STUNTING
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara
Oleh :
2006112034
Preseptor :
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah,
dan kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
"Stunting". Penyusunan tugas ini merupakan salah satu pemenuhan syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di SMF Ilmu Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, penulis
mengucapan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1
berjenis kelamin laki-laki sering terjadi pada usia 12-35 bulan dengan prevalensi
41,2% pada usia 12-23 bulan dan 43% usia 24-35 bulan7.
Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara
berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan
risiko kematian selama masa kanak-kanak. Selain itu dapat menyebabkan
kematian, mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh. Berdasarkan besarnya
masalah stunting, suatu wilayah dianggap memiliki masalah ringan bila prevalensi
stunting berada anatara 20-29%, sedang bila 30-39% dan berat bila >40% 5.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh, sedangkan dampak jangka panjang adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi3.
2
BAB 2
LAPORAN KASUS
3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Pasien memiliki riwayat cacingan
2. Riwayat campak disangkal
3. Riwayat alergi disangkal
4. Riwayat diare kronik disangkal
5. Riwayat kejang disangkal
6. Riwayat demam dan batuk pilek ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat malnutrisi dalam keluarga disangkal.
F. Riwayat Pemakaian Obat
Ibu pasien biasanya memberikan paracetamol kepada pasien setiap kali
pasien demam, pasien juga pernah mengkonsumsi obat cacing.
G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Berdasarkan catatan kesehatan ibu pasien selama kehamilan, ibu pasien
G2P2. Pasien mengikuti ANC setiap 3 bulan sekali. Pasien tidak memiliki
masalah kesehatan yang berat selama kehamilan. Pasien mendapati suplementasi
tablet Fe selama trimester ketiga. Pasien merupakan anak kedua, dilahirkan cukup
bulan secara SC berat lahir 2500 gram.
H. Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI sejak mulai lahir hingga saat ini. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien diberikan ASI selama 6 bulan dengan penambahan air
putih. Sejak usia 6 bulan pasien mau makanan pendamping ASI (MPASI) tapi
sedikit.
I. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi tidak dilakukan, sehingga riwayat imunisasi tidak
lengkap, yaitu:
BCG - - - - - -
DPT/ DT - - - - - -
4
Polio - - - - - -
Campak - - - - - -
Hepatitis B - - - - - -
MMR - - - - - -
HiB - - -
5
AMA sekolah
4. An. Anak ke 2 L 18 bln Belum Tidak Bekerja
MRA Sekolah
6
Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga
- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS
Kualitas Menurut
pelayanan keluarga
kesehatan kualitas
pelayanan
kesehatan yang
didapat cukup
memuaskan.
7
2.6 Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Pasien memiliki riwayat susah makan, kebiasaan makan nasi 2 suap sekali
makan dalam waktu 3 kali dalam sehari. Pasien jarang mengkonsumsi buah dan
sayaur. Saat pasien tidak mau makan nasi ibu pasien selalu memberikan ASI.
Direncanakan pasien akan diberikan makanan PMT yang didapat dari Puskesmas
sebanyak 2 kotak yang berisi 84 keping/perkotak dan diberikan RUTF.
8
Anak tampak pendek
Kepala Simetris, normosefali, rambut hitam lurus tidak mudah dicabut.
Wajah Edema (-), kulit sawo matang
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), palpebra edema (-/-),
Mata
ptosis (-/-), eksoftalmus (-/-)
Telinga Normotia (+/+), Sekret (-/-)
Hidung Simetris (+), Sekret (-/-) cair
Mulut Mukosa bibir tampak pucat (-) sianosis (-)
Leher Simetris, perbesaran tiroid (-),perbesaran KGB (-)
Paru
Inspeksi: normochest, simetris
Palpasi: stem fremitus normal (kanan = kiri)
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: SP: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis tidak teraba
Perkusi: Tidak dilakukan
Auskultasi: murmur (-), gallop (-)
Inspeksi:distensi (-), pelebaran vena (-)
Palpasi: soepel (+)
Abdomen
Perkusi: timpani
Auskultasi: peristaltik(+), normal
Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas Akral hangat (+/+), sianosis (-).
9
Stunting + Gizi Buruk
2.9 Penatalaksanaan
Promotif
a. Memberikan edukasi mengenai gizi kurang dan gizi buruk, termasuk
gejala-gejala serta komplikasi yang akan timbul.
b. Menyarankan anggota keluarga untuk mengonsumsi makanan yang bergizi
sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang dengan memberikan leaflet
sehingga bisa dibaca dan difahami oleh keluarga pasien.
c. Memberikan penjelasan mengenai cara penanganan gizi kurang atau gizi
buruk dengan perubahan sikap dan perilaku anggota keluarga. Lingkungan
sekitar juga harus diperhatikan untuk mencegah penyakit infeksi yang
dapat menyebabkan nafsu makan berkurang.
d. Menyarankan untuk mengikuti program kesehatan yang ada setiap bulan di
Posyandu.
e. Memberikan penjelasan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, jamban
sehat, serta program 3M dengan melampirkan poster kesehatan dari
kemenkes.
Preventif
a. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
b. Deteksi dini sekiranya penderita atau anggota keluarga yang lain terjangkit
penyakit yang disebabkan oleh kurangnya gizi dalam jangka waktu yang
panjang. Misalnya, melakukan penimbangan berat badan.
c. Mendapatkan pengobatan sedini mungkin jika pasien sakit. Pengobatan
yang cepat dan tepat dapat mengurangi morbiditas dan meningkatkan
produktivitas semua anggota keluarga.
d. Membuka dan menutup jendela kamar secara rutin.
10
WaktuMakan Kerangka Menu Hidangan BahanMakanan
Kuratif
a. Edukasi jadwal dan pola makan berdasarkan kebutuhan BB ideal.
b. Lanjutkan pemberian PMT
11
c. Pemberian Vitamin Curcuma Syr 3x1 cth
Rehabilitatif
a. Makan makanan dengan gizi seimbang.
b. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun.
2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam
2.11 Anjuran
Menganjurkan pasien untuk rutin kunjungan ulang setiap bulan untuk
periksa secara teratur di Puskesmas
Menganjurkan keluarga pasien untuk menerapkan PHBS.
Melakukan imunisasi.
Memperbaiki status gizi dengan pemberian makan makanan yang
beragam, bergizi dan seimbang, guna meningkatkan imunitas tubuh.
Memperbaiki hygine keluarga, dan lingkungan sekitar
Ibu segera memberitahukan pada petugas/ kader bila balita mengalami
sakit.
2.12 Faktor Risiko Lingkungan Fisik dari Penyakit
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan anggota keluarga 4 orang. Bahan
bagunan, pencahayaan, jamban dan pengelolaan limbah yang masih belum
memenuhi kriteria rumah sehat.
2.13 Faktor resiko lingkungan sosial dari penyakit
Faktor pendidikan orang tua juga erat kaitannya dengan pengetahuan
mengenai gizi sehingga akan berakibat terhadap buruknya pola asuh balita.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan
pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk
mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi. Dengan demikian pendidikan juga memiliki hubungan
terhadap sikap dan perilaku seseorang.
12
Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan
terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam
memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan
balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit infeksi.
BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
13
3.1 Definisi dan Faktor Risiko
Stunting (pendek) merupakan ganguan pertumbuhan linier yang
disebabkan adanya malnutrisi18. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang
bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan.
Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur
(TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO19.
Faktor risiko stunting adalah10,20:
1. Imunisasi dasar lengkap
Pada penelitian yang dilakukan oleh Agarwal et al (2014) mendapatkan
bahwa malnutrisi lebih banyak ditemukan pada anak yang tidak diimunisasi
daripada anak yang diimunisasi11. Imunisasi bermanfaat untuk melindungi
bayi dan balita dari penyakit infeksi yang berbahaya seperti TBC, Hepatitis B,
Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak 12. Infeksi yang menghambat reaksi
imunologis yang normal dengan menghabiskan energi tubuh. Apabila balita
tidak memiliki imunitas terhadap penyakit, maka balita akan lebih cepat
kehilangan energi tubuh karena penyakit infeksi, sebagai reaksi pertama akibat
adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak
makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti
berkurangnya pemasukan zat gizi dalam tubuh anak13.
2. Pola Asuh Praktik Pemberian Makan dan Pemberian ASI ekslusif
Asupan nutrisi pada anak memegang peranan penting dalam optimalisasi
tumbuh kembang pada anak. Asupan nutrisi yang kurang akan menyebabkan
kondisi kesehatan anak menjadi kurang baik, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, serta dapat menyebabkan kematian14. Besarnya pengaruh ASI
eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan agar
menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama
sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets
2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun23.
14
Asupan zat gizi yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu asupan zat gizi makro atau mkronutrien dan
asupan zat gizi mikro atau mikronutrien. Berdasarkan hasil-hasil penelitian,
asupan zat gizi makro yang paling mempengaruhi terjadinya stunting adalah
asupan protein, sedangkan asupan zat gizi mikro yang paling mempengaruhi
kejadian stunting adalah asupan kalsium, seng, dan zat besi27.
3. Berat Badan Lahir Rendah
Pada anak yang mengalami berat badan lahir rendah, zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit
infeksi. Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan
makanan yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat
menyebabkan gizi buruk15. Penelitian yang dilakukan oleh Abuya et al (2012),
bahwa anak dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram, memiliki risiko
menjadi stunting sebesar 3,26 kali dibandingkan dengan anak yang lahir
dengan berat badan normal16.
4. Panjang badan lahir rendah
Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian
di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang pendek
berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita 21. Penelitian Anugraheni
(2012) di Pati yang menunjukkan bahwa risiko stunting lebih tinggi dialami
oleh balita dengan panjang lahir rendah (< 48 cm). Risiko untuk terjadi
gangguan tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi yang telah
mengalami falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa kehamilan dan
prematuritas. Artinya, panjang badan yang jauh di bawah ratarata lahir
disebabkan karena sudah mengalami retardasi pertumbuhan saat dalam
kandungan. Retardasi pertumbuhan saat masih dalam kandungan
menunjukkan kurangnya status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil
sehingga menyebabkan anak lahir dengan panjang badan yang kurang22.
5. Garam Beryodium
Yodium merupakan bagian integral dari kedua macam hormone tiroksin
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon
15
ini adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid
mengontrol kecepatan pelepasan energi dan zat gizi yang menghasilkan
energi. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30%. Disamping itu
kedua hormon ini mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah
merah serta fungsi otot dan saraf, apabila kadar senyawa T3 kurang akibat
kebutuhan yodium yang tidak tercukupi, maka laju metabolisme basal sel akan
rendah sehingga proses tumbuh kembang menjadi terganggu dan terhambat17.
Berdasarkan analisis penyebab atau faktor risiko stunting maka dapat
disimpulkan bahwa tingginya prevalensi stunting di Indonesia disebabkan
oleh28:
1. Faktor ibu
1.1 tinggi badan ibu kurang dari normal
1.2 ibu mengalami malnutrisi terutama pada waktu hamil dan
menyusui
2. Faktor ayah
2.1 tinggi badan ayah kurang dari normal
2.2 ayah perokok/peminum alkohol
3. Faktor anak
3.1 berat badan lahir rendah
3.2 tidak memperoleh ASI eksklusif
3.3 sering mengalami infeksi
3.4 asupan zat gizi kurang
4. Faktor lingkungan
4.1 lingkungan sosial :
a. Lingkungan keluarga: pengetahuan orang tua tentang
stunting masih kurang, pola asuh kurang tepat
b. Lingkungan masyarakat: dukungan dan kepedulian
masyarakat terhadap stunting masih kurang
c. Lingkungan negara: usaha atau program penanggulangan
stunting belum berhasil
16
4.2 lingkungan biologis
a. kebersihan lingkungan kurang
b. angka kejadian penyakit infeksi masih tinggi
3.2 Epidemiologi
Pada Global Nutrition Targets 2025, Stunting merupakan kejadian global,
diperkirakan 171 juta hingga 314 juta anak berumur di bawah limatahun
mengalami Stunting dan 90% di negara Benua Afrika dan Asia . Global Nutrition
Report menunjukkan Indonesia masukdalam 17 dari 117 negara, yang mempunyai
tiga masalah gizi (Stunting, wasting dan overweight) pada balita 32. Berdasarkan
data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang,
kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun
2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 201724.
17
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%)24.
Gambar 2.2 Tren Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-
201725.
18
2.3 Patofisiologi
Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai
familial short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua
maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola
pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan
bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental
high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. Perawakan
pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil
3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau
salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 328.
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit
infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan,
hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi IGF-1.
Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti
kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down,
sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter28.
19
panjang atau tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat
mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangatpendek (severely
stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit30.
Gambar 2.5 Panjang Badan menurut Umur Anak Laki-laki 0-24 Bulan30
20
Gambar 2.6 Tinggi Badan menurut Umur Anak Laki-laki 24-60 Bulan30.
Gambar 2.7 Panjang Badan menurut Umur Anak Perempuan 0-24 Bulan30.
21
Gambar 2.8 Tinggi Badan menurut Umur Anak Perempuan 24-60 Bulan30.
22
Gambar 2.9 Alur Pendekatan Stunting33.
23
1. Gizi formal
2. Pendidikan gizi non formal
c. Suplementasi Ibu hamil
d. Suplementasi ibu menyusui
e. Suplementasi mikronutrien untuk balita
f. mendorong peningkatan aktivitas anak diluar ruangan
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
4.1 Kerangka Prioritas Masalah
Fish Bone
1. Pendidikan
Sesuai dengan teori kesehatan dan gizi, pendidikan mempengaruhi kualitas
gizi anak. Ketika pendidikan kepala rumah tangga rendah, maka pengetahuan
mereka terhadap kesehatan dan gizi menjadi rendah sehingga pola konsumsi gizi
untuk anak menjadi tidak baik. Kondisi ini ditemukan dalam kasus gizi di
Sumatera Barat. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD)
memiliki risiko yang besar terhadap kualitas gizi anak dimana probabilitas risiko
gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tua dengan
pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
Selanjutnya semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin kecil risiko anak
balita terkena gizi buruk dan gizi kurang.
2. Ekonomi
Status ekonomi cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan.
meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Semakin tinggi pendapatan
seseorang maka proporsi pengeluaran untuk makanan semakin rendah, tetapi
kualitas makanan semakin membaik. Sebaliknya semakin rendah pendapatan
26
seseorang , maka semakin tinggi proporsi untuk makanan tetapi dengan kualitas
makanan yang rendah.
3. Biologi
Jumlah balita gizi buruk dan kurang menurut hasil Riskesdas 2018 masih
sebesar 17,7%. Prevalensi 10 provinsi terbesar menyumbang kasus gizi buruk dan
gizi kurang di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 33%, Papua
Barat 30,9% Sulawesi Barat 29,1%, Maluku 28,3%, Kalimantan Selatan 27,4%,
Kalimantan Barat 26,5%, Aceh 26,3%, Gorontalo 26,1%, Nusa Tenggara Barat
(NTB) 25,7% dan Sulawesi Selatan 25,6%. Provinsi Aceh merupakan provinsi ke
tujuh sebagai penyumbang kasus gizi buruk dan kurang terbanyak. Balita Aceh
dalam status gizi kurang terjadi penurunan sebesar 0,6% dari hasil Pemantauan
Hasil Gizi (PSG) tahun 2016. Namun rerata nasional prevalensi balita kurus Aceh
(12.8%) hampir dua kali dari prevalensi Nasional (6,9%). Tahun 2017 dilakukan
studi monitoring dan evaluasi program gizi PSG adapun kabupaten/kota yang
masih tinggi status gizi kurang dan buruknya adalah Pidie Jaya (17,5%), Aceh
Utara (15,9%), dan Aceh Barat Daya (15,8%).
Kondisi batuk dan pilek yang sering terjadi pada pasien dapat
mempengaruhi nafsu makan pasien. Penyakit infeksi akibat virus atau bakteri
dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tubuh
terhadap cairan, protein, dan zat-zat gizi lain. Penyakit infeksi dapat menyebabkan
penurunan nafsu makan dan keterbatasan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini
menyebabkan gizi kurang akibat penyakit infeksi mudah terjadi. Penelitian yang
dilakukan Picauly (2013) menunjukkan bahwa anak yang memiliki riwayat
penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting lebih besar dibandingkan
anak yang tidak memiliki riwayat infeksi penyakit. Anak yang memiliki riwayat
penyaki infeksi akan berpeluang mengalami stunting 2,3 kali dibandingkan
dengan anak tanpa riwayat penyakit infeksi.
4. Perilaku
Kejadian gizi kurang dan gizi buruk berkaitan dengan sikap ibu terhadap
makanan. Sikap terhadap makanan berarti juga berkaitan dengan kebiasaan
makan, kebudayaan masyarakat, kepercayaan dan pemilihan makanan. Budaya
27
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karya dan karsa. Budaya berisi norma-
norma sosial yakni sendi-sendi masyarakat yang berisi sanksi dan hukuman-
hukumannya yang dijatuhkan kepada golongan bilamana yang dianggap baik
untuk menjaga kebutuhan dan keselamatan masyarakat itu dilanggar. Norma-
norma itu mengenai kebiasaan hidup, adat istiadat, atau tradisi-tradisi hidup yang
dipakai secara turun temurun.33
Kebiasaan makanan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas),
kesukaan makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan
tertentu. Kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya
kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpenuhinya kecukupan
gizi), seperti adanya pantangan, atau tabu yang berlawanan dengan konsep-
konsep gizi. Masalah yang dapat menyebabkan kekurangan gizi adalah tidak
cukup pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang
baik. Kebiasaan makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena
kebiasaan makanan mempengaruh pemilihan dan penggunaan panganselanjutnya
mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga.34
Persoalan gizi kurang dan gizi buruk pada balita dapat disebabkan sikap
atau perilaku ibu yang menjadi faktor dalam pemilihan makanan yang tidak benar.
Pemilahan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan
keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang
makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan
makanan terutama untuk anak balita, sehingga zat-zat gizi dalam kualitas dan
kuantitas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.35
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan kebiasaan untuk
menerapkan kebiasaan yang baik, bersih dan sehat secara berhasil guna dan
berdaya guna baik dirumah tangga, institusi-institusi maupun tempat-tempat
umum.. Hal ini dapat dilihat pada keluarga pasien pada kasus ini yang tidak
memenuhi kebutuhan gizi pasien sehari-hari, pemberian makan anak yang kurang
tepat serta pengetahuan mengenai gizi seimbang yang kurang memadai. Faktor-
faktor sosial-demografi, balita dengan gizi kurang mempunyai definisi yang
sangat luas diantaranya seperti kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan dimana
28
balita tersebut dilahirkan, kehidupan sosial, pekerjaan dan usia orang tua,
termasuk kesehatan dan kesejahteraan sosial.
5. Pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan merupakan salah satu pilar penting untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan suatu kondisi kesehatan atau penyakit tertentu.
Kurangnya keaktifan tenaga kesehatan dapat terlihat dari system pencatatan yang
masih kurang baik. Dimana tidak semua pasien malnutrisi yang datanya tercatat
dilengkapi dengan nomor telepon yang dapat dihubungi. Seperti diketahui bahwa
program pemberian susu formula dan makanan tambahan bagi pasien malnutrisi
diberikan setiap bulan, sehingga dengan ketidaklengkapan data pasien tadi
dikhawatirkan dapat menyebabkan pasien yang tidak rutin berobat kembali ke
Puskesmas setiap bulannya dapat lepas dari pemantauan.
4 Penyakit penyerta 4 5 5 14
Keterangan :
berdasarkan skala likert 1-5
- 5 = sangat besar
- 4 = besar
- 3 = sedang
- 2 = kecil
29
- 1 = sangat kecil
MATRIKS CARA PEMECAHAN MASALAH
No Masalah Pemecahan masalah
.
30
lintas sektoral
Upaya promotif
Penyuluhan kesehatan berupa:
1. Edukasi keluarga tentang stunting dan gizi buruk, penyebab dan
penanganannya
2. Edukasi keluarga tentang pentingnya imunisasi
3. Edukasi pentingnya membawa balita ke posyandu untuk diperiksa setiap
bulannya
4. Edukasi pentingnya menjaga pola makan keluarga dengan menu seimbang
dan jadwal makan yang teratur
Upaya preventif
Upaya preventif diperlukan:
1. .Meningkatkan asupan gizi pada keluarga,berupa makanan bervariasi
dengan pola gizi seimbang
2. Menjaga kebersihan lingkungan dan keluarga untuk mencegah penyakit
infeksi lain
3. ..Melakukan kunjungan ulang setiap bulan untuk periksa secara teratur di
Puskesmas.
4. ..Pentingnya pemberian ASI Eklusif sampai usia bayi 6 bulan.
5. Tindakan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Lingkungan yang sehat
dan bersih dapat mencegah timbulnya penyakit
31
6. Mengadakan penjaringan aktif dan pasif yaitu dengan jalan menemukan
kasus balita stunting dan gizi buruk melalui pemeriksaan antropometri
seperti berat badan dan tinggi badan secara rutin dengan di wilayah
kerjanya, dengan pengukuran berat badan dan melihat tanda-tanda klinis.
7. Promosi kesehatan mengenai stunting dan gizi buruk kepada pasien dan
keluarganya tentang penyebab dan pencegahanya.
Upaya Kuratif
1. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan mendapatkan makanan bergizi
seimbang dan penerapan PHBS untuk mencegah infeksi.
2. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan mendapat suplemen dan
vitamin tambahan untuk menunjang pertumbuhan.
Upaya rehabilitatif
1. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan sering melakukan kontrol ulang
ke pusat pelayanan kesehatan terdekat dalam hal ini Pukesmas Lhoksukon
untuk monitoring.
Monitoring yang dilakukan meliputi:
a. Menimbang dan mengukur tinggi badan untuk mengevaluasi terapi
yang diberikan.
b. Menilai perkembangan motorik pada pasien apakah sudah sesuai
dengan usia pasien atau tidak.
Upaya psikososial
Bekerja sama dengan dinas terkait untuk mengatasi masalah pekerjaan
bagi orangtua pasien.
32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus keluarga binaan tentang stunting usia 18 bulan
di Puskesmas Tanah pasir Kabupaten Aceh Utara tahun 2022 di dapatkan bahwa:
a. Faktor risiko terjadinya stunting pada Pasien An. MRF adalah faktor
biologis, tingkat pendidikan orang tua, perilaku, akses pelayanan
kesehatan dan ekonomi yang minim.
b. Pasien An. MA didiagnosa stunting berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan antropometri. Pada anamnesis
diketahui bahwa An. MA dengan keluhan panjang badan dan berat badan
yang tidak sesuai dengan usia
c. dan susah makan. Pemeriksaan status gizi pasien berdasarkan Z- score
yaitu berat badan sangat kurang menurut pengukuran BB/U, stunting
menurut pengukuran PB/U dan gizi buruk menurut pengukuran BB/PB.
d. Pada kasus ini An. MRA diberikan terapi edukasi dan pemberian makanan
tambahan dan vitamin.
5.2 Saran
1. Bagi puskesmas
Diharapkan kepada seluruh tenaga kerja kesehatan terutama bagian
promosi kesehatan dan Posyandu Desa Kumbang serta di
Puskesmas tanah pasir agar lebih aktif melakukan penyuluhan dan
edukasi mengenai stunting dan malnutrisi baik secara konseling
maupun melalui media seperti leaflet.
Diharapkan agar petugas dan kader di Puskesmas Tanah pasir
untuk lebih memperhatikan lagi bagian pencatatan pasien agar
kedepannya dapat dilakukan follow up dengan baik.
Diharapkan kepada petugas kader agar diberikan pelatihan khusus
tentang pola asuh dan cara makan anak dengan baik agar dapat
33
mencari alternatif dalam memberikan makanan dan lebih pro aktif
didalam memberdayakan keluarga dengan kasus anak stunting dan
gizi buruk.
Diharapkan hasil dari kegiatan keluarga binaan ini dapat menjadi
masukan bagi Puskesmas Tanah paisr untuk perubahan yang lebih
baik.
2. Bagi keluarga
Diharapkan dapat menjadi masukan bagi keluarga dalam merubah
pola hidup sehari–hari dan dapat lebih mengerti tentang
pengobatan dan pencegahan komplikasi yang dapat timbul dari
malnutrisi.
Mendorong keluarga untuk selalu memberikan dukungan dan
pengobatan terhadap pasien hingga tuntas.
Mendorong keluarga untuk menjaga pola makan sesuai menu gizi
seimbang dengan selalu mengkonsumsi buah dan sayur.
.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
of PEM among under-five children in slums of Kanpur. Indian Journal of
Community Health, 26(4), 396–400
12. Kementerian Kesehatan. (2011). Buku Panduan Kader Posyandu. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
13. Anhari. (2008). Pemberian Makanan Untuk Bayi Dasar Dasar Fisiologi
(Cetakan I). Jakarta: Binarupa Aksara
14. Sulistyoningsih. (2011). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: TIM.
15. Kosim. (2008). Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
16. Abuya, B. A., Ciera, J., & Kimani-Murage, E. (2012). Effect of mother’s
education on child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC
Pediatrics, 12, 80. https://doi.org/10.1186/1471-2431-12- 80.
17. Devi. (2012). Hubungan Penggunaan Garam Beryodium Dengan
Pertumbuhan Linier Anak. Jurnal TIBBS (Teknologi Industri Boga Dan
Busana), 3(1), 52–57.
18. Kementerian Kesehatan. (2013). Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan
Informasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
19. WHO. (2010). Nutrition landscape information system (NLIS) country
profile indicators: Interpretation guide. Geneva: World Health
Organization.
20. Khoirun Ni’mah, Siti Rahayu Nadhiroh. Faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1
Januari–Juni 2015: hlm. 13–19.
21. Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten
Kendal. Journal ofNutrition College, 3(2), 16-25. Diakses dari
http://www,ejournals1.undip.ac.id.
22. Anugraheni, H. S. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada anak usia
12-36 bulan di kecamatan Pati, Kabupaten Pati (Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang). Diakses dari http://www.ejournal-s1.undip.ac.id.
36
23. WHO. (2014). WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy brief.
Geneva: World Health Organization.
24. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. ISSN: 2088-270 X. 2018.
25. Joint Child Malnutrition Eltimates, 2018
26. Pemantauan Status Gizi, Ditjen Kesehatan Masyarakat 2018
27. Candra A., Nugraheni N., Hubungan Asupan Mikronutrien Dengan Nafsu
Makan Dan Tinggi Badan 50 Balita," Jnh (Journal Of Nutrition And
Health), Vol. 3, No. 2, Aug. 2015.
28. Aryu Candra, Epidemiologi Stunting. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang. ISBN: 978-623-7222-63-7. Tahun
2020.
29. Erna Kusumawati, Setiyowati Rahardjo, Hesti Permata Sari. Fakultas
Ilmu-Ilmu Kesehatan Univ. Jend. Soedirman Jl. dr. Soeparno Gd B
Kampus Unsoed Karawang Purwokerto, No.Telp: 0281-641202, e-mail:
erna_watifadhila@yahoo.com. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol. 9, No. 3, Februari 2015.
30. PMK_No__2_Th_2020_ttg_Standar_Antropometri_Anak.pdf
31. Herman Sudirman. Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau
Adaptasi Karena Masalah Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media
Litbang Kesehatan. Volume XVIII Nomor 1 tahun 2008.
32. WHO, 2014. Global Nutrition Targets 2025: Breestfeeding Policy Brief.
[Online] Available at:
http://www.who.int/nutrition/publications/globaltarget2025_policybrief_br
eastfeeding/en/
33. Sjarif DR. Simposium dan Workshop Stunting. 2017 (dengan modifikasi)
34. Tarigan, IU, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak
Umur 6-36 Bulan SSebelum dan Saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah,
Buletin Penelitian Kesehatan, 2013.
35. RisKesDas. Hasil utama RISKESDAS 2018. Kementrian Kesehatan RI.
2018.
37
36. Bening, S., Margawati, A. & Rosidi, A. Asupan Zink, Riwayat ISPA dan
Penngeluaran Pangan sebagai Faktor Resiko Stunting pada Anak Usia 2-5
tahun di Kota Semarang. J. Gizi 7, 20–29 (2018).
38
Lampiran 1
Faktor internal dan eksternal dalam keluarga
N Kriteria Permasalahan Intervensi
O
39
tambahan yang
dapat di berikan
untuk mengejar
berat badan anak
yang hilang
- Melakukan
pengukuran TB
dan penimbangan
BB tiap kali
kunjungan serta
memberitahu ke
ibu pasien status
gizi pasien
3. Perilaku
40
c. Pasien yang jarang
mengenakan sandal saat
- Mengedukasi ibu
bermain di halaman
untuk menerapkan
rumah
perilaku hidup
d. Perolehan imunisasi yang
bersih dan sehat
kurang
untuk pasien dan
keluarga.
41
Lampiran 2
Kriteria Rumah Sehat
HASIL
KOMPONEN PENILAI
N NIL BOBO
RUMAH YG KRITERIA AN
O AI T
DINILAI (NO. KK)
I KOMPONEN 31 Poin
RUMAH
1 Langit-langit a. Tidak ada 0
b. Ada, kotor, sulit dibersihkan, 1 1
dan rawan kecelakaan
c. Ada, bersih dan tidak rawan 2
kecelakaan
2 Dinding a. Bukan tembok (terbuat dari 1 1
anyaman bambu/ilalang)
b. Semi permanen/setengah 2
tembok/pasangan bata atau
batu yang tidak
diplester/papan yang tidak
kedap air.
c. Permanen (Tembok/pasangan 3
batu bata yang diplester)
papan kedap air.
3 Lantai a. Tanah 0
b. Papan/anyaman bambu dekat 1
dengan tanah/plesteran
yang retak dan berdebu.
c. Diplester/ubin/keramik/papan 2 2
(rumah panggung).
42
4 Jendela kamar a. Tidak ada 0
tidur b. Ada 1 1
43
1 Sarana Air Bersih a. Tidak ada 0
(SGL/SPT/PP/ b. Ada, bukan milik sendiri dan 1
KU/PAH). tidak memenuhi syarat kesehatan
c. Ada, milik sendiri dan tidak 2
memenuhi syarat kesehatan
d. Ada,bukan milik sendiri dan 3
memenuhi syarat kesehatan
e. Ada, milik sendiri dan 4 4
memenuhi syarat kesehatan
2 Jamban (saran a. Tidak ada. 0
pembua- b. Ada, bukan leher angsa, tidak 1
ngan kotoran). ada tutup, disalurkan kesungai /
kolam
c. Ada, bukan leher angsa, ada 2
tutup, disalurkan ke sungai
atau kolam
d. Ada, bukan leher angsa, ada 3
tutup, septic tank
e. Ada, leher angsa, septic tank. 4 4
3 Sarana a. Tidak ada, sehingga tergenang 0
Pembuangan tidak teratur di halaman
Air Limbah b. Ada, diresapkan tetapi 1 1
(SPAL) mencemari sumber air (jarak
sumber air (jarak dengan
sumber air < 10m).
c. Ada, dialirkan ke selokan 2
terbuka
d. Ada, diresapkan dan tidak 3
mencemari sumber air (jarak
dengan sumber air > 10m).
44
e. Ada, dialirkan ke selokan 4
tertutup (saluran kota) untuk
diolah lebih lanjut.
4 Saran a. Tidak ada 0
Pembuangan b. Ada, tetapi tidak kedap air dan 1 1
Sampah/Tempat tidak ada tutup
Sampah c. Ada, kedap air dan tidak 2
bertutup
d. Ada, kedap air dan bertutup. 3
III PERILAKU 44 Poin
PENGHUNI
1 Membuka Jendela a. Tidak pernah dibuka 0
Kamar Tidur b. Kadang-kadang 1 1
c. Setiap hari dibuka 2
2 Membuka jendela a. Tidak pernah dibuka 0
Ruang Keluarga b. Kadang-kadang 1
c. Setiap hari dibuka 2 2
3 Mebersihkan a. Tidak pernah 0
rumah b. Kadang-kadang 1 1
dan halaman c. Setiap hari 2
45
sampah.
TOTAL HASI PENILAIAN 980
Poin
Keterangan :
Hasil Penilaian : NILAI x BOBOT
Kriteria :
1) Rumah Sehat = 1068 – 1200
2) Rumah Tidak = < 1068
Sehat
46