Anda di halaman 1dari 148

TIM GADAR

PRODI NERS

2019

KEPERAWATAN GAWAT
DARURAT I

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA


Jalan Kapten Muslim No. 79 Medan
LEMBAR PENGESAHAN MODUL

1. IDENTITAS MODUL
MATA KULIAH : KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I
KODE MATA KULIAH : MKK 12
BOBOT SKS : 3 (2 SKS TEORI & 1 SKS PRAKTIK)
SEMESTER : III
TAHUN AKADEMIK : 2019/2020
2. IDENTITAS DOSEN
NAMA : Ns. GALVANI VOLTA SIMANJUNTAK, M.Kep
NIDN : 0117058901
PROGRAM STUDI : NERS

DISETUJUI & DISAHKAN


DI : MEDAN
TANGGAL : SEPTEMBER 2019
FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
DEKAN,

TARULI ROHANA SINAGA, SP., M.KM


VISI FAKULTAS FARMASI & ILMU KESEHATAN
Menjadi Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan yang Unggul, Berkarakter dan
Berdaya Saing Global Khususnya bidang Kesehatan Pada Tahun 2038

VISI DAN MISI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
VISI
Menjadi program studi yang unggul, berkarakter dan berdaya saing global
khususnya di bidang keperawatan gawat darurat tahun 2038
MISI
1. Menyelenggarakan proses pembelajaran yang berkualitas serta sesuai
tuntutan global dengan penguatan dibidang keperawatan gawat darurat;
2. Melaksanakan kegiatan pengembangan IPTEK keperawatan, bahan ajar dan
publikasi ilmiah terutama dibidang keperawatan gawat darurat melalui
penelitian yang dilakukan dosen bersama mahasiswa.
3. Melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat sesuai rekomendasi
penelitian yang ruang lingkupnya mengacu pada asuhan keperawatan
gawat darurat.
4. Menjalin kerjasama dengan institusi pendidikan keperawatan dan rumah
sakit baik dalam maupun luar negeri.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatan kepada
tim penyusun dalam menyelesaikan Modul Keperawatan Gawat Darurat I ini sesuai
dengan yang direncanakan. Modul ini terdiri atas beberapa komponen yaitu deskripsi
singkat mata kuliah, rencana pembelajaran semester, kontrak perkuliahan, jadwal
perkuliahan, penugasan dan penilaian, tata tertib perkuliahan, serta materi & soal.

Modul ini diberikan kepada mahasiswa sebagai panduan dalam melaksanakan


pembelajaran Keperawatan Gawat Darurat I melalui kegiatan yang terstruktur bersama
dosen/fasilitator/pakar, maupun secara kelompok dan/atau mandiri. Melalui modul
diharapkan mahasiswa menjadi berpengetahuan luas (knowledgeable), terampil (skillfull),
komunikator yang efektif (effective communicator), individu yang berempati (empathetic
individual), pemecah masalah yang efektif (effective problem-solver), pembuat keputusan
yang efisien (efficient decission-maker), dan memiliki penilaian klinis yang baik (good
clinical judgment).

Akhirnya guna penyempurnaan modul ini, kami tetap memohon masukan, kritik, saran
agar nantinya terwujud sebuah buku ajar praktis, informatif. Semoga modul ini
bermanfaat.

Medan, September 2019

ttd,

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

I. Deskripsi Mata Kuliah ................................................................................................. 1


II. Rencana Pembelajaran Semester........................................................................... 2
III. Kontrak Perkuliahan................................................................................................. 22
IV. Jadwal Perkuliahan................................................................................................... 23
V. Penugasan dan penilaian ........................................................................................ 26
VI. Tata Tertib Perkuliahan.......................................................................................... 28
VII. Materi & Soal ........................................................................................................... 30
1. DESKRIPSI MATA KULIAH
Mata kuliah keperawatan gawat darurat I memiliki nilai kredit sebesar 3 SKS dengan 2
SKS Teori & 1 SKS Praktek dengan kode mata kuliah MKK 12. Mata kuliah ini membahas
tentang konsep dan perencanaan asuhan keperawatan yang etis, legal dan peka budaya
pada klien yang mempunyai masalah aktual dan risiko yang terjadi secara mendadak
atau tidak dapat diperkirakan dan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak
dapat dikendalikan, serta kondisi klien yang mengalami kritis dan mengancam
kehidupan. Perencanaan asuhan keperawatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga
diharapkan mampu mencegah atau mengurangi kematian atau kecacatan yang mungkin
terjadi. Fokus mata kuliah keperawatan gawat darurat I adalah konsep dasar
keperawatan gawat darurat serta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien yang
mengalami gangguan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi.

Kegiatan belajar mahasiswa berorientasi pada pencapaian kemampuan berpikir


sistematis, komprehensif, dan kritis dalam mengaplikasikan konsep keperawatan gawat
darurat dengan pendekatan asuhan keperawatan sebagai dasar penyelesaian masalah
dengan memperhatikan aspek legal dan etis. Evaluasi belajar mahasiswa dilakukan
melalui proses belajar dan pencapaian kompetensi. Kompetensi dari mata kuliah
keperawatan gawat darurat dan bahan kajiannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Kompetensi dan bahan kajian mata kuliah keperawatan gawat darurat I
No Kompetensi Bahaan kajian
Setelah mengikuti perkuliahan, mahasiswa mampu:
Menerapkan filosofi, a. Konsep keperawatan gawat darurat
1 konsep holistic dan b. Proses keperawatan pada area keperawatan gawat
proses keperawatan darurat
kegawat daruratan c. Efek kondisi kegawat daruratan terhadap pasien dan
keluarga
d. Pengkajian primer dan sekunder
e. Triage
f. Isu End of life di keperawatan gawat darurat

2 Melakukan simulasi Patofisiologi, farmakologi dan terapi diet pada gangguan


asuhan keperawatan berbagai system (gagal napas, stasus asmatukus, infark
dengan kasus miokardium, cardiac arrest, Syok hypovolemia dan sepsis)
kegawatan, serta Asuhan keperawatan kegawat daruratan (pengkajian,
kedaruratan dan analisa data, diagnosis keperawatan, intervensi,
kegawat daruratan implementasi dan evaluasi secara komprehensif meliputi
terkait biopsiko-sosio-spiritual)
gangguanberbagai
sistem pada individu
dengan
memperhatikan
aspek legal dan etis
3 Melakukan simulasi Pencegahan primer, sekunder, dan tersier pada masalah
pendidikan pada kasus kegawatdaruratan berbagai sistem
kesehatan dengan
kasus kegawatan
kedaruratan dan
kegawat daruratan
terkait multi sistem
pada individu dengan
berbagai tingkat usia
dengan
memperhatikan
aspek legal dan etis
4 Mengintegrasikan Hasil-hasil penelitian terkait pada masalah pada kasus
hasil-hasil penelitian kegawatdaruratan berbagai sistem
kedalam asuhan
keperawatan dalam
mengatasi masalah
yang berhubungan
dengan kegawatan,
kedaruratan dan
kegawat daruratan
terkait berbagai
sistem
5 Melakukan simulasi Manajemen pada kasus kegawatdaruratan pada kondisi gagal
pengelolaan asuhan napas, stasus asmatikus, infark miokardium, cardiac arrest,
keperawatan pada Syok hypovolemia dan sepsis
individu dengan
kegawatan,
kedaruratan dan
kegawat daruratan
terkait berbagai
sistem dengan
memperhatikan
aspek legal dan etis
6 Melaksanakan fungsi Aspek etik & legal Keperawatan gawat darurat
advokasi dan
komunikasi pada Peran dan fungsi perawat gawat darurat
kasus kegawatan,
kedaruratan dan
kegawat daruratan
terkait berbagai
sistem
7 Mendemonstrasikan Prosedur Keperawatan pada kegawatan, kedaruratan dan
intervensi kegawat daruratan
keperawatan pada 1. Initial Assesment
kegawat daruratan
sesuai dengan 2. Triage
standar yang berlaku 3. Pembebasan jalan nafas dan control servikal
dengan berfikir 4. Prosedur pemasangan dan perekaman serta interpretasi
kreatif dan inovatif EKG
sehingga 5. Resusitasi Jantung Paru
menghasilkan 6. Manajemen Perdarahan
pelayanan yang
efisien dan efektif.
2. RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER GENAP


T.A 2019/2020
Nama Mata Kuliah : Program Studi: Keperawatan
Kode MK :
Keperawatan Gawat Semester : III SKS : 3 (T:2 P:1)
MKK12
Darurat I
Pengesahan Koordinator Mata Kuliah Ketua Pogram Studi

Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM Ns. Galvani Volta Ns. Rinco Siregar, S.Kep.,MNS
Simanjuntak.,M.Kep
Capaian Pmbelajaran SIKAP
Lulusan (CPL) 1. Mampu melaksanakan praktik keperawatan dengan prinsip etis dan peka budaya sesuai dengan Kode Etik Perawat Indonesia;
2. Memiliki sikap menghormati hak privasi, nilai budaya yang dianut dan martabat klien, menghormati hak klien untuk memilih dan menentukan sendiri
asuhan keperawatan dan kesehatan yang diberikan, serta bertanggung jawab atas kerahasiaan dan keamanan informasi tertulis, verbal dan elektronik
yang diperoleh dalam kapasitas sesuai dengan lingkup tanggungjawabnya.

KETERAMPILAN UMUM
1. Bekerja di bidang keahlian pokok untuk jenis pekerjaan yang spesifik, dan memiliki kompetensi kerja yang minimal setara dengan standar
kompetensi kerja profesinya;
2. Membuat keputusan yang independen dalam menjalankan pekerjaan profesinya berdasarkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan kreatif;
3. Melakukan evaluasi secara kritis terhadap hasil kerja dan keputusan yang dibuat dalam melaksanakan pekerjaannya oleh dirinya sendiri dan
oleh sejawat;

KETERAMPILAN KHUSUS
1. Mampu mendemonstrasikan ketrampilan teknis keperawatan yang sesuai dengan SOP;
2. Mampu menegakkan diagnosis keperawatan dengan kedalaman dan keluasan terbatas berdasarkan analisis data, informasi, dan hasil kajian dari
berbagai sumber untuk menetapkan prioritas asuhan keperawatan.
3. Mampu menyusun dan mengimplementasikan perencanaan asuhan keperawatan sesuai standar asuhan keperawatan dan kode etik perawat,
yang peka budaya, menghargai keragaman etnik, agama dan faktor lain dari klien individu, keluarga dan masyarakat;
4. Mampu melakukan tindakan asuhan keperawatan atas perubahan kondisi klien yang tidak diharapkan secara cepat dan tepat; dan melaporkan
kondisi dan tindakan asuhan kepada penanggung jawab perawatan;
5. Mampu melaksanakan prosedur penanganan trauma dasar dan jantung (basic trauma and cardiac life support/BTCLS) pada situasi gawat
darurat/bencana sesuai standar dan kewenangannya;
PENGETAHUAN
1. Menguasai konsep proses keperawatan dan menyelesaikan masalah klien
2. Menguasai konsep pola pikir kritis, logis dan etis dalam mengembangkan asuhan keperawatan
3. Menguasai prinsip dan prosedur bantuan hidup lanjut (advance life support) dan penanganan trauma (basic trauma cardiac life
support/BTCLS) pada kondisi kegawatdaruratan dan bencana
1. Menerapkan filosofi, konsep holistik dan proses keperawatan kegawat daruratan
2. Melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait gangguan
berbagai sistem pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis.
3. Melakukan simulasi pendidikan kesehatan dengan kasus kegawatan, kedaruratan, kegawat daruratan terkait gangguan berbagai
sistem pada individu dengan memperhatikan aspek legal dan etis.
4. Mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan
Capaian Pembelajaran kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait berbagai sistem.
Mata Kuliah (CPMK)
5. Melakukan simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada individu dengan kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan
terkait berbagai sistem dengan memperhatikan aspek legal dan etis.
6. Melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi pada kasus kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait berbagai
sistem.
7. Mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kegawat daruratan sesuai dengan standar yang berlaku dengan berfikir
kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan pelayanan yang efisien dan efektif.
Deskripsi Matakuliah Mata kuliah ini membahas tentang konsep dan perencanaan asuhan keperawatan yang etis, legal dan peka budaya pada klien yang
mempunyai masalah aktual dan risiko yang terjadi secara mendadak atau tidak dapat diperkirakan dan tanpa atau disertai kondisi
lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, serta kondisi klien yang mengalami kritis dan mengancam kehidupan. Perencanaan
asuhan keperawatan dikembangkan sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu mencegah atau mengurangi kematian atau
kecacatan yang mungkin terjadi.

Ns. Galvani Volta Simanjuntak, M.Kep


Ns. Janno Sinaga, M.Kep., Sp.KMB
Dosen Pengampu
Ns. Normi P. Sipayung, M.Kep
Ns. Edriyani Y. Simanjuntak, M.Kep
Waktu Pengalaman Penilaian
Kemampuan
Bahan Kajian/Materi Metode Belajar Dan Kriteria Indikator Bobot Dosen
Pert Akhir Tiap
Pembelajaran Pembelajaran Deskripsi Tugas Penilaian
Tahapan Belajar Mahasiswa (%)
1 Mahasiswa Mampu a. Definisi dan kriteria Lecture 1x100’  Belajar dengan - Keaktifan 1. Mahasiswa 5% Galvani
memahami konsep gawat darurat narasumber - Ketepatan mampu
dasar gawat darurat b. Tujuan pelayanan  Belajar mandiri: Penjelasan menjelaskan
dan Peran perawat keperawatan gawat definisi &
pada area
membaca - Daya tarik
darurat referensi komunikasi Kriteria
keperawatan gawat
darurat
c. Falsafah keperawatan  diskusi - Kreatifitas keperawatan
gawat darurat gawat darurat
d. Efek kondisi kegawat 2. Mahasiswa
daruratan terhadap mampu
pasien dan keluarga mengidentifik
e. Peran perawat pada asi tujuan
area keperawatan pelayanan
gawat darurat gawat darurat
3. Mahasiswa
mampu
menjelaskan
falsafah gawat
darurat
4. Mahasiswa
mampu
menjelaskan
efek kondisi
kegawat
daruratan
terhadap
pasien dan
keluarga
5. Mahasiswa
mampu
menjelaskan
Peran perawat
pada area
keperawatan
gawat darurat
2 Mampu memahami a. Aspek legal etik Lecture 1x100’  Belajar dengan - Keaktifan 1. Mahasiswa 5% Galvani
etik dan aspek legal keperawatan gawat narasumber - Ketepatan mampu
dalam pemberian darurat  Belajar mandiri: Penjelasan menjelaskan
asuhan keperawatan b. Isu end of life in membaca - Daya tarik etik legal
gawat darurat emergency nursing referensi komunikasi keperawatan
 Diskusi - Kreatifitas gawat darurat
2. Mahasiswa
mampu
menjelaskan Isu
End of life di
keperawatan
gawat darurat
3 Mampu memahami a. Pengkajian primer dan Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa mampu 5% Galvani
proses keperawatan sekunder narasumber - Ketepatan menjelaskan proses
dan pengkajian b. Diagnosa keperawatan - Belajar mandiri: Penjelasan keperawatan gawat
primer sekunder di c. Intervensi darurat mulai dari
membaca - Daya tarik pengkajian,
area keperawatan referensi komunikasi penegakan diagosa,
gawat darurat d. Evaluasi keperawatan - Diskusi - Kreatifitas intervensi sampai
dengan evaluasi.
Deskripsi tugas
Mahasiswa
diberikan tugas
membuat sebuah
perencanaan asuhan
keperawatan
berdasarkan kasus
yang diberikan
dalam bentuk
makalah

4-6 Mampu Praktek: Initial assesment Role Play dan 3x170’  Belajar dengan  Kelengkapan Mahasiswa mampu 5% Galvani
mendemonstrasikan demonstrasi fasilitator alat-alat; mendemonstrasikan
initial assesment  ketepatan prosedur initial
 Belajar mandiri:
assesment
membaca prosedur
referensi
 Belajar
berkelompok/bek
erja dalam satu
tim
 Berdiskusi
7 Mampu memahami 1. Definisi triage - Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa 5% Normi
konsep dasar triage 2. Proses pelaksanaan - Case Study narasumber - Ketepatan mampu
triase - Small Group - Belajar mandiri: Penjelasan menjelaskan
3. Sistem triase discution membaca - Daya tarik konsep triage
referensi komunikasi
- Diskusi - Kreatifitas

8-9 Mampu Praktek: triase Role Play dan 2 x 170’  Belajar dengan  Kelengkapan Mahasiswa mampu 5% Normi
mendemonstrasik demonstrasi fasilitator alat-alat; mendemonstrasikan
an triase prosedur triase
 Belajar mandiri:  ketepatan
membaca prosedur
referensi
 Belajar
berkelompok/be
kerja dalam
satu tim
 Berdiskusi
10 Mampu a. Anatomi system Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa 5% Normi
memahami pernapasan narasumber - Ketepatan mampu
manajemen b. Manajemen jalan - Belajar mandiri: Penjelasan menjelaskan
jalan dan napas manual dan membaca - Daya tarik tentang
pernapasan menggunakan alat referensi komunikasi anatomi
bantu - Berdiskusi - Kreatifitas sistem
c. Manajemen pernapasan,
pernapasan gangguan dan
penatalaksana
an jalan napas
dan
pernapasan

11- Mampu Praktek: Pembebasan Role Play dan 2x170’  Belajar dengan Kelengkapan Mahasiswa 5% Normi
12 mendemonstrasikan jalan nafas dan control demonstrasi: fasilitator alat-alat; mampu
Pembebasan jalan servikal  Belajar mandiri: ketepatan mendemonstr
nafas dan control membaca prosedur asikan
servikal referensi prosedur
 Belajar manajemen
jalan dan
berkelompok/bek
pernapasan
erja dalam satu
tim
 Berdiskusi
13 Mampu memahami a. Anatomi fisiologi Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa 5% Janno
pemeriksaan jantung narasumber - Ketepatan mampu
diagnostic EKG, b. Sistem kelistrikan - Belajar mandiri: Penjelasan menjelaskan
interpretasi hasil jantung membaca - Daya tarik Sistem konduksi
dan implementasi c. Jenis-jenis sadapan referensi komunikasi listrik jantung,
dalam kondisi EKG - Berdiskusi - Kreatifitas Jenis-jenis
kegawatdaruratan d. Gambaran EKG Normal sadapan EKG,
serta teknik dan yang mengancam Pemasangan dan
defibrilasi nyawa perekaman EKG,
e. Teknik defibrilasi Cara sederhana
interpretasi hasil
EKG, Gambaran
EKG yang
mengancam
nyawa serta
teknik defibrilasi

14- Mampu Praktek: Pemasangan dan Role Play dan 2x170’  Belajar dengan Kelengkapan Mahasiswa 5% Janno
15 mendemonstrasikan perekaman EKG dan demonstrasi: fasilitator alat-alat; mampu
prosedur perekaman Interpretasi hasil rekaman  Belajar mandiri: ketepatan mendemonstr
EKG dan membaca prosedur asikan
menginterpretasikan referensi prosedur
hasil EKG  Belajar perekaman
EKG dan
berkelompok/bek
menginterpret
erja dalam satu
asikan
tim
hasilnya
 Berdiskusi secara
sederhana

16 UJIAN TENGAH SEMESTER Normi


17- Mampu memahami a. Patofisiologi cardiac - Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa mampu 5% Janno
18 pengelolaan asuhan arrest & Acute narasumber - Ketepatan menjelaskan
Kegawat daruratan Miocard Infark - Belajar mandiri: Penjelasan Patofisiologi, jenis
non trauma: Cardiac b. Penatalaksanaan dan
Arrest & Acute
membaca - Daya tarik penatalaksanaan
cardiac arrest & Acute referensi komunikasi
Miocard Infark serta proses
Miocard Infark - Berdiskusi - Kreatifitas keperawatan pada
c. Proses keperawatan pasien cardiac
gawat darurat cardiac arrest & acute
arrest & acute miocard miocard infark
infark
Asuhan keperawatan pasien Small Group 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa 5% Janno
dengan cardiac arrest & discution fasilitator diskusi, mampu
acute miocard infark - Belajar mandiri: menyampaik menjelaskan
Manajemen
membaca an pendapat,
asuhan
referensi menjawab, keperawatan
- Berdiskusi menyimpulk gawat darurat
an pada pasien
Deskripsi tugas - Rubrik dengan cardiac
Mahasiswa penilaian arrest & acute
diberikan tugas makalah dan miocard infark
membuat asuhan presentasi
keperawatan
berdasarkan kasus
yang diberikan
dalam bentuk
makalah dan
dipresentasikan

19- Mampu Praktek: Resusitasi Jantung Role Play dan 2x170’  Belajar dengan Kelengkapan Mahasiswa 5% Janno
21 mendemonstrasikan Paru demonstrasi: fasilitator alat-alat; mampu
Resusitasi Jantung  Belajar mandiri: ketepatan mendemonstr
Paru membaca prosedur asikan
referensi prosedur CPR
 Belajar dan
penggunaan
berkelompok/bek
AED
erja dalam satu
tim
 Berdiskusi
22- Mampu memahami a. Patofisiologi gagal Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa mampu 5% Normi
23 pengelolaan asuhan napas & Status narasumber - Ketepatan menjelaskan
Kegawat daruratan asmatikus - Belajar mandiri: Penjelasan Patofisiologi dan
non trauma: gagal b. Penatalaksanaan gagal penatalaksanaan
napas & status
membaca - Daya tarik serta proses
napas & Status referensi komunikasi
asmatikus keperawatan pada
asmatikus - Berdiskusi - Kreatifitas pasien gagal napas
c. Proses keperawatan & status asmatikus
gawat darurat gagal
napas & status
asmatikus
Asuhan keperawatan Small Group 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Manajemen asuhan 5% Normi
pasien dengan gagal discution fasilitator diskusi, keperawatan pada
napas & status asmatikus - Belajar mandiri: menyampaik pasien dengan gagal
napas & status
membaca an pendapat,
asmatikus
referensi menjawab,
- Berdiskusi menyimpulk
an
Deskripsi tugas - Rubrik
Mahasiswa penilaian
diberikan tugas makalah dan
membuat asuhan presentasi
keperawatan
berdasarkan kasus
yang diberikan
dalam bentuk
makalah dan
dipresentasikan

24- Mampu d. Patofisiologi syok Lecture 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Mahasiswa mampu 5% Edri
25 memahami hipovolemia & sepsis narasumber - Ketepatan menjelaskan
pengelolaan e. Penatalaksanaan syok - Belajar mandiri: Penjelasan Patofisiologi dan
asuhan Kegawat hipovolemia & sepsis penatalaksanaan
daruratan non
membaca - Daya tarik serta proses
f. Proses keperawatan
referensi komunikasi
trauma: syok gawat darurat syok keperawatan pada
hipovolemia & - Berdiskusi - Kreatifitas pasien syok
hipovolemia & sepsis
sepsis hipovolemia &
sepsis
Asuhan keperawatan Small Group 1x100’ - Belajar dengan - Keaktifan Manajemen asuhan 5% Edri
pasien dengan gagal discution fasilitator diskusi, keperawatan pada
napas & status asmatikus - Belajar mandiri: menyampaik pasien dengan syok
hipovolemia &
membaca an pendapat,
sepsis
referensi menjawab,
- Berdiskusi menyimpulk
an
Deskripsi tugas - Rubrik
Mahasiswa penilaian
diberikan tugas makalah dan
membuat asuhan presentasi
keperawatan
berdasarkan kasus
yang diberikan
dalam bentuk
makalah dan
dipresentasikan

26- Mampu Praktek: manajemen Role Play dan 2x170’  Belajar dengan Kelengkapan Mahasiswa 5% Edri
27 mendemonstrasikan perdarahan demonstrasi: fasilitator alat-alat; mampu
manajemen  Belajar mandiri: ketepatan melakukan
perdarahan membaca prosedur demonstrasi
referensi prosedur
 Belajar manajemen
perdarahan
berkelompok/bek
erja dalam satu
tim
 Berdiskusi
28 Mampu menjelaskan Pencegahan primer, PjBL 1x100’  Belajar mandiri:  Ketepatan Mahasiswa mampu 5% Galvani
Pencegahan primer, sekunder, tersier pada kasus membaca Penjelasan menjelaskan
sekunder, tersier pada kegawatdaruratan pada  Daya tarik Pencegahan primer,
referensi
kasus system pernapasan dan sekunder, tersier
komunikasi
kegawatdaruratan kardiovaskuler pada kasus
pada system Deskripsi tugas:  Kreatifitas kegawatdaruratan
pernapasan dan Setiap mahasiswa pada system
kardiovaskuler membuat media pernapasan dan
penyuluhan tentang kardiovaskuler
Pencegahan primer,
sekunder, tersier
pada kasus
kegawatdaruratan
pada sistem
pernapasan dan
kardiovaskuler
dapat berupa poster,
leaflet ataupun
video.
29 Mampu menelaah  Hasil-hasil penelitian PjBL 1x100’  Belajar  Ketepatan Mahasiswa 5% Galvani
jurnal terkait terkait pada masalah berkelompok/bek waktu dan mampu
dengan keperawatan pada kasus erja dalam satu Penjelasan melakukan telaah
gawat darurat guna kegawatdaruratan tim  Daya tarik jurnal
penyelesaian  Trend dan issue  Berdiskusi komunikasi
masalah terkait kasus Deskripsi tugas:  Kreatifitas
kegawatdaruratan Setiap kelompok
Evidence based mencari artikel
practice dalam jurnal (5 artikel)
penatalaksanaan dengan topik
kasus sesuai dengan
kegawatdaruratan permasalahan
yang didapatkan
kelompok, boleh
dari dalam negeri
(harus
terakreditasi) atau
dari luar negeri
(dari sumber
terpercaya)dan
dibuat telaah
jurnalnya dalam
bentuk makalah
30- UJIAN PRAKTEK Galvani, Janno,
31 Normi, Edri
32 UJIAN AKHIR SEMESTER Galvani

Evaluasi
No Komponen Bobot Keterangan
1 Kognitif & Psikomotorik 50% UAS & Ujian Praktek
2 Kognitif 30% UTS
3 Penugasan & (afektif) 20% Ketepatan waktu
Kerjasama dalam tim
Kesesuaian konten dengan esensi penugasan
Seminar (afektif) Kesiapan makalah
Penguasaan konten makalah
Tanggung jawab, Kreativitas, Kerjasama,
Menghargai pendapat orang lain, Percaya diri,
Empati, Komunikatif, Self motivation,
Manajemen waktu, Berfikir kritis
Kriteria Kelulusan
Mahasiswa dinyatakan lulus minimal mendapatkan nilai 60 atau “C+”
Rentangan Skor Nilai Bobot Kategori
80 - 100 A 4,00 Sangat Baik
75 -79 B+ 3,50
Baik
70 - 74 B 3,00
65 -69 C+ 2,50
Cukup
60 - 64 C 2,00
< 60 E 0 Gagal

Daftar Referensi
AHA Guideline 2015
Ackley, B. J., Ladwig, G. B., Makic, M. B., Martinez-Kratz, M. R., & Zanotti, M. (2017).
Nursing diagnoses handbook: An evidence-based guide to planning care. St. Louis, MO:
Elsevier.

Bulechek, et al.(2014). Nursing Interventions Classification (NIC) (5th ed). America; Mosby
Elseiver.
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds).
Philadelphia: WB Saunders Company
Fultz, J. & Sturt, P. (2010). Mosby’s Emergency Nursing Reference. St Louis: Elsevier Mosby.
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi Indonesia
Pertama, Singapura: Elsevier
Nanda Internasional. (2018). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2018-2020 (11th
ed). Jakarta: EGC
PPNI .(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2010). Saunders Nursing Survival Guide Critical Care and
Emergency Nursing 2nd ed. United states of america: Saunders Elsevier.
Simanjuntak, G. V., Simamora, M., & Sitorus, H. F. (2019). Perbandingan outcome pasien infark
miokard akut dengan dan tanpa diabetes melitus. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan
Aisyiyah, 15(2), 111-116.
Thaler, M. (2016) Satu-satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan (Edisi 7). Jakarta: EGC.
Tscheschlog, B. A. & Jauch, A. (2014). Emergency nursing made incredibly easy. Wolter
Kluwers
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan
Kegawatdaruratan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Artikel jurnal keperawatan gawat darurat atau bidang terkait yang bersumber dari jurnal
bereputasi
3. KONTRAK BELAJAR
BOBOT, WAKTU, DAN TEMPAT
1. Keperawatan gawat darurat mempunyai bobot 3 SKS (2 Teori, 1 Praktik). Lama waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan MA tersebut adalah : 16 Minggu efektif
2. Hadir 15 Menit sebelum perkuliahan dimulai, terlambat 10 Menit dari jam perkuliahan
tidak diizinkan masuk dan mengikuti perkuliahan
3. Setiap perkuliahan harus membawa buku bacaan/text book yang telah disepakati
bersama
4. Setiap kelompok harus ada yang membawa laptop dan terhubung dengan jaringan
internet/wifi
5. Berpakaian rapi dan sopan, tidak menggunakan kaos, jeans, dan sandal
6. Syarat mengikuti ujian: Harus mengikuti perkuliahan minimal 75 % dan harus
mengikuti lab skill 100%
7. Kriteria Kelulusan: dinyatakan lulus minimal mendapatkan nilai 60 atau C
8. Bobot penilaian
a. Tugas & Seminar 20%
b. UTS 30%
c. UAS dan Ujian Skill Lab 50%
STANDAR KOMPETENSI
8. Menerapkan filosofi, konsep holistik dan proses keperawatan kegawat daruratan
9. Melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus kegawatan, kedaruratan dan
kegawat daruratan terkait gangguan berbagai sistem pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis.
10. Melakukan simulasi pendidikan kesehatan dengan kasus kegawatan, kedaruratan,
kegawat daruratan terkait gangguan berbagai sistem pada individu dengan
memperhatikan aspek legal dan etis.
11. Mengintegrasikan hasil-hasil penelitian kedalam asuhan keperawatan dalam mengatasi
masalah yang berhubungan dengan kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan
terkait berbagai sistem.
12. Melakukan simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada individu dengan
kegawatan, kedaruratan dan kegawat daruratan terkait berbagai sistem dengan
memperhatikan aspek legal dan etis.
13. Melaksanakan fungsi advokasi dan komunikasi pada kasus kegawatan, kedaruratan
dan kegawat daruratan terkait berbagai sistem.
14. Mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kegawat daruratan sesuai dengan
standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan
pelayanan yang efisien dan efektif.
METODE PEMBELAJARAN
Ceramah (Lecture), SGD, Role play & demonstrasi (skills lab), Student Project
BENTUK PENGUMPULAN TUGAS
Tugas makalah yang akan dipresentasikan, telaah jurnal &
Student Project
Perwakilan Mahasiswa Dosen Pengampu

Ns. Galvani Volta Simanjuntak, M.Kep

4. JADWAL PERKULIAHAN
NO TGL JAM METODE TOPIK PENGAJAR RUANG
1 Senin, 14.00- Ceramah  Penjelasan silabus dan
Penugasan Galvani D.2
23 Sep 15.40
2019  Konsep dasar keperawatan
gawat darurat
 Peran perawat pada area
keperawatan gawat darurat
2 Rabu, 10.30- Ceramah  Aspek legal etik keperawatan Galvani
D.2
25 Sep 12.10 gawat darurat
2019  Isu end of life in emergency
nursing
3 30 Sep 14.00- Ceramah  Proses Keperawatan gawat Galvani
D.2
2019 15.40 darurat & Pengkajian primer &
sekunder

4 2 Okt 10.30- Role Play dan Praktek: initial assesment Galvani


Laboratorium
2019 13.00 demonstrasi
Terpadu
5 7 Okt 14.00-  Definisi triage Normi
Ceramah  Proses pelaksanan triage D.2
2019 15.40
 Sistem triage

6 9 Okt 10.30- Praktek: initial assesment Galvani


Role Play dan Laboratorium
2019 13.00 demonstrasi
Terpadu

7 14 Okt 14.00-  Anatomi system pernapasan Normi


Ceramah  Manajemen jalan napas D.2
15.40
manual dan menggunakan alat
bantu
 Manajemen pernapasan
8 16 Okt 10.30- Role Play dan Praktek: initial assesment Galvani Laboratorium
13.00 demonstrasi Terpadu

9 21 Okt 14.00- Elektokardiografi dan teknik Janno


Ceramah D.2
15.40 defibrilasi
a. Anatomi fisiologi jantung
b. Sistem kelistrikan jantung
c. Jenis-jenis sadapan EKG
d. Aritmia lethal
e. Teknik defibrilasi
10 23 Okt 10.30- Role Play dan Praktek: Triage Normi Laboratorium
13.00 demonstrasi Terpadu

11 28 Okt 14.00- Askep Gadar pasien gagal napas & Normi


Ceramah status asmatikus D.2
15.40

12 30 Okt 10.30- Role Play dan Praktek: Triage Normi Laboratorium


13.00 demonstrasi Terpadu

13 4 Nov 14.00- Diskusi kasus gagal napas & status Normi


SGD asmatikus D.2
15.40

14 6 Nov 10.30- Role Play dan Praktek: Pembebasan jalan nafas Normi Laboratorium
13.00 demonstrasi dan kontrol servikal Terpadu

15 11 Nov 14.00- Askep Gadar pasien Infark miokard Janno


Ceramah akut & Cardiac arrest D.2
15.40

16 13 Nov 10.30- Role Play dan Praktek: Pembebasan jalan nafas Normi Laboratorium
13.00 demonstrasi dan kontrol servikal Terpadu

17 18 Nov 14.00- Diskusi kasus Infark miokard akut Janno


SGD & Cardiac arrest D.2
15.40
18 20 Nov 10.30- UTS Normi
D.2
13.00
19 25 Nov 14.00- Ceramah Askep Gadar pasien Syok Edriyani D.2
15.40 hivopolemia dan sepsis

20 27 Nov 10.30- Role Play dan Praktek: Pemasangan dan Janno Laboratorium
13.00 demonstrasi perekaman EKG dan Interpretasi Terpadu
hasil rekaman
21 2 Des 14.00- SGD Diskusi kasus syok hipovolemia & Edriyani D.2
15.40 sepsis

22 3 Des 10.30- Role Play dan Praktek: Pemasangan dan Janno Laboratorium
13.00 demonstrasi perekaman EKG dan Interpretasi Terpadu
hasil rekaman
23 9 Des 14.00- Student Pencegahan primer, sekunder, Normi D.2
15.40 Project tersier pada kasus
kegawatdaruratan pada system
pernapasan dan kardiovaskuler
24 11 Des 10.30- Praktek: Resusitasi jantung paru Janno
Role Play dan Labor
2020 13.00 demonstrasi
atoriu
m
Terpa
du
25 16 Des 14.00- Student Telaah Jurnal Normi D.2
2020 15.40 Project

26 18 Des 10.30- Role Play dan Praktek: Resusitasi jantung paru Janno
Laboratorium
2020 13.00 demonstrasi
Terpadu

27 8 Jan 10.30- Role Play dan Praktek: Resusitasi jantung paru Janno
Laboratorium
2020 13.00 demonstrasi
Terpadu

28 15 Jan 10.30- Role Play dan Praktek: Manajemen perdarahan Edriyani


Laboratorium
2020 13.00 demonstrasi
Terpadu

29 22 Jan 10.30- Role Play dan Praktek: Manajemen perdarahan Edriyani


Laboratorium
2020 13.00 demonstrasi
Terpadu

30- 24-25 10.30- UJIAN PRAKTEK Galvani, Janno,


31 Jan 13.00 Normi, Edriyani Laboratorium
Terpadu
2020
32 29 Jan 14.00- UAS Galvani
D.2
2020 15.40
5. PENUGASAN DAN RUBRIK PENILAIAN
a. Penugasan Small Grup Discussion (SGD)
No Waktu Ja Topik Fasilitator
m
1 4 Nov 2019 14.00- Buatlah asuhan keperawatan gawat darurat Galvani
15.40 sesuai kasus gagal napas & status asmatikus Janno Sinaga
Normi
2 18 Nov 2019 14.00- Buatlah asuhan keperawatan gawat darurat
Edriyani
15.40 sesuai kasus cardiac arrest & infark miokard
akut
3 2 Des 2019 14.00- Buatlah asuhan keperawatan gawat darurat
15.40 sesuai kasus syok hypovolemia & sepsis

Kasus akan diberikan paling lambat H-7 SGD

1) Format makalah
i. Cover
ii. Kata pengantar
iii. Isi makalah
iv. Kesimpulan
v. Daftar pustaka
vi. Lampiran
2) Tata tulis
a) Font: Times New Roman, 12pt, 1.5 spasi
b) Margin kiri dan atas: 4 cm, margin kanan dan bawah: 3 cm
c) Penulisan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
3) Tugas dipresentasikan dalam kelas
4) Komponen penilaian makalah
Komponen Item penilaian Bobot
a. Struktur 1. Menyusun makalah dengan terstruktur 10%
2. Menggunakan heading dan sub heading dengan
tepat
3. Menyimpulkan makalah
b. Writing 1. Menjelaskan makalah dengan kalimat 10%
style terstruktur, argumen yang jelas, dan
menggunakan EYD
c. Isi makalah 1. Sesuai dengan sub topik yang dicantumkan di 60%
RPS
d. Referencing 1. Daftar pustaka akurat dan lengkap 20%
2. Melakukan kutipan referensi dengan tepat
3. Daftar pustaka primer lebih sering digunakan
4. Menyebutkan semua sumber informasi
5. Kutipan langsung hanya untuk poin yang
penting
5) Ketentuan presentasi:
a) Presentasi dilakukan maksimal 15 menit setiap kelompok
b) Moderator dipilih dari kelompok lain yang tidak presentasi
6) Komponen Penilaian Presentasi
Komponen Item penilaian Bobot
Media 1. Menarik 15%
2. Jelas
3. Mudah dipahami
4. Mencantumkan sumber/referensi
Isi 1. Sesuai dengan kajian teori 60%
2. Sesuai dengan evidence based practice
3. Up to date
4. Mengintegrasikan terapi komplementer
5. Mengintegrasikan nilai-nilai islam
Diskusi 1. Menghargai pendapat teman 15%
2. Bersikap terbuka terhadap kritik dan saran
3. Mampu berargumentasi
Kerja tim 1. Mendemonstrasikan kerja tim yang efisien 10%
2. Tidak ada anggota kelompok yang
mendominasi

b. Penugasan Student Project


1) Student Project I
a) Setiap mahasiswa membuat media penyuluhan tentang Pencegahan primer,
sekunder, tersier pada kasus kegawatdaruratan pada sistem pernapasan dan
kardiovaskuler
b) Media dapat berupa poster, leaflet atau video
c) Pengumpulan soal dilakukan secara kolektif oleh koordinator mata kuliah Kep.
Gadar I
d) Penilaian dilihat dari Ketepatan penjelasan, Daya tarik media dan Kreatifita.
2) Student Project II
a) Carilah artikel jurnal (5 artikel) dengan topik sesuai dengan permasalahan yang
didapatkan kelompok, boleh dari dalam negeri (harus terakreditasi) atau dari
luar negeri (dari sumber terpercaya).
b) Sistematika pelaporan
 Judul Jurnal
 Abstrak Jurnal
 Analisis PICO jurnal (dlm bentuk tabel)
P (Problem/Population): masalah dan populasi yang spesifik dalam jurnal
tersebut.
I (Intervention) : Intervensi/perlakuan yang dilakukan pada populasi terhadap
fenomena yang terjadi
C (Comparation, bila ada) : Perbandingan intervensi yang sudah/pernah
dilakukan pada populasi/problem terkait.
O (Outcome) : hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut serta
implikasinya di bidang keperawatan.

No Kriteria Jawab Pembenaran & Critical thinking


.

1 P Ya/tidak

2 I

3 C

4 O

c) Kesimpulan
d) Referensi/Daftar Pustaka (maksimal 10 tahun terakhir, minimal 5 referensi).
Referensi berasal dari textbook, buku, jurnal, internet (dgn sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan) dan tidak boleh dari wordpress/blogspot.
e) Penilaian dilihat dari Kesesuaian isi analisis/ critical thinking dengan jurnal yang
ditelaah dan Kelengkapan referensi dan referensi yang digunakan tidak lebih
dari 10 tahun

6. TATA TERTIB PERKULIAHAN


a. Kegiatan di kelas
1) Kegiatan perkuliahan suatu mata kuliah dikelola oleh satu tim dosen yang ditetapkan
berdasarkan surat tugas, yang dipimpin oleh seorang dosen koordinator.
2) Pada pertemuan pertama, dosen koordinator menyampaikan bahan perkuliahan
kepada peserta didik, yaitu berupa Rencana Pembelajaran Semester (RPS), kontrak
perkuliahan, jadwal, penugasan, dan sistem penilaian pada mata kuliah tersebut.
3) Sipen mata kuliah berkewajiban mengingatkan jadwal perkuliahan dengan
menghubungi dosen pengajar paling lambat satu hari sebelum perkuliahan
berlangsung.
4) Dosen pengajar yang berhalangan dalam memberikan lecture atau pleno, diharapkan
untuk menyampaikan kepada koordinator mahasiswa paling lambat satu jam
sebelum lecture atau pleno dan jika tidak memberikan konfirmasi lebih dari 30 menit
dari kontrak waktu, maka perkuliahan bisa dilakukan penjadwalan ulang.
5) Jika waktu perkuliahan mundur selama 30 menit dari jadwal, dan tetap dilaksanakan,
maka lama perkuliahan tidak melebihi waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak
perkuliahan (bila tidak memungkinkan, perkuliahan bisa dilakukan penjadwalan
ulang sesuai kesepakatan antara dosen pengajar dan mahasiswa).
6) Sipen dapat mengingatkan dosen pengajar bila perkuliahan memanjang atau
melewati waktu yang disepakati dalam kontrak perkuliahan.
7) Penentuan kelompok yang presentasi ditentukan oleh dosen pendamping pleno dan
kelompok yang tidak mandapatkan giliran persentasi, wajib memberikan tanggapan
terhadap kelompok yang presentasi. Mahasiswa yang tidak hadir saat pleno, tidak
akan mendapatkan nilai pleno.
8) Presensi kegiatan perkuliahan dievaluasi dari keikutsertaan dalam kegiatan
perkuliahan.
9) Bukti fisik dari pelaksaan kegiatan perkuliahan dan presensi mahasiswa selama
kegiatan tersebut dapat berupa bukti hadir pada form presensi dosen dan
mahasiswa yang telah disediakan.
10) Peserta didik yang tidak mengikuti perkuliahan dengan alasan yang dibenarkan
menurut aturan (sakit atau ijin), menyerahkan surat ijin kepada dosen kordinator
mata kuliah paling lambat satu hari sebelum jadwal perkuliahan yang tidak dihadiri
(kecuali dengan alasan sakit, peserta didik diperkenankan menyerahkan Surat
Keterangan Sakit paling lambat satu minggu setelah perkuliahan yang tidak dihadiri).
11) Kehadiran dalam kegiatan perkuliahan minimal adalah 75% dari kegiatan
perkuliahan. Mahasiswa dengan kehadiran <75% dari kegiatan perkuliahan tidak
diperkenankan mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS).

b. Kegiatan di laboratorium
1) Setiap dosen/petugas laboratorium/mahasiswa wajib mematuhi tata tertib yang
berlaku di Laboratorium.
2) Mahasiswa yang akan meminjam barang di Laboratorium wajib mengisi blangko
peminjaman dan menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kepada petugas lab
yang ditandatangani oleh dosen pembimbing praktik lab
3) Setiap dosen/petugas laboratorium/mahasiswa yang melakukan aktivitas di
Laboratorium wajib menggunakan pakaian yang rapi dan sopan, serta alas kaki
tertutup yang khusus digunakan untuk di dalam ruangan laboratorium.
4) Setiap dosen/petugas laboratorium/mahasiswa yang melakukan aktivitas di
Laboratorium wajib menulis di buku logbook laboratorium.
5) Khusus untuk kegiatan ujian praktikum di laboratorium, mahasiswa wajib
menyiapkan format penilaian ujian skill lab yang sudah dilengkapi dengan nama dan
NIM mahasiswa dan menyerahkan kepada dosen penguji ketika ujian dimulai.
6) Pengaturan jadwal ujian dan mekanisme ujian skill lab dilakukan oleh dosen
koordinator
7) Bukti fisik dari pelaksanaan kegiatan praktikum atau ujian laboratorium berupa
berupa lembar presensi kegiatan, yang dikumpulkan kepada dosen koordinator.
8) Mahasiswa wajib mengikuti kegiatan sesuai jadwal yang ditentukan dengan
kehadiran 100%. Bagi mahasiswa yang tidak dapat melakukan praktikum karena
alasan sakit agar segera melakukan koordinasi dengan dosen pembimbing praktik
lab kelompok masing- masing dan dosen koordinator untuk mendapatkan solusi
terkait kondisi tersebut dan teknis kegiatan selanjutnya.

7. MATERI & SOAL


MODUL I
KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
dasar keperawatan gawat darurat.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
dasar keperawatan gawat darurat

POKOK BAHASAN :
Konsep dasar keperawatan gawat darurat

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang definisi dan kriteria gawat darurat, tujuan dan filosofi
keperawatan gawat darurat, fungsi serta peran perawat gawat darurat serta kualitas yang
harus dimiliki oleh seorang perawat gawat darurat dan dampak kondisi gawat darurat .

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah

MATERI
A. Definisi & Kriteria Gawat Darurat
Gawat Darurat adalah keadaan klinis yang membutuhkan tindakan medis segera untuk
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Kriteria kegawatdaruratan meliputi :
1. Mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan;
2. Adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi;
3. Adanya penurunan kesadaran;
4. Adanya gangguan hemodinamik; dan/atau
5. Memerlukan tindakan segera (Permenkes RI No. 47 tahun 2018).

Perawat merupakan salah satu bagian dari tim gawat darurat mempunyai ruang
lingkup yang luas, mempunyai karakteristik unik serta peran yang penting dalam
pemberian asuhan gawat darurat. Keperawatan gawat darurat merupakan suatu
area praktik keperawatan lanjut yang dilakukan secara cepat dan tepat baik mandiri
maupun kolaborasi untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan.
Pelayanan keperawatan gawat darurat diberikan pada semua rentang usia dan pada
berbagai setting: Rumah sakit, Puskesmas, pre hospital (jalan raya, transportasi udara,
tempat perbelanjaan, dll).

Keperawatan gawat darurat memberikan penanganan awal (bagi pasien yang datang
langsung ke rumah sakit) atau lanjutan (bagi pasien rujukan dari fasilitas pelayanan
kesehatan lain). Pelayanan gawat darurat memiliki tujuan utama untuk menerima,
melakukan triage, menstabilisasi, dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk
pasien, termasuk pasien yang membutuhkan resusitasi dan pasien dengan tingkat
kegawatan tertentu.

Perawat gawat darurat harus mengkaji pasien mereka dengan cepat dan
merencanakan intervensi sambil berkolaborasi dengan dokter gawat darurat. Dan
harus mengimplementasikan rencana pengobatan, mengevaluasi efektivitas
pengobatan, dan merevisi perencanaan dalam parameter waktu yang sangat sempit.
Hal tersebut merupakan tantangan besar bagi perawat, yang juga harus membuat
catatan perawatan yang akurat melalui pendokumentasian. Keadaan keperawatan
gawat darurat meliputi:
1. Situasi yang tidak direncanakan yang memerlukan intervensi/tindakan segera,
2. Alokasi sumber daya yang terbatas,
3. Jumlah pasien tidak dapat diprediksi,
4. Belum diketahui tingkat keparahan pasien, urgensi dan diagnosis,
5. Keragaman budaya (cultural diversity).

Oleh karena itu, seorang perawat gawat darurat harus mempunyai kemampuan atau
ketrampilan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan gawat darurat
untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial
mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak
diperkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.

B. Tujuan keperawatan gawat darurat


Tujuan keperawatan gawat darurat adalah:
1. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada pasien gawat darurat,
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat.
2. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh
penanganan yang lebih memadai.
3. Penanggulangan korban bencana

Penolong harus mengetahui penyebab kematian agar dapat mencegah kematian.


Berikut ini penyebab kematian, antara lain:
1. Mati dalam waktu singkat (4-6 menit)
a. Kegagalan sistem otak
b. Kegagalan sistem pernapasan
c. Kegagalan sistem kardiovaskuler
2. Mati dalam waktu lebih lama (perlahan-perlahan)
a. Kegagalan sistem hati,
b. Kegagalan sistem ginjal (perkemihan),
c. Kegagalan sistem pankreas.
C. Filosofi Keperawatan Gawat Darurat
1. Universal
Intervensi dalam keperawatan mencakup proses keperawatan yang
komprehensif dan dilakukan kepada semua manusia yang membutuhkan
bantuandalam keadaan gawat darurat dan diperlukan pemikiran yang
mencakup seluruhsistem organ tubuh.
2. Penanganan oleh siapa saja
Penangan keperawatan gawat tidak hanya bisa dilakukan oleh tenaga
kesehatan, namun semua masyarakat bisa melakukannya dengan syarat
telah mendapatkan pelatihan khusus mengenai penanganan pasien gawat darurat.
3. Penyelesaian berdasarkan masalah
Penyelesaian terfokus pada masalah yang dialami pasien karena dalam
kegawatdaruratan seorang tenaga terlatih berpacu dengan waktu dalam
menyelamatkan nyawa seorang pasien

D. Fungsi dan Peran perawat gawat darurat


1. Pemberi Pelayanan (Care Provider)
Memberikan perawatan kepada pasien atau keluarga yang mengalami masalah
kesehatan dengan melakukan pengkajian, menganalisis, mendiagnosis,
merencanakan, mengimplementasikan dan mengevalusi asuhan keperawatan gawat
darurat dalam situasi yang tidak terduga/tidak terkontrol, melakukan triase dan
memprioritaskan pasien, melakukan resusitasi dan stabilisasi, pengelolaan bencana,
2. Manajer klinis (leadership/manager)
Mengelola sumber daya keperawatan untuk meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan gawat darurat
3. Pendidik (educator)
Memberikan pengajaran kepada pasien dan keluarga dalam upaya meningkatkan
kesehatan dan pencegahan cedera, memberikan pembimbingan kepada peserta
didik keperawatan/perawat junior.
4. Peneliti (researcher)
Melakukan penelitian dan praktik berbasis (evidence based practice)

E. Kualitas perawat gawat darurat


Seorang Perawat gawat darurat harus memiliki ketangkasan, pendengaran dan
penglihatan yang baik. Mereka harus memahami prinsip-prinsip perkembangan
manusia, anatomi, fisiologi, patofisiologi serta farmakologi. Perawat gawat darurat juga
harus memiliki pengetahuan tentang landasan hukum yang berdampak pada
pelayanan yang diberikan seperti informed consent. Perawat gawat darurat harus
mampu dan nyaman bekerja dengan pasien dari berbagai latar belakang, budaya,
agama, usia, dan jenis disabilitas. Mereka harus tenang dan profesional setiap saat,
terutama ketika menghadapi situasi yang sulit dan emosional. Perawat gawat darurat
juga harus tahu bagaimana merawat diri mereka sendiri secara fisik dan emosional.

F. Pengaruh Kondisi Gawat Darurat Pada Pasien dan Keluarga


Pasien yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) biasanya mengalami sakit akut, sakit
berat atau mengalami injury yang dapat menyebabkan pasien berada pada kondisi
yang labil bahkan mengancam nyawa pasien. Kondisi pasien seperti ini dapat
berpengaruh pada bio-psiko-sosial dan spiritual pasien serta keluarganya.
Kondisi gawat darurat menyebabka pasien mengalami berbagai permasalahan seperti:
1. Pasien dapat mengalami nyeri mulai dari tingkat sedang sampai berat yang
mengancam kehidupan pasien,
2. Cemas akan kondisinya
3. Bingung
4. Konflik peran
5. Merasakan ketakutan
6. Merasalan powerless atau ketidakberdayaan
Selain itu, di Indonesia Ikatan antara keluara sangat tinggi baik keluarga inti maupun
extended family, adanya anggota keluarga dalam kondisi gawat darurat akan
menyebabkan dampak bagi keluarga, seperti:
1. Keluarga merasa cemas hingga panik
2. Bingung
3. Sedih, hingga syok
4. Keluarga kepikiran pasien terus menerus
5. Keluarga tidak mau makan
6. Tidak dapat tidur
7. Keluarga mengalami perubahan peran
Perawat gawat darurat harus memberikan pelayanan yang mencakup bio-psiko-sosial
dan sspritual pasien dan keluarganya. Perawat wajib hadir memberikan dukungan
psiko-sosial-spritual bagi keluarga dan pasiennya.
Rangkuman
Keperawatan gawat darurat merupakan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien
yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan. Kondisi gawat darurat mempunyai dampak pada pasien dan keluarga. Oleh
karena itu, pelayanan yang diberikan harus mencakup aspek bio-psiko-sosial dan spiritual
individu dan keluarga.

Latihan
1. Apa yang anda ketahui tentang keperawatan gawat darurat?
2. Apa saja kriteria kondisip pasien yang termasuk gawat darurat?
3. Coba anda tujuan dan filosofi keperawatan gawat darurat serta fungsi serta peran
perawat gawat!
4. Apa yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang perawat gawat darurat dan
dampak kondisi gawat durat

DAFTAR PUSTAKA
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy Edisi Indonesia I.
Elsevier Singapura Pte Ltd.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 Tentang
Pelayanan Kegawatdaruratan
MODUL II
ASPEK LEGAL & ETIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
dasar keperawatan gawat darurat.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan aspek
legal & etik Keperawatan gawat darurat.

POKOK BAHASAN :
Aspek legal & etik Keperawatan gawat darurat

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang aspek legal dan etik yang menjadi dasar pertimbangan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat.

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI
A. Pendahuluan
Pasien gawat darurat mengalami perubahan kondisi akibat penyakit/trauma yang
berpotensi membahayakan dirinya. Pasien akan menggantungkan dirinya kepada
perawat untuk pemenuhan kebutuhannya. Seorang pasien gawat darurat tidak
memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri yang berpotensi
pada isu etik/legal. Untuk itu, Seorang Perawat profesional dalam melaksanakan
pelayanan asuhan keperawatan wajib menggunakan metodologi proses keperawatan,
berpedoman pada standar keperawatan dilandasasi oleh etik dan etika keperawatan
dalam lingkup kewenangannya serta tanggung jawabnya dapat
dipertanggungjawabkan dari segi profesi kesehatan maupun segi hukum.

Secara umum aspek legal atau aspek sah secara hukum dalam profesi keperawatan
dimulai dari aspek legal pendidikan yang diakui oleh pemerintah mulai dari
perkuliahan sampai memiliki ijazah perawat yang dikeluarkan oleh yang berwenang.
Sedangkan aspek legalitas dan wewenang adalah aspek standar, kompetensi yang
ditetapkan oleh pihak yang berwenang dan organisasi pofesi keperawatan serta
undang undang yang berlaku.

Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh perawat pada tempat


kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang diberikan oleh perawatan serupa
lainnya dalam kondisi-kondisi umum yang berlaku. Maka perawatan yang diberikan
tidaklah dianggap sama dengan perawatan yang diberikan diruangan emergensi.
Perawat-perawat yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus menyadari
implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti memberikan persetujuan dan
tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan dalam membantu kondisi mencari bukti-
bukti.

B. Aspek legal
1. Undang-undang no. 38 tahun 2014 tentang keperawatan
Pasal 35
1. Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat
dapat melakukan tindakan  medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya.
2. Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
3. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan
yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
4. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Perawat sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.

2. Undang-undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan 


Pasal 32
1. Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
2. Dalam keadaan darurat Fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah
dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
Pasal 58
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian
akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa
atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
Pasal 85
2. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan
Pasal 190
1. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien
yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

3. Undang-undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan


Pasal 44
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik wajib memiliki STR.
Pasal 85
1. Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa
memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

C. Aspek Etika Keperawatan


Ada 8 prinsip etika keperawatan yang wajib diketahui oleh perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada penerima layanan keperawatan, baik
individu, kelompok, keluarga atau masyarakat.
1. Autonomy (Kemandirian)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
secara logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa mampu
memutuskan sesuatu dan orang lain harus menghargainya. Otonomi merupakan
hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri, dan
perawat haruslah bisa menghormati dan menghargai kemandirian ini.
2. Beneficence (Berbuat Baik)
Prinsip ini menuntut perawat untuk melakukan hal yang baik sesuai dengan ilmu
dan kiat keperawatan dalam melakukan pelayanan keperawatan. Contoh perawat
menasehati klien dengan penyakit jantung tentang program latihan untuk
memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi perawat menasehati untuk tidak
dilakukan karena alasan resiko serangan jantung. Hal ini merupakan penerapan
prinsip beneficence. Walaupun memperbaiki kesehatan secara umum adalah
suatu kebaikan, namun menjaga resiko serangan jantung adalah prioritas
kebaikan yang haruslah dilakukan.
3. Justice (Keadilan)
Nilai ini direfleksikan ketika perawat bekerja sesuai ilmu dan kiat keperawatan
dengan memperhatikan keadilan sesuai standar praktik dan hukum yang berlaku.
Contoh ketika perawat dinas sendirian dan ketika itu ada klien baru masuk serta
ada juga klien rawat yang memerlukan bantuan perawat maka perawat harus
mempertimbangkan tingkat kegawatdaruatan pasien kemudian bertindak sesuai
dengan asas keadilan.
4. Non-Maleficence (Tidak Merugikan)
Prinsip ini berarti seorang perawat dalam melakukan pelayanannya sesuai
dengan ilmu dan kiat keperawatan dengan tidak menimbulkan bahaya/cedera
fisik dan psikologis pada klien. Contoh ketika ada klien yang menyatakan kepada
dokter secara tertulis menolak pemberian transfusi darah dan ketika itu penyakit
perdarahan (melena) membuat keadaan klien semakin memburuk dan dokter
harus menginstrusikan pemberian transfusi darah. Akhirnya transfusi darah
tidak diberikan karena prinsip beneficence walaupun pada situasi ini juga terjadi
penyalahgunaan prinsip non-maleficence.
5. Veracity (Kejujuran)
Prinsip ini tidak hanya dimiliki oleh perawat namun harus dimiliki oleh seluruh
pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setia klien
untuk meyakinkan agar klien mengerti. Informasi yang diberikan harus akurat,
komprehensif, dan objektif. Kebenaran merupakan dasar membina hubungan
saling percaya. Klien memiliki otonomi sehingga mereka berhak mendapatkan
informasi yang ia ingin tahu. Contoh Ny. A masuk rumah sakit dengan berbagai
macam fraktur karena kecelakaan mobil, suaminya juga ada dalam kecelakaan
tersebut dan meninggal dunia. Ny. A selalu bertanya-tanya tentang keadaan
suaminya. Dokter ahli bedah berpesan kepada perawat untuk belum
memberitahukan kematian suaminya kepada klien. Perawat dalam hal ini
dihadapkan oleh konflik kejujuran.
6. Fidelity (Menepati Janji/komitmen)
Tanggung jawab besar seorang perawat adalah meningkatkan kesehatan,
mencegah penyakit, memulihkan kesehatan, dan meminimalkan penderitaan.
Untuk mencapai itu perawat harus memiliki komitmen menepati janji dan
menghargai komitmennya kepada orang lain.
7. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasi klien.
Dokumentasi tentang keadaan kesehatan klien hanya bisa dibaca guna keperluan
pengobatan, upaya peningkatan kesehatan klien dan atau atas permintaan
pengadilan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan harus dihindari.
8. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas adalah standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional
dapat dinilai dalam berbagai kondisi tanpa terkecuali. Contoh perawat
bertanggung jawab pada diri sendiri, profesi, klien, sesame teman sejawat,
karyawan, dan masyarakat. Jika perawat salah memberi dosis obat kepada klien
perawat dapat digugat oleh klien yang menerima obat, dokter yang memberi
tugas delegatif, dan masyarakat yang menuntut kemampuan professional.

Salah satu implementasi etik legal dalam keperawatan gawat darutat adalah persetujuan
tindakan (informed consent). Persetujuan tindakan diminta kepada pasien atau keluarga
terdekat atau orang yang diberi kuasa oleh pasien setelah diberikan penjelasan secara
lengkap terkait dengan tindaka yang akan diterima pasien.
Beberapa tipe persetujuan tindakan, yaitu:
1. Implied consent (tersirat), Sering terjadi pada kondisi gawat darurat
2. Express consent (lisan), sering terjadi pada pengkajian, evaluasi, pemberian obat,
pemeriksaan lab, dll.
3. Informed consent (tertulis), diberikan setelah pasien paham manfaat dan risiko tindakan.
Sering pembedahan serta prosedur invasive.
Rangkuman
Pasien akan menggantungkan dirinya kepada perawat untuk pemenuhan kebutuhannya.
Seorang pasien gawat darurat tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri yang berpotensi pada isu etik/legal. Untuk itu, Seorang Perawat profesional
dalam melaksanakan pelayanan asuhan keperawatan wajib berpedoman pada standar
keperawatan dilandasasi oleh etik dan etika keperawatan dalam lingkup kewenangannya
serta tanggung jawabnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi profesi kesehatan
maupun segi hukum.

Tugas
1. Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke IGD dengan keluhan batuk dan sesak disertai
diare sejak 1 bulan yang lalu. Pada pengkajian ditemukan candida pada mulut dan
tampak tato dibeberapa bagian tubuh. Pasien dicurigai menderita HIV dan dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Pasien meminta perawat untuk berjanji agar
tidak memberitahu keluarganya. Apa pertimbangan etik pada kasus tersebut?
2. Seorang laki-laki berusia 50 tahun mengalami stroke hemoragik, direncanakan akan
dilakukan pembedahan kepala. Saat ini, perawat sedang menjelaskan pada keluarga
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada pasien setelah pembedahan. Apa
pertimbangan etik pada kasus tersebut?
3. Seorang laki-laki berusia 24 tahun diantar ke IGD oleh tukang becak karena mengalami
kecelakaan. Menurut tukang becak, pasien merupakan korban tabrak lari. Hasil
pengkajian pasien mengalami cedera kepala berat dan direncanakan untuk segera
dilakukan pembedahan kepala. Identitas pasien tidak ada sehingga tidak dapat
menghubungi keluarga untuk meminta persetujuan dilakukan pembedahan. Apa yang
harus anda lakukan sebagai seorang perawat pada kasus diatas?

REFERENSI
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy Edisi Indonesia I.
Singapura: Elsevier Pte Ltd.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
MODUL III
ISSUE END OF LIFE PADA KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
dasar keperawatan gawat darurat.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan issu
end of life pada keperawatan gawat darurat.

POKOK BAHASAN :
Issu End Of Life Pada Keperawatan Gawat Darurat

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang prinsip-prinsip end of life, kriteria Peaceful End of Life serta
isu terkait end of life pada area keperawatan gawat darurat.

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI
PENDAHULUAN
Pasien yang datang ke IGD bervariasi dengan kondisi yang mengancam jiwa maupun yang
menjelang ajal. Pasien dengan kondisi mengancam nyawa berfokus pada tindakan
resusitasi, sedangkan pada pasien yang menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan End
of Life. Salah satu kesulitan perawat dalam pendampingan pasien yang menjelang ajal yaitu
banyaknya pasien yang dalam kondisi emergency yang memerlukan tindakan terlebih
dahulu. Konflik batin, emosi, perasaan hati tersentuh muncul dengan melihat kondisi
pasien menjelang ajal. Sebagai seorang Perawat, Anda harus tetap bersikap profesional
menghormati harkat dan martabat pasien dalam memberikan perawatan.
A. Prinsip-Prinsip End Of Life
Menurut NSW Health (2005) antara lain :
1. Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematian
Tujuan utama dari perawatan adalah menpertahankan kehidupan, namun ketika
hidup tidak dapat dipertahankan, tugas perawatan adalah untuk memberikan
kenyamanan dan martabat kepada pasien yangsekarat, dan untuk mendukung
orang lain dalam melakukannya.
2. Hak untuk mengetahui dan memilih
Semua orang yang menerima perawatan kesehatan memiliki hakuntuk diberitahu
tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka. Mereka memiliki hak
untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang hidup. Pemberi
perawatan memilikikewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan menghormati
pilihanpilihan sesuai dengan pedoman.

3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup


Perawatan end of life yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan
yang terbaik untuk individu. Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk
mengakomodasi kenyamanan dan martabat, maka menahan atau menarik
intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan dalam
kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan
Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk
membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam pengambilan keputusan,
dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
5. Transparansi dan akuntabilitas
Dalam rangka menjaga kepercayaan dari penerima perawatan, dan untuk
memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan
keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat
didokumentasikan.
6. Perawatan non diskriminatif
Keputusan pengobatan pada akhir hidup harus non-diskriminatif dan harus
bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai
dan keinginan pasien.
7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan perawatan yang tidak
rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien. Pasien
memiliki hak untuk menerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan
norma-norma profesional dan standar hukum.
8. Perbaikan terus-menerus
Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam memperbaiki
intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.

B. Kriteria The Peaceful End of Life


Teori Peacefull End of Life berfokus pada beberapa kriteria utama dalam perawatan
end of life pasien yaitu :
1. Terbebas dari Nyeri
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama diinginkan pasien
dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life). Nyeri merupakan
ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual
atau potensial kerusakan jaringan
2. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh Kolcaba
sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan damai.
3. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan
Setiap akhir penyakit pasien adalah “ingin dihormati dan dinilai sebagai manusia”.
Di konsep ini memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari prinsip
etik otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini individu
diperlakukan sebagai orang yang menerima hak otonomi, dan mengurangi hak
otonomi orang sebagai awal untuk proteksi.
4. Merasakan damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan puas, (bebas) dari
kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan ketakutan”. Tenang meliputi fisik, psikologis,
dan dimensi spiritual.

5. Kedekatan untuk kepentingan lainnya


Kedekatan adalah “perasaan menghubungkan antara manusia dengan orang yang
menerima pelayanan”. Ini melibatkan kedekatan fisik dan emosi
yangcdiekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang dekat (intim).

C. Isu End of Life


1. Konsep Do Not Resucitation
Do Not Resuscitate (DNR) atau Jangan Lakukan Resusitasi merupakan suatu
tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed concent
yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam rekam medis
pasien, yang berfungsi untuk menginformasikan staf medis lain untuk tidak
melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada pasien. Pesan ini berguna untuk
mencegah tindakan yang tidak perlu dan tidak diinginkan pada akhir kehidupan
pasien dikarenakan kemungkinan tingkat keberhasilan RJP yang rendah. DNR
diindikasikan jika seorang dengan penyakit terminal atau kondisi medis serius tidak
akan menerima cardiopulmonary resuscitation (CPR) ketika jantung atau nafasnya
terhenti. Form DNR ditulis oleh dokter setelah membahas akibat dan manfaat dari
CPR dengan pasien atau pembuat keputusan dalam keluarga pasien.

American Heart Association (AHA) mengganti istilah DNR (Do Not Resuscitate)
dengan istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya adalah suatu
perintah untuk tidak melakukan resusitasi terhadap pasien dengan kondisi tertentu,
atau tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan, sehingga
pasien dapat menghadapi kematian secara alamiah, sedangkan istilah DNR (Do Not
Resuscitate) mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika
kita berusaha.

Keputusan penolakan resusitasi (DNAR) melibatkan tiga prinsip moral yang dapat
dikaji oleh perawat, yaitu autonomy, beneficience, dan nonmalefecience, ketiga
prinsip tersebut merupakan dilema etik yang menuntut perawat berpikir kritis,
karena terdapat dua perbedaan nilai terhadap profesionalisme dalam memberikan
asuhan keperawatan, secara professional perawat ingin memberikan pelayanan
secara optimal, tetapi disatu sisi terdapat pendapat yang mengharuskan
penghentian tindakan.
2. Peran Perawat dan pelaksanaan DNR
Peran perawat dalam DNR adalah membantu dokter dalam memutuskan DNR
sesuai dengan hasil pemeriksaan kondisi pasien.Setelah rencana diagnosa DNR
diambil maka sesegera mungkin keluarga diberikan informasi mengenai kondisi
pasien dan rencana diagnosa DNR. Perawat juga dapat berperan dalam pemberian
informasi bersama- sama dengan dokter.

Perawat sebagai care giver dituntut untuk tetap memberikan perawatan pada
pasien DNR tidak berbeda dengan pasien lain pada umumnya, perawat harus tetap
memberikan pelayanan sesuai dengan advice dan kebutuhan pasien tanpa
mengurangi kualitasnya. End of life care yang perawat lakukan dengan baik
diharapkan dapat memberikan peacefull end of life bagi pasien, seperti yang
digambarkan dalam teori keperawatan peacefull end of life oleh Rulland and Moore
yang meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan, penghormatan,
kedamaian, dan mendapatkan kesempatan untuk dekat dengan seseorang yang
dapat merawatnya.

Perawat sebagai advokat pasien, menerima dan menghargai keputusan


pasien/keluarganya sekalipun keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan
perawat, karena perawat tidak dibenarkan membuat keputusan untuk
pasien/keluarganya dan mereka bebas untuk membuat keputusan. Pemahaman
tentang peran perawat sebagai pendukung dan advokasi pasien dapat bertindak
sebagai penghubung dan juru bicara atas nama pasien/keluarganya kepada tim
medis.

Menurut ANA (2004) Perawat sebaiknya memperhatikan dan berperan aktif


terhadap perkembangan kebijakan DNAR di institusi tempat mereka bekerja, dan
diharapkan dapat berkerja sama dengan dokter selaku penanggung jawab masalah
DNAR. Perawat berperan sebagai pemberi edukasi kepada pasien dan keluarga
tentang keputusan yang mereka ambil dan memberikan informasi yang relevan
terkait perannya sebagai advokat bagi pasien dalam memutuskan cara mereka
untuk menghadapi kematian.

3. Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama diterapkan namun masih menjadi dilema
bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit,
disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian bantuan
hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU dan HCU yaitu semua
bantuan kecuali RJP (DNAR = Do Not Attempt Resuscitation), dilakukan pada
pasien-pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan
otak, tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau dalam tingkat
akhir penyakit yang tidak dapatdisembuhkan. Tidak dilakukan tindakan-tindakan
luar biasa, pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya memperlambat waktu
kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat dilakukan
penghentian atau penundaan bantuan hidup.Sedangkan pasien yang masih sadar
dan tanpa harapan, hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien
merasa nyaman dan bebas nyeri. Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis
pada perawat dikarenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap
label DNR dan kondisi dilema itu sendiri. Timbulnya dilema psikis ini juga dapat
dipengaruhi oleh masih belum adekuatnya sumber informasi tentang DNR yang
dimiliki oleh perawat.Perawat tidak dapat terhindar dari perasaan dilema.

Merawat pasien setiap hari, melihat perkembangan kondisi pasien, membuat rencana
DNR seperti dua sisi mata uang bagi perawat, disatu sisi harus menerima bahwa
pemberian tindakan CPR sudah tidak lagi efektif untuk pasien namun di sisi lain
muncul perasaan iba dan melihat pasien seolah-olah keluarganya. Dua hal tersebut
dapat menjadikan perawat merasa dilema. Perasaan empati juga dapat dirasakan oleh
perawat karena DNR. Perasan empati ini dapat disebabkan pula oleh keputusan DNR
yang ada dan tidak adekuatnya sumber informasi DNR yang dimiliki perawat. Perasaan
empati yang muncul juga dapat menjadi dampak dari tingginya intensitas pertemuan
antara perawat dengan pasien.

D. PERAWATAN END OF LIFE DI INSTALASI GAWAT DARURAT


Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit mempunyai peran yang sangat
penting yaitu menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan
darurat bagi pasien (Ali, 2014). Kondisi pasien yang datang ke IGD bervariasi dengan
kondisi yang mengancam jiwa maupun yang menjelang ajal. Pasien dengan kondisi
mengancam nyawa berfokus pada tindakan resusitasi, sedangkan pada pasien yang
menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan End of Life.

End of Life Care diberikan pada pasien yang menjelang meninggal atau fase kritis
dengan menerapkan Teori Peaceful End of Life. . Teori ini terdiri dari konsep persiapan
yang baik dalam menghadapi kematian. Intervensi dalam konsep teori ini dilakukan
yang bertujuan pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman, merasa dihargai,
dihormati dan berada dalam kedamaian dan ketenangan juga merasa dekat dengan
orang dirawatnya.

Perawat mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan End of Life yang baik pada


pasien, khususnya pada pasien yang tidak mempunyai identitas. Perawat yang
bertugas di IGD merasa bahwa pendampingan end of life pada pasien terlantar bukan
merupakan prioritas, mereka masih memprioritaskan pasien dengan
kondisi emergency.

Berdasarkan hasil penelitian Ose (2017) menyatakan bahwa perawat yang bertugas di
IGD terkait pengalaman merawat pasien terlantar menjelang ajal yaitu (1) Merasakan
hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal (2) Tidak membedakan perlakuan
pada pasien terlantar dengan pasien lain yang menjelang ajal (3) Menghargai harkat
dan martabat pasien (4) Memastikan tidak ada kecurangan pemberian nota dinas (5)
Memilih perawatan suportif sebagai tindakan terbaik (6) Terpaksa meninggalkan
pasien tanpa pendampingan spritual (7) Mengalami konflik dalam menempatkan
pasien terlantar yang menjelang ajal (8) Mengharapkan situasi lingkungan kerja yang
mendukung.

Beberapa kesulitan perawat dalam pendampingan pasien terlantar yang menjelang ajal
yaitu banyaknya pasien yang dalam kondisi emergency yang dilakukan tindakan
terlebih dahulu. Perawatan pasien dalam tahap End of Life, yang membutuhkan
penanganan yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman, ketenangan, kedekatan
suport sosial. Perawatan pasien yang menjelang fase End of Life melibatkan berbagai
displin yang meliputi pekerja sosial, ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau
dokter umum yang berfokus pada perawatan yang holistic meliputi fisik, emosional,
sosial, dan spiritual.

Perawat harus tetap bersikap profesional menghormati harkat dan martabat pasien
dalam memberikan perawatan. Konflik batin, emosi, perasaan hati tersentuh muncul
dengan melihat kondisi pasien terlantar menjelang ajal.

Referensi
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi
Indonesia Pertama, Singapura: Elsevier
Ose, M. I. (2018). Dilema Etik dalam Merawat Pasien Terlantar yang Menjelang Ajal di
IGD. Jurnal Pendidikan Keperawatan Indonesia, 3(2), 145-153.
MODUL IV
PROSES KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan proses
keperawatan pada area keperawatan gawat darurat.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
pengkajian, penegakan diagnose, intervensi dan evaluasi pada area keperawatan gawat
darurat.

POKOK BAHASAN :
Proses Keperawatan Gawat Darurat

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang prinsip-prinsip dalam melakukan pengkajian, penegakan
diagnose, intervensi dan evaluasi pada area keperawatan gawat darurat.

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

PENDAHULUAN
Keperawatan gawat darurat (emergency nursing) adalah asuhan keperawatan yang
diberikan kepada individu dan keluarga yang rnengalami kondisi yang mengancam
kehidupan atau cenderung mengancam kehidupan yang terjadi secara tiba-tiba. Oleh
karena itu diperlukan perawat yang mempunyai kemampuan atau ketrampilan yang baik.
Keberhasilan pertolongan terhadap pasien gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan
dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan diagnose serta
intervensi yang akan diberikan. Setelah mempelajari modul ini, diharapkan anda mampu
menjelaskan tentang proses asuhan keperawatan pada area gawat darurat mulai dari
pengkajian, diagnosa, intervensi/implementasi serta evaluasi.

A. PENGKAJIAN
Perawat membutuhkan proses keperawatan yang dapat memfasilitasi perawat dalam
menghadapi kondisi yang sulit diprediksi, jumlah pasien yang tinggi, dan kompleks
pada situasi gawat darurat (ENA, 2013). Proses keperawatan di situasi gawat darurat
juga menggunakan tahapan: Pengkajian, Diagnosa, Intervensi, Implementasi, dan
Evaluasi.
Prinsip sebelum melakukan asuhan keperawatan pada pasien/korban, yaitu 3C:
C - CHECK - Periksa keamanan 3A (Aman penolong, Aman lingkungan
dan Aman korban/pasien)
- Periksa Respon Korban/pasien dengan pendekatan AVPU
A: Alert/Sadar (klien/korban dapat dikatakan sadar
apablila dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan
orang)
V: Verbal/respon terhadap suara (korban/klien dalam
keadaan disorientasi namun masih diajak bicara)
P: Pain/resepon terhadap nyeri (korban/klien hanya
berespon terhadap nyeri)
U:Unresponsive/tidak sadar

C – CALL Panggil bantuan


C - CARE Berikan Pertolongan

Pengkajian awal pasien gawat darurat adalah bagian terpenting dari semua proses
penilaian korban/pasien dimana kita harus mengenali dan melakukan penanganan
terhadap semua keadaan yang mengancam nyawa korban. Dalam melakukan
pengkajian, seorang perawat harus memiliki pengetahuan, keterampilan, etik dan
kemampuan komunikasi yang baik. Penilaian awal pada area keperawatan gawat
darurat dikenal dengan pengkajian primer dan pengkajian sekunder.

1. Pengkajian primer
Dilakukan untuk menilai dan menangani segera masalah yang mengancam nyawa
yang dimulai dari penilaian terhadap Airway, Breathing, Circulation, Disability, &
Exposure. Pada semua kondisi gawat darurat, prioritas pertama ialah melakukan
pengkajian pada ABCDE.

Tabel 1. Pengkajian Primer

Area Pengkajian

A - Airway Adanya sumbatan jalan napas ditandai dengan adanya


suara napas tambahan seperti snoring, stridor, gurgling

B - Breathing Adanya sesak napas, takipnea, bradipnea, mengi, sianosis,


henti napas, sucking wound, suara napas
melemah/berkurang, iga melayang,

C - Circulation Pucat, nadi lemah, takikardia, bradikardia, CRT > 2 detik,


akral dingin, henti jantung

D - Disablity Gelisah, penurunan kesadaran, pupil

E - Exposure DOTS (Deformity/kelainan bentuk tubuh, Open wound/luka


terbuka, Tenderness/nyeri tekan, Swelling/bengkak)

2. Pengkajian sekunder
Dilakukan untuk menilai secara keseluruhan masalah yang berkaitan dengan keadaan
pasien/korban. Pengkajian sekunder meliputi anamnesa terkait keluhan dan riwayat
kesehatan pasien/korban, pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

Tabel 2. Pengkajian Sekunder


Area Pengkajian

Keluhan Dan - S : Signs/Simptoms, Tanyakan tanda dan gejala yang


Riwayat Kesehatan yang tampak dan yang dirasakan pasien
- A : Alergi, tanyakan adakah alergi pada pasien, seperti
obat-obatan, plester, makanan
- M: Medikasi/obat-obatan, Tanyakan obat-obatan
yang diminum seperti sedang menjalani pengobatan
hipertensi, Diabetes melitus, jantung, dll
- P : Past medical history, Tanyakan Riwayat medis
pasien seperti penyakit yang pernah diderita, obatnya
apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal
- L : Last meal, Tanyakan obat atau makanan yang baru
saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa jam sebelum
kejadian, periode menstruasi termasuk dalam
komponen ini.
- E :  Events, Tanyakan hal-hal yang berkaitan dengan
sebab cedera/kejadian yang menyebabkan adanya
keluhan utama.

Pemeriksaan Fisik - Pemeriksaan head to toe


Pemeriksaan - Laboratorium (Pemeriksaan darah lengkap, dll)
Penunjang - Radiologi (CT Scan, Foto Rontgen, dll)

B. Diagnosis
Diagnosis Keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga
dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, dimana berdasarkan
pendidikan dan pengalamannya, perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah status kesehatan klien (PPNI, 2016). Pada area keperawatan,
setelah data didapatkan tiap-tiap area, langsung ditegakkan diagnosis
keperawatannya. Beberapa diagnosis pada area keperawatan gawat darurat (PPNI,
2016) :

Tabel 3. Beberapa Diagnosa Pada Area Pengkajian Primer


Diagnosis Keperawatan

A - Airway - Ketidakefektifan bersihan jalan napas


- Risiko aspirasi
B - Breathing - Ketidakefektifan pertukaran gas
- Ketidakefektifan polanapas
- Gangguan ventilasi spontan
C - Circulation - Hipovolemia/Hipervolemia
- Gangguan sirkulasi spontan
- Penurunan curah jantung
- Ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer
- Risiko syok
- Risiko perdarahan
D - Disablity - Penurunan kapasitas adaptif
intracranial
- Risiko perfusi serebral tidak efektif
E - Exposure - Nyeri akut
- Gangguan integritas jaringan
- Risiko cedera/risiko jatuh

C. Intervensi
Tujuan utama intervensi pada keperawatan gawat darurat dikenal dengan 3P, yaitu:
P – Preserve life (menyelamatkan dari kondisi mengancam nyawa)
P - Prevent Futher Injury (Mencegah kecacatan)
P – Promote Recovery (Menunjang penyembuhan)

Intervensi yang sering dilakukan pada keperawatan gawat darurat adalah sebagai
berikut (PPNI, 2017):
Tabel 4. Beberapa Intervensi Pada Area Pengkajian Primer

Intervensi Keperawatan

A - Airway - Manajemen jalan napas, manajemen asma,


penghisapan jalan napas, pencegahan aspirasi,
B - Breathing - Pemantauan respirasi, terapi oksigen, dukungan
ventilasi, ventilasi mekanik, manajemen asam-
basa,
C - Circulation - Insersi Intravena, manajemen artimia, manajemen
defibrilasi, manajemen perdarahan, manajemen
hivopolemia, resusitasi cairan, manajemen syok,
transfuse darah, resusitasi jantung paru
D - Disablity - Pemantauan neurologis, manajemen kejang,
manajemen peningkatan TIK
E - Exposure - Manajemen hipotermia/hipertermia, manajemen
nyeri, balut tekan, pembidaian, perawatan luka,

D. Evaluasi keperawatan (re-assesment)


Pada area keperawatan gawat darurat, evaluasi dilakukan secara berkelanjutan
(ongoing assesment) yang waktu evaluasinya berdasarkan pada tingkat
kegawatdaruratan pasien. Dapat dilakukan setiap 1 menit, 5 menit, 15 menit, 30 menit
atau 1 jam pada pasien gawat darurat. Dapat dilakukan setiap 3-4 jam pada pasien
yang tidak gawt darurat.

Evaluasi secara umum meliputi evaluasi jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan disability
(tingkat kesadaran). Observasi jalan nafas, apakah paten atau tidak. Kaji pernafasan,
apakah mengalami gangguan kebutuhan oksigen atau tidak. Kaji sirkulasi, apakah
tekanan darah normal atau tidak, akrar dingin atau tidak, capillary refill time ada
gangguan atau tidak. Periksa tingkat kesadaran apakah pasien sadar atau tidak sadar.

REFERENSI
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi
Indonesia Pertama, Singapura: Elsevier
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds).
Philadelphia: WB Saunders Company
PPNI .(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator
Diagnostik ((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan
Keperawatan ((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
MODUL V
TRIASE

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep
dasar triase.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
definisi, proses pelaksanaan triase dan system triase.

POKOK BAHASAN :
Konsep dasar triase

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang definisi, proses pelaksanaan triase dan system triase..

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI
1. Definisi Triase
Triase Adalah Proses khusus memilah dan memilih pasien berdasarkan beratnya
penyakit menentukan prioritas kegawat daruratan serta prioritas transportasi. Artinya
memilih berdasarkan prioritas dan penyebab ancaman hidup. Triase bertujuan untuk
menentukan prioritas pasien berdasarkan urgensi dari kondisi pasien, dan untuk
memastikan bahwa perawat dan tim kesehatan lainnya yang berada di UGD dapat
melaksanakan perannya secara optimal (Varndell, Hodge, & Fry, 2019).

2. Proses Pelaksanaan Triase


Proses pelaksanaan triase adalah:
a. Pengkajian Cepat
Tabel Penilaian Awal Triase (Rizky, 2019)
KOMPONEN HASIL
Lihat 1) Kepatenan jalan nafas
2) Frekuensi napas
3) Tanda-tanda perdarahan eksternal
4) Tingkat kesadaran
5) Tanda-tanda nyeri
6) Kondisi dan warna kulit
7) Penyakit kronis
8) Deformatis
9) Berat badan
10) Aktivitas
11) Perilaku umum
12) Adanya balutan
13) Pakaian
Dengar 1) Suara jalan napas
2) Pola bicara
3) Interaksi dengan orang lain
Bau 1) Feses, urine, muntah, keton, alcohol
2) Kebersihan diri kurang, rokok, infeksi
kimiawi

b. Wawancara triase
Tujuan dilaksanakannya wawancara triase adalah untuk menentukan keluhan utama,
mengetahui tanda gejala pasien dan melakukan pemeriksaan untuk menetapkan level
kegawatan pada pasien. Pada saat proses berlangsungnya wawancara sangat singkat.
Perawat triase mendapatkan informasi dari pasien atau keluarga pasien bahwa
mereka ingin berobat. Kemudian perawat memperkenalkan diri dan menentukan
keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang. Dari temuan yang didapatkan,
perawat melakukan pengkajian dengan berfokus pada masalah dan mengukur tanda-
tanda vital pada pasien. Selanjutnya perawat menentukan level kegawatan
berdasarkan dari pengkajian yang didapatkan. Kemudian alur selanjutnya adalah
pasien masuk ke ruang pendaftaran dan menunggu diruang tunggu atau ke ruang
perawatan UGD.
c. Dokumentasi triase
Untuk mendukung kriteria level kegawatan, dokumentasi triase harus jelas dan
ringkas. Kebijakan triase yang mencakup persyaratan dokumentasi harus dimiliki
oleh rumah sakit.

3. Sistem Triase
Salah satu sistem triase adalah Australasian Triage Scale (ATS). ATS merupakan skala
penilaian triase gawat darurat lima tingkat yang telah dikembangkan di Australia. ATS
dapat diterapkan pada orang dewasa dan anak-anak dalam pengambilan keputusan
triase oleh perawat (Mirhaghi, Heydari, Mazlom, & Ebrahimi, 2015). Australasian Triage
Scale (ATS) telah digunakan di semua departemen darurat Australia sejak 1994. Setiap
tingkat prioritas memiliki batas waktu yang ditetapkan untuk di lakukan evaluasi oleh
dokter. Contoh lain adalah sistem triase yang diterapkan di Kanada, yaitu Canadian
Triage and Acuity Scale (CTAS), sistem ini membagi pasien menjadi lima kelompok
berdasarkan derajat cedera dan psikologis pasien.

Tabel. Australasian Triage Scale (Sumber : Kurniati dkk., 2018)

Australasian Triage Scale (ATS) membagi pasien dalam lima tingkat yaitu:
a. Merah
Kode warna merah diberikan kepada pasien yang jika tidak diberikan penanganan
dengan cepat maka pasien pasti akan meninggal, dengan syarat pasien tersebut
masih memiliki kemungkinan untuk dapat hidup. Contoh : pasien dengan gangguan
pernapasan, trauma kepala dengan ukuran pupil mata yang tidak sama, dan
perdarahan hebat.
b. Kuning Kode warna kuning diberikan kepada pasien yang memerlukan perawatan
segera, namun masih dapat ditunda karena ia masih dalam kondisi stabil. Pasien
dengan kode kuning masih memerlukan perawatan di rumah sakit dan pada kondisi
normal akan segera ditangani. Contoh : pasien dengan patah tulang di beberapa
tempat, patah tulang paha atau panggul, luka bakar luas, dan trauma kepala.
c. Hijau
Kode warna hijau diberikan kepada mereka yang memerlukan perawatan namun
masih dapat ditunda. Biasanya pasien cedera yang masih sadar dan bisa berjalan
masuk dalam kategori ini. Ketika pasien lain yang dalam keadaan gawat sudah
selesai ditangani, maka pasien dengan kode warna hijau akan ditangani. Contoh :
pasien dengan patah tulang ringan, luka bakar minimal, atau luka ringan.
d. Putih
Kode warna putih diberikan kepada pasien hanya dengan cedera minimal di mana
tidak diperlukan penanganan dokter.
e. Hitam
Kode warna hitam diberikan kepada pasien yang setelah diperiksa tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Misalnya, mereka yang masih hidup namun
mengalami cedera yang amat parah sehingga meskipun segera ditangani, pasien
tetap akan meninggal.

Contoh system triase lainnya adalah START (Simple Triage & RapidTreatment) yang
membagi pasien dalam 4 tingkatan. Dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar. Sistem Triase START (sumber: dokterpost.com)

Indonesia sendiri belum membuat sistem triase sendiri. Sistem triase di Indonesia
merupakan adaptasi dari sistem triase yang sudah ada di negara lain. Secara garis besar,
sistem triase di Indonesia dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
a. Kategori merah
Pasien dengan kategori merah adalah pasien prioritas pertama yang butuh pertolongan
segera. Pasien dalam kategori ini biasanya akan ditempatkan di area resusitasi karena
kondisinya gawat dan darurat sehinggamemerlukan pertolongan medis dengan segera.
Contoh pasien dalam kategori merah adalah pasien dengan gagal napas.
b. Kategori kuning
Pasien dalam kategori kuning merupakan prioritas kedua yang juga membutuhkan
pertolongan segera. Pasien dalam kategori kuning berarti kondisi pasien berada dalam
kondisi gawat namun tidak darurat. Sehingga tidak perlu ditempatkan di area resusitasi.
Salah satu contoh pasien ini adalah pasien asma dalam serangan sedang.
c. Kategori hijau
Pasien dalam kategori hijau merupakan prioritas ketiga yang tidak memerlukan
penanganan segera. Pasien dalam kategori ini biasanya tidak dalam kondisi gawat
maupun darurat sehingga masih bisa diobservasi atau dilakukan penanganan di
poliklinik. Contoh pasien ini adalah pasien dengan nyeri lambung karena dyspepsia.
d. Kategori hitam
Kategori hitam merupakan pasien yang sudah tidak dapat ditolong lagi atau sudah
meninggal dunia.

SOAL
1. Dari beberapa kasus yang ada di bawah ini, manakah pasien yang harus ditangani
segera/emergent terlebih dahulu?
a. Pasien datang dengan luka bakar pada tangan sebelah kanan
b. Pasien datang dengan diare, sudah 4 kali BAB di rumah
c. Pasien datang dengan close farktur radius ulnaris
d. Pasien anak datang dengan temprature tinggi 40,6 0 C
e. Pasien anak datang dengan muntah, sudah 5 kali muntah di rumah
2. Dari beberapa kasus dibawah ini, manakah pasien yang masuk kategori
membutuhkan penanganan, tetapi tidak mengancam hidup (urgent)? 
a. Pasien datang dengan luka tusuk pada daerah abdomen
b. Pasien dengan nyeri dada dan kesulitan bernafas
c. Pasien dengan perdarahan postpartum
d. Pasien datang dengan keadaan lemah, muntah sudah 3 kali di rumah disertai
mual sehabis makan yang dijual di luaran
e. Pasien anak dengan temparature tinggi 39,50 C disertai kejang
3. Seorang laki-laki 34 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri di bagian dada kiri
akibat tertusuk benda tajam di tempat kerjanya. Setelah dilakukan pengkajian
didapatkan data: skala nyeri 8, perdarahan 650 cc, CRT>3 detik, akral dingin, RR
26x/mnt, HR 84x/mnt, TD 100/60, Suhu 36,4?C, PH: 7,21, PO2: 65 mmHg. Dalam
situasi ini, pasien dikategorikan termasuk label triage...
a. Kategori hijau
b. Kategori hitam
c. Kategori merah
d. Kategori kuning
e. Kategori putih
4. Pada bencana alam gunung meletus anda menemukan pasien yang tidak bernafas.
Namun setelah melakukan tindakan dengan membuka airway, pasien bisa kembali
bernafas, tetapi tidak bernapas spontan. Dalam situasi ini, pasien dikategorikan
termasuk label triage...
a. Kategori hijau
b. Kategori hitam
c. Kategori merah
d. Kategori kuning
e. Kategori putih
5. Pada saat evakuasi korban bencana longsor anda menemukan pasien bernapas
spontan, dengan RR<30 x /menit, CRT< 2 detik, nadi <100 x/menit dan setelah
anda memberi perintah mengangkat kedua tangan pasien dapat mengangkat
kedua tangan tetapi dengan gerakan lambat. Pasien ini termasuk kategori label
triage...
a. Kategori hijau
b. Kategori kuning
c. Kategori merah
d. Kategori kuning
e. Kategori putih

REFERENSI
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi
Indonesia Pertama, Singapura: Elsevier

Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds).


Philadelphia: WB Saunders Company
MODUL VI
MANAJEMEN JALAN NAPAS & PERNAPASAN

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
manajemen jalan napas dan pernapasan.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
anatomi system pernapasan, Manajemen jalan napas manual dan menggunakan alat bantu
& manajemen pernapasan

POKOK BAHASAN :
Manajemen Jalan napas & Pernapasan

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang anatomi system pernapasan, Manajemen jalan napas manual
dan menggunakan alat bantu & Manajemen pernapasan.

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

A. Anatomi dan Fisiologi


Saluran/Jalan napas dibagi menjadi saluran bagian atas dan bahwa. Saluran napas atas
dimulai dari mulut, hidung dan berakhir di laring (Gambar 1). Diantara mulut dan laring
terdapat faring dan epiglotis. Faring dibagi menjadi tiga bagian: nasofaring, orofaring,
dan laringofaring. Nasofaring, lebih dikenal sebagai rongga hidung, yang berfungsi untuk
menghangatkan dan melembabkan udara saat memasuki tubuh. Rambut di dalamnya
berguna untuk menangkap dan mencegah partikel-partikel kecil masuk ke trakea dan
saluran napas bagian bawah. Orofaring, lebih dikenal sebagai rongga mulut, juga
membantu menghangatkan udara yang dihirup. Laringofaring terletak di bawah dan di
belakang laring dan meluas ke kerongkongan.
Gambar 1. Saluran Napas Bagian Atas

Epiglotis berbentuk seperti daun yang mengarahkan udara ke trakea dan paru-paru dan
mencegah makanan atau cairan memasuki saluran napas bagian bawah. Di bawah
epiglotis ada laring, atau pita suara, tempat suara berasal saat kita berbicara.
Saluran napas bawah meliputi trakea, bronkus, dan alveolus (Gambar 2). Trakea
berbentuk seperti sebuah tabung diameter sekitar 20-25 mm dan panjang sekitar 10-16
cm. Trakea berbentuk tabung memanjang yang tersusun atas 20 tulang rawan
berbentuk cincin yang kuat,tapi fleksibel. Trakea terletak dari laring dan terbifurkasi
menjadi bronkus utama. Bronkus ini berlanjut menjadi bronkus yang lebih kecil,
akhirnya bercabang menjadi banyak bronkiolus yang lebih kecil dan berakhir di alveoli,
tempat pertukaran gas di paru-paru.

Gambar 1. Saluran Napas Bagian Bawah

Respirasi, atau pernapasan, adalah proses biologis di mana udara masuk ke dalam tubuh
dan kemudian dikeluarkan kembali ke lingkungan. Oksigen (O 2) di udara dimasukkan ke
paru-paru, dan karbon dioksida (CO 2), produk hasil metabolisme, dikeluarkan dari paru-
paru. Saluran yang dilalui oleh O2 dan CO2 untuk masuk dan keluar dari paru-paru
disebut jalan napas. Pernapasan adalah proses mekanis, baik aktif maupun pasif, yang
terdiri dari dua fase: inspirasi dan ekspirasi. Kedua fase ini dikendalikan oleh sistem
saraf dan terjadi secara otomatis.
Inspirasi adalah proses aktif di mana otot-otot pernapasan berkontraksi, menciptakan
tekanan negatif di dalam rongga dada sehingga menyebabkan udara mengalir ke paru-
paru. Ekspirasi adalah fase pasif dari respirasi. Selama Fase ini, otot-otot pernapasan
mengendur, menurunkan tekanan di dalam dada, sehingga mengeluarkan udara dan
produk limbah gas yang tidak terpakai dari paru-paru dan keluar dari tubuh.
Jika pernapasan terganggu dan oksigen tidak bisa masuk ke darah melalui paru-paru,
segera lakukan pengkajian untuk mengetahaui penyebab gangguan tersebut. Jika tidak
ditangani dengan baik, akan berakhir pada gagal napas.
B. Manajemen jalan napas
Manajemen jalan napas adalah usaha untuk memastikan jalan napas terbuka dan bersih.
Ketika jalan napas tertutup, respirasi tidak dapat terjadi. Jalan napas harus segera
dibuka untuk mencegah perburukan atau kematian. Banyak metode dan alat yang
digunakan untuk mengelola jalan napas yang tersumbat sebagian atau seluruhnya.
Dengan mempelajari prinsip-prinsip manajemen jalan napas akan sangat meningkatkan
peluang hidup pasien.
1. Membuka Jalan Udara dan Mulut
Pernapasan normal membutuhkan jalan napas yang utuh, terbuka dan bersih. Selain
itu, struktur yang membentuk saluran napas bagian atas dalam kondisi
memungkinkan aliran udara bebas masuk dan keluar dari paru-paru. Pada pasien
dengan penurunan kesadaran, otot-otot saluran napas dapat mengendur, dan pada
posisi tubuh tertentu hal ini dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan
menyumbat jalan napas (Gambar 3). Ketika kepala pasien tertekuk secara tidak
wajar, hiperekstensi, atau miring secara akut ke satu sisi, jalan napas dapat
terkompresi atau tersumbat. Langkah pertama dalam manajemen jalan napas yang
efektif adalah memastikan bahwa jalan napas terbuka. Dua metode utama yang
digunakan untuk meluruskan dan membuka jalan napas pasien adalah manuver
head tilt-chin lift dan jaw-thrust.
Gambar 3. Orang yang tidak sadarkan diri mungkin
mengalami kesulitan bernapas

a. Head Tilt-Chin Lift


Manuver head tilt-chin lift adalah suatu metode untuk membuka jalan napas pasien
dengan menekuk kepala pasien ke belakang sambil mengangkat dagu pasien secara
bersamaan. Metode head tilt-chin lift adalah teknik utama yang digunakan untuk
membuka jalan napas pasien. Karena prosedur ini memanipulasi leher, prosedur ini
hanya digunakan pada pasien yang tidak memiliki kemungkinan trauma kepala,
leher, atau tulang belakang.
Untuk melakukan prosedur head tilt-chin lift, lakukan langkah-langkah berikut
(Gambar 4):
1) Berlutut di samping kepala pasien.
2) Letakkan satu tangan di dahi pasien.
3) Letakkan dua atau tiga jari tangan Anda yang lain di bawah dagu pasien.
4) Tarik perlahan dagu ke atas sambil menekan dahi ke bawah secara bersamaan
(tidak menekan jaringan lunak di bawah dagu).
5) Pertahankan posisi untuk memastikan jalan napas tetap terbuka

Anatomi saluran napas pada Posisi head tilt-chin lift;


dalam posisi normal Perhatikan jalan napas terbuka

Gambar 3. Teknik head tilt-chin lift


b. Jaw-thrust
Jika pasien mengalami trauma kepala, leher, atau tulang belakang atau
kekhawatiran tentang adanya potensi cedera servikal, buka jalan napas
menggunakan manuver jaw-thrust (Gambar 4). Metode membuka jalan napas ini
memungkinkan gerakan minimal dari tulang servikal. Saat melakukan jaw-thrust,
sangat penting untuk tidak melakukan gerakan dan tetap dalam posisi anatomis
netral, karena setiap gerakan leher dapat mengakibatkan cedera servikal.
Untuk melakukan manuver jaw-thrust, lakukan langkah-langkah berikut:
1) Berlututlah di atas kepala pasien, dengan lutut mengangkangi kepala. (Anda
dapat menggunakan lutut untuk menstabilkan kepala dan tulang belakang leher
dengan lembut.)
2) Dengan menggunakan jari-jari kedua tangan, pegang sudut mandibula di setiap
sisi rahang.
3) Letakkan ibu jari Anda pada rahang atas.
4) Gunakan ibu jari sebagai tuas untuk mengangkat mandibula ke atas.

Gambar 4. Teknik Jaw-thrust


c. Membuka Mulut Menggunakan Metode Crossed-Finger
Membuka mulut pasien—untuk menyedot orofaring, melakukan sapuan jari, atau
memasukkan jalan napas oral—metode yang paling umum digunakan adalah teknik
cross-finger (Gambar 5). Sebelum melakukan cross finger, jangan lupa untuk
menggunakan APD.

Untuk membuka mulut pasien, lakukan langkah-langkah berikut:


1) Gunakan tangan dominan Anda, silangkan jari telunjuk di bawah ibu jari.
2) Letakkan ibu jari dan jari telunjuk Anda pada gigi atas dan bawah pasien. (Hati-
hati untuk tidak memasukkan salah satu jari di antara gigi pasien.)
3) Rentangkan ibu jari dan jari Anda untuk membuka mulut pasien.
Gambar 4. Teknik Cross-Finger
2. Membersihkan Jalan napas
Pernapasan efektif sulit dilakukan bila ada benda asing yang menghalangi jalan
napas. Teknik head tilt-chin lift dan Jaw-thrust dapat menjaga lidah agar tidak
menghalangi jalan napas, tetapi tidak efektif dalam membersihkan sumbatan lain
seperti darah, lendir, cairan, gigi patah, benda asing, kotoran, dan makanan.
Sumbatan harus dibersihkan dengan cepat untuk memastikan aliran oksigen yang
memadai dan mencegah aspirasi cairan atau padatan ke dalam paru-paru. Untuk
menghilangkan sumbatan dari saluran napas dapat dilakukan dengan tiga cara:
menggunakan gravitasi, finger sweep/sapuan jari, atau suction.
a. Gravitasi
Gravitasi adalah metode lama untuk menghilangkan cairan dan benda padat
dengan cepat dari saluran napas, dan tidak memerlukan peralatan khusus.
Teknik ini efektif terlepas dari apakah pasien responsif atau tidak responsif. Jika
pasien responsif dan mampu mengikuti perintah sederhana, instruksikan orang
tersebut untuk mencondongkan tubuh ke depan dengan kepala di bawah (dalam
posisi tergantung) untuk memuntahkan/mengeluarkan darah atau benda asing
lainnya dari mulut atau hidung. Jika pasien tidak responsif, gulingkan orang
tersebut ke posisi recovery (pemulihan). Pasien yang dicurigai mengalami cedera
tulang belakang, dapat digulingkan ke samping dengan teknik log roll.

b. Finger sweep/Sapuan Jari


Muntah, makanan yang tidak dikunyah, atau benda lain dapat terperangkap di
jalan napas; jika tidak segera dibersihkan, jalan napas bisa menjadi terhambat.
Jika gravitasi tidak efektif dalam menghilangkan benda-benda ini, mungkin perlu
untuk membersihkan jalan napas menggunakan teknik sapuan jari (Gambar 5).
Teknik ini hanya diindikasikan untuk pasien yang tidak responsif, karena
memasukkan jari ke dalam jalan napas orang yang responsif dapat merangsang
refleks muntah dan menyebabkan lebih banyak muntah, atau dapat
menyebabkan orang tersebut menggigit, yang dapat mengakibatkan cedera pada
jari penyelamat. Jangan melakukan “blind finger sweep” dengan memasukkan jari
lebih dalam dari yang bisa terlihat, karena hal ini dapat membahayakan jalan
napas pasien karena dapat mendorong sumbatan masuk lebih dalam.
Untuk melakukan finger sweep pada pasien yang tidak responsif, lakukan
langkah-langkah berikut:
1) Gunakan APD (Sarung tangan) lalu buka mulut pasien menggunakan teknik
cross finger.
2) Masukkan jari telunjuk ke dalam mulut pasien sehingga ujung jari Anda
berada di belakang atau di bawah benda asing (Berhati-hatilah untuk tidak
mendorong benda asing lebih jauh ke dalam jalan napas.)
3) Tekuk jari Anda ke dalam kait dan Tarik benda/penyumbat ke luar rongga
mulut (lakukan teknik ini berulang sampai jalan napas benar-benar bersih).

Gambar 5. Teknik Finger Sweep


c. Suction
Metode lain yang sering digunakan untuk membersihkan jalan napas adalah
suction. Prinsip penggunaan suction adalah menciptakan tekanan udara negatif
untuk mengeluarkan cairan. Prosedur ini sangat efektif dan diindikasikan pada
gangguan jalan napas oleh cairan. Suction sangat penting pada pasien dengan
muntah yang terus menerus atau perdarahan aktif di rongga mulut.

Ada dua tipe suction: suction yang dioperasikan secara manual dan suction
portabel. Suction manual digunakan terutama di lapangan, sedangkan suction
portable umumnya digunakan di ambulans atau rumah sakit. Kenali semua jenis
suction karena melakukan suction adalah keterampilan yang menyelamatkan
jiwa yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat kapan pun diperlukan.
Suction manual dapat memberikan hisapan yang memadai untuk waktu yang
singkat (Gambar 6). Penolong bertindak sebagai sumber tenaga hisapan.
Perangkat ini biasanya memiliki wadah kecil untuk mengumpulkan cairan dan
kotoran sehingga perangkat ini tidak memadai untuk operasi penyelamatan
yang berkepanjangan.

Gambar 6. Suction Manual

Suction portable memberikan kemampuan penghisapan yang sangat baik


(Gambar 7). Suction portable ditenagai oleh motor listrik menggunakan arus
listrik AC, mesin kendaraan (ambulans) serta menggunakan baterai isi ulang.
Perangkat ini sangat andal karena memberikan daya hisap yang cukup besar
untuk waktu yang lama. Terlepas dari apakah itu dioperasikan dengan listrik atau
tidak, semua suction harus mampu menghasilkan vakum/daya hisap yang kuat

Gambar 7. Suction portable/listrik


Penyedotan dilakukan dengan menggunakan selang kaku atau fleksibel. Selang
hisap kaku, terbuat dari plastik bening dan melengkung, memiliki port (lubang)
di pegangan yang memungkinkan untuk mengontrol aliran hisap. Ketika lubang
ditutup dengan ibu jari, akan timbul daya hisap. Sebaliknya, daya hisap tidak ada
ketika lubang terbuka.
Prinsip Hisap
Jika memungkinkan, sebelum melakukan suction lakukan pemberian oksigen
dengan memberikan oksigen aliran tinggi melalui masker. Setelah suction siap,
buka mulut pasien dan kemudian lihat untuk menemukan cairan atau benda yang
perlu Anda keluarkan. Masukkan ujung kateter suction ke dalam faring sebelum
melakukan suction (Gambar 8). Berhati-hatilah untuk tidak memasukkan kateter
lebih jauh dari yang dapat Anda lihat karena hal ini dapat mengakibatkan trauma
pada jaringan lunak mulut, memicu refleks muntah pada pasien yang responsif
atau semi-responsif, atau mendorong benda asing masuk lebih jauh ke jalan
napas. Untuk memulai suction, hidupkan mesin atau tutup lubang suction pada
kateter. Hisap sedalam yang Anda bisa lihat untuk mencegah mendorong benda
asing lebih jauh ke dalam jalan napas. Gerakkan selang suction n dari sisi ke sisi
atau melingkar. Ingatlah untuk selalu melindungi c-spine jika Anda mencurigai
adanya trauma cervival.

Gambar 8. Melakukan suction


Setiap kali melakukan pengisapan tidak boleh lebih dari 10-15 detik, karena
prosedur ini tidak hanya menghilangkan cairan dan kotoran; suction juga
menghilangkan oksigen, yang dapat menyebabkan kondisi pasien memburuk.
Pada anak-anak, suction hanya 5-10 detik. Ulangi prosedur sesuai kebutuhan
sampai jalan napas bersih. Ketika terjadi perdarahan oral aktif atau muntah
berulang, mungkin perlu menggunakan teknik gravitasi dan suction secara
bersamaan untuk membersihkan jalan napas.

Setelah selesai melakukan suction, alat suction harus dibersihkan dan


didesinfeksi secara menyeluruh sebelum digunakan kembali. Selain itu, semua
peralatan sekali pakai, seperti kateter pengisap, tabung pengisap, dan kantong
pengumpul, harus diganti. Jika suction dioperasikan dengan baterai, ganti atau isi
ulang baterai seperlunya untuk memastikan kinerja yang baik saat perangkat
digunakan lagi. Selalu masukkan peralatan medis sekali pakai ke dalam wadah
biohazard untuk membuangnya dengan benar.
3. Menjaga Airway Terbuka dan Bersih
a. Posisi recovery
Setelah jalan napas dibuka dan dibersihkan, pasien harus tetap dalam kondisi ini
untuk memastikan pernapasan yang memadai. Metode termudah untuk hal
tersebut, sampai peralatan jalan napas lain atau tenaga kesehatan/penyelamat
datang, adalah dengan menempatkan pasien pada posisi recovery
(HAINES /High Arm In Endangered Spine) (Gambar 9). Posisi recovery atau
posisi berbaring miring ke kiri, diindikasikan untuk pasien yang responsive
ataupun tidak responsive, yang tidak dapat mengelola jalan napas sendiri
terutama pasien yang tidak mengalami cedera tulang belakang. Saat kita hanya
sendiri melakukan pertolongan pada pasien/korban, posisi ini dapat kita
gunakan untuk memungkinkan kita melakukan intervensi lainnya. Untuk
menempatkan pasien ke posisi recovery, lakukan prosedur berikut:
1) Berlutut di sisi kiri pasien, sebaiknya di dekat pinggul atau dada pasien.
2) Rentangkan lengan kiri pasien sehingga memanjang di atas kepalanya.
3) Gulingkan pasien dengan lembut ke arah Anda ke sisi kirinya sehingga
kepalanya bersandar pada lengannya yang diluruskan.
4) Kepala harus dimiringkan sedikit ke bawah, dengan mulut terbuka, untuk
memungkinkan cairan mengalir keluar dari mulut.
5) Lenturkan lutut kanan pasien pada sudut yang tepat untuk menahan pasien
pada posisi ini.
6) Posisikan lengan kanan pasien sehingga berada di depan pasien dan tidak
menghalangi akses penolong ke jalan napas pasien.
7) Selalu pastikan jalan napas tetap terbuka

Gambar 9. Posisi Recovery


4. Pengelolaan Airway Lanjutan (airway definitive)
Pengelolaan jalan napas kadang memerlukan alat bantu jalan napas untuk menjaga
jalan napas tetap terbuka. Kita memiliki dua pilihan—nasofaring airway atau
orofaringeal airway (Tabel 1). Penggunaan alat bantu ini tergantung dari tingkat
respons pasien.
Tabel 1. Perbedaan OPA dan NPA

a. Nasoparingael Airway
Nasoparingael Airway (NPA) adalah tabung fleksibel yang dimasukkan ke dalam
nasofaring (Gambar 10). NPA membuka jalan napas dari nares eksternal ke
nasofaring posterior. Ketika ukurannya tepat, NPA ditoleransi dengan baik,
bahkan pada pasien yang responsif, karena tidak merangsang refleks muntah.
NPA tersedia dalam berbagai ukuran dan dapat digunakan pada semua pasien,
dari anak kecil hingga dewasa.

Gambar 10. Nasoparingeal Airway


Indikasi pemasangan NPA yaitu setiap pasien yang membutuhkan jalan napas
mekanis untuk menjaga jalan napas tetap terbuka. Indikasi termasuk pasien
yang:
1) Tidak responsif atau semi-responsif,
2) Refleks muntah masih ada,
3) Menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas parsial (seperti saat
mendengkur),
4) Mengalami cedera mulut dan gangguan jalan napas, atau
5) Pernah atau sedang mengalami kejang dan gigi terkatup rapat.
Pemasangan NPA dikontraindikasikan pada pasien dengan cedera kepala (fraktur
basii cranial) karena dapat memperparah cedera dan/atau kerusakan pada
hidung. Pemasangan NPA yang benar terdiri dari empat langkah berikut, yang
dapat diingat dengan menggunakan akronim "SLIC".
S— Size. NPA memiliki berbagai ukuran. Agar efektif, NPA harus berukuran yang
tepat. NPA yang terlalu kecil dapat tersumbat oleh lidah, sedangkan NPA yang
terlalu besar dapat masuk ke kerongkongan atau merangsang refleks muntah
pasien. Untuk NPA dengan ukuran yang benar, cara mengukurnya adalah
letakkan Pangkal NPA pada lubang hidung, lalu miringkan kearah telinga, ujung
NPA harus menyentuh daun telinga bagian bawah di sisi wajah yang sama, dan
diameter NPA harus sedikit lebih kecil dari lubang hidung di mana NPA akan
dipasang.
L—Lubricate (pelumas). Oleskan sedikit pelumas berbahan dasar air di
sepanjang tabung NPA. Berhati-hatilah untuk tidak mengoleskan terlalu banyak
pelumas, yang dapat memperburuk masalah saluran napas yang ada. Tujuannya
adalah untuk memberikan permukaan yang licin sehingga tabung dapat dipasang
dengan lembut diposisinya
I—Insert. Prosedur memasukkan NPA:
1) Pegang tabung di antara ibu jari dan dua jari pertama Anda.
2) Tempatkan sisi miring tabung ke arah septum hidung.
3) Masukkan selang secara perlahan ke dalam lubang hidung sambil memutar
selang di antara jari-jari Anda sampai ujungnya rata dengan lubang hidung.
Jangan memaksa selang ke posisinya karena dapat menyebabkan mimisan,
penyumbatan, atau cedera lainnya. Jika Anda menemui halangan, tarik tabung
sedikit ke belakang dan masukkan kembali sambil memutar tabung di antara
jari-jari Anda. JIka posisi benar, lengkungan tabung akan mengikuti kurva
alami dari saluran hidung dan terletak di bagian distal nasofaring tepat di atas
laring.
C—check. Untuk memastikan posisi NPA sudah benar, kita harus dapat
mendengar atau merasakan gerakan udara melalui tabung. Jika tidak ada aliran
udara yang dirasakan, periksa untuk melihat apakah pasien masih bernafas. Jika
pasien tidak bernapas, bantu ventilasi pasien. Jika pasien bernafas, NPA mungkin
tersumbat, mungkin perlu diposisikan ulang, atau mungkin perlu diubah
ukurannya. Sangat jarang terjadi benda asing didalam hidung menyumbat NPA.
Jika tingkat respons pasien sudah membaik, NPA mungkin perlu dilepaskan.
Untuk melakukannya, cukup pegang NPA pada pangkalnya dan Tarik ke bawah
dengan mengikuti lengkungan NPA.
b. Orofaringeal Airway
Oropharyngeal airway (OPA) adalah sebuah alat yang dimasukkan ke dalam
orofaring untuk membantu menjaga jalan napas tetap terbuka (Gambar 11). OPA
dapat mencegah penyumbatan saluran napas akibat lidah menutupi epiglottis.
Saat OPA terpasang, lidah berada di dalam lengkungan OPA. OPA diindikasikan
hanya untuk pasien yang tidak memiliki refleks muntah dan tidak mampu
memgelola jalan napas. OPA sering digunakan saat membantu ventilasi dengan
bag valve mask (BVM).

Gambar 11. Orofaringeal Airway


Jika Anda mencoba untuk memasangkan OPA ke pasien akan merangsang refleks
muntah, yang dapat mengakibatkan muntah dan kemungkinan aspirasi isi
lambung. Ketika langit-langit disentuh oleh OPA dan orang tersebut muntah,
lepaskan OPA dan jangan masukkan kembali. Prosedur pemasangan OPA yang
benar terdiri dari tiga langkah berikut, yang dapat diingat menggunakan
akronim"SIC".

S-SIZE. OPA tersedia dalam beberapa ukuran mulai dari 0 untuk bayi hingga 6
untuk orang dewasa besar. Seperti halnya NPA, OPA harus berukuran tepat agar
efektif. OPA yang terlalu kecil akan memaksa lidah ke bawah dan menghalangi
orofaring, sedangkan OPA yang terlalu besar dapat masuk ke kerongkongan atau
merusak epiglotis atau pita suara. Untuk mengukur OPA dengan benar, pegang
pangkal OPA pada sisi wajah pasien yang berdekatan dengan sudut mulut pasien.
Ujung OPA harus menyentuh sudut rahang pada sisi wajah yang sama; cara
lainnya adalah dengan mengukur dari sudut mulut ke daun telinga di sisi wajah
yang sama

Gambar 12. Cara mengukur OPA


I-INSERT. Untuk memasukkan OPA, buka mulut pasien menggunakan teknik
cross finger. Masukkan OPA, dengan ujung mengarah ke langit-langit mulut.
Setelah setengah ukuran OPA masuk ke dalam mulut, putar OPA 180 derajat
sehingga ujungnya menghadap ke lidah pasien. Lidah sekarang harus terletak di
sepanjang lengkungan OPA, dan pangkal OPA (flensa eksternal) harus menempel
pada bibir pasien. Metode alternatif untuk memasukkan OPA dengan
tongespatel/bilah lidah. Dengan menggunakan tongespatel, tekan lidah ke arah
dasar mulut. Kemudian, masukkan OPA di sepanjang sisi mulut, dengan ujung
mengarah ke pipi bagian dalam, sampai OPA setengah masuk ke dalam mulut.
Putar OPA 90 derajat hingga flensa menempel pada bibir pasien.
C—CHECK. Untuk memastikan posisi OPA sudah benar, kita harus
mendengarkan napas, mengamati pergerakan dada, dan merasakan udara masuk
dan keluar dari OPA. Jika OPA ditempatkan dengan benar, udara harus dapat
bergerak bebas masuk dan keluar dari jalan napas (baik secara spontan, atau saat
menggunakan alat bantu ventilasi seperti pocket mask atau bag-valve mask). Jika
udara tidak bergerak bebas, lidah mungkin terdorong lebih jauh ke belakang ke
faring posterior dan mungkin menghalangi jalan napas. Seperti sebelumnya,
pindahkan kembali OPA, pastikan ukurannya benar, lalu masukkan kembali.
OPA harus dibiarkan di tempatnya sampai salah satu dari dua kondisi muncul:
baik pasien mulai muntah, atau alat bantu jalan napas yang lebih lanjut
dimasukkan. Namun, jika Anda perlu melepas OPA, pegang OPA pada flensa dan
tarik ke luar dan sedikit ke bawah, mengikuti kontur alami lidah. Pengangkatan
harus dilakukan dalam satu gerakan cepat untuk mengurangi timbulnya muntah
dan komplikasi lainnya. Siapkan alat penghisap jika pasien muntah.
c. Endotrakeal tube (ETT)
Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat efektif . Jalan
nafas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih terjamin.
Kemungkinan aspirasi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara pernafasan juga
menjadi mudah dikendalikan dan penggunaan Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup ekspirasi.
Langkah pemasangan adalah sebagai berikut:
a) Persiapan alat
- Laryngoscope lengkap dengan handle dan blade-nya
- Pipa endotrakeal ( orotracheal ) dengan ukuran : perempuan no. 7; 7,5 ; 8 .
Laki-laki : 8 ; 8,5. Keadaan emergency : 7,5
- Forceps (cunam) magill ( untuk mengambil benda asing di mulut)
- Benzokain atau tetrakain anestesi lokal semprot
- Spuit 10 cc atau 20 cc
- Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen
- Alat penghisap (suction)
- Plester, gunting, jelli
- Stilet
b) Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang
akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari
penderita atau keluarga (informed consent).
c) Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih
pipa endotrakeal (ETT) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa
ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan
pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan
udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa
ET sampai daerah cuff.
d) Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di leher dan
pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical tidak ada)
e) Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan
semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam
keadaan anestesi dalam.
f) Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2
100 %.
g) Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop.
h) Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan,
sisihkan lidah ke kiri.
i) Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai
dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan
gigi pasien.
j) Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 samapi 40
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik
tumpu.
k) Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan/posisi laringoskop dengan
menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan.
l) Masukkan ETT dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal
dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau
kedalaman pipa ET ±19 -23 cm
m) Angkat laringoskop dan stilet pipa ETT dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml.
Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
n) Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan
auskultasi, pertama pada lambung, kemudian pada paru kanan dan kiri
sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila terdengar gurgling pada
lambung dan dada tidak mengembang, berarti ETT masuk ke esofagus dan
pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang
selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya
mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan
memerlukan tarikan beberapa cm dari ETT.
o) Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc. m. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak
terdorong atau tercabut
p) Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa EET jika mulai
sadar.
q) Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 sampai 12 liter per
menit).

C. Terapi Oksigen
Oksigen, juga dikenal dengan simbol kimianya O2, adalah gas yang tidak berbau, tidak
berwarna, dan tidak berasa yang penting untuk kelangsungan hidup manusia. Udara
terdiri dari 78 persen nitrogen, 21 persen oksigen, dan 1 persen gas lainnya. Tubuh
manusia membutuhkan pasokan oksigen yang konstan agar dapat berfungsi dengan
baik. Jika tubuh tidak menerima oksigen yang cukup, kerusakan sel atau jaringan,
kegagalan organ, syok, atau kematian dapat terjadi. Memastikan bahwa darah pasien
cukup teroksigenasi mungkin mengharuskan Anda untuk memberikan oksigen
tambahan. Oksegen tambahan dapat diberikan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Nasal Canul/Kanula hidung
Nasal Canul (NC) adalah tabung melingkar fleksibel yang dipasang pada selang
panjang yang bening (Gambar 13). Ini memiliki dua cabang pendek yang dapat
ditekuk untuk secara pasif mengirimkan sejumlah kecil oksigen, atau oksigen "aliran
rendah", ke dalam lubang hidung pasien. Ketika dua cabang pendek dimasukkan
(cekung ke bawah) ke dalam lubang hidung pasien, nasofaring diisi dengan udara
yang kaya oksigen yang kemudian dihirup ke paru-paru. Kisaran laju aliran kanula
hidung adalah 1-6 LPM, dengan 2-4 LPM sebagai kecepatan awal pemberian yang
khas (Tabel 9-4). Ini memberikan konsentrasi oksigen 24-44 persen. Persentase
oksigen yang sebenarnya bervariasi menurut apakah pasien bernafas secara
eksklusif melalui hidung atau juga melalui mulut. Kanula hidung cukup nyaman dan
biasanya dapat ditoleransi dengan baik.

Gambar 13. Nasal Kanul


Pasien sering lebih memilih nasal canul daripada masker karena tidak terlalu
membatasi dan karena tidak menutupi hidung dan mulut. Nasal canul memang
memiliki beberapa kelemahan. Penggunaan jangka panjang dikaitkan dengan
pengeringan saluran hidung. Selain itu, pada kecepatan rendah (1-3 LPM)
pengiriman oksigen minimal. Jadi nasal canul tidak dianjurkan untuk digunakan
pada pasien yang membutuhkan oksigen konsentrasi tinggi, seperti pasien dengan
tanda-tanda gangguan pernapasan atau syok atau mengalami nyeri dada hebat.
Namun, untuk pasien yang menolak memakai masker, penggunaan kanula hidung
pada 2-4 LPM lebih baik daripada tidak memberikan oksigen tambahan sama sekali.
Untuk memasang nasal canul, pasang konektor di ujung pipa penghubung ke tabung
oksigen/regulator. Atur pengatur laju aliran oksigen sesuai dengan anjuran. Geser
kunci lariat (kunci geser yang terdapat pada selang nasal canul yang dapat
disesuaikan dan menahan kanula pada tempatnya pada wajah pasien) ke posisi
terbuka penuh, dan tempatkan kedua cabang ke dalam lubang hidung pasien sambil
melingkarkan selang kanula di atas masing-masing telinga. Geser kunci ke atas
sehingga menahan kanula di tempatnya. Tanyakan pada pasien untuk memastikan
kenyamanan letak nasal canul. Jika pasien cenderung bernapas melalui mulut, Anda
dapat menempatkan dua cabang masuk ke mulut pasien.
2. Masker Nonrebreathing (NRM)
Masker nonrebreather (NRB) adalah masker plastik bening yang menutupi hidung
dan mulut dan memiliki kantong (penampung) yang menggantung di bawah masker
(Gambar 14). Kantong ini terhubung ke pipa penghubung yang terus mengisi
reservoir dengan oksigen. Setiap kali pasien mengambil napas, oksigen di dalam
reservoir ditarik ke dalam masker dan dihirup ke dalam paru-paru. Selama
pernafasan, katup penutup di atas reservoir menutup sementara katup penutup di
setiap sisi masker terbuka sementara reservoir diisi ulang dengan oksigen. Dengan
demikian, pasien tidak dapat "menghirup kembali" gas CO 2 dan hanya menghirup
oksigen selama inspirasi.

Gambar 14. Masker Nonrebreathing


Masker nonrebreather dapat memberikan 80-90 persen oksigen ke pasien dengan
laju aliran 10-15 Liter Per Menit (LPM). Jumlah oksigen yang diberikan tergantung
pada laju aliran yang diberikan. Masker nonrebreather adalah alat penghantar
oksigen yang paling umum digunakan oleh perawat gawat darurat untuk pasien
yang memiliki masalah pernapasan, jantung, atau trauma yang serius.
Kerugian utama dari masker nonrebreather adalah masker menutupi hidung dan
mulut, yang dapat menyebabkan pasien cemas. Komunikasi dengan pasien menjadi
sulit karena posisi masker di atas mulut dan kebisingan aliran oksigen, terutama
pada laju aliran yang lebih tinggi. Perawat harus meyakinkan dan menenangkan
untuk mengurangi kecemasan pasien.
Langkah-langkah menyiapkan NRB untuk digunakan, sambungkan pipa penghubung
yang terpasang ke regulator. Atur regulator pada laju aliran yang diinginkan,
biasanya 12–15 LPM sambil secara bersamaan menahan katup penutup yang
terletak di dalam bagian hidung masker sampai reservoir benar-benar
mengembang. Selanjutnya, letakkan masker di wajah pasien, letakkan tali elastis di
belakang kepala pasien untuk membantu menahan masker di tempatnya. Setelah
masker diposisikan dengan benar di wajah pasien, tekan perlahan aluminumun
yang ada di bagian hidung untuk membantu memastikan segel yang baik. Kemudian,
amati saat pasien bernafas. Pada setiap inspirasi, kantong reservoir harus
mengempis sekitar dua pertiga dari total volumenya

3. Bag-Valve Mask
Bag-valve mask (BVM) merupakan alat yang paling sering digunakan untuk
memberikan tekanan pada sistem pernafasan pasien yang henti nafas atau yang
nafasnya tidak adekuat. Biasanya pemberian bantuan pernapas menggunakan BVM
ini dilakukan jika pemasangan alat bantu nafas yang lebih advanced (tube
endoktrakeal) atau pemasangan alat bantu nafas definitif lainnya tidak dapat
dilakukan. Perangkat ini biasanya terdiri dari reservoir oksigen, tas/kantung, katup
satu arah dan masker (Gambar )
Gambar 15. Bag Valve Mask
BVM dapat mengalirkan udara sekitar atau dihubungkan ke suplai oksigen. BVM ini
harus sesuai dengan indikasi dan memperhatikan jenis serta ukuran dari masker
dan bag yang dipergunakan pada BVM (sesuai dengan usia seseorang). Untuk
penderita dengan kondisi trauma wajah yang parah, cedera mata terbuka, serta
menggunakan benda asing dalam mulut (kawat gigi atau penggunaan gigi palsu),
sebaiknya anda hindari untuk memberikan bantuan pernapasan dengan
menggunakan alat bantu BVM ini (kontraindikasi).
Sistem dapat mengalirkan udara sekitar, atau dapat dihubungkan ke suplai oksigen
tambahan. Laju aliran untuk perangkat ini adalah 12–15 LPM, yang memberikan 80–
100 persen oksigen, tergantung pada kualitas segel masker wajah. Volume yang
diberikan juga dapat bervariasi, tergantung pada ukuran kantong dan kedalaman
ventilasi.

Untuk kadar oksigen yang dapat diberikan melalui BVM ini, menggunakan oksigen
dari luar kadar oksigen yang dihasilkan oleh BV mini berkisar antara 21%.
Sedangkan untuk penggunaan BVM dengan oksigen tanpa reservoir, kadar oksigen
yang dihasilkan adalah sekitar 40-60% dengan aliran oksigen 8-10 LPM. Sedangkan
untuk BVM yang menggunakan reservoir,kadar oksigen yang dapat dicapai adalah
sekitar 100% dengan aliran oksigen 8-10 LPM. Penggunaan oksigen pada BVM ini
biasanya sesuai dengan indikasi tertentu.
RANGKUMAN
Jalan napas yang terbuka dan pernapasan yang memadai merupakan faktor terpenting
untuk menjaga homeostasis karena setiap sel dalam tubuh bergantung pada kecukupan
suplai oksigen. Inilah sebabnya mengapa penilaian jalan napas dan pernapasan merupakan
hal pertama yang dikaji dalam pengkajian primer. Dalam kondisi normal, jalan napas
terbuka, memungkinkan pertukaran gas secara bebas dan konstan antara lingkungan dan
paru-paru. Tubuh manusia rentan terhadap berbagai kondisi fisik, medis, dan traumatis
yang dapat mempengaruhi proses pernapasan. Ketika ada gangguan, harus dikelola dengan
cepat dan efektif agar proses pernapasan kembali normal, karena tanpa oksigen, kematian
dapat terjadi dengan cepat.

Pemahaman tentang prinsip dan praktik manajemen jalan napas dan pernapasan sangat
penting bagi mahasiswa untuk menerapkan keterampilan ini secara efektif dalam keadaan
situasi darurat. Pengelolaan jalan napas, Pemberian oksigen dan bantuan ventilasi adalah
keterampilan penting yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa.
TUGAS
KASUS: Anda dipanggil ke tempat kecelakaan, di mana Anda menemukan seorang pekerja
bangunan setengah baya terjatuh dari lantai 2 bangunan. Kepala dan leher pasien
terbentur batu. Pasien tidak berespon saat anda berikan rangsang nyeri. Terdapat
pendarahan di mulut pasien serta luka dalam di dagunya. Denyut nadinya cepat pada
108/menit. Apa yang harus Anda lakukan?
LATIHAN
1. Seorang remaja berusia 17 tahun ditemukan tim pemadam kebakaran dengan luka bakar
diseluruh tubuh. Tampak sputum berwarna hitam, rambut hidung gosong, frekuensi napas 36
kali/menit, terdengar suara stridor. Apakah tindakan yanga tepat dilakukan pada pasien
tersebut?
a. Memberikan Oksigen dengan NRM 12 L/Menit
b. Elevasi kepala pasien guna mencegah peningkatan TIK
c. Melakukan pemasangan endotrakeal tube
d. Melakukan pemasangan nasopharyngeal airway
e. Membebaskan jalan napas dengan teknik jaw thrust
2. Seorang laki-laki berusia 25 tahun dibawa ke IGD karena jatuh dari atap rumah. Hasil pengkajian
tampak jejas di frontal, GCS 8 dan terdengat suara snoring. Saat seorang perawat melakukan
pemasangan OPA, pasien masih memiliki reflex muntah. Apakah tindakan yang tepat dilakukan
pada kasus?
a. Membuka jalan napas dengan NPA
b. Membuka jalan napas dengna head tilt chin lift
c. Tetap melanjutkan pemasangan OPA
d. Melakukan intubasi endotrakeal
e. Melakukan Heimlich maneuver
3. Seorang remaja berusia 15 tahun dibawa ke UGD karena mengalami kecelakaan bermotor. Hasil
pengkajian jalan napas paten dengan frekuensi napas 38 kali/menit. Neck collar sudah
terpasang. Apakah tindakan selanjutnya yang tepat dilakukan perawat?
a. Mengevaluasi jalan napas
b. Mengevaluasi masalah pernapasan
c. Mengevaluasi tanda-tanda vital
d. Melakukan imobilisasi leher
e. Memasang oroparingeal airway
4. Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa ke IGD pasca terjatuh saat olahraga panjat tebing.
Hasil pengkajian: GCS 9, terdengar suara gurgling, frekuensi napas 35 kali/menit, frekuensi nadi
115 kali/menit, bibir dan ujung kuku sianosis. Terdapat krepitasi pada region pelvis. Apakah
tindakan keperawatan prioritas yang tepat pada kasus tersebut?
a. Membebaskan jalan napas dengan tindakan suction
b. Memberikan oksigen 12-15 L/menit dengan NRM
c. Memberikan cairan kristaloid hangat 2 jalur
d. Melakukan pembidaian area pelvis
e. Elevasi kepala 10-30 derajat guna mencegah peningkatan TIK
MODUL VII
RESUSITASI JANTUNG PARU

I. Pengertian Resusitasi Jantung Paru


Resusitasi jantung paru atau sering disingkat RJP merupakan tindakan gawat darurat yang
dilakukan untuk menolong pasien atau korban yang mengalami henti jantung (cardiac arrets)
dan atau henti napas. pemberian tindakan resusitasi yang benar dan tepat dapat meningkatkan
2 - 3 kali kesempatan untuk terselamatkan paska serangan jantung. Tindakan resusitasi
sangat penting karena tindakan ini dapat menjaga aliran darah sistemik tetap aktif
bersirkulasi. Tindakan resusitasi jantung paru juga merupakan langkah kritis dalam rangkaian
rantai keberhasilan (keselamatan) american hearth association (AHA) 2020.

Gambar Chain of Survival

Berikut merupakan rantai keselamatan pada korban dewasa yang terjadi di pre-hospital
menurut AHA (2020):
a. Ketika menemukan korban tidak sadarkan diri segera minta bantuan dengan
menghubungi telepon gawat darurat/layanan kesehatan terdekat .
b. Lakukan tindakan resusitasi jantung paru sedini mungkin dengan cara memberikan
kompresi pada dada.
c. Berikan defibrilasi Automatic External Defibrilation (AED) sesegera mungkin.
Penggunaan AED dalam rangkaian rantai keselamatan dapat meningkatkan
kemungkinan terselamatkanya korban cardiac arrest. Penggunaan AED dapat juga
dilakukan oleh orang awam. Jika ada orang yang terlatih atau petugas kesehatan
lebih diutamakan.
d. Berikan perawatan medis dasar dan lanjutan.
e. Berikan perawatan lanjutan dan perawatan paska cardiac arrest.

Gambar Automatic External Defibrilation (AED)


II. Indikasi
1. Henti napas (Apnue)
Adalah tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien. Henti
napas dapat terjadi pada keadaan tenggelam, stroke, obstruksi kalan nafas, epiglottitis,
overdosis obat-obatan, tersengat listrik, infark miokard, dll. Pada awal henti napas, oksigen
masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat
mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya. Pada keadaan ini jika diberikan
bantan nafas akan sangat membantu dan bermanfaat agar korban tetap hidup dan
mencegah terjadinya henti jantung.
2. Henti jantung (Cardiac Arrest)
Merupakan kondisi dimana listrik jantung tidak dapat mengeluarkan impuls hal ini dapat
terjadi apabila suplai oksigen dan nutrisi ke jantung (otot jantung) berkurang. Pada saat
terjadi henti jantung, sirkulasi dan ventilasi akan ikut berhenti. Henti sirkulasi akan
mengakibatkan otak dan organ vital lainnya kekurangan oksigen. Pernapasan yang
terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.

III. Prosedur resusitasi jantung paru


Rangkaian resusitasi jantung paruh melalui pendekatan DR-CAB.
1. Danger
Sebelum menolong korban sebaiknya kita harus perhatikan diri kita sendiri/penolong,
lingkungan dan pasien (3A, Aman Diri, Aman Lingkungan/lokasi kejadian dan Aman
Pasien/Korban).
2. Respons
Kaji respon pasien/korban, pada pasien/korban tidak sadar pastikan penderita tidak sadar
dengan cara memanggil, menepuk punggung, menggoyang atau mencubit
3. Circulation
Kaji denyut nadi karotis pasien/korban, apakah teraba atau tidak (Pengkajian denyut
karotis dilakukan secara bersamaan dengan pengkajian jalan napas dan pernapasan, tidak
boleh lebih dari 10 detik). Jika teraba lanjutkan dengan melakukan pemeriksaan jalan
napas dan pernapasan. Jika tidak, segera lakukan kompresi dada. Tindakan kompresi dada
bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi darah ketika jantung berhenti berdetak.
Kompresi dada dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrathorakal dan
menyebabkan tekanan secara langsung pada jantung. Hal tersebut akan mengakibatkan
aliran darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke organ vital. Kompresi dada dilakukan
di titik tumpu yaitu 2 jari diatas processus xyphoideus. Untuk mendapatkan tekanan
kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan memberikan beban tekanan berasal dari
bahu bukan siku, posisi tangan tegak lurus dengan korban, dan siku tidak boleh menekuk.
Kedalamam kopresi dada yakni tidak boleh kurang dari 5 cm dan tidak boleh lebih dari 6
cm, Kecepatan kompresi dada tidak boleh kurang dari 100 kali permenit dan tidak boeh
lebih dari 120 permenit, sehingga rata-rata kecepatan kompresi dada adalah 110 kali
permenit. dengan perbandingan kopresi dada dan bantuan napasan adalah 30 : 2 yang
artinya setiap 30 kompresi dada diikuti 2 ventilasi (dukungan pernapasan) selama siklus
atau 2 menit. Lakukan sebanyak 5 siklus. Evaluasi apakah denyut nadi teraba? Jika AED
tersedia, lakukan penilaian apakah perlu dilakukan shock atau tidak (defibrillator Bifasik:
200 joule, Monofasik: 360 Joule, Kalau tidak diketahui gunakan yang terbesar. Kejutan
kedua dan seterusnya menggunakan energi yang sama).
Kompresi jantung dihentikan, jika:
a. Penolong sudah lelah
b. Korban muncul tanda-tanda kematian
c. Keluarga menolak untuk dilakukan tindakan RJP
d. Kembalinya sirkulasi spontan/ROSC (Return of Spontaneous Circulation), ditandai
dengan:
- Adanya pulsasi dan terukurnya tekanan darah
- Meningkatnya PetCO2, biasanya > 40 mmHg
- Adanya gelombang tekanan arteri yang spontan pada pemantauan tekanan intra
arterial.
4. Airway
Tindakan ini berfokus pada penyelamatan atau pembebasan jalan napas dari sumbatannya.
Sumbatan jalan napas dapat berupa benda asing ataupun lidah. Pada pasien atau korban
tidak sadarkan diri lidah berisiko menutup jalan napas sehingga dapat mengakibatkan
kurangnya oksigen yang masuk kedalam paru. Pembebasan jalan napas akibat dari
menutupnya lidah pada jalan napas dapat dilakukan teknik Head Tilt - Chin Lift. Tindakan
ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami cidera servical. Pada korban dengan
cidera servical pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan teknik jaw thrust
maneuver.
5. Bantuan pernapasan
Bantuan pernapasan dapat dilakukan melalui mulut ke mulut secara langsung (mouth to
mouth), mulut ke masker (mouth to mask), dan dengan menggunakan bag valve mask.
Pemberian bantuan napas secara langsung melalui mulut ke mulut memiliki resiko yang
tinggi untuk tertular penyakit dibandingkan dengan prosedur yang lain sehingga AHA tidak
merekomendasikannya. Dukungan napas atau disebut rescue breathing, menurut AHA
tahun 2020 menjelaskan pada korban atau pasien henti napas diberikan dengan hitungan
10-12 kali permenit dan dilakukan selama 2 menit sehingga bantuan napas diberikan 20-
24 kali perdua menit.
Jika napas kembali spontan dan denyut nadi teraba maka posisikan dengan posisi
pemulihan (recovery position)/posisi mantap:
1. Fleksikan salah satu siku dengan telapak tangan menopang pipi pada sisi yang
berlawanan
2. Fleksikan lutut pada sisi yang sama dengan siku yang difleksikan sebelumnya balikkan
pasien ke arah sisi yang berlawanan

SOAL
1. Seorang pria berusia 50 tahun datang dengan keluhan nyeri dada kiri seperti ditusuk-
tusuk disertai sesak napas lamanya lebih dari 30 menit dan tidak hilang dengan
istirahat, saat perawat melakukan pengkajian klien tampak pucat, akral dingin dan
arteri karotis tidak teraba gambaran ECG asistole. Tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah?
a. Pemberian terapi oksigen dengan nasal kanul
b. Defibrilator dengan mode sinkroniZe
c. Resusitasi jantung paru
d. Pemasangan infus
e. Pemasangan ECG
2. Seorang laki-laki berusia 43 tahun mengalami serangan jantung. Anda sebagai seorang
perawat datang dan melakukan pemeriksaan keadaan pasien dan melakukan RJP. Anda
memberikan kompresi dada sebanyak 30 kali dan bantuan nafas sebanyak 2 kali dan
dilakukan sebanyak 5 siklus. Manakah evaluasi tindakan selanjutnya yang dilakukan
perawat?
a. Meraba nadi karotis
b. Memeriksa jalan napas
c. Memeriksa respon pasien
d. Melihat pengembangan dada
e. Melihat ada tidaknya pernapasan spontan
3. Ditemukan korban tenggelam dengan tidak sadarkan diri mengalami henti nafas.
tindakan pertama yang dilakukan adalah
a. Amankan korban
b. Kaji respon pasien
c. Call for help
d. Cek nadi karotis
e. Lakukan RJP
4. Seorang laki laki usia 24 tahun dibawa ke IGD karena mengalami KLL, pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien tidak sadar, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
Setelah dilakukan RJP 5 siklus nadi teraba. hal ini dikenal dengan istilah…
a. ROSC
b. ROSC
c. ROSC
d. ROCH
e. ROCS
5. Perawat melakukan bantuan hidup dasar kepada pasien yang mengalami henti
jantung. Setelah 5 siklus, dilakukan evaluasi dan sudah teraba denyutan nadi karotis.
Apakah tindakan yang harus dilakukan perawat selanjutnya?
a. Memastikan patensi airway
b. Melakukan pemeriksaan pernafasan
c. Membaringkan pasien ke posisi pemulihan
d. Melanjutkan pemberian ventilasi saja setiap 6 detik
e. Melanjutkan pemberian kompresi & ventilasi (30 : 2)

Referensi
AHA Guidelines 2015

MODUL VII
ELEKTROKARDIOGRAM

A. Anatomi & Fisiologi Jantung


Anatomi jantung merupakan hal penting yang harus diketahui agar dapat memahami
cara kerjanya. Hal ini dikarenakan jantung adalah bagian vital di dalam tubuh. Fungsi
jantung yaitu menerima dan memompa darah ke seluruh tubuh. Setiap menitnya,
jantung pada orang dewasa berdetak 60-100 kali dalam kondisi normal. Jantung
berukuran sedikit lebih besar dari kepalan tangan dewasa dengan berat 200-425 gram.
Struktur jantung berada di antara paru-paru, di tengah dada, tepatnya di belakang kiri
tulang dada.

Jantung merupakan organ yang tersusun dari jaringan-jaringan otot yang disebut
miokardium yang mendindingi empat rongga jantung yakni serambi kanan atau atrium
kanan dan kiri, serta bilik jantung atau ventrikel kanan dan kiri ke dalam menghadap
rongga jantung. Miokardium bagian dalam dilapisi oleh selaput yang dinamakan
endokardium sedangkan bagian luar yang dilapisi oleh lapisan yang disebut
perikardium. Perikardium merupakan sejenis membran serosa yang menghasilkan
cairan serous untuk melumasi jantung selama berdenyut. Tujuannya berguna untuk
mencegah terjadinya gesekan yang menyakitkan antara jantung dan organ sekitarnya.
Gambar Lapisan Jantung
Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan anatomi fisiologi jantung:
1. Perikardium
Perikardium merupakan sejenis membran serosa yang menghasilkan cairan serous
untuk melumasi jantung selama berdenyut. Tujuannya berguna untuk mencegah
terjadinya gesekan yang menyakitkan antara jantung dan organ sekitarnya.
2. Serambi/Atrium
Serambi atau atrium merupakan bagian jantung atas yang terdiri dari serambi
kanan dan kiri. Serambi kanan berfungsi untuk menerima darah kotor dari tubuh
yang dibawa oleh pembuluh darah, sedangkan serambi kiri berfungsi untuk
menerima darah bersih dari paru-paru. Serambi memiliki dinding yang tipis dan
tidak berotot karena fungsinya hanya sebagai ruangan penerima darah.

3. Bilik/Ventrikel
Bagian anatomi jantung selanjutnya yaitu bilik. Bilik yang disebut juga ventrikel
merupakan bagian jantung bawah yang terdiri dari bagian kanan dan kiri. Bilik
kanan berfungsi untuk memompa darah kotor dari jantung ke paru-paru, sementara
bilik kiri berfungsi untuk memompa darah bersih ke jantung untuk seluruh tubuh.
Dinding bilik ini berbeda dari dinding serambi, bilik memiliki dinding yang jauh
lebih tebal dan berotot.
4. Katup
Katup berfungsi untuk menjaga aliran darah ke satu arah. Terdapat empat katup,
yaitu:
a. Katup trikuspid, berfungsi mengatur aliran darah antara serambi kanan dan bilik
kanan.
b. Katup pulmonal, berfungsi mengatur aliran darah dari bilik kanan ke arteri
pulmonalis yang membawa darah ke paru-paru untuk mengambil oksigen.
c. Katup mitral, berfungsi untuk mengalirkan darah yang kaya oksigen dari
serambi kiri ke bilik kiri.
d. Katup aorta, berfungsi untuk membuka jalan bagi darah yang kaya oksigen
untuk dilewati dari bilik kiri ke aorta.
5. Pembuluh Darah di jantung, yaitu:
Jantung juga memiliki pembuluh darah besar yang memiliki peranan masing-
masing, di antaranya:
a. Vena cava, untuk mengembalikan darah dari seluruh tubuh ke jantung
b. Arteri pulmonalis, untuk membawa darah dengan kandungan oksigen yang
rendah ke dalam paru-paru
c. Vena pulmonalis, untuk mengalirkan darah yang kaya akan oksigen dari paru-
paru ke jantung
d. Aorta, untuk mengedarkan darah yang kaya akan oksigen keseluruh tubuh
Selain itu, pada permukaan jantung, terdapat pembuluh darah koroner yang
menyediakan darah kaya oksigen ke seluruh bagian jantung. Pembuluh darah ini
terdiri dari dua cabang, yaitu pembuluh darah koroner kanan dan kiri.

B. Cara Kerja Jantung


Kerja jantung memompa dan memasok darah tidaklah sederhana. Atrium kanan
menerima darah dari seluruh tubuh melalui vena cava yang kemudian dialirkan ke
ventrikel kanan. Darah dari ventrikel kanan dipompa ke luar jantung menuju ke paru-
paru untuk pertukaran karbon dioksida dengan oksigen. Darah yang sudah dipenuhi
oksigen, kemudian dipompakan masuk ke atrium kiri, lalu ke ventrikal kiri, dan
selanjutnya dialirkan ke seluruh tubuh melalui aorta.

Gambar. Anatomi dan Cara Kerja Jantung


(https://www.alodokter.com/menilik-anatomi-jantung-dan-cara-kerjanya)
C. Sistem Konduksi Jantung
Jantung adalah organ yang memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kontraksi
sehingga dapat mendistribusikan darah dalam jumlah yang cukup ke paru-paru dan
seluruh tubuh. Untuk dapat memompakan darah secara efektif, dibutuhkan kontraksi
atrium dan ventrikel yang berirama. Hal ini dapat terjadi karena adanya aliran listrik
jantung yang dihasilkan dan diatur oleh sistem konduksi otot jantung.
Sistem konduksi otot jantung memungkinkan jantung untuk menghasilkan dan
menghantarkan sinyal listrik yang berperan dalam menghasilkan kontraksi. Sistem
konduksi jantung terdiri dari otot-otot jantung khusus yang termodifikasi dan mampu
menghasilkan aktivitas listrik secara spontan dan menghantarkannya ke seluruh
bagian otot jantung. Terdapat dua jenis sel otot jantung yaitu:
 Sel kontraktil yang membentuk 99% dari sel-sel otot jantung, melakukan kerja
mekanis memompa darah. Dalam keadaan normal, sel ini tidak membentuk sendiri
potensial aksinya.
 Sel otoritmik, yang tidak berkontraksi tapi khusus memulai dan menghantarkan
potensial aksi yang menyebabkan kontraksi sel-sel jantung kontraktil. Sel
otoritmik jantung merupakan sel otot khusus yang berbeda dari sel saraf dan sel
otot rangka di mana sel otoritmik jantung tidak memiliki potensial istirahat.

Gambar Letak Sel-Sel jantung Otoritmik

Sel-sel jantung otoritmik ini membentuk area tersendiri, yaitu:


 Nodus Sinoatrial (nodus SA) → Gelompang P
Suatu daerah kecil khusus di dinding atrium kanan dekat pintu masuk vena cava
superior. Dalam kondisi jantung yang normal, aktivitas kelistrikan jantung
dihasilkan oleh nodus SA. Impuls listrik ini disebarkan ke seluruh atrium kanan,
melalui berkas Bachmann dan dialirkan ke atrium kiri,
merangsang miokardium dari atrium untuk berkontraksi. Konduksi impuls listrik
di seluruh atrium terlihat pada EKG sebagai gelombang P.  Aktivitas listrik ini
menyebar melalui atrium dan bergerak melalui jalur khusus, yang dikenal sebagai
traktus internodal, dari nodus SA ke nodus AV.

 Nodus Atrioventrikuler (nodus AV),


Suatu berkas kecil sel-sel otot jantung khusus yang terdapat pada dasar atrium
kanan dekat septum, tepat diatas pertemuan atrium dan ventrikel. Nodus AV
mengambil peran sebagai penunda yang amat penting dalam sistem konduksi
jantung. Tanpa adanya penundaan ini, atrium dan ventrikel akan melakukan
kontraksi pada saat yang bersamaan. Akibatnya, darah tidak akan mengalir secara
efektif dari atrium ke ventrikel. Penundaan ini membentuk gambaran segmen
(interval) PR pada EKG. Sebagian dari proses repolarisasi atrium dapat dilihat
melalui segmen PR.

 Berkas His (berkas atrioventrikuler),


Bagian distal dari nodus AV dikenal sebagai berkas His. Berkas His terbagi menjadi
dua cabang di septum interventrikular: cabang berkas kiri dan cabang berkas
kanan. Cabang berkas kiri mengaktivasi ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas
kanan mengaktivasi ventrikel kanan.

Cabang berkas kiri lebih pendek dari cabang berkas kanan, yang kemudian terbagi
lagi menjadi fasikulus anterior kiri dan fasikulus posterior kiri. Fasikulus posterior
kiri ini relatif lebih pendek dan besar, dan memiliki suplai darah ganda. Hal ini
membuatnya sangat mudah mengalami kerusakan iskemik. Fasikulus posterior
kiri mentransmisikan impuls ke otot papil jantung, yang menyebabkan
menutupnya katup mitral.

Karena fasikulus posterior kiri ini lebih pendek dan memiliki ukuran yang lebih
besar daripada fasikulus posterior kanan, impuls dapat mencapai otot papiler
sesaat sebelum depolarisasi, dan menyebabkan kontraksi dari otot ventrikel kiri
jantung. Ini memungkinkan ketegangan awal dari chordae tendinae, yang
kemudian meningkatkan resistensi untuk mengalirkan listrik melalui katup mitral
selama berlangsungnya kontraksi ventrikel kiri.  Mekanisme ini bekerja seperti
situasi pra-peregangan pada sabuk pengaman mobil.

 Serat Purkinje,
Serat-serat halus terminal yang menjulur ke seluruh miokardium ventrikel seperti
ranting kecil dari suatu cabang pohon. Aliran listrik di kedua cabang berkas
jantung (cabang berkas kanan dan kiri) kemudian menepi untuk menghasilkan
banyak serabut Purkinje, yang merangsang sel-sel miokard untuk berkontraksi.
Impuls listrik menyebar melalui otot ventrikel jantung dan menghasilkan kompels
QRS yang dapat terlihat pada rekaman EKG. Repolarisasi atrium berlangsung
selama deporalisasi ventrikel sehingga tidak tampak pada gambaran EKG secara
umum karena tertutupi oleh kompleks QRS.

Repolarisasi ventrikel merupakan peristiwa terakhir dari siklus ini. Repolarisasi


ventrikel adalah masa pengembalian kondisi pemulihan otot jantung. Dalam
gambaran EKG, repolarisasi ini meliputi munculnya J point, gambaran segmen
ST, dan gelombang T dan U.
Gambar Sistem Hantar Jantung
Sumber: https://skillslab.fk.uns.ac.id/wp-content/uploads/2019/02/smt-4-
Pemasangan-EKG.pdf

Sistem konduksi diatas di mulai dari nodus sinoatrial sebagai pacemaker yang berguna
untuk memicu setiap siklus jantung. Nodus SA ini biasa di pengaruhi oleh sistem saraf
pusat, seperti impuls dari saraf simpatis akan menambah kecepatannya dan saraf
parasimpatis akan memperlambatnya. Hormon tiroid dan epinefrin yang dibawa oleh
darah juga dapat mempengaruhi kecepatan impuls nodus SA. Setelah impuls listrik
yang diinisiasi oleh nodus SA, impulsnya akan menyebar melalui kedua atrium
sehingga menyebabkan kedua atrium berkontraksi secara berkesinambungan. Pada
saat yang sama impuls tersebut mendepolarisasi nodus atrioventrikular yang berada
dibawah atrium kanan. Dari nodus AV ini, cabang dari serat konduksi yaitu berkas His
melalui otot jantung sampai septum interventrikular. Berkas His ini kemudian
bercabang menjadi cabang kanan (right bundle) dan cabang kiri (left bundle).
Walaupun berkas His mendistribusikan energi listrik ini sampai melewati permukaan
medial ventrikel, kontraksi sesungguhnya distimulasi oleh berkas purkinje (serat otot
konduksi) yang muncul dari cabang bundle yang dilanjutkan ke sel miokardium
ventrikel Aliran listrik ini dihasilkan secara ritmis, yang pada akhirnya menghasilkan
kontraksi dan relaksasi jantung dengan ritme yang terkoordinir.
Gambar Peristiwa Listrik Pada Siklus Jantung

Gangguan pada sistem konduksi jantung dapat terjadi akibat adanya struktur jantung
yang abnormal yang berperan sebagai substrat (seperti adanya jalur aksesori atau
gangguan kanal ion jantung). Penyebab lain adalah proses patologis yang disebabkan
oleh adanya suatu penyakit (seperti iskemia, peradangan otot jantung,
ketidakseimbangan elektrolit dan lain lain). Terganggunya konduksi listrik jantung
dapat menyebabkan gangguan pada irama jantung sehingga mengurangi efektivitas
pompa jantug. Gangguan irama tersebut dapat tidak bergejala, mengurangi kualitas
hidup penderitanya, atau bahkan dapat menyebabkan kematian. Gangguan fungsi
sistem konduksi ini dapat menyebabkan irama jantung yang tidak teratur, cepat,
maupun lambat. Gangguan pada sistem konduksi dapat terlihat
pada ElektroKardioGram.

D. ElektroKardioGram (EKG)
1. Definisi
Elektrokardiogram adalah gambaran grafik variasi potensial listrik yang dihasilkan
oleh eksitasi otot jantung dan dideteksi di permukaan tubuh.
Gambar Gelombang EKG Normal

Tabel 1. Deskripsi Gelombang EKG


Gelombang Deskripsi Normal pada EKG
P Gelombang P merupakan defleksi positif pertama pada EKG
yang menggambarkan depolarisasi atrium.
Q Gelombang Q merupakan defleksi negatif pertama pada EKG
yang menggambarkan awal depolarisasi ventrikel. Defleksi
negatif pertama sebelum gelombang R.
R Gelombang R merupakan defleksi positif pertama setelah
gelombang P yang menggambarkan awal depolarisasi
ventrikel.
S Gelombang S adalah defleksi negatif kedua pada EKG yang
mengambarkan akhir depolarisasi ventrikel. Gelombang ini
adalah akhir dari kompleks QRS
T Gelombang T adalah defleksi positif setelah setiap kompleks
QRS. Gelombang ini mewakili repolarisasi ventrikel.

2. Jenis sadapan EKG


Sadapan EKG dibedakan menjadi 3 golongan yaitu :
a. Sadapan bipolar (sadapan ekstremitas standar) terdiri dari tiga sadapan
 Sadapan I dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri (LA) sebagai kutub
positif dan lengan kanan (RA) sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya 0º.
 Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kiri (LL) sebagai
kutub positif dan lengan kanan (RA) sebagai kutub negatif. Sudut
orientasinya 60º.
 Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kiri (LL) sebagai
kutub positif dan lengan kiri (LA) sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya
120º.
Gambar Sadapan Bipolar
(Sumber: https://mediaperawat.id/5-cara-cepat-belajar-membaca-ekg-dasar/)

b. Sadapan unipolar ekstremitas (augmented unipolar limb lead) :


 Sadapan AVL dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub
positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya -
30º.
 Sadapan AVR dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kanan sebagai
kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut
orientasinya -150º.
 Sadapan AVF dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub
positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya
+90º.


Gambar unipolar ekstremitas
(Sumber: https://mediaperawat.id/5-cara-cepat-belajar-membaca-ekg-dasar/)

c. Sadapan Dada (sadapan prekordial)


Terdiri dari enam sadapan, masing-masing elektroda dada secara bergiliran
dijadikan kutub positif, dan seluruh tubuh dianggap sebagai elektroda negatif.
Enam elektroda positif, yang menjadi sadapan prekordial V1 sampai V6, diatur
sebagai berikut :
 V1 ditempatkan di sela iga keempat di sebelah kanan sternum
 V2 ditempatkan di sela iga keempat disebelah kiri sternum
 V3 ditempatkan di antara V2 dan V4
 V4 ditempatkan di sela iga kelima pada linea medioklavikularis
 V5 ditempatkan di antara V4 dan V6
 V6 ditempatkan di sela iga kelima pada linea aksiaris media.

Gambar Sadapan precordial


(Sumber: https://mediaperawat.id/5-cara-cepat-belajar-membaca-ekg-dasar/)

Selain itu, terdapat pula sadapan tambahan pada elektrokardiografi yang


diperlukan apabila terdapat kecurigaan gangguan pada jantung kanan, yaitu:
V3R-V6R atau V7-V9 dengan lokasi pemasangan sama seperti sadapan V3-V6 tapi
pada sisi dada sebelah kanan (bergunan untuk infark ventrikel kanan dan pada
pasien dengan dekstrokardia atau situs inversus).

Sadapan II, III dan AVF disebut sadapan inferior karena sadapan ini yang paling
baik untuk mencatat aktivitas listrik bagian inferior jantung. Sadapan I dan AVL
disebut sebagai sadapan lateral kiri. Sadapan V1 sampai V4 sering disebut
sadapan anterior. Bila ditemukan gambaran EKG yang abnormal pada sadapan-
sadapan tersebut, hal itu menunjukkan lokasi dimana letak infark terjadi.
Gambar Sadapan yang berdampingan

3. Morfologi Gambaran EKG Normal


Suatu elektrokardiogram normal terdiri dari sebuah gelombang P, sebuah kompleks
QRS, dan sebuah gelombang T. Dimana kompleks QRS itu terdiri dari tiga gelombang
yang terpisah, yakni gelombang Q, gelombang R, gelombang S. Gelombang P timbul
dari potensial listrik yang muncul ketika atrium berdepolarisasi sebelum kontraksi
atrium dimulai. Kompleks QRS timbul oleh potensial listrik yang muncul ketika
ventrikel berdepolarisasi sebelum berkontraksi, yaitu ketika gelombang
depolarisasi menyebar melewati ventrikel. Oleh karena itu, baik gelombang P
maupun komponen-komponen kompleks QRS disebut sebagai gelombang
depolarisasi. Gelombang T timbul dari potensial listrik yang muncul ketika ventrikel
kembali dari keadaan depolarisasi. Di dalam otot ventrikel proses ini normalnya
terjadi 0,25-0,35 detik sesudah depolarisasi, dan gelombang T dikenal sebagai
gelombang repolarisasi.

Kecepatan pencatatan : 25 mm/detik


Penghitungan lebar
Tiap 25 mm= 1 detik
Tiap 1 mm= 1/25 detik= 0,04 detik
Tiap 5 mm = 5/25= 0,20 detik
Penghitungan tinggi dengan
10 mm = 1 mV
1 mm =0,10 mV
Gelombang P: aktivasi atrium (depolarisasi atrium)
 Panjang/durasi <0,12 detik (< 3 kotak kecil)
 Tinggi/amplitudo <0,3 mV atau <3 mm (< 3 kotak kecil)
 Selalu positif dilead II dan negatif di lead aVR
Interval PR: durasi konduksi AV
 Dari awal gelombang P hingga awal kompleks QRS
 Durasi normal 0,12–0,20 detik (3-5 Kotak Kecil)
 Interval PR > 0,2 detik (5 kotak) bisa menandakan adanya blok jantung
 Depresi segmen PR bisa menandakan lesi atrium atau perikarditis
Kompleks QRS: aktivasi ventrikel kanan dan kiri (depolarisasi ventrikel)
 Morfologi bervariasi di antara tiap lead
 Gelombang Q → defleksi negatif pertama
Normal: Gelombang Q lebih kecil dari 1/3 gelombang R, > 1/3 gelombang R
menggambarkan infark miokardium.
 Gelombang R → defleksi positif pertama
 Gelombang S → defleksi negatif setelah gelombang R
 Durasi kompleks QRS: durasi depolarisasi otot ventrikel
Lebar 0,06–0,12 detik (< 3 Kotak kecil)
Segmen ST
 Dari akhir gelombang S (J point) hingga awal gelombang T
 Durasi normal 0,08-0,12 s (80-120 ms).
 Normal: isoelektrik, Depresi/menurun menandakan iskemia koroner,
Elevasi/Naik menandakan Infark miokard
Gelombang T
 Positif dilead I, II, V3–V6 dan negatif di aVR B.
 T Tall (gelombang T tinggi menandakan hiperkalemia

Gambar Letak J Point

4. Cara Interpretasi hasil EKG


Untuk menentukan apakah suatu hasil elektrokardiogram normal atau terdapat
kelainan maka diperlukan beberapa penilaian terhadap hasil EKG. Penilaian
tersebut antara lain:
a. Irama
 Irama pada EKG dikelompokkan menjadi reguler dan irreguler atau sinus
dan aritmia
 Irama disebut reguler apabila interval atau jarak dari gelombang R ke
gelombang R berikutnya (R’) adalah sama sepanjang perekaman EKG
 Irama irreguler apabila terdapat variasi jarak antara R-R’ bervariasi
 Irama sinus normal (NSR) adalah: setiap gelombang P diikuti oleh kompleks
QRS
Dengan frekuensi antara 60-100 kali per menit.

b. Frekuensi/Rate
 Frekuensi jantung yang normal adalah 60-100 kali per menit. Pada beberapa
kondisi akan ditemukan frekuensi yang kurang dari 60 (bradikardia) atau
lebih dari 100 (takikardia).
 Menghitung rate/frekuensi pada elektrokardiografi
- Reguler
Untuk menghitung rate, bagi 300 dengan jumlah kotak besar antara R-R’
atau 1500 dengan jumlah kotak kecil antara R-R’
- Ireguler
- Untuk menghitung rate dengan menghitung jumlah gelombang R yang
muncul selama 10 detik lalu dikalikan dengan 6.
 Takikardia (frekuensi atrial):
- Takikardia paroksismal: 150-250 kali per menit
- Atrial flutter: 250-350 kali per menit
- Atrial fibrilasi > 350 kali per menit

 Bradikardia 
- Atrial escape rhythm= 60-80 kali per menit
- Junctional escape rhythm= 40-60 kali per menit
- Ventrikular escape rhythm = 20-40 kali per menit
Gambar. Cara menghitung Frekuensi Jantung
(https://whitecoathunter.com/cara-membaca-ekg)

c. Axis
 Axis merupakan istilah yang digunakan untuk menilai arah vektor listrik
jantung
 Axis dapat ditentukan dengan menggunakan berbagai gelombang (P, QRS,
dan T)
 Pada EKG standar axis biasanya merujuk kepada nilai R-S pada lead I dan
aVF
 Penilaian axis:
- Axis normal: -30 sampai 90°
- Left axis deviation (LAD) < – 30° 
- Right axis deviation (RAD) < 90°
Gambar Axis jantung menurut garis imajiner.

d. Tentukan adanya tanda hipertropi


1) Hipertropi atrium kanan ditandai dengan adanya gelombang P yang lancip
dan tinggi, paling jelas terlihat di lead II, III, dan aVF atau gelombang P
bifasik dominan defleksi positif di V1.
2) Hipertropi atrium kiri ditandai dengan adanya gelombang P yang lebar
dan berlekuk, paling jelas terlihat di lead I, II, dan aVL.
3) Hipertropi ventrikel kanan ditandai dengan gelombang R lebih jelas dari
gelombang S pada lead perikordial kanan (V1, V2, V3), atau rasio gelombang
R dan S lebih dari 0,03 detik di V1. Gelombang S menetap di V5/ V6, Right
axis deviasi.
4) Hipertropi ventrikel kiri ditandai dengan gelombang R pada V5/ V6 lebih
dari 27 mm atau gelombang S di V1 ditambah gelombang R di V5/ V6 lebih
dari 35 mm, Left axis deviasi.

e. Tentukan Gelombang P
1) Durasi dan amplitudo gelombang P normal
a) Panjang atau durasi gelombang tidak lebih dari 0,12 detik
b) Tinggi atau amplitudo tidak lebih dari 3mm atau 0,3 mV
c) Biasanya defleksi ke atas (positif) pada lead-lead I, II, aVL dan V3-V6 d.
biasanya defleksi ke bawah (negatif) pada aVR, sering pula pada V1 dan
kadang-kadang V2
2) Gelombang P mitral dan P pulmonal
P mitral adalah gelombang P yang melebar (>0,12 detik) dengan notch yang
menandakan pembesaran atrium kiri. Pada kondisi ini juga bisa ditemukan P
bifasik di lead V1. P pulmonal adalah gelombang P yang tinggi dengan
amplitudo >3 kotak kecil yang menandakan pembesaran atrium kanan. Bila
ditemukan gelombang P yang inversi (defleksi negatif pada lead yang
seharusnya defleksi positif) menandakan depolarisasi atrium dengan arah
yang abnormal atau pacemaker bukan nodus SA, melainkan pada bagian lain
atrium atau dextrocardia.

f. Tentukan Interval PR
Interval P-R atau disebut P-Q interval, diukur dari permulaan timbulnya
gelombang P sampai permulaan kompleks QRS. Nilai interval P-R normal ialah:
0,12-0,20 detik.
1) Blok AV derajat 1
a) Interval PR memanjang (>0,20 detik)
b) Semua gelombang P diikuti kompleks QRS
c) Blok AV tingkat I umumnya disebabkan karena gangguan konduksi di
proksimal His bundle. Hal ini disebabkan karena intoksikasi digitalis,
peradangan, proses degenerasi atau variasi normal. Biasanya tidak
membutuhkan terapi apa-apa dan prognosisnya baik

Gambar Blok AV derajat 1


2) Blok AV derajat 2 tipe 1
a) Pemanjangan progresif interval PR
b) Pemendekan interval PR pada beat setelah gelombang P yang tidak
dikonduksikan dibandingkan dengan interval PR sebelum gelombang P
yang tidak dikonduksikan.
3) Blok AV derajat 2 tipe 2
Blok AV derajat 2 tipe 2 merupakan bentuk blok AV derajat II yang lebih
berat. Karakteristiknya adalah kemunculan mendadak satu gelombang P
sinus yang tidak dikonduksikan tanpa dua karakteristik yang didapatkan
pada blok AV tipe II Mobitz tipe I.

4) Blok AV derajat 3 (Blok AV total)


a) Tampak gelombang P (positif di sadapan II), dengan frekuensi irama sinus
yang relatif reguler, yang lebih cepat daripada irama ventrikel
b) Kompleks QRS ada, dengan frekuensi ventrikuler yang lambat (biasanya
konstan)
c) Gelombang P tidak mempunyai hubungan dengan kompleks QRS, sehingga
interval PR bervariasi.

Ilustrasi terkait Blok AV


BLOK Tingkat 1. Istri (gelombang P) setiap hari selalu setia menunggu
kedatangan suami (kompleks QRS) makan malam. Namun, suami sering kali
pulang malam. Meskipun setiap hari selalu pulang malam di jam yang sama.
BLOK Tingkat 2 tipe I (weinkebach). Istri setiap hari masih setia menunggu
suami makan malam, namun suami makin hari makin malam pulangnya,
awalnya jam 22.00 kemudian 24.00 sampai suatu saat suami tidak pulang sama
sekali.
BLOK Tingkat 2 tipe II. Istri selalu setia menunggu suami datang untuk makan
malam. Namun, terkadang suami pulang ke rumah, namun terkadang tidak
pulang. Menariknya, setiap kali suami datang hampir pasti di jam yang sama.
BLOK Tingkat 3. Perselisihan semakin meruncing. Komunikasi antara suami dan
istri tidak terjadi sama sekali. Istri (gelombang P) tidak selalu ada di rumah. Istri
(gelombang P) dan suami (kompleks QRS) sudah tidak saling bertegur sapa.
Mereka sudah punya jadwal aktivitas masing-masing.
Hal terpenting dalam memahami EKG Blok Jantung adalah mengenali pola
kemuculan gelombang P dan kompleks QRS. (http://dokterpost.com/blok-
jantung-dasar-banget).

g. Tentukan Kompleks QRS


Yang perlu diperhatikan pada kompleks QRS adalah
1) Durasi kompleks QRS
Menunjukkan waktu depolarisasi ventrikel (total ventricular depolarization
time), diukur dari permulaan gelombang Q (atau permulaan R bila Q tak
tampak), sampai akhir gelombang S. Nilai normal durasi kompleks QRS
adalah 0,08-0,10 detik. V.A.T atau disebut juga intrinsic deflection ialah
waktu yang diperlukan bagi impuls melintasi miokardium atau dari
endokardium sampai epikardium, diukur dari awal gelombang Q sampai
puncak gelombang R. V.A.T tidak boleh lebih dari 0,03 detik pada V1dan V2,
dan tidak boleh lebih dari 0,05 pada V5 dan V6.
2) Gelombang Q patologis
Gelombang Q patologis merupakan tanda suatu infark miokard lama.
Karakteristik gelombang Q patologis yaitu lebarnya melebihi 0,04 detik dan
dalamnya melebihi sepertiga dari tinggi gelombang R pada kompleks QRS
yang sama. Karena gelombang Q patologis menunjukkan letak infark
miokard, maka untuk mendiagnosis infark miokard lama harus melihat
gelombang Q patologis sekurang-kurangnya pada dua lead yang
berhubungan. Contoh: diagnosis infark miokard lama inferior dapat
ditegakkan apabila ditemukan gelombang Q patologis pada lead II, III, dan
aVF.

3) Morfologi kompleks QRS


Morfologi kompleks QRS menunjukkan gambaran yang berbeda tergantung
lead/sadapan.Berikut ini variasi morfologi kompleks QRS normal di berbagai
lead.

Kelainan morfologi kompleks QRS yang paling sering adalah blok berkas his.
Blok berkas his dibedakan menjadi 2 macam, yaitu right bundle brach block
(RBBB) dan left bundle brach block (LBBB). Pada RBBB ditemukan gambaran
rSR di lead V1-V2, sedangkan pada LBBB ditemukan gambaran RSr di lead V5-
V6.

h. Segmen S-T
Segmen S-T disebut juga segmen Rs-T, ialah pengukuran waktu dari akhir
kompleks QRS sampai awal gelombang T. Ini menunjukkan waktu dimana kedua
ventrikel dalam keadaan aktif (excited state) sebelum dimulai repolarisasi. Titik
yang menunjukkan dimana kompleks QRS berakhir dan segmen S-T dimulai,
biasa disebut J point. Segmen S-T yang tidak isoelektrik (tidak sejajar dengan
segmen P-R atau garis dasar), naik atau turun sampai 2mm pada lead prekordial
dianggap tidak normal. Bila segmen ST naik disebut S-T elevasi dan bila turun
disebut S-T depresi, keduanya merupakan tanda penyakit jantung koroner.
Panjang segmen S-T normal antara 0,05-0,15 detik (interval ST).

i. Gelombang T
Gelombang T ialah suatu defleksi yang dihasilkan oleh proses repolarisasi
ventrikel jantung. Panjang gelombang T biasanya 0,10-0,25 detik. Pada EKG yang
normal maka gelombang T adalah sbb :
1) positif (upward) di lead I dan II; dan mendatar, bifasik atau negatif di lead III
2) negatif (inversi) di aVR; dan positif, negatif atau bifasik pada aVL atau aVF.
3) negatif (inversi) di V1;dan positif di V2 sampai V6

E. Aritmia Lethal
Aritmia adalah kondisi dimana jantung menjadi ireguler, terlalu cepat atau terlalu
lambat(1). Aritmia dapat menjadi kondisi yang dapat mengancam jiwa. Aritmia yang
menyebabkan kematian disebut dengan aritmia letal. Ada 4 aritmia letal yang harus
segera diberikan pertolongan yaitu asistol, pulseless electrical activity (PEA), takikardi
ventrikel tanpa nadi (pulseless VT - pVT) dan fibrilasi ventrikel (VF). Terdapat empat
jenis aritmia letal yang dibagi dalam dua kelompok besar yaitu aritmia letal dengan
irama yang shockable (artinya berespon terhadap tindakan defibrilasi) dan aritmia
letal yang non-shockable (artinya tidak berespon terhadap tindakan defibrilasi).
1. Irama yang shockable
Ventrikel Fibrilasi (VF) adalah aktivitas ventrikel yang kacau dan asinkron yang
menyebabkan tidak adanya curah jantung atau cardiac output. Ventrikel Fibrilasi
(VF) terjadi ketika ruang ventrikel jantung bergetar (fibrilasi) dan bukan memompa
karena adanya aktivitas listrik yang tidak terorganisir dalam ventrikel jantung. VF
menyebabkan terjadinya henti jantung dengan kehilangan kesadaran dan tidak ada
denyut nadi yang dihasilkan atau teraba.
Gambar. Ventrikel Fibrilasi

Takikardia ventrikel tanpa nadi (pVT) adalah takikardia reguler kompleks luas yang
terkait dengan tidak ada curah jantung yang terdeteksi secara klinis. Takikardia
ventrikel (VT) ini adalah jenis detak jantung yang teratur dan cepat yang muncul
dari aktivitas listrik yang tidak tepat berada di ventrikel jantung. Takikardia
ventrikel (VT) dapat menyebabkan henti jantung yang dikenal dengan takikardia
ventrikel tanpa nadi (pulseles VT - pVT)  dan dapat berubah menjadi fibrilasi
ventrikel (VF).

Gambar Ventrikel Takikardi

Kejutan (shock) dengan alat defibrillator harus diberikan segera sesuai dengan
algoritma pada kasus VF dan pVT. Berikan 1 kejutan (shock) dan segera lanjutkan
dengan resusitasi jantung paru (RJP) selama 2 menit setelah pemberian shock.

2. Irama yang non-shockable


Asistol ditandai dengan tidak adanya aktivitas listrik jantung. Asistol adalah tidak
adanya kontraksi ventrikel jantung. Pada kondisi asistol ini terjadi keadaan
penghentian total aktivitas listrik dari jantung, yang berarti tidak ada kontraksi dari
otot jantung dan oleh karena itu tidak ada aliran darah ke seluruh tubuh.
Gambar. Gambaran EKG asystole dan PEA

Pulseless Electrical Activity (PEA) (kadang-kadang disebut Electromechanical


Dissociation -EMD) adalah kehadiran irama elektrik terkoordinasi dengan tanpa
adanya curah jantung atau cardiac output(2). Pada kasus PEA ini, elektrokardiogram
(EKG) monitor menunjukkan irama jantung yang seharusnya menghasilkan nadi
(pulse), tetapi pada kenyataannya tidak ada nadi yang teraba (pulseless). Dalam
keadaan normal, aktivasi listrik sel otot jantung mendahului proses kontraksi
mekanis jantung (yang dikenal sebagai kopling elektromekanik). Dalam kasus PEA,
ada aktivitas listrik tetapi otot jantung tidak berkontraksi sehingga menyebabkan
tidak cukupnya curah jantung untuk menghasilkan nadi dan memasok darah ke
organ-organ tubuh.

Prognosis dalam kelompok irama non-shockable ini jauh kurang menguntungkan


daripada dengan irama VF / VT. Defibrilasi tidak diindikasikan pada irama yang
non-shockable ini dan penekanannya adalah pada RJP dan intervensi bantuan hidup
lanjut lainnya seperti pemasangan akses intravena, mempertimbangkan pemberian
jalan nafas yang definitif, administrasi obat-obatan dan pacu jantung.

F. Terapi defibrilasi (kardioversi)


1. Definisi
Terapi defibrilasi atau Kardioversi adalah tindakan elektif atau emergensi untuk
mengobati takiaritrmia dengan cara diberikan aliran listrik, biasanya dengan
energi yang rendah dan disinkronkan dengan gelombang R, maksudnya aliran
listrik kejut diberikan pada puncak gelombang R. Kardioversi dilakukan dengan
direct current counter shock (DC Shock) yang synchronized, menggunakan alat
defibrilator. Alat ini sangat penting dalam life saving. Saking pentingnya alat ini
bahkan menjadi syarat sebuah bandara dapat dikatakan punya standar
Internasional.

2. Dasar Mekanisme Kerja Kardioversi


Pada kardioversi, aliran listrik diberikan ke miokardium saat puncak gelombang
R. Ini penting dipahami, karena ketika aliran listrik kejut diberikan bukan pada
puncak gelombang R, misalnya pada saat ST, justru pasien malah berpotensi
mengalami komplikasi aritmia. Mengapa saat puncak gelombang R? Karena QRS
adalah gambaran depolarisasi Ventrikel. Aliran listrik yang diberikan pada
puncak gelombang R akan menyebabkan terjadinya depolarisasi seluruh
miokardium, sehingga masa refrakter memanjang, sehingga dapat menghambat
dan menghentikan terjadinya re-entry, dan memungkinkan SA Node mengambil
alih irama jantung menjadi irama sinus.
3. Kardioversi Pada Pasien Henti Jantung di IGD
Salah satu aplikasi populer DC Shock di IGD adalah ketika menangani pasien
henti jantung. Henti jantung adalah kondisi gawat darurat yang membutuhkan
penanganan segera, tidak dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
mendetail sebelum kondisi pasien stabil. Coba perhatikan algoritma tatalaksana
henti jantung di bawah ini.
Coba perhatikan, apa yang harus kamu lakukan pada pasien henti jantung setelah
melakukan RJP dan memberikan oksigen? Memasang monitor defibrilator. Tujuannya
untuk mengevaluasi apakah gangguan iramanya shockable atau non-shockable.
Misalnya kamu dapat pasien VT/VF, tatalaksana pasien sesnuai dengan algoritma di
atas. Penatalaksanaan fibrilasi ventrikel (VF) atau ventrikel takikardia (VT) harus cepat
dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku, meliputi defibrilasi sesegera
mungkin, diikuti resusitasi jantung paru (RJP), dengan pemberian obat-obatan
epinefrin, vasopresin dan amiodaron.
Penanganan utama ketika mendapatkan pasien dengan fibrilasi ventrikel adalah
melakukan defibrilasi. Defibrilasi non-synchronized menggunakan energi 360 Joule
gelombang monofasik atau 120-200 Joule gelombang bifasik. Setelah dilakukan
defibrilasi, segera lakukan RJP sebanyak 5 sikulus. Satu siklus terdiri dari 30 kompresi
dada:2 ventilasi (30:2). RJP dilakukan jika pada pasien belum dipasang advanced
airway (ETT). Jika pada pasien telah terpasang ETT, ventilasi diberikan 8-10 kali/menit
sambil terus melakukan kompresi dada 100 kali/menit.
Pada VF, shock listrik menyebabkan hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi
dapat dihentikan dan jantung dapat kembali ke irama sinus. Kardioversi elektrik paling
efektif dalam menghentikan takikardia karena re-entry, misalnya Fluter atrial, Fibrilasi
atrial, Takikardia nodal AV, Reciprocating tachycardia karena sindrom Wolff Parkinson
Wite (WPW), Takikardia ventrikel. Oh ya, mungkin sebagian dari kamu belum paham
istilah re-entry. Sederhananya re-entry itu begini, kan jalur konduksi normal jantung
dimulai dari SA node => AV node => Bundle His => Berkas Purkinje
Nah, kalau terjadi infark misalnya dari SA node ke AV node, maka AV node ini bisa
menghasilkan konduksi litrik untuk di alirkan ke Bundle his sampai Berkas Purkinje.
Namun, konduksi SA node ke AV Node putus, nggak ada konduksi. Nah, setelah infark
membaik kan SA node akhirnya bisa kembali ngasih konduksi ke AV node, sayangnya
AV node tidak mau berhenti menghasilkan listrik juga. Jadi ada dua dirijen, SA Node
dan AV Node, betul? Akibatnya terjadilah gerakan jantung yang tidak ritmis, atau kita
sebut sebagai aritmia.
Takiaritmia dapat juga terjadi karena pembentukan impuls (automaticity) yang
bertambah seperti pada kelainan parasistol atau takikardia ideoventrikular. Gangguan
irama seperti itu tidak perlu dilakukan kardioversi listrik karena akan kembali lagi
dalam waktu singkat.
4. Indikasi Kardioversi
a. Fibrilasi ventrikel
b. Takikardia ventrikel, bila pengobatan medika-mentosa yang adekuat tidak berhasil
menghenti-kan takikardia tersebut atau pasien dengan keadaan hemodinamik yang
buruk.
c. Takikardia supraventrikular yang tidak bisa dihentikan dengan pemberian obat-
obatan atau keadaan hemodinamik yang buruk
d. Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan.
e. Fluter atial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan obat-obatan.
5. Langkah-langkah Persiapan Kardioversi
Pada henti jantung (cardiac arrest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan
200-400 Joule. Paddle pertama diberi jelly secukupnya dan diletakkan di dada bagian
depan sedikit sebelah kanan sternum di sela iga III, paddle kedua setelah diberi jelly
diletakkan di sebelah kiri apeks kordis. Alat defibrilator dinyalakan dan dipilih tingkat
energi yang ditentukan, alat untuk sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu
kedua paddle diberi tekanan yang cukup dan alat dinyalakan dengan energi yang
dibutuhkan, misalnya untuk fibrilasi ventrikel diberikan energi 200 Joule. Bila belum
berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule sampai 400 Joule. Pasien yang menderita cardiac
arrest paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai awal tindakan resusitasi.

Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%, tergantung tipe


takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan irama timbul lagi kurang dan 12 bulan.
Oleh karena itu mempertahankan irama sinus perlu dilakukan dengan memperbaiki
kelainan jantung yang ada dan memberikan obat anti-aritmia yang sesuai. Bila irama
sinus sudah kembali maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsional akan
menjadi lebih baik.
6. Komplikasi Kardioversi
Salah satu komplikasi kardioversi yang umum adalah aritmia. Aritmia dapat timbul
sesudah kardioversi secara listrik, karena sinkronisasi terhadap gelombang R tidak
cukup sehingga shock listrik terjadi pada segmen ST atau gelombang T dan dapat
menimbulkan fibrilasi ventrikel. Kalau kamu menemui kondisi ini, kamu dapat
melakukan DC countershock sekali lagi. Selain itu komplikasi lain yang dapat timbul
adalah bradiaritmia atau asistol, sehingga di IGD perlu disiapkan obat atropin dan pacu
jantung sementara.

Komplikasi thromboemboli dilaporkan terjadi 1-3% pada pasien fibrilasi atrial kronik
yang dikonversi menjadi irama sinus. Sehingga, pada pasien dengan fibrilasi atrial yang
sudah lebih dari 23 hari sebaiknya diberi antikoagulan selama 2 minggu sebelum
dilakukan tindakan kardioversi. Hal ini terutama untuk pasien dengan stenosis mitral
dengan atrium kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.

SOAL
1. Seorang laki-laki berusia 60 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan nyeri dada. Saat
dilakukan perekaman EKG, hasil rekaman tidak jelas.  Apakah tindakan selanjutnya
yang tepat pada kasus?
a. Mengganti kertas  EKG 
b. Memeriksa mesin rekam EKG
c. Menambah jelly pada elektroda
d. Mengatur ulang posisi elektroda
e. Mengurangi jelly dengan tissue
2. Seorang laki-laki berusia 55 tahun dibawa ke UGD karena penurunan kesadaran.
Perawat melakukan pengkajian primer dan memasangkan heart monitor. Tanda-tanda
vital TD: 43/22 mmHg, frekeunsi nadi 44 x/menit, frekuensi napas 13 x/menit, SpO2
85%. Setelah 10 menit, pasien apnue dan irama EKG ventreikel takikardi nadi karotis
tidak teraba. Apakah prioritas penatalaksanaan kegawatdaruratan pada kasus
tersebut?
a. Membuka jalan napas dengan tehnik jaw trust dan melakukan bagging
b. Pemberia terapi drip dobutamin melalui syringe pump 1,2 ml/jam
c. Penyadapan EKG untuk menentukan irama jantung yang akurat
d. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi 200 joule
e. Kardioversi dengan energy 100 joule
3. Seorang laki-laki usia 54 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan nyeri di dada kiri.
Pasien dilakukan EKG dan hasilnya menunjukkan ST elevasi di V1-V4. Berdasarkan
hasil EKG, dibagian jantung manakah terjadinya infark?
a. Inferior septal
b. Lateral Septal
c. Anterior septal
d. Anterior lateral
e. Inferior lateral
4. Seorang laki-laki berusia 35 tahun dibawa ke IGD oleh keluarga karena nyeri dada
hebat dan sesak napas. Perawat melakukan pemeriksaan EKG, hasilnya seperti gambar
berikut:

Apakah interpretasi gambaran EKG tersebut?


a. Ventrikel takikardia
b. Ventrikel fibrilasi
c. Ventrikel ekstrasistol
d. Atrium takikardia
e. Atrium fibrilasi
5. Seorang perawat yang melakukan visite keperawatan menemukan pasien dalam
kondisi tidak sadar serta tidak berespon terhadap suara dan nyeri. Monitoring EKG
menunjukkan pasien mengalami Pulseless Electrical Activity (PEA). Apakah prioritas
tindakan yang harus dilakukan perawat?
a. Melakukan resusitasi jantung paru
b. Menyiapkan pemasangan pacemaker
c. Mempersiapkan DC shock untuk defibrilasi
d. Mempersiapkan DC shock untuk kardioversi
e. Menyiapkan pasien untuk prosedur angioplasty

Referensi
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi Indonesia Pertama,
Singapura: Elsevier
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds). Philadelphia:
WB Saunders Company
AHA Guideline 2015
Thaler, M. (2016) Satu-satunya Buku EKG Yang Anda Perlukan (Edisi 7). Jakarta: EGC.
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA
PASIEN DENGAN GAGAL NAPAS AKUT

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan asuhan
keperawatan gawat darurat pada kasus gangguan sistem pernapasan.

KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah mengikuti pembelajaran pada modul ini, Mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan gagal napas akut.

POKOK BAHASAN :
Asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan gagal napas akut

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang definisi, etiologi, patofisiologi, dan manifestasi klinis gagal
napas akut. Manajemen Keperawatan dan kolaboratif pasien dengan gagal napas yang
berfokus pada intervensi untuk mempertahankan oksigenasi dan ventilasi yang memadai
sambil mengatasi penyebab yang mendasarinya.

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI
1. Definisi
Fungsi utama paru adalah sebagai tempat pertukaran udara di mana peristiwa ventilasi
dan perfusi aliran darah terjadi (Oksigen dari udara luar dengan karbodioksida hasil
metablolisme tubuh). Untuk mengaktifkan pertukaran gas, alveoli disuplai dengan udara
melalui saluran udara dan darah vena melalui jantung kanan. Posisi gas dan darah harus
berada dalam kondisi berdekatan satu sama lain untuk menjamin terjadinya pertukaran
gas, walaupun secara fisik benar-benar terpisah. Pemisahan ini dilakukan melalui barier
pemisah darah dan gas berupa sel pemisah tipis (sekitar 0,3 μm) dan matriks
pendukung. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi sepanjang barier dengan
cara difusi yang memanfaatkan gradien tekanan parsial antara gas alveolar dan kapiler
darah (Laitupa & Amin, 2016).
Gambar 1. Pertukaran O2 dan CO2 di alveoli

Pada prinsipnya, kerja sistem pernapasan terdiri atas dua hal, yaitu: peredaran oksigen
dari paru ke darah untuk didistribusikan ke seluruh tubuh dan pengambilan
karbondioksida dari darah ke paru untuk kemudian dibuang. Apabila salah satu dari
sistem kerja ini terganggu, maka dapat memicu terjadinya gagal napas. Gagal napas
didefinisikan sebagai kegagalan tubuh dalam memenuhi kebutuhan oksigen dan atau
membuang karbondioksida. Gangguan pada pemenuhan O 2 menyebabkan hipoksemia.
Hal ini menyebabkan penurunan O2 arteri (PaO2) dan saturasi (SaO2). Gangguan pada
pembuangan CO2 menyebabkan hiperkapnia. Hal ini menyebabkan peningkatan CO 2
arteri (PaCO2).
Gagal napas bukanlah penyakit tetapi merupakan gejala dari kondisi patologis yang
mempengaruhi fungsi paru, pengangkutan O2 dan CO2 serta curah jantung (CO). Kondisi
ini terjadi karena satu atau lebih penyakit yang melibatkan fungsi paru-paru atau sistem
tubuh lainnya. Gagal napas diklasifikasikan sebagai hipoksemia atau hiperkapnia. Gagal
napas hipoksemia juga disebut sebagai kegagalan oksigenasi, masalah utamanya adalah
kegagalan difusi oksigen dari alveolus ke kapiler paru. Gagal napas hipoksemia (tipe I)
umumnya didefinisikan sebagai PaO2 kurang dari 60mmHg ketika Pasien telah
mendapatkan oksigenasi dengan fraksi oksigen (FiO2) minimal 0.60 yaitu sekitar tiga
kali lipat di udara sekitar (21%).

Gambar. Klasifikasi gagal napas


Gagal napas hiperkapnia (Tipe II) juga disebut sebagai kegagalan ventilasi karena
masalah utamanya adalah pembuangan CO 2 yang tidak memadai. Gagal napas
hiperkapnia umumnya didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar dari 45mmHg dalam
kombinasi dengan acidemia (pH arteri kurang dari 7,35). Definisi ini menggabungkan
tiga konsep penting: (1) PaCO2 lebih tinggi dari normal, (2) ada bukti ketidakmampuan
tubuh untuk mengkompensasi peningkatan asam darah (asidemia), dan (3) pH berada
pada tingkat di mana penurunan lebih lanjut dapat menyebabkan ketidakseimbangan
asam-basa yang parah.

Kebutuhan Oksigen Jaringan


Ingatlah bahwa meskipun PaO2 dan PaCO2 menentukan definisi gagal napas, penyebab
utama gagal napas adalah ketidakmampuan paru untuk memenuhi kebutuhan O 2
jaringan. Kegagalan ini dapat terjadi karena pengiriman O 2 yang tidak adekuat ke
jaringan atau karena jaringan tidak dapat menggunakan O 2 yang dikirim ke jaringan
tersebut. Hal ini juga dapat terjadi akibat dari respon stres dan peningkatan konsumsi O 2
jaringan.

Pengangkutan O2 ke jaringan ditentukan oleh curah jantung dan jumlah O 2 yang dibawa
oleh hemoglobin. Oleh karena itu, pasien gagal napas dengan masalah jantung dan
anemia memiliki prognosis yang lebih buruk. Kegagalan penggunaan O 2 paling sering
terjadi pada syok septik. O2 adekuat dapat dikirim ke jaringan, tetapi ada gangguan
ekstraksi O2 atau keterbatasan difusi pada tingkat sel sehingga jumlah O 2 yang kembali
ke darah vena secara abnormal tinggi karena tidak digunakan pada tingkat jaringan.
Perubahan asam basa (misalnya alkalosis, asidosis) juga dapat mengganggu
Pengangkutan O2 ke jaringan perifer.

2. Penyebab
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada, otot
pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata.
Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas, disfungsi dari jantung,
sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen hemoglobin dan disfungsi kapiler
sistemik mempunyai peran penting pada gagal nafas. Berikut penyebab gagal napas:

Tabel 1. Penyebab Gagal Napas

Gagal Nafas Hipoksemia (tipe I) Gagal Nafas Hiperkapnia (Tipe II)


Sistem pernapasan Sistem pernapasan
 Acute respiratory distress syndrome  Asma
 Pneumonia  PPOK
 Inhalasi beracun (mis., Inhalasi asap)  Cystic fibrosis
 Sindrom hepatopulmoner (misalnya, Sistem syaraf pusat
status aliran resistansi rendah,  Cedera atau infark batang otak
ketidakcocokan V/Q)  Overdosis obat penenang dan opioid
 Emboli paru masif (mis., emboli  Cedera tulang belakang
trombus, emboli lemak)  Cedera kepala berat
 Laserasi dan perdarahan arteri Kelainan Dinding dada
pulmonalis  Trauma toraks (mis., flail chest)
 Inflamasi dan cedera alveolar  Kifoskoliosis
 Nyeri
Sistem Jantung  Obesitas parah
 Shunt anatomis (mis., Defek septum
ventrikel) Sistem Neuromuskular
 Edema paru kardiogenik  Myasthenia gravis
 Syok (penurunan aliran darah  Miopati akut
melalui pembuluh darah paru)  Paparan atau konsumsi racun
 Curah jantung tinggi: keterbatasan (misalnya, tembakau pohon,
difusi penghambat asetilkolinesterase,
keracunan karbamat atau
organofosfat)
 Sklerosis lateral amiotrofik
 Cedera saraf frenikus
 Sindrom Guillain-Barré
 Poliomielitis
 Distrofi otot
 Multiple sclerosis

3. Etiologi dan Patofisiologi


a. Gagal nafas Tipe I/Hipoksemia
Empat mekanisme fisiologis yang menyebabkan hipoksemia dan gagal napas
hipoksemia adalah ketidaksesuaian ventilasi dan perfusi, right-to-left shunt,
hipoventilasi alveolar dan gangguan difusi.
1) Ketidaksesuaian Ventilasi-Perfusi (V/Q mismatch)
Paru normal memiliki rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) pada nilai tertentu.
Kelainan pada jalan napas, parenkim paru, dan sirkulasi paru akan
mempengaruhi rasio ventilasi dan perfusi sehingga dapat menyebabkan sesak
napas hingga gagal napas pada keadaan berat. Secara garis besar, terdapat
empat gambaran klinis paru berdasarkan rasio ventilasi dan perfusi.
a) Keadaan normal dengan rasio ventilasi dan perfusi seimbang
b) Keadaan dead space, yaitu ventilasi normal, namun perfusi berkurang
sehingga rasio V/Q meningkat. Dampaknya, tidak terjadi pertukaran gas pada
area ini dan udara yang di ventilasi menjadi sia-sia
c) Keadaan shunt, yaitu terjadi penurunan ventilasi namun perfusi normal atau
tidak menurun separah ventilasi sehingga rasio V/Q menurun. Dampaknya
adalah sirkulasi yang melalui area ini tidak mendapatkan oksigenasi yang
adekuat dan menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia. Pada kerusakan
paru luas seperti pada tuberkulosis paru, area shunt dapat menjadi banyak
dan menyebabkan hipoksemia yang bermakna pada pasien
d) Silent unit, merupakan segmen paru yang tidak mendapatkan ventilasi dan
perfusi
Penyebab utama dari gagal napas hipoksemik adalah ketidakseimbangan V/Q.
Beberapa penyebab ketidakseimbangan ini misalnya emboli paru, obstruksi
jalan napas, pneumonia, atelektasis. Hipoksemia pada keadaan-keadaan ini
umumnya dapat dikoreksi sementara dengan bantuan terapi oksigen dan
ventilasi mekanik. Terapi O2 saja seringkali tidak efektif dalam meningkatkan
PaO2 jika hipoksemia disebabkan oleh shunt. Pasien dengan shunt biasanya
lebih hipoksemia daripada pasien dengan V/Q mismatch. Mereka sering
membutuhkan ventilasi mekanis dan fraksi O2 (FiO2) inspirasi yang tinggi untuk
meningkatkan pertukaran gas.

Gambar Rentang hubungan ventilasi-ke-perfusi (V/Q). (A) Shunt, tidak ada ventilasi
karena cairan mengisi alveoli. (B) V/Q mismatch, ventilasi sebagian terganggu
oleh sekresi di jalan napas. (C) paru-paru normal. (D) V/Q mismatch,
perfusi sebagian terganggu oleh emboli yang menghalangi
aliran darah. (E) dead space, tidak ada perfusi karena
obstruksi kapiler paru.

2) Right-To-Left Shunt
Pirau dari kanan ke kiri atau right-to-left shunt terjadi akibat sirkulasi paru
(sirkulasi kanan) yang langsung masuk ke sirkulasi sistemik (sirkulasi kiri)
tanpa melewati alveolus sehingga darah tidak mengalami oksigenasi. Semakin
besar aliran pada pirau ini, maka akan semakin berat hipoksemia yang terjadi.
Keadaan hipoksemia pada kasus ini tidak dapat dikoreksi dengan suplementasi
oksigen. Terapi harus dengan koreksi langsung penyebab adanya pirau.
3) Hipoventilasi Alveolus
Hipoventilasi alveolar adalah penurunan umum ventilasi yang menghasilkan
peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar dapat
disebabkan oleh penyakit paru restriktif, penyakit sistem saraf pusat (SSP),
disfungsi dinding dada, asma akut, atau penyakit neuromuskular.
4) Gangguan Difusi
Gangguan difusi terjadi ketika pertukaran gas di membran alveolar-kapiler
terganggu oleh proses rusaknya membran, adanya penghalang serta penebalan
yang mempengaruhi aliran darah melalui kapiler paru. Keterbatasan difusi
diperburuk oleh keadaan penyakit yang mempengaruhi pembuluh darah paru
seperti PPOK berat atau emboli paru. Beberapa keadaan penyakit yang
menyebabkan membran alveolar-kapiler menjadi lebih tebal (fibrotik),
memperlambat transportasi gas termasuk fibrosis paru, penyakit paru
interstisial, dan ARDS. Pada keadaan seperti edema paru akut, terjadi gangguan
pertukaran gas alveolus dengan sirkulasi paru. Gangguan seperti ini terutama
mempengaruhi pertukaran oksigen. Karbondioksida memiliki kelarutan di air
yang besar sehingga tidak menerima dampak sebesar oksigen.
Tanda klasik dari keterbatasan difusi adalah hipoksemia yang terjadi selama
aktifitas tetapi tidak pada saat istirahat. Selama aktifitas, darah bergerak lebih
cepat melalui paru-paru sehingga mengurangi waktu untuk difusi O 2.

Gambar. Keterbatasan difusi. Pertukaran CO2 dan O2 tidak dapat terjadi


karena penebalan membran alveolus-kapiler

Seringkali, gagal napas hipoksemia disebabkan oleh kombinasi dari dua atau lebih
hal berikut: V/Q mismatch, shunt, keterbatasan difusi, dan hipoventilasi alveolar.
Misalnya, pasien dengan gagal napas akut akibat pneumonia mungkin memiliki
kombinasi V/Q mismatch dan shunt. Pada kasus ini, inflamasi, edema, dan
hipersekresi eksudat di dalam bronkiolus dan alveolus menyumbat saluran udara
(V/Q mismatch) dan mengisi alveoli dengan eksudat (shunt). Faktor tambahan yang
berkontribusi terhadap kegagalan pernapasan hipoksemia termasuk peningkatan
kebutuhan O2 seperti dengan kecemasan atau nyeri hebat.
b. Gagal napas tipe II/ Hiperkapnia
Gagal napas hiperkapnia terjadi karena ketidakseimbangan antara suplai ventilasi
dan kebutuhan ventilasi. Suplai ventilasi adalah ventilasi maksimum (aliran udara
yang masuk dan keluar dari paru-paru) yang dapat dipertahankan pasien tanpa
mengalami kelelahan otot pernapasan. Kebutuhan ventilasi adalah jumlah ventilasi
yang dibutuhkan untuk menjaga PaCO2 dalam batas normal. Biasanya, suplai
ventilasi jauh melebihi kebutuhan ventilasi. Oleh karena itu orang dengan fungsi
paru-paru normal dapat melakukan olahraga berat, yang sangat meningkatkan
produksi CO2 tanpa peningkatan PaCO2. Pasien dengan penyakit paru-paru seperti
PPOK berat tidak dapat secara efektif meningkatkan ventilasi paru sebagai respons
terhadap olahraga atau kebutuhan metabolik.

Hiperkapnia terjadi ketika kebutuhan ventilasi melebihi suplai ventilasi dan PaCO2
tidak dapat dipertahankan dalam batas normal. Hiperkapnia mencerminkan
disfungsi paru yang substansial. Gagal napas hiperkapnia disebut juga kegagalan
ventilasi karena masalah utama adalah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mengeluarkan CO2 secara adekuat untuk mempertahankan PaCO2 normal.

Banyak penyakit yang dapat menyebabkan keterbatasan suplai ventilasi. Penyakit ini
dapat dikelompokkan menjadi empat kategori: (1) Abromalitas jalan napas dan
alveoli, (2) kelainan SSP, (3) kelainan dinding dada, dan (4) kondisi neuromuskular.
1) Abnormalitas jalan napas dan Alveoli.
Pasien dengan asma, PPOK, dan fibrosis kistik memiliki risiko tinggi untuk gagal
napas hiperkapnia karena patofisiologi yang mendasari kondisi ini
mengakibatkan obstruksi aliran udara dan terperangkapnya udara. Pada
akhirnya kelelahan otot pernapasan dan kegagalan ventilasi terjadi karena
kelebihan beban kerja paru yang diperlukan untuk menginspirasi volume tidal
yang memadai terhadap peningkatan resistensi jalan napas dan udara yang
terperangkap di dalam alveoli.
2) Kelainan Sistem Saraf Pusat.
Berbagai permasalahan pada system saraf pusat (SSP) dapat menekan fungsi
pernapasan. Contohnya adalah overdosis obat depresan pernapasan (misalnya,
opioid, benzodiazepin). Overdosis Depresan menurunkan reaktivitas CO 2 di
batang otak. Hal ini memungkinkan kadar CO 2 arteri meningkat. Infark batang
otak atau cedera kepala berat juga dapat mengganggu fungsi normal pusat
pernapasan di medula. Pasien dengan kondisi ini berisiko mengalami gagal napas
karena medula tidak mengubah laju pernapasan sebagai respons terhadap
perubahan PaCO2. Disfungsi SSP juga dapat mencakup cedera sumsum tulang
belakang yang membatasi suplai saraf ke otot-otot pernapasan dinding dada dan
diafragma. Terlepas dari disfungsi batang otak langsung, cedera otak metabolik
atau struktural yang mengakibatkan penurunan atau hilangnya kesadaran dapat
mengganggu kemampuan pasien untuk mengelola sekresi atau melindungi jalan
napasnya secara adekuat.
3) Kelainan Dinding Dada.
Beberapa kondisi menyebabkan terbatasnya pergerakan normal dinding dada
dan membatasi ekspansi paru. Pada pasien dengan flail chest yang menyebabkan
tulang rusuk tidak mengembang secara normal karena nyeri, restriksi mekanis,
dan spasme otot. Pada pasien dengan kyphoscoliosis, perubahan konfigurasi
tulang belakang menekan paru-paru dan mencegah ekspansi normal dinding
dada. Pada pasien dengan obesitas berat, berat dada dan isi perut dapat
membatasi ekspansi paru. Kondisi ini menempatkan pasien pada risiko gagal
napas karena membatasi ekspansi paru atau gerakan diafragma dan akibatnya
pertukaran gas.
4) Kondisi Neuromuskular.
Berbagai jenis penyakit neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan atau
kelumpuhan otot pernapasan. Misalnya, pasien dengan sindrom Guillain-Barré,
distrofi otot, miastenia gravis (eksaserbasi akut), atau sklerosis multipel berisiko
mengalami gagal napas karena otot pernapasan melemah atau lumpuh akibat
kondisi neuromuskular yang mendasarinya. Oleh karena itu mereka tidak dapat
mempertahankan kadar PaCO2 normal

Ringkasnya, gagal napas dapat terjadi pada tiga kategori ini (SSP, dinding dada,
kondisi neuromuskular) meskipun paru-parunya normal. Gagal napas terjadi karena
medula, dinding dada, saraf tepi, atau otot pernapasan tidak berfungsi secara
normal. Pasien mungkin tidak mengalami kerusakan pada jaringan paru-paru tetapi
tidak adekuat utuk mengeluarkan CO2 dari paru-paru.

4. Manifestasi Klinis
Gagal napas dapat terjadi secara tiba-tiba (menit atau jam) atau bertahap (beberapa hari
atau lebih lama). Penurunan PaO 2 yang tiba-tiba atau peningkatan PaCO2 yang cepat
menggambarkan kondisi serius yang dengan cepat dapat menjadi keadaan darurat yang
mengancam jiwa. Contohnya adalah pasien asma yang mengalami bronkospasme berat
dan penurunan aliran udara yang cepat mengakibatkan kelelahan otot pernapasan,
acidemia, dan gagal napas.

Perubahan PaO2 dan PaCO2 secara bertahap lebih dapat ditoleransi karena kompensasi
dapat terjadi. Contohnya adalah pasien dengan PPOK yang mengalami peningkatan
progresif PaCO2 selama beberapa hari setelah infeksi saluran pernapasan. Karena
perubahan terjadi selama beberapa hari, ada waktu bagi ginjal untuk mengkompensasi
(misalnya, retensi bikarbonat), yang meminimalkan perubahan pH arteri. Pasien akan
mengalami asidosis respiratorik terkompensasi.

Manifestasi gagal napas berhubungan dengan perubahan PaO 2 atau PaCO2, kecepatan
perubahan (akut versus kronis), dan kemampuan pasien untuk mengkompensasi
perubahan ini. Ketika mekanisme kompensasi pasien gagal, terjadi kegagalan
pernapasan. Karena manifestasi klinis bervariasi, penting untuk mengobservasi hasil
analisis gas darah, oksimetri nadi, dan hasil pengkajian lainnya untuk mengevaluasi
tingkat perubahan. Seringkali, indikasi pertama gagal napas adalah perubahan status
mental pasien. Perubahan status mental sering terjadi lebih awal, sebelum hasil analisis
gas darah diperoleh. Hal ini karena otak sangat sensitif terhadap perubahan kadar O 2
dan CO2 serta keseimbangan asam basa. Kegelisahan, kebingungan, agitasi, dan perilaku
agresif menunjukkan pengakutan O2 yang tidak adekuat ke otak dan harus dikaji lebih
lanjut.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan gas-gas darah arteri
b. Pemeriksaan rontgen dada Melihat keadaan patologik atau kemajuan proses
penyakit yang tidak diketahui
c. Hemodinamik
d. EKG Mungkin memperlihatkan bukti regangan-regangan jantung disis kanan dan
disritmia
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan gagal napas akut bervariasi tergantung pada penyebab
dan jenis kegagalan. Penatalaksanaan harus berdasarkan pada penyebabnya. Tujuan
terapeutik harus fokus pada pencegahan kerusakan sel akibat hipoksia, mencegah
asidosis akibat hiperkapnu, dan menghilangkan gejala dan distress pada pasien.

Pada keadaan gawat darurat, penatalaksanaan gagal napas yang penting adalah deteksi
dini keadaan gagal napas, manajemen jalan napas, dan oksigenasi. Berikut adalah
strategi umum penatalaksanaan pasien dengan gagal napas.
 Kenali dini kondisi gagal napas atau ancaman gagal napas
 Bila sudah menemukan, pertama-tama pastikan jalan napas paten.
 Pertimbangkan kemungkinan intubasi
 Sambil melakukan terapi, ambil sampel analisis gas darah, sebaiknya sebelum terapi
oksigen diberikan bila kondisi memungkinkan.
 Koreksi hipoksemia dengan terapi oksigen
 Lakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mencari penyebab gagal napas dan
penyakit penyerta lain yang dapat memperberat keadaan pasien
 Terapi spesifik sesuai etiologi : misalnya antibiotik pada pneumonia, bronkodilator
pada asma, pemasangan chest tube pada pneumothoraks
 Observasi ketat tanda vital
 Rawat intensif bila terdapat indikasi dan memenuhi kriteria rawat
(https://www.alomedika.com/penyakit/icu/gagal-napas/penatalaksanaan)

a. Terapi Oksigen
Indikasi terapi oksigen adalah :
1) Hipoksemia yang nyata
2) Distress napas
3) Hipotensi
4) Trauma
5) Infark miokard dengan hipoksemia
Pertimbangkan beratnya hipoksemia dan pernapasan pasien. Pada distres napas
ringan atau sedang, dapat memulai terapi oksigen dengan aliran rendah
(menggunakan nasal cannula atau simple mask). Pada distres napas berat, boleh
langsung memberikan aliran oksigen yang banyak dengan nonrebreathing mask,
pertimbangkan intubasi endotrakeal. Umumnya target minimal terapi adalah
tekanan parsial oksigen di atas 60 mmHg atau saturasi di atas 90%. Bila belum
mencapai target tersebut, boleh mengganti terapi oksigen ke fraksi yang lebih tinggi
secara perlahan hingga target tercapai.
Pada pasien gagal napas kronis, pemberian terapi oksigen dengan sangat hati hati
karena umumnya pasien telah mengalami hipoksia dan hiperkapnia kronis. Pada
keadaan ini, hipoksia menjadi respiratory drive pasien. Apabila memberikan oksigen
dengan dosis tinggi secara tiba-tiba, pasien berisiko mengalami depresi napas
dengan gejala hipoventilasi alveolar sehingga memperparah retensi karbondioksida.

Gambar. Metode pemberian oksigen pada gagal napas


Pemilihan cara pemberian oksigen pada gagal napas harus berdasarkan
penyebabnya. Misalnya, pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome,
oksigenasi menggunakan terapi oksigen simpleks tidak akan adekuat karena
dibutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Pada gagal napas tipe 2 dimana fungsi paru
sebelumnya adalah normal, ventilasi alveolar menjadi inadekuat sehingga
dibutuhkan bantuan ventilasi. Berbeda dengan pasien yang sebelumnya menderita
kelainan paru, seperti pada PPOK, terapi oksigen terkontrol sangat dibutuhkan
sehingga penggunaan ventilator sebaiknya dihindari.
b. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik dipertimbangkan pada distres napas disertai keadaan seperti :
 Stridor
 Apnea
 Penurunan kesadaran
 Flail chest
 Kelainan neuromuscular
 Trauma pada mandibula dan jalan napas
 Hipoksemia refrakter setelah pemberian terapi oksigen.
Ventilasi mekanik dapat diberikan melaluI CPAP dan BiPAP. Perbedaan
mendasar antara keduanya adalah BiPAP memiliki dua pengaturan tekanan,
yaitu pengaturan tekanan untuk inhalasi (Inhalation Positive Airway
Pressure/iPAP) dan pengaturan tekanan ekspirasi (Exhalation Positive Airway
Pressure/ePAP). BiPAP dapat mengendalikan seberapa banyak udara yang
masuk dan dikeluarkan dari paru. Pertimbangan dalam pemilihan
pengaturan setting ventilator adalah 3T, yaitu :
Target/Limit: Merupakan batasan dalam pemberian udara untuk inspirasi.
Target dapat berupa volume, maupun tekanan
Trigger: Pencetus siklus napas. Bisa menggunakan timer (inisiasi napas oleh
ventilator) atau usaha napas dari pasien (inisiasi napas oleh pasien),
Termination/Cycle: Terminasi inspirasi dan perpindahan ke ekspirasi dapat
berdasarkan volume, waktu, tekanan, maupun aliran udara.
Kelemahan ventilator yang patut diwaspadai antara lain:
 Stres bagi pasien dan keluarga
 Higiene saluran napas sulit dijaga
 Tidak nyaman bagi pasien
 Dapat menyebabkan distensi lambung
 Hipoksemia muncul kembali segera saat dilepas
 Harus diawasi dengan ketat
 Salah pengaturan mode ventilasi dapat menyebabkan komplikasi, misalnya
barotrauma
 Peningkatan tekanan intratorakal dapat menurunkan curah jantung
 Dapat menyebabkan infeksi nosocomial.

c. Terapi obat
1) Obat bronkodilator menyebabkan relaksasi otot polos di saluran udara sehingga
melancarkan aliran oksigen ke paru-paru. Bronkodilator dapat diberikan melalui
berbagai rute, khususnya dihirup dalam bentuk semprotan aerosol atau
nebuliser.
2) Bronkodilator inhalasi merupakan komponen penting dalam pengobatan asma
dan penyakit saluran napas obstruktif. Pengukuran laju aliran ekspirasi puncak
sebelum dan sesudah pemberian biasanya dilakukan untuk menilai efektivitas
pengobatan. Obat lain terutama obat anti inflamasi seperti steroid – mungkin
diperlukan.
3) Terapi antimikroba, antivirus atau antijamur biasanya diberikan jika penyebab
gagal napas diindiksikan berasal dari infeksi. Obat ini dapat diberikan dengan
menggunakan berbagai rute dan periode waktu.

7. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
1) Airway
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi napas snoring, gurgling, stridor
2) Breathing
1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/ bradipneu,
retraksi.
2) Menggunakan otot aksesori pernapasan
3) Kesulitan bernapas : lapar udara, diaforesis, sianosis.
3) Circulation
1) Penururnan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Penurunan haluaran urin
4) Disability
a) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau, mental, mengantuk
b) Pupil edema

Focus pengkajian sekunder adalah anamnesa riwayat penyakit atau mekanisme


trauma, pengkajian fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyebab
gagal nafas serta pertimbangan dalam memberikan intervensi.

b. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan gagal
napas adalah:
1) Gangguan pertukaran gas
2) Bersihan jalan nafas tidak efektif
3) Pola nafas tidak efektif
4) Gangguan ventilasi mekanik

c. Intervensi Keperawatan
1) Diagnosa: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan hipoventilasi alveolar,
shunting intrapulmonal, ketidakcocokan V/Q, dan gangguan difusi yang
dibuktikan dengan hipoksemia dan/atau hiperkapnia.
Outcome: Pertukaran Gas Meningkat (L.01002) yang ditunjukan dengan nilai
AGDA dalam batas normal.
Intervensi Keperawatan
a) Pemantauan Respirasi (I.01014)
(1) Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks

(2) Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan

(3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

b) Terapi Oksigen (I.01026)


(1) Observasi
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor aliran oksigen secara periodic dan pastikan fraksi yang
diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. oksimetri, analisa gas darah ),
jika perlu
 Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
 Monitor tanda-tanda hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan atelektasis
 Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
 Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan oksigen

(2) Terapeutik
 Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trachea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan nafas
 Berikan oksigen tambahan, jika perlu
 Tetap berikan oksigen saat pasien ditransportasi
 Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengat tingkat mobilisasi
pasien

(3) Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga cara menggunakan oksigen dirumah

(4) Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis oksigen
 Kolaborasi penggunaan oksigen saat aktivitas dan/atau tidur

2) Diagnosa: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret yang
berlebihan, penurunan tingkat kesadaran, adanya jalan nafas buatan, disfungsi
neuromuskular, dan nyeri yang dibuktikan dengan kesulitan mengeluarkan
sputum, adanya ronki atau ronki, batuk tidak efektif atau tidak ada.
Outcome: Bersihan Jalan Napas Meningkat (L.01001) ditandai dengan pasien
mampu mempertahankan jalan napas efektif & tidak ada suara nafas tambahan
Intervensi Keperawatan:
a) Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)
(1) Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
(2) Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu
(3) Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
(4) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

b) Pemantauan Respirasi (I.01014)


(1) Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik)
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
(2) Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
(3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

3) Diagnosa: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan


neuromuskular pernafasan, nyeri, cemas, penurunan tingkat kesadaran,
kelelahan otot pernafasan, dan bronkospasme yang dibuktikan dengan frekuensi
pernafasan <12 atau >24 kali/menit, perubahan rasio Inpirasi : Ekspirasi, pola
nafas tidak teratur, penggunaan otot aksesori, dan apnea.
Outcome: Pola nafas membaik (l.01004) ditandai dengan frekuensi, ritme, dan
kedalaman pernapasan normal.
Intervensi Keperawatan
a) Pemantauan Respirasi (I.01014)
(1) Observasi
 Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya napas
 Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea,
hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes, Biot, ataksik
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
(2) Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
(3) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
4) Diagnosa: Gangguan penyapihan ventilator (D.0002) berhubungan dengan
hipersekresi jalan nafas, ketidakcukupan energy, Hambatan upaya nafas (nyeri
saat bernafas, kelemahan otot pernafasan, efek sedasi), Riwayat kegagalan
berulang dalam upaya penyapihan,Riwayat ketergantungan ventilator > 4 hari
ditandai dengan Lelah, Auskultasi suara inspirasi menurun, Warna kulit
abnormal (mis. Pucat, sianosis), Napas paradoks abdominal, Diaforesi, Tekanan
darah meningkat, Frekuensi nadi meningkat, Kesadaran menurun.
Outcome: Penyapihan Ventilator (L.01002) meningkat ditandai dengan RR 12-25
x/menit, SpO2 94-97%, Tidak ada penggunaan otot bantu pernapasan, dan Nilai
AGDA dalam batas normal.

Intervensi Keperawatan
a) Penyapihan Ventilasi Mekanik
(1) Observasi
 Periksa kemampuan untuk disapih (meliputi hemodinamik stabil,
kondisi optimal, bebas infeksi)
 Monitor predictor kemampuan untuk mentolelur penyapihan
 Monitor tanda tanda kelelahan otot pernafasan
 Monitor status cairan dan elektrolit
(2) Terapeutik
 Posisikan pasien semi fowler (30-45 derajat)
 Lakukan pengisapan jalan nafas, jika perlu
 Berikan fisioterapi dada jika perlu
 Hindari pemberian sedasi farmakologis selama percobaan penyapihan
(3)     Edukasi
 Ajarkan cara pengontrolan nafas saat penyapihan
(4)     Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat yang meningkatkan kepatenan jalan nafas
dan pertukaran gas.

Ringkasan
Gagal napas akut merupakan gangguan pada sistem kerja pernapasan yaitu
gangguan pada peredaran oksigen dari paru ke darah untuk didistribusikan ke
seluruh tubuh dan gangguan pengambilan karbondioksida dari darah ke paru untuk
kemudian dibuang. Manajemen Keperawatan dan kolaboratif pasien dengan gagal
napas yang berfokus pada intervensi untuk mempertahankan oksigenasi dan
ventilasi yang memadai sambil mengatasi penyebab yang mendasarinya. Gangguan
pada peredaran oksigen menyebabkan hipoksemia (Tipe I). Hal ini menyebabkan
penurunan O2 arteri (PaO2) dan saturasi (SaO2). Gangguan pada pembuangan CO2
menyebabkan hiperkapnia (Tipe II). Hal ini menyebabkan peningkatan CO 2 arteri
(PaCO2).
Penatalaksanaan Keperawatan dan kolaboratif pada pasien dengan gagal napas akut
berfokus pada intervensi untuk mempertahankan oksigenasi dan ventilasi yang
adekuat dan mengatasi penyebab yang mendasarinya.

TUGAS
Kasus: Seorang wanita berusia 32 tahun diantar ke IGD oleh keluarga dengan
keluhan penurunan kesadaran. Hasil anamnesa pasien mengalami sesak napas sejak
satu minggu terakhir, dan memberat pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
disertai dengan batuk tanpa dahak. Pasin mengalami demam sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sudah berobat, namun tidak ada perbaikan. Diketahui pasien
hamil 12 minggu dengan riwayat mengalami perdarahan pervaginam selama
kehamilan ini. Hasil pengkajian didapatkan jalan napas clear dengan pernapasan
spontan, laju napas 35 kali per menit, gerak dada simetris, namun terdapat retraksi
dinding dada. Suara napas didapatkan vesikuler disertai dengan ronkhi di kedua
lapang paru tanpa ada wheezing. Saturasi oksigen perifer didapatkan sebesar 82%.
Perfusi akral didapatkan hangat, kering, dan pucat, dengan tekanan darah 100/70
milimeter air raksa (mmHg) dan nadi 110 kali per menit. Buatlah Rencana Asuhan
Keperawatan Pada kasus tersebut!

Referensi
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi Indonesia Pertama,
Singapura: Elsevier
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds). Philadelphia:
WB Saunders Company
Bulechek, et al.(2014). Nursing Interventions Classification (NIC) (5th ed). America; Mosby Elseiver.
Fultz, J. & Sturt, P. (2010). Mosby’s Emergency Nursing Reference. St Louis: Elsevier Mosby.
Ackley, B. J., Ladwig, G. B., Makic, M. B., Martinez-Kratz, M. R., & Zanotti, M. (2017). Nursing
diagnoses handbook: An evidence-based guide to planning care. St. Louis, MO: Elsevier.
Nanda Internasional. (2018). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2018-2020 (11th ed).
Jakarta: EGC
PPNI .(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator Diagnostik
((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan Keperawatan
((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2009). Saunders Nursing Survival Guide Critical Care and
Emergency Nursing 2nd ed. United states of america: Saunders Elsevier.
Tscheschlog, B. A. & Jauch, A. (2014). Emergency nursing made incredibly easy. Wolter Kluwers
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PASIEN DENGAN INFARK MIOCARD

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan asuhan
keperawatan gawat darurat pada kasus gangguan sistem kardiovaskuler.
KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah mengikuti pembelajaran pada modul ini, Mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan Infark Miokard

POKOK BAHASAN :
Asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan Infark Miokard

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang definisi infark miokard, penyebab infark miokard,
patofisiologi infark miokard, manifestasi klinis infark miokard, pemeriksaan diagnostic
infark miokard, penatalaksanaan infark miokard, dan proses keperawatan pasien infark
miokard

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI
1. Definisi
Infark miokard juga dikenal sebagai serangan jantung, adalah keadaan darurat medis
serius yang terjadi ketika Suplai darah ke jantung tiba-tiba terputus. Penyumbatan
biasanya disebabkan oleh gumpalan. Kurangnya suplai darah yang berkepanjangan ke
otot-otot jantung dapat menyebabkan kerusakan permanen dan dapat mengancam
jiwa. Intervensi medis segera diperlukan untuk mencegah komplikasi serius. Infark
miokard adalah bentuk paling umum dari penyakit jantung koroner dan sangat terkait
dengan morbiditas dan mortalitas. Penyebab paling umum dari serangan jantung
adalah gumpalan yang terbentuk dari plak yang pecah. Plak adalah timbunan lemak di
dinding arteri yang dapat memicu pembentukan gumpalan ketika pecah. Gumpalan
dapat sebagian atau seluruhnya memblokir arteri, yang kemudian dapat menghambat
aliran darah.

Gambar 1. Sindrom Koroner Akut

Infark miokard merupakan salah satu dari sindroma koroner akut (SKA) Pasien yang
mengalami SKA dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok menurut gambaran
elektrokardiogram (EKG) (Gambar 1) yaitu: mereka dengan STEMI dan NSTEMI/UA.
Perawatan STEMI memerlukan restorasi darurat aliran darah dalam arteri koroner
yang tersumbat total. Pasien dengan NSTEMI manifestasi yang sering muncul dalam
perubahan EKG meliputi inversi gelombang T, depresi ST atau elevasi ST yang bersifat
sementara, dan kadangkala EKG-nya normal secara keseluruhan. Kelompok NSTEMI
dapat diklasifikasi lebih lanjut mengikuti peningkatan enzim-enzim protein jantung
yang dapat terdeteksi dengan kadar troponin positif pada serum pasien. Sedangkan,
pasien UA ditemukan kadar troponin jantung negatif dan hal ini dibedakan dari
NSTEMI yang memiliki iskemia miokard dengan nekrosis miokardial, sehingga
mengakibatkan peningkatan pelepasan kadar troponin dalam sirkulasi. Deteksi
troponin jantung yang mengikuti SKA merupakan sebuah prediktor kambuhnya
iskemia kembali. Namun, hal ini seharusnya diingat bahwa pasien dengan troponin
jantung masih berada pada risiko yang rentan dari kejadian-kejadian lebih lanjut
khususnya mereka dengan nyeri saat beristirahat atau perubahan dinamika gelombang
ST pada EKG mereka.

2. Penyebab Infark Miokard


Penyebab utama infark miokard adalah penyakit arteri koroner. Penyakit arteri
koroner adalah suatu kondisi yang mengacu pada penurunan aliran darah ke otot
jantung karena penumpukan plak di arteri jantung. Plak adalah timbunan lemak
termasuk kolesterol, lemak jenuh, dan lemak trans.

Berikut ini adalah faktor risiko yang mempengaruhi seseorang untuk terkena infark
miokard:
a. Usia – pria berusia 45 tahun ke atas dan wanita berusia 55 tahun ke atas dicatat
memiliki risiko lebih tinggi mengalami infark miokard
b. Penggunaan tembakau
c. Tekanan darah tinggi
d. Kolesterol darah tinggi
e. Obesitas
f. Diabetes
Diabetes melitus merupakan faktor resiko yang sangat berpengaruh terhadap
penyakit IMA (Budiman, et al., 2015). Sekitar 65% penderita diabetes mellitus
meninggal akibat penyakit jantung dan stroke (Aquarista, 2016). Namun, riwayat
DM tidak berhubungan dengan kejadian mortalitas pada pasien IMA (Simanjuntak
dkk., 2019).
g. Sindrom metabolik
h. Riwayat keluarga
i. Kurangnya aktivitas fisik
j. Stres
k. Sejarah preeclampsia
l. Kondisi autoimun

3. Tanda dan Gejala Infark Miokard


Tanda-tanda dan gejala infark miokard dapat bervariasi dari orang ke orang. Yang lain
mungkin tidak memiliki gejala sama sekali, sementara beberapa mungkin memiliki
tanda-tanda peringatan sebelum serangan terjadi. Berikut ini adalah tanda-tanda dan
gejala yang dapat dicatat pada seseorang yang memiliki infark miokard:
a. Nyeri dada – ini adalah gejala paling umum yang terkait dengan M.I. Nyeri dada
sering digambarkan mirip dengan perasaan diperas atau ditekan oleh benda berat
di dada. Rasa sakit dapat menyebar ke rahang, leher, punggung, dan lengan.
b. Sesak napas
c. Merasa lemah, pusing, atau keduanya
d. Perasaan cemas yang luar biasa
Dalam beberapa kasus, nyeri dada mungkin tidak selalu parah, terutama pada wanita.
Bahkan mungkin keliru untuk gangguan pencernaan. Namun, perlu dicatat bahwa
tingkat keparahan nyeri dada tidak definitif dan konklusif dari infark miokard. Nyeri
dada harus dinilai dalam kombinasi gejala lain untuk menentukan serangan jantung.

4. Patofisiologi
Infark miokard disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan dan pasokan
oksigen miokard yang menyebabkan kematian sel dan nekrosis miokard. Penyebab
utama hal ini terjadi karena adanya faktor yang mempengaruhi arteri koroner, tetapi
juga dapat terjadi sebagai akibat dari proses sekunder seperti hipoksemia atau
hipotensi dan faktor-faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab
yang paling umum adalah pecah atau erosi plak aterosklerotik yang mengarah pada
penyelesaian oklusi ateri atau oklusi parsial dengan embolisasi distal dari bahan
trombotik.

Banyak episode dari iskemia miokard umumnya dipercaya berasal dari penurunan
mutlak dalam aliran darah miokard regional dibawah level-level paling dasar, dengan
subendokardium membawa sebuah beban terbesar dari defisit aliran dari epikardium,
apakah dipicu oleh sebuah penurunan besar dalam aliran darah koroner atau sebuah
peningkatan dalam kebutuhan oksigen. Beragam sindroma koroner akut membagikan
sebuah substrat patologi yang lebih-atau-kurang umum. Perbedaan-perbedaan
presentasi klinis dihasilkan secara besar dari perbedaan-perbedaan dalam besaran
oklusi koroner, durasi oklusinya, pengaruh berubahnya aliran darah lokal dan
sistemik, dan kecukupan kolateral-kolateral koroner.

Pada pasien dengan angina tak stabil, banyak episode iskemia saat beristirahat yang
muncul tanpa perubahan-perubahan diatas pada kebutuhan oksigen miokardium
namun dipicu oleh penurunan primer dan episodik dalam aliran darah koroner.
Perburukan gejalagejala iskemik pada pasien dengan penyakit arteri koroner stabil
bisa dipicu oleh faktorfaktor ekstrinsik seperti anemia parah, tirotoksikosis,
takiaritmia akut, hipotensi, dan obatobat yang mampu meningkatkan kebutuhan
oksigen miokardium; bagaimanapun dalam banyak kasus, tidak ada pemicu eksternal
yang jelas yang dapat diidentifikasi. Pada pasienpasien ini yang merupakan mayoritas
evolusi dari angina yang tak stabil dan komplikasikomplikasi klinisnya adalah hasil
dari sebuah kompleks yang saling mempengaruhi yang melibatkan plak aterosklerosis
koroner dan stenosis, pembentukan trombus trombosis fibrin, dan bunyi vaskular
abnormal. Beberapa studi menunjukkan bahwa plak ateroskelosis menyebabkan
sindroma koroner akut tak stabil dengan ciri memiliki sebuah fisura atau ruptur dalam
topi fibrosa-nya, sangat sering dibagian bahu (persimpangan bagian dinding arteri
yang normal dan segmen bantalan-plak). Plak-plak ini cenderung memiliki topi-topi
fibrosa aselular yang diinfiltrasikan dengan sel-sel busa atau makrofag dan kolam
eksentrik inti lipid yang lembut dan nekrotik. Studi-studi klinis dan angiografi
menunjukkan bahwa plak fisura mengakibatkan angina tak stabil atau infark miokard
akut yang tidak hanya muncul pada area stenosis aterosklerosis parah, namun juga
lebih umum pada stenosis koroner minimal. Rentetan observasi angiografi telah
menunjukkan bahwa perkembangan dari angina stabil ke tak stabil berkaitan dengan
perkembangan penyakit aterosklerosis pada 60-75% pasien. Hal ini mencerminkan
episode-episode yang berlanjut dari mural trombosis dan penggabungan dalam plak-
plak yang mendasar. Studi-studi ini dan studi-studi lainnya telah menunjukkan bahwa
awalnya lesi-lesi koroner menutupi area arteri koroner kurang dari 75% dan
mengakibatkan angina yang tak stabil atau infark miokard; lesi-lesi menutupi lebih
dari 75% yang kemungkinan mengakibatkan oklusi total, namun kurang mungkin
mengakibatkan infark miokard, mungkin karena kemungkinan perkembangan darah
vesel kolateral dalam arteri-arteri stenotik yang parah. Lebih lanjut lagi, pemodelan
positif kembali keluar (efek glagov) dari segmen-segmen arteri koroner yang
mengandung plak-plak aterosklerosis besar dapat meminimalkan kompromi luminal
dan menaikkan kerentanan terhadap gangguan plak.

Meskipun mekanisme-mekanisme tepatnya tidak diketahui, beberapa hipotesis


menjelaskan kecenderungan plak terhadap ruptur. Hal-hal ini meliputi stres-stres
hemodinamik yang berkaitan dengan denyut dan tekanan arteri, pendarahan intra-
plak dari fisura-fisura intimal kecil, vasokontriksi, serta memutar dan
membungkuknya arteri-arteri. Kemungkinan-kemungkinan lainnya adalah proses-
proses inflamasi yang melibatkan elaborasi dari enzim-enzim penurun-matriks
(kolagenase, elastase, stromelisin, katepsin) yang dilepaskan oleh sel-sel busa atau
makrofag dan sel-sel meserchymal pada plak-plak dalam merespon stimuli yang tidak
jelas (meliputi: liporotein densitas rendah (LDL) teroksidasi). Sebuah akses dari
aktivitas enzimatik penurun-matriks dapat berkontribusi menghilangkan kolagen
dalam plag topi fibrosa protektif, sehingga membuatnya mudah mengalami gangguan.
Sama halnya dengan berkurangnya sintesis kolagen, dihasilkan dari naiknya kematian
sel-sel otot halus pensintesis matrik oleh apoptosi, yang juga berkontribusi pada
gangguan plak. Patogen-patogen intraselular, seperti chlamydophila pneumoniae,
helicobacter pylori, cytomegalovirus (CMV), dan aktivasi imun baru-baru ini
menunjukkan penyebab respon-respon inflamasi dalam plak-plak aterosklerosis dan
diimplikasikan sebagai pemicu potensial untuk ruptur plak.

Infark Miokard Akut dengan Diabetes Melitus diawali dengan peningkatan


permeabilitas sel endotel pembuluh darah akibat hiperglikemia. sehingga LDL
kolesterol mudah teroksidasi karena proses autooksidasi dan glikasi. LDL teroksidasi
itu akan mudah menembus sel endotel yang sudah disfungsi akhirnya ditangkap oleh
makrofag yang lama kelamaan akan berubah menjadi foam cell. Jika foam cell itu
pecah, akan menjadi lipid core di lapisan sub intimal. Maka akan terjadi penyempitan
pembuluh darah. Itulah awal mula aterosklerosis pada IMA. Jika karena sesuatu hal,
plak aterosklerosis robek, maka isinya akan terpapar aliran darah sehingga
menyebabkan terjadi reaksi penggumpalan darah (thrombosis). Gumpalan darah
(thrombus) dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah koroner (Budiman,
dkk., 2017).

5. Komplikasi Infark Miokard


a. Aritmia. Ini adalah irama jantung abnormal yang dapat menyebabkan kematian.
b. Gagal jantung. Kerusakan yang signifikan pada jantung dapat menyebabkan
ketegangan pada otot jantung sehat yang tersisa yang menyebabkan gagal jantung.
c. Cardiac arrest/henti jantung. henti jantung melibatkan kurangnya aliran darah ke
otot jantung, serangan jantung mengacu pada gangguan listrik pada irama jantung,
menyebabkan jantung berhenti memompa.

6. Diagnosis Infark Miokard


Perawatan segera diperlukan untuk mencegah kerusakan permanen dan serius ketika
serangan jantung dicurigai. Serangkaian tes diagnostik dapat dilakukan untuk
mendukung diagnosis dan mereka perlu dilakukan sesegera mungkin sehingga
pengobatan dapat dimulai.
a. Riwayat medis dan pemeriksaan fisik – Riwayat terperinci dan pemeriksaan medis
menyeluruh sangat membantu dalam diagnosis infark miokard. Penilaian akan
fokus pada adanya faktor risiko dan tanda-tanda dan gejala. Monitor akan dipasang
untuk terus memantau pelacakan jantung dan tanda-tanda vital.
b. Elektrokardiogram (EKG) – EKG akan dilakukan segera untuk merekam pelacakan
jantung.
1) Penyumbatan parsial – Non ST Elevasi Infark Miokard (NSTEMI)
2) Penyumbatan total – ST Elevasi infark miokard (STEMI)
c. Tes darah – enzim dan penanda protein seperti troponin I dan T dan CKMB sering
diukur untuk mengidentifikasi kerusakan otot jantung.
d. Tes tambahan juga dapat dilakukan untuk membantu mengobati kondisi:
1) Rontgen dada – rontgen dada akan menampilkan ukuran jantung dan dapat
mengidentifikasi adanya penumpukan cairan di paru-paru dan kondisi terkait
lainnya.
2) Echocardiogram – tes ini dapat membantu mengidentifikasi area jantung yang
rusak oleh infark.
3) Kateterisasi koroner – prosedur ini dilakukan di bawah fluoroskopi. Kateter
dimasukkan melalui arteri pada lengan atau selangkangan yang kemudian akan
benang ke arteri koroner. Gambar diambil saat agen kontras disuntikkan.
4) Cardiac CT atau MRI – teknik pencitraan ini dapat membantu mengidentifikasi
kerusakan jantung atau masalah jantung terkait.

7. Penatalaksanaan Infark Miokard


a. Obat-obatan
1) Trombolitik – obat-obatan ini dapat menghilangkan/melarutkann thrombus
(gumpalan) untuk meningkatkan aliran.
2) Agen antiplatelet – obat-obatan ini diberikan untuk mencegah gumpalan
menjadi lebih buruk dan mencegah pembentukan bekuan lanjutan.
3) Pengencer darah – bentuk pengencer darah lainnya sering diberikan untuk
membuat darah kurang kental.
4) Analgesik – pengurang rasa sakit dapat diberikan untuk membantu mengelola
nyeri dada.
5) Nitrogliserin – Nitrogliserin adalah obat yang digunakan untuk mengurangi dan
mencegah angina (nyeri dada)  akibat penyakit jantung koroner. Nitrogliserin tidak
menyembuhkan penyebab angina. Nitrogliserin merupakan obat golongan nitrat
yang bekerja dengan cara melebarkan pembuluh darah, serta meningkatkan
pasokan darah dan oksigen ke otot jantung. Obat ini tersedia dalam bentuk
tablet minum, tablet sublingual, dan suntik.
6) Beta blocker – Obat-obatan dari golongan penghambat beta bekerja dengan cara
menekan efek dari hormon epinephrine atau adrenalin, yaitu hormon yang
berperan dalam mengalirkan darah, sehingga membuat jantung berdenyut lebih
lambat dan sedikit bekerja, serta tekanan darah turun. Selain itu, obat ini juga
membantu melebarkan pembuluh darah agar sirkulasi darah berjalan lancar.
7) ACE-inhibitor – obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim dalam tubuh
untuk memproduksi hormon angiotensin II, yaitu zat yang dapat menyempitkan
pembuluh darah dan meningkatkan kerja jantung. Dengan begitu, dinding
pembuluh darah akan melebar dan kerja jantung menjadi lebih ringan.
8) Statin – obat ini membantu mengelola kadar kolesterol darah.

b. Pembedahan
1) Coronary angioplasty stenting – prosedur ini melibatkan penyisipan stent balon
yang dipandu oleh fluoroskopi atau ultrasound. Stent dimasukkan melalui
kateter kecil yang dimasukkan dari arteri di lengan atau selangkangan ke arteri
koroner yang menyempit untuk menjaga pembuluh tetap terbuka.
2) Coronary artery bypass surgery – prosedur ini lebih invasif, dan melibatkan
pemotongan dan jahit arteri untuk memotong bagian yang tersumbat.

Gambar. Coronary artery bypass surgery

c. Mengubah Gaya hidup


Berhenti merokok, kontrol kolesterol, diet rendah gula, dan manajemen stres dapat
membantu mencegah Infark Miokard atau mengurangi risiko episode lain pada
orang yang mengalami serangan jantung sebelumnya. Makanan yang kaya akan
asam lemak omega-3 seperti ikan, kedelai, dan biji rami dianjurkan. Pengambilan
obat tekanan darah yang diresepkan secara teratur juga membantu mengendalikan
hipertensi. Meningkatkan aktivitas fisik dengan melakukan setidaknya 150 menit
latihan aerobik moderat akan membantu mempromosikan gaya hidup aktif.

8. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian primer pasien dengan sindrom koroner akut juga mengikuti
pendekatan ABC.
A (Airway) → Mengkaji adanya sumbatan di jalan napas
B (Breathing) → Mengkaji adanya sesak dengan aktifitas ringan atau istirahat,
frekuensi napas lebih dari 24 kali/menit, irama ireguler dangkal, suara napas
Ronchi atau krekles, ekspansi dada tidak penuh, Penggunaan otot bantu nafas
C (Circulation) → Nadi lemah & tidak teratur, takikardi, tekanan darah
meningkat/menurun, edema, gelisah, akral dingin, diaphoresis, kulit pucat,
sianosis, Output urine menurun

Nyeri dada tipikal merupakan keluhan utama pasien datang ke IGD rumah sakit.
Pengkajian nyeri dada dapat dilakukan dengan pendekatan PQRST:
 P (Provokatif) → Hal apa yang memprovokasi atau memicu atau meringankan
atau mengurangi rasa sakit atau ketidaknyamanan
 Q (Quality) → Bagaimana kualitas dari rasa sakit atau ketidaknyamanan?
Gambarkan nyeri/ketidaknyamanan yang dirasakan pasien sesuai dengan
kata-kata pasien sendiri seperti rasa terbakar, tertekan, atau sesak.
 R (Region/Radiation) → Apakah rasa nyeri/ketidaknyamanan menyebar?
Jika ada, menyebar kemana?
 S (Scale/Severity) → Skala rasa nyeri/ketidaknyamanan
 T (Time) → Kapan nyeri/ketidaknyamanan itu terjadi? Kapan hal tersebut
mulai terjadi? Berapa lama hal tersebut diraskan? Apakah nyeri terjadi secara
tiba/tiba atau periodic?
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipil) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu atau epigastrik. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit) keluhan angina tipikal sering disertai
keluahn penyerta seperti diaforesis (keringant dingin, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop/pingsan).
Karakteristik angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diutarakan. Keluhan
atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia
lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan
ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung coroner (PJK).

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien infark miokard adalah:
a. Nyeri akut
b. Penurunan Curah Jantung
c. Intoleransi aktivitas
c. Rencana Ashuan keperawatan
1) Diagnosis Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan sumbatan arteri
koroner yang ditandai dengan skala nyeri 7-10, nyeri dada seperti
tertekan/diremas (angina), tekanan darah 190/100, frekuensi pernapasan 30
kali/menit dan gelisah.
Hasil yang diinginkan: Pasien menunjukkan berkurangnya rasa sakit (skor
nyeri berkurang), tanda-tanda vital yang stabil dan tidak gelisah.

Intervensi Rasional
Memberikan obat yang diresepkan Nitrat dapat diberikan untuk melebarkan
yang meringankan Gejala angina pembuluh darah. Penghilang rasa sakit
dapat diberikan untuk membantu
mengelola nyeri dada. Obat lain yang
membantu mengobati angina termasuk
obat anti-kolesterol (misalnya statin), beta
blocker, dan calcium channel blockers.
Menilai tanda-tanda vital pasien dan Untuk memantau efektivitas perawatan
karakteristik rasa sakit setidaknya 30 medis untuk menghilangkan angina. Waktu
menit setelah pemberian obat. pemantauan tanda-tanda vital mungkin
tergantung pada waktu puncak obat yang
diberikan.
Berikan posisi semi fowler jika pasien Untuk meningkatkan kadar oksigen dan
sesak napas. Berikan oksigen mencapai nilai SpO2 dalam kisaran target.
tambahan, seperti yang ditentukan.
Hentikan jika tingkat SpO2 berada di
atas kisaran target, atau seperti yang
diperintahkan oleh dokter.

Setelah kondisi pasien stabil, Berikan Stres menyebabkan peningkatan kadar


penkes tentang manajemen stres, kortisol, yang telah dikaitkan dengan
latihan pernapasan dalam, dan teknik orang-orang dengan masalah jantung. Efek
relaksasi. stres cenderung meningkatkan beban kerja
miokard.
2) Diagnosis Keperawatan: Penurunan Curah Jantung terkait dengan kurangnya
suplai darah ke jantung.
Hasil yang diinginkan: Pasien akan dapat mempertahankan curah jantung yang
memadai.

Intervensi Rasional
Kaji tanda-tanda vital pasien dan Untuk membantu dalam membuat
karakteristik EKG melalui monitor diagnosis yang akurat dan memantau
terus menerus. Kaji suara napas, efektivitas perawatan medis. Bunyi nafas
Amati tanda-tanda penurunan perfusi crackles/rales merupakan tanda penting
jaringan perifer seperti pengisian dari gagal jantung. Adanya tanda-tanda
kapiler (capillary rate time) lambat, penurunan perfusi jaringan perifer
wajah pucat, sianosis, dan kulit yang menunjukkan penurunan status pasien
dingin dan lembab. yang memerlukan rujukan segera ke
dokter untuk intervensi lanjutan
Berikan obat jantung, dan diuretik Untuk meringankan gejala gagal jantung
seperti yang ditentukan. dan untuk mengobati penyebab.
Berikan oksigen tambahan, seperti Untuk meningkatkan kadar oksigen dan
yang ditentukan. Hentikan jika mencapai nilai SpO2 dalam kisaran target.
tingkat SpO2 di atas kisaran target,
atau seperti anjuran dokter
Berikan penkes tentang manajemen Berhenti merokok, diet rendah kolesterol
stres, berhenti merokok, diet yang dan gula, dan manajemen stres dapat
tepat, tekanan darah dan kontrol gula membantu mencegah M.I. atau mengurangi
darah, olahraga, latihan pernapasan risiko serangan lanjutan pada orang yang
dalam, dan teknik relaksasi pernah mengalami serangan jantung
sebelumnya. Makanan yang kaya asam
lemak omega-3 seperti ikan, kedelai, dan
biji rami direkomendasikan. Minum obat
tekanan darah yang diresepkan secara
teratur juga membantu mengendalikan
hipertensi. Meningkatkan aktivitas fisik
dengan melakukan setidaknya 150 menit
latihan aerobik sedang akan membantu
mempromosikan gaya hidup aktif.

3) Diagnosa Keperawatan : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan


ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan
kelelahan, kekurangan energi yang luar biasa, verbalisasi kelelahan, kelemahan
umum, dan sesak napas saat beraktivitas.
Hasil yang Diinginkan: Pasien akan menunjukkan partisipasi aktif dalam
aktivitas yang diperlukan dan diinginkan dan menunjukkan peningkatan tingkat
aktivitas.
Intervensi Rasional
Kaji aktivitas kehidupan sehari-hari Untuk membuat dasar tingkat latihan
pasien, serta keterbatasan yang aktivitas
dirasakan terhadap aktivitas fisik.
Mintalah bentuk latihan apa saja yang
pernah dia lakukan atau ingin dia
coba

Dorong aktivitas progresif melalui Untuk meningkatkan toleransi pasien


perawatan diri dan olahraga sesuai terhadap aktivitas fisik secara bertahap
toleransi. Periode aktivitas fisik
bergantian dengan 60-90 menit
istirahat tanpa gangguan.
Sediakan ventilasi yang cukup di Untuk memungkinkan oksigenasi yang
dalam ruangan. cukup di dalam ruangan.
Rujuk pasien ke tim fisioterapi / Untuk memberikan perawatan khusus bagi
terapi okupasi sesuai kebutuhan. pasien dalam hal membantunya
membangun kepercayaan diri untuk
meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari
Ajarkan pasien tentang teknik Teknik konservasi energi membantu
konservasi energi, yang meliputi: mengurangi kebutuhan tubuh akan
Bekerja atau bergerak dengan oksigen, yang memungkinkan pasien
kecepatan yang seimbang, mencapai lebih banyak ADL.
Mendorong daripada menarik,
Menggeser daripada menarik, Duduk
untuk melakukan beberapa tugas,
Memposisikan barang yang sering
digunakan dalam jangkauan

Kasus
Seorang pria berusia 56 tahun dibawa keluarga ke UGD dengan keluhan nyeri dada kiri
sejak 10 jam yang lalu. Hasil anamnesa pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol
dan perokok berat. Keadaan umum tampak pucat dan sesak, TD: 80/30 mmHg, nadi
120x/menit, RR: 32x/menit, akral dingin dan capillary refill time 3 detik, Sp O2 90%.
Auskultasi jantung didapatkan bunyi S3 gallop (+), auskultasi pulmo ronchi (+) seluruh
lapang paru. Hasil pemeriksaan EKG didapatkan gambaran ST elevasi di lead
V1,V2,V3,V4,V5,V6,I,aVL. Hasil lab menunjukkan kadar CKMB 110 U/L. buatlah asuhan
keperawatan gawat darurat pada kasus tersebut?
SOAL
1. Seorang klien laki-laki 50 tahun datang ke Unit Gawat Darurat diantar oleh keluarganya.
Dari hasil pemeriksaan diperoleh data klien mengeluh nyeri dada saat bersepeda, nyeri
dirasakan satu jam sebelum ke UGD. Klien tampak gelisa, Tekana Darah: 120/90 mmHg,
Nadi: 88x/menit, Pernafasan 28 x/menit, Suhu 37oC, EKG ST elevasi di lead II, III. aVF.
Dari kasus diatas apakah masalah yang dialami oleh klien?
a. STEMI
b. UNSTEMI
c. Angina pectoris unstabil
d. Acute inferior myocardial infraction
e. Acute posterior myocardial infraction
2. Seorang laki-laki usia 45 tahun dirawat di ruang penyakit dalam karena akut miokard
infark. Keluhan yang dialami: nyeri dada, sesak nafas, kelemahan dan cepat lelah. Hasil
pengkajian didapatkan Tekanan Darah: 110/70 mmHg, frekuensi nafas 30x/mnt,
frekuensi nadi 80 x/mnt, keringat dingin, nyeri bertambah jika aktifitas, nadi kecil dan
lemah, klien bedrest total. Hasil pemeriksaan EKG menunjukan adanya ST elevasi dan
prolong QT. Apakah yang anda lakukan untuk melihat perkembangan dan evaluasi pada
pasien tersebut?
a. Aktifitas pasien
b. Tekanan darah
c. Rekaman EKG
d. Sesak nafas
e. Nyeri dada
3. Seorang laki-laki usia 54 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan nyeri di dada kiri. Pasien
dilakukan EKG dan hasilnya menunjukkan ST elevasi di V1-V4. Berdasarkan hasil EKG,
dibagian jantung manakah terjadinya infark?
a. Inferior septal
b. Lateral Septal
c. Anterior septal
d. Anterior lateral
e. Inferior lateral
4. Seorang laki-laki berusia 50 tahun diantar keluarga ke IGD karena mengeluh nyeri dada
kiri yang menyebar ke leher dan lengan dialami sejak 3 jam yang lalu. Pada pengkajian
diperoleh skala nyeri 6, akral dingin, CRT 4 menit, TD 150/90 mmHg, nadi 100 x/menit,
suhu 37.5oC, pernafasan 28 x/menit. Hasil perekaman EKG menunjukkan ST depresi
pada lead V1 dan V2. Apakah masalah keperawatan prioritas pasien tersebut?
a. Nyeri akut
b. Pola nafas tidak efektif
c. Penurunan curah jantung
d. Gangguan perfusi jaringan perifer
e. Gangguan perfusi jaringan coroner
5. Seorang laki-laki usia 50 tahun, diantar ke UGD oleh keluarga dengan riwayat penyakit
arteri coroner dan mengeluh nyeri dada. Perawat memberikan tablet sublingual
nitrogliserin 1/150. Setelah 5 menit, klien masih mengeluh mengalami nyeri dada.
Tanda-tanda vital TD. 130/80 mmHg, frekuensi Nadi 110 x/menit, Frekuensi pernafasan
24 x/menit dan suhu 37,5 oC. Apakah tindakan perawat selanjutnya?
a. Berikan O2 melalui nasal canule
b. Kolaborasi pemberian IV. Morfin sulfat
c. Berikan tambahan satu dosis nitrogliserin sublingual
d. Tunggu 5 menit lagi kemudian kaji ulang kondisi pasien
e. Tunggu 10 menit kemudian berikan tambahan satu dosis nitrogliserin sublingual
References
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi Indonesia Pertama,
Singapura: Elsevier
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds). Philadelphia:
WB Saunders Company
AHA Guideline 2015
Bulechek, et al.(2014). Nursing Interventions Classification (NIC) (5th ed). America; Mosby Elseiver.
Fultz, J. & Sturt, P. (2010). Mosby’s Emergency Nursing Reference. St Louis: Elsevier Mosby.
Ackley, B. J., Ladwig, G. B., Makic, M. B., Martinez-Kratz, M. R., & Zanotti, M. (2017). Nursing
diagnoses handbook: An evidence-based guide to planning care. St. Louis, MO: Elsevier.
Nanda Internasional. (2018). Diagnosa Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2018-2020 (11th ed).
Jakarta: EGC
PPNI .(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator Diagnostik
((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan Keperawatan
((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2010). Saunders Nursing Survival Guide Critical Care and
Emergency Nursing 2nd ed. United states of america: Saunders Elsevier.
Simanjuntak, G. V., Simamora, M., & Sitorus, H. F. (2019). Perbandingan outcome pasien infark
miokard akut dengan dan tanpa diabetes melitus. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan
Aisyiyah, 15(2), 111-116.
Tscheschlog, B. A. & Jauch, A. (2014). Emergency nursing made incredibly easy. Wolter Kluwers
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA
PASIEN DENGAN SYOK HIPOVOLEMIA

KOMPETENSI UMUM:
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan asuhan
keperawatan gawat darurat pada kasus gangguan sistem sirkulasi.
KOMPETENSI KHUSUS:
Setelah mengikuti pembelajaran pada modul ini, Mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan syok hipovolemia

POKOK BAHASAN :
Asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien dengan syok hipovolemia

DESKRIPSI SINGKAT POKOK BAHASAN


Modul ini membahas tentang definisi syok hipovolemia, penyebab syok hipovolemia,
patofisiologi syok hipovolemia, manifestasi klinis syok hipovolemia, pemeriksaan
diagnostic syok hipovolemia, penatalaksanaan syok hipovolemia, pencegahan syok
hipovolemia, dan proses keperawatan pasien syok hipovolemia

METODE PEMBELAJARAN :
Ceramah, Small grup discussion

MATERI

1. Definisi
Syok hipovolemik juga dikenal sebagai syok hemoragik adalah kondisi medis akibat
penurunan volume darah yang disebabkan oleh kehilangan darah, yang menyebabkan
penurunan curah jantung dan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Penyebab umum
termasuk pendarahan internal atau eksternal, luka bakar yang luas, muntah, berkeringat
banyak, dan diare. Syok hipovolemik juga sering terjadi setelah trauma, perdarahan
Gastrointestinal, atau pecahnya organ atau aneurisma. Gejalanya tergantung pada
tingkat keparahan kehilangan cairan atau darah. Namun, semua gejala syok mengancam
jiwa dan harus segera diberikan perawatan medis. Prognosis tergantung pada derajat
kehilangan volume.
2. Penyebab
Syok hipovolemik biasanya terjadi akibat kehilangan darah akut sekitar seperlima dari
total volume.
a. Kehilangan cairan internal.
Kehilangan cairan internal dapat terjadi akibat perdarahan atau perpindahan cairan
ke ekstra sel.
b. Kehilangan cairan eksternal
Kehilangan cairan eksternal dapat terjadi akibat perdarahan hebat atau diare berat,
diuresis, atau muntah.
c. Volume vaskular yang tidak adekuat
Volume vaskular yang tidak memadai menyebabkan penurunan aliran balik vena
dan curah jantung.

3. Patofisiologi
Patofisiologi syok hipovolemik meliputi proses berikut:
a. Kehilangan cairan
Kehilangan cairan dapat berupa kehilangan cairan internal atau eksternal.
b. Mekanisme kompensasi
Penurunan tekanan darah arteri mengaktifkan mekanisme kompensasi tubuh dalam
upaya untuk meningkatkan volume intravaskular tubuh.
c. Aliran balik vena berkurang
Terjadi sebagai akibat dari penurunan tekanan darah arteri.
d. Preload atau tekanan pengisian berkurang.
e. Stroke volume berkurang.
f. Cardiac Output (Curah jantung) menurun karena penurunan Stroke Volume.
g. Tekanan arteri
Penurunan tekanan arteri rata-rata berbanding lurus dengan penurunan curah
jantung secara bertahap.
h. Pemenuhan O2 dan Nutrisi tidak adekuat
Saat perfusi jaringan menurun, pengiriman nutrisi dan oksigen ke sel menurun,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan sindrom disfungsi multipel organ.

4. Manifestasi Klinis
Syok hipovolemik memerlukan pengenalan dini terhadap tanda dan gejala awalnya:
a. Hipotensi
Syok hipovolemik menghasilkan hipotensi dengan tekanan nadi menyempit.
b. Takikardia
Tubuh mengkompensasi penurunan curah jantung dengan memompa lebih cepat
dari biasanya, mengakibatkan takikardia.
c. Pernafasan cepat dan dangkal. Karena penurunan pengiriman oksigen ke seluruh
sistem tubuh, sistem pernapasan mengkompensasinya dengan pernapasan yang
cepat dan dangkal.
d. Kognitif
Pasien mengalami penurunan sensorium.
e. Oliguri
Terdapat oliguria atau penurunan haluaran urin kurang dari 0,5 cc/jam/Kg berat
badan.
f. Kulit lembab
Kulit dingin, lembab, dan pucat.

5. Komplikasi
Syok hipovolemik, jika tidak segera ditangani akan mengakibatkan komplikasi berikut:
a. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
Sindrom gangguan pernapasan akut terjadi ketika cairan menumpuk di paru-paru.
b. Nekrosis tubular akut
Nekrosis tubular akut adalah gangguan ginjal yang melibatkan kerusakan sel
tubulus ginjal, yang dapat menyebabkan gagal ginjal akut.
c. Koagulasi intravaskular diseminata
Koagulasi intravaskular diseminata adalah proses patologis yang ditandai dengan
aktivasi faktor-faktor bekuan darah yang menghasilkan pembentukan bekuan darah
di pembuluh darah kecil.
d. Sindrom kegagalan fungsi organ sistemik
Sindrom kegagalan fungsi organ sistemik adalah hasil akhir dari syok hipovolemik.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Tidak ada gejala tunggal atau tes diagnostik yang menetapkan diagnosis atau tingkat
keparahan syok.
a. Pemeriksaan laboratorium
Ada peningkatan kadar kalium, laktat serum, dan nitrogen urea darah.
b. Karakteristik urin
Berat jenis urin dan osmolalitas urin meningkat.
c. Analisis gas darah.
Penurunan pH darah, tekanan parsial oksigen, dan peningkatan tekanan parsial
karbon dioksida.

7. Penatalaksanaan
Tatalaksana utama syok hipovolemik mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan
dengan mengembalikan volume sirkulasi intravaskuler sesegera mungkin. Terapi cairan
merupakan terapi yang paling penting pada syok hipovolemik, disertai penghentian
proses perdarahan pada syok hipovolemik yang diakibatkan perdarahan.
a. Terapi cairan yang adekuat adalah tatalaksana utama. Transfusi darah perlu
dipertimbangkan (< 10 g/dL).
b. Hentikan perdarahan dengan balut tekan, PASG/pneumatic antishock garment, bidai
c. Pada keadaan hipovolemia yang berat atau berlanjut, dukungan obat-obat inotropik
mungkin dibutuhkan untuk menjaga performans ventrikular yang adekuat setelah
volume darah dikembalikan ke normal.
1) Obat vasoaktif. Obat vasoaktif yang mencegah gagal jantung diberikan.
2) Insulin diberikan jika dehidrasi sekunder akibat hiperglikemia.
3) Desmopresin (DDAVP). Desmopresin diberikan untuk diabetes insipidus.
4) Obat anti diare. Jika dehidrasi karena diare, obat antidiare diberikan.
5) Antiemetik. Jika penyebab diare adalah muntah, diberikan antiemetik.
d. Keberhasilan resusitasi juga memerlukan dukungan fungsi respirasi. Suplementasi
oksigen harus diberikan, dan intubasi endoktrakeal mungkin penting untuk menjaga
oksigenasi arterial.
Gambar pneumatic antishock garment
8. Pencegahan
Untuk pencegahan syok hipovolemik, beberapa hal yang harus dilakukan:
a. Deteksi dini.
Lakukan penilaian pada pasien, pasien dengan kondisi-kondisi yang dapat
mengurangi volume darah dilabeli sebagai pasien berisiko.
b. Input & Output yang akurat
Perkirakan cairan yang keluar dan cairan penggantinya untuk mencegah syok
hipovolemik.

9. Proses Keperawatan
a. Pengkajian
Jika pasien mengalami trauma, lakukan pengkajian menggunakan pendekatan ABCDE.
Airway
3) Peningkatan sekresi pernapasan
4) Bunyi napas snoring, gurgling, stridor
Breathing
4) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/ bradipneu, retraksi.
5) Menggunakan otot aksesori pernapasan
6) Kesulitan bernapas : lapar udara, diaforesis, sianosis.
7) Sucking wound
Circulation
4) Pucat, nadi lemah, takikardia, bradikardia, CRT > 2 detik, akral dingin
5) Sakit kepala
6) Penurunan haluaran urin
Disability
Gelisah, penurunan kesadaran
Exposure
DOTS (Deformity/kelainan bentuk tubuh, Open wound/luka terbuka, Tenderness/nyeri
tekan, Swelling/bengkak)

Riwayat. Pada pasien trauma, anamnesa untuk menentukan mekanisme cedera dan
informasi apa pun yang dapat meningkatkan kecurigaan cedera tertentu.Anamnesis
sangat penting dalam menentukan kemungkinan penyebab dan dalam menentukan
tindakan,
Tanda-tanda vital. Tanda-tanda vital, sebelum tiba di unit gawat darurat, juga harus
diperhatikan.

b. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosis keperawatan utama adalah Hipovolemia

c. Tujuan
Tujuan yang diharapkan adalah pasien mampu mempertahankan Status Cairan
Membaik (L.03028) Ditandai Dengan HR 60-100 Kali Per Menit, TD Sistolik Lebih
Dari Atau Sama Dengan 90 Mm Hg, Tidak Adanya Ortostasis, Haluaran Urin Lebih
Dari 30ml/Jam, Dan Turgor Kulit Normal.

d. Intervensi Keperawatan
1) Manajemen Hipovolemia (I.03116)
a) Observasi
 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,turgor
kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematokrit meningkat, haus dan lemah)
 Monitor intake dan output cairan
b) Terapeutik
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
c) Edukasi
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
d) Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. cairan NaCl, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis. glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (mis. albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah
2) Pemantauan Cairan (I.03121)
a) Observasi
 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
 Monitor frekuensi nafas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit,
natrium, kalium, BUN)
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat
badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia mis. Dyspnea, edema perifer,
edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular
positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur
pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi
intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)

b) Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasi hasil pemantauan
c) Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
e. Evaluasi
Evaluasi dilakukan sesuai dengan hasil yang diharapkan yaitu pasien mampu
mempertahankan Status Cairan Membaik (L.03028) Ditandai Dengan HR 60-100 Kali
Per Menit, TD Sistolik Lebih Dari Atau Sama Dengan 90 mm/Hg, Tidak Adanya
Ortostasis, Haluaran Urin Lebih Dari 30ml/Jam, Dan Turgor Kulit Normal.

Kasus
Seorang laki-laki berumur 16 tahun, berat badan 50 kg, dibawa ke IGD karena mengalami
kecelakaan lalu lintas. Pada saat di IGD, kesadaran pasien somnolen dan tampak luka pada area
ekstemitas atas dan bawah. Hasil Hasil pengkajian pernapasan cepat dan dalam, tidak ada retraksi,
akral dingin, pucat, refill kapiler 4 detik, nadi teraba lemah dan cepat, frekuensi napas 30
kali/menit, frekuensi nadi 120 kali/menit, tekanan darah 90/60 mmHg. Terdapat perdarahan aktif
di femur kanan pasien. Buatlah asuhan keperawatan gawat darurat pada kasus tersebut!
Soal
1. Seorang perempuan berusia 25 tahun dibawa ke IGD karena kecelakaan lalu lintas.
Hasil pengkajian GCS 11, wajah pucat, akral teraba dingin, CRT >2 detik, frekuensi nadi
110 kali/menit, tekanan darah 90/80 mmHg, frekuensi napas 30 kali/menit. Tampak
jejas di abdomen. Apakah tindakan yang tepat dilakukan oleh perawat?
a. Berkolaborasi dalam pemberian cairan kristaloid secara guyur
b. Berkolaborasi dalam pemberian transfusi darah
c. Elevasi kepala 10-30 derajat guna mencegah peningkatan TIK
d. Melakukan CT Scan Abdomen guna mengetahui Penyebab
e. Memberikan Oksigen dengan NRM 12 L/Menit dalam pemberian Oksigen
2. Seorang laki-laki berusia 16 tahun dibawa ke UGD karena mengalami kecelakaan lalu
lintas. Hasil pengkajian nadi lemah dan cepat dengan frekuensi 120 kali/menit, akral
dingin, suhu 36,2C, sianosis di ujung jari, kesadaran menurun dengan GCS 11 dan
tampak fraktur femur yang telah dibidai. Apakah tindakan yang tepat dilakukan
perawat?
a. Control perdarahan dengan balut tekan
b. Berikan cairan kristaloid hangat dengan 2 jalur
c. Selimuti klien dengan selimut tebal
d. Berikan oksigen melalui Rebreathing Mask 10 L/menit
e. Ambil darah utntuk pemeriksaan crossmatch
3. Seorang laki-laki berumur 16 tahun, berat badan 50 kg, dibawa ke IGD karena
mengalami kecelakaan lalu lintas. Pada saat di IGD, kesadaran pasien somnolen dan
tampak luka pada area ekstemitas atas dan bawah. Hasil Hasil pengkajian pernapasan
cepat dan dalam, tidak ada retraksi, akral dingin, pucat, refill kapiler 4 detik, nadi
teraba lemah dan cepat, frekuensi napas 30 kali/menit, frekuensi nadi 120 kali/menit,
tekanan darah 90/60 mmHg. Terdapat perdarahan aktif di femur kanan pasien.
Apakah masalah keperawatan utama pada kasus tersebut?
a. Resiko infeksi
b. Pola napas tidak efektif
c. Penurunan curah jantung
d. Hipovolemia
e. Kerusakan integritas kulit
4. Seorang laki-laki berusia 18 tahun dibawa ke IGD karena kecelakaan lalu lintas. Hasil
pengkajian didapatkan pasien tampak pucat, akral dingin, perdarahan massif pada kaki
kanan bawah yang telah dibalut. Kesadaran pasien menurun dengan GCS 10, tekanan
darah 90/60 mmHg, nadi 120 kali teraba lemah, frekuensi napas 30 kali/menit, suhu
38C. apakah tindakan keperawatan utama pada kasus tersebut?
a. Monitor perdarahan
b. Berikan posisi trendelenberg
c. Berikan oksigen 6L
d. Resusitasi cairan
e. Pemasangan OPA
5. Seorang laki-laki berusia 15 tahun dibawa ke IGD dengan keluhan penurunan
kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas. Hasil pemeriksaan tampak luka di ekstremitas
atas dan bawah, terdapat perdarahan aktif di femur, tekanan darah 110/70 mmHg,
frekuensi nadi 100 kali/menit, frekuensi napas 25 kali/menit. Pasien telah diberikan
oksigen 6L. apakah tindakan selanjutnya yang harus dilakukan perawat?
a. Melakukan bebat tekan pada luka
b. Memberikan posisi trendelenberg
c. Memberikan infus dengan guyur
d. Melakukan jahit luka terbuka
e. Kolaborasi pemberian dopamine

Referensi
Kurniati, dkk. (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana Sheehy. Edisi Indonesia Pertama,
Singapura: Elsevier
Emergency Nursing Association. (2013). Emergency Nursing Core Curriculum (7 Eds). Philadelphia:
WB Saunders Company
PPNI .(2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI): Definisi dan Indikator Diagnostik
((cetakan III) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI): Definisi dan Tindakan Keperawatan
((cetakan II) 1 ed.). Jakarta: DPP PPNI
Schumacher, L., & Chernecky, C. (2010). Saunders Nursing Survival Guide Critical Care and
Emergency Nursing 2nd ed. United states of america: Saunders Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai