Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Hardywinoto dan Setiabudhi dalam Sunaryo et al (2016:55-
56) lanjut usia (lansia) adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun
keatas. Lansia merupakan fase kehidupan yang akan dialami oleh setiap
manusia. Ciri fisik yang terlihat dintaranya kulit yang keriput, berkurangnya
fungsi telinga dan mata, cepat merasa lelah, rambut menipis dan memutih,
serta berkurangnya daya tahan tubuh (Badan Pusat Statistik, 2014).
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang World Population Ageing,
memperkirakan pada tahun 2015 terdapat 901 juta jiwa penduduk lansia di
dunia. Jumlah tersebut diproyeksikan terus meningkat mencapai 2 (dua)
miliar jiwa pada tahun 2050 (UN, 2015). Seperti halnya yang terjadi di
negara-negara di dunia, Indonesia juga mengalami penuaan penduduk. Tahun
2018 persentase lansia mencapai 9,27 persen lansia atau sekitar 24,49 juta
orang Tahun 2019, juml ah lansia Indonesia diproyeksikan akan meningkat
menjadi 27,5 juta atau 10,3%, tahun 2020 diprediksi jumlah lansia sebesar
28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Aini, 2016). Lansia
mencapai 57 juta jiwa atau 17,9% pada tahun 2045 (BPS, 2018).
Perlu diwaspadai adanya peningkatan penyakit yang berhubungan
dengan proses degeneratif diantaranya gangguan fungsi kognitif. Fungsi
kognitif adalah kemampuan seseorang dalam menerima, mengolah,
menyimpan dan menggunakan kembali semua masukan sensorik secara baik.
Mudah lupa (forgetfullness) merupakan salah satu kemunduran fungsi
kognitif yang dialami oleh lansia (Sylvia & Sutanto, 2017:544). Perubahan
kognitif pada lansia menyebabkan terjadi penurunan fungsi sel otak, yang
menimbulkan penurunan daya ingat jangka pendek, sulit berkonsentrasi,
melambatnya proses informasi sehingga dapat mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi (Agustia et al., 2014:1).
Faktor resiko yang sering menyebabkan lanjut usia terkena gangguan
kognitif adalah: usia, riwayat keluarga, jenis kelamin, depresi dan penyakit
penyerta (Aini dan Widya, 2016:7). Hipertensi, diabetes melitus, merokok,

1
dan inflamasi merupakan beberapa penyakit penyerta penyebab fungsi
kognitif mengalami penurunan (Kandou & Pandean, 2016:2).
Data WHO (Word Health Organization) menyebutkan bahwa tahun
2015 jumlah lanjut usia dengan gangguan kognitif di seluruh dunia
diperkirakan mencapai 47.470.000, mencapai 75.630.000 pada tahun 2030
dan 135.460.000 pada tahun 2050. Salah satu gangguan kognitif yang paling
sering terjadi pada lansia yaitu demensia (Pramadita et al., 2019:627), di
Indonesia jumlah penyandang demensia sebanyak satu juta pada tahun 2013
(Insani dan Ari, 2019:168).
Kemunduran kognitif dapat diperlambat dengan berbagai intervensi
salah satunya aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang dapat dilakukan meliputi
latihan kelenturan (flexibility exercise), latihan kekuatan dengan tahanan
(strength atau resistance exercise) dan latihan aerobik (aerobic exercise).
Sebagian kasus, kombinasi dari bentuk aktivitas yang berbeda dalam
beberapa intervensi bisa menjadi sebuah pendekatan untuk meningkatkan
domain kognitif dari lansia (Hapsari, 2018:6).
Senam vitalisasi otak merupakan senam yang di desain untuk lansia
karena gerakan-gerakan dalam senam vitalisasi otak disesuaikan dengan
irama pernafasan sehingga tidak meningkatkan frekuensi jantung dan tekanan
darah, sekaligus melibatkan emosi dan jiwa. Senam vitalisasi otak mampu
mempertahankan kebugaran otak bahkan meningkatkan kemampuan fungsi
kognitif lansia (Sari et al., 2016:16).
Resistance exercise merupakan suatu latihan yang dapat meningkatkan
aliran darah dan oksigen ke otak sehingga meningkatnya fungsi kognitif
(Hapsari, 2018:6). Menurut Kusumowardani dan Wahyuni (2017:170) selain
memberikan manfaat jasmani, latihan fisik juga berperan dalam kesehatan
mental dan kognitif untuk menurunkan ketegangan dan kelelahan pikiran,
meningkatkan motivasi, memberikan perasaan keberhasilan meningkatkan
kegembiraan, dan kehidupan sosial yang lebih baik.
Peneliti telah melakukan observasi di posyandu Mojosongo, didapatkan
lansia rata-rata usia 60 tahun ke atas dengan latar belakang mayoritas
pendidikannya rendah yaitu tidak pernah sekolah. Hasil wawancara dari 50%

2
lansia di posyandu didapatkan hasil 85% diantaranya mengalami gangguan
kognitif.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti dan
mengkaji lebih dalam melalui penelitian dan dipaparkan dalam skripsi dengan
judul “Pengaruh Penambahan Resistance Exercise Pada Senam Vitalisasi
Otak Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Lansia di Posyandu Lansia
Mojosongo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan:
Apakah ada pengaruh penambahan Resistance Exercise pada Senam
Vitalisasi Otak terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif Lansia di Posyandu
Lansia Mojosongo?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh penambahan resistance exercise pada senam
vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di Posyandu
Lansia Mojosongo.
2. Tujuan khusus
Menganalisa pengaruh penambahan resistance exercise senam vitalisasi
otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di Posyandu Lansia
Mojosongo.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi
Penelitian ini diharapkan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain
untuk melaksanakan penelitian yang sejenis atau melanjutkan penelitian
yang sudah dilakukan oleh penulis.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengalaman serta ilmu tentang penelitian dan hasil dari
penelitian tersebut dapat menjadi dasar acuan peneliti selanjutnya untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh penambahan resistance exercise
pada senam vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada
lansia lebih lanjut.

3
3. Bagi Fisioterapi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa
Fisioterapi khususnya tentang penambahan resistance exercise pada
senam vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada lansia.
4. Bagi Lansia
Penelitian ini dapat memberi dan menyebarluaskan informasi kepada
masyarakat terutama bagi lansia, tentang pemberian resistance exercise
pada senam vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif pada
lansia.
E. Keaslian Penelitian
1. Penelitian oleh Nuraini dan Ardian (2018) dengan judul “Efektivitas
Senam Otak Dan Senam Vitalisasi Otak Dalam Meningkatkan Fungsi
Kognitif Lansia Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang”.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efektivitas senam
otak dan senam vitalisasi otak dalam meningkatkan fungsi kognitif
lansia. Metode yang digunakan quasi eksperimental pre and posttest
without control group dengan 34 responden pengumpulan data dengan
menggunakan kuisioner MMSE. Hasil dari penelitian ini adalah adanya
perbedaan yang bermakna antara fungsi kognitif pada kelompok senam
otak dengan kelompok senam vitalisasi otak di Unit Rehabilitasi Sosial
Pucang Gading Semarang dengan nilai p value 0,004. Kelompok
perlakuan senam vitalisasi otak cenderung lebih tinggi daripada
kelompok senam otak, sehingga dapat diartikan senam vitalisasi otak
lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif lansia. Perbedaan
penelitian ini yaitu kuesioner yang digunakan MMSE sedangkan
penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan MoCA-Ina.
Persamaan, dalam penelitian ini dan penelitian yang akan dilakukan
peneliti sama menggunakan 2 variabel bebas senam otak dan senam
vitalisasi otak sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti senam
vitalisasi otak dan resistance exercise dengan metode yang sama quasi
eksperimental pre and postest.

4
2. Penelitian oleh Sari et al (2016) dengan judul “Efektivitas Senam
Vitalisasi Otak Terhadap Fungsi Kognitif Lansia Dengan Demensia
Awal”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh senam
vitalisasi otak terhadap fungsi kognitif pada lansia dengan demensia
tahap awal. Metode yang digunakan quasi eksperimental dengan
pendekatan pre and posttest design with control group desain dengan
sampel terdiri dari 11 lansia untuk kelompok perlakuan dan 11 lansia
untuk kelompok control. Status dimensia ditandai dengan Clock Drawing
Test dan kuisioner MMSE untuk mengetahui fungsi kognitif. Penelitian
ini dilakukan sebanyak 3x dalam seminggu salama 6 minggu dengan
hasil latihan vitalisasi otak efektif untuk meningkatkan dan
mempertahankan fungsi kognitif pada lansia dengan demensia tahap awal
dengan nilai p value 0,006. Perbedaan penelitian ini yaitu menggunakan
1 variabel bebas senam vitalisasi otak dengan responden lansia yang
mengalami demensia awal dengan pengumpulan data menggunakan
kuesioner MMSE sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti
menggunakan 2 variabel bebas senam vitalisasi otak dan resistance
exercise dengan responden lansia secara umum yang mengalami
gangguan fungsi kognitif dengan pengumpulan data menggunakan
kuesioner MoCA-Ina. Persamaan dengan penelitian yang akan diteliti
oleh peneliti desain penelitian menggunakan quasi eksperimentl pre post
test, penelitian dilakukan 3x seminggu selama 6 minggu.
3. Penelitian oleh Kusumowardani dan Wahyuni, (2017) dengan judul
“Pengaruh Latihan Fisik Terhadap Kemampuan Kognitif Lansia Di Desa
Ngesrep Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali”. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji pengaruh latihan fisik terhadap kemampuan
kognitif lansia di Desa Ngesrep, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten
Boyolali. Metode yang digunakan quasi eksperimental dengan desain one
grup pre posttest sampel yang digunakan 40 lansia untuk kelompok
perlakuan dan kelompok control. Pegambilan data menggunakan
kuisioner MMSE. Hasil dari penelitian ini latihan fisik memberikan
pengaruh positif terhadap fungsi kognitif dengan nilai p value 0,198.

5
Perbedaan dari penelitian ini yaitu menggunakan 1 variabel bebas
aktivitas fisik dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner
MMSE, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan
2 variabel bebas senam vitalisasi otak dan resistance exercise dengan
pengumpulan data menggunakan kuisioner Montreal Cognitive
Assesment versi Indonesia (MoCA-Ina). Persamaan dari penelitian ini
yaitu desain penelitian yang digunakan menggunakan quasi
eksperimental pre and posttest
4. Penelitian oleh Harveson et al (2016) dengan judul “Acute Effects of 30
Minutes Resistance and Aerobic Exercise on Cognition in a High School
Sample”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara
resistance exercise, latihan aerobik dan kelompok kontrol tanpa
perlakuan (non exercise). Metode yang digunakan ANOVA dengan 94
responden sesuai hasil test stroop. Hasil dari penelitian ini bahwa
resistance exercise dan latihan aerobik terbukti dapat meningkatakn
fungsi kognitif disbanding dengan kelompok kontrol tanpa exercise
dengan nilai p value <0,05. Perbedaan dari penelitian ini yaitu cara
pengumpulan data menggunakan tes stroop dengan desain penelitian
menggunakan ANOVA, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
peneliti pengumpulan data menggunakan kuesiner MoCA-Ina dengan
desain penelitian menggunakan quasi eksperimental pretest and postest.
Persamaan dari penelitian ini yaitu menggunakan 2 variabel bebas
resistance exercise dan aerobic exercise sedangkan penelitian yang akan
dilakukan peneliti senam vitalisasi otak dan resistance exercise

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Lanjut Usia (Lansia)
a. Teori Penuaan
Menurut Aspiani (2014:30) proses menua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Menurut Azizah (2011:11)
Proses menua merupakan proses yang secara terus-menerus
(berlanjut) secara alamiah. Penuaan merupakan akumulasi secara
progresif dari berbagai perubahan fisiologi organ tubuh yang
berlangsung seiring berlalunya waktu. Menua bukanlah suatu
penyakit melainkan proses berkurangnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi stressor dari dalam maupun dari luar.
Menurut Aspiani (2014:31-35) teori penuaan dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Teori Biologi
a) Teori Free Radical
Teori radikal bebas mengansumsikan bahwa proses
menua terjadi akibat kurang efektifnya fungsi kerja tubuh dan
ini dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas dalam
tubuh (Aspiani, 2014:33).
b) Wear Teori Biologi
Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan
menyebabkan kecepatan kerusakan jaringan dan
melambatnya perbaikan sel jaringan (Padila, 2013:8).
2) Teori Psikososial
a) Teori aktivitas
Teori ini menyatakan bahwa seseorang individu hanya
harus mampu eksis dan aktif dalam kehidupan sosial untuk
mencapai kesuksesan dalam kehidupan di hari tua. Aktivitas

7
dalam teori ini dipandang sebagai sesuatu yang vital untuk
mempertahankan rasa kepuasan pribadi yang positif
(Mujahidullah, 2012:8).
3) Teori Lingkungan
a) Teori Radiasi
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen
radikal bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas sangat
merusak karena sangat reaktif, sehingga dapat bereaksi
dengan DNA, protein, dan asam lemak tak jenuh yang dapat
merusak sel bahkan mati (Sya’diyah, 2018:6).
b) Teori Stres
Stres fisik maupun psikologi dapat mengakibatkan
pengeluaran neurotransmitter tertentu yang dapat
mengakibatkan perfusi jaringan menurun sehingga jaringan
mengalami gangguan metabolism sel sehingga terjadi
penurunan jumlah cairan dalam sel dan penurunan jumlah
cairan dalam sel dan penurunan eksisitas membran sel
(Aspiani, 2014:35).
b. Pengertian Lansia
Menurut Azizah (2011:1) lansia adalah bagian dari proses tumbuh
kembang. Manusia tidak akan secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi
berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua.
Menurut Pribadi (2015:66) individu pada tahap ini banyak mengalami
perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya menunduran
dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal, seperti
kemunduran daya tubuh, rambut yang mulai memutih, pendengaran
mulai berkurang, gigi mulai ompong, wajah mulai berkerut serta
berkurangnya ketajaman indera.

8
c. Batasan Usia
Menurut Padila (2013:4) usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia
berbeda-beda umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat
para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut:
1) Menurut WHO, ada empat tahapan yaitu :
a) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun
b) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun
c) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun
d) Usia sangat tua (very old) usia >70 tahun
2) Menurut Departemen Kesehatan RI dalam Mujahidullah (2012:4)
Lansia digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
a) Kelompok usia dini (55-64 tahun)
b) Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas)
c) Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)
d. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
Menurut Sunaryo et al (2016:254-265) perubahan-perubahan yang terjadi
pada antara lain:
1) Perubahan pada Sistem Indra
Menurut Azizah (2011:11) perubahan sistem penglihatan pada
lansia erat kaitannya dengan presbiopi (gangguan sistem
penglihatan). Lensa kehilangan elastisitas dan kaku. Otot penyangga
lensa lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak
jauh atau dekat berkurang. Sistem pendengaran, presbikusis
(gangguan pada pendengaran) oleh karena penurunan fungsi telinga
bagian dalam tidak mampu mendeteksi volume suara dan tidak
mampu mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi.
Gangguan pada indera pengecap yang dihubungkan dengan
kekurangan kadar Zn (zing) dapat menurunkan nafsu makan,
penurunan indera pendengaran terjadi karena adanya kemunduran
fungsi sel syaraf pendengaran (Pribadi, 2015:67). Sensasi penciuman
bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang

9
mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat
proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman
terhadap bau (Sunaryo et al., 2016:255).
2) Sistem Integumen
Perubahan kulit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan
antara lain angin dan matahari, terutama sinar ultra violet. Hilangnya
jaringan lemak, kulit menjadi keriput, sedangkan kulit kering dan
berkurangnya elastisitas pada lansia disebabkan oleh menurunnya
cairan dan hilangnya jaringan adipose, hal ini menyebabkan kelenjar
keringat mulai tidak bekerja dengan baik sehingga tidak begitu tahan
terhadap panas denngan temperatur yang tinggi (Abdul dan Sandu,
2016:27).
3) Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal
Perubahan pada sistem muskuloskeletal menyebabkan kekuatan otot
menurun karena penurunan massa otot (atrofi otot), hal ini lebih
banyak terjadi pada ekstremitas bawah. Sel otot yang mati
digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Kekuatan atau jumlah daya
yang dihasilkan oleh otot menurun dengan bertambahnya usia.
Kekuatan otot ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia
30 sampai 80 tahun (Padila, 2013:51).
4) Perubahan pada Sistem Kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan, baik struktural
maupun fungsional. Perubahan struktural pada lansia menyebabkan
perubahan ukuran jantung yaitu, hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70
tahun, penebalan dinding ventrikel kiri, penurunan jumlah sel-sel
peace maker dan berkas his mengalami kehilangan serat konduksi,
dan vena meregang dan mengalami dilatasi. Perubahan fungsional,
serat-serat elastis mengalami penurunan fungsi yang menyebabkan
ketidakmampuan jantung untuk distensi, sistem aorta dan arteri
perifer menjadi kaku (Sunaryo et al., 2016:256).

10
5) Perubahan pada Sistem Respirasi
Menurunnya kekuatan otot menyebabkan menurunnya aktivitas silia.
Paru kehilangan elastisitasnya sehingga kapasitas residu meningkat,
nafas berat, kedalaman pernafasan menurun (Untari, 2016:33).
6) Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Perubahan pada sistem gastrointertinal terjadinya penurunan selera
makan rasa haus, asupan makanan dan kalori, mudah terjadi
konstipasi dan gangguan pencernaan lainnya, terjadinya penurunan
produksi saliva, karies gigi, dan gerak peristaltik usus (Mujahidullah,
2012:8)
7) Perubahan pada Sistem Saraf
Sistem saraf mengalami perubahan anatomi dan atrofi yang progresif
pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan koordinasi
dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan
menyebabkan penurunan presepsi sensori dan respon motorik pada
susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini
terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan
morfologis dan biokimia, perubahan tersebut mengakibatkan
penurunan fungsi kognitif, koordinasi keseimbangan seperti
kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan peningkatan waktu
reaksi. Ini dapat dicegah dengan pemberian latihan koordinasi dan
keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan postur
(Herawati, 2017:10).
8) Perubahan Sel
Jumlah sel pada lansia lebih sedikit, ukurannya lebih besar, jumlah
cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi protein di
otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun. Jumlah sel otak juga
menurun, otak menjadi atrofi beratnya berkurang 5-10%, dan
terganggunya mekanisme perbaikan sel (Abdul dan Sandu, 2016:28).
9) Perubahan pada Sistem Endokrin

11
Pada sistem endokrin hampir semua produksi hormon menurun
sedangkan paratiroid dan sekresinya tidak berubah, aktivitas tiroid
menurun sehingga menurunkan basal metabolisme rate (BMR).
Produksi sel kelamin menurun seperti: progesterone, estrogen dan
testosterone (Sya’diyah, 2018:9).
10) Perubahan Mental
Perubahan mental ini erat kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan
kesehatan, tingkat pengetahuan, dan pendidikan serta situasi
lingkungan. Perubahan mental yang terjadi antara lani sering muncul
perasaan pesimis, timbulnya rasa tidak aman dan cemas, ada
kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit, takut ditelantarkan karena merasa tidak berguna lagi, serta
munculnya perasaan kurang mampu untuk mandiri, serta cenderung
entrovert (Sunaryo et al., 2016:260).
e. Permasalahan Pada Lansia
Menurut Kemenkes (2016:7) bahwa lansia mengalami perubahan dalam
kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah. Permasalahan
tersebut diantaranya yaitu:
1) Masalah Fisik
Masalah yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah,
sering terjadi radang persendian ketika melakukan aktivitas yang
cukup berat, indra pengelihatan yang mulai kabur, indra
pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan tubuh yang
menurun, sehingga sering sakit (Kemenkes, 2016:7).
2) Masalah Kognitif (Intelektual)
Masalah yang dihadapi lansia terkait dengan perkembangan
kognitif, adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal dan
sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar.
Seiring dengan penambahan usia, manusia akan mengalami
kemunduran intelektual secara fisiologis, kemunduran dapat berupa
mudah lupa sampai pada kemunduran berupa kepikunan (demensia).
Penurunan dari fungsi kognitif biasanya berhubungan dengan

12
penurunan fungsi otak belahan kanan, hal ini dikarenakan fungsi
hemisfer kanan meliputi mengatur kemampuan daya ingat,
memantau kewaspadaan, konsentrasi dan perhatian (Herawati,
2017:14).
Penurunan fungsi kognitif pada lansia dapat terjadi secara
fisiologis (sesuai usia) atau secara patologis akibat penyakit di otak.
Otak pada lansia mengalami perubahan struktur dan fungsi yang
disebabkan oleh penurunan stabil dalam ukuran otak menjadi atrofi
yang terjadi di daerah prefrontal berdampak pada penurunan daya
ingat jangka pendek dan sulit berkonsentrasi (Pramadita et al.,
2019:633). Densitas reseptor dopamine di otak juga menurun seiring
bertambahnya usia, yang berperan dalam pengaturan perhatian dan
modulasi respon terhadap rangsangan kontekstual dimana
berpengaruh terhadap fungi kognitif (Sabia et al., 2015:629).
3) Masalah Emosional
Masalah yang hadapi terkait dengan perkembangan emosional,
adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga sangat kuat, sehingga
tingkat perhatian lansia kepada keluarga menjadi sangat besar.
Lansia sering marah apabila ada sesuatu yang kurang sesuai dengan
kehendak pribadi dan sering stres akibat masalah ekonomi yang
kurang terpenuhi (Kemenkes, 2016:7).
4) Masalah Spiritual
Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual,
adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang
mulai menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota
keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika
menemui permasalahan hidup yang cukup serius (Kemenkes,
2016:7).
2. Fungsi Kognitif
a. Pengertian Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif adalah aktivitas mental secara sadar seperti berpikir,
mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif ini juga

13
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan
masalah serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai,
mengawasi dan melakukan evaluasi (Widiarti, 2016:121).
b. Perubahan Fungsi Kognitif Pada Lansia
Menurut (Majid, 2017:15) perubahan kognitif yang terjadi pada lansia
adalah:
1) Daya Ingat (Memory)
Daya ingat adalah kemampuan untuk menerima, menyimpan dan
menghadirkan kembali rangsangan atau peristiwa yang pernah
dialami seseorang. Daya ingat merupakan salah satu fungsi
kognitif yang seringkali paling awal mengalami penurunan.
Ingatan jangka panjang (Long term memory) kurang mengalami
perubahan, sedangkan ingatan jangka pendek (Short term
memory) akan seketika memburuk (Majid, 2017:15).
2) IQ (Intelligent Quocient)
Intelegensi dasar yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan
yang diantara lain berupa kesulitan dalam komunikasi nonverbal,
pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam
pemusatan perhatian dan konsentrasi (Mujahidullah, 2012:19).
3) Kemampuan Belajar (Learning)
Lansia yang sehat dan tidak mengalami demensia masih memiliki
kemampuan belajar yang baik, hal ini sesuai dengan prinsip
belajar seumur hidup (life-long learning), bahwa manusia itu
memiliki kemampaun untuk belajar sejak dilahirkan sampai akhir
hayat (Azizah, 2011:14).
4) Kemampuan Memahami (Comprehension)
Kemampuan memahami mengalami penurunan, hal ini
dipengaruhi oleh konsentrasi dan fungsi pendengarannya lansia
yang mengalami penurunan, untuk itu dalam berkomunikasi
dilakukan kontak mata (eyes to eyes), dengan kontak mata,
mereka akan dapat membaca bibir lawan bicaranya, sehingga

14
penurunan pendengarannya dapat diatasi dan dapat lebih mudah
memahami maksud orang lain (Azizah, 2011:15).
5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Pada lansia masalah-masalah yang dihadapi tentu semakin
banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah dapat
dipecahkan menjadi terhambat karena terjadi penurunan fungsi
indra pada lansia. Hambatan yang lain dapat berasal dari
penurunan daya ingat, pemahaman dan lain-lain, yang berakibat
bahwa pemecahan masalah menjadi lebih lama (Herawati,
2017:11).
6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Pengambilan keputusan termasuk dalam proses pemecahan
masalah. Pengambilan keputusan pada umumnya berdasarkan
data yang terkumpul, kemudian dianalisa, dipertimbangkan dan
dipilih alternatif yang dinilai positif (menguntungkan), kemudian
baru diambil suatu keputusan. Pengambilan keputusan pada lansia
sering lambat atau seolah-olah terjadi penundaan. Berdasarkan hal
tersebut para lansia membutuhkan petugas atau pendamping.
Lansia dalam pengambilan keputusan, tetap dalam posisi yang
dihormati karena kalau tidak begitu mereka akan kecewa dan
mungkin dapat memperburuk kondisinya (Majid, 2017:16).
7) Kebijakan (Wisdom)
Kebijakan adalah aspek kepribadian (personality) dan kombinasi
dari aspek kognitif. Kebijaksanaan menggambarkan sifat dan
sikap individu yang mampu mempertimbangkan antar baik dan
buruk serta untung ruginya sehingga dapat bertindak secara adil
atau bijaksana. Lansia semakin bijaksana dalam menghadapi
suatu permasalahan, kebijakan sangat tergantung dari tingkat
kematangan kepribadian seseorang dan pengalaman hidup yang
adil (Herawati, 2017:11).
8) Kinerja (Performance)

15
Penurunan kinerja akan terlihat secara kuantitatif maupun
kualitatif. Perubahan performance yang membutuhkan kecepatan
dan waktu mengalami penurunan. Penurunan itu bersifat wajar
sesuai perubahan organ-organ biologis ataupun perubahan yang
sifatnya patologis (Azizah, 2011:15).
9) Motivasi
Motivasi adalah suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk
bertingkah laku demi mencapai sesuatu yang diinginkan atau
yang dituntut oleh lingkungan. Motivasi dapat bersumber dari
fungsi kognitif dan fungsi afektif. Motif kognitif lebih
menekankan pada kebutuhan manusia akan informasi dan untuk
mencapai tujuan tertentu. Motif ini mendorong manusia untuk
belajar dan ingin mengetahui. Motif afektif lebih menekankan
aspek perasaan dan kebutuhan individu untuk mencapai tingkat
emosional tertentu, motif ini akan mendorong manusia untuk
mencari dan mencapai kesenangan dan kepuasan baik fisik, psikis
dan sosial dalam kehidupannya dan individu akan menghayatinya
secara subyektif, pada lansia, motivasi baik kognitif maupun
afektif untuk mencapai sesuatu cukup besar (Majid, 2017:17).
c. Bagian Otak Yang Berhubungan Dengan Fungsi Kognitif
Menurut Luklukaningsih (2013:93) peran sentral sistem limbik
meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi, fungsi neuroendokrin
dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari
sistem limbik.
1) Amygdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer
kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar,
dan pada hemis fer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat
sadar (Roziqin, 2017:33).
2) Hipokampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang,
pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses pembelajaran (Roziqin,
2017:33).
3) Thalamus, berfungsi sebagai pusat hantaran rangsang indra dari

16
perifer ke korteks serebri. Thalamus merupakan pusat pengaturan
fungsi kognitif di otak atau sebagai stasiun relay ke korteks serebri
(Sarpini, 2015:117).
4) Hipothalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui
produksi dan pelepasan hormon, tekanan darah, denyut jantung,
lapar, haus, libido dan siklus tidur atau bangun, perubahan memori
baru menjadi memori jangka panjang (Richard, 2013:316).
5) Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung,
tekanan darah dan kognitif yaitu atensi (Luklukaningsih, 2013:96)
6) Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori
spasial (Snell, 2013:316).
7) Forniks, membawa sinyal dari hipokampus ke mammillary bodies
dan septal nuclei. Forniks berperan dalam memori dan
pembelajaran (Luklukaningsih, 2013:96).

Gambar 2.1 Sistem Limbik


(Sumber: Wibowo, 2014)

Menurut Sarpini (2015:123) lobus otak yang berperan dalam fungsi


kognitif antara lain :
1) Lobus frontalis
Lobus ini berfungsi dalam pengambilan keputusan, pemecahan
masalah dan perencanaan (Luklukaningsih, 2013:97).
2) Lobus parietalis
Lobus ini berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan

17
visuospasial. Korteks ini menerima stimulus sensorik (input
visual, auditori, taktil) dari area sosiasi sekunder, karena
menerima input dari berbagai modalitas sensori sering disebut
korteks heteromodal dan mampu membentuk asosiasi sensorik
(cross modal association) sehingga manusia dapat
menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang
mereka lihat atau pegang (Roziqin, 2017:35).
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran, emosi,
memori, dan mimpi (Sarpini, 2015:123).
4) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,
visuospasial, memori dan bahasa (Roziqin, 2017:35).

Gambar 2.2 Lobus


(Sumber : Snell, 2013)

d. Bagian Otak Yang Mengalami Gangguan Kognitif


Otak besar memiliki fungsi untuk menginterpretasi input sensorik
dan bertugas sebagai mediator berbagai proses kognitif kompleks.
Lebih tepatnya di bagian lobus temporal, karena lobus temporal
berperan memperkuat ingatan visual, memproses input indera
(pendengaran dan penglihatan), memahami bahasa, menyimpan
ingatan, emosi, dan mengambil kesimpulan (Majid, 2017:5).
Pada lansia otak mengalami perubahan struktur dan fungsi yang
disebabkan oleh penurunan stabil dalam ukuran otak menjadi atrofi
yang terjadi di daerah prefrontal berdampak pada penurunan daya
ingat jangka pendek dan sulit berkonsentrasi (Pramadita et al.,

18
2019:633). Densitas reseptor dopamine di otak juga menurun seiring
bertambahnya usia, yang berperan dalam pengaturan perhatian dan
modulasi respon terhadap rangsangan kontekstual dimana
berpengaruh terhadap fungi kognitif (Sabia et al., 2015:629).
3. Pengukuran Montreal Cognitive Assesment versi Indonesia (MoCA-
ina)
MoCA-Ina merupakan pemeriksaan untuk menilai defisit kognitif.
Pemeriksaan ini menekankan penilaian fungsi eksekutif dan atensi.
Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk menilai gangguan kognitif ringan
yang sulit dideteksi dengan Mini Mental State Examination (MMSE).
MoCA terdiri dari 30 poin yang akan di ujikan dengan menilai beberapa
domain kognitif Lestari et al (2017:13). MoCA-Ina dikatakan normal
jika nilai ≥ 26. Jika < 26 dikatakan mempunyai gangguan kognitif
(Handojo et al., 2018:93).
Menurut Rahayu (2017:48) MoCA dibuat oleh Dr. Ziad S.
Nasreddine, MD, FRCP di Montreal, Kanada, pada tahun 1966. MoCA
telah dikembangkan sebagai alat screening yang cepat untuk HKR
(Hendaya kognitif ringan) dan awal demensia Alzheimer. Di Indonesia,
MoCA dimodifikasi oleh Nadia Husein et al tahun 2009.
Menurut Cris et al (2014:4) instrumen MoCA lebih baik
dibandingkan MMSE dalam mendeteksi tahap awal gangguan kognitif.
Intrumen MoCA selain validitas dan reabilitas yang telah teruji untuk
mendeteksi gangguan kognitif yang paling tinggi yang ada saat ini yaitu
sensitifitas 90–96% dan spesifisitas 87– 95%, alat ini dapat dipergunakan
hanya dalam waktu 10 menit. Uji validitas dan reliabilitas MoCA juga
telah dilakukan di Indonesia (MoCA-Ina), sehingga dapat digunakan oleh
dokter saraf maupun dokter umum.
Menurut Dedi, (2016:18) MoCA-Ina terdiri dari 30 poin yang akan
diujikan dengan menilai beberapa domain kognitif yaitu :
a. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail-making B (1 poin), phonemic
fluency tast (1 poin), dan two item verbal
abtraction (1 poin).

19
b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing tast (3 poin) dan
menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin).
c. Bahasa : menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak;
3 poin), mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran
berbahasa (1 poin).
d. Delayed recall : menyebutkan 5 kata (5 poin), menyebutkan
kembali setelah 5 menit (5 poin).
e. Atensi : menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi
berurutan (3 poin), digit forward and backward
(masing-masing 1 poin).
f. Abstraksi : menilai kesamaan suatu benda (2 poin)
g. Orientasi : menilai, menyebutkan tanggal, bulan,tahun, hari,
tempat dan kota (masing-masing 1 poin).
4. Senam Vitalisasi Otak
a. Pengertian Senam Vitalisasi Otak
Senam otak adalah senam yang memiliki tujuan utama untuk
mempertahankan kesehatan otak dengan melakukan gerakan badan.
Prinsipnya dasar latihan otak adalah agar otak tetap bugar dan
mencegah kepikunan. Senam vitalisasi otak merupakan salah satu
yang dapat menjaga kebugaran otak (Herawati, 2017:18). Latihan ini
merupakan kegiatan yang merangsang intelektual yang bertujuan
untuk menjaga kesehatan otak dengan berolahraga (Pardosi dan
Max, 2019:34).
Senam vitalisasi otak atau latihan vitalisasi otak yang
dimaksud yaitu senam yang telah dicetuskan oleh dr. Adre Mayza,
Sp. S pada tahun 2006, bekerjasama dengan Prof. dr. Soemarmo
Markam, Sp. S (K) sebagai penasihat dan Herry Pujiastuti sebagai
ahli fisioterapi. Senam vitalisasi otak adalah sebuah produk latihan
kebugaran fisik yang mengutamakan upaya mempertahankan
kebugaran otak manusia. Senam ini merupakan penyelarasan fungsi
pernapasan, pusat berpikir (imajinasi dan memori), serta fungsi
gerak. Prinsip utama senam ini yaitu agar otak tetap sehat dan segar

20
serta mencegah penurunan fungsi kognitif. Gerakan-gerakannya
merupakan gabungan dari gerakan tai chi, silat, dan tarian Indonesia
yang sudah dibuat buku dan video panduannya (Rahayu, 2017:6).
Senam vitalisasi otak merupakan produk latihan kebugaran
fisik yang mengkhususkan diri pada upaya mempertahankan
kebugaran otak manusia. Latihan ini merupakan penyelarasan fungsi
gerak, pernapasan dan pusat berpikir (memori, imajinasi). Latihan ini
tidak hanya melibatkan pusat-pusat gerakan otot tertentu di otak
(Homunculus) dengan Korpus kalosum (gerakan menyilang), tetapi
juga melibatkan beberapa pusat yang lebih tinggi di otak (Silakarma,
2016:19).
Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam vitalisasi otak
merangsang kerjasama antar belahan otak dan antar bagian-bagian
otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak,
gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani
kerja jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan dimana
dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara akan terserap
lebih banyak dan akan memperbaiki fungsi otak (Herawati,
2017:18).
b. Prinsip Senam Vitalisasi Otak
Menurut Silakarma (2016:20) Senam vitalisasi otak memiliki
rangkaian gerak yang diolah sedemikian rupa dengan
memperhatikan konsep dan kaidah anatomi dan fisiologi otak
sehingga tampilan latihan ini memiliki beberapa prinsip:
1) Lambat
Gerakan dilakukan dengan perlahan-lahan, penting untuk
menyelaraskan pola gerak otot, gerak pernapasan, dan
metabolisme pada bagian-bagian otak yang terstimulasi, gerakan
yang lambat tidak memperbeban berat pada jantung.
2) Dari bawah ke atas
Diupayakan sistematika gerak dari arah tubuh bagian bawah
terus ke tubuh bagian atas dengan tujuan untuk melatih bagian

21
otot-otot yang lebih kecil sampai otot yang lebih besar, hal ini
dilakukan agar gangguan-gangguan terutama pada gerakan halus
dan gerakan kasar yang sering terjadi pada orang tua dapat
diatasi.
3) Berulang-ulang
Gerakan dilakukan dengan beberapa kali pengulangan agar
stimulasi gerak dapat terekam dalam otak melalui jaras
proprioseptif (melatih proprioseptif atau rasa sendi).
4) Melibatkan pandangan mata
Setiap gerakan yang dilakukan senantiasa melibatkan pandangan
mata, hal ini dibutuhkan guna mengatasi masalah pada lanjut
usia yang berhubungan dengan gangguan konsentrasi visual dan
kemampuan visospasial (mengenal ruang).
5) Gerak sendi penuh
Gerakan harus dilakukan sampai batas maksimal sendi karena
latihan ini juga untuk mencoba mengatasi permasalahan sendi
yang dapat mengakibatkan keterbatasan gerak, yang biasa
terjadi pada para lanjut usia.
6) Melibatkan pernapasan
Pernapasan senantiasa dilakukan secara teratur pada setiap
gerakan, hal ini penting guna mencapai upaya oksigenisasi yang
optimal menuju otak karena permasalahan pada otak bisa
muncul akibat kurangnya oksigen di otak. Kontrol pernapasan
ini juga sangat berguna untuk mencapai relaksasi.
7) Diresapi
Peserta diharapkan untuk mencoba meresapi gerakan yang
dilakukannya, hal ini berguna untuk mencapai harmonisasi
antara gerak (otot dan sendi), otak, dan emosi karena tujuan
akhir dari latihan ini adalah tercapainya keseimbangan antar
fungsi otak, kerja otot, dan stabilitas emosi.

22
c. Tujuan Senam Vitalisasi Otak
Menurut Herawati (2017:20) tujuan dari senam vitalisasi otak adalah
sebagai berikut:
1) Upaya stimulasi dan pengaktifan otak menuju peningkatan
kebugaran otak.
2) Melatih konsentrasi.
3) Melatih visuo-spasial.
4) Meningkatkan keseimbangan.
5) Meningkatkan koordinasi.
6) Meningkatkan daya tahan.
7) Melatih pernapasan.
8) Mengurangi keluhan fisik sehubungan dengan kondisi
degenerasi organ tubuh.
9) Kegiatan rekreatif dan menyenangkan.
10) Melakukan relaksasi dalam gerakan.
11) Merangsang cinta, kasih sayang terhadap sesama manusia.
d. Indikasi dan Kontra Indikasi
Menurut Sari et al (2016:14) indikasi dan kontra indikasi senam
yaitu :
1) Indikasi
Memiliki gangguan fungsi kognitif
2) Kontra Indikasi
a) Memiliki gangguan neurologis seperti stroke dan Parkinson
b) Pernah mengalami trauma kepala
c) Memiliki gangguan kardiovaskuler dan respirasi
e. Gerakan Senam Vitalisasi Otak
Menurut Rahayu (2017:9) gerakan-gerakan Senam Vitalisai Otak
terdiri dari:
1) Pemanasan:
a) Injit-Injit
b) Kepak Kupu-Kupu
c) Menabur Bunga

23
d) Rangkaian Bunga Melati
e) Rangkaian Bunga Nusantara
2. Latihan inti 1
a) Tapak Menyusur
b) Menata Jejak
c) Langkah Pasti
d) Rengkuhan
e) Menyentuh Pelangi
f) Kasih Sayang
3. Latihan Inti 2
a) Kemenangan
b) Kombinasi
c) Ayunan
d) Keceriaan
e) Salam
4. Latihan Inti 3
a) Memandang Langit
b) Memandang ke Samping
c) Menjangkau Harapan
d) Menapak Jejak
e) Kepak Pahlawan
5. Pendinginan
a) Bersiul
b) Senyuman Manis
c) Mengangkat dan Menurunkan Alis
d) Membuka dan Menutup Mata
e) Tatapan Mata
f) Menyentuh Pelangi
g) Kasih Sayang
h) We love all of you

24
f. Dosis Senam Vitalisasi Otak
Dosis senam vitalisasi otak terdiri dari: frekuensi 3x1 minggu,
selama 6 minggu (Sari et al., 2016:17) dan dilakukan di pagi
hari sebab pada pagi hari tubuh mengalami peningkatan
hormone melatonin selain itu tubuh belum mengalami kelelahan
dan berada pada kondisi yang siap serta tingkat konsentrasi yang
tinggi (Andriana dan Ashadi, 2019:102).
5. Resistance Exercise
a. Definisi Resistance Exercise
Latihan tahanan (resistance exercise) adalah bentuk latihan
dari strengthening exercise yang bersifat aktif baik berupa
dinamis maupun statis yang mengkontraksikan otot dengan
menahan kekuatan yang dierikan secara manual atapun mekanik
(Naibaho et al, 2015). Resistance exercise merupakan elemen
program rehabilitasi yang penting bagi seseorang dengan
gangguan fungsi yang ingin meningkatkan atau
mempertahankan kesehatan dan kebugaran fisik, meningkatkan
kinerja keterampilan motorik dan mengurangi resiko cidera.
Tiga elemen kinerja otot yaitu kekuatan, tenaga, dan daya tahan
dapat ditingkatkan dengan resistance exercise. Manfaat dari
resistance exercise antara lain meningkatkan kinerja otot,
meningkatkan kekuatan jaringan ikat, mengurangi resiko cidera,
meningkatkan keseimbangan (Carolyn dan Lynn, 2019:166).
Resistance exercise merupakan suatu latihan latihan fisik
yang dapat meningkatkan fungsi kognitif di samping untuk
meningkatkan kebugaran fisik (Dunsky et al., 2017). Menurut
Best et al (2015:746) Resistance exercise merupakan salah satu
aktivitas fisik yang dapat meningkatkan fungsi kognitif pada
lansia, resistance exercise dapat menstimulasi pertumbuhan
saraf yang dapat menghambat penurunan fungsi kognitif pada
lansia, saat melakukan aktivitas fisik, otak akan distimulasi
sehingga dapat meningkatkan protein di otak yang disebut

25
Brain Derived Neutrophic Factor (BDNF). Protein BDNF ini
berperan penting menjaga sel saraf tetap bugar dan sehat. Jika
kadar BDNF rendah maka akan menyebabkan penyakit
kepikunan (Sauliyusta dan Rekawati, 2016:72).
Efek dari resistance exercise terhadap fungsi kognitif lansia
seperti meningkatkan memori, pembentukan konsep verbal,
perhatian selektif, dan cara memecahkan masalah (Dunsky et
al., 2017:5).
b. Prosedur Pelaksanaan Resistance Exercise
Menurut (Hapsari, 2018) seated squat, leg ekstention exercise
(Dunsky et al., 2017:5) shoulder press (Kusumowardani &
Wahyuni, 2017:170) calf raises, chair raises. Latihan ini
dilakukan 2 set dengan 15 repetisi per satu set.
Gerakan-gerakan resistance exercise sebagai berikut:
1) Calf Raises
2) Seated Squat
3) Chair Raises
4) Leg Extention Exercise
5) Shoulder Press With One Hand
6) Shoulder Press With Two Hand

26
B. Kerangka Teori

Senam Vitalisasi Otak

Resistance Exercise

1. Mempertahankan 1. Meningkatkan suplay


kebugaran otak darah dan oksigen ke
2. Meningkatkan fungsi otak
kognitif 2. Meningkatkan fungsi
kognitif

1. Hippocampus
2. Amygdada
3. Korteks

1. Kemunduran daya ingat


2. Cemas
3. Kebingungan
4. Lambat dalam menyelesaikan
masalah
5. Susah dalam mengambil
keputusan

Penurunan fungsi kognitif

Gambar 2.3 Kerangka Teori


Sumber : (Sari et al., 2016) (Kusumowardani dan Wahyuni, 2017) (Nuraini dan Ardian, 2016)

27
C. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Senam Vitalisasi Otak Peningkatan Fungsi


dan Resistance exercise Kognitif Lansia
Gambar 2.4 Kerangka Konsep

D. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan hasil di atas maka dapat dirumuskan suatu hipotesis sebagai
jawaban sementara terhadap rumusan permasalahan yang telah diajukan
sebelumnya. Pada penelitian ini, peneliti merumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
Hₒ : tidak ada pengaruh penambahan resistance exercise pada senam
vitalisasi otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di
posyandu Mojosongo
Hₐ : ada pengaruh penambahan resistance exercise pada senam vitalisasi
otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di posyandu
Mojosongo

28
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasy
Eksperiment dengan design rancangan Two Group Pre Test-Post Test dimana
peneliti melakukan pretest dan posttest terhadap sampel yang sama.
Rancangan penelitian Two Group Pre Test-Post Test adalah sebagai berikut:

S1 O1 X1 O2

S2 O3 X2 O4

Gambar 3.1 Rancangan Penelitian


Keterangan :
P : Populasi
S1: Sampel senam vitalisasi otak
S2: Sampel senam vitalisasi otak dengan resistance exercise
O1: Hasil pengukuran MoCA-Ina pada kelompok 1 sebelum diberikan
perlakuan senam vitalisasi otak
X1: Perlakuan senam vitalisasi otak terhadap kelompok 1.
O2: Hasil pengukuran MoCA-Ina pada kelompok 1 sesudah diberikan
perlakuan senam vitalisasi otak
O3: Hasil pengukuran MoCA-Ina pada kelompok 2 sebelum diberikan
perlakuan senam vitalisasi otak dengan resistance exercise
X2: Perlakuan senam vitalisasi otak dengan resistance exercise terhadap
kelompok 2.
O4: Hasil pengukuran MoCA-Ina pada kelompok 2 sesudah diberikan
perlakuan senam vitalisasi otak dengan resistance exercise.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di posyandu lansia Mojosongo

29
2. Waktu Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan 3x dalam seminggu selama 6 minggu pada
bulan Maret-April 2020.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang menjadi anggota
posyandu Mojosongo.
2. Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive
sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu.
Sampel dalam penelitian ini berdasarkan tujuan tertentu yang tidak
menyimpang dari kriteria yang sudah ditetapkan oleh peneliti.
Adapun kriteria yang menjadi responden dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Lansia yang merupakan anggota posyandu lansia Mojosongo
2) Lansia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
3) Lansia usia 60-74 tahun
4) Bersedia menjadi responden
5) Tidak mengalami gangguan pendengaran dan penglihatan
6) Tidak memakai alat bantu jalan
b. Kriteria Eksklusi
1) Lansia mengalami gangguan fungsi gerak ekstremitas atas dan
bawah
2) Lansia mengalami gangguan Stroke dan Parkinson
3) Lansia yang pernah mengalami trauma kepala
4) Lansia memiliki gangguan kardiovaskuler dan respirasi
5) Lansia yang mengalami gangguan osteoathritis
6) Lansia yang tidak kooperatif dalam mengikuti jalannya penelitian

30
c. Kriteria Drop Out
Responden tidak mengikuti latihan selama 1x berturut-turut.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel penelitian
Variabel dalam penelitian yaitu:
a. Variabel Independen (variabel bebas)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah senam vitalisasi otak
dengan resistance exercise.
b. Variabel Dependen (variabel terikat)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fungsi kognitif lansia.
2. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Alat skala Kriteria
ukur Penelitian
1 senam Senam vitalisasi otak - - -
Vitalisasi merupakan produk latihan
Otak kebugaran fisik yang
mengkhususkan diri pada
upaya mempertahankan
kebugaran otak manusia,
latihan ini merupakan
penyelarasan fungsi gerak,
pernapasan, dan pusat
berpikir (memori,
imajinasi). Senam ini
dilakukan 3x dalam
seminggu selama 6 minggu
dengan durasi 20-30 menit
sekali senam.

2 Resistance semua bentuk latihan aktif - - -


exercise yang kontraksi otot dinamis
dan statisnya ditahan oleh
gaya dari luar yang
diaplikasikan secara manual
atau mekanik.
3 Fungsi Kemampuan pengenalan Kuesion Ordinal Skor kognitif
kognitif dan menafsirkan seseorang er normal: 26-30.
lansia terhadap lingkungan berupa MoCA- Skor gangguan
perhatian, bahasa, memori, Ina kognitif : <26
dan fungsi memutuskan
suatu masalah.

31
E. Instrumen Penelitian
Alat ukur atau instrument dalam penelitian ini untuk variabel dependen
dengan menggunakan Monstreal Cognitive Assesment Versi Indonesia
(MoCA-Ina). Alat ini untuk mengukur fungsi kognitif.
F. Teknik Dan Jenis Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara dan
observasi pada responden tentang fungsi kognitif, adapun cara
pengumpulan data yaitu:
a. Peneliti melakukan survei awal dan biodata diperoleh secara
bersamaan dengan pengisian kesediaan menjadi subyek peneliti atau
responden.
b. Persiapan rekruitmen responden, menyeleksi responden yang
memenuhi kriteria sampel.
c. Membagi 2 kelompok perlakuan dengan teknik purposive sampling.
2. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer dari penelitian ini berupa kuesioner untuk memperoleh
data mengenai data umum dan data identitas lansia tanpa nama
(anonim), usia, jenis kelamin dan kuesioner untuk mengetahui skor
gangguan fungsi kognitif.
b. Data Sekunder
Data sekunder penelitian diperoleh dari pengurus di Posyandu
Lansia Mojosongo. Jurnal penelitian dahulu dan buku yang
berhubungan dengan judul penelitian.
G. Teknik Analisa Data
1. Proses Pengolahan Data
Pada proses pengolahan data, peneliti menggunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) for windows. Dalam proses
pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,
diantaranya:

32
a. Editing
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang
diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap
pengumpulan data atau setelah data terkumpul. Peneliti memeriksa
data lansia yang terpilih menjadi responden, serta data tentang
kondisi umum responden yang diperoleh melalui lembar kuesioner
penyaring.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka)
tehadap data yang terdiri atas beberapa kategori, dengan cara
dilakukan value pada jenis kelamin laki-laki diberi kode 1 dan
perempuan diberi kode 2. Value pada jenis intervensi, senam
vitalisasi otak diberi kode 1, senam vitalisasi otak dengan resistance
exercise diberi kode 2. Fungsi kognitif sebelum dan fungsi kognitif
sesudah yang diukur menggunakan MoCA-Ina dengan mengisi kotak
value kategori tidak mengalami gangguan kognitif diberi kode 1,
mengalami gangguan kognitif diberi kode 2. Pemberian kode ini
sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan
komputer.
c. Transfering
Setelah melalui tahap editing dan coding, selanjutnya tahap
transfering. Transfering adalah memindahkan jawaban atau data ke
dalam media Microsoft word dan selanjutnya data diproses sehingga
dapat dianalisis. Proses transfering yang dilakukan peneliti adalah
men-entry data-data kuisioner dengan menggunakan program
komputer.
d. Tabulating
Membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian dari data
mentah dilakukan penyesuaian data yang merupakan
pengorganisasian sedemikian rupa agar dengan mudah data dapat
dijumlah, disusun dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Lakukan
pengecekan kembali apabila terdapat kesalahan-kesalahan kode

33
ataupun ketidak lengkapan, kemudian dilakukan pembetulan dan
koreksi.
2. Analisa Data
a. Analisa univariat
Analisisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Variabel
yang akan dianalisa meliputi usia responden, jenis kelamin dan
pekerjaan. Pengolahan data dilakukan oleh peneliti menggunakan
SPSS 22 for windows.
b. Analisa bivariat
Analisisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang berhubungan
atau berkolerasi. Penelitian ini variabel yang dianalisis secara
bivariat yaitu variabel bebas senam vitalisasi otak dengan resistance
exercise variabel terikat fungsi kognitif lansia.
1) Uji Persyaratan Analisa Data
a) Uji Normalitas Data
Untuk memperhatikan bahwa data sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Uji normalitas data
menggunakan Shapiro Wilk jika besar sampel ≤ 50,
sedangksn besar sampel ≥50 menggunakan Kolmogorov-
Smirnov. Dasar pengambilan keputusan adalah jika
probabilitas p>0,05 maka data dikatakan berdistribusi
normal, sedangkan bila p<0,05 maka data dinyatakan tidak
berdistribusi normal. Pengukuran uji normalitas pada fungsi
kognitif lansia sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
b) Uji Pengaruh
Uji pengaruh data digunakan untuk mengetahui ada dan
tidaknya pengaruh resistance exercise dan senam vitalisasi
otak terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia. Data
tersebut berdistribusi normal maka uji data menggunakan
Paired Sampel t Test dan apabila tidak normal maka uji data
menggunakan Wilcoxon dengan interpretasi p<0,05 maka

34
terdapat pengaruh sebelum dan sesudah dilakukan
penelitian dan apabila p>0,05 maka tidak terdapat pengaruh
sebelum dan sesudah dilakukan penelitian.
c) Uji Beda Pengaruh
Uji beda pengaruh data digunakan untuk mengetahui
perbedaan atas efektivitas kedua kelompok perlakuan
senam vitalisasi otak dan senam vitalisasi otak dengan
resistance exercise. Uji data menggunakan Mann Whitney
karena data berdistribusi tidak normal dan tidak
berpasangan. Pada beda pengaruh, perhitungan dilakukan
berdasarkan nilai selisih peningkatan fungsi kognitif pre dan
post perlakukan dengan membandingkan dua kelompok
perlakuan. Batas uji kemaknaan statistik adalah bila p>0,05
ini berarti tidak bermakna sedangkan p<0,05 ini berarti
bermakna
H. Jalannya Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Peneliti membuat dan melakukan ijin studi pendahuluan ke ketua Rw
Mojosongo Jebres Surakarta.
b. Peneliti menentukan asisten penelitian untuk mencatat data hadir
responden atau absensi responden, obyek foto, dan hasil sebelum dan
sesudah yang dicapai oleh responden kelompok eksperimen.
2. Tahap Rencana Pelaksanaan
Peneliti melakukan penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Peneliti datang ke Mojosongo untuk meminta ijin kepada ketua Rw
dan mengatur jadwal pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan.
b. Peneliti melakukan observasi dan penyeleksian responden yang
masuk dalam kriteria inklusi dengan kuesioner yang sudah dibuat
oleh responden.
c. Subyek yang terpilih diminta untuk menandatangani persetujuan
penelitian (Inform Consent).

35
d. Peneliti membuat kesepakatan tempat dan jadwal pertemuan
penelitian dengan responden.
e. Pertemuan pertama peneliti memberikan penjelasan tentang manfaat
penambahan resistance exercise pada senam vitalisasi otak serta
prosedur pelaksanaan penelitian, kemudian dilakukan pengukuran
dengan menggunakan MoCA-Ina sebagai nilai pre test.
f. Pertemuan selanjutnya sampai pertemuan terakhir, melakukan
Senam vitalisasi otak dengan resistance exercise.
g. Pertemuan terakhir dilakukan pengukuran kembali menggunakan
MoCA-Ina sebagai nilai post test.
h. Setelah selesai, kemudian data dikumpulkan untuk diolah dan
dianalisis.
3. Tahap Penyelesaian
a. Data yang sudah terkumpul dianalisa ke dalam komputer dengan
menggunakan program SPSS 22 for windows, kemudian data yang
sudah diolah disusun dalam bentuk laporan hasil penelitian.
b. Menyampaikan hasil penelitian atau sidang skripsi.
c. Revisi hasil penelitian.
d. Pengumpulan hasil penelitian.
e. Pengumpulan skripsi.
I. Etika Penelitian
1. Informed Consent (persetujuan)
Lembar persetujuan peneliti yang diberikan kepada responden yang
sesuai dengan kriteria inklusi, yang betujuan agar subyek mengetahui
maksud dan tujuan peneliti serta dampak yang mungkin timbul setelah
dilakukan penelitian. Responden bersedia untuk dilakukan penelitian,
maka lembar persetujuan harus ditandatangani dan jika responden tidak
bersedia atau menolak untuk diteliti, maka peneliti tidak memaksa dan
menghormati hak-haknya.
2. Anonymity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan informasi dari responden, maka peneliti tidak
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, cukup

36
dengan memberikan nomor kode yaitu pemberian angka pada masing-
masing lembar tersebut.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh
peneliti dan hanya boleh diketahui oleh peneliti dan pembimbing serta
hanya kelompok data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan
sebagai hasil penelitian. Lembar pengumpulan data dimusnahkan oleh
peneliti dengan cara dibakar setelah jangka waktu dan tahun.
J. Jadwal Penelitian
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
N Jadwal Bulan Ke-
o Penelitian 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
1. Pengajuan Judul

2. Studi Pendahuluan
3. Penyusunan Proposal
4. Proses Perijinan
5. Pengambilan Data
Penelitian
6. Pengolahan Data
7. Penyusunan Data

Keterangan :
1. Bulan ke 9 : September
2. Bulan ke 10 : Oktober
3. Bulan ke 11 : November
4. Bulan ke 12 : Desember
5. Bulan ke 1 : Januari
6. Bulan ke 2 : Februari
7. Bulan ke 3 : Maret
8. Bulan ke 4 : April
9. Bulan ke 5 : Mei
10. Bulan ke 6 : Juni

37

Anda mungkin juga menyukai