Anda di halaman 1dari 49

Laporan Kasus

STUNTING

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :

Risa Ayu Nilmarani

2006112034

Preseptor :

dr. Noviana Zara, M.K.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah,
dan kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
"Stunting". Penyusunan tugas ini merupakan salah satu pemenuhan syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di SMF Ilmu Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.
Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, penulis
mengucapan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Pembimbing dr. Noviana Zara, M.K.M atas arahan dan bimbingannya


dalam penyusunan laporan ini.
2. Teman- teman kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu
dalam bentuk motivasi dan dukungan semangat.
Penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam
penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. Aamiin.

Aceh Utara, Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat yang ditandai


dengan banyaknya kasus gizi kurang. Malnutrisi merupakan suatu dampak
keadaan status gizi1. Salah satunya keadaan malnutrisi berhubungan dengan
stunting. Stunting adalah salah satu keadaan malnutrisi yang berhubungan dengan
ketidakcukupan zat gizi masa lalu sehingga termasuk dalam masalah gizi yang
bersifat kronis2. Stunting adalah status gizi yang didasarkan pada indeks PB/U
atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -
3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted)8. Stunting
dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak
berusia dua tahun, dan bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh
kejar) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan. Stunting dibentuk oleh growth
faltering dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal9.
Menurut WHO, prevalensi balita stunting menjadi masalah kesehatan
masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Secara global, sekitar 162 juta anak
balita terkena stunting. Sekitar 3 dari 4 anak stunting di dunia berada di Sub-
Sahara Afrika sebesar 40% dan 39% berada di Asia Selatan. Indonesia termasuk
dalam 14 negara dengan angka balita stunting terbesar dan menempati urutan ke 5
setelah India, Nigeria, Pakistan dan Cina3. Berdasarkan Pantauan Status Gizi
(PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka
tersebut terdiri dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori
pendek.Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah
36,4%6. Menurut pokok pokok hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013, prevalensi stunting di Indonesia pada anak dibawah usia 5 tahun yang

1
berjenis kelamin laki-laki sering terjadi pada usia 12-35 bulan dengan prevalensi
41,2% pada usia 12-23 bulan dan 43% usia 24-35 bulan7.
Stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di negara
berpendapatan rendah dan menengah karena hubungannya dengan peningkatan
risiko kematian selama masa kanak-kanak. Selain itu dapat menyebabkan
kematian, mempengaruhi fisik dan fungsional tubuh. Berdasarkan besarnya
masalah stunting, suatu wilayah dianggap memiliki masalah ringan bila prevalensi
stunting berada anatara 20-29%, sedang bila 30-39% dan berat bila >40% 5.
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh, sedangkan dampak jangka panjang adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi3.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


A. Identitas Pasien
Nama : An. M.RA
Tgl lahir : 11-07-2020
Usia : 18 Bulan
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
Alamat : Kumbang, Tanah Pasir
Agama : Islam
Tanggal Kunjungan : 14 Januari 2022
B. Identitas Orang Tua
Nama ayah : Tn. N Nama Ibu : Ny. N
Usia : 34 tahun Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Petani Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP
2.1 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Tidak nafsu makan sudah 5 hari
B. Keluhan Tambahan
lemas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang balita laki-laki berusia 18 bulan dibawa ibunya dengan keluhan
tidak nafsu makan ke posyandu, sampai di posyandu diperiksa dan anak tersebut
mengalami pertumbuhan yang terhammbat, Ibu pasien baru menyadarinya pada
saat pertama kali ke posyandu pada tanggal 14/1/2022, ibu pasien baru pertama
kali membawa pasien ke posyandu. Pasien sejak lahir mengkonsumsi ASI pada
usia 6 bulan pasien mulai diberi nasi dan makanan lainya, pasien tidak mau
minum susu.

3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Pasien memiliki riwayat cacingan
2. Riwayat campak disangkal
3. Riwayat alergi disangkal
4. Riwayat diare kronik disangkal
5. Riwayat kejang disangkal
6. Riwayat demam dan batuk pilek ada
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat malnutrisi dalam keluarga disangkal.
F. Riwayat Pemakaian Obat
Ibu pasien biasanya memberikan paracetamol kepada pasien setiap kali
pasien demam, pasien juga pernah mengkonsumsi obat cacing.
G. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Berdasarkan catatan kesehatan ibu pasien selama kehamilan, ibu pasien
G2P2. Pasien mengikuti ANC setiap 3 bulan sekali. Pasien tidak memiliki
masalah kesehatan yang berat selama kehamilan. Pasien mendapati suplementasi
tablet Fe selama trimester ketiga. Pasien merupakan anak kedua, dilahirkan cukup
bulan secara SC berat lahir 2500 gram.
H. Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI sejak mulai lahir hingga saat ini. Ibu pasien
mengatakan bahwa pasien diberikan ASI selama 6 bulan dengan penambahan air
putih. Sejak usia 6 bulan pasien mau makanan pendamping ASI (MPASI) tapi
sedikit.
I. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi tidak dilakukan, sehingga riwayat imunisasi tidak
lengkap, yaitu:

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG - - - - - -

DPT/ DT - - - - - -

4
Polio - - - - - -

Campak - - - - - -

Hepatitis B - - - - - -

MMR - - - - - -

HiB - - -

Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap, imunisasi ulangan dan tambahan


tidak ada.
J. Riwayat Tumbuh kembang
Psikomotor :
Tengkurap dan berbalik sendiri : Baik
Duduk : Baik
Merangkak : Baik
Berdiri : Baik
Berjalan : 7 bulan
Berbicara : Baik
2.3 Profil keluarga
Pasien An. M.RF, 18 bulan, merupakan anak dari Tn. N dan Ny. N.
Pasien merupakan anak ketiga dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama kedua
orang tua dan saudara kandungnya.

Tabel Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah


Kedudukan Jenis
Pendidika
No Nama dalam Kelami Umur Pekerjaan
n
keluarga n
1. Tn. N Kepala L 34 th SMA Petani
Keluarga
2. Ny. N Istri P 24 th SMP Ibu rumah
tangga
3. An. Anak ke 1 L 2 th Belum Tidak Bekerja

5
AMA sekolah
4. An. Anak ke 2 L 18 bln Belum Tidak Bekerja
MRA Sekolah

2.4 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


Tabel Lingkungan Tempat Tinggal
Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : Padat
Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
Rumah tidak bertingkat dengan luas : 6 x 8 m2 Keluarga pasien tinggal di
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 4 orang rumah dengan kepemilikian
Luas halaman rumah : 10 x 4 m2 milik sendiri yang dihuni
Atap rumah dari: Seng oleh 4 orang. Pasien tinggal
Lantai rumah dari : Kayu di desa kumbang, Tanah
Dinding rumah dari : Kayu Pasir, Aceh Utara . Rumah
Jumlah kamar : 2 yang dihuni pasien belum
Jumlah kamar mandi :1 memenuhi kriteria rumah
Jendela dan ventilasi : cukup sehat.
Jamban keluarga : ada
Penerangan listrik : 2 ampere
Sumber air bersih : Air Sumur
Tempat pembuangan sampah : Buang di
samping rumah lalu dibakar.

Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga


Pekerjaan orang tua pasien adalah Petani dan ibu rumah tangga.
Pendapatan keluarga pasien tidak menentu. Orang tua pasien mengaku
pendapatannya setiap bulan hanya cukup untuk mencukupi biaya kebutuhan
sehari-hari keluarganya. Pasien ini tinggal di rumah pribadi yang terdiri dari 2
kamar tidur dan 1 kamar mandi yang berada dibelakang terpisah dengan rumah.
Rumah berada di lingkungan perkampungan yang padat hunian.

6
Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga
- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS

Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)


Tabel Pelayanan Kesehatan
Faktor Keterangan Kesimpulan

Cara mencapai Keluarga Letak Puskesmas tidak jauh dari tempat


pusat pelayanan menggunakan tinggal pasien (± 1 km).
kesehatan sepeda motor Untuk biaya pengobatan diakui oleh
untuk menuju keluarga pasien yaitu setiap kali datang
ke puskesmas. berobat tidak dipungut biaya dan
pelayanan. Puskesmas pun dirasakan
Tarif pelayanan Keluarga tidak
keluarga cukup memuaskan.
kesehatan mengeluarkan
uang untuk
biaya
pelayanan
kesehatan yang
dilakukan di
puskesmas

Kualitas Menurut
pelayanan keluarga
kesehatan kualitas
pelayanan
kesehatan yang
didapat cukup
memuaskan.

7
2.6 Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Pasien memiliki riwayat susah makan, kebiasaan makan nasi 2 suap sekali
makan dalam waktu 3 kali dalam sehari. Pasien jarang mengkonsumsi buah dan
sayaur. Saat pasien tidak mau makan nasi ibu pasien selalu memberikan ASI.
Direncanakan pasien akan diberikan makanan PMT yang didapat dari Puskesmas
sebanyak 2 kotak yang berisi 84 keping/perkotak dan diberikan RUTF.

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 14 Januari 2022
 Status Present :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
 Vital sign:
Nadi : 90 kali/menit, irama teratur
Pernapasan : 25 kali/menit
Suhu : 36,5oC
 Pengukuran Antropometri
Umur : 18 bulan
Berat badan : 7 kg
Panjang badan : 67 cm
Lingkar kepala : 51 cm
Lingkar lengan : 15 cm
Lingkar dada : 46,5 cm
Lingkar perut : 49 cm
Status gizi berdasarkan Z-score :
- PB/U : -3 sampai dengan -2 SD (Pendek/Stunted)
- BB/U : <-3 SD (Berat badan sangat kurang/Severely
Underweight)
- BB/TB : <-3 SD (Gizi buruk/Severely Wasted)
 Status Generalis :

8
Anak tampak pendek
Kepala Simetris, normosefali, rambut hitam lurus tidak mudah dicabut.
Wajah Edema (-), kulit sawo matang
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), palpebra edema (-/-),
Mata
ptosis (-/-), eksoftalmus (-/-)
Telinga Normotia (+/+), Sekret (-/-)
Hidung Simetris (+), Sekret (-/-) cair
Mulut Mukosa bibir tampak pucat (-) sianosis (-)
Leher Simetris, perbesaran tiroid (-),perbesaran KGB (-)
Paru
Inspeksi: normochest, simetris
Palpasi: stem fremitus normal (kanan = kiri)
Perkusi: sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi: SP: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis tidak teraba
Perkusi: Tidak dilakukan
Auskultasi: murmur (-), gallop (-)
Inspeksi:distensi (-), pelebaran vena (-)
Palpasi: soepel (+)
Abdomen
Perkusi: timpani
Auskultasi: peristaltik(+), normal
Genitalia Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas Akral hangat (+/+), sianosis (-).

2.8 Diagnosis Kerja

9
Stunting + Gizi Buruk
2.9 Penatalaksanaan
Promotif
a. Memberikan edukasi mengenai gizi kurang dan gizi buruk, termasuk
gejala-gejala serta komplikasi yang akan timbul.
b. Menyarankan anggota keluarga untuk mengonsumsi makanan yang bergizi
sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang dengan memberikan leaflet
sehingga bisa dibaca dan difahami oleh keluarga pasien.
c. Memberikan penjelasan mengenai cara penanganan gizi kurang atau gizi
buruk dengan perubahan sikap dan perilaku anggota keluarga. Lingkungan
sekitar juga harus diperhatikan untuk mencegah penyakit infeksi yang
dapat menyebabkan nafsu makan berkurang.
d. Menyarankan untuk mengikuti program kesehatan yang ada setiap bulan di
Posyandu.
e. Memberikan penjelasan tentang perilaku hidup bersih dan sehat, jamban
sehat, serta program 3M dengan melampirkan poster kesehatan dari
kemenkes.

f. Memberikan edukasi tentang adaptasi kebiasaan baru dan menjelaskan


pentingnya menerapkan protokol kesehatan selama pandemi berlangsung.

Preventif
a. Menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
b. Deteksi dini sekiranya penderita atau anggota keluarga yang lain terjangkit
penyakit yang disebabkan oleh kurangnya gizi dalam jangka waktu yang
panjang. Misalnya, melakukan penimbangan berat badan.
c. Mendapatkan pengobatan sedini mungkin jika pasien sakit. Pengobatan
yang cepat dan tepat dapat mengurangi morbiditas dan meningkatkan
produktivitas semua anggota keluarga.
d. Membuka dan menutup jendela kamar secara rutin.

Rekomendasi Daftar Menu Seimbang

10
WaktuMakan Kerangka Menu Hidangan BahanMakanan

06.00 WIB Susu Susu Susu bubuk 15g (3


sdm)

08.00 WIB Makanan Pokok Nasi tim Nasi tim


Telur dadar
Telur
sayur bayam
sayur bayam

10.00 WIB Selingan/snack Biskuit PMT Biskuit PMT

12.00 WIB Makanan Pokok Nasi tim Nasi tim


Ikan goreng Ikan (variatif)

Sayur bayam Bayam (variatif)

15.00 WIB Selingan/snack Biskuit PMT Biskuit PMT

Bubur kacang Kacang hijau


hijau Santan
(variatif) Gula pasir

16.00 WIB Susu Susu Susu bubuk 15g (3


sdm)

18.00 WIB Makanan Pokok Nasi tim Nasi tim


Ikan goreng Ikan (variatif)

Sayur bayam Bayam (variatif)

20.00 WIB Susu Susu Susu bubuk 15g (3


sdm)

Kuratif
a. Edukasi jadwal dan pola makan berdasarkan kebutuhan BB ideal.
b. Lanjutkan pemberian PMT

11
c. Pemberian Vitamin Curcuma Syr 3x1 cth

Rehabilitatif
a. Makan makanan dengan gizi seimbang.
b. Pemberian ASI sampai usia 2 tahun.
2.10 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad functionam :dubia ad bonam
2.11 Anjuran
 Menganjurkan pasien untuk rutin kunjungan ulang setiap bulan untuk
periksa secara teratur di Puskesmas
 Menganjurkan keluarga pasien untuk menerapkan PHBS.
 Melakukan imunisasi.
 Memperbaiki status gizi dengan pemberian makan makanan yang
beragam, bergizi dan seimbang, guna meningkatkan imunitas tubuh.
 Memperbaiki hygine keluarga, dan lingkungan sekitar
 Ibu segera memberitahukan pada petugas/ kader bila balita mengalami
sakit.
2.12 Faktor Risiko Lingkungan Fisik dari Penyakit
Pasien tinggal di sebuah rumah dengan anggota keluarga 4 orang. Bahan
bagunan, pencahayaan, jamban dan pengelolaan limbah yang masih belum
memenuhi kriteria rumah sehat.
2.13 Faktor resiko lingkungan sosial dari penyakit
Faktor pendidikan orang tua juga erat kaitannya dengan pengetahuan
mengenai gizi sehingga akan berakibat terhadap buruknya pola asuh balita.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan
pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk
mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi. Dengan demikian pendidikan juga memiliki hubungan
terhadap sikap dan perilaku seseorang.

12
Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan
terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam
memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan
balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit infeksi.

BAB III
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

13
3.1 Definisi dan Faktor Risiko
Stunting (pendek) merupakan ganguan pertumbuhan linier yang
disebabkan adanya malnutrisi18. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang
bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan.
Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur
(TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO19.
Faktor risiko stunting adalah10,20:
1. Imunisasi dasar lengkap
Pada penelitian yang dilakukan oleh Agarwal et al (2014) mendapatkan
bahwa malnutrisi lebih banyak ditemukan pada anak yang tidak diimunisasi
daripada anak yang diimunisasi11. Imunisasi bermanfaat untuk melindungi
bayi dan balita dari penyakit infeksi yang berbahaya seperti TBC, Hepatitis B,
Difteri, Pertusis, Tetanus dan Campak 12. Infeksi yang menghambat reaksi
imunologis yang normal dengan menghabiskan energi tubuh. Apabila balita
tidak memiliki imunitas terhadap penyakit, maka balita akan lebih cepat
kehilangan energi tubuh karena penyakit infeksi, sebagai reaksi pertama akibat
adanya infeksi adalah menurunnya nafsu makan anak sehingga anak menolak
makanan yang diberikan ibunya. Penolakan terhadap makanan berarti
berkurangnya pemasukan zat gizi dalam tubuh anak13.
2. Pola Asuh Praktik Pemberian Makan dan Pemberian ASI ekslusif
Asupan nutrisi pada anak memegang peranan penting dalam optimalisasi
tumbuh kembang pada anak. Asupan nutrisi yang kurang akan menyebabkan
kondisi kesehatan anak menjadi kurang baik, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan, serta dapat menyebabkan kematian14. Besarnya pengaruh ASI
eksklusif terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan agar
menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama
sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets
2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun23.

14
Asupan zat gizi yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu asupan zat gizi makro atau mkronutrien dan
asupan zat gizi mikro atau mikronutrien. Berdasarkan hasil-hasil penelitian,
asupan zat gizi makro yang paling mempengaruhi terjadinya stunting adalah
asupan protein, sedangkan asupan zat gizi mikro yang paling mempengaruhi
kejadian stunting adalah asupan kalsium, seng, dan zat besi27.
3. Berat Badan Lahir Rendah
Pada anak yang mengalami berat badan lahir rendah, zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit
infeksi. Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan
makanan yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat
menyebabkan gizi buruk15. Penelitian yang dilakukan oleh Abuya et al (2012),
bahwa anak dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram, memiliki risiko
menjadi stunting sebesar 3,26 kali dibandingkan dengan anak yang lahir
dengan berat badan normal16.
4. Panjang badan lahir rendah
Panjang lahir bayi juga berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian
di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan panjang lahir yang pendek
berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita 21. Penelitian Anugraheni
(2012) di Pati yang menunjukkan bahwa risiko stunting lebih tinggi dialami
oleh balita dengan panjang lahir rendah (< 48 cm). Risiko untuk terjadi
gangguan tumbuh (growth faltering) lebih besar pada bayi yang telah
mengalami falter sebelumnya yaitu keadaan pada masa kehamilan dan
prematuritas. Artinya, panjang badan yang jauh di bawah ratarata lahir
disebabkan karena sudah mengalami retardasi pertumbuhan saat dalam
kandungan. Retardasi pertumbuhan saat masih dalam kandungan
menunjukkan kurangnya status gizi dan kesehatan ibu pada saat hamil
sehingga menyebabkan anak lahir dengan panjang badan yang kurang22.
5. Garam Beryodium
Yodium merupakan bagian integral dari kedua macam hormone tiroksin
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4). Fungsi utama hormon-hormon

15
ini adalah mengatur pertumbuhan dan perkembangan. Hormon tiroid
mengontrol kecepatan pelepasan energi dan zat gizi yang menghasilkan
energi. Tiroksin dapat merangsang metabolisme sampai 30%. Disamping itu
kedua hormon ini mengatur suhu tubuh, reproduksi, pembentukan sel darah
merah serta fungsi otot dan saraf, apabila kadar senyawa T3 kurang akibat
kebutuhan yodium yang tidak tercukupi, maka laju metabolisme basal sel akan
rendah sehingga proses tumbuh kembang menjadi terganggu dan terhambat17.
Berdasarkan analisis penyebab atau faktor risiko stunting maka dapat
disimpulkan bahwa tingginya prevalensi stunting di Indonesia disebabkan
oleh28:
1. Faktor ibu
1.1 tinggi badan ibu kurang dari normal
1.2 ibu mengalami malnutrisi terutama pada waktu hamil dan
menyusui
2. Faktor ayah
2.1 tinggi badan ayah kurang dari normal
2.2 ayah perokok/peminum alkohol
3. Faktor anak
3.1 berat badan lahir rendah
3.2 tidak memperoleh ASI eksklusif
3.3 sering mengalami infeksi
3.4 asupan zat gizi kurang
4. Faktor lingkungan
4.1 lingkungan sosial :
a. Lingkungan keluarga: pengetahuan orang tua tentang
stunting masih kurang, pola asuh kurang tepat
b. Lingkungan masyarakat: dukungan dan kepedulian
masyarakat terhadap stunting masih kurang
c. Lingkungan negara: usaha atau program penanggulangan
stunting belum berhasil

16
4.2 lingkungan biologis
a. kebersihan lingkungan kurang
b. angka kejadian penyakit infeksi masih tinggi
3.2 Epidemiologi
Pada Global Nutrition Targets 2025, Stunting merupakan kejadian global,
diperkirakan 171 juta hingga 314 juta anak berumur di bawah limatahun
mengalami Stunting dan 90% di negara Benua Afrika dan Asia . Global Nutrition
Report menunjukkan Indonesia masukdalam 17 dari 117 negara, yang mempunyai
tiga masalah gizi (Stunting, wasting dan overweight) pada balita 32. Berdasarkan
data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki
prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang,
kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun
2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 201724.

Gambar 2.1 Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-201726

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan


salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka
ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada
tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di
dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di

17
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia
Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%)24.

Gambar 2.2 Tren Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-
201725.

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health


Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%24.

Gambar 2.3 Proporsi Sebaran stunting di Indonesia9

18
2.3 Patofisiologi
Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai
familial short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua
maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola
pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan
bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental
high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. Perawakan
pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil
3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau
salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 328.
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit
infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan,
hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi IGF-1.
Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti
kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down,
sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter28.

Gambar 2.4 Faktor yang Mempengaruhi Tinggi Badan28.

2.4 Cara Pengukuran Stunting


Penilaian status gizi merupakan proses evaluasi status zat gizi. Umumnya
proses ini mencakup empat tingkat pengukuran yakni pemeriksaan biokimia dan
pemeriksaan klinis, pengukuran fungsi dan pengukuran antropometri. Pengukuran
antropometri terdiri dari dua klasifikasi yaitu pertumbuhan dan komposisi tubuh30.
Pengukuran antropometri untuk pengukuran stunting dapat dilakukan
menggunakan Indeks PB/U atau TB/U yang menggambarkan pertumbuhan

19
panjang atau tinggi badan anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat
mengidentifikasi anak-anak yang pendek (stunted) atau sangatpendek (severely
stunted), yang disebabkan oleh gizi kurang dalam waktu lama atau sering sakit30.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak30

Gambar 2.5 Panjang Badan menurut Umur Anak Laki-laki 0-24 Bulan30

20
Gambar 2.6 Tinggi Badan menurut Umur Anak Laki-laki 24-60 Bulan30.

Gambar 2.7 Panjang Badan menurut Umur Anak Perempuan 0-24 Bulan30.

21
Gambar 2.8 Tinggi Badan menurut Umur Anak Perempuan 24-60 Bulan30.

2.5 Alur Pendekatan Stunting

22
Gambar 2.9 Alur Pendekatan Stunting33.

2.6 Pencegahan Stunting


Stunting dapat dicegah melalui pemberian makan pada bayi yang
difokuskan pada 1000 hari pertama kehidupan4. Pencegahan stunting dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut1:
1. Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil.
2. ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi
makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya.
3. Memantau pertumbuhan balita di posyandu.
4. Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta
menjaga kebersihan lingkungan.
program pencegahan stunting harus dilaksanakan secara komprehensifdan
melibatkan seluruh komponen. Program pencegahan yang bisa dilakukan antara
lain28:
a. Mempersiapkan pernikahan yang baik
b. Pendidikan Gizi

23
1. Gizi formal
2. Pendidikan gizi non formal
c. Suplementasi Ibu hamil
d. Suplementasi ibu menyusui
e. Suplementasi mikronutrien untuk balita
f. mendorong peningkatan aktivitas anak diluar ruangan

Gambar 2.9 Model Pengendalian Faktor Risiko Stunting pada Balita


berdasarkan penelitian Erna Kusumawati 201529.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien An. MRA laki-laki usia 18 bulan, berdasarkan alloanamnesis


terhadap ibu pasien pada saat kunjungan ke pukesmas Kelasa 14 Januari 2022,
didapatkan bahwa tinggi badan dan berat badan pasien tidak sesuai dengan usia.
Pasien biasanya rutin dibawa ke posyandu oleh ibu untuk menimbang berat badan.
Pasien baru pertama kali dibawa ke posyandu pada tanggal 14 januari 2022
riwayat susah makan. Pasien saat ini masih mendapatkan ASI dan jika tidak mau
makan, pasien hanya minum ASI saja. Pasien merupakan pasien stunting dan Gizi
buruk dan stunting yang baru.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, compos mentis,
nadi 90x/menit, suhu 36,5 oC, dan pernafasan 25x/menit. MA termasuk stunting
dan status gizi buruk dimana berat pasien 7 kg dan Panjang badan 67 cm.
Diagnosis Stunting dan gizi kurang berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan status gizi:
 Pasien memiliki pola makan dengan porsi sedikit, gizi tidak seimbang
tidak teratur.
 Pasien masih minum ASI, Jika pasien tidak mau makan, ibu pasien hanya
memberi ASI ataupun air putih.
 Pada pengukuran status antropometri pasien mengalami gizi buruk
menurut pengukuran BB/U, stunting menurut pengukuran PB/U dan berat
badan sangat kurang menurut pengukuran BB/PB sehingga disimpulkan
pasien mengalami malnutrisi kronik.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang apapun karena
membutuhkan kesediaan pasien

25
4.1 Kerangka Prioritas Masalah
Fish Bone

Sosio ekonomi Lingkungan


keluarga Dan Sarana kesehatan
Pendapatan sedikit untuk Sanitasi lingkungan dan
pemenuhan gizi keluarga penggunaan air bersih yang
dengan anggota keluarga
tidak cukup Stunting
yang banyak
Penyakit penyerta yang sering
Kurang pendidikan
dialami yaitu batuk dan pilek,
demam dan cacingan Orangtua terkait tumbuh
Penyakit penyerta kembang anak
Pengetahuan keluarga
sangat kurang mengenai
kesehatan

Gambar 4.1 Kerangka Prioritas Masalah

1. Pendidikan
Sesuai dengan teori kesehatan dan gizi, pendidikan mempengaruhi kualitas
gizi anak. Ketika pendidikan kepala rumah tangga rendah, maka pengetahuan
mereka terhadap kesehatan dan gizi menjadi rendah sehingga pola konsumsi gizi
untuk anak menjadi tidak baik. Kondisi ini ditemukan dalam kasus gizi di
Sumatera Barat. Orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD)
memiliki risiko yang besar terhadap kualitas gizi anak dimana probabilitas risiko
gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tua dengan
pendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
Selanjutnya semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua semakin kecil risiko anak
balita terkena gizi buruk dan gizi kurang.

2. Ekonomi
Status ekonomi cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi pangan.
meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan
dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Semakin tinggi pendapatan
seseorang maka proporsi pengeluaran untuk makanan semakin rendah, tetapi
kualitas makanan semakin membaik. Sebaliknya semakin rendah pendapatan

26
seseorang , maka semakin tinggi proporsi untuk makanan tetapi dengan kualitas
makanan yang rendah.
3. Biologi
Jumlah balita gizi buruk dan kurang menurut hasil Riskesdas 2018 masih
sebesar 17,7%. Prevalensi 10 provinsi terbesar menyumbang kasus gizi buruk dan
gizi kurang di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 33%, Papua
Barat 30,9% Sulawesi Barat 29,1%, Maluku 28,3%, Kalimantan Selatan 27,4%,
Kalimantan Barat 26,5%, Aceh 26,3%, Gorontalo 26,1%, Nusa Tenggara Barat
(NTB) 25,7% dan Sulawesi Selatan 25,6%. Provinsi Aceh merupakan provinsi ke
tujuh sebagai penyumbang kasus gizi buruk dan kurang terbanyak. Balita Aceh
dalam status gizi kurang terjadi penurunan sebesar 0,6% dari hasil Pemantauan
Hasil Gizi (PSG) tahun 2016. Namun rerata nasional prevalensi balita kurus Aceh
(12.8%) hampir dua kali dari prevalensi Nasional (6,9%). Tahun 2017 dilakukan
studi monitoring dan evaluasi program gizi PSG adapun kabupaten/kota yang
masih tinggi status gizi kurang dan buruknya adalah Pidie Jaya (17,5%), Aceh
Utara (15,9%), dan Aceh Barat Daya (15,8%).
Kondisi batuk dan pilek yang sering terjadi pada pasien dapat
mempengaruhi nafsu makan pasien. Penyakit infeksi akibat virus atau bakteri
dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan tubuh
terhadap cairan, protein, dan zat-zat gizi lain. Penyakit infeksi dapat menyebabkan
penurunan nafsu makan dan keterbatasan dalam mengkonsumsi makanan. Hal ini
menyebabkan gizi kurang akibat penyakit infeksi mudah terjadi. Penelitian yang
dilakukan Picauly (2013) menunjukkan bahwa anak yang memiliki riwayat
penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting lebih besar dibandingkan
anak yang tidak memiliki riwayat infeksi penyakit. Anak yang memiliki riwayat
penyaki infeksi akan berpeluang mengalami stunting 2,3 kali dibandingkan
dengan anak tanpa riwayat penyakit infeksi.
4. Perilaku
Kejadian gizi kurang dan gizi buruk berkaitan dengan sikap ibu terhadap
makanan. Sikap terhadap makanan berarti juga berkaitan dengan kebiasaan
makan, kebudayaan masyarakat, kepercayaan dan pemilihan makanan. Budaya

27
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karya dan karsa. Budaya berisi norma-
norma sosial yakni sendi-sendi masyarakat yang berisi sanksi dan hukuman-
hukumannya yang dijatuhkan kepada golongan bilamana yang dianggap baik
untuk menjaga kebutuhan dan keselamatan masyarakat itu dilanggar. Norma-
norma itu mengenai kebiasaan hidup, adat istiadat, atau tradisi-tradisi hidup yang
dipakai secara turun temurun.33
Kebiasaan makanan adalah konsumsi pangan (kuantitas dan kualitas),
kesukaan makanan tertentu, kepercayaan, pantangan, atau sikap terhadap makanan
tertentu. Kebiasaan makan ada yang baik atau dapat menunjang terpenuhinya
kecukupan gizi dan ada yang buruk (dapat menghambat terpenuhinya kecukupan
gizi), seperti adanya pantangan, atau tabu yang berlawanan dengan konsep-
konsep gizi. Masalah yang dapat menyebabkan kekurangan gizi adalah tidak
cukup pengetahuan gizi dan kurangnya pengertian tentang kebiasaan makan yang
baik. Kebiasaan makan dalam rumah tangga penting untuk diperhatikan, karena
kebiasaan makanan mempengaruh pemilihan dan penggunaan panganselanjutnya
mempengaruhi tinggi rendahnya mutu makanan rumah tangga.34
Persoalan gizi kurang dan gizi buruk pada balita dapat disebabkan sikap
atau perilaku ibu yang menjadi faktor dalam pemilihan makanan yang tidak benar.
Pemilahan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan
keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang
makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan kesalahan pemilihan
makanan terutama untuk anak balita, sehingga zat-zat gizi dalam kualitas dan
kuantitas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.35
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan kebiasaan untuk
menerapkan kebiasaan yang baik, bersih dan sehat secara berhasil guna dan
berdaya guna baik dirumah tangga, institusi-institusi maupun tempat-tempat
umum.. Hal ini dapat dilihat pada keluarga pasien pada kasus ini yang tidak
memenuhi kebutuhan gizi pasien sehari-hari, pemberian makan anak yang kurang
tepat serta pengetahuan mengenai gizi seimbang yang kurang memadai. Faktor-
faktor sosial-demografi, balita dengan gizi kurang mempunyai definisi yang
sangat luas diantaranya seperti kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan dimana

28
balita tersebut dilahirkan, kehidupan sosial, pekerjaan dan usia orang tua,
termasuk kesehatan dan kesejahteraan sosial.
5. Pelayanan kesehatan
Promosi kesehatan merupakan salah satu pilar penting untuk meningkatkan
pengetahuan masyarakat akan suatu kondisi kesehatan atau penyakit tertentu.
Kurangnya keaktifan tenaga kesehatan dapat terlihat dari system pencatatan yang
masih kurang baik. Dimana tidak semua pasien malnutrisi yang datanya tercatat
dilengkapi dengan nomor telepon yang dapat dihubungi. Seperti diketahui bahwa
program pemberian susu formula dan makanan tambahan bagi pasien malnutrisi
diberikan setiap bulan, sehingga dengan ketidaklengkapan data pasien tadi
dikhawatirkan dapat menyebabkan pasien yang tidak rutin berobat kembali ke
Puskesmas setiap bulannya dapat lepas dari pemantauan.

MATRIKS URUTAN PRIORITAS MASALAH


NO Masalah U S G Total

1 Lingkungan dan Sarana 4 4 4 12

(Kurang air bersih, kurang tenanga kesehatan,


kurang kader)

2 Pengetahuan keluarga sangat kurang mengenai 5 5 5 15


kesehatan

3 Sosio ekonomi keluarga 4 4 4 12

4 Penyakit penyerta 4 5 5 14

Keterangan :
berdasarkan skala likert 1-5
- 5 = sangat besar
- 4 = besar
- 3 = sedang
- 2 = kecil

29
- 1 = sangat kecil
MATRIKS CARA PEMECAHAN MASALAH
No Masalah Pemecahan masalah
.

1. Pengetahuan keluarga sangat Memberikan informasi, penyuluhan, dan edukasi


kurang mengenai kesehatan kepada keluarga pasien tentang kesehatan, dalam
hal ini mengenai stunting, penyebab, dan
pencegahannya, imunisasi, MPASI, pertumbuhan
dan perkembangan bayi dan balita. Faktor
pendidikan Ibu erat kaitannya dengan pengetahuan
Ibu mengenai gizi sehingga akan berakibat
terhadap buruknya pola asuh anak

Edukasi keluarga pasien unuk mengikuti


penyuluhan kesehatan dan rutin ke posyandu untuk
memantau tumbuh kembang anak

2. Biologi dan genetik Edukasi kepada keluarga agar memberikan


makanan bergizi dan suplemen untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, juga
untuk mempercepat perbaikan pertumbuhan.

3. Lingkungan dan Sarana Kader posyandu dan puskesmas harus melakukan


Kesehatan penimbangan balita setiap bulan di posyandu, serta
mencatat dam memantau hasil penimbangan pada
KMS, kader harus melakukan kunjungan rumah
untuk memantau perkembangan kesehatan balita
didaerah sekitarnya, memberikan penyuluhan gizi
dan konseling diet stunting kepada keluarga pasien.

Kebijakan Pimpinan Puskesmas Terhadap


Pencegahan dan Penanggulangan Stunting Pada
Balita melalui berkoordinasi lintas program dan

30
lintas sektoral

4. Sosio ekonomi keluarga Memberikan informasi kepada keluarga untuk


makan makanan sehat dengan sayuran yang dapat
ditanam sendiri, daging dan telur dari hewan
peliharaan.

Advokasi kepada pihak terkait memberikan


dukungan terhadap permasalahan ekonomi
keluarga pasien.

Upaya promotif
Penyuluhan kesehatan berupa:
1. Edukasi keluarga tentang stunting dan gizi buruk, penyebab dan
penanganannya
2. Edukasi keluarga tentang pentingnya imunisasi
3. Edukasi pentingnya membawa balita ke posyandu untuk diperiksa setiap
bulannya
4. Edukasi pentingnya menjaga pola makan keluarga dengan menu seimbang
dan jadwal makan yang teratur

Upaya preventif
Upaya preventif diperlukan:
1. .Meningkatkan asupan gizi pada keluarga,berupa makanan bervariasi
dengan pola gizi seimbang
2. Menjaga kebersihan lingkungan dan keluarga untuk mencegah penyakit
infeksi lain
3. ..Melakukan kunjungan ulang setiap bulan untuk periksa secara teratur di
Puskesmas.
4. ..Pentingnya pemberian ASI Eklusif sampai usia bayi 6 bulan.
5. Tindakan menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Lingkungan yang sehat
dan bersih dapat mencegah timbulnya penyakit

31
6. Mengadakan penjaringan aktif dan pasif yaitu dengan jalan menemukan
kasus balita stunting dan gizi buruk melalui pemeriksaan antropometri
seperti berat badan dan tinggi badan secara rutin dengan di wilayah
kerjanya, dengan pengukuran berat badan dan melihat tanda-tanda klinis.
7. Promosi kesehatan mengenai stunting dan gizi buruk kepada pasien dan
keluarganya tentang penyebab dan pencegahanya.
Upaya Kuratif
1. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan mendapatkan makanan bergizi
seimbang dan penerapan PHBS untuk mencegah infeksi.
2. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan mendapat suplemen dan
vitamin tambahan untuk menunjang pertumbuhan.
Upaya rehabilitatif
1. Penderita stunting dan gizi buruk diharapkan sering melakukan kontrol ulang
ke pusat pelayanan kesehatan terdekat dalam hal ini Pukesmas Lhoksukon
untuk monitoring.
Monitoring yang dilakukan meliputi:
a. Menimbang dan mengukur tinggi badan untuk mengevaluasi terapi
yang diberikan.
b. Menilai perkembangan motorik pada pasien apakah sudah sesuai
dengan usia pasien atau tidak.
Upaya psikososial
Bekerja sama dengan dinas terkait untuk mengatasi masalah pekerjaan
bagi orangtua pasien.

32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus keluarga binaan tentang stunting usia 18 bulan
di Puskesmas Tanah pasir Kabupaten Aceh Utara tahun 2022 di dapatkan bahwa:
a. Faktor risiko terjadinya stunting pada Pasien An. MRF adalah faktor
biologis, tingkat pendidikan orang tua, perilaku, akses pelayanan
kesehatan dan ekonomi yang minim.
b. Pasien An. MA didiagnosa stunting berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan antropometri. Pada anamnesis
diketahui bahwa An. MA dengan keluhan panjang badan dan berat badan
yang tidak sesuai dengan usia
c. dan susah makan. Pemeriksaan status gizi pasien berdasarkan Z- score
yaitu berat badan sangat kurang menurut pengukuran BB/U, stunting
menurut pengukuran PB/U dan gizi buruk menurut pengukuran BB/PB.
d. Pada kasus ini An. MRA diberikan terapi edukasi dan pemberian makanan
tambahan dan vitamin.

5.2 Saran
1. Bagi puskesmas
 Diharapkan kepada seluruh tenaga kerja kesehatan terutama bagian
promosi kesehatan dan Posyandu Desa Kumbang serta di
Puskesmas tanah pasir agar lebih aktif melakukan penyuluhan dan
edukasi mengenai stunting dan malnutrisi baik secara konseling
maupun melalui media seperti leaflet.
 Diharapkan agar petugas dan kader di Puskesmas Tanah pasir
untuk lebih memperhatikan lagi bagian pencatatan pasien agar
kedepannya dapat dilakukan follow up dengan baik.
 Diharapkan kepada petugas kader agar diberikan pelatihan khusus
tentang pola asuh dan cara makan anak dengan baik agar dapat

33
mencari alternatif dalam memberikan makanan dan lebih pro aktif
didalam memberdayakan keluarga dengan kasus anak stunting dan
gizi buruk.
 Diharapkan hasil dari kegiatan keluarga binaan ini dapat menjadi
masukan bagi Puskesmas Tanah paisr untuk perubahan yang lebih
baik.
2. Bagi keluarga
 Diharapkan dapat menjadi masukan bagi keluarga dalam merubah
pola hidup sehari–hari dan dapat lebih mengerti tentang
pengobatan dan pencegahan komplikasi yang dapat timbul dari
malnutrisi.
 Mendorong keluarga untuk selalu memberikan dukungan dan
pengobatan terhadap pasien hingga tuntas.
 Mendorong keluarga untuk menjaga pola makan sesuai menu gizi
seimbang dengan selalu mengkonsumsi buah dan sayur.
.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Sutarto , Diana Mayasari , Reni Indriyani. Stunting, Faktor Resiko dan


Pencegahannya. J Agromedicine. Volume 5. Nomor 1. Juni 2018
2. Safitri CA, Nindya TS. Hubungan ketahanan pangan dan penyakit diare
dengan stunting pada balita 13-48 bulan di Kelurahan Manyar Sabrangan,
Surabaya. J Amerta Nutr. 2017;1(2):52– 61.
doi:10.20473/amnt.v1i2.2017.52- 61
3. Kemenkes, R. I. (2016). Kementerian Kesehatan RI, 2016. Info DATIN
Pusat Data dan Informasi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI: Malaria.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Inilah Sepuluh
Manfaat ASI, (ASI Ekslusif), 2019. Retrieved from www.kemkes.go.id
5. Demsa Simbolon, Bringwatty Batbual, (2019) Pencegahan Stunting
Periode 1000 hari pertama kehidupan melalui intervensi gizi spesifik pada
ibu hamil kurang energi kronis.
6. Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI (2018) ‘Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia’, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan,
53(9), pp. 1689–1699. doi: 10.1017/ CBO9781107415324.004. Hal: 1
7. Kinanti Rahmadhita, The Stunting Problems and Prevention, ijksh Vol.11
No.1 Juni 2020
8. Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013
9. World Health Organization. (2014). Childhood Stunting: Challenges and
opportunities. Report of a Promoting Healthy Growth and Preventing
Childhood Stunting colloquium. WHO Geneva, 34.
10. Imelda, Nurdin Rahman, Rosmala Nur. Faktor risiko kejadian stunting
pada anak umur 2-5 tahun di Puskesmas Biromaru. GHIDZA: Jurnal Gizi
dan Kesehatan Volume 2 No.1 (2018): 39-43. ISSN (Print): 2615-2851.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ghidza
11. Agarwal, N., Sharma, R. P., Chandra, S., Varma, P., Midha, T., & Nigam,
S. (2014). Immunization status and childhood morbidities as determinants

35
of PEM among under-five children in slums of Kanpur. Indian Journal of
Community Health, 26(4), 396–400
12. Kementerian Kesehatan. (2011). Buku Panduan Kader Posyandu. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
13. Anhari. (2008). Pemberian Makanan Untuk Bayi Dasar Dasar Fisiologi
(Cetakan I). Jakarta: Binarupa Aksara
14. Sulistyoningsih. (2011). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak dan
Remaja. Jakarta: TIM.
15. Kosim. (2008). Buku Ajar Neonatologi Edisi I. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
16. Abuya, B. A., Ciera, J., & Kimani-Murage, E. (2012). Effect of mother’s
education on child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC
Pediatrics, 12, 80. https://doi.org/10.1186/1471-2431-12- 80.
17. Devi. (2012). Hubungan Penggunaan Garam Beryodium Dengan
Pertumbuhan Linier Anak. Jurnal TIBBS (Teknologi Industri Boga Dan
Busana), 3(1), 52–57.
18. Kementerian Kesehatan. (2013). Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan
Informasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
19. WHO. (2010). Nutrition landscape information system (NLIS) country
profile indicators: Interpretation guide. Geneva: World Health
Organization.
20. Khoirun Ni’mah, Siti Rahayu Nadhiroh. Faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita. Media Gizi Indonesia, Vol. 10, No. 1
Januari–Juni 2015: hlm. 13–19.
21. Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan di Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten
Kendal. Journal ofNutrition College, 3(2), 16-25. Diakses dari
http://www,ejournals1.undip.ac.id.
22. Anugraheni, H. S. (2012). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada anak usia
12-36 bulan di kecamatan Pati, Kabupaten Pati (Skripsi, Universitas
Diponegoro, Semarang). Diakses dari http://www.ejournal-s1.undip.ac.id.

36
23. WHO. (2014). WHA global nutrition targets 2025: Stunting policy brief.
Geneva: World Health Organization.
24. Kementerian Kesehatan Pusat Data dan Informasi. Situasi Balita Pendek
(Stunting) di Indonesia. ISSN: 2088-270 X. 2018.
25. Joint Child Malnutrition Eltimates, 2018
26. Pemantauan Status Gizi, Ditjen Kesehatan Masyarakat 2018
27. Candra A., Nugraheni N., Hubungan Asupan Mikronutrien Dengan Nafsu
Makan Dan Tinggi Badan 50 Balita," Jnh (Journal Of Nutrition And
Health), Vol. 3, No. 2, Aug. 2015.
28. Aryu Candra, Epidemiologi Stunting. Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang. ISBN: 978-623-7222-63-7. Tahun
2020.
29. Erna Kusumawati, Setiyowati Rahardjo, Hesti Permata Sari. Fakultas
Ilmu-Ilmu Kesehatan Univ. Jend. Soedirman Jl. dr. Soeparno Gd B
Kampus Unsoed Karawang Purwokerto, No.Telp: 0281-641202, e-mail:
erna_watifadhila@yahoo.com. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol. 9, No. 3, Februari 2015.
30. PMK_No__2_Th_2020_ttg_Standar_Antropometri_Anak.pdf
31. Herman Sudirman. Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau
Adaptasi Karena Masalah Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan. Media
Litbang Kesehatan. Volume XVIII Nomor 1 tahun 2008.
32. WHO, 2014. Global Nutrition Targets 2025: Breestfeeding Policy Brief.
[Online] Available at:
http://www.who.int/nutrition/publications/globaltarget2025_policybrief_br
eastfeeding/en/
33. Sjarif DR. Simposium dan Workshop Stunting. 2017 (dengan modifikasi)
34. Tarigan, IU, Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Anak
Umur 6-36 Bulan SSebelum dan Saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah,
Buletin Penelitian Kesehatan, 2013.
35. RisKesDas. Hasil utama RISKESDAS 2018. Kementrian Kesehatan RI.
2018.

37
36. Bening, S., Margawati, A. & Rosidi, A. Asupan Zink, Riwayat ISPA dan
Penngeluaran Pangan sebagai Faktor Resiko Stunting pada Anak Usia 2-5
tahun di Kota Semarang. J. Gizi 7, 20–29 (2018).

38
Lampiran 1
Faktor internal dan eksternal dalam keluarga
N Kriteria Permasalahan Intervensi
O

1. Pola makan Menu makanan di rumah pasien - Memberikan


belum memenuhi pedoman gizi edukasi mengenai
seimbang pola makan
dengan pedoman
a. Kurang mengkonsumsi
gizi seimbang
protein
- Mengedukasi
b. Pemberian makanan rutin
pentingnya
3 kali sehari, namun jam
karbohdrat,
tidak teratur
protein dan lemak
c. Jarang mengkonsumsi
sebagai komponen
buah-buahan
gizi dalam
d. Pasien sering menyusu
pertumbuhan dan
dari pada makan
perkembangan
anak
- Mengedukasi
pentingnya
konsumsi susu di
usia pertumbuhan
dan
perkembangan
serta mengajarkan
bagaimana cara
membuat susu
yang benar
- Mengedukasi
makanan

39
tambahan yang
dapat di berikan
untuk mengejar
berat badan anak
yang hilang

2. Status gizi a. BB/U : <-3 SD (Berat. - Mengedukasi


Badan sangat pasien pentingnya
kurang/Severely memantau berat
Underweight) badan dan tinggi
badan anak di
b. PB/U : -3 Sampai Dengan -2
masa
SD (Pendek/Stunted)
pertumbuhan dan
c. BB/TB : <-3 SD (Gizi perkembangan.
buruk/Severely Wasted)

- Melakukan
pengukuran TB
dan penimbangan
BB tiap kali
kunjungan serta
memberitahu ke
ibu pasien status
gizi pasien

3. Perilaku

a. Kurang menerapkan - Menjelaskan


PHBS kepada ibu tetang
b. Kurangnya pengetahuan pola asuh yang
tentang pola asuh baik dan benar.

40
c. Pasien yang jarang
mengenakan sandal saat
- Mengedukasi ibu
bermain di halaman
untuk menerapkan
rumah
perilaku hidup
d. Perolehan imunisasi yang
bersih dan sehat
kurang
untuk pasien dan
keluarga.

41
Lampiran 2
Kriteria Rumah Sehat
HASIL
KOMPONEN PENILAI
N NIL BOBO
RUMAH YG KRITERIA AN
O AI T
DINILAI (NO. KK)

I KOMPONEN 31 Poin
RUMAH
1 Langit-langit a. Tidak ada 0
b. Ada, kotor, sulit dibersihkan, 1 1
dan rawan kecelakaan
c. Ada, bersih dan tidak rawan 2
kecelakaan
2 Dinding a. Bukan tembok (terbuat dari 1 1
anyaman bambu/ilalang)
b. Semi permanen/setengah 2
tembok/pasangan bata atau
batu yang tidak
diplester/papan yang tidak
kedap air.
c. Permanen (Tembok/pasangan 3
batu bata yang diplester)
papan kedap air.
3 Lantai a. Tanah 0
b. Papan/anyaman bambu dekat 1
dengan tanah/plesteran
yang retak dan berdebu.
c. Diplester/ubin/keramik/papan 2 2
(rumah panggung).

42
4 Jendela kamar a. Tidak ada 0
tidur b. Ada 1 1

5 Jendela ruang a. Tidak ada 0


keluarga b. Ada 1 1

6 Ventilasi a. Tidak ada 0


b. Ada, lubang ventilasi dapur < 1
10% dari luas lantai
c. Ada, lubang ventilasi > 10% 2 2
dari luas lantai
7 Lubang asap a. Tidak ada 0
dapur
b. Ada, lubang ventilasi dapur < 1 1
10% dari luas lantai dapur
b. Ada, lubang ventilasi dapur > 2
10% dari luas lantai dapur (asap
keluar dengan sempurna) atau
ada exhaust fan atau ada
peralatan lain yang sejenis.

8 Pencahayaan a. Tidak terang, tidak dapat 0


dipergunakan untuk membaca
b. Kurang terang, sehingga 1
kurang jelas untuk membaca 1
dengan normal
c. Terang dan tidak silau 2
sehingga dapat dipergunakan
untuk membaca dengan normal.
II SARANA 25 Poin
SANITASI

43
1 Sarana Air Bersih a. Tidak ada 0
(SGL/SPT/PP/ b. Ada, bukan milik sendiri dan 1
KU/PAH). tidak memenuhi syarat kesehatan
c. Ada, milik sendiri dan tidak 2
memenuhi syarat kesehatan
d. Ada,bukan milik sendiri dan 3
memenuhi syarat kesehatan
e. Ada, milik sendiri dan 4 4
memenuhi syarat kesehatan
2 Jamban (saran a. Tidak ada. 0
pembua- b. Ada, bukan leher angsa, tidak 1
ngan kotoran). ada tutup, disalurkan kesungai /
kolam
c. Ada, bukan leher angsa, ada 2
tutup, disalurkan ke sungai
atau kolam
d. Ada, bukan leher angsa, ada 3
tutup, septic tank
e. Ada, leher angsa, septic tank. 4 4
3 Sarana a. Tidak ada, sehingga tergenang 0
Pembuangan tidak teratur di halaman
Air Limbah b. Ada, diresapkan tetapi 1 1
(SPAL) mencemari sumber air (jarak
sumber air (jarak dengan
sumber air < 10m).
c. Ada, dialirkan ke selokan 2
terbuka
d. Ada, diresapkan dan tidak 3
mencemari sumber air (jarak
dengan sumber air > 10m).

44
e. Ada, dialirkan ke selokan 4
tertutup (saluran kota) untuk
diolah lebih lanjut.
4 Saran a. Tidak ada 0
Pembuangan b. Ada, tetapi tidak kedap air dan 1 1
Sampah/Tempat tidak ada tutup
Sampah c. Ada, kedap air dan tidak 2
bertutup
d. Ada, kedap air dan bertutup. 3
III PERILAKU 44 Poin
PENGHUNI
1 Membuka Jendela a. Tidak pernah dibuka 0
Kamar Tidur b. Kadang-kadang 1 1
c. Setiap hari dibuka 2
2 Membuka jendela a. Tidak pernah dibuka 0
Ruang Keluarga b. Kadang-kadang 1
c. Setiap hari dibuka 2 2
3 Mebersihkan a. Tidak pernah 0
rumah b. Kadang-kadang 1 1
dan halaman c. Setiap hari 2

4 Membuang tinja a. Dibuang ke sungai/kebun/kolam 0


bayi sembarangan
dan balita ke b. Kadang-kadang ke jamban 1 1
jamban c. Setiap hari dibuang ke jamban 2

5 Membuang a. Dibuang ke sungai / kebun / 0


sampah pada kolam sembarangan
tempat sampah b. Kadang-kadang dibuang ke 1
tempat sampah
c. Setiap hari dibuang ke tempat 2 2

45
sampah.
TOTAL HASI PENILAIAN 980
Poin
Keterangan :
Hasil Penilaian : NILAI x BOBOT
Kriteria :
1) Rumah Sehat = 1068 – 1200
2) Rumah Tidak = < 1068
Sehat

46

Anda mungkin juga menyukai