Tren Dan Issu Kep Jiwa 1
Tren Dan Issu Kep Jiwa 1
Disusun oleh :
Kelompok 3 :
Irza Septiyadi
Firi Mardatillah Rinyani
Liokta Lanima
Rahmat Nursyamli
Widya Destriyana putri
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun tugas ini yang berjudul
" Trend dan Issue Keperawatan Jiwa" tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah tahun 2000, dunia khususnya bangsa Indonesia memasuki era globalisasi, pada
tahun 2003 era dimulainya pasar bebas ASEAN dimana banyak tenaga professional keluar dan
masuk ke dalam negeri. Pada masa itu mulai terjadi suatu masa transisi/pergeseran pola
kehidupan masyarakat dimana pola kehidupan masyarakat tradisional berubah menjadi
masyarakat yang maju. Keadaan itu menyebabkan berbagai macam dampak pada aspek
kehidupan masyarakat khususnya aspek kesehatan baik yang berupa masalah urbanisaasi,
pencemaran, kecelakaan, banyak tindakan kekerasan, kenakalan remaja, penyalahgunaan
NAPZA, tauran, penggangguran, tindak penyaluran agresifitas atau anarkis, putus sekolah, PHK,
disamping meningkatnya angka kejadian penyakit klasik yang berhubungan dengan infeksi,
kurang gizi, dan kurangnya pemukiman sehat bagi penduduk. Pergeseran pola nilai dalam
keluarga dan umur harapan hidup yang meningkat juga menimbulkan masalah kesehatan yang
berkaitan dengan kelompok lanjut usia serta penyakit degeneratif. Dengan banyaknya masalah-
masalah yang ada dalam keperawatan jiwa yang kini kita hadapi, maka kita perlu mengkaji ulang
faktor yang mempengaruhi masalah-masalah keperawatan jiwa
Telah terbukti bahwa upaya pencegahan jauh lebih baik daripada upaya pengobatan.
Untuk itu masyarakat luas perlu diberikan informasi tentang kesehatan jiwa beserta
permasalahan, pencegahan dan penanganannya. Upaya pelayanan kesehatan jiwa terhadap
masyarakat pada saat ini tidak mungkin dilaksanakan oleh petugas kesehatan saja, tetapi perlu
peran serta seluruh masyarakat dan keluarga klien untuk memfasilitasi peran aktif dari kader
kesehatan dalam upaya kesehatan jiwa.
BAB II
PEMBAHASAN
Trend dan issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat
dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau
tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional
maupun global.
6. Kecenderungan Penyakit
Masalah kesehatan jiwa akan menjadi “The global burdan of disease“ (Michard &
Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi ”Public Health Policy” yang
secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar
pengukuran untuk kebutuhan kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian
akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan jiwa seolah-olah bukan masalah.
Dengan adanya indikator baru, yaitu DALY (Disabilitty Adjusted Life Year) diketahuilah
bahwa gangguan jiwa merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.
Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu
menyebabkan semakin tigginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi
ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan
manusia ( Antai Otong, 1994).
Untuk menjawab tantangan ini diperlukan tenaga-tenaga- kesehatan seperti
psikiater, psilolog, social Worker, dan perawat psikiatri yang memadai baik dari segi
kuantitas. Saat terjadinya tsunami di Aceh, banyak orang yang terpapar dengan kejadian
Traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman
kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. Respons yang terjadi berupa
rasa takut yang kuat serta tidak berdaya, sedangkan bagi anak-anak apa yang
menghadapinya akan dieksperikan dengan perilaku yang kacau
Trauma itu merupakan sesuatu yang katastropik, yaitu trauma diluar rentang.
Pengalaman trauma yang umum dialami manusia dalam kejadian sehari-hari. Pengalaman
katastropik dalam berbagai bentuk, baik peperangan (memang sedang terjadi),
pemerkosaan (banyak dialami sebagian wanita di Aceh), maupun bencana alam, (gempa
dan bencana tsunami), sungguh mengerikan. Ini akan membuat mereka dalam keadaan
stress berkepanjangan dan berusaha untuk tidak mengalami stress yang sedemikian.
Dalam kriteria klinik seperti yang disusun dalam Diagnostic and Statical Manual Of
Mental Disorder lll dan Lv serta Pedoman Pengggolongan dan Diagnosis gangguan jiwa
lll di Indonesia menyatakan, gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan
suatu yang stress yang terjadi berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dengan demikian
mereka menjadi manusia yang invalid dalam kondisi kejiwaan dengan akibat dan
resultante akhir penderita ini akan menjadi tidak produktif. Padahal seperti diketahui ada
diantara mereka yang berkali-kali telah mengalami pengalaman katastropik yaitu saat
daerah tersebut ada dalam kondisi berlangsungnya Daerah Operasi Militer dan peristiwa-
peristiwa sesudahnya. Kondisi itu memang amat melumpuhkan tidak hanya ragawi, tetapi
juga kondisi kejadian masyarakat di daerah NAD. Di kemudian hari, mereka menjadi
manusia yang tanpa alasan selalu berusaha menghindar terhadap kejadian yang mirip,
terutama terhadap kekerasan yang sebernarnya tidak akan terjadi. Mereka juga menjadi
manusia yang selalu bermimpi menakutkan terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya,
tidur yang seharusnya kan membuat restorasi terhadap kondisi tubuh, namun yang terjadi
adalah sebaliknya. Mereka berada dalam keadaan lelah dan seakan berada dalam kondisi
depresi. Mungkin saja mereka kan berperilaku atau merasa seakan-akan kejadian
traumatis itu terjadi kmbaki, termasuk pengalaman, ilusi, halusinasi, dan episode kilas
balik dalam bentuk disosiatif. Penelitian mutakhir tentang kajian trauma (trauma studies)
mulai memahami bahwa trauma bukan semata-mata gejala kejiwaan yang bersifat
individual. Trauma muncul sebagai akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial
dan ingatan pribadi tentang peristiwa yang mengguncang eksistensi kejiwaan. Dalam
konteks tsunami Aceh dan bencana-bencana besar lainnya di Indonesia, kompleksitas
sosial dan kultural sangat penting mengingat bahwa masyarakat telah mengalami dan
menjadi saksi berbagai macam kekerasan sejak berlangsungnya operasi keamanan di
daerah ini. Oleh karena itu, pemahaman tentang trauma sebagai proses sosial dan
sekaligus proses kejiwaan yang bersifat personal mutlak diperlukan untuk mencari jalan
keluar dari lingkaran ingatan traumatis yang dialami oleh klien-klien yang mengalami
yang mengalami bencana di seluruh penjuru Indonesia. Menariknya, Sigmund Freud
sendiri pernah mengemukakan bahwa trauma adalah suatu ingatan yang direpresi. Dan,
karena direpresi itulah maka trauma sering berlangsung secara tidak sadar dalam periode
yang cukup lama. Guncangan psikologis yang disebabkan oleh ingatan mengerikan
tentang gelombang tsunami, tentang mayat-mayat yang berserakan, dan tentang
kehilangan banyak anggota keluarga sekaligus berpotensi untuk membentuk ingatan yang
traumatis. Perawat jiwa pada masa akan datang penting untuk menekuni kajian trauma,
juga menggarisbawahi proses yang dalam studi psikologi sering disebut sebagai
transference. Istilah ini merujuk pada ‚“transfer“ pengalaman traumatis yang terjadi dari
orang yang secara fisik langsung mengalami peristiwa yang mengerikan kepada orang
lain yang tak secara langsung mengalaminya. Freud memberi contoh bahwa psikoanalis
juga dapat mengalami proses transference saat ia secara tak sadar melakukan identifikasi
dengan korban trauma tersebut. Dori Laub, psikiater yang terlibat dalam pembuatan
Shoah, mengatakan bahwa transference itu bisa terjadi saat psikoanalis, atau siapapun
juga yang melakukan wawancara dengan korban.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu
masalah yang paling sering menyebabkan gangguan jiwa di Indonesia. Himpitan ekonomi
yang semakin besar dikarenakan penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat menjadi salah satu pencetus untuk seseorang bunuh diri. Saat ini masalah
ganguan jiwa semakin meningkat. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi
salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Terutama karena meningkatnya
harga-harga semua bahan pokok, BBM dan adanya era globalisasi.
Pada kasus diatas, klien yang bunuh diri tersebut, penyebabnya adalah karena gangguan
sosial atau lingkungan yang berupa stressor psikososial yaitu masalah keuangan. Gangguan
jiwa saat ini tidak hanya mengenai orang-orang yang merupakan kalangan kelas bawah, tapi
sekarang gangguan jiwa dapat menyerang baik itu orang kalangan bawah, menengah maupun
kelas atas. Jika seseorang tidak dapat beradaptasi dengan baik dalam lingkungan dan tidak
dapat berusaha menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya maka seseorang akan
cenderung untuk mengalami gangguan jiwa.
Dari berbagai penyebab itulah maka satu demi satu akan muncul tindakan-tindakan yang
dapat dikatakan sebagai suatu penyelewengan atau pengingkaran diri akan kondisi atau
kenyataan yang ada. Pasien cenderung tidak mampu menerima kondisi yang ada sehingga
muncul suatu keinginan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertanggung jawab tersebut. Dan
dalam kasus ini pun cenderung akhir dari segala pengingkaran diri pasien adalah dengan
melakukan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang menjadi trend issue
dalam keperawatan jiwa. Tanpa dibatasi umur, status ekonomi, tingkat pendidikan bahkan
beban kerja yang dipikul bunuh diri menjadi suatu alternatif terakhir dalam menyelesaikan
masalah yang dianggap berat untuk dihadapi. Pola pikir inilah yang seharusnya menjadi pusat
garapan perawat-perawat jiwa untuk meluruskan kembali persepsi yang berkembang di
masyarakat mengenai tindakan bunuh diri. Hal ini berguna untuk rehabilitasi pasien yang
pernah mencoba untuk melakukan tindakan tersebut dan juga untuk pencegahan terjadinya
tindakan ini yang semakin marak. Segala tindakan pencegahan dan rehabilitasi ini tentu akan
terlaksana dengan dukungan dari segala pihak baik pemerintah maupun bidang kesehatan
lainnya.
B. Saran
Seluruh perawat agar meningkatkan pemahamannya terhadap berbagai trend dan isu
keperawatan jiwa di Indonesia sehingga dapat dikembeangkan dalam tatanan layanan
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Yosep Iyus, S.Kp, M.Si. 2009. Keperawatan Jiwa,Edisi Revisi.Bandung. PT. Refika Aditama.
https://www.scribd.com/doc/306386056/Trend-Dan-Issue-Keperawatan-Jiwa