[Manajemen Produksi
Tanaman]
11
[Agroindustri] [Agroteknologi] [AGR2134] [Ir. Wafit Dinarto, M.Si.]
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN.................................................................................................................................... 3
LATIHAN ........................................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................ 13
A. Pendahuluan
Saat ini kita telah memasuki era globalisasi ekonomi yang memaksa petani sebagai
produsen utama produk-produk pertanian secara langsung dan tidak langsung
memasuki persaingan dengan banyak produsen lain ditingkat global. Produk-produk
pertanian tidak hanya bersaing dengan produk-produk pertanian luar negeri di pasar
global tetapi juga di pasar domestik. Dalam pasar global terbuka suatu negara tidak
boleh mengenakan proteksi dan hambatan tarif terhadap komoditi yang masuk ke
wilayahnya. Dalam kondisi demikian persaingan menjadi semakin sengit dan ketat,
produsen kuat bersaing dengan produsen lemah, akibatnya produsen yang kalah
bersaing akan semakin termarginalkan. Keadaan demikian yang sekarang sedang terjadi
dengan produk-produk pertanian khususnya produk pangan buah-buahan dan sayuran.
Indonesia.
Sedangkan dunia pertanian abad ini sendiri juga menghadapi tiga macam tantangan
utama. Organisasi Pangan dunia yang bernaung di bawah PBB (FAO) dalam pertemuan
pangan dunia menyatakan tiga tantangan utama pertanian saat ini yakni :
1. Membangun ketahanan pangan, yang terkait dengan aspek pasokan produk, aspek
pendapatan dan keterjangkauan, dan aspek kemandirian.
2. Sumber perolehan devisa, terutama yang terkait dengan keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif di pasar internasional.
3. Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, terutama yang terkait dengan
peluang pengembangan kegiatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik.
4. Pengembangan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan
kecenderungan pasar global.
Kebijakan dan strategi umum yang diambil dalam pelaksanaan RPPK sendiri adalah
pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan
lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing,
produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha
pertanian yang baik (Good Agricultural Practices = GAP).
Berdasarkan informasi dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian
Pertanian RI, diketahui bahwa GAP adalah sebuah teknis penerapan sistem sertifikasi
proses produksi pertanian yang menggunakan teknologi maju ramah lingkungan dan
berkelanjutan, sehingga produk panen aman dikonsumsi, kesejahteraan pekerja
diperhatikan dan usahatani memberikan keuntungan ekonomi bagi petani.
GAP telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2003 dimulai dari GAP komoditas sayuran
yang secara berangsur mewajibkan semua produk bahan pangan untuk perdagangan
global memiliki sertifikat GAP. ASEAN-GAP sendiri menekankan terhadap empat
komponen yaitu:
Dewasa ini di tingkat global telah terjadi perubahan nilai dan konsep pada konsumen
terhadap produk-produk pertanian yang mereka konsumsikan. Hal ini mengakibatkan
terjadinya perubahan perilaku dan sikap mereka dalam membeli suatu produk
agrisbisnis. Meningkatnya kesadaran konsumen akan kaitan kesehatan dan kebugaran
dengan konsumsi makanan, telah meningkatkan tuntutan konsumen akan nutrisi
produk-produk yang sehat, aman dan menunjang kebugaran. Keamanan pangan
menjadi kunci yang menentukan kualitas produk pangan.
Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pertanian yang aman bagi kesehatan
dan kebugaran, aman bagi keselamatan dan kesehatan kerja, aman bagi kualitas dan
kelestarian lingkungan hidup mendorong dikembangkannya berbagai persyaratan
teknis bahwa produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab lingkungan.
Penilaian terhadap aspek keselamatan kerja, kesehatan konsumen dan kualitas
Lingkungan dilakukan pada keseluruhan proses agribisnis dari hulu sampai hilir
(pemasaran). Konsumen hijau mendesak WTO agar perubahan sikap perilaku dan
permintaan akan kualitas produk-produk pertanian diintegrasikan dalam kebijakan
perdagangan internasional produk-produk pertanian. Permintaan dan desakan
konsumen kemudian ditampung dan diperhatikan oleh organisasi perdagangan dunia
(WTO). Hal tersebut di ataslah yang juga turut mendorong berbagai negara di belahan
Meskipun secara umum implikasi dari perdagangan bebas ternyata belum sepenuhnya
dapat diterapkan untuk Indonesia. Hal ini dapat ditegaskan oleh Achterbosch (2004)
yang menyatakan bahwa meskipun rezim perdagangan di Indonesia yang cukup bebas
telah lama diberlakukan semenjak menghadapi krisis Asia akhir tahun 1990,
diperkirakan hanya sedikit masyarakat pertanian dengan skala kesejahteraan kecil
menengah yang mendapat efek langsung dari perdagangan bebas. Hal ini disebabkan
masih minimnya integrasi pertanian di Indonesia dengan perdagangan bebas.
Sementara itu, kondisi dunia pertanian di Indonesia sendiri juga mengalami tantangan
yang cukup merisaukan, salah satunya adalah terjadinya konversi lahan yang cukup
besar. Mariyono et all (2007) menyatakan konversi lahan pertanian mengakibatkan dua
dampak yang sangat tidak menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi.
Secara ekologi konversi lahan akan menyebabkan menurunnya daya dukung lahan.
Konversi lahan pertanian juga secara potensial dapat menyebabkan berkurangnya
produksi air tanah dan menyebabkan banjir. Sedangkan secara ekonomi konversi lahan
tidak hanya berimbas pada berkurangnya lahan dan produksi pertanian, tetapi juga
menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja baik bagi buruh tani maupun pemilik
lahan, berkurangnya investasi infrastruktur di bidang pertanian, seperti irigasi,
kelembagaan, dan menyebabkan konsekuensi negatif bagi lingkungan.
Secara umum konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan menurunkan
kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasikan dari penurunan luas lahan milik dan
luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya
pendapatan non pertanian (Ruswandi, et all, 2007).
Besarnya tuntutan akan produk pangan yang baik, sehat dan berwawasan lingkungan
adalah suatu hal yang tidak dapat terelakkan. Peningkatan tingkat pendidikan dan
ekonomi masayrakat mengekibatkan tuntutan baru akan pangan di berbagai belahan
dunia. Kondisi tersebut mau tidak mau harus dihadapi oleh Indonesia. Tuntutan akan
produk pangan yang aman tidak hanya dipandang sebagai hambatan bagi dunia
pertanian di Indonesia, namun juga harus dilihat sebagai sebuah tantangan dan peluang
bagi para stakeholder di bidang pertanian
Sesuai dengan cita-cita yang dihembuskan secara global bahwa setiap aktifitas produksi
hendaknya memperhatikan unsur keseimbangan alam demi masa depan bumi dan
manusia. GAP menuntut para produsen untuk menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi, selaras dengan keberlanjutan [sustainability], menjamin keselamatan para
pekerjanya untuk menghasilkan produk yang benar-benar berkualitas.
2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
6 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
Dengan menerapkan GAP yang memiliki standard operational procedure (SOP) tertentu
diharapkan agar sistem budidaya yang dilakukan memberikan banyak manfaat baik
terhadap produk yang dihasilkan, pekerja dan mampu meminimalisir cemaran terhadap
lingkungan di sekitar. Apabila produk pertanian yang dihasilkan hendak bersaing di era
perdagangan bebas, maka memiliki sertifikat GAP adalah sebuah kewajiban.
Dasar hukum penerapan GAP di Indonesia adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
61/Permentan/OT.160/11/2006, tanggal 28 November 2006 untuk komoditi buah,
sedangkan untuk komoditas sayuran masih dalam proses penerbitan menjadi
Permentan. Dengan demikian penerapan GAP oleh pelaku usaha mendapat dukungan
legal dari pemerintah pusat maupun daerah.
Maksud dari GAP/SOP adalah untuk menjadi panduan umum dalam melaksanakan
budidaya tanaman buah, sayur, biofarmaka, dan tanaman hias secara benar dan tepat,
sehingga diperoleh produktivitas tinggi, mutu produk yang baik, keuntungan optimum,
ramah lingkungan dan memperhatikan aspek keamanan, keselamatan dan
kesejahteraan petani, serta usaha produksi yang berkelanjutan.
Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan
mutu, usaha agribisnis hortikultura.
Penyebab belum diterapkannya GAP berbagai negara adalah mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk menerapkannya.. Menurut Woods dan Suzanne (2005) saat
melakukan penelitian dalam menghitung biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan
2021 [Manajemen Produksi Pengembangan Materi Pembelajaran dan e-learning
8 Tanaman]
[Ir. Wafit Dinarto, M.Si.] http://mercubuana-yogya.ac.id/
GAP dalam budidaya tanaman strawberry di sembilan negara bagian di Amerika,
ternyata penerapan GAP untuk tanaman strawberry dibutuhkan biaya berkisar pada
US$ 288 /ha/musim tanam. Biaya tersebut antara lain untuk penyediaan toilet dan
tempat cuci tangan di sekitar lahan bagi pemetik strawberry baik untuk pekerja maupun
pengunjung, pelatihan hygiene, pengepakan dan sanitasi pendingin, pennggunaan baki
sekali pakai apabila diperlukan, monitoring penggunaan air untuk irigasi dan
pengembangan rencana penanganan manajemen krisis bagi usaha apabila terjadi
keracunan yang ditemukan dalam makanan.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat
diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan
masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan
para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan
untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi
ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP
khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas
pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada
berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan
kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun
hortikultura buah.
Tantangan lainnya adalah rumitnya prosedur penerapan GAP yang harus diperhatikan
oleh perusahaan agribisnis di Inonesia apabila ingin mengekspor produknya ke luar
negeri terutama negara-negara di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Ender dan
Mickazo (2008) menyatakan bahwa negara-negara di Uni Eropa juga menggunakan
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk diterapkan dalam penilaian GAP.
Bahkan The National Advissory Committe on Microbiological Criteria for Foods yang
dimiliki oleh Pemerintah AS juga menyarankan pemakaian HACCP sebagai alat penilaian
dalam keamanan pangan. Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural
Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari :
Menerapkan sistem GAP dalam budidaya pertanian tentu bermanfaat baik bagi manusia
maupun lingkungan. Hanya saja karena prosesnya begitu ketat dengan tingkat
keteraturan yang tinggi membuat produk hasil GAP memiliki harga yang lebih tinggi
daripada produk hasil budidaya biasa. Produk yang bersertifikat GAP tentu memiliki
jaminan tersendiri bagi konsumen apabila nanti ditemukan ketidak sesuaian karena
melalui GAP, semuanya tercatat dan terdata sejak pemilihan lahan hingga produk
dihasilkan.
Sertifikat GAP dikeluarkan oleh otoritas keamanan pangan pusat dan daerah. Apabila
nanti sudah memiliki sertifikat GAP maka seorang produsen bisa mendapatkan sertifikat
prima untuk produk pangan segar dengan melengkapi SOP dan registrasi kebun.
Sertifikat ini bermanfaat untuk bersaing dengan produk dari luar negeri dalam
perdagangan bebas. Apabila menghendaki produknya bisa menembus perdagangan
bebas, maka produk tersebut harus sudah memiliki sertifikat GAP global.
Aaaaaaaaaaaaaaaa