecepatan

munculnya onset pada usia tertentu.

2. Radiasi Ultraviolet (UV).

Berdasarkan berbagai studi epidemiologi, didapatkan bahwa tingginya

paparan sinar ultraviolet dari sinar matahari dapat mempengaruhi kecepatan onset

dan proses maturasi katarak senilis.

3. Nutrisi

Pola makan rendah protein, asam amino dan vitamin (riboflavin, vitamin

E, vitamin C) dapat menyebabkan kurangnya zat antioksidan sehingga radikal

bebas lebih cepat merusak sel-sel lensa.


11

4. Merokok

Selain tingginya radikal bebas, merokok juga dapat menyebabkan

akumulasi 3 hidroksikynurinin dan kromosfor yang merupakan molekul

berpigmen dan dapat menyebabkan lensa menjadi kekuningan, kandungan sianat

pada rokok juga dapat mengakibatkan denaturasi protein lensa.

2.2.3 Manifestasi Klinis

Akibat perubahan opasitas lensa, terdapat berbagai gangguan pada

penglihatan termasuk:

1. Penurunan tajam penglihatan perlahan

2. Penurunan sensitivitas kontras

pasien mengeluhkan sulitnya melihat benda di luar ruangan pada cahaya

terang.

3. Pergeseran ke arah miopia

Normalnya, pasien usia lanjut akan mengeluhkan berubahan hiperopia,

akan tetapi pasien katarak mengalami perubahan miopia karena perubahan indeks

refraksi lensa.

4. diplopia monokular

Hal ini dikarenakan adanya perbedaan indeks refraksi antara satu bagian

lensa yang mengalami kekeruhan dengan bagian lensa lainnya.

5. Sensasi silau (glare)

Opasitas lensa mengakibatkan rasa silau karena cahaya dibiaskan akibat

perubahan indeks refraksi lensa ( Tanto C, 2014).

Pada katarak senil dikenal 4 stadium. Yaitu insipien, imatur, matur dan

hipermatur.
12

1. Katarak Insipient

Jenis katarak stadium paling dini, visus belum terganggu, dengan koreksi

masih bisa 5/5-5/6 dan kekeruhan terutama pada bagian perifer berupa bercak-

bercak seperti jari-jari roda (Istiqomah, 2005).

2. Katarak Imatur

Kekeruhan lensa mulai terjadi dapat terlihat oleh bantuan senter, terlihat

iris shadow, visus >1/60 (Budiono et al., 2013). Saat ini mungkin terjadi hidrasi

korteks yang menyebabkan lensa menjadi cembung sehingga indeks refraksi

berubah dan mata menjadi miopia, cembungnya lensa mendorong iris ke depan,

menyebabkan sudut bilik mata depan menjadi sempit dan menimbulkan glaukoma

(Istiqomah, 2005).

3. Katarak Matur

Kekeruhan lensa terjadi menyeluruh,dapat terlihat dengan bantuan senter,

tidak terlihat iris shadow, visus 1/300 atau light perception positif (Budiono et al.,

2013). Pada stadium ini terjadi pengeluaran air sehingga lensa akan berukuran

normal kembali dan terlihat seperti mutiara (istiqomah, 2005).

4. Katarak Hipermatur

Katarak hipermatur terjadi ketika massa lensa mengalami kebocoran

melalui kapsul lensa, sehingga menjadi berkerut dan menyusut (Budiono et al.,

2013). Korteks lensa yang seperti bubur telah mencair sehingga nukleus lensa

turun karena daya beratnya , melalui pupil nukleus terbayang sebagai setengah

lingkaran dibagian bawah dengan warna berbeda dari yang diatasnya yaitu

kecoklatan dan terjadi kerusakan pada kapsul lensa yang lebih permeabel
13

sehingga isi korteks dapat keluar dan lensa menjadi kempis yang dibawahnya

terdapat nukleus lensa (istiqomah, 2005).

2.2.4 Patofisiologi

Lensa berisi 65 % air, 35% protein dan mineral penting. Katarak merupaka

kondisi penurunan ambilan oksigen, penuruan air, peningkatan kandungan

kalsium dan berubahnya protein yang dapat larut menjadi tidak dapat larut. Pada

proses penuaan, lensa secara bertahap kehilangan air dan mengalami peningkatan

dalam ukuran dan densitasnya. Peningkatan densitas diakibatkan oleh kompresi

sentral serat lensa yang lebih tua. Saat serat lensa baru yang diproduksi korteks,

serat lensa ditekan menuju sentral. Serat-serat lensa yang padat lama-lama

menyebabkan hilangnya tranparansi lensa yang tidak terasa nyeri dan sering

bilateral. Selain itu, berbagai penyebab katarak di atas menyebabkan gangguan

metabolisme pada lensa mata. Gangguan metabolisme ini, menyebabkan

perubahan kandungan bahan-bahan yang ada di dalam lensa yang pada akhirnya

menyebabkan kekeruhan lensa. Kekeruhan dapat berkembang di berbagai lensa

dan kapsulnya. Pada gangguan ini sinar yang masuk melalui kornea dihalangi oleh

lensa yang keruh atau buram. Kondisi ini mengaburkan bayangan semu yang

sampai pada retina. Akibatnya otak menginterpretasikan sebagai bayangan yang

berkabut. Pada katarak yang tidak diterapi, lensa mata menjadi putih susu,

kemudian berubah kuning, bahkan menjadi cokelat atau hitam dan klien kesulitan

dalam membedakan warna (istiqomah, 2005).


14

2.2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan utama katarak adalah pembedahan. Tidak ada manfaat

dari suplementasi nutrisi atau terapi farmakologi dalam mencegah atau

memperlembat progresivitas dari katarak (Tanto C, dkk, 2014).

Indikasi bedah jika ada penurunan fungsi penglihatan yang tidak dapat

ditoleransi pasien karena mengganggu aktivitas sehari-hari, adanya anisometropia

yang bermakna secara klinis, kekeruhan lensa menyulitkan pemeriksaan segmen

posterior dan terjadi komplikasi terkait lensa seperti peradangan atau glaukoma

sekunder (fakoanafilaksis, fakolisis, dan fakomorfik glaukoma) (Tanto C, dkk,

2014).

Kontraindikasi bedah jika ada penurunan fungsi penglihatan yang masih

dapat ditoleransi oleh pasien, tindakan bedah diperkirakan tidak akan

memperbaiki tajam penglihatan dan tidak ada indikasi bedah lainnya, pasien tidak

dapat menjalani bedah dengan aman karena keadaan medis atau kelainan okular

lainnya yang ada pada pasien, dan perawatan pascabedah yang sesuai tidak bisa

didapatkan oleh pasien (Tanto C, dkk, 2014).

2.3 Teknik Pembedahan Katarak

Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian

rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari . teknik yang umum dilakukan

adalah:

1. Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK)

ekstraksi lensa utuh serta seluruh kapsul lensa (Tanto C, dkk, 2014).

Menggunakan bahan kimia yang berfungis melisiskan serat zonular dengan suatu

enzim a-chymotrypsin, dan dengan bantuan forceps kapsul lensa tradisional dan
15

erysiphake telah memberikan cara untuk ekstraksi lensa dengan cryoprobe.

Cryoprobe adalah a hollow metal-tipped yang didinginkan oleh nitrous oxide

terkompresi yang kemudian ditempelkan pada permukaan lensa. Pada saat suhu

logam turun di bawah titik beku, akan terbentuk suatu bola es dan lensa mata akan

melekat pada probe (Budiono et al., 2013).

2. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK)

Pembedah membuat potongan di mana sklera dan kornea bertemu. Dengan

potongan pembedah membuka bagian depan kapsul dan memindahkan pusat yang

keras (nukleus) dari lensa, dengan alat mikroskopik pembedah kemudian

menghisap korteks yang halus (Khomsan, 2009). Ekstraksi lensa utuh dengan

meninggalkan bagian posterior dari kapsul lensa (Tanto C, dkk, 2014). kapsul

posterior ditinggalkan untuk mencegah prolaps vitreus, untuk melindungi retina

dari sinar ultraviolet dan memberikan sokongan untuk implantasi lensa

intraokuler(istiqomah, 2005).

3. Fakoemulsifikasi

Meurpaan modifikasi dari teknik extrakapsular (Khomsan A, 2009).

Fragmentasi nukleus lensa dengan gelombang ultrasonik, sehingga hanya

diperlukan insisi kecil, dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan

rehabilitasi penglihatan pasien meningkat (kapita selekta). Sayatan atau insisi

yang digunakan sangat kecil (Cuma sekitar 2-3 mm) di daerah kornea (Hutauruk,

2017)

4. Intraocular Lens (IOL)

Lensa mata penderita katarak diangkat, diganti dengan lensa intraokular

untuk memfokuskan penglihatan. Penanaman lensa memiliki beberapa


16

keuntungan untuk mengurangi atau menghilangkan masalah image pandangan dan

persepsi kedalam yang biasa dialami orang yang memakai kacamata katarak atau

afakia yang amat tebal. Lebih nyaman dari lensa kontak karena tetap berada di

mata, tidak harus dipindahkan, dicuci, atau dipasang lagi (Khomsan, 2009).

2.4 Komplikasi pembedahan katarak

1. Hilangnya Vitreous

Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel

vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior, yang merupaka resiko terjadi

glaukoma atau trkasi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan

dengan satu instrumen yang mengaspirasi dan mengeksisi gel (vitrektomi).

Pemasangan lensa intraokuler sesegera mungkin tidak bisa dilakukan pada kondisi

ini.

2. Prolaps Iris

Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada periode pasca

operasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil

mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan

pembedahan.

3. Endoftalmitis

Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi

(kurang dari 0,3%). Pasien datang dengan: mata merah terasa nyeri, penurunan

tajam penglihatan setelah beberapa hari setelah pembedahan, pengumpulan sel

darah putih di bilik anterior (hipopion). Pasien membutuhkan penilaian mata

segera, pengambilan sampel akueous dan vitreous untuk analisis mikrobiologi dan

terapi dengan antibiotik intravitreal, topikal dan sistemik.


17

4. Edema Makular Sistoid

Makula menjadi edema setelah pembedahan terutama bila disertai

hilangnya vitreous. Dapat sembuh seiring waktu namun dapat menyebabkan

penurunan tajam penglihatan yang berat.

5. Ablasio Retina

Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan dengan

rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila terdapat

kehilangan vitreous (James, Bruce et al., 2006).

2.5 Tajam penglihatan

2.5.1 Tes Tajam Penglihatan

Tes tajam penglihatan menilai kekuatan resolusi mata. Tes standar adalah

dengan menggunakan kartu snellen, yang terdiri dari baris huruf yang ukurannya

semakin kecil. Tiap baris diberi nomor dengan jarak dalam meter dan lebar tiap

huruf membetuk sudut I menit dengan mata. Tajam penglihatan dicatat sebagai

jarak baca (misal 6 meter) pada nomor baris, dari huruf terkecil yang dilihat. Jika

jarak baca ini adalah garis 6 meter, maka tajam penglihatan adalah 6/6, jika jarak

baca ini adalah garis 60 meter maka tajam penglihatan adalah 6/60 (James, Bruce

et al., 2006).

Kriteria Tajam Penglihatan (Visus) (WHO dalam Effendi I.K, 2017).

Kriteria Tajam penglihatan


snellen
Tajam penglihatan baik 6/6-6/18
Tajam penglihatan sedang <6/18-6/60
Tajam penglihatan buruk <6/60
18

2.5.2 Faktor Yang Mempengaruhi Tajam Penglihatan

Faktor-faktor yang mempengaruhi tajam penglihatan yaitu, kejernihan

media refrakta, sistem optik/refraksi, dan sistem persyarafan mata.

Media refrakta terdiri dari kornea, humor akuos, lensa, dan korpus

vitreum. Apabila salah satu dari media refrakta ini mengalami kekeruhan, maka

sinar tidak dapat difokuskan dengan baik. Salah satu contoh kekeruhan ini adalah

katarak, yaitu kekeruhan pada lensa.

Yang mempengaruhi refraksi adalah kurvatura kornea, kecembungan

lensa, dan panjang aksis bola mata. Kelainan pada salah satu sistem refraksi akan

menyebabkan bayangan jatuh tidak tepat di makula, sehingga bayangan menjadi

kabur.

Apabila ada gangguan di salah satu jalur visual (retina-korteks serebri),

maka informasi visual tidak akan tersampaikan dengan baik dan akan menurunkan

tajam penglihatan (Rahayu dalam Astarini C, 2017).

2.5.3 Tajam Penglihatan Pascaoperasi Katarak

Fungsi penglihatan pasien preoperasi katarak dinilai dengan pemeriksaan

tajam penglihatan, biomikroskop slitlamp, tonometri, oftalmoskopi indirek,

pemeriksaan kejernihan kornea, pemeriksaan jumlah kekeruhan lensa dengan

dilatasi pupil, dan B-scan ultrasonography (Kusuma dalam Astarini C, 2017).

Tajam penglihatan pascaoperasi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara

lain faktor preoperasi, faktor selama operasi, dan faktor pascaoperasi (Kusuma

dalam Astarini C, 2017).


19

Faktor preoperasi diantaranya riwayat penyakit mata selain katarak, yaitu

glaukoma, degenerasi makula, dan ablasio retina. Riwayat penyakit sistemik

contohnya diabetes mellitus.

Faktor selama operasi diantaranya, operator, alat yang digunakan, teknik

operasi, lama operasi, pengukuran IOL (intraocular lens), implantasi IOL

(intraocular lens), dan juga komplikasi pada saat operasi yaitu prolaps korpus

viteum, perdarahan ekspulsif, hifema, dan iridodialisis.

Faktor pascaoperasi diantaranya, selama perawatan dan komplikasi

pascaoperasi yaitu, edema kornea, glaukoma, uveitis, hifema, infeksi mata bagian

luar, endoftalmitis, ablasio retina, dan Cystoid Macular Edema (CME) (Kusuma

dalam Astarini C, 2017).

2.6 Perawatan Pasca Operasi Mata

Perawatan pasca operasi mata meliputi:

1. Selalu mencuci tangan sebelum memberikan obat mata. Cek label pada obat

pada botol obat secara seksama untuk memastikan ketepatan medikasi. Cegah

kontaminasi pada botol obat.

2. Teteskan hanya sejumlah tetesan yang dianjurkan, lakukan penegakkan pada

kantus medial untuk mencegah absorbsi sistemik, tutup mata secara perlahan.

3. Ganti balutan minimal 1 kali sehari.

4. Ikuti jadwal pengobatan yang diberikan secara tepat. Berikan jadwal tertulis.

5. Pertahankan posisi kepala yang ditentukan dan batasi aktivitas.

6. Laporkan tanda-tanda komplikasi yang meliputi peningkatan nyeri mata

mendadak (indikasi perdarahan), drainase purulen, penurunan visus, tanda

peningkatan tekanan intraokuler (TIO) seperti nyeri dahi.


20

7. Lakukan tindak lanjut yang ditentukan oleh dokter bedah.

8. Cegah masuknya air ke mata saat mandi atau keramas.

9. Lindungi mata dengan kacamata pada siang hari dan saat keluar rumah serta

gunakan shield mata protektif pada malam hari (Istiqomah, 2005).

2.7 Kerangka Konsep


Pertambahan Usia

1. Lensa mata mengalami penambahan diameter,berat dan


tebal kemampuan akomodasi menurun.

2.Gangguan metabolisme lensa perubahan


kandungan bahan-bahan yang ada di lensa terjadi
kekeruhan pada lensa kekeruhan berkembang
mengaburkan bayangan semu yang sampai pada lensa.

3.Serat baru diproduksi korteks kompresi sentral


serat lensa yang lebih tua serat lensa memadat
hilangnya tranparansi lensa

Katarak Senilis

Tajam penglihatan preoperasi

Teknik pembedahan :
1. Ekstraksi Katarak Intrakapsular (EKIK) ekstraksi lensa utuh serta
seluruh kapsul lensa

2. Ekstraksi Katarak Ekstrakapsular (EKEK) Ekstraksi lensa utuh


dengan meninggalkan bagian posterior dari kapsul lensa

3. Fakoemulsifikasi Meurpakan modifikasi dari teknik


extrakapsular , Fragmentasi nukleus lensa dengan gelombang ultrasonik,
sehingga hanya diperlukan insisi kecil
4. Intraocular Lens (IOL) Lensa mata penderita katarak diangkat,
diganti dengan lensa intraokular untuk memfokuskan penglihatan
21

Tajam penglihatan komplikasi


pascaoperasi sesuai WHO

Visus baik Visus sedang Visus buruk


6/6 - 6/18 <6/18 - 6/60 <6/60
Keterangan:
= diteliti
= tidak diteliti

(Astarini C, 2017).
BAB 3

METODE STUDI KASUS

3.1 Rancangan Studi Kasus

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta mengenai populasi secara

sistemis. Desain penelitian yang digunakan penelitian ini adalah dengan studi

kasus. Studi kasus merupakan rancangan penelitian yang mencakup pengkajian

satu unit penelitian secara intensif, misal satu pasien, keluarga, kelompok,

komunitas atau institusi (Nursalam dalam Nasrudin, 2019).

3.2 Subyek Studi Kasus

Subjek studi kasus keperawatan adalah individu, keluarga, komunitas

(kelompok), dan masyarakat. Subjek pada studi kasus yang jarang atau sulit

ditemui dalam kehidupan penulis dapat hanya satu orang saja, tetapi pada studi

kasus yang banyak atau sering terjadi harus ditetapkan minimal dua orang

(Suprajitno & Mugianti, 2018).

Subjek penelitian dalam penelitian ini sebanyak 7 subyek yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi :

a. Pasien terdiagnosis katarak senilis

b. Pasien 1 minggu pasca operasi katarak senilis pada bulan Maret 2020.

2. Kriteria Eksklusi :

a. Tidak datang pada saat evaluasi yang sudah ditentukan

22
23

3.3 Lokasi & Waktu Studi Kasus

Lokasi dilaksanakan studi kasus ini adalah di ruang poli mata RSUD

Mardi Waluyo Kota Blitar. Waktu yang digunakan pada studi kasus ini adalah

tanggal 1 Maret - 23 Maret 2020.

3.4 Fokus Studi Kasus

Fokus studi adalah kajian utama dari masalah yang akan dijadikan titik

acuan kegiatan studi kasus.

Fokus studi kasus pada penelitian ini adalah Gambaran Ketajaman

Penglihatan Pasien Pasca Operasi Katarak Senilis di Poli Mata RSUD Mardi

Waluyo meliputi:

a. Faktor yang mempengaruhi ketajaman penglihatan pasien pasca operasi

katarak senilis.

b. Keluhan sebelum operasi katarak dan setelah operasi katarak senilis

3.5 Definisi Operasional

Definisi Operasional pada penelitian ini adalah:

1. Katarak Senilis adalah proses kemunduran fungsi lensa secara bertahap

dikarenakan kekeruhan pada lensa mata. Sering kali disebabkan oleh

perubahan degeneratif pada orang-orang yang menginjak masa-masa usia

lanjut.

2. Standar tajam penglihatan menurut WHO dengan menggunakan Snellen chart,

yaitu tajam penglihatan baik adalah 6/6 sampai 6/18. Tajam penglihatan sedang

adalah kurang dari 6/18 sampai 6/60.


24

3.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini adalah wawancara, observasi dan rekam medis

pasien 1 minggu pasca operasi katarak senilis di ruang poli mata RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar pada tanggal 1 Maret-23 Maret 2020.

3.7 Pengumpulan Data

Langah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Peneliti mengajukan surat permohonan izin studi pendahuluan ke Ketua Prodi

D3 Keperawatan Blitar Poltekkes Kemenkes Malang.

2. Surat permohonan izin studi pendahuluan tanggal 26 November 2019 Nomor :

UM.01.05/3.5/8217/2019 tersebut ditujukan kepada Kepala Badan Kesatuan

Bangsa,Politik, dan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Blitar.

3. Peneliti menyerahkan surat tersebut kepada Kepala Badan Kesatuan

Bangsa,Politik, dan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Blitar tanggal 26

November 2019.

4. Peneliti mendapat surat rekomendasi studi pendahuluan dari Kepala Badan

Kesatuan Bangsa,Politik, dan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Blitar

tanggal 2 Desember 2019 dengan Nomor : 070/339/410.204/2019.

5. Setelah mendapat surat rekomendasi studi pendahuluan dari Kepala Badan

Kesatuan Bangsa,Politik, dan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Blitar

peneliti menyerahkan surat rekomendasi ke Badan Diklat RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar.

6. Peneliti melakukan koordinasi dengan petugas ruang Poli Mata RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar mengenai waktu studi pendahuluan dan pengambilan data

melalui rekam medis.


25

7. Peneliti menjelaskan maksud, tujuan, teknik pelaksanaan, kerahasiaan data, dan

manfaat dari penelitian kepada partisipan penelitian yang sudah terpilih.

8. Peneliti menentukan 7 subyek studi kasus sesuai dengan kriteria inklusi dan

eksklusi yang ditentukan.

9. Setelah mendapatkan penjelasan tentang penelitian dan partisipan menyetujui,

maka selanjutnya partisipan akan menandatangani informed concent sebagai

bukti persetujuan sebagai partisipan penelitian.

10. Peneliti mengambil data melalui rekam medis.

11. Setelah selesai melakukan pengambilan data, peneliti meminta surat

keterangan telah melaksanakan penelitian ke Badan Diklat RSUD Mardi

Waluyo Kota Blitar.

12. Data yang sudah terkumpul dilakukan analisis data yang didapat dari rekam

medis, kemudian diolah secara statistik dengan membuat ringkasan penelitian.

3.8 Analisis Studi Kasus

Analisis studi kasus mirip dengan analisis data kualitatif, dilakukan

dengan cara mengorganisasikan, memilah, mengelola, menyintesis, mencari, dan

menemukan pola data yang dipelajari dan memutuskan agar dapat diinformasikan

kepada orang lain. Analisis menggunakan kualitatif menggunakan silogisme

induktif yaitu suatu kegiatan analisis yang didasarkan pada fakta yang diperoleh

yang akhirnya ditarik kesimpulan. Tujuan induktif adalah memperkaya teori yang

ada bersumber fakta yang dipelajari dari studi kasus. Data yang diperoleh

selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif atau dalam bentuk uraian kalimat

(Suprajitno & Mugianti, 2018).


26

Hasil penelitian kualitatif dipandang memenuhi kriteria ilmiah jika

memiliki tingkat kepercayaan tertentu. Menurut Lincoln dan Guba, tingkat

kepercayaan hasil penelitian dapat dicapai jika peneliti berpegang pada 4 prinsip,

yaitu : credibility, dependability, corfirmability, dan transferability (Sudarwan

Danim dan Darwis dalam Nasrudin J, 2019).

a. Credibility

credibility atau prinsip kredibilitas menunjuk pada apakah kebenaran

penelitian kualitatif dapat dipercaya, dalam makna dapat mengungkapkan

kenyataan yang sesungguhnya. Untuk memenuhi kriteria ini peneliti perlu

melakukan triaggulasi, member check, wawancara atau pengamatan secara terus

menerus hingga mencapai tingkat redundancy.

Secara lebih spesifik, kredibilitas hasil penelitian kualitatif dapat dicapai

dengan beberapa cara, yaitu :

1. Peneliti tinggal cukup lama pada situasi penelitian.

2. Observasi dilakukan secara berlanjut dan cermat.

3. Melihat fenomena dari berbagai sudut pandang.

4. Diskusi dengan sejawat.

5. Analisis kasus negatif.

b. Dependebility

Prinsip dependabilitas merujuk pada apakah hasil penelitian memiliki

keandalan atau reliabilitas. Prinsip ini dapat dipenuhi dengan cara

mempertahankan konsistensi teknik pengumpulan data, dalam menggunakan

konsep, dan membuat tafsiran atas fenomena.


27

c. Comfirmability

Prinsip konfirmabilitas menunjuk pada sangat perlunya upaya untuk

mengkonfirmasikan bahwa temuan yang telah diperoleh dapat dipercaya

kebenarannya. Untuk memenuhi prinsip ini, peneliti dapat melakukan berbagai

cara, yaitu :

1. Mengundang berbagai pihak untuk mendiskusikan temuan dan draf

hasil penelitian.

2. Mendatangi pihak-pihak tertentu untuk melakukan audit trial, berupa

jejak atau sistematika kerja penelitian yang dapat dilacak dan diikuti, serta

melakukan proses kerja secara sistematis dan terdokumentasi, serta

memeriksa secara teliti setiap langkah kerja penelitian.

3. Mengonfirmasikan hasil penelitian dengan para ahli, khususnya para

promoter.

d. Transferability

Prinsip transferabilitas mengandung makna apakah hasil penelitian ini

dapat digeneralisasikan atau diaplikasikan pada situasi lain. Berkenaan dengan hal

ini hasil penelitian kualitatif tidak secara apriori dapat digeneralisasikan, kecuali

situasi tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan situasi lapangan tempat

penelitian. Dengan demikian upaya untuk menstransfer hasil penelitian kualitatif

pada situasi yang berbeda sangat mungkin namun memerlukan penyesuaian

menurut keadaan dan asumsi yang mendasarinya.

3.9 Etika Studi Kasus

Sedangkan menurut Suprajitno & Mugianti (2018), setiap menyusun studi

kasus, periset harus menerapkan etik riset. Etik menyusun studi kasus bertujuan
28

untuk menghargai hak dan martabat manusia sebagai subjek, memberikan yang

terbaik dan bersikap adil. Etik melakukan riset secara prinsip adalah adil (justice),

baik (benefience) dan hormat (respect for persons). Adil berarti setiap subjek yang

berperan dalam studi kasus mendapat perlakuan yang ssama sesuai yang telah

disusun dalam proposal, termasuk hak subjek dan mempertimangkan niali moral.

Baik berarti segala yang dilakukan periset tidak menimbulkan kerugian subjek,

mengutamakan manfaat hasil riset, dan meminimalkan risiko. Hormat berarti

menghormati hak subjek untuk menentukan keterlibatan dalam studi kasus dan

melindungi subjek yang memiliki ketergantungan (dependent) serta rentan

(vurnerable). Etik studi kasus ini harus dilakukan periset sebelum, selama dan

setelah melakukan studi kasus. Etik ini tidak berkonsekuensi secara hukum, tetapi

bersifat sanksi moral individu periset (self-morality sanction). Meski etik

menyusun studi kasus telah dimiliki dan dilakukan periset, sebelum melakukan

pengumpulan data harus mendapatkan persetujuan dari subjek setelah mendapat

persetujuan (informed consent).


DAFTAR PUSTAKA

Asmara, Anak A.G.A, P. B. dan N. K. N. S. (2019). Hasil tajam pengelihatan


pasca operasi katarak senilis di RSUP Sanglah Denpasar periode Oktober
2016 - Juni 2017. Intisari Sains Medis, 10(2), 263–267.
https://doi.org/10.15562/ism.v10i2.187

Astarini, C. (2017). Penilaian Tajam Penglihatan Pasien Pascaoperasi


Fakoemulsifikasi Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Yogyakarta. 25–26.
Diperoleh dari http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/16245

Feriyani, Saida, A., & Chayati, N. E. (2018). Gambaran Ketajaman Penglihatan


Pasca Bedah Katarak di Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Banda Aceh
Tahun 2016. Jurnal Aceh Medika, 2(1), 43–50.
http://jurnal.abulyatama.ac.id/index.php/acehmedika/article/view/158

Firdaus, A. T. (2017). Visual outcome of post phacoemulsification cataract


surgery patients in rsup dr sardjito yogyakarta aufar tirta firdaus. 1–5.
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_i
d=112175&obyek_id=4

Hutauruk, J. A. & S. R. S. (2017). Katarak 101 Jawaban Atas Pertanyaan Anda.


https://books.google.co.id/books?
id=J988DwAAQBAJ&pg=PA50&dq=katarak+adalah&hl=id&sa=X&ved=0
ahUKEwjPoMma_dXkAhVHWX0KHeoYDmkQ6AEILTAA#v=onepage&q
=katarak adalah&f=false
Kemenkes. (2014). Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.
http://www.depkes.go.id/article/view/15021800005/situasi-gangguan-
penglihatan-dan-kebutaan.html (9 Oktober 2014)

Kemenkes. (2017). Deteksi Dini “Pupil Mata Putih” Cegah Kebutaan Pada
Anak. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=17020600001 (05 Februari 2017)

Kemenkes. (2018). Katarak Penyumbang Kebutaan Terbesar.


http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=18090900003 (30 Agustus 2018)

Wildan, A. dan W. (2014). Perbedaan Hasil Retinometri Pra Bedah Dengan


Pasca Bedah Katarak. 36(September), 19–24.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/mmm/article/view/2598

Nasrudin J. (2019). Metodologi Penelitain Pendidikan. Bandung: Panca Terra


Firma.

Tanto, C et al., (2014). Kapita Selekta Kedokteran edisi IV Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

Suprajitno & Mugianti. (2018). Studi Kasus Sebagai Riset Panduan Menulis bagi
Mahasiswa Diploma 3 Kesehatan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

29
Istiqomah. (2005). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata. Jakarta: Buku

29
30

Kedokteran EGC.

Budiono, S., Saleh, T. T., Moestijab, & Eddyanto. (2013). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press. Diperoleh dari
https://books.google.co.id/books?
id=HcKlDwAAQBAJ&pg=PA80&lpg=PA80&dq=Lensa+termasuk+dalam
+segmen+anterior+mata+dan+terletak+di+bagian+tengah+bola+mata+dibat
asi+bagian+depan+oleh+iris+dan+bagian+blakang+oleh+vitreus.
+Lensa+dipertahankan+posisinya+oleh+zon

Djing, oie gin. (2007). Terapi mata dengan pijat dan ramuan. Diperoleh dari
https://books.google.com/books?
id=CJ7Vk_jwvAoC&pg=PA22&dq=katarak+senilis&hl=en&newbks=1&ne
wbks_redir=0&sa=X&ved=2ahUKEwjy7OSul_3lAhUkwFkKHW6JCvMQ6
AEwAXoECAIQAg#v=onepage&q=katarak senilis&f=false

Effendi I.K. (2017). Prevalensi Dan Faktor Risiko Usia Dan Visus Sebelum
Operasi Dengan Kejadian Komplikasi Intraoperatif Pada Operasi Ekek
Pasien Katarak Senilis Di Rsup Fatmawati Tahun 2015-2017. Universitas
Nusantara PGRI Kediri, 1, 1–7. Diperoleh dari http://www.albayan.ae

James, Bruce; Chew, Chris; Bron, A. (2006). Oftalmologi Ed. 9. Erlangga.


Diperoleh dari https://books.google.com/books?id=X8pF13DaF-
YC&pg=PA82&dq=Teknik-
teknik+modern+dalam+ekstraksi+katarak+dihubungkan+dengan+rendahnya
+tingkat+komplikasi+ini.
+Tingkat+komplikasi+ini+bertambah+bila+terdapat+kehilangan+vitreous&h
l=en&newbks=1&newbks_redir=0&sa

Khomsan, A. (2009). Rahasia Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Jakarta : Buku


Kompas. Diperoleh dari https://books.google.co.id/books?
id=lPu7OxsLCoEC&pg=PA120&dq=katarak+senilis+adalah&hl=en&newbk
s=1&newbks_redir=0&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=katarak senilis
adalah&f=false
30

Anda mungkin juga menyukai