Anda di halaman 1dari 38

BAB III

LANDASAN TEORI

3.1 Sistem Produksi


3.1.1 Definisi Sistem Produksi
Sistem produksi terdiri dari dua kata yaitu sistem dan produksi. Ada
beberapa pendapat dari para ahli mengenai pengertian dari dua kata tersebut.
Pengertian sistem menurut Gaspersz (2004), sistem adalah aktivitas yang
bertanggung jawab untuk menciptakan nilai tambah produk yang merupakan
output dari setiap organisasi. Menurut Groover (2005), sistem produksi adalah
kumpulan dari manusia, peralatan, dan prosedur-prosedur, yang diorganisasikan
untuk menyelesaikan kegiatan operasi manufacturing dari perusahaan atau
organisasi.
Sistem produksi merupakan kumpulan dari sub sistem yang saling
berinteraksi dengan tujuan mentransformasi input produksi menjadi output
produksi (Ginting, 2007). Input produksi ini dapat berupa bahan baku, mesin,
tenaga kerja, modal, dan informasi. Sedangkan output produksi merupakan
produk berikut hasil sampingannya seperti limbah, informasi dan sebagainya.
Dalam sistem produksi modern terjadi suatu proses transformasi nilai
tambah yang mengubah input menjadi output yang dapat dijual dengan harga
yang kompetitif di pasar. Proses transformasi nilai tambah dari input menjadi
output dalam sistem produksi modern selalu melibatkan komponen struktural dan
fungsional. Sistem produksi memiliki beberapa karakteristik berikut (Gasperz,
2004):
1. Mempunyai komponen-komponen atau elemen-elemen yang saling berkaitan
satu sama lain dan membentuk kesatuan yang utuh.
2. Mempunyai tujuan yang mendasari keberadaannya, yaitu menghasilkan
produk (barang dan/atau jasa) berkualitas yang dapat dijual dengan harga
kompetitif di pasar.
3. Mempunyai aktivitas berupa proses transformasi nilai tambah input menjadi
output secara efektif dan efisien.

19
4. Mempunyai mekanisme yang mengendalikan pengoperasiannya berupa,
optimalisasi pengalokasian sumber-sumber daya.

Gambar 3.1 Skema Sistem Produksi


(Sumber: Gaspersz, Production Planning And Inventory Control, 2004)

Sistem produksi memiliki komponen atau elemen struktural dan


fungsional yang berperan penting dalam menunjang kontinuitas operasional
sistem produksi itu. Komponen atau elemen struktural yang membentuk sistem
produksi terdiri dari bahan (material), mesin, peralatan, tenaga kerja, modal,
energi, informasi, tanah dan lain-lain. Sedangkan komponen atau elemen
fungsional terdiri dari supervisi, perencanaan, pengendalian, koordinasi, dan
kepemimpinan yang semuanya berkaitan dengan manajemen dan organisasi.
Suatu sistem produksi selalu berada dalam lingkungan, sehingga aspek-aspek
lingkungan seperti perkembangan teknologi, sosial, dan ekonomi serta kebijakan
pemerintah akan sangat mempengaruhi keberadaan sistem produksi itu. Secara
skematis sederhana, sistem produksi dapat dilihat pada Gambar 3.1.

20
3.1.2 Definisi Proses Produksi
Proses produksi yaitu alat yang digunakan untuk mengubah masukan
sumber daya guna menciptakan barang dan jasa yang berguna sebagai keluaran
(Buffa,1996). Proses produksi juga memiliki pengertian sebagai sebuah metode
atau teknik yang digunakan dalam mengolah bahan baku menjadi produk setengah
jadi atau produk jadi (Agung dan Imdam, 2014).
Definisi lain dari proses adalah suatu kumpulan tugas yang dikaitkan
melalui suatu aliran material dan informasi yang mentransformasikan berbagai
input ke dalam output yang bermanfaat atau bernilai tambah tinggi. Suatu proses
memiliki kapabilitas atau kemampuan untuk menyimpan material (yang diubah
menjadi barang setengah jadi) dan informasi selama transformasi berlangsung.
Menurut Gasperz (2004), salah satu cara umum yang digunakan untuk
menggambarkan proses dari sistem produksi adalah diagram alir proses (process
flow diagram). Diagram alir dari suatu proses produksi ditunjukkan pada Gambar
3.2:

Gambar 3.2 Diagram Alir Proses Hipotesis dari Sistem Produksi


(Sumber: Gaspersz, 2004)

21
Berdasarkan gambar 3.2 terdapat dua jenis aliran yang perlu
dipertimbangkan dari setiap proses dalam sistem produksi, yaitu aliran material
atau barang setengah jadi dan aliran informasi. Aliran material terjadi apabila
material dipindahkan dari satu tugas ke tugas berikutnya, atau dari beberapa tugas
ke tempat penyimpanan atau sebaliknya. Selama aliran material berlangsung
terjadi penambahan tenaga kerja dan/atau modal, karena dibutuhkan tenaga kerja
dan/atau peralatan untuk memindahkan material atau barang setengah jadi itu.
Perbedaan antara aliran (flows) dan tugas (tasks) adalah bahwa aliran mengubah
posisi dari barang dan/atau jasa (tidak memberikan nilai tambah), sedangkan tugas
mengubah karakteristik (memberikan nilai tambah) pada barang dan/atau jasa.
Kategori ketiga dari aktivitas dalam proses produksi adalah penyimpanan
(storages). Suatu penyimpanan terjadi apabila tidak ada tugas yang dilakukan
serta barang dan/atau jasa itu sedang tidak dipindahkan. Dengan kata lain,
penyimpanan adalah segala sesuatu yang bukan tugas ataupun aliran. Dari ketiga
kategori aktivitas dalam proses dari sistem produksi, yaitu tugas, aliran, dan
penyimpanan, tampak bahwa hanya tugas yang memberikan nilai tambah pada
produk. Sedangkan aliran dan penyimpanan tidak memberikan nilai tambah pada
produk. Oleh karena itu, dalam sistem produksi modern, seperti JIT (Just in
Time), aktivitas aliran dan penyimpanan dalam proses diusahakan untuk
dihilangkan atau diminimumkan melalui perbaikan terus-menerus (continuous
improvement) pada proses produksi itu.

3.2 Pengukuran Waktu Kerja (Work Measurement)


Pengukuran waktu kerja menurut Wignjosoebroto (1995) adalah suatu
aktivitas untuk menentukan waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator
terampil dalam melaksanakan sebuah kegiatan kerja, yang dilakukan dalam
kondisi dan tempo kerja yang normal. Sedangkan menurut Sutalaksana (2006),
pengukuran waktu kerja adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu-waktu
kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang telah
disiapkan.

22
Menurut Sutalaksana (2006), pengukuran waktu kerja dilakukan terhadap
terhadap beberapa alternatif sistem kerja yang terbaik diantaranya dilihat dari segi
waktu, dicari sistem kerja yang membutuhkan waktu penyelesaian tersingkat.
Pengukuran waktu ditujukan juga untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian
pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh pekerja normal untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem terbaik.
Tujuan pokok dari aktivitas ini berkaitan erat dengan usaha menetapkan
waktu baku/standar (standard time). Ada berbagai macam cara untuk mengukur
dan menetapkan waktu standar yang pada umumnya dilaksanakan dengan
pengukuran waktu kerja sebagai berikut:
1. Pengukuran waktu kerja dengan jam henti
2. Sampling Kerja
3. Standard Data
4. Pengukuran waktu baku dengan waktu gerakan
Dan dalam penelitian ini, metode pengukuran waktu kerja yang digunakan
adalah pengukuran waktu kerja secara langsung dengan stopwatch time study.
Penelitian dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat waktu kerja operator
dengan menggunakan stopwatch sebagai alat pengukur waktu, dimana
pengukuran dilakukan untuk setiap elemen pekerjaan maupun satu siklus
pekerjaan secara utuh, sehingga dapat diketahui berapa lama waktu yang
dibutuhkan oleh seorang operator terampil pada kecepatan normal untuk
mengerjakan suatu tugas tertentu. Waktu yang berhasil diukur dan dicatat
kemudian dimodifikasikan dengan mempertimbangkan tempo kerja operator dan
menambahkan faktor–faktor kelonggaran yang diberikan kepada operator.
3.2.1

3.2.1 Pengukuran Waktu Kerja Secara Langsung


Pengukuran waktu kerja secara langsung adalah pengukuran yang
dilaksanakannya secara langsung di tempat dimana pekerjaan yang diukur
dijalankan (Wignjosoebroto, 2006). Dua cara termasuk di dalamnya adalah cara
pengukuran kerja kerja dengan menggunakan jam henti (stop watch time study)

23
dan sampel kerja (work sampling). Pengukuran waktu kerja secara langsung
(terutama pengukuran dengan jam henti) adalah merupakan aktivitas yang
mengawali dan menjadi landasan untuk kegiatan-kegiatan pengukuran kerja yang
lain.

3.2.1.1 Pengukuran Waktu Kerja dengan Jam Henti (Stop Watch Time Study)
Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stop watch time study)
diperkenalkan pertama kali oleh Frederick W. Taylor sekitar abad 19 lalu. Metode
ini terutama baik diaplikasikan untuk pekerjaan-pekerjaan yang berlangsung
singkat dan berulang (repetitive). Dari hasil pengukuran maka akan diperoleh
waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan, yang mana waktu waktu
ini akan dipergunakan sebagai standar penyelesaian pekerjaan bagi semua pekerja
yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama seperti itu. Secara garis besar
langkah-langkah untuk pelaksanaan pengukuran waktu kerja dengan jam henti ini
dapat diuraikan sebagai berikut (Wignjosoebroto, 2006) :
1. Definisi pekerjaan yang akan diteliti untuk diukur waktunya dan beritahukan
maksud dan tujuan pengukuran kepada pekerja yang dipilih untuk diamati dan
supervisor yang ada.
2. Catat semua informasi yang berkaitan erat dengan penyelesaian pekerjaan
seperti layout, karakteristik/spesifikasi mesin atau peralatan kerja lain yang
digunakan, dan lain-lain.
3. Bagi operasi kerja ke dalam elemen-elemen kerja sedetil-detilnya tapi masih
dalam batas-batas kemudahan untuk pengukuran waktunya.
4. Amati, ukur, dan catat waktu yang dibutuhkan oleh operator untuk
menyelesaikan elemen-elemen kerja tersebut.
5. Tetapkan jumlah siklus kerja yang harus diukur dan dicatat. Teliti apakah
jumlah siklus kerja yang dilaksanakan ini sudah memenuhi syarat atau tidak.
Uji pula keseragaman data yang diperoleh.
6. Tetapkan rate of performance dari operator saat melaksanakan aktivitas kerja
yang diukur dan dicatat waktunya tersebut. Rate of performance ini ditetapkan
untuk setiap elemen kerja yang ada dan hanya ditujukan untuk performansi

24
operator. Untuk elemen kerja yang secara penuh dilakukan oleh mesin maka
performansi dianggap normal (100%).
7. Sesuaikan waktu pengamatan berdasarkan performansi yang ditunjukkan oleh
operator tersebut sehingga akhirnya akan diperoleh waktu kerja normal.
8. Tetapkan waktu longgar (allowance time) guna memberikan fleksibilitas.
Waktu longgar yang akan diberikan ini guna menghadapi kondisi-kondisi
seperti kebutuhan personil yang bersifat pribadi, faktor kelelahan,
keterlambatan material, dan lain-lainnya.
9. Tetapkan waktu kerja baku (standard time) yaitu jumlah total antara waktu
normal dan waktu longgar.
Berdasarkan langkah-langkah terlihat bahwa pengukuran kerja dengan jam
henti ini merupakan cara pengukuran waktu yang obyektif karena disini waktu
ditetapkan berdasarkan fakta yang terjadi dan tidak cuma sekadar diestimasi
secara subyektif. Disini juga akan berlaku asumsi-asumsi dasar sebagai berikut :
1. Metode dan fasilitas untuk menyelesaikan pekerjaan harus sama dan
dibakukan terlebih dahulu sebelum kita mengaplikasikan waktu baku ini untuk
pekerjaan yang serupa.
2. Operator harus memahami benar prosedur dan metode pelaksanaan kerja
sebelum dilakukan pengukuran kerja. Operator-operator yang akan dibebani
dengan waktu baku ini diasumsikan memiliki tingkat keterampilan dan
kemampuan yang sama dan sesuai untuk pekerjaan tersebut. Untuk itu
persyaratan mutlak pada waktu memilih operator yang akan dianalisa waktu
kerjanya benar-benar memiliki tingkat kemampuan yang rata-rata.
3. Kondisi lingkungan fisik pekerjaan juga relatif tidak jauh berbeda dengan
kondisi fisik pada saat pengukuran kerja dilakukan.
4. Performansi kerja mampu dikendalikan pada tingkat yang sesuai untuk
seluruh periode kerja yang ada.
Satu hal yang penting di dalam pelaksanaan pengukuran kerja ini ialah
bahwa semua pihak yang nantinya akan dipengaruhi oleh hasil studi (waktu baku)
haruslah diinformasikan mengenai maksud dan tujuan dari studi, sehingga
nantinya bisa tercapai kerja sama yang sebaik-baiknya di dalam pelaksanaan
25
pengukuran. Asumsi-asumsi yang telah dinyatakan perlu sekali dibuat karena
untuk beberapa kondisi secara nyata akan sulit untuk disamakan seperti halnya
dengan tingkat keterampilan/kemampuan dari pihak pekerja.
Aktivitas pengukuran kerja dengan jam henti (stop-watch) umumnya
dipallikasikan pada industri manufaktur yang memiliki karakteristik kerja yang
berulang-ulang, terspesifikasi jelas, dan menghasilkan output yang relatif sama.
Meskipun demikian aktivitas ini bisa pula diaplikasikan untuk pekerjaan-
pekerjaan non manufaktur seperti yang bisa dijumpai dalam aktivitas kantor
gudang atau jasa pelayanan lainnya asalkan kriteria-kriteria tersebut di bawah ini
bisa terpenuhi.
1. Pekerjaan tersebut harus dilaksanakan secara repetitif dan uniform.
2. Isi/macam pekerjaan itu harus homogen.
3. Hasil kerja (output) harus dapat dihitung secara nyata (kuantitatif) baik secara
keseluruhan ataupun untuk tiap-tiap elemen kerja yang berlangsung.
4. Pekerjaan tersebut cukup banyak dilaksanakan dan teratur sifatnya sehingga
akan memadai untuk diukur dan dihitung waktu bakunya.
Nyatalah bahwa aktivitas stop watch time study ini bisa dilaksanakan
untuk berbagai macam/jenis pekerjaan yang baik diklasifikasikan sebagai
manufacturing job ataupun service jobs. Aktivitas pengukuran kerja sendiri tidak
mungkin bisa dilasanakan apabila dijumpai pekerjaan-pekerjaan yang tidak
mempedulikan volume atau jumlah output yang ingin dihasilkan atau pekerja-
pekerja yang menghasilkan output yang tidak mungkin untuk distandarkan seperti
halnya dengan pekerja-pekerja yang bersifat creative works (hasil seni, research,
dan lain-lainnya).

3.2.2 Pengukuran Waktu Kerja Secara Tidak Langsung


Pengukuran waktu kerja secara tidak langsung adalah pengukuran waktu
kerja tanpa pengamat harus berada di tempat pekerjaan yang diukur
(Wignjosoebroto, 2008). Disini aktivitas yang dilakukan hanya melakukan
perhitungan waktu kerja dengan membaca tabel-tabel waktu yang tersedia asalkan
mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemen-

26
elemen gerakan. Cara ini bisa dilakukan dalam aktivitas data waktu baku
(standard time) dan data waktu gerakan (predetermined time system).

3.2.2.1 Pengukuran Kerja dengan Metode Standar Data


Beberapa aktivitas pengukuran kerja seringkali dilaksanakan hanya untuk
satu jenis operasi tertentu saja dan sama sekali tidak ada pemikiran jauh bahwa
data yang diperoleh akan bisa dimanfaatkan untuk operasi kerja lainnya. Hal ini
tentunya dipertimbangkan sebagai langkah yang tidak efisien, karena
bagaimanapun berbagai macam operasi/pekerjaan akan memiliki elemen-elemen
kerja yang sama. sebagai contoh, dalam pekerjaan-pekerjaan permesinan dengan
menggunakan berbagai jenis mesin perkakas hampir semua elemen kerja yang ada
akan sama (baik prosedur maupun waktu) terkecuali waktu permesinan atau
pemotongannya.
Penetapan waktu baku dengan metode standar data (data waktu baku)
sangat sederhana sekali di samping tentunya juga lebih mudah/cepat dilaksanakan.
Problem yang dirasakan cukup kompleks dalam hal ini mungkin hanya pada saat
pengumpulan data waktu baku untuk berbagai jenis pekerjaan (elemen-elemen
kegiatan) melalui aktivitas stop-watch time study seperti yang biasanya dilakukan.
Dengan menggunakan metode standar data jelas akan mengurangi aktivitas-
aktivitas pengukuran kerja tertentu, mempercepat proses yang diperlukan untuk
menetapkan waktu baku, dan cenderung memberikan ketelitian dan konsistensi
terhadap waktu baku yang dibutuhkan untuk penyelesaian pekerjaanya.
Problematika diatas khususnya diaplikasikan untuk elemen-elemen kegiatan yang
konstan seperti kegiatan setup, loading/unloading, handling machine, dan lain-
lain.

3.2.2.2 Pengukuran Kerja dengan Metode Analisis Regresi


Metode pengukuran kerja dengan menggunakan rumus (formula) ─
klasik yang dikembangkan melalui rumus-rumus standar/teoritis maupun yang
bersifat eksperimen ─ seringkali akan sangat bermanfaat dalam kasus-kasus
dimana elemen-elemen kerja tidak berupa variabel yang sama dengan yang telah
didefinisikan dalam formulasi yang telah distandarkan dan/atau rumus-rumus
27
baku yang tersedia. Untuk “menyederhanakan” hal ini, maka pendekatan dengan
menggunakan model analisa regresi akan dapat diaplikasikan, yaitu bilamana
sejumlah data waktu dapat diperoleh melalui beberapa eksperimen, dan dikaitkan
dengan satu atau variabel tertentu.
Metode analisa regresi dipergunakan untuk mengembangkan model
formulasi matematis yang bisa dipakai sebagai “pendekatan” untuk menetapkan
waktu operasi dikaitkan dengan variabel-variabel yang relevan.

3.2.2.3 Pengukuran Waktu Baku dengan Waktu Gerakan (Predetermined


Motion Time System)
Predetermined Time System akan terdiri dari suatu kumpulan data waktu
dan prosedur sistematik dengan menganalisa dan membagi-bagi setiap operasi
kerja (manual) yang dilaksanakan oleh operator ke dalam gerakan-gerakan kerja,
gerakan-gerakan anggota tubuh, ataupun elemen-elemen gerakan manual lainnya
dan kemudian menetapkan nilai waktu masing-masing berdasarkan waktu yang
ada. Masing-masing sistem dengan menggunakan data waktu ini ditetapkan
berdasarkan studi yang ekstensif dengan memperhatikan semua aspek yang
berkaitan dengan performansi kerja manusia melalui prosedur pengukuran kerja,
evaluasi, dan pemakuan data waktu yang diperolehnya. Aplikasi dari
Predetermined Time System mengharuskan membagi-bagi secara detail operasi
kerja yang akan diukur dalam gerakan-gerakan dasar sesuai dengan sistem yang
akan dipakainya nanti. Masing-masing sistem yang ada dalam Predetermined
Time System akan memiliki aturan dan prosedur yang spesifik yang harus diikuti
secara tepat. Berbagai cara pembagian suatu pekerjaan atas elemen-elemen
gerakan telah melahirkan beberapa metode penentuan waktu baku secara sintesa
terdapat diantaranya:
1. Analisa Waktu Gerakan (Motion Time Analysis)
2. Waktu Gerakan Baku (Motion Time Standard)
3. Waktu Gerakan Dimensi (Dimension Motion Time)
4. Faktor-faktor Kerja (Work Factors)
5. Pengukuran Waktu Gerakan (Motion Time Measurement)
6. Pengukuran Waktu Gerakan Dasar (Basic Motion Time)
28
3.2.3 Pengukuran Waktu Elemen Kerja
Umumnya dalam pelaksanaan pengukuran kerja dilakukan terlebih dahulu
membagi operasi menjadi elemen-elemen kerja dan mengukur masing-masing
elemen kerja tersebut. Pemecahan operasi menjadi elemen-elemen kerja perlu
dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Cara terbaik untuk menggambarkan suatu operasi adalah dengan membagi ke
dalam elemen-elemen kerja yang lebih detil dan mampu untuk diukur dengan
mudah secara terpisah.
2. Besarnya waktu baku bisa ditetapkan berdasarkan elemen-elemen pekerjaan
yang ada.
3. Dengan membagi ke dalam elemen-elemen kerja maka akan dapat dianalisa
waktu-waktu yang berlebihan untuk tiap-tiap elemen yang ada atau waktu
yang terlalu singkat untuk elemen-elemen kerja yang lain.
4. Seorang operator bisa jadi akan bekerja dengan tempo yang berbeda-beda
setiap siklus kerja berlangsung.
Ada tiga metode yang umum digunakan untuk mengukur elemen-elemen
kerja dengan menggunakan jam henti (stop watch) yaitu :
1. Pengukuran waktu secara terus-menerus (continuous timing), dimana
pengamat kerja akan menekan tombol stop watch pada saat elemen kerja
pertama dimulai dan membiarkan jarum petunjuk stop watch berjalan secara
terus-menerus sampai periode atau siklus kerja selesai berlangsung. Disini
pengamat kerja terus mengamati jalannya setiap akhir dari elemen-elemen
kerja pada lembar pengamatan.
2. Pengukuran waktu secara berulang-ulang (repetitive timing), disini jarum
petunjuk stop watch akan selalu dikembalikan lagi ke posisi nol pada setiap
akhir dari elemen kerja yang diukur. Setelah dilihat dan dicatat, waktu kerja
diukur kemudian tombol ditekan lagi dan segera jarum penunjuk bergerak
untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Dengan cara demikian maka data
waktu untuk setiap elemen kerja yang diukur akan dapat dicatat secara
langsung tanpa ada pekerjaan tambahan untuk pengurangan.

29
3. Pengukuran waktu secara akumulatif memungkinkan pembaca data waktu
secara langsung untuk masing-masing elemen kerja yang ada. Disini akan
digunakan dua atau lebih stop watch yang akan bekerja secara bergantian. Dua
atau tiga stop watch dalam hal ini didekatkan sekaligus pada papan
pengamatan dan dihubungkan dengan suatu tuas. Apabila stop watch pertama
dijalankan, maka stop watch nomor dua dan tiga berhenti dan jarum tetap pada
posisi nol. Apabila elemen kerja sudah berakhir maka tuas ditekan yang akan
menghentikan gerakan jarum dari stop watch pertama dan menggerakkan stop
watch kedua untuk mengukur elemen kerja berikutnya. Dalam hal ini stop
watch nomor tiga tetap pada posisi nol. Pengamat selanjutnya bisa mencatat
data waktu yang diukur oleh stop watch pertama.

3.2.4 Pengukuran Waktu Kerja dengan Metode Sampling Kerja (Work


Sampling Methode)
Metode sampling kerja ini dilakukan bersama-sama dengan pengukuran
waktu jam henti yang merupakan cara langsung yang pengukurannya langsung di
tempat berjalannya pekerjaan. Work sampling adalah teknik untuk menganalisa
produktivitas dari aktivitas mesin, proses, atau pekerja. Metode ini merupakan
metode pengukuran kerja secara langsung karena pengamatan dilakukan secara
langsung terhadap objek pengamatan (Sutalaksana, 2000).
Metode work sampling sangat baik digunakan dalam melakukan
pengamatan atas pekerjaan yang sifatnya tidak berulang dan memiliki waktu yang
relatif panjang. Pada dasarnya prosedur pelaksanaanya cukup sederhana, yaitu
melakukan pengamatan aktifitas kerja untuk selang waktu yang diambil secara
acak terhadap satu atau lebih mesin atau operator dan kemudian mencatatnya
apakah mereka ini dalam keadaan bekerja atau menganggur. Pengamatan ini tidak
perlu dilakukan pada keseluruhan jumlah populasi, cukup dengan menggunakan
sampel yang diambi secara acak dari populasi.
Metode work sampling awalnya dikembangkan di Inggris oleh seorang
yang bernama L.H.C. Tippet di pabrik-pabrik tekstil di Inggris. Cara ini kemudian

30
dipakai oleh negara-negara lain, dimana pada work sampling pengamat
melakukan pengamatan terhadap aktifitas kinerja dari mesin, proses dan operator
(Sutalaksana, 2000).
Work sampling mempunyai beberapa kegunaan pada umumnya di bidang
produksi selain untuk menghitung waktu-waktu penyelesaian. Kegunaan dari
metode work sampling tersebut ialah (Sutalaksana, 2006):
1. Mengetahui distribusi pemakain waktu sepanjang waktu kerja oleh pekrja atau
kelompok kerja.
2. Mengetahui tingkat pemanfaatan mesin-mesin atau alat-alat di pabrik.
3. Menentukan wakti baku bagi pekerja-pekerja tidak langsung.
4. Memperkirakan kelonggaran bagi suatu pekerjaan.

3.3 Perhitungan Waktu Standar


Waktu standar atau waktu baku adalah lamanya waktu yang diperlukan
oleh seorang pekerja terampil untuk menyelesaikan satu siklus pekerjaan dalam
kecepatan normal yang disesuaikan dengan faktor penyesuaian dan faktor
kelonggaran yang diberikan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Jika data
telah mencukupi syarat N’ < N, maka tahap perhitungan untuk memperoleh
besaran nilai waktu standar pekerjaan adalah sebagai berikut:
1. Waktu Siklus
Waktu siklus atau cycle time adalah waktu yang diperlukan untuk membuat
satu unit produk pada satu stasiun kerja (Purnomo, 2003). Waktu yang
diperlukan untuk melaksanakan elemen-elemen kerja pada umumnya akan
sedikit berbeda dari siklus ke siklus lainnya, sekalipun operator bekerja pada
kecepatan normal atau uniform, tiap-tiap elemen dalam siklus yang berbeda
tidak selalu akan bisa diselesaikan dalam waktu yang persis sama. Adapun
cara menghitung waktu siklus dengan cara:

Ws=
∑ Xi
N
Keterangan:
Ws =Waktu siklus
31
∑ Xi = Waktu pengamatan
N = Jumlah pengamatan yang dilakukan

2. Waktu Normal
Waktu normal untuk suatu elemen operasi kerja adalah semata-mata
menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik akan bekerja
menyelesaikan pekerjaan pada tempo kerja yang normal (Wignjosoebroto,
2006). Dikarenakan analisis ini memakai metode Westinghouse System of
Rating maka rumus waktu normal menjadi (1+ Rating Factors). Adapun cara
menghitung waktu normal dengan cara :
Wn=Ws ( 1+ Rating Factors )
Keterangan:
Wn=Waktu normal
Ws=Waktu siklus
1= Kelonggaran

3. Waktu Baku
Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang
memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
(Wignjosoebroto, 2006). Penentuan waktu baku untuk menentukan target
produksi ini dilakukan dengan cara pengukuran langsung dengan
menggunakan jam henti. Pengukuran dilakukan dikarenakan di dalam
melakukan pekerjaan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tidak dapat
dihindari baik faktor dari dalam maupun dari luar perusahaan. Waktu baku
didapatkan dengan mengalikan waktu normal dengan kelonggaran
(allowance). Dikarenakan analisis ini membutuhkan kelonggaran maka
rumusnya harus ditambahkan dengan allowance. Adapun cara menghitung
waktu standar/baku dengan cara:

Wstd=Wn ( 1+ Allowance )

Keterangan :

32
Wstd = Waktu standar / waktu baku
Wn=Waktu normal

1 = Kelonggaran

3.4 Uji Statistik


3.4.1 Tingkat Ketelitian dan Tingkat Kepercayaan
Dalam melakukan pengukuran waktu ini yang dicari adalah waktu yang
sebenarnya diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Karena waktu
penyelesaian ini tidak pernah diketahui sebelumnya, maka harus dilakukan
pengukuran-pengukuran. Jumlah pengukuran yang banyak (tak terhingga) akan
memberikan jawaban yang pasti, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya si pengukur, sehingga diperlukan tingkat
kepastian bagi si pengukur, yaitu tingkat ketelitian dan tingkat kepercayaan.
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimum hasil
pengukuran dari waktu penyelesaian sebenarnya, sedangkan tingkat kepercayaan
menunjukkan besarnya kepercayaan pengukur bahwa hasil diperoleh memenuhi
syarat ketelitian. Keduanya dinyatakan dalam persen.
Dalam penelitian ini, digunakan tingkat ketelitian 10% dan keyakinan
95%. Ini berarti rata-rata hasil pengukuran dibolehkan menyimpang sejauh 10%
dari rata-rata sebenarnya, dan kemungkinan berhasilnya adalah 95%. Dengan kata
lain, penyimpangan yang terjadi lebih dari rata-rata pengukuran hanya dapat
ditoleransi dengan kemungkinan 5% (100% - 95%) dari populasi hasil
pengukuran atau jumlah pengukuran (Sutalaksana, dkk, 1979).

3.4.2 Uji Kenormalan Data


Dalam uji kenormalan data ini menggunakan program komputer
MINITAB dan metode yang digunakan adalah Kolmogorov-Smirnov. Contoh
kasus: Banyaknya hari tidak masuk kerja untuk tahun yang telah lewat yang
diakibatkan oleh kasus-kasus sindrom saluran karpal (carpal tunnel syndrome)
yang berkaitan dengan pekerjaan dicatat untuk 25 orang pekerja yang dipilih
secara acak. Hasil pencatatan ditampilkan oleh tabel 3.1. Pada saat ini data
33
digunakan untuk menetapkan interval kepercayaan mean populasi yang terdiri
dari seluruh kasus sindrom saluran karpal. Gunakan data ini untuk menguji asumsi
normalitas dengan menentapkan interval kepercayaan 95%.

Tabel 3.1 Jumlah Hari Tidak Masuk Kerja Dalam Waktu Satu Tahun

Pekerja Jumlah Hari Pekerja Jumlah Hari


1 21 14 46
2 23 15 32
3 33 16 17
4 32 17 29
5 37 18 26
6 40 19 46
7 37 20 27
8 29 21 26
9 23 22 38
10 29 23 28
11 24 24 33
12 32 25 18
13 24
(Sumber: Spiegel, 1999)

Penyelesaian:
Oleh karena akan menguji keselarasan data atau kenormalan data
untuk satu sampel, dan skala pengukuran bukan nominal, maka digunakan
uji Kolmogorov-Smirnov.
1. Pemasukan data ke MINITAB
Dari menu utama File, pilih menu New, lalu klik mouse pada Minitab
Project. Pengisian data:
a. Klik mouse pada tabel worksheet kolom C1
b. Letakkan pointer pada baris 1 kolom tersebut, lalu ketik menurun
ke bawah sesuai data (25 data).
Data di atas bisa disimpan dengan nama Kolmogorov-Smirnov.
2. Pengolahan data dengan MINITAB
Langkah-langkah:
a. Buka file Kolmogorov-Smirnov

34
b. Dari menu utama MINITAB, pilih menu Statistics, kemudian pilih
submenu Basic Statistics, sesuai kasus pilih Normality Test untuk
uji satu sampel.
Kemudian akan muncul kotak dialog Kolmogorov-Smirnov, seperti Gambar
3.1 berikut:

Gambar 3.3 Kotak Dialog Kolmogorov-Smirnov


(Sumber: Spiegel, 1999)
Pengisian:
a. Variable, Masukan variabel C1
b. Reference Probabilities, diabaikan
c. Untuk Test for Normality, karena dalam kasus ini akan diuji distribusi
normal menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov, maka klik mouse
pada pilihan Kolmogorov-Smirnov.
d. Title, menuliskan judul untuk mengetahui kasus yang di uji
e. Tekan OK untuk proses data.
Setelah itu akan muncul grafik, seperti berikut

35
Gambar 3.4 Grafik Hasil Uji Kenormalan Data Kolmogorov-Smirnov
(Sumber: Spiegel, 1999)

Analisis Hipotesis:
a. Ho: F (x) = Fo (x) , dengan F (x) adalah fungsi distribusi populasi

yang diwakili oleh sampel, dan Fo (x) adalah fungsi distribusi suatu

populasi berdistribusi normal dengan μ = 30 dan σ = 7,68 (lihat


gambar 3.4)
b. Hi: F (x) ≠ Fo (x) atau distribusi populasi tidak normal.

NB: Uji dilakukan dua sisi, karena adanya tanda ‘≠’


Pengambilan Keputusan:
Dasar Pengambilan Keputusan adalah besaran probabilitas:
a. Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima.

b. Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak.

Keputusan:
Terlihat bahwa pada Approximate P-Value > 0,15, atau probabilitas diatas
0,05 (0,15 > 0,05). Maka Ho diterima, atau populasi tersebut berdistribusi

normal.

3.4.3 Uji Kecukupan Data

36
Uji kecukupan data dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil
pengamatan yang telah diambil sudah cukup mewakili populasinya, bila belum
maka perlu diadakan pengamatan tambahan hingga cukup mewakili populasinya.
Pada penelitian ini, digunakan tingkat keyakinan 95% dan tingkat ketelitian 10%,
maka persamaan dalam uji keseragaman data (Sutalaksana, dkk, 1979) adalah
sebagai berikut:
'
N =¿ ¿
Dimana:
N’ = banyaknya pengukuran sesungguhnya yang diperlukan
N = jumlah pengukuran pendahulu yang telah dilakukan
Xi = waktu penyelesaian yang teramati selama pengukuran yang telah
dilakukan
k = harga indeks yang besarnya tergantung tingkat keyakinan
Nilai k ditentukan berdasarkan tingkat keyakinan dan tingkat ketelitian
yang diinginkan, jika masing-masing adalah:
 95% dan 10%, maka k = 20
 95% dan 5%, maka k = 40
 99% dan 5%, maka k = 60
Jika:
N ≥ N’, maka data yang hasil pengamatan yang diambil telah mencukupi
N ≤ N’, maka perlu penambahan data.

3.4.4 Uji Keseragaman Data


Karena yang diukur adalah sistem kerja yang selalu berubah-ubah, maka
perubahan yang terjadi diupayakan dalam batas kewajaran, sehingga data
pengukuran yang dihasilkan akan seragam. Ketidakseragaman datang dengan
tanpa disadari, maka diperlukan alat untuk mendeteksinya yang berupa batas
kontrol, karena batas kontrol dapat menunjukkan seragam atau tidaknya data.
Dalam pengujian keseragaman data, data yang berada diantara batas kontrol
(seragam) digunakan dalam perhitungan selanjutnya (Sutalaksana, dkk, 1979).

37
Uji keseragaman data dilakukan untuk mengetahui apakah data–data yang
diperoleh itu masuk kedalam batas kontrol atau bahkan diluar batas kontrol
dengan menggunakan Peta Kendali X̄ dan R. Adapun langkah–langkah dalam
melakukan pengujian keseragaman data adalah sebagai berikut: (Sutalaksana,
dkk., 1979)

1. Menentukan jumlah hasil data keseluruhan yang kita peroleh dari


pengumpulan data lapangan.
2. Mencari nilai X (waktu rata-rata) dengan rumus:

X=
∑ Xi
N

Keterangan:
X =Rata−rata
∑ Xi=Jumlah seluruh data
N=Banyaknya data

3. Menghitung standar deviasi (δx) dari waktu sebenarnya dengan rumus:

Keterangan:
δx=
√ ∑ ( Xi−X )2
N−1

δx=¿Standar deviasi
Xi = Nilai x ke-i
X = Rata-rata
N = Jumlah sampel

4. Mencari Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) dengan
cara sebagai berikut:
BKB=X−kδx BKA =X +kδx
k = 1 (tingkat keyakinan 0%-68%)
k = 2 (tingkat keyakinan 69%-95%)
k = 3 (tingkat keyakinan 96%-99%)
Keterangan:
BK B = Batas kontrol bawah
BKA = Batas kontrol atas
X = Rata- rata waktu kerja

38
k = Nilai indeks pada table distribusi normal yang besarnya tergantung
tingkat kepercayaan yang diambil
δx = Standar deviasi

5. Memindahkan data yang telah diperoleh kedalam bentuk grafik dengan batas–
batas kontrol yang telah ditetapkan.
Apabila data yang diperoleh tersebut terdapat data yang berada diluar batas
kontrol. Maka data tersebut harus dihilangkan dan dilakukan perhitungan
kembali seperti semula. Karena data yang berada diluar batas kontrol
menyebabkan data tidak seragam.
Pada prakteknya uji keseragam data juga dapat dilakukan dengan
menggunakan program komputer SPSS dengan memilih menu Analyze, control
X
chart lalu individu chart .

3.5 Faktor Penyesuaian (Performance Rating)


Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu
membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan
dengan konsep pengukuran sendiri tentang bekerja wajar. Waktu baku yang telah
kita cari adalah waktu yang diselesaikan secara wajar dan benar oleh operator.
Penentuan rating merupakan hal yang sangat penting dan sulit untuk
dilakukan untuk mengevaluasi suatu pekerjaan dari operator. Rating adalah suatu
proses dalam analisis time study dengan membandingkan kinerja (kecepatan) dari
operator terhadap kinerja normal yang telah ditetapkan. Rating factor digunakan
untuk menentukan waktu normal dari suatu pekerjaan dengan cara
menambahkannya dalam perhitungan waktu observasi. Nilai dari rating akan
ditetapkan oleh seorang analis. Ada beberapa sistem rating yang dapat digunakan,
seperti:
1. Percentage rating
Penentuan rating dengan cara ini adalah cara yg paling awal digunakan dalam
melakukan penyesuaian dalam melakukan penyesuaian dan merupakan cara
yang paling mudah dan sederhana. Kelemahan cara ini adalah mudah terlihat
kekurang telitian sebagai akibat fari kasarnya cara penelitian. Pada cara ini,

39
faktor penyesuaian ditentukan sepenuhnya oleh peneliti melalui
pengamatannya selama melakukan pengukuran. Waktu normal diperoleh
dengan penyesuaian (dalam persentase).
2. Schumard of rating
Penentuan rating dengan cara ini ialah dengan memberikan batas penilaian
melalui kelas-kelas performance kerja dimana setiap kelas mempunyai nilai
sendiri-sendiri. Tabel peyesuaian rating dengan Schumard yang menunjukan
besarnya penyesuaian masing-masing kelas dapat dilihat pada Gambar 3.5.

40
Gambar 3.5 Gambar Tabel Peyesuaian Rating Schumard
(Sumber : Sutalaksana, dkk, 2006)

3. Westinghouse system of rating


Dalam penentuan rating dengan cara ini berdasarkan empat faktor untuk
menentukan kewajaran dalam bekerja, yaitu keterampilan, usaha, kondisi kerja
serta konsistensi. Nilai rating dari keempat faktor yang ditentukan dapa dilihat
pada Gambar 3.6. tabel penyesuaian rating dengan sistem Westinghouse.

41
Gambar 3.6. Gambar Tabel Penyesuaian Westinghouse System
(Sumber : Sutalaksana, dkk, 2006)

4. Skill and effort rating


Penentuan rating dengan cara ini pertama kali dikenalkan ole Charles E.
Bedeaux pada tahun 1916. Metode ini digunakan untuk menentkan wage
payment dan kontrol pekerja. Dalam melakukan time study menggunakan
metode ini akan digunakan rating dari skill dan effort serta tabel dari fatigue
42
allowance. Rating system ini menggunakan sistem point, di mana point 60
setara dengan performance standard.
5. Objective rating
Ada dua faktor yang harus diperhatikan untuk cara ini yaitu kecepatan dan
tingkat kesulitan pekerjaan. Kedua faktor innlah yang dipandang secara
bersama-sama untuk mendapatkan waktu normal. Kecepatan kerja adalah
kecepatan dalam melakukan pekerjaan dalam pengertian biasa. Jika operator
bekerja normal, maka p1=1. Kecepatannya terlalu tinggi p1 >1 dan
kecepatanya terlalu lambat p1 <1. Cara menentukan p ini sama dengan cara
menentukan faktor penyesuaian dengan persentase. Untuk tingkat kesulitan
kerja, faktor penyesuaian disebut p2 .

3.6 Kelonggaran (Allowance)


Dalam melakukan suatu pekerjaan, seseorang tidak mungkin melakukan
pekerjaan sepanjang hari tanpa adanya interupsi. Seorang operator mungkin saja
membutuhkan waktu untuk melakukan kebutuhan personal, beristirahat, atau hal-
hal diluar kontrol. Oleh karena itu dibutuhkan adanya allowance dalam
melakukan pekerjaan.
Kelonggaran (Allowance) adalah faktor koreksi yang harus diberikan
kepada waktu kerja operator, karena operator dalam melakukan pekerjaannya
sering terganggu pada hal-hal yang tidak diinginkan namun bersifat alamiah,
sehingga waktu penyelesaian menjadi lebih panjang atau lama. Kelonggaran
waktu diberikan untuk memberikan toleransi kepada operator untuk melakukan
keperluan pribadi, istirahat karena kelelahan, dan alasan-alasan lain diluar
kendalinya.
Allowance dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu personal allowance,
fatigue allowance, dan delay allowance. Cara menentukan allowance time
dilakukan dengan pengamatan secara langsung tentang kondisi yag terjadi di
lantai produksi, kemudian dilakukan penilaian besarnya allowance sesuai dengan
faktor-faktor yang berpengaruh.

43
1. Personal allowance
Personal allowance ditujukkan agar operator dapat melakukan kebutuhan
personal, misalnya saja minum, ke toilet, dll. Besarnya kelonggaran yang
diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari satu pekerjaan
ke pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan mempunyai karakteristik sendiri-
sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda. Penelitian yang khusus perlu
dilakukan untuk menentukan besarnya kelonggaran ini secara tepat seperti
dengan sampling pekerjaan ataupun secara fisiologis. Berdasarkan penelitian
ternyata besarnya kelonggaran ini bagi pekerja pria berbeda dari pekerja
wanita, misalnya unutk pekerjaan-pekerjaan ringan ada kondisi-kondisi kerja
normal pria memerlukan 2-25 % dan wanita 5 %. Persentase ini adalah dari
waktu normal (Sutalaksana, 2002).
2. Fatigue allowance
Waktu kerja yang terlalu lama dan posisi kerja yang tidak baik dapat
menyebabkan fatigue. Fatigue dapat menyebabkan berbagai masalah, baik
mental ataupun fisik. Meskipun sudah banyak hal yang dilakukan untuk
mengurangi fatigue, namun perlu diberikan fatigue allowance, umumnya
sebesar 4%.
3. Delay allowance
Delay merupakan hal yag dapat dihindari namun juga tidak dapat dihindari.
Hal-hal yang dapat menyebabkan delay seperti breakdown, repair, dan
pergantian alat. Oleh karena itu delay allowance harus dimasukkan ke dalam
perhitungan standard time. Selain itu, berdasarkan International Labor Office
(ILO) terdapat dua kelompok besar yang menjadi penentuan allowance, yatu
constant allowance dan variable allowance. Tabel allowance berdasarkan ILO
dapat dilihat pada Gambar 3.7

44
Gambar 3.7. Gambar Tabel Allowance Berdasarkan ILO
(Sumber : Sutalaksana, dkk, 2006)

3.7 Work Load Analysis (WLA)


Work load analysis (WLA) atau Analisis Beban Kerja adalah sebuah
proses untuk menghitung jumlah jam yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan dalam waktu tertentu. Tujuan dari analisis beban kerja adalah untuk
menentukan jumlah operator yang dibutuhkan dan besar beban kerja yang dapat
diberikan kepada seorang operator dalam melakukan tugas. Analisis beban kerja
dilakukan dengan membandingkan beban kerja dengan waktu normal (waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, tanpa allowance) dan volume

45
kerja. Banyak manfaat yang didapatkan dengan melakukan analisis beban kerja,
yaitu:
1. Untuk menentukan jumlah manpower.
2. Untuk melakukan proses human resources planning.
3. Untuk menentukan standard time (waktu baku) dari suatu aktivitas kerja.
4. Untuk menghitung budget perusahaan terkait gaji dan tunjangan pekerja.
5. Untuk melakukan redisign tugas jabatan dan standard operating procedure
(SOP).
Untuk melakukan redisign tugas jabatan dan standard operating
procedure (SOP).Workload Analysis dilakukan dengan membandingkan
bobot/beban kerja dengan norma waktu dan volume kerja. Target beban kerja
ditentukan berdasarkan rencana kerja atau sasaran yang harus dicapai oleh setiap
jabatan, misalnya mingguan atau bulanan. Volume kerja datanya terdapat pada
setiap unit kerja, sedangkan norma waktu hingga kini belum banyak diperoleh
sehingga dapat dijadikan suatu faktor tetap yang sangat menentukan dalam
analisis beban kerja.
Menurut Anggara (2011), beban kerja yang baik, sebaiknya mendekati
100% atau dalam kondisi normal. Beban kerja 100% tersebut berarti bahwa
selama jam kerja, pekerja mampu bekerja secara terus menerus dalam kondisi
normal.

Adapun rumus work load analysis sebagai berikut:

Jumlah produk ×Waktu proses tiap unit


WLA ¿ × 1 orang
Hari kerja× jam kerja
(Heidjrachman, 1990)

Atau :

Workload Analysis = (%Produktif x Performance Rating) x (1 + Allowance)

46
3.8 Standarisasi Kerja
3.8.1 Pengertian
Standarisasi kerja adalah peraturan pada saat membuat barang ditempat
kerja, yaitu cara melakukan produksi yang paling efektif dengan urutan tanpa
muda, mengumpulkan pekerjaan dan memfokuskan gerakan manusia. Selain itu
juga merupakan suatu cara untuk menekan pembuatan yang berlebihan, dan untuk
melakukan produksi just in time. Standarisasi kerja juga merupakan cara yang
efektif sebagai alat untukk kaizen (Agung dan Imdam, 2004). Standarisasi kerja
terdiri dari Tabel Standar Kerja (TSK), Tabel Standar Kerja Kombinasi (TSKK),
dan Work Instruction (WI).
3.8.2 Jenis-Jenis Standar Kerja
1. Tabel Standar Kapasitas Produksi (Production Capacity Sheet)
Tabel ini digunakan pada proses-proses yang berhubungan dengan mesin-
mesin dan menggambarkan daftar kapasitas produksi setiap proses sehingga
terlihat proses mana yang menjadi bottlenecks.
Tabel standar kapasitas produksi disebut lembar kapasitas produksi. Lembar
kapasitas produksi menunjukkan kapasitas mesin dalam proses. Lembar
kapasitas produksi cocok diterapkan pada operasi bermesin yang melibatkan
penggunaan alat dan penggantian alat, tapi juga dapat diterapkan pada operasi
seperti injection moulding dan mengidentifikasi operasi yang memiliki
bottleneck.
2. Tabel Standar Kerja Kombinasi (Standarized Work Combination Table)
Tabel standar kerja kombinasi (TSKK) biasa disebut juga peta kombinasi
kerja dan diagram kombinasi. TSKK digunakan sebagai alat untuk
menentukan beban dan urutan kerja agar dapat sesuai dengan batas takt time.
Tabel ini sangat berguna untuk balancing beban kerja.
TSKK disebut tabel kombinasi pekerjaan terstandarisasi (juga disebut lembar
kombinasi pekerjaan terstandarisasi) digunakan untuk menganalisis pekerjaan
yang memiliki kombinasi kerja. Tujuannya adalah untuk menunjukkan
keterkaitan waktu dari dua atau lebih aktivitas yang terjadi secara simultan.
Alat ini terutama tidak hanya digunakan untuk operasi yang merupakan
47
kombinasi dari operasi manual dan peralatan otomatis, tapi juga dapat
digunakan untuk operasi di mana terdapat dua atau lebih operator
mengerjakan produk yang sama pada waktu yang sama.
Menurut Widadgo dan Basri (2006), tabel standar kerja kombinasu (TSKK)
memiliki 3 (tiga) tipe, yaitu:
a. Tipe 1 (Satu)
Tabel standar kerja kombinasi tipe pertama digunakan untuk melihat
waktu kerja operator per satu siklus (cycle). Pada tabel ini, waktu kerja di
klasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu, ambil proses dan jalan. Klasifikasi
waktu kerja ini berguna untuk membedakan pekerjaan yang dilakukan.
Contoh tabel standar kerja kombinasi tiper pertama dapat dilihat pada
gambar 3.8

Gambar 3.8 Tabel Standar Kerja Kombinasi Tipe Pertama


(Sumber: Widadgo dan Basri, 2006)

b. Tipe 2 (Dua)
Tabel standar kerja kombinasi tipe kedua digunakan untuk
memperlihatkan perbandingan setiap waktu kerja operator per satu siklus
48
(cycle) dan takt time. Pada tabel ini, waktu kerja di klasifikasikan menjadi
dua jenis yaitu, waktu kerja pokok dan waktu kerja pelengkap. Contoh
tabel standar kerja kombinasi tipe kedua dapat dilihat pada gambar 3.9

Gambar 3.9 Tabel Standar Kerja Kombinasi Tipe Kedua


(Sumber: Widadgo dan Basri, 2006)

c. Tipe 3 (Tiga)
Tabel standar kerja kombinasi tipe ketiga biasa disebut sebagai yamazumi
chart. Yamazumi chart digunakan untuk memperlihatkan perbandingan
waktu tunggu dan waktu kerja untuk masing-masing operator per satu shift
volume kerja, pada tabel ini waktu kerja untuk masing-masing pekerjaan
atau elemen kerja dihitung dalam satu shift. Waktu kerja untuk masing-
masing pekerjaan atau elemen kerja yang telah dihitung dalam satu shift
tersebut disusun secara bertumpuk. Dan penumpukan waktu kerja ini akan
terlihat waktu kerja dan waktu tunggu (waktu menganggur) operator
dalam satu shift kerja. Contoh tabel standar kerja kombinasi tipe ketiga
(yamazumi chart) dapat dilihat pada gambar 3.10

49
Gambar 3.10 Tabel Standar Kerja Kombinasi Tipe Ketiga
(Sumber: Widadgo dan Basri, 2006)

3.9 Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja


Dalam membuat perbaikan untuk mengurangi jumlah pekerja, Toyota
menghilangkan operasi terbuang, merealokasikan dan mengurangi tenaga kerja.
Penghilangan operasi yang benar-benar percuma (waktu tunggu) akan
mengakibatkan realokasi operator diantara pekerja ditempat kerja dan
pengurangan sebagai tenaga kerja. Ketiga langkah ini dapat diulangi beberapa kali
sebelum perbaikan terhadap lini tersebut terlaksana. Siklus untuk menurunkan
jumlah pekerja pada Toyota ditunjukkan pada Gambar 3.11:

Gambar 3.11 Siklus Untuk Menurunkan Jumlah Pekerja


(Sumber: Monden, 2000)

50
Langkah pertama untuk mengurangi jumlah tenaga kerja adalah
menentukan waktu tunggu bagi setiap pekerja dan merevisi rutin operasi baku
untuk menyingkirkannya. Waktu tunggu sering tersembunyi dibalik kelebihan
produksi sehingga tidak pernah diketahui. Dalam kasus semacam ini, terdapat
sejumlah besar persediaan dibalik atau diantara proses. Akibatnya suatu kerja
misalnya pemindahan dan penumpukkan persediaan, yang dilakukan dalam waktu
tunggu pekerja, sering dipandang pekerjaannya. Tetapi, di pabrik Toyota kerja itu
digolongkan sebagai pemborosan akibat kelebihan produksi.
Untuk menggambarkan bagaimana penghapusan waktu tunggu dan
realokasi operasi mengakibatkan penurunan tenaga kerja, lihatlah contoh berikut.
Tujuh pekerja, A sampai G, semua bekerja ditempat yang sama. Waktu operasi
baku untuk operasi yang ditugaskan pada tiap pekerja harus diukur. Dengan
mengurangi waktu siklus dengan waktu operasi untuk tiap pekerja, waktu tunggu
selama tiap siklus bagi tiap pekerja dapat ditentukan. Contohnya, jika waktu
siklus adalah satu menit per unit produksi dan keseluruhan waktu baku yang
ditugaskan pada pekerja memakan waktu 0,9 menit, maka dia akan memiliki
waktu tunggu 0,1 menit. Pada umumnya, masing-masing pekerja akan memiliki
waktu tunggu yang lamanya berbeda-beda.
Untuk mengahapuskan waktu tunggu, beberapa operasi yang dilakukan
pekerja B harus ditransfer ke pekerja A, beberapa operasi pekerja C ditransfer ke
pekerja B, dan seterusnya hingga operasi yang cukup telah direalokasikan untuk
menghapus waktu tunggu pekerja A sampai E. Pada titik ini, pekerja G akan sama
sekali dihapuskan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.12, 3.13, dan
3.14:

Gambar 3.12 Tiap Pekerja Punya Waktu Tunggu


(Sumber: Monden, 2000)

51
Gambar 3.13 Relokasi Operasi Diantara Pekerja
(Sumber: Monden, 2000)

Gambar 3.14 Alokasi Operasi Secara Keliru


(Sumber: Monden, 2000)
Bila merealokasikan operasi diantara pekerja baik untuk menghasilkan
perbaikan operasi manual atau untuk mengompensasikan perubahan tingkat
produksi, tiga aturan berikut harus diperhatikan:
1. Ketika waktu tunggu untuk tiap pekerja sedang diukur, ia harus berdiri tanpa
melakukan apapun setelah menyelesaikan operasi terakhir yang ditugaskan
padanya. Contohnya jika pekerja B telah menyelesaikan pekerjaannya dalam
0,7 menit, ia harus berdiri menganggur ditempat kerjanya selama 0,3 menit
sisanya. Dengan cara ini tiap orang akan dapat melihat bahwa ia memiliki
waktu luang, dan akan lebih sedikit hambatan jika ia diserahi satu atau dua
pekerjaan lagi.
2. Bila mengurangi jumlah pekerja ditempat kerja, pekerja terbaik harus
dipindahkan lebih dulu. Jika pekerja yang tak terlatih dipindahkan, ia
mungkin akan keberatan, jiwanya tertekan, dan ia tak pernah dapat
berkembang menjadi pekerja yang terampil. Sebaliknya, pekerja yang
menonjol biasanya lebih senang dipindahkan karena ia memiliki keyakinan
diri lebih besar dan mendapat peluang untuk mempelajari pekerjaan lain
dalam pabrik.
3. Setelah operasi direalokasikan pada pekerja A hingga E, 0,875 menit waktu
tunggu untuk pekerja F tidak boleh dibuang dengan membagi rata diantara
52
enam pekerja yang ada pada lini itu. Jika hal ini dilakukan, waktu tunggu itu
akan tersembunyi lagi, karena tiap-tiap pekerja akan memperlambat langkah
kerjanya untuk menghabiskan waktu tunggunya. Selain itu akan terdapat
hambatan disaat akan merivisi rutin operasi baku lagi. Sebaliknya kita perlu
kembali kelangkah 1 untuk melihat apakah dapat dilakukan perbaikan lebih
lanjut dalam lini itu untuk menghapus sedikit sisa operasi yang dilakukan
pekerja F.
Ketiga jenis operasi manual itu harus diperiksa untuk meningkatkan nilai
tambah yang mungkin dapat dihilangkan melalui penggunaan mesin otomatis.
Tetapi pada tahap ini penting untuk memilih rencana yang paling murah, karena
hanya 0,25 menit waktu operasi manual yang perlu dihilangkan. Perbaikan yang
tidak begitu mahal dapat dilakukan dengan:
1. Pindahkan persediaan suku cadang lebih dekat ke pekerja atau gunakan
peluncur untuk memendekkan jarak berjalan.
2. Gunakan palet yang lebih kecil yang dapat ditempatkan di samping pekerja
yang hanya membutuhkan sedikit suku cadang.
3. Rancang ulang suatu perkakas untuk menyingkirkan gerakan yang terbuang
karena harus memindahkan dari satu tanga ke tangan yang lain.
4. Buat cara yang lebih mudah untuk mengambil perkakas dengan menggantung
perkakas-perkakas itu dalam rak dengan bagian pegangan atas.
5. Gunakan betapa perkakas sederhana untuk melangsingkan operasi.
6. Bila seorang pekerja mengoperasikan lebih dari satu mesin, tempatkan
tombol on/of diantara dua mesin sehingga tombol ini dapat ditekan sementara
operator itu berjalan dari satu mesin ke mesin yang lain.
Dengan memakai alat-alat tersebut, dapat diusahakan penghapusan sisa
waktu operasi 0,25 menit dari pekerja F, dan ia akan dapat dipindahkan dari lini
itu. Dengan demikian, contoh itu dua dari tujuh pekerja mungkin dapat
dipindahkan. Perhatikan lini sekali lagi untuk mencari operasi sia-sia yang
terlewatkan dan cobalah untuk memindahkan pekerja lainnya dengan
menghapuskan operasi lain yang tanpa nilai tambah. Perbaikan terhadap lini ini
sukar, beberapa perbaikan yang pada hakikatnya berguna dapat dipertahankan
53
sebagai cadangan sampai perubahan penjualan atau perubahan model
memungkinkan mengubah waktu siklus atau rancangan tempat kerja.

3.10 Efisiensi
Pengertian Gasperz (2004) tentang efisiensi adalah Faktor yang mengatur
perfomansi actual dari pusat kerja relatif terhadap standar yang diterapkan.
Definisi lain mengatakan efisiensi adalah waktu standar untuk setup dan run
dibagi dengan waktu aktual yang dibutuhkan. Efisiensi yang rendah menandakan
adanya masalah sehingga harus diselesaikan, misalnya membutuhkan pelatihan,
kesalahan peralatan, material berkualitas rendah, dan lain-lain. Efisiensi yang
tinggi juga perlu diselidiki, apakah benar bahwa pekerja mengembangkan metode
yang lebih baik dalam melakukan operasi ataukah telah terjadi kesalahan dalam
pelaporan yang berkaitan dengan kuantitas, waktu kerja, dan lain-lain.
Berdasarkan ukuran efisiensi yang ada, kita dapat menilai apakah standar-
standar yang ada masih valid atau sudah harus diubah. Dalam buku lain efisiensi
didefinisikan sebagai ukuran yang menunjukan bagaimana baiknya sumber daya
digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output. Efisiensi
merupakan karakteristik proses yang mengukur performansi aktual dari sumber
daya relative terhadap standar yang diterapkan. Peningkatan efisiensi dalam
proses produksi akan menurunkan biaya perunit output, sehingga produk dapat
dijual dengan harga yang lebih kompetitif di pasar. Rumus yang digunakan dalam
mencari efisiensi adalah sebagai berikut:
Efisiensi = Perfomansi Aktual Operator x 100%
Standar yang digunakan

3.10.1 Efisiensi Tenaga Kerja, Idle Time dan Balance Delay


Efisiensi tenaga kerja (man power efficiency) merupakan rasio antara
waktu yang digunakan tenaga kerja (operator) dengan waktu yang tersedia atau
yang disediakan, sedangkan balance delay merupakan rasio antara waktu tunggu
(idle time) dalam suatu lini dengan waktu yang tersedia atau yang disediakan.
Nilai balance delay semakin mendekati 0% (nol persen) maka semakin baik,

54
karena hal ini menunjukan bahwa waktu tunggu (idle time) yang terdapat pada lini
tersebut juga mendekati 0 (nol).
Perhitungan tenaga kerja (man power efficiency), idle time, dan balance
delay menurut Widadgo dan Basri (2006) adalah sebagai berikut:

1. Man Power Efficiency (Efisiensi Tenaga Kerja)


Efisiensi Tenaga Kerja = Waktu yang digunakan x 100%
Jumlah tenaga kerja x Waktu yang tersedia/orang
2. Idle Time (IT)
IT = (Jumlah TK x Waktu yang tersedia/orang) – waktu yang digunakan

3. Balance Delay (d)


d= Waktu tunggu (Idle Time) x 100%
Jumlah tenaga kerja x Waktu yang tersedia/orang

3.11 Yamazumi Chart


Yamazumi Chart atau Yamazumi Board adalah alat visual yang digunakan
dalam lean manufacturing untuk membantu dalam mendesain sel-sel produksi dan
memonitor perbaikan terus-menerus (Gunhartono, 2012). Yamazumi Chart
memudahkan untuk memvisualisasikan berbagai elemen pekerjaan yang
berlangsung dalam proses produksi, kemudian membandingkannya dengan output
yang diharapkan atau output yang telah ditentukan perusahaan. Secara bahasa, arti
yamazumi sendiri adalah menumpuk, dan grafik yamazumi berbentuk tumpukan
sederhana dari bar chart dari lamanya waktu setiap aktivitas dalam proses
produksi.
Menggunakan yamazumi dapat juga digunakan untuk menyoroti area
kerja, dimana operator menghadapi tingkat stres kerja yang tinggi (Muri-
overburden) sementara di waktu yang sama dengan area yang berbeda, bisa terjadi
operator lain menghabiskan waktu menunggu atau idle. Kecepatan proses
produksi secara total bisa dibilang sama dengan kecepatan proses produksi paling
lambat dalam rantai produksi. Yamazumi inilah yang akan memberitahu
kelemahan atau kelambatan proses yang terjadi pada rantai proses produksi. Papan
55
yamazumi juga dapat membedakan antara kegiatan atau proses yang memberikan
nilai tambah (value-added) dan non-nilai tambah (non-value-added), serta waste
process pada proses produksi. Hal ini akan memudahkan untuk
memvisualisasikan penghematan yang dibuat.
Ada dua cara yang dapat ditempuh untuk melakukan penghematan dengan
berdasar pada yamazumi chart. Pertama, tentu saja dengan menghilangkan non-
nilai tambah dan waste dari proses produksi, lalu menambahkan proses bernilai
tambah untuk membuat proses jauh lebih efisien. Sedangkan yang kedua, adalah
dengan memindahkan beban kerja kepada proses yang sebelumnya atau proses
berikutnya.

56

Anda mungkin juga menyukai