Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH SISTEM MANAJEMEN MUTU

PEMERIKSAAN IMUNOSEROLOGI

Dibuat Untuk Memenuhi Nilai Tugas Pada Mata Kuliah


Sistem Mnajemen Mutu Bidang Imunoserologi

OLEH :

ZUNAIDY AUTI

NIM P3.73.34.2.21.180

KELAS B D-IV ALIH JENJNG

TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV


JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAKARTA III
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena telah memberikan rahmat
dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul MAKALAH
SISTEM MANAJEMEN MUTU PEMERIKSAAN IMUNOSEROLOGI.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Sistem Manajemen
Mutu. Makalah ini membahas segala informasi tentang sistem manajemen mutu
imunoserologi yang biasa dijumpai pada laboratorium patologi klinik.
Didalam makalah ini terdapat pembahasan tentang pemantapan mutu serta tahap
pra analitik, analitik, dan pasca analitik pada pemeriksaan imunoserologi dengan metode
aglutinasi, ICT, dan ELISA beserta parameter pemeriksaannya.
Saya sadar makalah ini jauh dari kata sempurna. Saya berharap agar pembaca
bersedia memberikan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih
baik.
Besar pula harapan saya agar makalah ini dapat menambah wawasan pembaca
dalam hal pemeriksaan imunoserologi

Bogor, September 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar i
Daftar isi ii
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 2
C. Tujuan 2
Bab II Isi 3
A. Pemeriksaan Aglutinasi 3
B. Pemeriksaan ICT 9
C. Pemeriksaan ELISA 16
Bab III Penutup 24
A. Daftar Pustaka 25
B. Lampiran 26

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemeriksaan imunoserologi merupakan pemeriksaan yang hampir ditemui di
setiap laboratorium patologi klinik. Pemeriksaan imunoserologi bertujuan mendeteksi
awal munculnya infeksi, memperkirakan status imunitas dan pemantauan respon pasca
vaksinasi. Prinsip utama uji imunoserologi adalah mereaksikan antibodi dengan
antigen yang sesuai. Antibodi adalah suatu zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel
darah putih untuk mengenali serta menetralisir antigen. Antigen adalah sebuah zat yang
merangsang respon imun, terutama dalam menghasilkan anibodi. Antigen biasanya
berupa protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul lainnya.
Pentingnya mahasiswa jurusan TLM mempelajari pemeriksaan imunoserologi
yaitu sebagai bekal kompetensi kepada mahasiswa agar mampu melakukan
pemeriksaan identifikasi terhadap antibodi dan antigen protein asing didalam tubuh,
serta investigasi masalah yang berhubungan dengan sistem manajemen mutu
pemeriksaan imunoserologi yang terjadi di laboratorium.
Untuk meningkatkan kualitas hasil pada pemeriksaan imunoserologi, perlu
dilakukan pemantapan mutu sehingga dapat dibuat interpretasi klinik yang sesuai
berdasarkan hasil laboratorium tersebut. Pemantapan mutu pemeriksaan imunoserologi
memiliki tantangan karena kompleksitas dari setiap metode pemeriksaan. Variabilitas
ini ditimbulkan dari berbagai tahapan, termasuk sumber antigen, antibodi yang
terdeteksi, sistem deteksi antibodi, konjugasi dan variasi metodologi.
Ada beberapa metode pemeriksaan imunoserologi yang dilakukan di laboratorium
patologi klinik, antara lain metode aglutinasi, ELISA, dan imunokromatografi.
Pembahasan dalam makalah ini akan menjelaskan manajemen mutu masing-masing
metode tersebut mulai dari pra analitik, analitik, hingga pasca analitik.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengidentifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Pentingnya mempelajari pemeriksaan imunoserologi sebagai bekal kompetensi
mahasiswa TLM
2. Terdapat variabilitas yang ditimbulkan dari berbagai tahapan pemeriksaan
imunoserologi

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang pemeriksaan imunoserologi, terutama dalam aspek
manajemen mutu
2. Untuk menambah wawasan pembaca dalam sistem manajemen mutu pemeriksaan
imunoserologi

2
BAB II
ISI

A. Pemeriksaan Aglutinasi
Reaksi aglutinasi sangat sensitif dan relatif mudah dilakukan. Mekanisme
terjadinya reaksi agltuinasi adalah reaksi antara reagen dengan salah satu reseptor
pengikat yang terdapat pada antibodi. Untuk memantau performen pemeriksaan
imunoserologi metode aglutinasi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kontrol.
Pada umumnya produsen telah menyediakan panel serum yang mengandung
sejumlah antibodi yang telah diketahui dan harus dikerjakan secara rutin ketika
pemeriksaan terhadap sampel dilakukan. Tabel 2.1 merupakan contoh QC untuk
mendeteksi antibodi dengan metode aglutinasi.

Tabel 2.1 QC Imunoserologi

Test antibodi Prosedur kontrol yang dibutuhkan Hasil yang diharapkan


Tes flokulasi Serum kontrol non-reaktif Tak ada penggumpalan
(RPR)
Serum kontrol reaktif lemah Penggumpalan bertingkat

Penggumpalan bertingkat
Serum kontrol reaktif

Aglutinasi latex Serum kontrol negatif Tak ada penggumpalan


(ASO)
Serum kontrol positif Terjadi penggumpalan
Aglutinasi Kontrol antigen Tak ada penggumpalan
langsung
(Widal) Serum kontrol negatif Tak ada penggumpalan

Serum kontrol positif Tak ada penggumpalan


Sumber: WHO, 2012
Jenis pemeriksaan yang akan saya bahas pada metode aglutinasi ini yaitu RPR.

3
1. Judul Pemeriksaan
Pemeriksaan RPR (Rapid Plasma Reagin)

4
2. Tujuan
Digunakan untuk penetapan secara kualitatif atau semi kuantitatif dalam
mendeteksi adanya reagin, yaitu salah satu jenis antibodi yang terdapat dalam
serum atau plasma penderita syphilis. Uji ini amat penting dan merupakan
salah satu cara utama untuk menunjang diagnosis penyakit syphilis.
3. Prinsip
Antigen yang digunakan dalam kit ini adalah modifikasi dari antigen
VDRL yang mengandung mikropartikel karbon untuk memperjelas
pengamatan. Reagen yang terdapat dalam spesimen penderita syphilis
menyebabkan terjadinya flokulasi dari partikel karbon dalam suspensi RPR
reagin. Terjadinya aglutinasi ini bisa terlihat oleh mata telanjang sebagai
gumpalan-gumpalan berwarna hitam yang mengambang ke permukaan cairan.
Spesimen yang tidak mengandung reagin akan menghasilkan cairan berwarna
abu-abu muda pada reaksi ini.
4. Alat dan Bahan
a. Rotator
b. Mikropipet 50µl
c. Kartu tempat reaksi
d. Pipet pengaduk
e. Stopwatch terkalibrasi
f. Kontrol positif
g. Kontrol negatif
h. RPR Carbon Antigen
i. Serum
j. NaCl 0.85%
5. Penyimpanan dan Stabilitas
Keseluruhan kit ini kecuali kartu reaksi, harus disimpan pada suhu 2-8°C
tetapi jangan sampai membeku. Suspensi antigen akan stabil sampai batas
kadaluarsa yang tercantum pada botol jika disimpan dengan benar. Bila
disimpan pada lemari pendingin, suspensi antigen yang telah dipindahkan ke
dalam botol penetes bisa bertahan sampai 3 bulan.

6. Pengumpulan dan Penanganan Spesimen


Spesimen yang dibutuhkan adalah serum dan plasma manusia.

4
7. Prosedur
a. Kualitatif
1) Biarkan sampel dan reagen mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2) Teteskan 1 tetes (50 µL) serum (tanpa pengenceran) ke dalam
lingkaran pada kartu reaksi.
3) Teteskan kontrol positif dan negatif pada lingkaran yang lain.
4) Kocok AIM RPR Test sebelum digunakan, teteskan masing-masing 1
tetes (50 µL) AIM RPR Test ke lingkaran berisi sampel, kontrol
positif, dan kontrol negatif.
5) Aduk campuran tersebut dengan menggunakan pipet pengaduk,
sebarkan cairan dalam masing-masing lingkaran dengan
menggunakan ujung pipet pengaduk yang datar.
6) Baca hasil tes segera di bawah cahaya terang.
b. Semi Kuantitatif
1) Biarkan sampel dan reagen mencapai suhu ruang sebelum digunakan.
2) Teteskan 50 µL saline pada lingkaran 2 dan seterusnya.
3) Teteskan 50 µL sampel serum pada lingkaran 1.
4) Teteskan 50 µL sampel serum pada lingkaran 2 yang sudah ada 50 µL
saline. Kemudian lakukan seri pengenceran. Caranya dengan
mencampur rata larutan saline dan spesimen pada lingkaran 2 itu
dengan pipet pengaduk , kemudian pindahkan 50 µL cairan ke
lingkaran 3, campur rata lagi, dan pindahkan 50 µL cairan ke lingkaran
4 dan seterusnya. Buanglah cairan pada seri pengenceran terakhir.
Hindari terjadinya gelembung udara pada saat pengenceran
berlangsung.
5) Atau buatlah terlebih dahulu seri/titer pengenceran sampel serum = 1/2,
1
/4, 1/8, 1/16, 1/32. Lalu teteskan 1 tetes (50 µL) serum yang telah
diencerkan tersebut ke kartu reaksi.
6) Kocok AIM RPR Test sebelum digunakan, teteskan masing-masing 1
tetes (50 µL) AIM RPR Test ke setiap lingkaran berisi seri
pengenceran sampel
7) Aduk campuran tersebut dengan menggunakan pipet pengaduk,
sebarkan cairan dalam masing-masing lingkaran dengan

5
menggunakan ujung pipet pengaduk yang datar. Mulailah dengan
pengenceran terbesar ke pengenceran terkecil.
8. Interpretasi Hasil
a. Uji Kualitatif
1) Hasil negatif (Non-Reaktif) ditunjukan dengan tidak terjadinya
flokulasi partikel-partikel karbon dalam suspensi antigen. Cairan
dalam lingkaran tes berwarna abu-abu muda.
2) Hasil positif (Reaktif) ditunjukan flokulasi partikel-partikel karbon
dalam suspensi antigen itu, yang terlihat sebagai gumpalan-gumpalan
berwarna hitam besar maupun kecil pada bagian tengah atau tepi pada
lingkaran tes. Hasil reaksi (positif) harus di konfirmasi dengan
menguji kembali spesimen secara kuntitatif. Uji Serologi lainnya
untuk informasi, seperti uji TPHA, TPI ataupun FTA-ABS juga
dianjurkan untuk dilakukan. Diagnosis klinis definitif tidak boleh
hanya didasarkan pada satu pengujian ini saja, tetapi harus ditetapkan
oleh dokter setelah seluruh hasil klinis dan laboris dalam jangka waktu
tertentu.
b. Uji Semi Kuantitatif
1) Pengenceran terakhir yang masih menunjukan adanya flokulasi
menunjukan titer daripada spesimen yang diuji.
Contoh :
Lingkaran 1 2 3 4 5
1 1 1 1 1
/1 /2 /4 /8 /16
Reaktif 1/2 R R N N N
Reaktif 1/4 R R R N N
1
Reaktif /8 R R R R N
Reaktif 1/16 R R R R R
2) Jika pengenceran terakhir (lingkaran 5) masih reaktif, seri
pengenceran harus diperpanjang sebagai berikut:
a) Siapkan pengenceran 1/16 pada serum yang akan diuji dengan
mencampur rata 100 µl serum yang akan diuji dengan mencampur
rata 100 µl serum itu dan 1500 µl larutan salin.
b) Pindahkan 50 µl serum yang sudah diencerkan 1/16 ke lingkaran 1
pada kartu tes baru

6
c) Lanjutkan seri pengenceran pada lingkaran 2 sampai sesuai
prosedur yang sudah dijelaskan diatas.
d) Catatan: Tidak boleh menggunakan plasma pada pengenceran ini.
9. Hasil
Tertera pada lampiran
10. Kesimpulan Hasil :
a. Pada gambar 2 didapatkan hasil RPR Negatif (tidak terjadi flokulasi)
b. Pada gambar 3 didapatkan hasil RPR Positif (terjadi flokulasi) dengan titer
1
/4
11. Pembahasan
Pemeriksaan yang termasuk dalam kategori Tes non-treponema adalah tes
RPR (Rapid Plasma Reagin) dan VDRL (Venereal Disease Research
Laboratory). Tes serologis yang termasuk dalam kelompok ini mendeteksi
imunoglobulin yang merupakan antibodi terhadap bahan-bahan lipid sel-sel
T.pallidum yang hancur. Antibodi ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap
infeksi sifilis. Namun antibodi ini juga dapat timbul pada berbagai kondisi lain,
yaitu pada infeksi akut (misalnya: infeksi virus akut) dan penyakit kronis
(misalnya: penyakit autoimun kronis). Oleh karena itu, tes ini bersifat non-
spesifik, dan bisa menunjukkan hasil positif palsu.
Tes non-spesifik dipakai untuk mendeteksi infeksi dan reinfeksi yang
bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Karena tes non spesifik ini
jauh lebih murah dibandingkan tes spesifik treponema, maka tes ini sering
dipakai untuk skrining. Jika tes non spesifik menunjukkan hasil reaktif,
selanjutnya dilakukan tes spesifik treponema, untuk menghemat biaya.
Hasil positif pada tes non spesifik treponema tidak selalu berarti bahwa
seseorang pernah atau sedang terinfeksi sifilis. Hasil tes ini harus dikonfirmasi
dengan tes spesifik treponema.
Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak
pertama kali muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien
yang dicurigai sifilis namun hasil RPR nya negatif.

7
Bagan 1.2. Bagan alur tes serologis sifilis

Hasil positif tes RPR perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP Rapid.


a. Jika hasil tes konfirmasi non-reaktif, maka dianggap reaktif palsu dan
tidak perlu diterapi namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
b. Jika hasil tes konfirmasi reaktif, dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR
kuantitatif untuk menentukan titer sehingga dapat diketahui apakah sifilis
aktif atau laten, serta untuk memantau respons terhadap pengobatan.
c. Jika hasil RPR reaktif, TPHA reaktif, dan terdapat riwayat terapi dalam
tiga (3) bulan terakhir, serta pada anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien
tidak perlu diterapi. Pasien diobservasi dan tes diulang tiga bulan
kemudian.
d. Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes diulang
tiga bulan kemudian.
e. Jika hasil RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien
dinyatakan sembuh.
f. Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif.
12. Keterbatasan Kit
a. Penyakit akibat infeksi Treponema non-venereal, misalnya frambusia
yang disebabkan T.pertenue dan patek yang disebabkan T.carateum
secara serologik tidak dapat dibedakan dari shyphilis dengan
menggunakan uji ini.

8
b. Hasil negatif palsu mungkin terjadi 20% - 30% penderita shyphilis. Hal
ini disebabkan karena pada penderita shyphilis laten, titer antibody non
treponemal seringkali rendah. Jadi jika secara klinis ada dugaan kuat
shyphilis laten, hendaknya dilakukan uji treponemal seperti TPHA, TPI
ataupun FTA-ABS.
c. Hasil reaktif palsu dapat dijumpai pada beberapa penyakit akut atau
kronik misalnya lepra lepromatosa, malaria, mononukleosus infeksiosa
eritematosus sisemik (SLE). Pada kasus-kasus yang meragukan diagnosis
definitive didasarkan atas hasil uji berulang kali.
d. Hasil positif semua ini dapat juga terjadi pada orang hamil, pada penyakit
autoimun, para pemakai narkotika dan para pemakai obat hipertensi.
e. Uji serologi pada syphilis congenital seringkali sulit di tafsirkan. Antibodi
IgG yang terdapat dalam darah ibu hamil penderita syphilis, baik non
treponemal maupun treponemal, dapat menembus plasenta sehingga uji
serologi neonatus dapat berhasil reaktif. Pada umumnya antibodi yang
berasal dapat menghilang dalam waktu 6-12 bulan.

B. Pemeriksaan ICT
Pada metode imunokromatografi tes, terdapat dua macam kontrol yang dapat
digunakan, yaitu:
1. Kontrol internal
Setiap reagen rapid mempunyai kontrol internal yang menyatu dengan
alat. Kontrol internal pada strip bervariasi tergantung pabrik yang
memproduksi, sehingga penjelasan dari pabrik pada kit insert harus dibaca dan
dipahami mengenai fungsi kontrol internal yang dipakai.
Jika kontrol internal tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka hasil
pemeriksaan yaitu invalid, tidak boleh dilaporkan dan harus diulang. Jika hasil
invalid terjadi dua kali, maka kontrol eksternal harus dievaluasi sebelum
mengulang pemeriksaan ketiga.
2. Kontrol eksternal
Kontrol ini merupakan material kontrol yang telah diketahui reaktif dan
non rekatif yang disediakan dalam setiap kit atau bisa dibeli secara terpisah

9
dari pabrik terentu. Kontrol eksternal merupakan sampel pengganti yang
digunakan untuk mengevaluasi integritas dan sisten serta mengetahui apakah
petugas laboratorium melakukan pemeriksaan dengan benar.
Pemeriksaan kontrol eksternal dengan hasil invalid atau mencurigakan
harus dilakukan untuk menemukan apakah masalah yang terjadi berasal dari
prosedur pemeriksaan yang tidak tepat, atau telah terjadi sesuatu pada
specimen.
Kontrol positif dan negatif harus diuji jika terjadi dua hasil invalid
berturut-turut pada seorang pasien. Jika hasil kontrol eksternal valid, masalah
mungkin disebabkan oleh substansi yang mengganggu spesimen. Penggunaan
kontrol eksternal direkomendasikan dilakukan pada kondisi berikut:
a) Setiap pergantian petugas atau petugas yang baru melakukan
pemeriksaan
b) Jika membuka lot kit baru, ketika menerima kiriman kit baru meskipun
dengan nomor lot yang sama dengan yang sedang digunakan
c) Jika temperatur area pemeriksaan diluar yang diinstruksikan pabrik
d) Secara periodik dengan interval tertentu
Seberapa sering pemeriksaan kontrol harus dilakukan tergantung pada
jumlah pemeriksaan yang dilakukan, seberapa sering pengiriman kit baru atau
nomor lot baru yang diterima, perubahan suhu penyimpanan dan pemeriksaan serta
seringnya berganti staf. Hasil kontrol harus didokumentasikan.
Jika kontrol eksternal memberikan hasil tidak benar, pemeriksaan sampel
pasien tidak boleh dan tidak satupun tes dilakukan sejak pelaksanaan kontrol
dengan hasil benar yang terakhir dianggap valid, sampai penyelesaian masalah
dilakukan untuk menentukan sumber masalah. Jika reagen atau kit dinyatakan
bermasalah, setiap pasien yang telah diperiksa sejak kontrol terakhir tersebut harus
dipanggil ulang untuk dilakukan pemeriksaan ulang.
Hasil pemeriksaan ulang harus didokumentasikan bersama dengan
langkah-langkah yang diambil untuk memecahkan masalah. Jika kontrol tidak
memberikan hasil yang benar, langkah-langkah harus diambil untuk menentukan
sumber masalah dengan mengikuti intruksi pemecahan masalah dari kontrol
eksternal. Prosedur tersebut akan membantu menentukan apakah sumber kesalahan
berasal dari kit, kontrol eksternal, atau teknik operator. Jika diperlukan, kontak

10
produsen untuk bantuan dan atau laporan komponen sistem pemeriksaan yang
kurang bagus.
Kemudian, jenis pemeriksaan yang akan saya bahas pada metode ICT ini
yaitu Anti HIV Strategi 3.
1. Judul pemeriksaan
Anti HIV Strategi 3
2. Tujuan pemeriksaan
Pada dasarnya ada 3 jenis tujuan pemeriksaan HIV yaitu:
a. Penapisan darah donor (keamanan transfusi/transplantasi)
b. Survei (surveilans untuk kepentingan program)
c. Penegakan diagnosis klinis
Berdasarkan tujuan pemeriksaan dibagi berdasarkan
a. Diagnosis yaitu:
1) Uji Cepat (Rapid Test)
2) EIAs (Enzyme Immunoassays)
3) Western Blot (WB)
b. Pemeriksaan dini pada bayi, yaitu:
1) Antigen P24
2) PCR DNA/RNA
c. Menginisiasi dan memantau pengobatan, yaitu:
1) CD4
2) Viral load
3. Strategi pemeriksaan HIV
Strategi adalah pendekatan pemeriksaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan khusus, seperti keamanan darah transfusi, surveilans dan
diagnosis. Untuk keperluan ini, algoritma yang dipilih harus sesuai dengan tujuan
pemeriksaan. Pemeriksaan serial adalah strategi yang direkomendasikan oleh
Kementrian Kesehatan. Pemeriksaan serial berarti contoh darah yang diperiksa
dengan reagen pertama. Pemeriksaan pertama menentukan apakah pemeriksaan
tambahan diperlukan.
Di Indonesia penggunaan strategi pemeriksaan HIV adalah sebagai
berikut :

11
a. Strategi 1 : Digunakan untuk keamanan darah (skrining darah
donor) hanya menggunakan satu reagensia dengan sensitifitas yang tinggi
> 99%
b. Strategi 2 : Digunakan untuk surveilans dengan menggunakan dua
macam reagensia dengan sensitifitas > 99% dan spesifisitas > 98%.
c. Strategi 3 : Digunakan untuk diagnosa dengan mengunakan Rapid
atau ELISA sesuai dengan Permenkes NO.241/Menkes/IV/2016. Standar
pelayanan laboratorium kesehatan pemeriksaan HIV/AIDS dan infeksi
oportunistik, dengan syarat sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan secara serial
2) Reagen pertama memiliki sensitivitas ≥ 99 %
3) Reagen kedua memiliki spesifisitas ≥ 98%
4) Reagen ketiga memiliki spesifisitas ≥ 99% atau lebih dari reagensia
kedua
5) Ketiga reagen memiliki preparasi antigen berbeda
6) Hasil diskorban tidak boleh lebih dari 5%
7) Petugas harus terlatih dan tersertifikasi
8) Harus melakukan PMI (Pemantapan Mutu Internal)
9) Harus melakukan PME (Pemantapan Mutu Eksternal)
10) Reagen yang digunakan harus sudah lulus evaluasi dari LRN RSCM
4. Prinsip pemeriksaan
Antigen HIV dilekatkan pada absorbent. Antibodi dari serum akan terikat.
Kompleks antigen antibodi akan divisualisasi dengan penambahan konjugat
berwarna.
5. Alat dan bahan
a. Sampel whole blood, plasma, atau serum
b. Reagen rapid Test Anti-HIV ½ Cassette
c. Pipet
d. Diluent
e. Timer
Stabilitas dan penyimpanan: Simpan pada suhu 4 – 30 derajat celsius , jangan
simpan dibawah sinar matahari .
6. Pra Analitik, Analitik dan Pasca Analitik
a. Pra Analitik

12
1) Persiapan pasien: Setiap pasien yang akan diperiksa untuk HIV perlu
melalui prosedur konseling dan pasien menandatangani inform consent
sebagai tanda persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan HIV
2) Persiapan petugas: Petugas yang melakukan pemeriksaan HIV sudah
mendapatkan pelatihan pemeriksaan HIV
3) Persiapan sampel: Pengambilan sampel harus dilakukan oleh flebotomis
atau tenaga yang berkompetensi untuk pengambilan sampel darah.
Pengolahan sampel darah harus dilakukan sesuai petunjuk package insert
reagensia dan harus mengikuti Prosedur Kerja Standart.
4) Persiapan reagensia: Pemeriksaan menggunakan reagensia yang sudah
terdaftar pada Kementrian Kesehatan dan pemilihan reagensia yang
dipakai pada pemeriksaan pertama, kedua dan ketiga harus mengikuti
kaidah seperti yang tertulis dalam KepMenKes
no.241/MenKes/IV/2006.Selain itu perlu diperhatikan juga waktu
kadaluarsa dan suhu penyimpanan dari tiap kemasan reagensia yang
diterima.
5) Persiapan Alat: Semua peralatan yang dipakai harus terpelihara dan
terkalibrasi secara teratur.Kebersihan peralatan perlu mendapatkan
perhatian untuk menjamin keselamatan kerja.
b. Analitik/Prosedur Kerja
1) Bawa semua material dan spesimen kedalam temperatur ruangan
,letakkan pada tempat yang datar dan tandai dengan ID pasien.
2) Keluarkan cassette dari dalam pembungkusnya
3) Dengan menggunakan pipet disposibel yang disediakan, ambil satu tetes
(35μl) sample dan masukan ke dalam sample pada cassette.
4) Setelah sample terserap segera teteskan 1 tetes (35 μl) diluent kedalam
lubang sampel
5) Baca hasil dalam 5-15 menit. Jangan baca hasil setelah 15 menit,
c. Pasca Analitik/Pencatatan dan Pelaporan
Catat hasil pemeriksaan pada lembar kerja pemeriksaan HIV dan juga
catat secara rinci hal hal sebagai berikut: tanggal pemeriksaan dilakukan,
nama reagensia yang digunakan, tanggal kadaluarsa dan nomor lot reagensia
yang dipakai.

13
7. Interpretasi hasil
Reaktif : Ketika keduanya, baik pita pemeriksaan dan pita kontrol
tampak garis
Non reaktif : Ketika hanya pita kontrol yang tampak garisnya
Invalid : Ketika pita kontrol tidak tampak .
Jika pemeriksaan menghasilkan hasil yang invalid, maka pemeriksaan ini gagal
dan harus dulangi lagi.
Definisi reaktif dan non reaktif:
Reaktif berarti ada antibodi HIV pada sampel
Non reaktif berarti tidak ada antibodi HIV dideteksi
Keterangan hasil pemeriksaan kode sampel 40 (gambar terlampir)
Anti HIV Test I : Reaktif (Intec)
Test II : Reaktif ( SD)
Test III : Reaktif (Vikia)
8. Kekurangan dan kelebihan
a. Kekurangan:
1) Jumlah pemeriksaan yang dapat dikerjakan per running sedikit
2) Quality Assurance (QA)/Quality Control (QC)sulit dilakukan
3) Pembacaan hasil pemeriksaan subyektif
4) Hasil harus di bacakan dalam waktu singkat
5) Dokumentasi dan reprodusibilitas pemeriksaan rendah
b. Kelebihan:
1) Meningkatkan akses untuk pencegahan dan intervensi
2) Konseling dan diagnosis dihari yang sama
3) Mudah digunakan
4) Tidak butuh keahliaan khusus
5) Waktu pemeriksaan di bawah 30 menit
6) Tidak membutuhkan pendinginan
7) Tidak membutuhkan peralatan yang khusus
9. Tantangan pemeriksaan HIV
Ada beberapa tantangan terkait pemeriksaan HIV
a. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV tidak dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis pada bayi usia kurang dari 18 bulan

14
b. Beberapa pemeriksaan mungkin tidak mampu mendeteksi antibodi terhadap
semua sub tipe HIV. Contohnya pada generasi pemeriksaan HIV pertama
tidak mampu mendeteksi grup O.
c. Reaksi silang dengan kondisi penyakit atau infeksi lain menurunkan
spesifitas pemeriksaan. Contoh: virus Sitomegalovirus dan Epstein-Barr
d. Beberapa teknologi membutuhkan peralatan khusus yang harus dirawat
dengan tepat
e. Petugas harus mempunyai keahlian tertentu untuk menginterpretasikan hasil
pemeriksaan dengan akurat dari mudah hingga sulit)

Bagan 2.2. Alur pemeriksaan diagnosa HIV strategi III

15
Interpretasi hasil dan tindak lanjutnya adalah sebagai berikut:
a. Positif: A1, A2, dan A3 reaktif
Dirujuk untuk pengobatan HIV
b. Negatif
1) A1 non reaktif
2) A1 reaktif, pengulangan A1 dan A2 non reaktif
3) Salah satu reaktif, tapi tidak ada risiko
4) Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan
12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun.
c. Indeterminate
1) Dua tes reaktif
2) 1 tes reaktif dengan risiko atau pasangan berisiko
3) Tes diulang 2 minggu lagi dengan sampel berbeda, jika tetap indeterminate,
lanjutkan dengan PCR
4) Jika tidak ada PCR, rapid test diulang 3, 6, dan 12 bulan dari pemeriksaan
yang pertama. Jika sampai satu tahun hasil tetap indeterminate dan faktor
risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif

C. Pemeriksaan ELISA
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) merupakan suatu teknik
biokimia untuk mendeteksi kehadiran antibodi atau antigen dalam suatu sampel.
ELISA dipakai untuk pengujian semua antigen, hapten atau antibody. Prinsip
kerja dari teknik ELISA adalah berdasarkan reaksi spesifik antara antibody dan
antigen dengan menggunakan enzim sebagai penanda (marker). Enzim tersebut
akan memberikan suatu tanda terdapatnya suatu antigen jika antigen tersebut
sudah bereaksi dengan antibodi. Reaksi tersebut memerlukan antibody spesifik
yang berikatan dengan antigen (Baker dkk, 2007).
Teknik ELISA didasarkan pada reaksi spesifik antara antigen dengan
antibodi yang memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi dengan menggunakan
enzim sebagai indikator. Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara
antigen dan antibodi dengan menggunakan enzim sebagai penanda reaksi
(Yusrini 2005). Prinsip kerja ELISA adalah adanya ikatan antara antigen dan

16
antibodi kompleks dengan penambahan substrat tertentu dan enzim peroksida
yang akan memberikan perubahan warna pada hasil yang positif (Azwar 1985).
ELISA memiliki 4 teknik yaitu direct ELISA, indirect ELISA, sandwich
ELISA dan competitive ELISA. Direct ELISA merupakan metode ELISA yang
paling sederhana. Direct ELISA digunakan untuk mengukur konsentrasi
antigen pada sampel. Direct ELISA mendeteksi antigen dengan cara mengikat
antigen dengan antibodi yang telah dilabel seara langsung dengan enzim. Reaksi
pengikatan tersebut terjadi secara spesifik (Ausubel, 2003). Diret ELISA
memiliki keuntungan diantaranya lebih cepat karena prosedur dan reagen yang
dibutuhkan lebih sedikit (Elisa, 2017).
Indirect ELISA banyak digunakan untuk mengukur konsentrasi antibodi.
Enzim diikatkan pada antibodi sekunder yang berikatan dengan antibodi primer.
Antibodi sekunder biasanya adalah antispeies antibody dan sering dipakai
antibody poliklonal. Indirect ELISA memeiliki keuntungan diantaranya
sensitivitasnya tinggi dan lebih hemat karena membutuhkan antibody berlabel
yang lebih sedikit (Elisa, 2017).
Sandwich ELISA dicirikan oleh antibodi penangkap antigen yang diikatkan
pada fase padat. Teknik tersebut terdiri dari dua macam, yaitu direct sandwich
ELISA dan indirect sandwich ELISA. Antibodi penangkap pertama kali
diletakkan ke dalam well kemudian antigen dari darah atau urin ditambahkan
ke dalam well sehingga berikatan dengan antibodi penangkap. Jika ke dalam
well langsung ditambahkan antibodi detektor yang telah dilabel enzim maka
disebut dengan direct sandwich ELISA, sedangkan apabila ditambahkan
antibodi detektor yang tanpa dilabel enzim terlebih dahulu disebut dengan
indirect sandwich ELISA (Berg 2002). Prosedur ini memiliki keuntungan
diantaranya spesifitasnya tinggi, dapat digunakan untuk sampel kompleks dan
sensitif (Elisa, 2017).
Competitive ELISA adalah teknik paling kompleks yang digunakan untuk
mengukur konsentrasi antigen atau antibodi dalam sampel dengan
mengobservasi campur tangan pada output sinyal yang diinginkan. Teknik ini
sering digunakan ketika hanya ada satu antibodi tersedia untuk antigen yang

17
diinginkan atau ketika sampel sedikit dan tidak dapat diikat oleh dua antibodi
yang berbeda (Elisa, 2017).
Pengamatan hasil ELISA dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif.
Hasil ELISA secara kuantitatif dapat diamati dari nilai optical density (OD)
yang diukur dengan menggunakan ELISA reader. Hasil kuantitatif
diinterpretasikan dalam perbandingan dengan kurva standar (purifikasi antigen)
agar dapat secara tepat digunakan untuk menghitung konsentrasi antigen dalam
berbagai sampel (Elisa, 2017). Hasil ELISA secara kualitatif dapat diamati
dengan adanya perubahan warna menjadi kuning pada reaksi pengujian jika
sampel yang diuji mengandung antigen. Semakin tinggi intensitas warna yang
terbentuk, maka semakin tinggi pula konsentrasi antigen pada sampel tersebut
(Miller, 2006). Data ELISA biasanya digambarkan dengan nilai optical density
(OD) dan konsentrasi log untuk menghasilkan kurva sigmodial. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggambar grafik langsung atau dengan software MS Excel
curve fitting yang ada pada ELISA reader (Elisa, 2017). Berikut prosedur
oprasionalnya :

1. Pre Analitik
Metode yang dipakai adalah metode ELISA Sandwich Indirect (doubel
antibody). Kelebihan dari metode ini adalah sampel tidak harus dimurnikan
sebelum dianalisis, dan pengujiannya bisa sangat sensitive. Hal-hal dan
persyaratan yang perlu di perhatikan :
a. Waktu pengambilan sampel darah bisa sewaktu atau yang paling bagus pada
pagi hari
b. Bahan serum atau tergantung kit insert
c. Identifikasi pasien diperhatikan (nama,tgl lahir,rm)
d. Suhu dan media pengiriman sampel diperhatikan
e. Kit insert reagen diperhatikan (lot,expired)

18
2. Analitik
a. Siapkan Alat dan Bahan
1) Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum Enzyme-linked
Immunosorbent Assay (ELISA) ini adalah sebagai berikut:
a) Elisa Reader
b) Mikropipet single & tip
c) Mikropipet Multichennel 20-200 µl
d) Inkubator
e) Tabung Ependof
f) Vortex

2) Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum Enzyme-linked
Immunosorbent Assay (ELISA) ini adalah sebagai berikut:
a) Serum tikus
b) Pre-coated ELISA Plate
c) Standard Solution
d) Standard Diluent
e) Streptavidin-HRP
f) Stop Solution
g) Substrate Solution A & B
h) Wash Buffer Concentrate
i) Biotin-Conjugate Anti-Rat IL-10 Antibody
j) Plate Sealer
k) Deionized or distilled water

19
b. Prosedur Kerja
Praktikum yang dilakukan menggunakan teknik Sandwich Indirect
ELISA. Adapun prosedur kerja yang dilakukan saat praktikum adalah
sebagai berikut :
1) Semua reagen, larutan standart dan contoh disiapkan sesuai intruksi.
2) Disiapkan pengenceran standart dan wash buffer
a) Pengenceran standart (diencerkan 120 µl Standard Solution ke
dalam 120 µl Standard Diluent).

b) Wash Buffer (diencerkan Wash Buffer Concentrate 15 ml ke dalam


deionized or distilled water dan di tambahkan 300 ml).
3) Ditambahkan 50 µl standart ke masing-masing well plate.
4) Ditambahkan 40 µl sampel ke well plate dan 10 µl antibody anti-IL-
10, kemudian tambahkan 50 μl streptavidin-HRP ke well plate
sampel dan well standart (Not blank control well).
5) Diinkubasi selama 60 menit pada suhu 37 °C (well ditutup dengan
sealer).
6) Sealer dibuka, dan well dicuci sebanyak 3 kali dengan wash buffer.
7) Ditambahkan 50 µl Substrate Solution A ke masing-masing well,
kemudian ditambah 50 µl Substrate Solution B
8) Dinkubasi selama 10 menit pada suhu 37°C.
9) Ditambahkan 50 µl stop solution ke masing-masing well (warna biru
akan berubah menjadi kuning).
10) Ditentukan Optical Density (OD), dan dibaca dengan Elisa Reader
pada panjang gelombang 450 nm, dalam 30 menit setelah
penambahan Stop Solution.
11) Dibuat kurva standart (software MS Excel curve fitting).

20
c. Hasil Pengamatan

1) Hasil Pengukuran Standart

No Konsentrasi (pg/mL) Absorbansi


1 50 0.136
2 100 0.236
3 200 0.33
4 400 0.66
5 800 1.01

2) Kurva Standart

S = 0.03460486
r = 0.99756498

1
1 .1

3
0 .9
Y Axis (u n its)

4
0 .7

6
0 .5

7
0 .3

9
0 .1

0
0 .0
0.0 146.7 293.3 440.0 586.7 733.3 880.0

X Axis (units)

Hasil kuantitatif diinterpretasikan dalam perbandingan dengan kurva


standar Optical Density (OD), dari kurva standar didapatkan nilai
regresi r=0,99756, hasil absorbansi menunjukkan bahwa semakin besar
konsentrasi maka nilai OD semakin besar (berbanding lurus).

3) Nilai Absorbansi dan Kadar IL-10 pada Sampel

No Sampel Absorbansi Kadar


(Pg/ml)
1 Sampel 1 0.22 109.11
2 Sampel 2 0.49 280.58
3 Sampel 3 0.601 361.88
4 Sampel 4 0.548 322.06
5 Sampel 5 0.612 370.4

21
Kadar IL-10 pada sampel 1 adalah 109,117 pg/ml, sampel 2 adalah
280,587 pg/ml, sampel 3 adalah 361,884 pg/ml, sampel 4 adalah 322, 065
pg/ml, sampel 5 adalah 370, 404 pg/ml.

3. Post Analitik
a. Validasi hasil oleh TLM dan autorisasi oleh dokter Patologi klinik/yang
bertanggung jawab.
b. Pemberian hasil ke pasien bisa dilihat lagi seperti nama,rm dn tanggal lahir .

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Terdapat beberapa metode pemeriksaan uji tes di bidang Imunoserologi,


seperti metode pemeriksaan Aglutinasi, metode pemeriksaan ICT dan metode
pemeriksaan ELISA sebagai penunjang Laboratorium di bidang imunoserologi atau
bidang lainnya. Pada dasarnya semua metode pemeriksaan diatas sudah sangat bagus
dan masing-masing memiliki sensitifitas masing-masing tergantung product reagent
yang dibeli oleh instansi laboratorium RS/puskesmas/klinik dan juga faktor dari
kondisi klinis pasien. Selain itu hasil yang dikeluarkan dari setiap metode pemeriksaan
akan berbeda-beda, ada yang berupa interpretasi dengan hasil kualitatif
(Positif/Negatif) yaitu methode aglutinasi atau rapid, dan ada juga interpretasi hasil
kuantitatif (Angka/Titer) dengan methode Semi kuantitatif/ELISA/ELFA.

B. Saran

Dari penyusunan makalah ini, saya mengharapkan kritik, saran, dan


masukan dari pembaca dan dosen pebimbing agar makalah ini bisa menjadi
lebih sempurna, dan menjadi sumber ilmu yang bermanfaat bagi pembaca
untuk di bidang imunoserologi.

24
C. Daftar Pustaka

Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, J.G. Seidman, J.A. Smith
& K. Struhl. 2003. Current Protocols in Molecular Biology. John Wiley &
Sons, Inc., USA.

Azwar, I. G. M. 1985. Kemungkinan Penggunaan Enzyme-linked


Immunosorbent Assay (ELISA) Dalam Diagnosa Serologis Brucellosis.
IPB: Bogor.

Baker, G.B, S. Dunn & A. Latja. 2007. Handbook of neurochemistry and


molecular neurobiology: Practical nerochemistry methods, vol. 6. Springer
Science, New York.

Berg, J. M. 2002. Indirect ELISA and Sandwich ELISA. (Online).


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK22420/ diakses 9 Oktober 2018.

Buku Laporan Praktikum Lahan Imunoserologi Kelompok A1 Kelas Karyawan


D III Poltekkes Kemenkes Jakarta 3 2018

Elisa, 2017. Elisa Basics Guide. Life Sciences Groub, Canada


http://poltekkes-denpasar.ac.id

Miller, D. C. 2006. Mechanism of enhanced vascular cell response to polymeric


biomaterials with nano-structured surface features. ProQuest Information
and Learning Company, Ann Arbor.
Tuntun, Maria. Sri, Wieke. dkk. 2018. Bahan Ajar Teknologi Laboratorium
Medik: Kendali Mutu. Pusat PPSDM. Jakarta

Yusrini, H. 2005. Teknik Analisis Kandungan Aflatoksin B1 Secara Elisa Pada


Pakan. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1. Bogor.

25
D. Lampiran

Gambar 1. Kit AIM RPR test

Gambar 2. Kontrol RPR positif, kontrol RPR


negatif dan hasil pasien RPR negatif

Gambar 3. Hasil pasien RPR positif

26
Gambar 4. Kit ICT HIV tes

Gambar 5. Kit ICT HIV tes

Gambar 6. Hasil sampel reaktif ICT HIV dengan tiga


kaset berbeda

27
Gambar7. (Hasil pada Plate) Well A1: Blank, Well A2-A6 berisi
Standart, Well A7-A11 adalah sampel.

Gambar8. Print out hasil pada plate pembacaan

28

Anda mungkin juga menyukai