Anda di halaman 1dari 10

TUGAS DASAR DASAR PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN

“GAP (Good Agricultural Practices)
“UUD NO. 16 TAHUN 2006”
“P4S (PUSAT, PELATIHAN, PEDESAAN SWADAYA)”

NAMA : MUHAMMAD IRFAN


NO.BP : 1810212003
KELAS :A

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
A. Pengertian GAP (Good Agricultur Practices)

GAP (Good Agricultur Practices) adalah standar pekrjaan yang diberlakukan


dalam setiap usaha pertanian agar produksi dapat memenuhi standar internasional.
Agribisnis (baku menurut KBBI: agrobisnis) adalah bisnis berbasis usaha perta
nian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.
Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis
bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan perkataan
lain, adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Sebagai subjek
akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola
aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga
tahap pemasaran. Dalam konteks manajemen agribisnis di dalam dunia akademik,
setiap elemen dalam produksi dan distribusi pertanian dapat dijelaskan sebagai
aktivitas agribisnis. Namun istilah "agribisnis" di masyarakat umum seringkali
ditekankan pada ketergantungan berbagai sektor ini di dalam rantai produksi.

B.  Permasalahan Pangan Dan Penerapan Gap

Dewasa Ini Di Tingkat Global Telah Terjadi Perubahan Nilai Dan Konsep Pada
Konsumen Terhadap Produk-Produk Pertanian Yang Mereka Konsumsikan. Hal Ini
Mengakibatkan Terjadinya Perubahan Perilaku Dan Sikap Mereka Dalam Membeli
Suatu Produk Agrisbisnis. Meningkatnya Kesadaran Konsumen Akan Kaitan
Kesehatan Dan Kebugaran Dengan Konsumsi Makanan, Telah Meningkatkan
Tuntutan Konsumen Akan Nutrisi Produk-Produk Yang Sehat, Aman Dan
Menunjang Kebugaran. Keamanan Pangan Menjadi Kunci Yang Menentukan
Kualitas Produk Pangan.
Deininger (2006) Menyatakan Kelemahan Dalam Penanganan Sistem
Keamanan Pangan Dapat Menyebabkan Biaya Yang Tinggi Bagi Masyarakat Dan
Berakibat Bagi Ekonomi Global. World Health Organization (Who) Memperkirakan
Kurang Lebih 2,2 Juta Orang Di Dunia Meninggal Akibat Penyakit Diare Yang
Disebabkan Oleh Bakteri, Virus, Dan Organisme Patogen Yang Disebarkan Oleh Air
Yang Telah Terkontaminasi. Di India Diperkirakan 20 Persen Kematian  Dari Balita
Disebabkan Oleh Penyakit Diare. Saat Wabah Sars Menyebar Di Asia Timur Tahun
2003 Ternyata Menyebabkan Hilangnya Pertumbuhan Ekonomi Sebesar 2 Persen
Dari Wilayah Tersebut Pada Seperempat Tahun Pertama, Walaupun Hanya 800
Orang Yang Akhirnya Meninggal Akibat Penyakit Tersebut.
Sedangkan Lowy Institut For International Policy (2006) Memperkirakan
Mewabahnya Penyakit Avian Invluenza Menyebabkan Meningkatnya Biaya Ekonomi
Bagi 1,4 Juta Penduduk Dunia Yang Mendekati 0,8 Persen Gdp Dunia Atau Sekitar
Us$ 330 Miliar. Sedangkan Di Lain Pihak Timbulnya Peningkatan Reaksi Di
Berbagai Negara Untuk Melindungi Negaranya Dari Ancaman Kemanan Pangan
Dapat Menyebabkan Konsekuensi Negatif Bagi Negara Pengekspor Pangan.
Diperkirakan Akibat Dari Pemberlakuan Penyelarasan Nilai Standar Aflatoksin Bagi
15 Negara Eropa Oleh Uni Eropa Dari Bahan Makanan Impor 9 Negara Afrika Telah
Menyebabkan Berkurangnya Ekspor Negara Afrika Sebanyak 64 Persen Atau Senilai
Us$ 670 Juta.
Meningkatnya Kesadaran Konsumen Akan Produk Pertanian Yang Aman Bagi
Kesehatan Dan Kebugaran, Aman Bagi Keselamatan Dan Kesehatan Kerja, Aman
Bagi Kualitas Dan Kelestarian Lingkungan Hidup Mendorong Dikembangkannya
Berbagai Persyaratan Teknis Bahwa Produk Harus Dihasilkan Dengan Teknologi
Yang Akrab Lingkungan. Penilaian Terhadap Aspek Keselamatan Kerja, Kesehatan
Konsumen Dan Kualitas Lingkungan Dilakukan Pada Keseluruhan Proses Agribisnis
Dari Hulu Sampai Hilir (Pemasaran). Konsumen Hijau Mendesak Wto Agar
Perubahan Sikap Perilaku Dan Permintaan Akan Kualitas Produk-Produk Pertanian
Diintegrasikan Dalam Kebijakan Perdagangan Internasional Produk-Produk
Pertanian. Permintaan Dan Desakan Konsumen Kemudian Ditampung Dan
Diperhatikan Oleh Organisasi Perdagangan Dunia (Wto). Hal Tersebut Di Ataslah
Yang Juga Turut Mendorong Berbagai Negara Di Belahan Dunia Untuk Menerapkan
Praktek Pertanian Yang Baik Atau Good Agricultural Practices (Gap)
Meskipun Secara Umum Implikasi Dari Perdagangan Bebas Ternyata Belum
Sepenuhnya Dapat Diterapkan Untuk Indonesia. Hal Ini Dapat Ditegaskan Oleh
Achterbosch (2004) Yang Menyatakan Bahwa Meskipun Rezim Perdagangan Di
Indonesia Yang Cukup Bebas Telah Lama Diberlakukan Semenjak Menghadapi
Krisis Asia Akhir Tahun 1990, Diperkirakan Hanya Sedikit Masyarakat Pertanian
Dengan Skala Kesejahteraan Kecil Menengah Yang Mendapat Efek Langsung Dari
Perdagangan Bebas.  Hal Ini Disebabkan Masih Minimnya Integrasi Pertanian Di
Indonesia Dengan Perdagangan Bebas.
Sementara Itu, Kondisi Dunia Pertanian Di Indonesia Sendiri Juga Mengalami
Tantangan Yang Cukup Merisaukan, Salah Satunya Adalah Terjadinya Konversi
Lahan Yang Cukup Besar. Mariyono Et All (2007) Menyatakan Konversi Lahan
Pertanian Mengakibatkan Dua Dampak Yang Sangat Tidak Menguntungkan Baik
Secara Ekonomi Maupun Ekologi. Secara Ekologi Konversi Lahan Akan
Menyebabkan Menurunnya Daya Dukung Lahan. Konversi Lahan Pertanian Juga
Secara Potensial Dapat Menyebabkan Berkurangnya Produksi Air Tanah Dan
Menyebabkan Banjir. Sedangkan Secara Ekonomi Konversi Lahan Tidak Hanya
Berimbas Pada Berkurangnya Lahan Dan Produksi Pertanian, Tetapi Juga
Menyebabkan Berkurangnya Kesempatan Kerja Baik Bagi Buruh Tani Maupun
Pemilik Lahan, Berkurangnya Investasi Infrastruktur Di Bidang Pertanian, Seperti
Irigasi, Kelembagaan, Dan Menyebabkan Konsekuensi Negatif Bagi Lingkungan.
Secara Umum Konversi Lahan Pertanian Dalam Jangka Panjang Akan
Menurunkan Kesejahteraan Petani, Yang Dapat Diidentifikasikan Dari Penurunan
Luas Lahan Milik Dan Luas Lahan Garapan, Penurunan Pendapatan Pertanian, Serta
Tidak Signifikannya Pendapatan Non Pertanian (Ruswandi, Et All, 2007).
Besarnya Tuntutan Akan Produk Pangan Yang Baik, Sehat Dan Berwawasan
Lingkungan Adalah Suatu Hal Yang Tidak Dapat Terelakkan. Peningkatan Tingkat
Pendidikan Dan Ekonomi Masayrakat Mengekibatkan Tuntutan Baru Akan Pangan
Di Berbagai Belahan Dunia. Kondisi Tersebut Mau Tidak Mau Harus Dihadapi Oleh
Indonesia. Tuntutan Akan Produk Pangan Yang Aman Tidak Hanya Dipandang
Sebagai Hambatan Bagi Dunia Pertanian Di Indonesia, Namun Juga Harus Dilihat
Sebagai Sebuah Tantangan Dan Peluang Bagi Para Stakeholder Di Bidang Pertanian
C. Implementasi Penerapan Gap Dalam Agribisnis Di Indonesia

Departemen Pertanian (2008) Menerangkan Bahwa Penerapan Gap Melalui


Standar Operasional Prosedur (Sop) Yang Spesifik Lokasi, Spesifik Komoditas Dan
Spesifik Sasaran Pasarnya, Dimaksudkan Untuk Meningkatkan Produktivitas Dan
Kualitas Produk Yang Dihasilkan Petani Agar Memenuhi Kebutuhan Konsumen Dan
Memiliki Daya Saing Tinggi Dibandingkan Dengan Produk Padanannya Dari Luar
Negeri.
Dasar Hukum Penerapan Gap Di Indonesia Adalah Peraturan Menteri Pertanian
Nomor : 61/Permentan/Ot.160/11/2006, Tanggal 28 November 2006 Untuk Komoditi
Buah, Sedangkan Untuk Komoditas Sayuran Masih Dalam Proses Penerbitan
Menjadi Permentan. Dengan Demikian Penerapan Gap Oleh Pelaku Usaha Mendapat
Dukungan Legal Dari Pemerintah Pusat Maupun Daerah.
Maksud Dari Gap/Sop Adalah Untuk Menjadi Panduan Umum Dalam
Melaksanakan Budidaya Tanaman Buah, Sayur, Biofarmaka, Dan Tanaman Hias
Secara Benar Dan Tepat, Sehingga Diperoleh Produktivitas Tinggi, Mutu Produk
Yang Baik, Keuntungan Optimum, Ramah Lingkungan Dan Memperhatikan Aspek
Keamanan, Keselamatan Dan Kesejahteraan Petani, Serta Usaha Produksi Yang
Berkelanjutan.
Tujuan Dari Penerapan Gap/Sop Diantaranya; (1) Meningkatkan Produksi Dan
Produktivitas, (2) Meningkatkan Mutu Hasil Termasuk Keamanan Konsumsi, (3)
Meningkatkan Efisiensi Produksi Dan Daya Saing, (4) Memperbaiki Efisiensi
Penggunaan Sumberdaya Alam, (5) Mempertahankan Kesuburan Lahan, Kelestarian
Lingkungan Dan Sistem Produksi Yang Berkelanjutan, (6) Mendorong Petani Dan
Kelompok Tani Untuk Memiliki Sikap Mental Yang Bertanggung Jawab Terhadap
Kesehatan Dan Keamanan Diri Dan Lingkungan, (7) Meningkatkan Peluang
Penerimaan Oleh Pasar Internasional, Dan (8) Memberi Jaminan Keamanan Terhadap
Konsumen. Sedangkan Sasaran Yang Akan Dicapai Adalah Terwujudnya Keamanan
Pangan, Jaminan Mutu, Usaha Agribisnis Hortikultura Berkelanjutan Dan
Peningkatan Daya Saing.
Tahapan Kegiatan Pelaksanaan Penerapan Gap/Sop Adalah Sebagai Berikut :
(1) Sosialisasi Gap, (2) Penyusunan Dan Perbanyakan Sop Budidaya, (3) Penerapan
Gap/Sop Budidaya, (4) Identifikasi Kebun/Lahan Usaha, (5) Penilaian Kebun/Lahan
Usaha, (6) Kebun/Lahan Usaha Tercatat/Teregister, (7) Penghargaan Kebun/Lahan
Usaha Gap Kategori Prima-3, Prima-2 Dan Prima-1, Dan (8) Labelisasi Produk
Prima.
Untuk Mempercepat Penerapan Gap/Sop Dilakukan Hal-Hal Sebagai Berikut :
(1) Mendorong Terwujudnya Supply Chain Management (Scm), (2) Merubah
Paradigma Pola Produksi Menjadi Market Driven, (3) Mendorong Peran
Supermarket, Retailer, Supplier, Dan Eksportir Untuk Mempersyaratkan Mutu Dan
Jaminan Keamanan Pangan Pada Produk, (4) Penyediaan Tenaga Pendamping
Penerapan Gap, (5) Melakukan Sinkronisasi Dengan Program Instansi Terkait
Lainnya, (6) Perumusan Program Bersama Instansi Terkait Lainnya Dan Melakukan
Promosi, (7) Target Kuantitatif Pencapaian Kebun Gap Tercantum Dalam Renstra
Departemen Pertanian, (8) Membentuk Dan Memberdayakan Lembaga Sertifikasi
Untuk Melakukan Sertifikasi Kebun Dan Produk Prima Dan (9) Mendorong
Sosialisasi Mekanisme Sistem Sertifikasi Dan Perangkatnya.
Walaupun Belum Semua Komoditas Pertanian Di Indonesia Sudah Menerapkan
Gap Dalam Pengembangan Agribisnisnya, Namun Penerbitan Permentan Tersebut
Merupakan Sebuah Langkah Maju Dan Merupakan Dasar Hukum Yang Jelas Atas
Pelaksanaan Gap Di Indonesia. Bahkan Negara Maju Seperti Amerika Serikat Pun
Para Petaninya Belum Sepenuhnya Menerapkan Gap. Avendano Dan Calvin (2006)
Menyatakan Bahwa Pemerintah Amerika Serikat Melalui Food And Drugs
Administration (Fda) Baru Menerbitkan Panduan Gap Bagi Para Petani Untuk
Meminimalkan Resiko Mikrobia Bagi Buah Segar Dan Sayuran Pada Tahun 1998.
Fda Bahkan Sampai Saat Ini Masih Memberlakukan Gap Bersifatvoulentary Atau
Sukarela Dan Belum Menjadi Kewajiban. Menurut Catatan Fda Hingga 2002 Baru 29
Persen Petani Di As Yang Sudah Menerapkan Gap Dalam Praktek Budidaya
Pertanian, Dan Sekitar 51 Persen Lainnya Baru Dalam Tahap Persiapan Menuju Gap.
Penyebab Belum Diterapkannya Gap Berbagai Negara Adalah Mahalnya Biaya Yang
Harus Dikeluarkan Untuk Menerapkannya.. Menurut Woods Dan Suzanne (2005)
Saat Melakukan Penelitian Dalam Menghitung Biaya Yang Dikeluarkan Untuk
Melaksanakan Good Agricultural Practices Dalam Budidaya Tanaman Strawberry
Di Sembilan Negara Bagian Di Amerika, Ternyata Penerapan Gap Untuk Tanaman
Strawberry Dibutuhkan Biaya Berkisar Pada Us$ 288 /Ha/Musim Tanam. Biaya
Tersebut Antara Lain Untuk Penyediaan Toilet Dan Tempat Cuci Tangan Di Sekitar
Lahan Bagi Pemetik Strawberry Baik Untuk Pekerja Maupun Pengunjung,
Pelatihan Hygiene, Pengepakan Dan Sanitasi Pendingin, Pennggunaan Baki Sekali
Pakai Apabila Diperlukan, Monitoring Penggunaan Air Untuk Irigasi Dan
Pengembangan Rencana  Penanganan Manajemen Krisis Bagi Usaha Apabila Terjadi
Keracunan Yang Ditemukan Dalam Makanan.
Mahalnya Biaya Yang Harus Dikeluarkan Tentu Menjadi Kendala Besar Untuk
Dapat Diterapkan Oleh Para Petani Di Indonesia Yang Mayoritas Masih Berkutat
Dengan Masalah Kemiskinan Dan Lemah Dalam Sdm Terutama Dilihat Dari Tingkat
Pendidikan Para Petani Di Indonesia. Untuk Menerapkan Gap Di Indonesia Saat Ini
Dioptimalkan Untuk Dilaksanakan Oleh Perusahaan Agribisnis Yang Berskala Besar
Dan Berorientasi Ekspor. Pemerintah Sendiri Telah Membantu Penerapan  Gap
Tersebut Dengan Sop Khusus Pada Setiap Komoditas Pertanian Yang Hendak
Diusahakan, Namun Baru Terbatas Pada Komoditas Hortikultura. Pemerintah Juga
Telah Memberikan Penghargaan Kepada Berbagai Kebun Buah Yang Telah
Menerapkan Standar Gap Melalui Penghargaan Kategori Prima 3, Prima 2 Dan Prima
1 Untuk Merangsang Penerapan Gap Bagi Kebun Hortikultura Buah.
Tantangan Lainnya Adalah Rumitnya Prosedur Penerapan Gap Yang Harus
Diperhatikan Oleh Perusahaan Agribisnis Di Inonesia Apabila Ingin Mengekspor
Produknya Ke Luar Negeri Terutama Negara-Negara Di Uni Eropa Maupun Amerika
Serikat. Ender Dan Mickazo (2008) Menyatakan Bahwa Negara-Negara Di Uni
Eropa Juga Menggunakan Haccp (Hazard Analysis Critical Control Point) Untuk
Diterapkan Dalam Penilaian Gap. Bahkan The National Advissory Committe On
Microbiological Criteria For Foods Yang Dimiliki Oleh Pemerintah As Juga
Menyarankan Pemakaian Haccp Sebagai Alat Penilaian Dalam Keamanan Pangan.
Penerapan Strategi Dasar Haccp  Pada Good Agricultural Practice (Gap) Pada Lahan
Pertanian Meliputi Panduan Umum Yang Terdiri Dari :
         Program Perawatan Peralatan
         Program Sanitasi Termasuk Pada Fasilitas Pengepakan
         Pembersihan Akhir Musim Tanam
         Tempat Penyucian Dan Pengepakan
         Pelatihan Bagi Para Karyawan
         Program Penangan Hama Dan Penyakit
         Program Perawatan Gudang
         Transportasi

         Dan Pengambilan Sampel Mikrobia


Pemerintah Indonesia Melalui Departemen Pertanian Telah Mendorong
Pemberlakuan Praktek-Praktek Pertanian Yang Baik Dan Ramah Lingkungan.
Prinsip-Prinsip Dalam Gap Di Indonesia Kemudian Diselarakan Dengan Program
Pengendalian Hama Terpadu (Integrated Pest Management) Dan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (Integrated Crop Management). Pendekatan Pengelolaan Ini
Penting Untuk Perbaikan Dan Pengelolaan Pertanian Dalam Jangka Panjang. Fitur
Kuncinya Adalah Penggunaan Yang Hati-Hati Terhadap Produk Agrokimia
Termasuk Pestisida, Pupuk Kimia, Dan Zat Pengatur Tumbuh. Karena Itu, Gap
Memanfaatkan Pengendalian Hama, Penyakit Dan Gulma Sampai Taraf Aman Yang
Dikehendaki, Yaitu Pada Batas Biaya Ekonomis Bagi Petani Dan Bahaya Yang
Minimla Bagi Operator, Orang Lain Di Sekitarnya Dan Lingkungan Hidup. Hal Lain
Yang Bersifat Sentral Dan Penting Adalah Adanya Jejak Audit Yang Jelas, Dengan
Penyelenggaraan Dokumentasi Yang Komprehensif Untuk Seluruh Tahapan
Budidaya, Prosesing, Penyimpanan Hasil, Atau Bahan Baku Industri Sehingga Dapat
Dirunut Kembali. Secara Praktis Hal Ini Dilakukan Melalui Penyusuanan Protokol,
Pencatatan Dan Pendataan Tahapan-Tahapan Kegiatan Gap Termasuk Penggunaan
Pestisida, Pupuk Kimia Dan Zat Pengatur Tumbuh. Hal Ini Juga Akan Menjamin
Konsumen Bahawa Mereka Mendapatkan Output Bahan Pangan Yang Terjamin Dan
Memenuhi Standar Kualitas Yang Tinggi.

D. Peluang Dan Tantangan Gap Bagi Dunia Agribisnis Di Indonesia

Walaupun Implementasi Penerapan Gap Di Indonesia Masih Sangat Berat,


Namun Pemerintah Telah Mengambil Langkah-Langkah Yang Strategis Untuk
Pelaksanaan Gap Tersebut. Apalagi Saat Ini Dasar Hukum Pelaksanaan Gap Baru
Pada Tanaman Budidaya Buah-Buahan Yakni Dengan Diterbitkannya Peraturan
Menteri Pertanian Nomor : 61/Permentan/Ot.160/11/2006 Tanggal 28 November
2006 Yang Relatif Masih Baru. Namun Hal Itu Ternyata Tidak Serta Merta Membuat
Komoditas Pertanian Indonesia Lesu Di Pasaran Eksport, Terutama Untuk Negara-
Negara Asean. Menurut Hadi Dan Mardianto (2004) Ekspor Produk Pertanian
Indonesia Termasuk Mengalami Pertumbuhan Yang Positif Terutama Pada
Komoditas Perkebunan, Perikanan Dan Peternakan Walaupun Pertumbuhan Ekspor
Indonesia Ternyata Juga Negatif Terutama Untuk Produk Tanaman Pangan. Hal
Tersebut Ternyata Menunjukkan Bahwa Indonesia Masih Memiliki Peluang Besar
Untuk Mengembangkan Produk Pertanian Yang Dimilikinya.
Sedangkan Untuk Beberapa Komoditas Pertanian Terutama Hortikultura
Pemerintah Perlu Mempertimbangkan Untuk Memberikan Proteksi Untuk
Melindungi Produk Pertanian Indonesia Hingga Mampu Menerapkan Gap. Hal
Tersebut Bertujuan Agar Para Petani Di Indonesia Dapat Menyesuaikan Dan
Menerapkan Gap Terlebih Dahulu Sebelum Diadu Hasil Produksinya Dengan
Negara-Negara Yang Telah Maju Teknologi Pertaniannya. Pemberian Proteksi
Ternyata Juga Mampu Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Dan Pendapatan Petani Di
Indonesia. Hadi Dan Saptana (2008) Mencontohkan Kebijakan Proteksi Pada Jeruk
Dan Bawang Merah Secara Makro Nasional Ternyata Berpotensi Meningkatkan
Harga Grosir, Harga Petani, Produksi, Dan Surplus Produsen, Menurunkan Impor,
Tetapi Dilain Pihak Juga Menurunkan Jumlah Permintaan, Surplus Konsumen, Dan
Penerimaan Pemerintah Dari Pajak I
E. Kesimpulan

Penerapan Gap Dalam Agribisnis Akan Semakin Mendapatkan Sorotan Di


Mata Konsumen Di Masa-Masa Yang Akan Datang, Terutama Untuk Pemenuhan
Pasar Di Negara-Negara Maju. Tuntutan Konsumen Akan Semakin Meningkat
Terhadap Pemenuhan Makanan Yang Aman Dan Dengan Pengolahan Budidaya Yang
Berwawasan Lingkungan. Sementara Penerapan Gap Di Indonesia Saat Ini Belum
Akan Dapat Dilaksanakan Secara Optimal Mengingat Besarnya Biaya Penerapan Gap
Pada Sistem Pertanian Serta Masih Rumitnya Prosedur Penerapan Gap Melalui
Haccp Untuk Dapat Diterapkan Pada Petani Di Indonesia Yang Mayoritas
Merupakan Petani Miskin Dengan Tingkat Sdm Yang Rendah Serta Kepemilikan
Lahan Yang Rendah Pula. Penerapan Gap Di Indonesia Baru Dapat Dimungkinkan
Pada Perusahaan-Perusahaan Agribisnis Dengan Skala Besar Yang Telah
Berorientasi Ekspor Terutama Pada Perusahaan Perkebunan Dengan Komoditas Yang
Telah Diakui Kualitasnya Di Dunia Internasional.

Anda mungkin juga menyukai