Anda di halaman 1dari 13

MODUL PERKULIAHAN

[Manajemen Produksi
Tanaman]

[Good Agricultural Practices


(GAP)]

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

11
[Agroindustri] [Agroteknologi] [AGR2134] [Ir. Wafit Dinarto, M.Si.]
DAFTAR ISI

PEMBAHASAN.................................................................................................................................... 3
LATIHAN ........................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 13

2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


Tanaman] 2
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
PEMBAHASAN

A. Pendahuluan

Munculnya era perdagangan bebas menuntut siapapun untuk meningkatkan kualitas


karena pada era ini tidak lagi tergantung pada hambatan tarif melainkan terhadap
quality barrier. Hanya produk berkualitas saja yang sudah disepakai bersama baik dari
mutu dan kemananan produk yang dapat keluar masuk dari dan ke suatu negara. Untuk
mewujudkan hal tersebut, maka produsen harus menaati peraturan yang berlaku dalam
menghasilkan produknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Seperti halnya
dalam budidaya tanaman baik pangan, hortikultura maupun perkebunan. Apabila
produk hasil pertaniannya ingin diterima pada perdagangan bebas, maka seorang
produsen harus mentaati salah satu sistem sertifikasi yang disebut sebagai Good
Agricultural Practices atau disingkat GAP. Good Agricultural Practices (GAP) merupakan
salah satu sistem sertifikasi dalam praktik budidaya tanaman yang baik sesuai dengan
standart yang ditentukan.

Saat ini kita telah memasuki era globalisasi ekonomi yang memaksa petani sebagai
produsen utama produk-produk pertanian secara langsung dan tidak langsung
memasuki persaingan dengan banyak produsen lain ditingkat global. Produk-produk
pertanian tidak hanya bersaing dengan produk-produk pertanian luar negeri di pasar
global tetapi juga di pasar domestik. Dalam pasar global terbuka suatu negara tidak
boleh mengenakan proteksi dan hambatan tarif terhadap komoditi yang masuk ke
wilayahnya. Dalam kondisi demikian persaingan menjadi semakin sengit dan ketat,
produsen kuat bersaing dengan produsen lemah, akibatnya produsen yang kalah
bersaing akan semakin termarginalkan. Keadaan demikian yang sekarang sedang terjadi
dengan produk-produk pertanian khususnya produk pangan buah-buahan dan sayuran.
Indonesia.

Sedangkan dunia pertanian abad ini sendiri juga menghadapi tiga macam tantangan
utama. Organisasi Pangan dunia yang bernaung di bawah PBB (FAO) dalam pertemuan
pangan dunia menyatakan tiga tantangan utama pertanian saat ini yakni :

1. peningkatan ketahanan pangan, mata pencaharian dan pendapatan penduduk


pedesaan
2. memenuhi peningkatan kebutuhan akan berbagai macam produk pangan yang
aman,
3. pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (FAO, 2003)

2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


Tanaman] 3
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
Melihat perkembangan tersebut maka diperlukan sebuah langkah yang bersifat
strategis agar dunia pertanian terutama di Indonesia dapat menjawab tiga tantangan
tersebut. Pemerintah sebenarnya telah menyadari hal tersebut, sehingga pada awal
masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono munculah sebuah program
revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Secara nasional, fokus
pengembangan produk dan bisnis PPK mencakup lingkup kategori produk yang
berfungsi dalam hal:

1. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek
pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
2. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif di pasar internasional.
3. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan
peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
4. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan
kecenderungan pasar global.

Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK sendiri adalah
pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing,
produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha
pertanian yang baik (Good Agricultural Practices = GAP).

Berdasarkan informasi dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian
Pertanian RI, diketahui bahwa GAP adalah sebuah teknis penerapan sistem sertifikasi
proses produksi pertanian yang menggunakan teknologi maju ramah lingkungan dan
berkelanjutan, sehingga produk panen aman dikonsumsi, kesejahteraan pekerja
diperhatikan dan usahatani memberikan keuntungan ekonomi bagi petani.

GAP telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2003 dimulai dari GAP komoditas sayuran
yang secara berangsur mewajibkan semua produk bahan pangan untuk perdagangan
global memiliki sertifikat GAP. ASEAN-GAP sendiri menekankan terhadap empat
komponen yaitu:

1. keamanan konsumsi pangan;


2. pengelolaan lingkungan dengan benar;
3. keamanan, kesehatan dan kesejahteraan pekerja lapang;
4. jaminan kualitas produk dan traceability produk, bila diperlukan.

2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


4 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
B. Permasalahan Pangan dan Penerapan GAP

Dewasa ini di tingkat global telah terjadi perubahan nilai dan konsep pada konsumen
terhadap produk-produk pertanian yang mereka konsumsikan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan perilaku dan sikap mereka dalam membeli suatu produk
agrisbisnis. Meningkatnya kesadaran konsumen akan kaitan kesehatan dan kebugaran
dengan konsumsi makanan, telah meningkatkan tuntutan konsumen akan nutrisi
produk-produk yang sehat, aman dan menunjang kebugaran. Keamanan pangan
menjadi kunci yang menentukan kualitas produk pangan.

Deininger (2006) menyatakan kelemahan dalam penanganan sistem keamanan pangan


dapat menyebabkan biaya yang tinggi bagi masyarakat dan berakibat bagi ekonomi
global. World Health Organization (WHO) memperkirakan kurang lebih 2,2 juta orang di
dunia meninggal akibat penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan
organisme patogen yang disebarkan oleh air yang telah terkontaminasi. Di India
diperkirakan 20 persen kematian dari balita disebabkan oleh penyakit diare. Saat wabah
SARS menyebar di Asia Timur tahun 2003 ternyata menyebabkan hilangnya
pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen dari wilayah tersebut pada seperempat tahun
pertama, walaupun hanya 800 orang yang akhirnya meninggal akibat penyakit tersebut.

Sedangkan Lowy Institut for International Policy (2006) memperkirakan mewabahnya


penyakit avian influenza menyebabkan meningkatnya biaya ekonomi bagi 1,4 juta
penduduk dunia yang mendekati 0,8 persen GDP dunia atau sekitar US$ 330 miliar.
Sedangkan di lain pihak timbulnya peningkatan reaksi di berbagai negara untuk
melindungi negaranya dari ancaman kemanan pangan dapat menyebabkan
konsekuensi negatif bagi negara pengekspor pangan. Diperkirakan akibat dari
pemberlakuan penyelarasan nilai standar aflatoksin bagi 15 negara Eropa oleh Uni
Eropa dari bahan makanan impor 9 negara Afrika telah menyebabkan berkurangnya
ekspor negara Afrika sebanyak 64 persen atau senilai US$ 670 juta.

Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pertanian yang aman bagi kesehatan
dan kebugaran, aman bagi keselamatan dan kesehatan kerja, aman bagi kualitas dan
kelestarian lingkungan hidup mendorong dikembangkannya berbagai persyaratan
teknis bahwa produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab lingkungan.
Penilaian terhadap aspek keselamatan kerja, kesehatan konsumen dan kualitas
Lingkungan dilakukan pada keseluruhan proses agribisnis dari hulu sampai hilir
(pemasaran). Konsumen hijau mendesak WTO agar perubahan sikap perilaku dan
permintaan akan kualitas produk-produk pertanian diintegrasikan dalam kebijakan
perdagangan internasional produk-produk pertanian. Permintaan dan desakan
konsumen kemudian ditampung dan diperhatikan oleh organisasi perdagangan dunia
(WTO). Hal tersebut di ataslah yang juga turut mendorong berbagai negara di belahan

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 5 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
dunia untuk menerapkan Praktek Pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices
(GAP)

Meskipun secara umum implikasi dari perdagangan bebas ternyata belum sepenuhnya
dapat diterapkan untuk Indonesia. Hal ini dapat ditegaskan oleh Achterbosch (2004)
yang menyatakan bahwa meskipun rezim perdagangan di Indonesia yang cukup bebas
telah lama diberlakukan semenjak menghadapi krisis Asia akhir tahun 1990,
diperkirakan hanya sedikit masyarakat pertanian dengan skala kesejahteraan kecil
menengah yang mendapat efek langsung dari perdagangan bebas. Hal ini disebabkan
masih minimnya integrasi pertanian di Indonesia dengan perdagangan bebas.

Sementara itu, kondisi dunia pertanian di Indonesia sendiri juga mengalami tantangan
yang cukup merisaukan, salah satunya adalah terjadinya konversi lahan yang cukup
besar. Mariyono et all (2007) menyatakan konversi lahan pertanian mengakibatkan dua
dampak yang sangat tidak menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi.
Secara ekologi konversi lahan akan menyebabkan menurunnya daya dukung lahan.
Konversi lahan pertanian juga secara potensial dapat menyebabkan berkurangnya
produksi air tanah dan menyebabkan banjir. Sedangkan secara ekonomi konversi lahan
tidak hanya berimbas pada berkurangnya lahan dan produksi pertanian, tetapi juga
menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja baik bagi buruh tani maupun pemilik
lahan, berkurangnya investasi infrastruktur di bidang pertanian, seperti irigasi,
kelembagaan, dan menyebabkan konsekuensi negatif bagi lingkungan.

Secara umum konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan menurunkan
kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasikan dari penurunan luas lahan milik dan
luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya
pendapatan non pertanian (Ruswandi, et all, 2007).

Besarnya tuntutan akan produk pangan yang baik, sehat dan berwawasan lingkungan
adalah suatu hal yang tidak dapat terelakkan. Peningkatan tingkat pendidikan dan
ekonomi masayrakat mengekibatkan tuntutan baru akan pangan di berbagai belahan
dunia. Kondisi tersebut mau tidak mau harus dihadapi oleh Indonesia. Tuntutan akan
produk pangan yang aman tidak hanya dipandang sebagai hambatan bagi dunia
pertanian di Indonesia, namun juga harus dilihat sebagai sebuah tantangan dan peluang
bagi para stakeholder di bidang pertanian

Sesuai dengan cita-cita yang dihembuskan secara global bahwa setiap aktifitas produksi
hendaknya memperhatikan unsur keseimbangan alam demi masa depan bumi dan
manusia. GAP menuntut para produsen untuk menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi, selaras dengan keberlanjutan [sustainability], menjamin keselamatan para
pekerjanya untuk menghasilkan produk yang benar-benar berkualitas.
2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
6 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
Dengan menerapkan GAP yang memiliki standard operational procedure (SOP) tertentu
diharapkan agar sistem budidaya yang dilakukan memberikan banyak manfaat baik
terhadap produk yang dihasilkan, pekerja dan mampu meminimalisir cemaran terhadap
lingkungan di sekitar. Apabila produk pertanian yang dihasilkan hendak bersaing di era
perdagangan bebas, maka memiliki sertifikat GAP adalah sebuah kewajiban.

C. Implementasi Penerapan GAP dalam Agribisnis di Indonesia

Departemen Pertanian (2008) menerangkan bahwa penerapan GAP melalui Standar


Operasional Prosedur (SOP) yang spesifik lokasi, spesifik komoditas dan spesifik sasaran
pasarnya, dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang
dihasilkan petani agar memenuhi kebutuhan konsumen dan memiliki daya saing tinggi
dibandingkan dengan produk padanannya dari luar negeri.

Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah,
sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi
Permentan. Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan
legal dari pemerintah pusat maupun daerah.

Maksud dari GAP/SOP adalah untuk menjadi panduan umum dalam melaksanakan
budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat,
sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum,
ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan
kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan.

Tujuan dari penerapan GAP/SOP diantaranya:


1. Meningkatkan produksi dan produktivitas,
2. Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi,
3. Meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing,
4. Memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam,
5. Mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang
berkelanjutan,
6. Mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung
jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan,
7. Meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan
8. Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen.

Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan
mutu, usaha agribisnis hortikultura.

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 7 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Tahapan kegiatan pelaksanaan penerapan GAP/SOP adalah sebagai berikut:
1. sosialisasi GAP,
2. penyusunan dan perbanyakan SOP budidaya,
3. penerapan GAP/SOP budidaya,
4. identifikasi kebun/lahan usaha,
5. penilaian kebun/lahan usaha,
6. kebun/lahan usaha tercatat/teregister,
7. penghargaan kebun/lahan usaha GAP kategori Prima-3, Prima-2 dan Prima-1, dan
8. labelisasi produk prima.

Untuk mempercepat penerapan GAP/SOP dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mendorong terwujudnya Supply Chain Management (SCM),


2. Merubah paradigma pola produksi menjadi market driven,
3. Mendorong peran supermarket, retailer, supplier, dan eksportir untuk
mempersyaratkan mutu dan jaminan keamanan pangan pada produk,
4. Penyediaan tenaga pendamping penerapan GAP,
5. Melakukan sinkronisasi dengan program instansi terkait lainnya,
6. Perumusan program bersama instansi terkait lainnya dan melakukan promosi,
7. Target kuantitatif pencapaian kebun GAP tercantum dalam Renstra Departemen
Pertanian,
8. Membentuk dan memberdayakan lembaga sertifikasi untuk melakukan sertifikasi
kebun dan produk Prima dan
9. Mendorong sosialisasi mekanisme sistem sertifikasi dan perangkatnya.

Walaupun belum semua komoditas pertanian di Indonesia sudah menerapkan GAP


dalam pengembangan agribisnisnya, namun penerbitan Permentan tersebut
merupakan sebuah langkah maju dan merupakan dasar hukum yang jelas atas
pelaksanaan GAP di Indonesia. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun para
petaninya belum sepenuhnya menerapkan GAP. Avendano dan Calvin (2006)
menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat melalui Food and Drugs Administration
(FDA) baru menerbitkan panduan GAP bagi para petani untuk meminimalkan resiko
mikrobia bagi buah segar dan sayuran pada tahun 1998. FDA bahkan sampai saat ini
masih memberlakukan GAP bersifat Voulentary atau sukarela dan belum menjadi
kewajiban. Menurut catatan FDA hingga 2002 baru 29 persen petani di AS yang sudah
menerapkan GAP dalam praktek budidaya pertanian, dan sekitar 51 persen lainnya baru
dalam tahap persiapan menuju GAP.berkelanjutan dan peningkatan daya saing.

Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk menerapkannya.. Menurut Woods dan Suzanne (2005) saat
melakukan penelitian dalam menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan
2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
8 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
GAP dalam budidaya tanaman strawberry di sembilan negara bagian di Amerika,
ternyata penerapan GAP untuk tanaman strawberry dibutuhkan biaya berkisar pada
US$ 288 /ha/musim tanam. Biaya tersebut antara lain untuk penyediaan toilet dan
tempat cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik untuk pekerja maupun
pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin, pennggunaan baki
sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air untuk irigasi dan
pengembangan rencana penanganan manajemen krisis bagi usaha apabila terjadi
keracunan yang ditemukan dalam makanan.

Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat
diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan
masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan
para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan
untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi
ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP
khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas
pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada
berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan
kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun
hortikultura buah.

Tantangan lainnya adalah rumitnya prosedur penerapan GAP yang harus diperhatikan
oleh perusahaan agribisnis di Inonesia apabila ingin mengekspor produknya ke luar
negeri terutama negara-negara di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Ender dan
Mickazo (2008) menyatakan bahwa negara-negara di Uni Eropa juga menggunakan
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk diterapkan dalam penilaian GAP.
Bahkan The National Advissory Committe on Microbiological Criteria for Foods yang
dimiliki oleh Pemerintah AS juga menyarankan pemakaian HACCP sebagai alat penilaian
dalam keamanan pangan. Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural
Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari :

1. program perawatan peralatan


2. program sanitasi termasuk pada fasilitas pengepakan
3. pembersihan akhir musim tanam
4. tempat penyucian dan pengepakan
5. pelatihan bagi para karyawan
6. program penangan hama dan penyakit
7. program perawatan gudang
8. transportasi
9. dan pengambilan sampel mikrobia

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 9 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah mendorong pemberlakuan
praktek-praktek pertanian yang baik dan ramah lingkungan. Prinsip-prinsip dalam GAP
di Indonesia kemudian diselarakan dengan program pengelolaan hama terpadu
(Integrated Pest Management) dan pengelolaan tanaman terpadu (Integrated Crop
Management). Pendekatan pengelolaan ini penting untuk perbaikan dan pengelolaan
pertanian dalam jangka panjang. Fitur kuncinya adalah penggunaan yang hati-hati
terhadap produk agrokimia termasuk pestisida, pupuk kimia, dan zat pengatur tumbuh.
Karena itu, GAP memanfaatkan pengendalian hama, penyakit dan gulma sampai taraf
aman yang dikehendaki, yaitu pada batas biaya ekonomis bagi petani dan bahaya yang
minimla bagi operator, orang lain di sekitarnya dan lingkungan hidup. Hal lain yang
bersifat sentral dan penting adalah adanya jejak audit yang jelas, dengan
penyelenggaraan dokumentasi yang komprehensif untuk seluruh tahapan budidaya,
prosesing, penyimpanan hasil, atau bahan baku industri sehingga dapat dirunut
kembali. Secara praktis hal ini dilakukan melalui penyusuanan protokol, pencatatan dan
pendataan tahapan-tahapan kegiatan GAP termasuk penggunaan pestisida, pupuk
kimia dan zat pengatur tumbuh. Hal ini juga akan menjamin konsumen bahawa mereka
mendapatkan output bahan pangan yang terjamin dan memenuhi standar kualitas yang
tinggi.

D. Peluang Dan Tantangan GAP bagi dunia Agribisnis di Indonesia


Walaupun implementasi penerapan GAP di Indonesia masih sangat berat, namun
pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang strategis untuk pelaksanaan GAP
tersebut. Apalagi saat ini dasar hukum pelaksanaan GAP baru pada tanaman budidaya
buah-buahan yakni dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
61/Permentan/OT.160/11/2006 tanggal 28 November 2006. Namun hal itu ternyata
tidak serta merta membuat komoditas pertanian Indonesia lesu di pasaran ekspor,
terutama untuk negara-negara ASEAN. Menurut Hadi dan Mardianto (2004) ekspor
Produk Pertanian Indonesia termasuk mengalami pertumbuhan yang positif terutama
pada komoditas perkebunan, perikanan dan peternakan walaupun pertumbuhan
ekspor Indonesia ternyata juga negatif terutama untuk produk tanaman pangan. Hal
tersebut ternyata menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki peluang besar untuk
mengembangkan produk pertanian yang dimilikinya.

Sedangkan untuk beberapa komoditas pertanian terutama hortikultura pemerintah


perlu mempertimbangkan untuk memberikan proteksi untuk melindungi produk
pertanian Indonesia hingga mampu menerapkan GAP. Hal tersebut bertujuan agar para
petani di Indonesia dapat menyesuaikan dan menerapkan GAP terlebih dahulu sebelum
diadu hasil produksinya dengan negara-negara yang telah maju teknologi pertaniannya.
Pemberian proteksi ternyata juga mampu untuk meningkatkan kesejahteraan dan
2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
10 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
pendapatan petani di Indonesia. Hadi dan Saptana (2008) mencontohkan kebijakan
proteksi pada jeruk dan bawang merah secara makro nasional ternyata berpotensi
meningkatkan harga grosir, harga petani, produksi, dan surplus produsen, menurunkan
impor, tetapi dilain pihak juga menurunkan jumlah permintaan, surplus konsumen, dan
penerimaan pemerintah dari pajak impor.

E. Dampak Penerapan Good Agricultural Practices?

Menerapkan sistem GAP dalam budidaya pertanian tentu bermanfaat baik bagi manusia
maupun lingkungan. Hanya saja karena prosesnya begitu ketat dengan tingkat
keteraturan yang tinggi membuat produk hasil GAP memiliki harga yang lebih tinggi
daripada produk hasil budidaya biasa. Produk yang bersertifikat GAP tentu memiliki
jaminan tersendiri bagi konsumen apabila nanti ditemukan ketidak sesuaian karena
melalui GAP, semuanya tercatat dan terdata sejak pemilihan lahan hingga produk
dihasilkan.

Sertifikat GAP dikeluarkan oleh otoritas keamanan pangan pusat dan daerah. Apabila
nanti sudah memiliki sertifikat GAP maka seorang produsen bisa mendapatkan sertifikat
prima untuk produk pangan segar dengan melengkapi SOP dan registrasi kebun.
Sertifikat ini bermanfaat untuk bersaing dengan produk dari luar negeri dalam
perdagangan bebas. Apabila menghendaki produknya bisa menembus perdagangan
bebas, maka produk tersebut harus sudah memiliki sertifikat GAP global.

Setelah menerapkan GAP, seorang produsen juga sebaiknya menerapkan sertifikat


teknis selanjutnya yaitu Good Handling Practices dan Good Manufacturing Practices
yang akan dibahas pada postingan selanjutnya.

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 11 Universitas Mercu Buana Yogyakarta
LATIHAN

Aaaaaaaaaaaaaaaa

2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning


Tanaman] 12
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
DAFTAR PUSTAKA

Panduan e-learning Bagi Pengelola


Page 13 Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai