Para Parese
Para Parese
PARAPARESE FLACCID
ECAUSA FRAKTUR KOMPRESI MEDULLA SPINALIS ONSET KRONIK
*
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar
**
Residen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
***
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar
ABSTRAK
Trauma medulla spinalis adalah trauma tulang belakang yang menyebabkan lesi di medulla spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis yang dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Hal
ini disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung yang mengenai medula spinalis dan merupakan
keadaan darurat neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka
kecacatan dan kematian.
Penatalaksanaan kasus trauma medulla spinalis memerlukan perhatian khusus, mulai dari tempat kejadian
sampai perawatan di rumah sakit, dimana kasus yang ditangani dengan cepat dapat memberikan prognosis yang
baik. Pada kasus ini, paraparese flaksid dialami sejak 6 bulan setelah pasien jatuh dari ketinggian 3 meter,
dimana hasil MRI Thoracolumbal ditemukan gambaran stenosis totalis kanalis spinalis Th12-L1. Pada kasus
trauma medulla spinalis dengan onset kronik, fokus tatalaksana lebih dititikberatkan pada pencegahan
komplikasi, rehabilitasi, dan edukasi. Pada kasus ini dengan klasifikasi ASIA/IMSOP grade A dimana
kebanyakan pasien dengan prognosis malam dan komplikasi yang buruk, namun pada kasus ini komplikasi
dapat dicegah dengan luaran klinis peningkatan kualitas hidup pasien dengan skala nyeri yang berkurang serta
penerimaan pasien dan keluarga terhadap disabilitas.
Kata Kunci :
Trauma medulla spinalis, stenosis totalis kanalis spinalis, paraparese flaksid, onset kronik
disertai bulging discus pada level Th12 – sehingga pasien lebih dapat menerima
L1 yang menekan dural sac dan keadaaan disabilitas yang dialaminya.
menyempitkan nerve root bilateral serta
FOLLOW UP DAN OUTCOME
menyebabkan stenosis totalis canalis
spinalis pada level tersebut. Bulging discus Pasien dirawat selama tujuh hari,
pada level L4 – 5 yang menekan ringan meskipun tidak ada perbaikan motorik
dural sac, tidak menyempitkan nerve root yang bermakna namun secara umum
bilateral dan tidak tampak stenosis canalis kualitas hidup pasien membaik dengan
spinalis pada level tersebut. Penyempitan nyeri yang berkurang dan luka dekubitus
discus intervertebralis Th12 – L1 dengan yang membaik. Skala nyeri pada saat
degenerative disc disease pada Th12 – L1, masuk adalah 4 dengan menggunakan
L4 – 5, L5 – S1. MR Myeolgrafi : tampak penilaian visual analoque scale (VAS),
stenosis totalis canalis spinalis pada level pada hari ke-tujuh perawatan skala nyeri
Th12 – L1. berkurang menjadi nilai 2 dengan
penilaian VAS.
TATALAKSANA:
DISKUSI KASUS
Kasus ini tergolong kasus dengan
onset kronik sehingga tatalaksana lebih Klasifikasi cedera medulla spinalis
fokus pada pencegahan perburukan, menurut American Spinal Injury
pengurangan komplikasi, dan edukasi Association (ASIA) dan the International
mengenai keadaan pasien. Untuk Medical Society of Paraplegia (IMSOP)
penatalaksanaan nyeri diberikan injeksi didasarkan pada keutuhan fungsi motorik,
ketorolac 30 mg per 12 jam secara sensorik, dan sfingter. Pemeriksaan
intravena. Selain itu diberikan antibiotik motorik dilakukan dengan menggunakan
pantoprazole 40mg per 24 jam secara 10 Key Muscles. Kekuatan motorik
intravena, metronidazole 500mg per 8 jam ditentukan berdasarkan MRC Grading
secara intravena, dan ceftriaxone 1 gr per System (skor 1-5). Total skor fungsi
12 jam secara drips intravena. Pemberian motorik adalah 100. Pemeriksaan sensorik
antibiotik atas dasar temuan klinis adanya dilakukan pada 28 dermatom pada tiap sisi
ulkus dekubitus dengan peningkatan tubuh, meliputi pemeriksaan raba halus
leukosit. Selain tatalaksana dan pin prick test. Total skor untuk raba
medikamentosa juga dilakukan edukasi halus dan pin prick test masing-masing
mengenai keadaan dan prognosis pasien adalah 112. Level sensorik dan motorik
diidentifikasi sebagai segmen paling
kaudal dari medulla spinalis yang masih keluarga dapat menerima disabilitas yang
memiliki fungsi sensorik dan motorik dialami pasien. 3,4
normal.2
Tatalaksana medikamentosa
Pada kasus ini menurut klasifikasi untuk cedera medulla spinalis didasarkan
ASIA dan IMSOP merupakan kasus pada rekomendasi National Acute Spinal
dengan level grade A, yaitu lesi komplit Cord Injury Studies III (NASCIS III).
dimana tidak ada fungsi motorik dan Berdasarkan NASCIS II dan NASCIS III,
sensorik yang masih baik pada segmen pasien dengan trauma medulla spinalis
setinggi S4-S5. akut diberikan terapi metilprednisolon
dalam 8 jam pertama setelah terjadinya
Tatalaksana pada kasus cedera
trauma.5 Jika pasien datang kurang dari 3
medulla spinalis bertujuan untuk (1)
jam pertama setelah terjadinya trauma,
memulihkan defisit neurologis secara
pasien diberikan dosis metilprednisolon 30
maksimal, (2) stabilisasi medulla spinalis,
mg/kgBB bolus salama 15 menit. Berikan
(3) mobilisasi, dan (4) rehabilitasi. Selain
jeda 45 menit sebelum dilanjutkan dengan
itu, untuk beberapa kelainan akibat cedera
dosis 5,4 mg/kgBB/jam dalam infus
medulla spinalis terapi hanya bertujuan
selama 23 jam berikutnya. Jika pasien
untuk mencegah perburukan, mengurangi
datang dalam rentang waktu 3 – 8 jam
komplikasi, dan mengedukasi pasien untuk
pasca trauma, maka metilprednisolon
dapat menerima disabilitas yang
diberikan dengan dosis 30 mg/kgBB bolus
dialaminya.1 Pada kasus ini dimana onset
selama 15 menit, kemudian dilanjutkan
kejadian telah lebih dari enam bulan, maka
dengan dosis 5,4 mg/kgBB/jam dalam
yang dapat dilakukan adalah fokus pada
infus selama 48 jam berikutnya. Pemberian
pencegahan perburukan, mengurangi
metilprednisolon 8 jam pasca trauma tidak
komplikasi, dan edukasi agar pasien dapat
dianjurkan karena memberikan hasil
menerima disabilitas yang dialami.
pengobatan yang lebih buruk
Dengan demikian diharapkan dapat
dibandingkan plasebo. Metilprednisolon
memperbaiki kulaitas hidup pasien. Pada
dosis tinggi memiliki efek samping berupa
kasus ini juga demikian, dimana setelah
perdarahan gastrointestinal, pneumonia,
perawatan hari ke tujuh telah terdapat
sepsis, ulkus peptik, dan hiperglikemia.1
penurunan skala nyei yang bermakna dari
Pada pasien ini, tidak dilakukan
nilai VAS 4 ke VAS 2, disamping itu telah
pemberian metilprednisolon disebabkan
dilakukan edukasi baik kepada pasien
karena onset yang sudah lebih dari 8
maupun keluarga sehingga pasien dan
dengan pertimbangan hasil anamnesis dan serius. Pada kasus ini dimana onset
pemeriksaan fisik didapatkan berupa kejadian kronik, maka fokus tatalaksana
kelemahan kedua tungkai yang dialami lebih dititikberatkan pada pencegahan
sejak 5 bulan terakhir post trauma akibat komplikasi yang lebih berat, rehabilitasi,
terjatuh dari tangga rumah, tanpa dibawa dan edukasi pasien serta keluarga. Dengan
ke rumah sakit, sehingga keadaan pasien adanya pengetahuan yang cukup dan
semakin lama semakin menurun, pada kesiapan mental keluarga dan pasien
akhirnya kejadian trauma tersebut akan terhadap disabilitas yang disandang dapat
mengganggu fungsi organ pasien. memberikan support yang baik bagi
Prognosis ad sanationam adalah malam, kualitas hidup pasien.
dengan pertimbangan bahwa trauma yang Pada kasus ini telah dilakukan
dialami pasien akan sulit untuk kembali informed consent pada pasien. Kasus ini
pulih seperti sedia kala. Pada kasus ini telah disetujui oleh pasien untuk
meskipun prognosis yang buruk pada dipublikasi
perkembangan motorik pasien namun DAFTAR PUSTAKA
komplikasi fatal DVT yang mengancam 1. Yetty Ramli et all. 2015. Neurotrauma.
nyawa dapat dihindari dengan penanganan Fakultas Kedokteran Universitas