Anda di halaman 1dari 40

TUGAS KELOMPOK KEPERAWATAN KRITIS

ANALISA JURNAL PERITONITIS

OLEH:

KELOMPOK 8 NPA

1. RISKA SILVIA (1810083)

2. SANDRA VERNITA LESMANA (1810085)

3. SELLA SILVIANING PAMUNGKAS (1810087)

4. SEPTI PERMATASARI (1810089)

5. SHANIA KARTIKA DEWI M (1810091)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH

SURABAYA

2021
Aditya Y. Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan (2019);3(1):1-12

Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

ARTIKEL PENELITIAN

PERBANDINGAN NILAI PREDIKTIF MANNHEIM PERITONITIS INDEX (MPI)


DENGAN ACUTE PHYSIOLOGY AND CHRONIC HEATH EVALUATION
(APACHE) II DALAM MEMPREDIKSI MORTALITAS PERITONITIS SEKUNDER
AKIBAT PERFORASI ORGAN BERONGGA

(COMPARISON OF PREDICTIVE VALUE OF MANNHEIM


PERITONITIS INDEX (MPI) WITH ACUTE PHYSIOLOGY AND
CHRONIC HEATH EVALUATION (APACHE) II IN PREDICTING
THE SECONDARY PERITONITICAL MORTALITY)

Yan Aditya1, Reno Rudiman2,Tommy Ruchimat 2


1
Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung,
2
Divisi Ilmu Bedah Digestif Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Hasan

Sadikin Bandung Email korespondensi : dr.yanaditya@gmail.com

ABSTRAK
Peritonitis merupakan kasus kegawatdaruratan yang sering ditemui dengan
angka mortalitas tinggi. Sistem skoring diperlukan untuk menilai derajat
kesakitan serta prediksi mortalitas pada kasus peritonitis. Instrumen ini juga
digunakan untuk menilai efektivitas berbagai modalitas terapi yang diberikan
dan perawatan yang dilakukan. Skor APACHE II merupakan instrumen
objektif yang didasari penilaian status fisiologis pasien. Skor Mannheim
Peritonitis Index (MPI) merupakan sistem skoring yang mudah dan sederhana
didasari oleh faktor-faktor risiko yang berkorelasi dengan mortalitas
peritonitis. Penelitian ini bersifat studi analitik dengan rancangan penelitian
prospektif observasional dengan pendekatan kohort untuk membandingkan
skor MPI dengan skor APACHE II dalam memprediksi mortalitas peritonitis
sekunder akibat perforasi organ berongga. Sebanyak 87 pasien yang
memenuhi dari kriteria inklusi memiliki rerata usia 40,26+ 18,95 tahun. Angka
kematian didapatkan sebesar 13,79%, Nilai AUC (area under the curve) skor
APACHE II yang diperoleh dari kurva ROC adalah sebesar 92,9%, dengan
nilai cut off 11,5, sensitivitas 91,7%, spesifitas 86.7%, nilai duga positif (NDP)
52,4% Nilai duga negatif (NDN) 98,5%, dan akurasi sebesar 87,4%. Skor
MPI memiliki nilai AUC 93,7% dengan nilai cut off sebesar 30,5,
sensitivitas
Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

83,3%, spesifitas 85,3%, NDP 47,6%, NDN 96,9%, dan akurasi sebesar 85,1%. Hasil uji Chi
Square didapatkan perbedaan yang bermakna pada cut-off APACHE II dan MPI dalam
menilai mortalitas pada peritonitis sekunder akibat perforasi organ berongga dengan
P=0,0001. Skor APACHE II memiliki nilai prediktif lebih tinggi dibandingkan dengan skor
MPI dalam memprediksi mortalitas peritonitis sekunder akibat perforasi organ berongga.
Kata kunci: APACHE II, Mannheim Peritonitis Index(MPI), peritonitis.

ABSTRACT
Peritonitis is an emergency case with high mortality rates. Scoring systems are needed to
assess high risk patient and predict mortality in cases of peritonitis. This instrument is also
used to assess the effectiveness of various therapeutic modalities that are given and the
treatments performed. The APACHE II score is an objective instrument based on physiology
state to predict peritonitis mortality. The Mannheim Peritonitis Index (MPI) score is a scoring
system based to correlating factors predicting peritonitis mortality, and it is easy and simple.
This study was an analytical study with a prospective observational analytical with cohort
design to compare MPI scores with APACHE II scores in predicting mortality in secondary
peritonitis due to perforation of hollow viscous. 87 patients who met the inclusion criteria,
average age of 40.26+18.95, with mortality rate of 13.79%, the AUC (area under the curve)
APACHE II score obtained from the ROC curve is 92.9%, with a cut off value of 11.5, sensitivity
of 91.7%, specificity of 86.7%, positive predictive value (PPV) 52.4%, negative predictive value
(NPV) 98.5%, and accuracy to 87.4%. AUC of MPI score is 93.7%, cut off value of 30.5,
sensitivity 83.3%, specificity 85.3%, PPV 47.6%, NPV 96.9%, and accuracy of 85.1%. Chi
Square test found significant difference between cut off APACHE II and MPI to Mortality
P=0,0001. The APACHE II score had a higher predictive point then the MPI score in predicting
mortality of peritonitis secondary to perforation of hollow viscous.

Keywords: APACHE II, Mannheim Peritonitis Index(MPI), peritonitis.

PENDAHULUAN secara agresif, meskipun telah terdapat


Peritonitis hingga saat ini masih pemahaman tentang patofisiologi yang
merupakan suatu keadaan yang potensial baik, kemajuan dalam menegakkan
menjadi fatal, bila tidak dilakukan terapi

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 2


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

diagnostik, tehnik pembedahan, terapi


antimikroba, dan perawatan intensif.1-5
Insidensi peritonitis di Amerika Serikat
mencapai 750.000 kasus setiap tahunnya
dengan angka mortalitas sebesar 3,6 %.
Di
Indonesia pada tahun 2008 jumlah pasien

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 3


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

yang menderita penyakit peritonitis risiko dan prediksi prognosis penderita.


berjumlah sekitar 7% dari jumlah Menurut Kumar P dkk, skor APACHE II
penduduk di Indonesia atau sekitar memiliki sensitifitas 85%, dan spesifisitas
2,6
179.000 kasus pertahun. Tingginya 100%. Kendala yang dihadapi dalam
mortalitas kasus peritonitis ini mendorong menerapkan sistem skor APACHE II
penulis untuk mengetahui skor prognosis adalah banyaknya parameter laboratorium
peritonitis yang akurat dan sederhana. yang diperiksa, memerlukan waktu yang
Evaluasi prognostik dini terhadap lama dan relatif mahal.9,11 Pada tahun 1987
peritonitis dimaksudkan untuk mengenali Wacha dan Linder mempublikasikan
pasien dengan risiko mortalitas yang lebih sistem skor yang lebih sederhana yang
tinggi, serta sebagai panduan untuk dikenal sebagai Mannheim Peritonitis
mengambil keputusan kelanjutan terapi Index (MPI). Skor ini dibuat berdasarkan 8
pasien dan prosedur terapeutik yang lebih faktor risiko (usia, jenis kelamin,
7,8
agresif. kegagalan organ, keganasan, durasi
Sistem skoring yang paling banyak preoperatif, asal perforasi organ, luas
digunakan berbagai senter untuk menilai peritonitis dan karakter cairan peritoneum)
mortalitas pada peritonitis adalah skor yang relevan terhadap prognosis. Menurut
APACHE II yang diajukan oleh Knaus WA Kumar P dkk, sensitivitas MPI 100% dan
dkk pada tahun 1985 untuk menilai spesifisitas MPI 91%. Penentuan skor
keadaan penderita dalam kaitannya dengan berdasarkan faktor risiko klinis yang rutin
evaluasi perkembangan penderita pre dan ditemukan dalam rekam medis preoperatif
post operasi secara umum dan cara dan intraoperatif. MPI lebih sederhana
penanganan serta perawatan di ICU, dibandingkan APACHE II dalam prediksi
selanjutnya skoring ini digunakan untuk mortalitas pasien dengan peritonitis
menilai prognosis penderita dengan sekunder, sehingga klinisi dapat lebih
peritonitis generalisata dan telah dijadikan mudah dan lebih cepat memprediksi
baku emas untuk menilai hasil luaran mortalitas dan melakukan tindakan yang
peritonitis oleh Surgical Infection Society lebih agresif. Kelemahan skor ini adalah
9,10
(SIS). Skor ini diperoleh dengan beberapa paramater harus diambil secara
menggabungkan 12 variabel fisiologis akut intraoperatif.12,13,14 Skor MPI diharapkan
dengan usia dan status kesehatan kronik dapat menjadi alternatif dengan parameter
dalam 24 jam pertama, sehingga yang lebih sederhana, praktis, dan dapat
merupakan stratifikasi awal untuk faktor dilakukan di rumah sakit perifer dengan

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 4


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

tetap memiliki akurasi yang baik sebagai Darurat RSUP Hasan Sadikin dengan
prediktor mortalitas pasien. Tujuan diagnosis klinis peritonitis akibat perforasi
penelitian ini adalah untuk organ berongga yang dikonfirmasi dengan
membandingkan nilai prediktif skoring hasil temuan operasi. Semua pasien dengan
MPI dengan APACHE II dalam diagnosis peritonitis akibat perforasi organ
memprediksi mortalitas pasien dengan berongga dan memenuhi kriteria inklusi
diagnosis peritonitis akibat perforasi organ yang masuk ke IGD Bedah RSUP Hasan
11,15
berongga. Sadikin yang dikonfirmasi dengan temuan
intra-operatif dilakukan penghitungan skor
BAHAN DAN METODE APACHE II dan dilakukan penghitungan
Penelitian ini dilakukan di bagian skor MPI. Selanjutnya pada 30 hari
Subdivisi Bedah Digestif RSUP dr. Hasan paskaoperasi dilihat apakah pasien hidup
Sadikin Bandung pada bulan Februari 2017 atau meninggal. Setelah seluruh data yang
sampai jumlah sampel minimal terpenuhi. terkumpul kemudian dilakukan uji
Metode penelitian ini adalah studi analitik statistik. Penelitian ini dilaksanakan setelah
dengan rancangan penelitian prospektif mendapatkan persetujuan dan rekomendasi
observasional analitik dengan pendekatan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
kohort. Subjek penelitian ini adalah pasien Fakultas Kedokteran Universitas
yang masuk di Instalasi Gawat Darurat Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin
RSUP Hasan Sadikin dengan diagnosis Bandung
klinis peritonitis akibat perforasi organ
berongga. Besar sampel ditentukan HASIL DAN PEMBAHASAN
berdasarkan taraf kepercayaan 95%, nilai Telah dilakukan penelitian dengan
referensi sensitivitas yang diharapkan subjek penelitian adalah pasien yang
sebesar 87% dan besarnya presisi 10%, dan datang ke Instalasi Gawat Darurat Bedah
didapatkan minimum jumlah sampel 87 RSHS pada bulan Februari sampai dengan
pasien. Pengambilan sampel dilakukan Juli 2018, dengan dengan diagnosis klinis
secara consecutive sampling, berdasarkan peritonitis akibat perforasi organ berongga
urutan pendaftaran ke Instalasi Gawat yang dikonfirmasi dengan hasil temuan
Darurat (IGD) Bedah RSUP Dr. Hasan operasi. Tabel 1 menjelaskan karakteristik
Sadikin Bandung. Kriteria inklusi adalah pasien yang menjadi subjek penelitian.
pasien dengan usia lebih atau sama dengan Pada Tabel 1, didapatkan rasio laki-laki :
19 tahun yang masuk di Instalasi Gawat perempuan 1,8 : 1. Ahuja dkk dalam

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 5


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

penelitiannya di India mendapatkan usia yang cukup tinggi pada kelompok usia
rerata pasien 38,68 dengan rasio laki-laki : tersebut. Batas ambang fisiologi pada usia
perempuan 1,6:1. Rerata usia subjek tua meningkat pada fungsi kardiovaskular,
penelitian ini adalah 40,26 tahun. Usia pernafasan dan ginjal.11 Peritonitis
merupakan faktor penting terhadap sekunder terjadi akibat kontaminasi rongga
prognosis pasien, pada usia tua toleransi peritoneum yang steril terhadap
tubuh terhadap kejadian peritonitis mikroorganisme yang berasal dari traktus
berkurang yang ditunjukkan dalam gastrointestinal atau traktus genitourinarius
penelitian ini terdapat angka mortalitas ke dalam rongga abdomen.

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Hasil n=87


Jenis Kelamin
Laki-laki 56(64,37%)
Perempuan 31(35,63%)

Usia (tahun)
Rerata±Std 40,26+ 18,95
Median 65,50
Range (min-max) 18-80

Etiologi
Perforasi Appendiks 48(55,2%)
Perforasi Ulkus Peptikum 16 (18,4%)
Trauma Tumpul Abdomen 8 (9,3%)
Perforasi Tumor 6 (6,9%)
Perforasi Thypoid 5 (5,8%)
Perforasi Divertikel 1 (1,1%)
Perforasi Volvulus 1 (1,1%)
Hernia Strangulata 1 (1,1%)
Perforasi Colitis 1 (1,1%)

Luaran
Hidup 75 (86, 21%)
Meninggal 12 (13,79%)

Pada penelitian ini etiologi peritonitis ini sesuai dengan literatur dimana pada
sekunder yang terjadi adalah akibat negara berkembang, etiologi peritonitis
kontaminasi dari traktus gastrointestinal, sekunder yang paling umum, antara lain
dan tidak didapatkan kasus dengan apendisitis perforasi, perforasi ulkus
kontaminasi dari traktus urogenital. Hal
MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 6
Yan Aditya :dan
peptikum, Perbandingan
perforasi Nilai Prediktif
tifoid. 2,3,4,5 Mannheim…
Hasil

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 7


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

perbandingan antara Skor APACHE II penelitian ini tampak pada Tabel 2.


dengan hasil luaran yang didapatkan pada

Tabel 2 Perbandingan antara Skor APACHE II dengan Hasil Luaran

Skor Luaran
APACHE II Hidup Meninggal Nilai P
N=75 N=12
Mean±Std 7,57±3,317 14,66±2,741 0,0001**
Median 7,00 15.00
Range (min-max) 3,00-16,00 7,00-17,00

Pada Tabel 2 didapatkan rerata skor


didapatkan P = 0,0001 (nilai P<0.05) yang
APACHE II untuk luaran pasien hidup,
berarti signifikan atau bermakna secara
sebesar 7,57 ± 3,317. Pada luaran pasien
statistik dengan demikian dapat dijelaskan
meninggal, didapatkan rerata skor
bahwa terdapat perbedaan proporsi yang
APACHE II adalah 14,66 ± 27,41. Rerata
signifikan secara statistik antara variabel
ini lebih rendah dari penelitian Kumar dkk
Skor MPI pada kelompok luaran yaitu
,yang mendapatkan rerata skor APACHE
mortalitas. Grafik 1 menunjukkan cut-off
II pada pasien hidup adalah 8,66, dan
untuk skor APACHE II. Berdasarkan
rerata pada kelompok yang meninggal
perhitungan dari kurva ROC sesuai grafik
adalah 14,67. Rerata skor APACHE II
1 didapatkan cut-off untuk skor Skor
terhadap luaran mortalitas diuji dengan
APACHE II adalah 11,5.
menggunakan uji Chi-Square dan

Grafik 1 Kurva ROC Skor APACHE II pada Mortalitas

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 8


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Nilai AUC (area under the curve) skor bermakna secara statistik. Tabel 3
APACHE II yang diperoleh dari kurva menunjukkan perbandingan cut-off skor
ROC adalah sebesar 92.9% dengan APACHE II.
p=0,0001 yang berarti skor APACHE II

Tabel 3 Perbandingan Cut Off Skor APACHE II terhadap Hasil Luaran

Skor Apache II Kelompok


Meninggal Pasien Hidup Nilai P
N=12 N=75
> 11,5 11(91,7%) 10(13,3%) 0,0001
<11,5 1(8,3%) 65(86,7%)

Pada Tabel 3 hasil analisis data cut-


yang sangat lemah secara statistik
off APACHE II terhadap hasil luaran
sedangkan Nilai Duga Negatif (NDN)
dengan menggunakan uji Chi-Square
sangat kuat yaitu sebesar 98.5% pada uji
didapatkan nilai P = 0,0001 (nilai P<0.05)
diagnostik ini. Nilai akurasi sebesar 87.4%
yang berarti signifikan atau bermakna
menunjukkan tingkat nilai akurasi yang
secara statistik dengan demikian dapat
kuat secara statistik. Pada penelitian
dijelaskan bahwa terdapat perbedaan
terdahulu Dino dkk menyebutkan
proporsi yang signifikan secara statistik
sensitivitas APACHE II sebesar 82,5%
antara variabel Skor APACHE II pada
Spesifitas sebesar 55,2% Nilai Duga
kelompok pasien Meninggal dan pasien
Positif (NDP) sebesar 54,7% Nilai Duga
Hidup.
Negatif (NDN) sebesar 82,8% Nilai
Pada penelitian ini untuk skor
akurasi sebesar 66%, sementara Das dkk,
APACHE II didapatkan Nilai Sensitivitas
menyebutkan Sensitivitas APACHE II
91,7 % dimana ini menunjukkan nilai
sebesar 100% Nilai Spesifitas sebesar
Sensitivitas yang Sangat kuat secara
85%.8,11 Skor MPI rerata ditunjukkan pada
statistik, sedangkan Nilai Spesifitas sebesar
tabel 4. Pada Tabel 4 Skor MPI memiliki
86,7% menunjukkan nilai Spesifitas yang
rerata 21,70±6,055 untuk hasil luaran
kuat secara statistik. Untuk Nilai Duga
hidup dan 35,25±5,941 untuk hasil luaran
Positif (NDP) di atas yaitu sebesar 52.4%
meninggal.
menunjukkan nilai Duga Positif (NDP)

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 9


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Tabel 4 Perbandingan antara Skor MPI dengan Hasil Luaran


Luaran
Skor MPI Hidup Meninggal Nilai P
N=75 N=12
Mean±Std 21,70±6.055 35,25±5,941 0,0001
Median 21,00 34,50
Range (min-max) 14,00-34,00 26,00-43,00

Uji Mann Whitney pada kelompok


Pasien meninggal dan pasien hidup.
penelitian di atas diperoleh informasi nilai
Kemampuan diskriminasi dari sistem skor
P = 0,0001 (nilai P<0,05) yang berarti
MPI dalam memprediksi mortalitas
terdapat perbedaan rerata yang signifikan
ditampilkan dalam Grafik 2.
antara variabel Skor MPI pada kelompok

Grafik 2 Kurva ROC Skor MPI pada Mortalitas

Berdasarkan hasil Analisis Kurva 30,5. Tabel 5 memperlihatkan cut off untuk
ROC pada Grafik 2, kemampuan skor Skor MPI adalah 30,5 . Hasil analisis
diskriminasi dari sistem skor MPI dalam data cut off MPI terhadap hasil luaran
memprediksi mortalitas adalah sebesar dengan menggunakan uji Chi-Square
93,7 % dengan p= 0,0001. Dari hasil didapatkan nilai P=0,0001 yang berarti
analisis kurva ROC skor MPI terhadap signifikan atau bermakna secara statistik.
mortalitas diperoleh nilai cut-off sebesar

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 10


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Tabel 5. Perbandingan cut off Skor MPI terhadap hasil luaran

Kelompok
Skor MPI Meninggal Pasien Hidup Nilai P
N=12 N=75
> 30,5 10(83,3%) 11(14,7%) 0,0001
< 30,5 2(16,7%) 64(85,3%)

Skor MPI didapatkan Nilai sebesar 90,62% Nilai Spesifitas sebesar


Sensitivitas 83,3%, dan ini menunjukkan 91,7% Nilai Duga Positif (NDP) sebesar
nilai sensitivitas yang sangat kuat secara 67,44% Nilai Duga Negatif (NDN) sebesar
statistik, sedangkan nilai spesifitas sebesar 98,12 %.
85,3 % menunjukkan nilai spesifitas yang Analisis pada data kategorik pada
kuat secara statistik. Untuk Nilai Duga Tabel 6 diuji dengan menggunakan uji
Positif (NDP) di atas yaitu sebesar 47,6% statistika Chi-Square. Hasil uji statistik
menunjukkan Nilai Duga Positif (NDP) pada kelompok penelitian diatas diperoleh
yang sangat lemah secara statistik informasi nilai P=0,0001 pada variabel
sedangkan Nilai Duga Negatif (NDN) Skor MPI lebih kecil dari yang berarti
sangat kuat yaitu sebesar 96,9% pada uji signifikan atau bermakna secara statistik
diagnostik ini. Nilai akurasi sebesar 85,1% dengan demikian dapat dijelaskan bahwa
menunjukkan tingkat nilai akurasi yang terdapat perbedaan proporsi yang
kuat secara statistik. Pada penelitian Dani signifikan secara statistik antara variabel
dkk dkk didapatkan Nilai Sensitivitas MPI Skor MPI pada Skor Apache II.

Tabel 6 Perbandingan Skor MPI dan Skor APACHE II


APACHE II
Variabel >11.5 <11.5 Nilai P
N=21 N=66
MPI 0,0001
> 30,5 17(81,0%) 4(6,1%)
<30,5 4(19,0%) 62(93,9%)

Dalam penelitian ini meskipun berongga, namun kedua skor menunjukkan


tingkat akurasi APACHE II (87,4%) lebih nilai akurasi yang kuat secara statistik.
tinggi dari MPI (85,1%) dalam Peningkatan skor pada pada kedua sistem
memprediksi mortalitas pada pasien skoring ini akan meningkatkan peluang
peritonitis difus akibat perforasi organ mortalitas yang juga meningkat. Skor
MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 11
Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

APACHE II berkorelasi lebih superior kejadian infeksi nosokomial (seperti HAP


dalam memprediksi mortalitas terlihat dari atau Hospital Acquired Pneumonia ) juga
nilai sensitifitas, spesifisitas, nilai duga turut menyumbang kontribusi yang cukup
positif, nilai duga negatif dan akurasi yang tinggi. Pada penelitian ini didapatkan 12
lebih tinggi hal ini karena Skor APACHE pasien (13,79%) meninggal dunia, yang
II mempertimbangkan status fisiologis mana penyebab mortalitasnya tidak dapat
pasien sebagai variabelnya. Keunggulan diketahui karena tidak dilakukan observasi
lain dari skor APACHE II adalah penilaian selama perawatan.14
dapat dilakukan sebelum dilakukan
operasi, namun skor APACHE II tidak KESIMPULAN
mempertimbangkan etiologi peritonitis Pada penelitian ini untuk
atau sifat kontaminasi peritoneal, yang didapatkan skor APACHE II berbeda
memiliki pengaruh penting pada hasil secara bermakna dengan skor MPI. Skor
luaran. Variabel yang dinilai pada skoring APACHE II lebih superior dari skor MPI,
APACHE II juga tidak sesederhana pada dalam menilai mortalitas pada kasus
sistem skoring MPI, skoring APACHE II peritonitis, namun demikian, kedua skor
ini lebih rumit dalam pengerjaannya dan memiliki akurasi yang baik dalam menilai
membutuhkan pemeriksaan laboratorium mortalitas pada peritonitis sekunder akibat
yang tidak sederhana. Skor MPI, meskipun perforasi organ berongga.
mudah diterapkan dan tetap akurat dalam
memprediksi mortalitas, namun tidak
menilai status fisiologis pasien, dan DAFTAR PUSTAKA
memerlukan temuan intraoperasi sebagai
1. Chakma SM, Singh RL, Parmekar
variabel penilaiannya, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai skoring preoperatif.11,13 MV, Singh KGH, Kapa B,

Keterbatasan dari penelitian ini Sharatchandra KH, et al. Spectrum

adalah tidak dapat dianalisisnya penyebab of Perforation Peritonitis. Journal


mortalitas pada pasien peritonitis sekunder of Clinical and Diagnostic Research,
akibat perforasi organ berongga. Penyebab 2013; 7(11):2
mortalitas yang paling sering terjadi pada 2. Bali RS, Verma S, Agarwal PN, Singh
pasien dengan sepsis berat adalah R, Talwal N. Perforation Peritonitis
kegagalan multiorgan, terutama and The Developing World. ISRN Su
respiratory failure. Penyebab lain seperti KMr, Kaoro M,

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 12


Yan Aditya : Perbandingan NilaiClinical,
MoussaEtiological, Prediktif Mannheim…
and

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 13


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Therapeutic Aspects of Acute POSSUM and SAPS II Scoring


Generalized Peritonitis. N'Djamena,
Chad. Medecine et Sante
Tropicales. 2017; 27(3):270-3.
3. Choua O, Ali MM, Kaboro M,
Moussa KM, Anour M. Etiological,
Clinical, and Therapeutic Aspects of
Acute Generalized Peritonitis.
N'Djamena, Chad. Medecine et
Sante Tropicales. 2017; 27(3):270-
3.
4. Borley, NR.Abdomen and Pelvis
in:Stranding S, Ed.Gray’s Anatomy.
40. London: Churchill Livingstone El
Seviere, 2008.62-67
.5. Fauci AS, Jameson JL, Kasper DL,
Hauser SL, Longo DL, Loszalzo J.
Appendicities and Peritonitis
in:Silen W, Ed.Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18.
New York: The McGraw Hill
Companies,2012.300
6. Depkes RI. Profil Kesehatan
Indonesia. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik
Indonesia.2009.
7. Ahuja A, Pal R. Prognostic Scoring
Indicator in Evaluation Of Clinical
Outcome in Intestinal Perforation.
Journal of Clinical and Diagnostic
Research. 2013.;7(9):2.
8. Das K, Comparison of APACHE II, P-

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 14


Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…
Systems in Patients Underwent
Planned Laparotomies due to
Secondary Peritonitis. Annali
Italiani di Chirurgia;2014.
85(1):16-21.
9. Knaus WA DE, Wagner DP,
Zimmerman JE. APACHE II:
aASeverity of
Disease Classification System.
Critical Care Medicine;1985.
8(12):11.
10. Viehl CT, Kraus R, Zucher M, Ernst
T, Oertii D, Kettelhack C. The
Acute Physiology and Chronic
Health Evaluation II score is
helpful in predicting the need of
relaparotomies in patients with
secondary peritonitis of colorectal
origin. Swiss
Medical Weekly;2012. 142:13640.
11. Kumar P, Singh K, Kumar A.
comparative study between
Mannheim peritonitis index and
APACHE II in Predicting The
Outcome in Patients ofPeritonitis
due to Hollow Viscous Perforation.
International
Surgery Journal;2017.4(3):6.
12. Malik AA, Wani KA, Dar LA, Wani
MA, Wani RA, Parray FQ.
Mannheim Peritonitis Index and
APACHE II - Prediction ofOutcome
in Patients With Peritonitis.
Turkish Journal of
MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 15
Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 16


Trauma & Emergency Surgery;2010.16(1):6.
13. Dani T RT, Nair R , Sharma D. Evaluation of Prognosis in Patients’ with
Perforation Peritonitis Using Mannheim’s Peritonitis Index.
International Journal of Scientific and Research
Publications;2015.5(5):35.
14. Sharma R, Xie B, Campbell MK, Penava D, HaD, Pope CJ.

Prospective Study Evaluating Utility of Mannheim Peritonitis Index In


Predicting Prognosis Of Perforation Peritonitis. Journal of Natural
Science, Biology, and Medicine;2015.6: 49-52.
15. Mughni A, Riwanto I. Sensitivitas Indeks Peritonitis Mannheim Pada
Pasien Peritonitis Generalisata Dewasa di RSUP dr. Kariadi. Media
Medika Muda;2016.2(2):8.
No. Judul,Peneliti/Penulis Jenis/Metode Sampel/Responden Instrumen Variabel Hasil Temuan
dan Tahun Penelitian Penelitian
1. Perbandingan Nilai Prediktif Metode penelitian ini Pasien yang masuk Semua pasien 1. Perbandingan Tingkat akurasi APACHE II
Mannheim Peritonitis Index adalah studi analitik di Instalasi Gawat dengan diagnosis Nilai Prediktif (87,4%) lebih tinggi dari MPI
(MPI) Dengan Acute dengan rancangan Darurat RSUP Hasan peritonitis akibat Mannheim (85,1%) dalam memprediksi
Physiology And Chronic penelitian prospektif Sadikin dengan perforasi organ Peritonitis mortalitas pada pasien peritonitis
Heath Evaluation (Apache) II observasional analitik diagnosis klinis berongga dan Index (MPI) difus akibat perforasi organ
dalam Memprediksi dengan pendekatan peritonitis akibat memenuhi kriteria (independent) berongga, namun kedua skor
Mortalitas Peritonitis kohort. perforasi organ inklusi yang 2. Acute menunjukkan nilai akurasi yang
Sekunder Akibat Perforasi berongga. Besar masuk ke IGD Physiology kuat secara statistik. Peningkatan
Organ Berongga sampel ditentukan Bedah RSUP And Chronic skor pada pada kedua sistem
berdasarkan taraf Hasan Sadikin Heath skoring ini akan meningkatkan
Yan Aditya, Reno kepercayaan 95%, yang dikonfirmasi Evaluation peluang mortalitas yang juga
Rudiman,Tommy Ruchimat nilai referensi dengan temuan (Apache) II meningkat. Skor APACHE II
sensitivitas yang intra-operatif dalam berkorelasi lebih superior dalam
Jurnal Kedokteran dan diharapkan sebesar dilakukan Memprediksi memprediksi mortalitas terlihat
Kesehatan (2019);3(1):1-12 87% dan besarnya penghitungan skor Mortalitas dari nilai sensitifitas, spesifisitas,
presisi 10%, dan APACHE II dan Peritonitis nilai duga positif, nilai duga negatif
didapatkan minimum dilakukan Sekunder dan akurasi yang lebih tinggi.
jumlah sampel 87 penghitungan skor Akibat Didapatkan skor APACHE II
pasien. MPI. Selanjutnya Perforasi berbeda secara bermakna dengan
pada 30 hari Organ skor MPI. Skor APACHE II lebih
paska operasi Berongga superior dari skor MPI, dalam
dilihat apakah (dependent) menilai mortalitas pada kasus
pasien hidup atau peritonitis, namun demikian,
meninggal. kedua skor memiliki akurasi yang
baik dalam menilai mortalitas
pada peritonitis sekunder akibat
perforasi organ berongga.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERJADINYA PERITONITIS PADA
PASIEN CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD) DI
RUMAH SAKIT UMUM DR SAIFUL ANWAR MALANG

Contributing Factors For Peritonitis Incidence On Continuous Ambulatory Peritoneal


Dialysis (CAPD) Patients In Dr Saiful Anwar Malang Hospital

Supono

Program Studi Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes Malang


Jl. A. Yani No 1 Lawang 65218
e-mail: onop_kmb@yahoo.com

ABSTRAK

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritonium (rongga perut) dengan selaput atau membran perutonium berfungsi sebagai filter. Tindakan
CAPD dilakukan dengan insisi kecil pada dinding abdomen untuk pemasangan kateter, risiko komplikasi
yang sering terjadi adalah infeksi pada peritonium (peritonitis). Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan
faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya peritonitis pada pasien CAPD di Rumah Sakit Umum Dr Saiful
Anwar Malang Jawa Timur. Jenis penelitian deskkriptif korelasi dengan rancangan cross sectional study.
Jumlah sampel penelitian 22 pasien peritonitis CAPD dan 13 perawat dialisis, dengan tehnik pengambilan
sample menggunakan total sampling. Hasil penelitian menunjukan ada hubungan yang signifikan antara
status nutrisi (p = 0,032), kemampuan perawatan (p = 0,024) dengan kejadian peritonitis pada pasien CAPD.
Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur (p = 0,702), jenis kelamin (p = 0,669), tingkat pendidikan (p
= 0,771), penghasilan (p = 1,000), personal hygine (p = 0,387), support system (p = 1,000), fasilitas perawatan
(p = 0,088), standar struktur (p = 0,203), standar proses (p = 0,559) dengan kejadian peritonitis pada pasien
CAPD. Rekomendasi untuk perawat meningkatkan kunjungan rumah untuk memberikan pendidikan kesehatan
tentang perawatan dialisis dan pengeloaan nutrisi seimbang. Saran untuk pasien diharapkan mengikuti
prosedur standar perawatan yang telah diajarkan.

Kata kunci: peritonitis, CAPD, perawat, pasien CAPD

ABSTRACT

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) is a dialysis conducted through peritonium


with perutonium membrane functions as a filter. CAPD procedure is conducted by making small incision
on abdomen wall to insert catheter. Complication risk which often happens is the infection on peritoneum
(peritonitis). The purpose of this research was to find out the relationship between contributing factors
for peritonitis incidence on CAPD patients in Dr Saiful Anwar hospital in Malang, East Java. The type of
this research was correlation descriptive cross sectional study design. The number of the sample were 22
peritonitis CAPD patients and 13 dialysis patients, using total sampling technique. The result showed
that there was significant relationship between nutrition status (p = 0,032), treatment capability (p =
0,024) with peritonitis incidence on CAPD patients. There was no significant relationship between age
(p = 0,702), sex or gender (p = 0,669), level of education (p = 0,771), income (p = 1,000), personal
hygiene (p = 0,387), support system (p = 1,000), treatment facilities (p = 0,088), structure standard (p =
0,203), process standard (p = 0,559) with peritonitis incidence on CAPD patients. It is recommended to
nurses to increase home visit to give health education about dialysis treatment and balanced nutrition
management. It is also suggested to the patients to follow procedure for standard treatment which had
been taught to them.

Keywords: peritonitis, CAPD, nurse, CAPD patient

LATAR BELAKANG Terapi continuouse ambulatory


peretoneal dialysis (CAPD) adalah dialisis

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 180

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


yang dilakukan melalui rongga peritoneum lebih sering berasal dari kontaminasi mikro
(rongga perut) yang berfungsi sebagai filter organisme pada kulit saat penggantian cairan
adalah selaput atau membran peritoneum dialisat, kontaminasi saat penggantian kateter,
(selaput rongga perut), sehingga CAPD kolonisasi bakteri pada exit site dan tunnel
sering disebut “cuci darah” melalui perut infections. Proliferasi bakteri akan
(Anonim, 2007). Thomas (2003, dalam Yetti, mengakibatkan terjadinya edema jaringan
2007) mengemukakan bahwa CAPD sebagai peritoneal, dalam waktu singkat terjadi
salah satu alternatif terapi pengganti pada eksudasi cairan. Cairan dalam rongga
penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) telah peritoneal menjadi keruh dengan
diinstruksikan sejak tahun 1974 oleh Popovich meningkatnya jumlah protein, sel darah putih,
dan Moncrief. debris seluler dan darah. Reaksi dari kondisi
Terapi CAPD semakin meluas termasuk tersebut meningkatkan motilitas usus yang
di Indonesia. Rumah Sakit PGI Cikini Jakarta diikuti illeus paralitik sehingga terjadi
sejak awal tahun 1980 telah dilakukan terapi akumulasi udara dan cairan dalam usus.
CAPD secara insidentil (Tambunan, 2008) Penanganan tindakan dialisis merupakan
dan pada tahun 2004 tercatat 618 pasien suatu proses yang digunakan untuk
mendapatkan pelayanan terapi CAPD mengeluarkan cairan dan produk limbah dari
(Situmorang, 2008). Sampai saat ini dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
permasalahan komplikasi pada terapi CAPD melaksanakan proses tersebut (Smeltzer &
masih ditemukan diantaranya mekanik, Bare, 2008). Pada saat dialisis molekul solut
medikal dan infeksi (DeVore, 2008). berdifusi lewat membran semipermeabel
Komplikasi infeksi yang sering adalah dengan cara mengalir dari sisi cairan yang
peritonitis mencapai 60-80% (Smeltzer & lebih pekat (konsentrasi solut lebih tinggi) ke
Bare, 2008), tunnel infections, exit site cairan yang lebih encer (konsentrasi solut
(MacDougall, 2007). Studi pendahuluan yang lebih rendah) (Gutch, Stoner & Corea, 1999).
dulakukan peneliti di Rumah Sakit Umum Dr Ada tiga cara terapi pengganti ginjal atau
Saiful Anwar Malang Jawa Timur, data renal replacement therapy (RRT) salah satu
pelayanan terapi CAPD dilakukan sejak diantaranya adalah CAPD (Sidabutar, 2006).
tahun 2003 hingga bulan September 2008
jumlah pasien 173 orang, dari jumlah tersebut METODE
82 pasien telah meninggal dunia, 10 pasien
pindah terapi HD dan 2 pasien melakukan Jenis penelitian yang digunakan adalah
transplantasi ginjal, hingga 6 bulan terakhir deskriptif dengan rancangan cross sectional.
ini yang mendapatkan pelayanan CAPD Penentuan jumlah besaran sample dalam
sebanyak 81 pasien. Dari 81 pasien CAPD penelitian ini dengan menggunakan tehnik
di rumah sakit tersebut sebanyak 22 pasien total sampling, yaitu keseluruhan sampel
CAPD diketahui pernah menderita komplikasi yang telah teridentifikasi sebanyak 22
peritonitis. responden pasien CAPD dengan komplikasi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum peritonitis dan 13 perawat yang bekerja
lapisan membran serosa rongga abdomen diruang dialisis. Dengan karakteristik
dan meliputi visera (Smeltzer & Bare, 2008), responden meliputi: pasien dengan terapi
peritonitis ini terjadi juga dihubungkan dengan CAPD, pernah atau sedang mengalami
proses bedah abdominal dan dialisis peritoneal peritonitis, kesadaran pasien composmentis,
(Sudoyo, 2006). Peritonitis disebabkan oleh pasien yang telah menjalani rawat jalan, dan
kebocoran isi dari organ abdomen ke dalam bersedia menjadi responden. Karakteristik
rongga abdomen akibat dari infeksi, iskemik, perawat meliputi: perawat, perawat tetap
trauma atau perforasi. Peritonitis pada CAPD yang bekerja di ruang dialisis, tidak berstatus

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 181

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


magang, tidak sedang dalam status cuti kerja, univariat dari karakteristik demografi (umur,
dan bersedia menjadi responden. jenis kelamin, tingkat pendidikan,
Penelitian dilakukan pada tanggal 30 penghasilan), status nutrisi, personal hygiene,
Oktober 2008 sampai dengan 24 Nopember kemampuan dalam melakukan perawatan dan
2008 di unit rawat jalan ruang CAPD Rumah tindakan dialisis di rumah, sistem pendukung
Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang. dari pihak keluarga (helper), fasilitas
Instrumen pengumpulan data dalam perawatan CAPD di rumah dan standar
penelitian ini menggunakan kuesioner yang pelayanan keperawatan (standar struktur,
terdiri atas karakteristik demografi (umur, standar proses). Analisis bivariat dengan uji
jenis kelamin, tingkat pendidikan, statistik chi square dan T independen untuk
penghasilan), status nutrisi, personal hygiene, mengetahui hubungan faktor-faktor dengan
kemampuan dalam melakukan perawatan dan kejadian peritonitis pada pasien CAPD.
tindakan dialisis dirumah, sistem pendukung
dari pihak keluarga (helper), fasilitas HASIL DAN PEMBAHASAN
perawatan CAPD di rumah dan standar
pelayanan keperawatan (standar struktur, Hasil
standar proses). Uji analisa statistik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Faktor Risiko

Tabel 1. Distribusi status nutrisi, personal hygiene, kemampuan pasien, sistem pendukung dan
fasilitas perawatan (N=22)
No Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%)
Status nutrisi:
1 < IMT 10 45,5
2 ≥ IMT 12 54,5
Jumlah 22 100
Personal hygiene:
1 Kurang baik 13 59,1
2 Baik 9 40,9
Jumlah 22 100
Kemampuan pasien:
1 Kurang baik 14 63,6
2 Baik 8 36,4
Jumlah 22 100
Sistem pendukung:
1 Kurang baik 11 50
2 Baik 11 50
Jumlah 22 100
Fasilitas perawatan:
1 Kurang baik 11 50
2 Baik 11 50
Jumlah 22 100

Dari tabel 1 didapatkan distribusi sebanyak 14 orang (63,3%) dan baik


berdasarkan status nutrisi di bawah IMT sebanyak 8 orang (36,4%). Berdasarkan
sebanyak 10 (45,5%) dan di atas IMT sistem pendukung didapatkan kurang baik dan
sebanyak 12 orang (54,5%). Berdasarkan baik masing-masing sebanyak 11 orang
personal hygiene didapatkan kurang baik (50%). Berdasarkan fasilitas perawatan
sebanyak 13 orang (59,1%) dan baik didapatkan kurang baik dan baik masing-
sebanyak 9 orang (40,9%). Berdasarkan masing sebanyak 11 orang (50%).
kemampuan pasien didapatkan kurang baik

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 182

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


Tabel 2. Distribusi standar struktur dan proses (N = 13)
No Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%)
Standar struktur:
1 Kurang baik 6 46,2
2 Baik 7 53,8
Jumlah 13 100
Standar proses:
1 Kurang baik 2 15,4
2 Baik 11 84,6
Jumlah 13 100

Dari tabel 2 didapatkan distribusi analisis kurang baik sebanyak 2 responden (15,4%)
standar kualitas pelayanan keperawatan dan yang baik sebanyak 11 responden
beradasarkan standar struktur yang kurang (84,6%).
baik sebanyak 6 responden (46,2%) dan yang
baik sebanyak 7 responden (53, 8%). Hubungan Faktor Risiko Dengan
Sedangkan berdasarkan standar proses yang Kejadian Peritonitis Pada CAPD
Tabel 3. Hubungan umur dengan kejadian peritonitis pada CAPD (N=22)
Variabel Mean Standard Deviation p value N
Umur 44,32 12,392 0,702 22

Dari tabel 3 didapatkan hasil analisis


antara umur dengan kejadian peritonitis pada
Hubungan Jenis Kelamin, Tingkat
pasien CAPD bahwa rata-rata umur
Pendidikan, Penghasilan, Status Nutrisi,
responden yang mengalami kejadian
Personal Hygiene, Kemampuan Pasien,
peritonitis adalah umur 44,32 tahun (standard
Sistem Pendukung, Fasilitas Perawatan
deviation = 12,392). Hasil uji analisa statistik
Dengan Kejadian
didapatkan nilai p = 0,702 yang kesimpulannya
adalah tidak ada hubungan yang signifikan
antara umur dengan kejadian peritonitis pada
pasien CAPD.
Tabel 4. Hubungan jenis kelamin, tingkat pendidikan, penghasilan, status nutrisi, personal hygiene,
kemampuan pasien, sistem pendukung, fasilitas perawatan dengan kejadian peritonitis
pada CAPD (N=22)
No Variabel Kejadian peritonitis OR p-value
Tinggi Rendah 95% CI
n % n %
Jenis kelamin: 0,669
1 Laki-laki 5 41,7 7 58,3 0,476
2 Perempuan 6 60 4 60 0,086–2,628
Tingkat pendidikan: 0,771
1 SD 4 66,7 2 33,3 4
2 SLTP 1 33,3 2 66,7 1,5
3 SLTA 4 57,7 3 42,9 4
4 D III 0 0 2 100 4
5 S1 2 50 2 50 0,264-2,628
Penghasilan: 1,000
1 < UMR 6 46,2 74 53,8 0,686
2 ≥ UMR 5 55,6 44,4 0,124-3,784

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 183

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


Status nutrisi: 0,032
1 < IMT 8 80 2 20 12
2 ≥ IMT 3 25 9 75 1,581-91,084

Personal hygiene: 0,387


1 Kurang baik 8 61,5 5 38,5 3,200
2 Baik 3 33,3 6 66,7 0,540-18,980
Kemampuan pasien: 0,024
1 Kurang baik 10 71,4 4 28,6 17,500
2 Baik 1 12,5 7 87,5 1,596-191,892
Sistem pendukung: 1,000
1 Kurang baik 5 54,5 6 45,5 0,694
2 Baik 6 45,5 5 54,5 0,130-3,732
Fasilitas perawatan: 0,088
1 Kurang baik 8 72,7 3 27,3 7,111
2 Baik 3 27,3 8 72,7 1,089- 46,441

Dari tabel 4 didapatkan hubungan UMR dengan angka kejadian tinggi sebanyak
tingkat kejadian peritonitis dengan jenis 5 responden (55,6%), dan angka kejadian
kelamin sebagian besar terjadi pada rendah sebanyak 4 responden (44,4%).
perempuan dengan angka kejadian tinggi Hubungan tingkat kejadian peritonitis
sebanyak 6 responden (60%) dan angka dengan status nutrisi di bawah IMT pada
kejadian rendah sebanyak 4 responden (60%). angka kejadian tinggi sebanyak 8 responden
Sedangkan jenis kelamin laki-laki dengan (80%) dan angka kejadian rendah sebanyak
angka kejadian tinggi sebanyak 5 responden 2 responden (20%), status nutrisi di bawah
(41,7%) dan angka kejadian rendah sebanyak IMT pada angka kejadian tinggi sebanyak 3
7 responden (58,3%). responden (25%) dan angka kejadian rendah
Hubungan tingkat kejadian peritonitis sebanyak 9 responden (75%).
dengan tingkat pendidikan SD pada angka Hubungan tingkat kejadian peritonitis
kejadian tinggi sebanyak 4 responden (66,7%) dengan personal hygiene yang kurang baik
dan angka kejadian rendah sebanyak 2 pada angka kejadian tinggi sebanyak 8
responden (33,3%), tingkat pendidikan SLTP responden (61,5%) dan angka kejadian
dengan angka kejadian tinggi sebanyak 1 rendah sebanyak 5 responden (38,5%),
responden (33,3%) dan angka kejadian personal hygiene yang baik pada angka
rendah sebanyak 2 responden (66,7%), kejadian tinggi sebanyak 3 responden (33,3%)
tingkat pendidikan SLTA dengan angka dan angka kejadian rendah sebanyak 6
kejadian tinggi sebanyak 4 responden (57,7%) responden (66,7%).
dan angka kejadian rendah sebanyak 3 Hubungan tingkat kejadian peritonitis
responden (42,9%), tingkat pendidikan D3 dengan kemampuan pasien yang kurang baik
dengan angka kejadian tinggi sebanyak 0 pada angka kejadian tinggi sebanyak 10
responden dan angka kejadian rendah responden (71,4%) dan angka kejadian
sebanyak 2 responden (100%), tingkat rendah sebanyak 4 responden (28,6%),
pendidikan S1 dengan angka kejadian tinggi kemampuan pasien yang baik pada angka
dan rendah masing-masing sebanyak 2 kejadian tinggi sebanyak 1 responden (12,5%)
responden (50%). dan angka kejadian rendah sebanyak 7
Hubungan tingkat kejadian peritonitis responden (87,5%).
dengan penghasilan di bawah UMR pada Hubungan tingkat kejadian peritonitis
angka kejadian tinggi sebanyak 6 responden dengan sistem pendukung yang kurang baik
(46,2%) dan angka kejadian rendah sebanyak pada angka kejadian tinggi sebanyak 5
7 responden (53,8%), penghasilan di atas responden (54,5%) dan angka kejadian

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 184

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


rendah sebanyak 6 responden (45,5%), fasilitas perawatan yang baik pada angka
sistem pendukung yang baik pada angka kejadian tinggi sebanyak 3 responden (27,3%)
kejadian tinggi sebanyak 6 responden (45,5%) dan angka kejadian rendah sebanyak 8
dan angka kejadian rendah sebanyak 5 responden (72,7%).
responden (54,5%).
Hubungan tingkat kejadian peritonitis Hubungan Standar Pelayanan
dengan fasilitas perawatan yang kurang baik Keperawatan Dengan Kejadian
pada angka kejadian tinggi sebanyak 8 Peritonitis Pada CAPD
responden (72,7%) dan angka kejadian
rendah sebanyak 3 responden (27,3%),
Tabel 5. Hubungan standar pelayanan keperawatan dengan kejadian peritonitis pada CAPD (N=13)
No Variabel Kejadian Peritonitis OR p value
Tinggi Rendah 95% CI
n % n %
Standar struktur:
Kurang baik 0,203
1 Baik 2 50 2 50 8,00
2 1 11,1 8 88,9 0,495-36,442
Standar proses:
Kurang baik 0,559
1 Baik 2 33,3 4 66,7 3,00
2 1 14,3 6 85,7 0,119-45,244

Pembahasan 0,669 maka disimpulkan tidak ada hubungan


yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki
Pada tabel 3 terdapat peningkatan umur dan perempuan dengan kejadian peritonitis
seseorang yang semakin tua memberikan pada pasien CAPD. Hasil penelitian yang
dampak pada menurunnya fungsi sistem dilakukan oleh Gan., et al. (2003) didapatkan
dalam tubuh sehingga pertahanan tubuh bahwa dari 34 responden 20 diantaranya
terhadap suatu penyakit juga menurun. adalah jenis kelamin laki-laki, namun belum
Peningkatan umur erat kaitannya dengan menjelaskan alasan mengapa laki-laki lebih
prognosa suatu penyakit dan harapan hidup, banyak. Kecenderungan laki-laki kurang
mereka yang berusia di atas 55 tahun perhatian terhadap perawatan diri dibanding
kecenderungan untuk terjadi berbagai perempuan, sedangkan perempuan lebih
komplikasi yang memperberat fungsi ginjal banyak memperhatikan diri secara total
lebih besar dibandingkan yang berusia di termasuk dalam perawatan dialisis yang harus
bawah 40 tahun (Fefendi, 2008). Peneliti dilakukan pada dirinya setiap hari.
belum menemukan penelitian yang terkait Analisis hubungan antara t ingkat
umur dengan kejadian peritonitis pada pendidikan dengan kejadian peritonitis pada
CAPD. pasien CAPD diperoleh hasil bahwa
Pada tabel 4 mengenai analisis pendidikan SD dan SLTA berpotensi
hubungan antara jenis kelamin dengan mengalami kejadian peritonitis tinggi
kejadian peritonitis pada pasien CAPD dibandingkan dengan pendidikan SLTP, D3
diperoleh hasil bahwa responden perempuan dan S1. Pendidikan SLTP, D3 dan S1
mempunyai kejadian peritonitis lebih tinggi mempunyai peluang 4 kali mengalami
dibanding dengan responden laki-laki, artinya kejadian peritonitis tinggi dibandingkan dengan
perempuan berpotensi mengalami kejadian SD dan SLTA. Hasil uji statistik diperoleh
peritonitis lebih tinggi dibandingkan dengan nilai p = 0,771 maka disimpulkan tidak ada
laki-laki. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = hubungan yang signifikan antara tingkat

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 185

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


pendidikan dengan kejadian peritonitis pada berdampak pada kehilangan protein melalui
pasien CAPD. Tingkat pendidikan pasien peritonium dalam jumlah besar sehingga
CAPD ada hubungan dengan kemungkinan mengakibatkan malunitrisi (Smeltzer & Bare,
terjadinya komplikasi, karena kemampuan 2008), pengeluaran protein berlebihan
penyerapan pengetahuan pasien saat dimungkinkan saat pengeluaran cairan dialisat
mendapatkan edukasi dalam bentuk pelatihan dan penurunan nilai normal IMT (Hudak &
dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimiliki. Gallo,1996). Status nutrisi yang rendah pada
Tingkat pendidikan turut berkontribusi dalam pasien CAPD akibat pengeluaran protein yang
penyerapan keberhasilan pelatihan yang berlebihan, berisiko terhadap penurunan daya
diberikan pada pasien termasuk kemampuan tahan tubuh dan memungkinkan rendahnya
baca tulis (Tambunan, 2008). daya tangkal pada mikro organisme yang
Analisis hubungan antara penghasilan menyerang tubuh.
(UMR) dengan kejadian peritonitis pada Analisis hubungan antara personal
pasien CAPD adalah (55,6%) penghasilan hygiene dengan kejadian peritonitis pada
e” UMR mempunyai kejadian peritonitis lebih pasien CAPD didapatkan (61,5%) dengan
tinggi dibanding dengan responden yang personal hygiene kurang baik mempunyai
memiliki penghasilan < UMR. Hasil uji kejadian peritonitis lebih tinggi dibanding
statistik diperoleh nilai p = 1,000 maka dengan responden personal hygiene baik,
disimpulkan tidak ada hubungan yang artinya personal hygene kurang baik
signifikan antara penghasilan (UMR) dengan berpotensi mengalami kejadian peritonitis
kejadian peritonitis pada pasien CAPD. tinggi dibandingkan dengan personal hygiene
Kemampuan pasien dalam memanfaatkan baik. Personal hygiene kurang baik
fasilitas kesehatan tergantung dari mempunyai peluang 3,2 kali mengalami
kemampuan ekonomi yang dimiliki, kejadian peritonitis tinggi dibandingkan dengan
penghasilan yang rendah berdampak pada personal hygiene baik. Hasil uji statistik
kemampuan untuk pengobatan terlebih jika diperoleh nilai p = 0,387 maka disimpulkan
harus dilakukan secara terus menerus. tidak ada hubungan yang signifikan antara
Beberapa penyakit kronis (gagal ginjal kronik) personal hygiene dengan kejadian peritonitis
memerlukan biaya yang besar untuk biaya pada pasien CAPD. Untuk mencegah
perawatan dan pengobatan apabila harus berkembangnya mikro organisme patogen
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal pada pasien CAPD harus diperhatikan
(Fefendi, 2008). kebersihan diri (Tambunan,2008). Upaya
Analisis hubungan antara status nutrisi untuk mempertahankan personal hygene
(IMT) dengan kejadian peritonitis pada pasien dengan melakukan kebersihan diri tiap hari
CAPD adalah (80%) dengan status nutrisi < secara rutin seperti: mandi, gosok gigi, ganti
IMT mempunyai kejadian peritonitis lebih baju, potong kuku dan membersihkan sekitar
tinggi dibanding dengan status nutrisi e” IMT, exit site dengan kasa steril setiap selesai
artinya status nutrisi < IMT berpotensi mandi.
mengalami kejadian peritonitis tinggi Analisis hubungan antara kemampuan
dibandingkan dengan status nutrisi e” IMT. perawatan dialisis di rumah dengan kejadian
Status nutrisi < IMT mempunyai peluang 12 peritonitis pada pasien CAPD didapatkan
kali mengalami kejadian peritinitis tinggi (71,4%) dengan kemampuan perawatan
dibandingkan dengan status nutrisi e” IMT. dialisis di rumah kurang baik mempunyai
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,032 maka kejadian peritonitis lebih tinggi dibanding
disimpulkan ada hubungan yang signifikan dengan kemampuan perawatan dialisis baik,
antara status nutrisi (IMT) dengan kejadian artinya kemampuan perawatan dialisis
peritonitis pada pasien CAPD. Peritonitis kurang baik berpotensi mengalami kejadian

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 186

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


peritonitis tinggi dibandingkan dengan perawatan baik. Fasilitas perawatan kurang
kemampuan perawatan dialisis baik. baik mempunyai peluang 7,1 kali mengalami
Kemampuan perawatan dialisis kurang baik kejadian peritonitis tinggi dibandingkan dengan
mempunyai peluang 17,5 kali mengalami fasilitas perawatan baik. Hasil uji statistik
kejadian peritonitis tinggi dibandingkan dengan diperoleh nilai p = 0,088 maka disimpulkan
kemampuan perawatan dialisis baik. Hasil uji tidak ada hubungan yang signifikan antara
statistik diperoleh nilai p = 0,024 maka fasilitas perawatan CAPD di rumah dengan
disimpulkan ada hubungan yang signifikan kejadian peritonitis pada pasien CAPD. Tidak
antara kemampuan perawatan dialisis di tersedianya fasilitas perawatan yang
rumah dengan kejadian peritonitis pada pasien memadai memberikan kontribusi terjadinya
CAPD. Kemampuan perawatan di rumah ini peritonitis. Adapun fasilitas perawatan yang
menyangkut tentang tehnik melakukan dialisis diharapkan adalah tersedianya kamar khusus
secara benar, kemampuan mengenal adanya untuk mengganti cairan dialisat dan adanya
komplikasi dan kecepatan menghubungi air mengalir untuk cuci tangan (Tambunan,
perawat atau dokter jika terjadi masalah 2008).
(Tambunan, 2008). Kemampuan perawatan Pada tabel 5 hasil analisis hubungan
dialisis di rumah kurang baik berdampak pada antara standar pelayanan keperawatan
tidak adekuatnya perawatan yang harus dengan kejadian peritonitis pada pasien
dilakukan sesuai standar, masalah ini memicu CAPD pada standar struktur diketahui bahwa
cepatnya pertumbuhan mikro organisme dan 50% dengan standar struktur kurang baik
memudahkan terjadinya komplikasi. mempunyai kejadian peritonitis lebih tinggi
Analisis hubungan antara sistem dibanding dengan responden yang memiliki
pendukung dengan kejadian peritonitis pada standar struktur baik, artinya standar struktur
pasien CAPD didapatkan (54,5%) sistem kurang baik berpotensi menunjang kejadian
pendukung baik mengalamikejadian peritonitis peritonitis tinggi dibandingkan dengan standar
tinggi dibanding dengan sistem pendukung struktur baik. Standar struktur kurang baik
kurang baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai mempunyai peluang 8 kali menunjang
p = 1,000 maka disimpulkan tidak ada kejadian peritinitis tinggi dibandingkan dengan
hubungan yang signifikan antara sistem standar struktur baik. Hasil uji statistik
pendukung dengan kejadian peritonitis pada diperoleh nilai p = 0,203 maka disimpulkan
pasien CAPD. Sistem pendukung yang tidak ada hubungan yang signifikan antara
berasal dari keluarga atau penolong lainya standar kualilitas pelayanan keperawatan
(helper) yang adequat akan meningkatkan (standar struktur) dengan kejadian peritonitis
motivasi pasien untuk tetap konsisten dalam pada pasien CAPD. Standar kualitas
perawatan CAPD. Keluarga diharapkan turut pelayanan keperawatan (standar struktur)
dalam pengelolaan perawatan dan merupakan standar yang berfokus pada
pengobatan pasien CAPD (Tambunan, 2008). karaktristik internal dalam organisasi dan
Analisis hubungan antara fasilitas karakteristik perawat. Standar proses
perawatan CAPD di rumah dengan kejadian berfokus pada tahapan kegiatan pada pasien
peritonitis pada pasien CAPD didapatkan CAPD mulai dari asuhan predialisis, rawat
(72,7%) dengan fasilitas perawatan CAPD inap, sebelum dan selama pelatihan,
di rumah kurang baik mempunyai kejadian perawatan dialisis dirumah (Yetti, 2007).
peritonitis lebih tinggi dibanding dengan
responden yang memiliki fasilitas perawatan KESIMPULAN DAN SARAN
baik, artinya fasilitas perawatan kurang baik
berpotensi mengalami kejadian peritonitis Implikasi dari penelitian ini bahwa terapi
tinggi dibandingkan dengan fasilitas CAPD merupakan tindakan dialisis yang

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 187

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


memerlukan insisi pada peritonium untuk Disampaikan pada Ulang Tahun RS PGI
pemasangan kateter, sehingga rentan akan Cikini ke 110. Dipublikasikan tanggal 16
terjadinya komplikasi satu di antaranya adalah & 17 Pebruari 2008.
peritonitis. Peran perawat adalah menjamin Anonymous. 2007. Renal Replacement
kualitas pelayanan keperawatan secara prima Therapy. http://www. kalbe.co.id/
sehingga kejadian komplikasi pada pasien index.php?mn=product
CAPD dapat diminimalkan. Hasil penelitian &tipe=3&cat=311. Diperoleh tanggal 10
ini dapat digunakan sebagai sumber informasi September 2008.
untuk perawat khususnya yang menekuni Anonymous. 2008. Trainning CAPD.
tentang perawatan CAPD. Untuk PPSDM Rumah Sakit PGI Cikini.
kekhususan keperawatan medikal bedah, Jakarta: Makalah Kursus Perawatan
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai Intensif Ginjal XIV. Dipublikasikan.
dasar pengkajian lebih luas dan lebih spesifik DeVore, V.S. 2008. Continuose Ambulatory
dalam membuat analisis dan sintesa yang Peritoneal Dialysis (CAPD) and Its
berhubungan dengan kasus CAPD. Camplications. http://www.renal.org/
guedelines/ module3b.html. Diperoleh
Hasil penelitian disimpulakan bahwa
tanggal 17 September 2008.
responden yang mengalami kejadian
Gan., at al. 2003. A Study on Early Onset
peritonitis rata-rata berusia 44,32 tahun
Peritonitis in CAPD Patiens. Singapore
dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-
Med. http://www. sma.org.sg/smj/4403/
laki, tingkat pendidikan terbanyak adalah
4403a5.pdf. Diperoleh tanggal 2
SLTA dan sebagian besar mempunyai
September 2008.
penghasilan kurang dari UMR. Dari status Gutch, C.F., Stoner, M.H., Corea, & Anna
nutrisi diketahui hampir sebagian besar L. 1999. Review of Hemodialysis for
responden dengan status nutrisi lebih dari Nurses and Dialysis Personnel. 6 th
sama dengan IMT dan personal hygiene Edition. St Louis. Missouri: Mosby, Inc.
sebagian besar kurang baik. Kemampuan Hudak & Gallo. 1997. Critical Care Nursing:
pasien dalam perawatan dialisis di rumah A Holistic Approach. Philadelphia:
sebagian besar kurang baik sedangkan dalam Lippincott Company J.B.
hal sistem pendukung dan fasilitas perawatan MacDougall, D. 2007. CAPD Peritonitis:
CAPD di rumah sebagian kurang baik. Causes, Management, Renal & Urology
Standar kualitas pelayanan keperawatan pada News. http://
standar struktur dan standar proses sebagian www. r enalandurologynews. com/
besar adalah baik. Umur, jenis kelamin, tingkat CAPDPeritonitisCausesManagement/
pendidikan dan penghasilan tidak ada article/99060/. Diperoleh tanggal 12
hubungan dengan kejadian peritonitis pada September 2008.
pasien CAPD. Status nutrisi, kemampuan Situmorang, T. 2008. Pengyakit Ginjal Akut
perawatan dialisis ada hubungan dengan & Kronik Penyakit Diabetik &
kejadian peritonitis pada pasien CAPD, Metabolik (DM&Lupus) lntegrasi
sedangkan personal hygiene, sistem Terapi Pengganti Ginjal Resep dan
pendukung, fasilitas perawatan CAPD di Adequasi pada Hemodialisis. PPSDM
rumah, standar struktur dan standar proses Rumah Sakit PGI Cikini. Jakarta:
tidak ada hubungan dengan kejadian peritonitis Makalah Kursus Perawatan Intensif
pada pasien CAPD. Ginjal XIV. Dipublikasikan.
Sidabutar, H. 2008. Anatomi dan Fisiologi
DAFTAR PUSTAKA Ginjal. PPSDM Rumah Sakit PGI
Cikini. Jakarta: Makalah Kursus
Anonymous. 2008. Essential Qualities of a Perawatan Intensif Ginjal XIV.
Renal Nurse. Makalah Studi Ilmiah. Dipublikasikan.

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 188

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


Sidabutar, R.P. 2005. Penanggulangan Gagal
Ginjal Kronik dan Kemajuannya. Sub
Bagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UI RSCM. Jakarta:
http:// www. s jkdt. org/ a r t icle. asp
Diperoleh tanggal 17 September 2008.
Smeltzer & Bare. 2008. Brunner and Suddarth’s
Textbook of Medical- Surgical Nursing.
10th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Tambunan R. 2008. Asuhan Keperawatan pada
Pasien Dialisis. PPSDM Rumah Sakit PGI
Cikini. Jakarta: Makalah Kursus
Perawatan Intensif Ginjal XIV.
Dipublikasikan.
Yetti, K. 2007. Peran Perawat Dalam
Meningkatkan Kualitas Pasien
Peritoneal Dialisis. Jurnal Keperawatan
Indonesia. Volume 11. Jakarta:
Universitas Indonesia.

Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pasien Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis 189

(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang


No. Judul,Peneliti/Penulis Jenis/Metode Sampel/Responden Instrumen Variabel Hasil Temuan
dan Tahun Penelitian Penelitian
2. Faktor-Faktor yang Jenis penelitian yang Penelitian ini dengan Instrumen 1. Faktor-Faktor Implikasi dari penelitian ini
Berkontribusi Terjadinya digunakan adalah menggunakan tehnik pengumpulan data yang bahwa terapi CAPD merupakan
Peritonitis Pada Pasien deskriptif dengan total sampling, yaitu dalam Berkontribusi tindakan dialisis yang
Continuous Ambulatory rancangan cross keseluruhan sampel penelitian ini Terjadinya memerlukan insisi pada
Peritoneal Dialysis (CAPD) sectional. yang telah menggunakan Peritonitis peritonium untuk pemasangan
Di Rumah Sakit Umum Dr teridentifikasi kuesioner yang (independent) kateter, sehingga rentan akan
Saiful Anwar Malang sebanyak 22 terdiri atas 2. Pasien terjadinya komplikasi, satu
responden pasien karakteristik Continuous diantaranya adalah peritonitis.
Supono CAPD dengan demografi (umur, Ambulatory Responden yang mengalami
komplikasi jenis kelamin, Peritoneal kejadian peritonitis rata-rata
Jurnal Keperawatan, Juli peritonitis dan 13 tingkat pendidikan, Dialysis berusia 44,32 tahun dengan jenis
2010: 180 - 189 perawat yang bekerja penghasilan), (CAPD) kelamin terbanyak adalah lakil-aki,
di ruang dialisis. status nutrisi, (dependent) tingkat pendidikan terbanyak
personal hygiene, adalah SLTA dan sebagian besar
kemampuan mempunyai penghasilan kurang
dalam melakukan dari UMR. Dari status nutrisi
perawatan dan diketahui hampir sebagian besar
tindakan dialisis responden dengan status nutrisi
dirumah, sistem lebih dari sama dengan IMT dan
pendukung personal hygiene sebagian besar
dari pihak kurang baik. Kemampuan pasien
keluarga (helper), dalam perawatan dialisis di rumah
fasilitas sebagian besar kurang baik
perawatan CAPD sedangkan dalam hal sistem
di rumah dan pendukung dan fasilitas
standar perawatan CAPD di rumah
pelayanan sebagian kurang baik. Standar
keperawatan kualitas pelayanan keperawatan
(standar struktur, pada standar struktur dan standar
standar proses). proses sebagian besar adalah
baik. Umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan penghasilan tidak
ada hubungan dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD.
Status nutrisi, kemampuan
perawatan dialisis ada hubungan
dengan kejadian peritonitis pada
pasien CAPD, sedangkan
personal hygiene, sistem
pendukung, fasilitas perawatan
CAPD di rumah, standar struktur
dan standar proses tidak ada
hubungan dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD.
http://jurnal.fk.unand.ac.id 20
9

Artikel Penelitian

Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal


Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang

Aiwi Japanesa1, Asril Zahari2, Selfi Renita Rusjdi3

Abstrak
Peritonitis menjadi salah satu penyebab tersering akut abdomen yang merupakan suatu kegawatan abdomen.
Peritonitis biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis yang dapat menimbulkan kematian. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan peritonitis agar dapat mencegah dan melakukan penanganan
secepatnya terhadap kasus ini. Penelitian deskriptif retrospektif ini telah dilakukan dari September 2014 sampai
Oktober 2014 dengan teknik total sampling. Data yang diambil merupakan kasus pasien peritonitis yang dirawat inap
di Bagian Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang, kemudian dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi
sehingga didapatkan 98 data rekam medik periode 01 Januari 2013 sampai 31 Desember 2013. Prevalensi peritonitis
pada laki-laki (68,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (31,6%). Kelompok usia terbanyak adalah 10-19 tahun
(24,5%). Peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang terbanyak (53,1%).
Sebagian besar pasien peritonitis mendapatkan tatalaksana bedah berupa laparatomi eksplorasi dan apendektomi
(64,3%). Lama rawatan terbanyak pada 4-7 hari (45,9%). Frekuensi pasien peritonitis menurut kondisi keluar sebagian
besar dalam keadaan hidup (85,7%). Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa peritonitis dapat
dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, penyebab peritonitis, tatalaksana, lama rawatan dan kondisi saat keluar
dari rumah sakit.
Kata kunci: peritonitis, bedah, pola

Abstract
Peritonitis is one of the most common cause of acute abdomen, which is an abdominal emergency. Peritonitis
is usually accompanied by bacteremia or sepsis that can cause mortality. The objective of this study was to know
something that associated with peritonitis in order to prevent and to respond immediately to this case. This
retrospective descriptive study was conducted from September 2014 to October 2014 using a total sampling
technique. Data was taken from cases of hospitalized patients with peritonitis in Surgery Ward of RSUP Dr. M. Djamil
Padang, selected by on inclusion and exclusion criteria. There were 98 medical records by the period from 1st of
January 2013 to 31th of December 2013. Peritonitis prevalence in men (68,4%) was higher than women (31,6%). Most
common age group is 10-19 years old (24,5%). Secondary peritonitis due to perforation of the appendix is the most
common type of peritonitis (53,1%). Most patients with peritonitis get a surgical procedure of exploratory laparotomy
and appendectomy (64,3%). Most hospitalization length was 4-7 days (45,9%). The frequency of peritonitis patients
based on conditions when discharged from hospital is mostly alive (85,7%).Conclusion from this study is that peritonitis
may be influenced by age, sex, cause of peritonitis, the surgical procedure, hospitalization, and condition when
discharged from hospital.
Keywords: peritonitis, surgical, pattern

Affiliasi penulis: 1. Pendidikan Dokter FK UNAND (Fakultas Korespondensi: Aiwi Japanesa, aiwijapanesa@gmail.com , Telp:
Kedokteran Universitas Andalas Padang), 2. Bagian Bedah FK 085766004641
UNAND, 3. Bagian Parasitologi FK UNAND.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id
210

PENDAHULUAN Oktober dan 10 Desember 2004, telah terjadi 615


Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan kasus peritonitis berat (dengan atau tanpa perforasi),
oleh infeksi atau kondisi aseptik pada selaput organ termasuk 134 kematian (tingkat fatalitas kasus,
perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis 21,8%), yang merupakan komplikasi dari demam
dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding tifoid.4
perut bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
atau difus dan riwayat akut atau kronik.1 Hamburg-Altona Jerman, ditemukan 73% penyebab
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering peritonitis adalah perforasi dan 27% terjadi
tersering dari akut abdomen. Akut abdomen adalah pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari
suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena 11.000 pasien yang ada. Angka kejadian peritonitis di
masalah bedah dan non bedah. Peritonitis secara Inggris selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036%
umum adalah penyebab kegawatan abdomen yang (4562 orang).5
disebabkan oleh bedah. Peritonitis tersebut Peritonitis dapat mengenai semua umur dan
disebabkan akibat suatu proses dari luar maupun terjadi pada pria dan wanita. Penyebab peritonitis
dalam abdomen. Proses dari luar misalnya karena sekunder yang bersifat akut tersering pada anak-anak
suatu trauma, sedangkan proses dari dalam misal adalah perforasi apendiks, pada orangtua komplikasi
karena apendisitis perforasi.2 divertikulitis atau perforasi ulkus peptikum. Komplikasi
Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan peritonitis berupa gangguan pembekuan darah,
yang biasanya disertai dengan bakteremia atau respiratory distress syndrome, dan sepsis yang dapat
sepsis. Kejadian peritonitis akut sering dikaitkan menyebabkan syok dan kegagalan banyak organ.6
dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Peritonitis tuberkulosis merupakan salah satu
Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada yang terbanyak dari tuberkulosis abdominal setelah
intraabdominal, peritonitis dikategorikan sebagai tuberkulosis gastrointestinal dengan angka kejadian
primary peritonitis.1 0,4-2% dari seluruh kasus tuberkulosis. Pada saat ini
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi dilaporkan bahwa kasus peritonitis tuberkulosis di
peritonitis primer, peritonitis sekunder, dan peritonitis negara maju semakin meningkat dan peningkatan ini
tersier. Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran sesuai dengan meningkatnya insiden Acquired
infeksi melalui darah dan kelenjar getah bening di Immune Deficiency Syndrome (AIDS) dan imigran di
peritoneum dan sering dikaitkan dengan penyakit negara maju.7 Di Padang, terdapat 18 kasus peritonitis
sirosis hepatis. Peritonitis sekunder disebabkan oleh tuberkulosis dari Januari 1991-Desember 1996 yang
infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus dirawat di Bagian Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.8
gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang Berdasarkan penelitian pendahuluan dari
paling sering terjadi. Peritonitis tersier merupakan penulis di Bagian Rekam Medik RSUP Dr. M. Djamil
peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung yang Padang, pada periode 01 Januari 2013–31 Desember
sering terjadi pada pasien immunocompromised dan 2013 terdapat 144 kasus peritonitis yang dirawat inap.
orang-orang dengan kondisi komorbid.3 Kasus peritonitis yang didata berasal dari bagian
Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.
disebabkan oleh berbagai penyebab. Infeksi traktus Pendataan yang lebih lengkap dan lebih baik
gastrointestinal, infeksi traktus urinarius, benda asing diperlukan untuk dapat mendokumentasikan
seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam gambaran epidemiologi untuk kasus peritonitis.
lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari Pendataan epidemiologi yang rapi diharapkan RSUP
perforasi kandung empedu serta laserasi hepar akibat Dr. M. Djamil Padang mampu merepresentasikan
trauma.3 kasus peritonitis terutama di daerah Padang dan
Menurut survei World Health Organization Sumatra Barat. Pendataan yang lebih baik pada
(WHO), kasus peritonitis di dunia adalah 5,9 juta umumnya dapat membantu pembuatan program
kasus. Di Republik Demokrasi Kongo, antara 1 dalam menekan angka kejadian yang cukup tinggi.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id
211

METODE Tabel 3. Kasus peritonitis berdasarkan klasifikasi


Desain penelitian ini adalah deskriptif untuk Klasifikasi (Berdasarkan Etiologi) f (%)
mengetahui pola kasus peritonitis akut dan Peritonitis 1 1,0
penatalaksanaannya yang dilakukan dengan melihat Primer

status rekam medis pasien peritonitis di bangsal Peritonitis Perforasi Apendiks 53 54,1

bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Sekunder (Umum)

Penelitian dilakukan dari September–Oktober Perforasi Apendiks (Lokal) 10 10,2

2014 di Bagian Rekam Medik (Medical Record) di Perforasi Ulkus Peptikum


- Gaster 13 13,3
RSUP Dr. M. Djamil Padang. Data sekunder tersebut
- Duodenale 0 0,0
merupakan data dari bulan Januari–Desember 2013.
Perforasi Kolon (Infeksi) 4 4,1
Populasi adalah seluruh data pasien yang
Kanker pada Saluran 0 0,0
mengalami peritonitis di bangsal bedah RSUP Dr. M.
Pencernaan Bawah
Djamil Padang antara tanggal 1 Januari 2013 – 31
Strangulasi Usus Halus 0 0,0
Desember 2013.
Trauma Organ Solid 2 2,0
Teknik pengambilan sampel menggunakan
(Hepar dan Lien)
teknik total sampling, yaitu seluruh populasi dijadikan
Trauma Organ Berlumen 5 5,1
sampel dengan memperhatikan kriteria inklusi dan
(Gaster, Usus Halus,
eksklusi.
dan Kolon)
Penyebab Lainnya 4 4,1
HASIL Peritonitis Peritonitis Akibat Tindakan 1 1,0
Penelitian ini telah dilakukan berdasarkan data Tersier Operasi Sebelumnya
rekam medis dari Bagian Rekam Medik RSUP Dr. M. Penyebab Lainnya 0 0,0
Djamil Padang periode 01 Januari 2013-31 Desember Peritonitis dengan Komplikasi (Sepsis, 4 4,1
2013. Data yang memenuhi kriteria inklusi dan Syok Sepsis)
eksklusi sebanyak 98 kasus peritonitis. Tidak Terklasifikasikan 1 1,0
Total 98 100,0
Tabel 1. Kasus peritonitis berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin f (%)
Laki–Laki 67 68,4 Tabel 4. Penatalaksanaan kasus peritonitis (bedah)
Perempuan 31 31,6 Tatalaksana Bedah f (%)

Total 98 100,0 Laparatomi Eksplorasi dan Eksisi Materi 12 12,2


Terinfeksi (Lambung dan Duodenum)
Laparatomi Eksplorasi dan Reseksi 3 3,1

Tabel 2. Kasus peritonitis berdasarkan kelompok umur dengan Anastomosis Primer atau
Enterostomi (Jejunum dan Ileum)
Kelompok Umur (Tahun) f (%)
Laparatomi Eksplorasi dan Reseksi 4 4,1
0-9 11 11,2
dengan Prosedur Hartmann atau
10-19 24 24,5
Anastomosis Primer (pada Kolon)
20-29 23 23,5
Laparatomi Eksplorasi dan Apendektomi 63 64,3
30-39 11 11,2 (pada Apendiks)
40-49 10 10,2 Laparatomi Eksplorasi dan Kolesistektomi 0 0,0
50-59 7 7,1 (pada Kantong Empedu)
60-69 8 8,2 Drainase Peritoneal 2 2,0
70-79 3 3,1 Tatalaksana Lainnya 13 13,3
>=80 1 1,0 Menolak Tindakan Bedah 1 1,0
Total 98 100,0 Total 98 100,0

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


http://jurnal.fk.unand.ac.id
212

Tabel 5. Kasus peritonitis menurut lama rawat PEMBAHASAN


Lama Rawat (Hari) f (%) Total kasus peritonitis pada periode 01 Januari
<= 3 17 17,3 2013-31 Desember 2013 adalah 98 kasus, walaupun
4-7 45 45,9 demikian masih terdapat data yang tidak lengkap
8-14 28 28,6 untuk beberapa variabel, seperti variabel lama
>14 4 4,1 rawatan dan kondisi keluar.
Tidak Disebutkan 4 4,1 Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin
Total 98 100,0 didapatkan jumlah kasus peritonitis pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan. Perbandingan antara laki-
laki dan perempuan adalah 2,16:1. Hasil ini sesuai
Tabel 6. Kasus peritonitis menurut kondisi keluar
dengan penelitian Sahu et al yaitu terdapat 44 pasien
Kondisi Keluar f (%)
laki-laki dan 6 pasien perempuan dari 50 pasien.9
Hidup 84 85,7
Penelitian oleh Singh et al dari Januari 2007-Maret
Meninggal 10 10,2
2009 didapatkan 45 laki-laki (53,6%) dan 39
Tidak Disebutkan 4 4,1
perempuan (46,4%).10 Penelitian oleh Mulari dan
Total 98 100,0
Leppaniemi didapatkan 36 laki-laki (54%) dan 30
perempuan (46%).11 Penelitian oleh Sotto et al
Tabel 1 menggambarkan bahwa frekuensi didapatkan 72 laki-laki (60%) dan 48 perempuan
kejadian penderita laki-laki lebih banyak daripada (40%).12
penderita perempuan. Data laki-laki adalah 67 orang Kepustakaan menyebutkan bahwa peritonitis
(68,4%) dan perempuan 31 orang (31,6%). dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.13
Perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2,16:1. Pada penelitian ini ditemukan bahwa laki-laki lebih
Tabel 2 menggambarkan persentase kategori sering terkena peritonitis dibandingkan perempuan.
umur terbanyak adalah kelompok umur 10-19 tahun, Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang telah
yaitu 24,5%. Peringkat kedua adalah kategori 20-29 dicantumkan di atas.
tahun (23,5%), kemudian diikuti oleh kelompok umur 0- Usia pasien yang terkena peritonitis bervariasi
9 tahun dan 30-39 tahun (11,2%), 40-49 tahun dari 6-86 tahun. Berdasarkan kelompok usia dapat
(10,2%), 60-69 tahun (8,2%), 50-59 tahun (7,1%), 70- dilihat bahwa peritonitis sering terjadi pada kelompok
79 tahun (3,1%), serta >= 80 tahun (1,0%). usia 10-19 tahun yaitu 24 orang (24.5%). Hasil ini
Tabel 3 dapat dilihat bahwa jenis peritonitis sesuai dengan penelitian Sahu et al di Uttarakhand,
terbanyak adalah peritonitis sekunder umum akibat India pada tahun 2007. Usia pasien bervariasi dari 6-
perforasi apendiks, yaitu 53 orang (54,1%). 82 tahun.9 Penelitian yang dilakukan oleh Mulari dan
Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar Leppaniemi di Finlandia dari September 1996-April
pasien peritonitis mendapatkan tatalaksana bedah 1998 didapatkan usia pasien dengan rentang 18-90
yaitu laparatomi eksplorasi dan apendektomi tahun.11 Penelitian yang dilakukan oleh Sotto et al. dari
sebanyak 63 orang (64,3%). 1 Januari 1997-31 Juli 1999 di University Hospital of
Tabel 5 dapat dilihat bahwa lama perawatan Nimes, Prancis didapatkan bervariasi antara 25-87
peritonitis terbanyak pada kelompok 4-7 hari, yaitu 45 tahun.12
orang (45.9%). Kepustakaan tidak menyebutkan dengan pasti
Tabel 6 dapat dilihat bahwa frekuensi pasien usia tersering seseorang terkena peritonitis.
peritonitis menurut kondisi keluar sebagian besar Kepustakaan menyebutkan bahwa peritonitis dapat
dalam keadaan hidup, yaitu 84 orang (85,7%). mengenai semua usia.13

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


Pada penelitian ini didapatkan jenis peritonitis Diagnosis dini, perawatan suportif yang
terbanyak adalah peritonitis sekunder umum yang intensif, pemberian antimikroba pada saat yang tepat
terjadi akibat perforasi apendiks yaitu sebanyak 53 dan tindakan operatif yang cepat serta infeksi post
orang (54,1%). Penelitian oleh Samuel et al. di operatif dilakukan merupakan faktor penting dalam
Kamuzu Central Hospital di Lilongwe, Malawi dari 190 menentukan prognosis pasien.15
pasien terdapat 22% akibat apendisitis.6 Hal ini Peritonitis merupakan suatu penyakit yang
berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sahu et al berat dan membutuhkan waktu perawatan yang lama.
yang mendapatkan bahwa peritonitis sering Pada penelitian ini didapatkan empat pasien yang
diakibatkan oleh perforasi gastroduodenal sebanyak dirawat dalam kurun waktu lebih dari empat belas hari.
21 kasus (41%) dari 50 kasus9 serta dengan penelitian Hasil penelitian didapatkan angka kematian peritonitis
oleh Sotto et al.yang didapatkan penyebab tersering adalah 10,2%. Penelitian oleh Sotto et al
peritonitis adalah perforasi kolon yaitu 48 kasus dari mendapatkan angka kematian 25%.12 Penelitian oleh
120 kasus.12 Singh et al ditemukan angka kematian pasien
Tingginya kejadian apendiks perforasi ini peritonitis adalah 17,8%.10 Penelitian oleh Samuel et
mungkin disebabkan oleh keterlambatan penderita al menemukan angka kematian sebesar 15%.6
datang ke rumah sakit karena kurangnya kesadaran Kepustakaan menyebutkan bahwa angka
penderita untuk segera meminta pertolongan ke kematian peritonitis sekunder umum akan kecil dari
14
rumah sakit. 30-40% apabila ditangani dengan teknik operasi yang
Sebagian besar pasien peritonitis dilakukan tepat dan terbaru, penggunaan antibiotik sesuai, dan
tindakan operatif berupa laparatomi eksplorasi dan terapi yang intensif.15
apendektomi sebanyak 63 pasien (64,3%). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Sahu et al yaitu pada 42 KESIMPULAN
kasus peritonitis dilakukan tindakan operatif dan 8 Jumlah kasus peritonitis pada laki-laki lebih
kasus mendapatkan terapi konservatif.9 Hal ini tidak banyak dibandingkan perempuan.Distribusi umur
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh terbanyak adalah kisaran 10-19 tahun.Tipe peritonitis
Cavallaro et al di Catania, Italia yaitu 110 pasien berdasarkan klasifikasi menurut etiologi peritonitis
peritonitis diberikan terapi konservatif dan pada 91 terbanyak adalah peritonitis sekunder umum akibat
pasien peritonitis dilakukan tindakan operatif.15 perforasi apendiks.Laparatomi eksplorasi dan
Kepustakaan menyatakan bahwa keputusan apendektomi adalah tatalaksana bedah yang yang
untuk melakukan pemberian terapi pada pasien tersering dilakukan. Lama rawatan pasien peritonitis
peritonitis tergantung tingkat keparahan infeksi yang terbanyak pada kisaran 4-7 hari. Pasien peritonitis
terjadi atau bahkan telah terjadi sepsis.16 Berdasarkan menurut kondisi keluar sebagian besar dalam keadaan
etiologi pasien peritonitis sekunder umum yang hidup.
dirawat di bangsal bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang
adalah apendisitis yang telah mengalami perforasi
DAFTAR PUSTAKA
sehingga tatalaksana yang diberikan adalah dengan
1. Gearhart SL, Silen W. Acute appendisitis and
melakukan tindakan operatif. Penelitian lain
peritonitis. Dalam: Fauci A, Braunwald E, Kasper
menemukan konservatif terbanyak dapat dikarenakan
D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al, editor
etiologi peritonitis sekunder tersering yang didapatkan
(penyunting). Harrison’s principal of internal
bukan appendisitis. Peritonitis sekunder umum yang
medicine. Edisi ke-17 Volume II. USA: McGraw-
diakibatkan oleh pankreatitis dapat ditatalaksana
Hill; 2008. hlm. 1916-7.
hanya dengan pengobatan konservatif.
2. Daldiyono, Syam AF. Nyeri abdomen akut. Dalam:
Lama perawatan pasien peritonitis yang dirawat
Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
bervariasi dari 0 hingga 33 hari. Penelitian oleh Sotto
Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu
et al didapatkan bervariasi antara 0-70 hari.12

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


penyakit dalam. Edisi ke-5 Jilid ke-1. Jakarta: 11. Mullari K, Leppaniemi A. Severe secondary
Interna Publishing; 2010. hlm. 474-6. peritonitis following gastrointestinal tract
3. Ridad MA. Infeksi. Dalam: R. Sjamsuhidajat, editor perforation. Scandinavian Journal of Surgery.
(penyunting). Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat- 2004;14(2).
de jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2007. hlm.52. 12. Sotto A, Lefrant JY, Peray PF, Muller L, Tafuri J,
4. World Health Organization. Typhoid fever, Navarro F, dkk. Evaluation of antimicrobial therapy
Democratic Republic of the Kongo. Weekly management of 120 consecutive patients with
Epidemiological Record. 2005; 1(80):1-8. secondary peritonitis. Journal of Antimicrobial
5. Wittman DH. Intra abdominal infections. New York: Chemotherapy. 2002;50:569-76.
Marcel Dekker INC; 1991. 13. Daley BJ. Peritonitis and abdominal sepsis.
6. Samuel JC, Qureshi JS, Mulima G, Shores CG, Medscape. Dis [serial online] 2013 (diunduh 6 Juni
Cairns BA, Charles AG. An observational study of 2014). Tersedia dari: URL: HYPERLINK http://
the etiology, clinical presentation, and outcomes emedicine.medscape.com/article/180234-overview
associated with peritonitis in lilongwe, malawi. #aw2aab6b2b4aa.
World Journal of Emergency Surgery. 2011: 6-38. 14. Arza Y. Hubungan jumlah leukosit preoperatif
7. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam: Sudoyo dengan kejadian apendiks perforasi pada penderita
AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, apendisitis akut di RSUD arifin achmad provinsi
editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit dalam. riau periode 2005 (skripsi). Pekanbaru:Fakultas
Jakarta : Interna Publishing; 2010. hlm. 727-30. Kedokteran Universitas Riau; 2006.
8. Alvarino, Zahari A. Tuberculosa intra abdominal. 15. Cavallaro A, Catania V, Cavallaro M, Zanghi A,
MKA. 2003;1(27):29-34. Cappelani A. Management of secondary peritonitis.
9. Sahu S, Gupta A, Sachan P, Bahl D. Outcome of Ann Ital Chir. 2008; 79:255-60.
secondary peritonitis based on APACHE II score. 16. Holzheimer RG. Management of secondary
The Internet Journal of Surgery. 2007;14(2). peritonitis. Surgical Treatment : Evidence-Based
10. Singh R, Kumar N, Bhattacharya A, Vajifdar H. and Problem-Oriented. Dis [serial online] 2001
Preoperatif predictors of mortality in adults patient (diunduh 23 Oktober 2014). Tersedia dari: URL:
with perforation peritonitis. Indian Journal of Critical HYPERLINK http://rene-holzheimer.de/
Care Medicine. 2011;15(3):157-63.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(1)


No. Judul,Peneliti/Penulis Jenis/Metode Sampel/Responden Instrumen Variabel Hasil Temuan
dan Tahun Penelitian Penelitian
3. Pola Kasus dan Desain penelitian ini Seluruh data pasien Data rekam medis 1. Pola Kasus Jumlah kasus peritonitis pada
Penatalaksanaan Peritonitis adalah deskriptif untuk yang mengalami dari Bagian (independent) laki-laki lebih banyak
Akut di Bangsal Bedah mengetahui pola peritonitis di bangsal Rekam Medik 2.Penatalaksanaan dibandingkan perempuan.
RSUP Dr. M. Djamil Padang kasus peritonitis akut bedah RSUP Dr. M. RSUP Dr. M. Peritonitis Akut Distribusi umur terbanyak adalah
dan Djamil Padang antara Djamil Padang (dependent) kisaran 10-19 tahun.Tipe
Aiwi Japanesa, Asril Zahari, penatalaksanaannya tanggal 1 Januari periode 01 Januari peritonitis berdasarkan klasifikasi
Selfi Renita Rusjdi yang dilakukan 2013 – 31 2013-31 menurut etiologi peritonitis
dengan melihat status Desember 2013. Desember 2013. terbanyak adalah peritonitis
Jurnal Kesehatan rekam medis pasien Data yang memenuhi sekunder umum akibat perforasi
Andalas.2016;5(1) peritonitis di bangsal kriteria inklusi dan apendiks. Laparatomi eksplorasi
bedah RSUP Dr. M. eksklusi sebanyak 98 dan apendektomi adalah
Djamil Padang. kasus peritonitis. tatalaksana bedah yang yang
tersering dilakukan. Lama
rawatan pasien peritonitis
terbanyak pada kisaran 4-7 hari.
Pasien peritonitis menurut kondisi
keluar sebagian besar dalam
keadaan hidup.

Anda mungkin juga menyukai