Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

“Analisis Konservasi Flora dan Fauna di Lahan Kritis”

Dosen Pengampu: Meilinda Suryani Harefa, S.Pd, M.Si

Oleh : Kelompok 7

Febiyola Valentina (3173331015)


Selly Nindy Sari Sitepu (3173131031)

KELAS A

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya tim kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Konservasi Sumber
Daya Alam/Makalah (Tugas Rutin) tepat pada waktunya.

Selama penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan dan hambatan.
Namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa baik isi maupun teknik penyajian tulisan masih jauh dari
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kepada para pembaca untuk memberi
tanggapan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk meningkatkan mutu
penulisan selanjutnya. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan semoga tugas
makalah ini bermanfaat untuk kalangan umum maupun pendidikan.

Medan, 16 November 2020

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 5

C. Tujuan Penulisan...................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Analisis Lahan Kritis............................................................................................... 6

B. Permasalahan Lahan Kritis.................................................................................. 8

C. Contoh Studi Kasus……………………………………………….………………….…...16

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................................ 23

B. Saran............................................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta hidupan liar lainnya yang
mengundang perhatian dan kekaguman berbagai pihak baik di dalam maupun di
luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia (terbanyak di dunia),
1.519 spesies burung (keempat terbanyak), 270 spesies amfibia (kelima terbanyak),
600 spesies reptilian (ketiga terbanyak), 121 spesies kupu-kupu (terbanyak) dan
20.000 spesies tumbuhan berbunga (ketujuh terbanyak) menghuni habitat-habitat
daratan dan lautan di 112 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
kepulauan.
Namun demikian banyak hal-hal yang tidak tertangani dalam hal tentunya
menjaga keberadaan dan integritas dari kawasan hutan itu sendiri. Kenyataannya,
yang seringkali terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kelestarian. Dan yang
lebih parah adalah terjadinya kerusakan hutan dalam skala besar di banyak tempat
akibat kegiatan yang dilakukan oleh manusia (anthropogenic). Dalam tiga dekade
terakhir semakin banyak satwa Indonesia yang masuk ke dalam daftar ‘terancam
punah’ dari IUCN (The World Conservation Union). Selain itu, banyak pula flora
yang dimasukkan ke dalam daftar Apendiks CITES (Convention on International
Trade in Endangered Species) akibat eksploitasi yang berlebihan dan
mengakibatkan jenis-jenis tersebut menjadi terancam kepunahan.

Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap


karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan
manusia (Christian dan Stewart, 1968).  Secara lebih rinci, istilah lahan atau land
dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas
dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief,
hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap
penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang
(Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu
sistem yang tersusun atas (i) komponen struktural yang sering disebut karakteristik
lahan, dan (ii) komponen fungsional yang  sering disebut kualitas lahan.  Kualitas
lahan ini pada hakekatnya merupakan  sekelompok  unsur-unsur lahan (complex
attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO,
1976).
Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai komponen- komponen yang
terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran
tertentu.  Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya
dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karena kegiatan yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan lahan,
baik untuk area pertanian, pemukiman dan lain-lain, maka lahan dapat dibagi
menjadi lahan yang potensial dan lahan yang kritis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang menjadi penyebab permasalahan lahan kritis?
2. Bagaimana konservasi flora dan fauna dilahan kritis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab permasalahan lahan kritis
2. Untuk mengetahui bgaimana konservasi flora dan fauna dilahan kritis
BAB II
PEMBAHASAN
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservationyang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya ( keep/save what you have), namun secara bijaksana
(wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang
Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Sedangkan menurut
Rijksen (1981), konservasi adalah suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu,
upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.  Konservasi juga dapat dipandang
dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba
mengalokasikan sumbe daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi
merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan,
sebagai berikut :

a. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan


manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama.
b. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal
secara sosial.
c. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup
termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang
meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian,
administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan.
d. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat
memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui
untuk generasi-generasi yang akan datang.

Tujuan dari adanya konservasi adalah agar terwujud kelestarian sumberdaya alam
hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksananya. Sedangkan strategi
konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga hal berikut taktik pelaksanaannya,
yaitu

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK)

a. Penetapan wilayah PSPK.

b. Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK.

c. Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK.

d. Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK.

e. Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK.

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

a. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan eks-situ konservasi).

3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

a. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.

b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan
pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya).

Pada dasarnya pemerintah Indonesia, bahkan sejak jaman pemerintahan Belanda,


telah menyadari bahwa beberapa jenis satwa dikhawatirkan akan punah dan memberikan
status perlindungan kepada jenis-jenis satwa tertentu. Untuk mengantisipasi ancaman
kerusakan terhadap sumberdaya alam dan eksosistemnya, pemerintah Indonesia
mengeluarkan berbagai peraturan yang berisi tata cara pengaturan dan pemanfaatan
sumberdaya sedemikian rupa tetap memelihara keseimbangan ekologis lingkungan.
Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme 113 Beberapa peraturan antara lain:
Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
beserta Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar. Sekitar 65 jenis flora yang dilindungi dalam undang-undang sebagian besar
didalamnya merupakan flora langka di Indonesia.

Didalamnya juga tercantum program konservasi in-situ dan eksitu khusus untuk
jenis terancam punah dan langka. Beberapa jenis meranti (Shorea spp.) penghasil
tengkawang secara mutlak dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 261/Kpts-IV/1990.
Lampiran SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972, disebutkan tentang Tentang
Pohon-pohon Di Dalam Kawasan Hutan Yang Dilindungi antara lain jenis pohon penghasil
getah, damar, kopal, buah, kulit kayu, pewarna, dan obat-obatan. Selanjutnya untuk jenis
non-pohon, cuplikan SK Menteri Pertanian No. 37/5/1968 khusus mengatur peredaran
Tanaman Anggrek (Orchidaceae) baik di dan dari Wilayah Republik Indonesia. Akhir-akhir
ini Indonesia menjadi sorotan dunia akibat cepatnya laju kerusakan hutan serta semakin
tingginya tingkat keterancaman jenis-jenis hidupan liar atau flora dan fauna terhadap
ancaman kepunahan (World Research Institute 1992). Kekayaan jenis flora di Indonesia
yang dapat dikatakan sangat melimpah juga mengalami tekanan akibat laju kerusakan
hutan. Produk flora pohon, contohnya, merupakan salah satu komoditi andalan untuk
ekspor kayu di era tahun 70-an yang menyumbangkan sebagian besar pendapatan negara,
devisa dan juga berkembangnya bisnis industri perkayuan yang membuka kesempatan
kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia (Kartodihardjo 1999). Jenis hasil hutan
kayu yang diperdagangkan sebagian besar adalah jenis-jenis yang masuk dalam keluarga
Dipterocarpaceae, seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), kapur
(Dryobalanops sp), mersawa (Anisoptera spp) dan lain-lain. Sedangkan dari kelompok
non-Dipterocarpaceae antara lain ulin (Eusyderoxylon zwageri), agathis (Agathis spp),
ramin (Gonystylus bancanus), eboni (Dyospiros spp.), dan lain-lain.

Namun demikian “booming” kayu ini hanya mengalami masa kejayaan selama
kurang lebih 30 tahun dan pada era akhir tahun 90’an, hutan beserta isinya mengalami
kerusakan yang amat parah akibat eksploitasi besar-besaran di masa lalu. Beberapa jenis
kayu komersial seperti kapur (Dryobalanops sp) dan bangkirai (Shorea laevis) mengalami
penurunan potensi yang tajam dan bahkan mulai sulit ditemukan di habitat aslinya di alam,
seperti contohnya yang terjadi di bumi Kalimantan (Siran 2007). Mersawa (Anisoptera
costata) yang juga merupakan kayu andalan perdagangan di masa lampau sudah masuk
114 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 kategori endangered (EN)
berdasarkan IUCN (Soerianegara dan Lemmens 1994). Pada tahun yang sama saat hutan
dibuka secara besar-besaran tersebut yaitu di tahun 1970, Threatened Plants Commitee of
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natureal Resources) bersama
dengan para ahli tumbuhan sedunia menerbitkan “Red Data Book” untuk flora.

Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa menjelang tahun 2000 sebanyak 20.000
tumbuhan yang terdiri dari kurang lebih 300.000 species flora akan mengalami kelangkaan
dan terancam punah berdasarkan kategori yang dibuat oleh IUCN. Mengingat hampir 70%
hutan alam telah rusak sementara laju deforestasi yang mencapai kurang lebih 2,7 juta
hektar per tahun saat ini (Damanik 2007) maka dikuatirkan bahwa kelangkaan dan
kepunahan jenis hidupan liar, terutama flora, akan semakin cepat pula. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropis yang memiliki 2 wilayah
biogeografi yaitu Indo-Malaya atau kawasan oriental dan wilayah Australia dengan transisi
diantaranya yaitu daerah Wallacea. Indonesia memiliki tingkat keragaman ekosistem yang
paling tinggi di dunia, tidak kurang 47 macam ekosistem, mulai dari ekosistem perairan
laut, rawa, savana, hutan hujan sampai ekosistem alpine di pegunungan Jayawijaya
Provinsi Papua yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme yang
tinggi (Mittermeier dkk., 1997). Status konservasi suatu jenis yang dibuat selama ini adalah
berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia diprakarsai oleh LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia (Mogea dkk 2001). Namun demikian, masih perlu diadakan kajian
potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna tersebut untuk mengetahui
potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut di habitat alaminya.

Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan
perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi dan
dataran rendah yang mulai menurun maka untuk untuk jenis-jenis flora yang
diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenis-jenis yang
perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya CITES membuat daftar
untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam upaya mencegah penebangan
liar, perdagangan satwa liar dan pasar gelap. CITES membagi kelompok/kategori
berdasarkan status kelangkaan jenis di alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang
sudah terancam punah sehingga peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan
tertentu dan tidak Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme 115 merusak habitat
alamnya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika perdagangan
internasional tidak dikontrol maka terjadi resiko kepunahan.

Sedangkan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara
secara internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum
memerlukan alat kontrol secara internasional. Seperti kasus ramin di Indonesia, yaitu
menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya resiko kepunahan, sedangkan ramin
masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan yang tidak dikontrol
dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam waktu singkat. Dengan
demikian ramin masuk dalam kategori Appendix III (Sumarhani 2007). Selain ramin, masih
banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan perhatian karena populasinya di alam
mengalami penurunan drastik akibat eksploitasi yang tidak mengindahkan kelestarian
serta akibat menurunnya kualitas habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup.
Seperti contohnya, ulin (Eusyderoxylon zwagerii) dan eboni (Dyospiros spp.)
keberadaannya di alam terancam kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa
habitat aslinya di Kalimantan dan Sulawesi.

Demikian pula dengan beberapa jenis fauna yang habitatnya di Indonesia


mengalami penuruan hingga mencapai 49% (McNeely et al. 1990). Beberapa kawasan
hutan yang masih berfungsi dengan baik, tidak hanya di kawasan konservasi dan bahkan di
kawasan hutan produksi yang tidak produktif, masih bisa dimanfaatkan oleh be berapa
jenis satwaliar, terutama jenis fauna langa terrestrial dan jenis satwa arboreal yang dapat
beradaptasi dengan baik (Bismark, 2006). Dalam rangka mencegah kepunahan jenis-jenis
flora dan fauna yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya, berbagai
lembaga baik nasional dan internasional serta badan-badan dunia di bidang yang terkait
membuat inisiatif untuk melakukan kajian tentang perlindungan dan pengawetan bagi
flora dan fauna yang mengalami tekanan di habitat aslinya akibat perkembangan kemajuan
jaman. Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological
Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan palsma nutfah dan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian (Ramono
2004) perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga
pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Kegiatan konservasi ini pada dasarnya
bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem.

Secara khusus, pengelolaan dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati


kita baik jenis-jenis flora langka maupun satwa 116 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF
2010-2014 langka dan terancam punah maupun yang jenis yang belum dikenal masih
belum banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Demikian pula dengan daftar jenis
flora dan fauna langka yang dibuat berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh
beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah banyak membahas tentang
keberadaan dan persebarannya. Namun demikian kajian dan inventarisasi menyangkut
potensi dan status beragam jenis flora dan fauna baik yang sudah masuk dalam daftar Red
Data Book IUCN maupun belum, masih memerlukan kajian dan monitoring untuk
memberikan data yang lebih akurat.

Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak diakibatkan
oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk kelangsungan
hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarikan kelangsungan
hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis flora dan fauna
tertentu, terutama jenisjenis flora yang lambat tumbuh dan secara alami memilki sifat dan
karakter yang sangat spesifik. Beberapa jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan
kayunya untuk perdagangan, seperti contohnya beberapa jenis dalam keluarga
Dipterocarpaceae memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan
kayu dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan
regenerasi alaminya sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat.
Bahkan terjadinya illegal logging yang akhir-akhir ini kian marak akan semakin
memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu
cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya.
A. Pengertian Lahan Kritis
Lahan Kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan
biologis atau lahan yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Untuk menilai kritis tidaknya
suatu lahan, dapat dilihat dari kemampuan lahan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui
kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya resiko ancaman atau hambatan dalam
pemanfaatan lahan tersebut. Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai
media produksi, baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan maupun yang
tidak dibudidayakan. Begitulah kurang lebih pengertian lahan kritis menurut Undang-
Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Lahan
kritis di Indonesia umumnya disebabkan oleh degradasi lahan. Secara ringkas, degradasi
lahan adalah menurunnya kualitas lahan. Para ahli menyebutkan degradasi lahan adalah
proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah. Hal ini diakibatkan oleh ulah manusia
melalui aktivitas tertentu terhadap suatu lahan. Aktivitas merugikan dari manusia itulah
yang menyebabkan kondisi lingkungan pada lahan berubah, cenderung tidak diinginkan
hingga merusak kesehatan lahan.

B. Klasifikasi Lahan Kritis

Berdasarkan Dokumen Standar dan Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan


Lampiran SK Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001 (Dokumen Standar dan
Kriteria RHL), klasifikasi lahan kritis dapat dibagi menjadi 5 kelas yaitu:

1. Tidak kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 451 – 500 untuk kawasan hutan lindung, 426 – 500
untuk kawasan budidaya dan 426 – 500 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
2. Potensial kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria
penentu lahan kritis berkisar 361 – 450 untuk kawasan hutan lindung, 351 -
425 untuk kawasan budidaya dan 351 – 425 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
3. Agak kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 271 – 360 untuk kawasan hutan lindung, 276 – 350
untuk kawasan budidaya dan 276 – 350 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
4. Kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu lahan
kritis berkisar 181 – 270 untuk kawasan hutan lindung, 201 – 275 untuk
kawasan budidaya dan 201 – 275 untuk kawasan lindung di luar hutan.
5. Sangat kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 120 – 180 untuk kawasan hutan lindung, 115 – 200
untuk kawasan budidaya dan 110 – 200 untuk kawasan lindung di luar hutan

C. Ciri-ciri Lahan Kritis


1. Tidak Subur
Lahan tidak subur adalah lahan yang sedikit mengandung mineral yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Umumnya lahan tidak subur terdapat
di daerah yang resiko ancamannya besar (ancaman erosi dan banjir). Lahan
pertanian dan perkebunan yang menempati lahan kritis akan menghasilkan
panen yang tidak optimal. Hal tersebut disebabkan karena kandungan unsur
hara pada tanah sangat kurang, sehingga kebutuhan makanan tanaman tidak
terpenuhi.
2. Sedikit Mengandung Humus
Tanah humus adalah jenis tanah yang bersifat subur karena mengandung bahan
organik seperti daun-daun yang telah membusuk. Pada tanah yang mengandung
humus, maka tanaman akan dapat tumbuh subur. Sedangkan pada tanah yang
memiliki kandungan humus rendah atau miskin humus, maka tidak akan cocok
jika dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Menurut data dari Dirjen
Pengendalian Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Huntan Lindung Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyatakan bahwa pada tahun 2017
lahan kritis di Indonesia telah mencapai 24,3 juta hektar atau 12% dari wilayah
Indonesia. Jumlah lahan yang rusak tersebut juga terus meningkat setiap tahun.
Lahan yang miskin humus umumnya kurang baik untuk dijadikan lahan
pertanian, karena tanahnya kurang subur. Kita pernah mendengar istilah tanah
humus. Tanah Humus adalah tanah yang telah bercampur dengan daun dan
ranting pohon yang telah membusuk. Tanah humus dapat dijumpai di daerah
yang tumbuhannya lebat, contohnya hutan primer. Sedangkan lahan yang miskin
humus adalah lahan yang terdapat di daerah yang miskin atau jarang tumbuhan,
contohnya kawasan pegunungan yang hutannya rusak.

D. Sebaran Lahan Kritis di Indonesia

1. Lahan Kritis Daerah Dataran Rendah


Lahan kritis di daerah dataran rendah biasanya disebabkan oleh genangan air
secara terus menerus sehingga kandungan mineral dan unsur hara menghilang.
Genangan air terjadi umumnya disebabkan oleh genangan air hujan, dimana
daerah tergenang memiliki ketinggian rendah dibanding tempat lainnya. Lahan
kritis ini tersebar di wilayah Demak (Jawa Tengah), Bojonegoro, Tuban, Gresik
dan Lamongan (Jawa Timur)
2. Lahan Kritis Daerah Pegunungan
Kawasan pegunungan identik dengan kawasan yang hijau, subur, dan terdapat
banyak hutan sehingga kaya akan akan oksigen. Namun, ternyata kawasan
pegunungan atau dataran tinggi juga dapat mengalami lahan kritis. Penyebabnya
adalah erosi tanah, longsor, dan kandungan tanah berupa batuan padas atau
kapur. Lahan kritis jenis ini sebarannya adalah di wilayah pegunungan Kendeng
(Jawa Tengah hingga Jawa Timur) dan pegunungan Ciremai (Jawa Barat) yaitu
berupa hutan kerangas.
3. Lahan Kritis Pada Daerah Pantai
Pengikisan wilayah pantai akibat gelombang laut menjadi penyebab kritisnya
lahan. Pengikisan yang disebut dengan istilah abrasi akan mengikis lapisan
sedimen tanah. Hal ini terjadi karena muara sungai dan pantai terbuka diterpa
gelombang yang cukup besar. Oleh karena itu, penanaman bakau menjadi sangat
penting untuk dilakukan. Laha kritis wilayah pantai antara lain muara sungai
Cimanuk (Jawa Barat) dan muara sungai Kulon Progo (Yogyakarta)

E. Faktor Penyebab Lahan Kritis


Adapun beberapa faktor yang menyebabkan lahan kritis menurut BP DAS
Jeneberang-Walanae (2007) yaitu sebagai berikut :
a. Parambahan hutan
b. Penebangan liar (illegal logging)
c. Kebakaran hutan
d. Pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berasaskan kelestarian
e. Penataan zonasi kawasan belum berjalan
f. Pola pengelolaan lahan tidak konservatif
g. Pengalihan status lahan (berbagai kepentingan)

F. Kriteria Lahan Kritis


Pendekatan metode yang digunakan dalam penilaian lahan kritis mengacu kepada
Dokumen Standar dan Kriteria RHL, tentang Pola umum dan Standar serta kriteria
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Sasaran kegiatan RHL adalah lahan-lahan
dengan fungsi lahan yang ada kaitannya dengan kegiatan rehabilitasi dan
penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan lindung di luar
kawasan hutan dan kawasan budidaya. Kriteria-kriteria yang menjadi parameter
lahan kritis tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tutupan Lahan
Tutupan lahan merupakan faktor luar yang mempengaruhi proses yang bekerja
pada permukaan tanah. Selain itu, komponen penutup lahan lainnya adalah
kerapatan penutup lahan, dalam hal ini kerapatan vegetasi, baik jarak tanam
maupun kerapatan tajuk daunnya sebagai penentu intensitas sinar matahari dan
hujan yang sampai pada tanah. Data tutupan lahan dapat diamati langsung di
lapangan dengan dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk kemudian tiap
persentase tersebut diberikan harkat.Parameter ini hanya digunakan untuk
pemetaan lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar
kawasan hutan masing-masing dengan besar bobot sebesar 50%

2. Kemiringan Lereng
Menurut Donahue dkk (1983) bahwa penggandaan kemiringan lereng (%
kemiringan) biasanya meningkatkan erosi dua kali lebih besar, dan pada lereng
yang panjang dapat mencapai erosi tiga kali lipat. Lereng yang cembung erosinya
lebih besar dibanding lereng yang cekung dan erosi yang semakin besar
meningkatkan nilai kekritisan pada lahan (Zhiddiq, 2005)
Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data
ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta RBI.
Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat
dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer. Sistem
pengklasifikasian kelas kemiringan lereng yang digunakan berdasarkan
Dokumen Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 20%, kawasan budi daya tanaman pertanian dengan bobot 20%
dan kawasan di luar hutan dengan besar bobot sebesar 10%.
3. Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian
tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi,
tanah dan bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian
diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan dan pemindahan tanah
tersebut terjadi oleh media alami yaitu air tanah atau angin. (Arsyad, 1989)
Besar tingkat erosi dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran di lapangan
terhadap lahan ataupun diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan
(land system) dan overlay beberapa peta, Adapun pengklasifikasi besar erosi
menurut Dokumen Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 20%, kawasan budidaya dengan bobot 15% dan kawasan di luar
hutan dengan besar bobot sebesar 10%.
4. Manajemen Lahan
Manajemen lahan adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif,
atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi agar menjadi lebih produktif.
Manajemen atau tindak konservasi lahan ini dapat diamati lansung di lapangan
dengan melihat perlakuan terhadap lahan misalnya metode
konservasi/manajemen lahan yang diterapkan pada kawasan budidaya sesuai
dengan petunjuk teknis. Sedangkan pada kawasan hutan yaitu adanya
pengawasan, penyuluhan serta tata batas kawasan. Adapun sistem
pengklasifikasian manajemen lahan yang digunakan berdasarkan Dokumen
Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 10%, kawasan budidaya dengan bobot 30% dan kawasan di luar
hutan dengan besar bobot sebesar 30%.
5. Singkapan Batuan
Singkapan batuan (outocrop) merupakan batuan yang tersingkap/terungkap di
atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang
terpendam dalam tanah (Zhiddiq, 2005). Ciri utama lahan kritis selain gundul
dan terkesan gersang akan tetapi juga ditandai dengan banyaknya muncul batu-
batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan
topografi lahan berbukit atau berlereng curam (Angga Y. dan Ketut W., 2005.
6. Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan adalah rasio terhadap produksi komoditi umum optimal
pada pengelolaan tradisional. Tingkat produksi rendah yang ditandai oleh
tingginya tingkat keasaman, rendahnya unsur hara (P, K, Ca, dan Mg), rendahnya
kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, serta
tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap
erosi. Selain itu pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang
dan memiliki pH tanah relatif lebih rendah yaitu sekitar 4,8 hingga 5,2 karena
mengalami pencucian tanah yang tinggi serta ditemukan rhizoma dalam jumlah
banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman (Angga Y.
dan Ketut W., 2005).
7. Tingkat Lahan Kritis
Untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan dari setiap kawasan tersebut maka
jumlah harkat dari setiap kelas di kalikan dengan besar bobot dari setiap
parameter dari setiap fungsi kawasan, kemudian hasil perhitungan tersebut
dicocokkan dengan tabel kriteria tingkat kekritisan lahan pada setiap fungsi
kawasan:
a. Kawasan Hutan Lindung
Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan hutan lindung menggunakan
empat parameter yaitu penutupan lahan (bobot 50%), kemiringan lereng
(bobot 20%), tingkat erosi (bobot 20%) dan manajemen lahan (bobot 10%).
Kawasan Budidaya
b. Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan budidaya menggunakan lima
parameter yaitu produktivitas lahan (bobot 30%), kemiringan lereng (bobot
20%), tingkat erosi (bobot 15%), singkapan batuan (5%) dan manajemen
lahan (bobot 30%).
c. Kawasan Lindung di luar hutan
Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan lindung di luar kawasan hutan
menggunakan empat parameter yaitu tutupan lahan (bobot 50%),
kemiringan lereng (bobot 10%), tingkat erosi (bobot 10%) dan manajemen
lahan (bobot 30%).

G. Penanggulangan Lahan Kritis


1. Lahan tanah dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pertanian, perkebunan,
peternakan, dan usaha lainnya
2. Erosi tanah perlu dicegah melalui pembuatan teras-teras pada lereng bukit
3. Usaha perluasan penghijauan tanah dan reboisasi lahan hutan
4. Perlu reklamasi lahan bekas pertambangan
5. Perlu adanya usaha ke arah program kali bersih (prokasih)
6. Pengelolaan wilayah terpadu di wilayah lautan dan daerah aliran sungai
7. Perlu tindakan tegas bagi siapa saja yang merusak lahan yang mengarah ke
lahan kritis
8. Pengembangan keanekaragaman hayati dan pola pergiliran tanaman
9. Menghilangkan unsur-unsur yang dapat mengganggu kesuburan lahan
pertanian, misalnya plastik. Oleh karena itu, proses daur ulang sangat
diharapkan
10. Pemupukan dengan pupuk organik atau alami, yaitu pupuk kandang atau pupuk
hijau secara tepat dan terus menerus
11. Guna menggemburkan tanah sawah perlu dikembangkan tumbuhan yang
disebut Azolaepinata
12. Memanfaatkan tanaman eceng gondok guna menurunkan zat pencemar yang
ada dalam lahan pertanian. Eceng gondok dapat menyerap zat pencemar dan
dapat dimanfaatkan untuk makanan ikan. Namun juga harus hati-hati karena
eceng gondok sangat mudah berkembang sehingga mengganggu lahan
pertanian.

H. Cara Memperbaiki Lahan Kritis

Lahan kritis perlu diperbaiki agar dapat memberikan manfaat optimal bagi manusia.
Melalui data persebaran lahan kritis, maka akan dapat dipetakan wilayah mana saja
yang perlu diperbaiki atau bisa kita sebut rehabilitasi lahan. Berikut ini adalah
beberapa cara untuk mengatasi dan menanggulangi lahan kritis.

1. Peran Pemerintah, Masyarakat dan Korporat


Peran pemerintah dalam mengatasi lahan kritis ialah dengan kebijakan-
kebijakan yang mendukung lingkungan. Misalnya kebijakan terkait dengan alih
fungsi lahan serta penerapannya. Pemerintah juga wajib untuk
mensosialisasikan kebijakan terkait penanggulangan lahan kritis. Apabila
terdapat pihak-pihak yang masih melakukan pelanggaran seperti  illegal logging,
tentu sanksi tegas harus dilakukan. Sedangkan masyarakat dan korporasi dapat
berperan baik secara langung maupun tidak langsung. Pengetahuan akan lahan
kritis juga perlu diketahui, agar masyarakat dan korporasi tidak secara
serampangan mengambil alih lahan-lahan produktif untuk digunakan.

2. Pengembangan Keanekaragaman Hayati
Untuk mengatasi kondisi lahan kritis, dapat diterapkan pola tanam tumpang sari.
Tumpang sari adalah penanaman aneka tanaman secara berdampingan. Hal ini
akan memberi manfaat dan menjaga kandungan unsur hara dalam tanah tetap
terjaga, karena tiap tanaman butuh unsur hara yang berbeda-beda.
3. Reboisasi dan Penghijauan
Upaya rehabilitasi dan penghijauan lahan-lahan kritis juga dapat dilakukan.
Pemilihan tanaman harus dilakukan dengan tepat, yaitu dengan memilih
tanaman yang memiliki akar tunjang kuat dan dalam, membutuhkan sedikit air,
membutuhkan sedikit unsur hara, dan berupa tanaman endemik pada
habitatnya.
4. Pembuatan Sengkedan atau Terasering
Terasering atau sengkedan ialah metode pembentukan tanah menyerupai
tangga. Biasanya cara ini banyak diterapkan di lereng-lereng curam. Pembuatan
tanah seperti tangga ini dapat membantu mengurangi laju air dari atas ke
bawah. Sehingga tanah tidak mudah longsor dan menimbun lampisa tanah
dibawahnya.
5. Pengembalian Fungsi DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan atau area yang dikelilingi oleh
beberapa titik alami yang terletak pada dataran tinggi dimana titik-titik tersebut
berfungsi menjadi wadah penampungan bagi air hujan yang turun di kawasan
tersebut. Pengembalian fungsi aliran sungai merupakan salah satu upaya
memperbaiki area resapan air. Selain itu, manfaatnya adalah untuk
mempertahankan ketersediaan air, menanggulangi banjir, menanggulangi
kekeringan, jalur hijau, menjaga eksosistem sekitar dan sebagainya
6. Reklamasi Pertambangan
Industri pertambangan banyak menghasilkan lahan-lahan kritis. Penambangan
emas, batubara, gas alam dan mineral lain umumnya mengeruk tanah hingga
kedalaman tertentu hingga menemukan mineral yang akan ditambang.
Pengerukan tersebut akan membuat kawasan tanah tersebut rusak bahkan
amblas. Lebih parahnya, setelah hasil tambang yang dicari habis maka lahan
tersebut akan ditinggal begitu saja. Oleh karena itu, perlunya melakukan
upaya reboisasi untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut. Upaya pencegahan
juga dapat dilakukan dengan tegasnya pemberian ijin tambang.

7. Penggunaan Pupuk Organik


Penggunaan bahan-bahan kimia untuk pupuk menjadi salah satu penyebab
lahan kritis. Zat kimia yang digunakan tersebut tidak dapat hilang dengan cepat,
karena memerluka waktu bertahun-tahun untuk hilang secara alami. Oleh
karenanya, penggunaan pupuk organik seperti pupuk kompos dapat menjadi
pilihat yang baik. Pupuk organik yang berasal dari bahan alami yang mengalami
pembusukan lebih ramah terhadap lingkungan. Bahan-bahannya seperti
dedaunan dan kotoran hewan dapat memberikan unsur hara sekaligus
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan bilogi tanah
8. Menggemburan Tanah Secara Alami
Untuk menggemburkan tanah, metode yang dapat dilakukan adalah metode
pemulsaan (mulching). Metode ini dilakukan dengan cara menutupi permukaan
tanag dengan sisa-sisa tanaman. Umumnya jerami adalah bahan yang digunakan
untuk pemulsaan. Selain jerami, tanaman azolla juga dapat digunakan untuk
menggemburkan tanah. Tanaman azolla adalah tanaman paku air yang hidup
bersimbiosis mutualisme dengan ganggang hijau biru ( Anabaena azollae).
Tanaman azolla berperan dalam memfiksasi nitrogen (N2) dan sekaligus dapat
menjadi pupuk alami bagi tanaman.

9. Enceng Gondok

Enceng gondok merupakan jenis tanaman air yang dapat membantu mengatasi


pencemaran air dan udara. Tanaman air ini dapat membantu menyerap logam
berat yang terkandung pada aliran sungai yang tercemar limbah industri atau
bahan kimia. Enceng gondok dapat meminimalisir pencemaran udara dan air.
Enceng gondok dapat menyerap logam berat yang terkandung dalam limbah
industri.

Studi Kasus Degradasi Lahan di Taman Nasional Karimun Jaya

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015), Indonesia telah


mengalokasikan tidak kurang 27 juta hektar lahan sebagai wilayah perlindungan. 51
kawasan yang ditetapkan sebagai taman nasional belum mampu menjadi tempat
perlindungan karena mengalami ancaman kerusakan termasuk Taman Nasional
Karimunjawa. Ancaman kerusakan ekosistem yang terjadi di Kepulauan Karimunjawa
menggugah pemerintah untuk melakukan konservasi. Penetapan Cagar Alam Laut
Karimunjawa pada tanggal 9 April 1986 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
123/KptsII/1986 merupakan langkah awal, kemudian pada tanggal 22 Februari 1999
Karimunjawa ditetapkan sebagai taman nasional melalui Surat Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 78/Kpts-II/1999. Kawasan seluas 111.625 Ha ini terdiri dari 22 pulau
dengan 5 ekosistem utama yaitu ekosistem terumbu karang, padang lamun, hutan
mangrove, hutan pantai, dan hutan hujan tropis dataran rendah (BTNKJ, 2016). Pulau
Karimunjawa dan Pulau kemujan sebagai pulau terbesar di kawasan Taman Nasional
Karimunjawa terancam mengalami kerusakan ekosistem mangrove.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamal et al 2016, luasan hutan
mangrove dari tahun 2009 sampai 2012 pada kedua pulau ini mengalami degradasi
sebesar 23,8 Ha yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan. Degradasi mangrove,
penurunan tutupan karang keras dan penurunan populasi biota laut merupakan indikasi
bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Taman Nasional
Karimunjawa (BTNKJ) perlu meningkatkan kinerjanya dalam rangka konservasi. Upaya
pengelolaan kawasan telah dilakukan, konservasi melalui kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya seperti yang diamanatkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Masih terdapatnya
permasalahan mengenai perambahan kawasan, pemanfaatan tumbuhan dan satwa
dilindungi, perikanan dan wisata tak ramah lingkungan merupakan indikasi belum
optimalnya implementasi kebijakan konservasi di Taman Nasional Karimunjawa dalam
kegiatan pengawetan dan pemanfaatan lestari.

Upaya Konservasi yang Dilakukan

1. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa Beserta


Habitatnya Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam
golongan yang dilindungi dan wajib dilakukan upaya pengawetan apabila
mempunyai populasi yang kecil, terjadi 15 penurunan yang tajam terhadap
jumlah individu di alam dan daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
Di Taman Nasional Karimunjawa terdapat tiga jenis kima yaitu Tridacna
maxima, Tridacna squamosa, dan Tridacna crocea yang merupakan satwa
dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain Kima, satwa dilindungi
berikutnya adalah penyu, ditemukan Penyu Hijau/Green Turtle (Chelonia
mydas) dan Penyu Sisik/Hawksbill Turtle (Eretmochelys imbricate) di
kawasan ini. Implementasi kebijakan konservasi melalui kegiatan
pengawetan pada kima, penyu, flora dan fauna yang ada dalam kawasan
perlu dilakukan agar tidak punah. Kegiatan pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa di TN Karimunjawa dilakukan melalui
pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya dan pemulihan
ekosistem.
2. Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan Satwa Serta Habitatnya Pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya dilakukan dalam bentuk
kegiatan identifikasi, inventarisasi, pemantauan (monitoring), pembinaan
habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian dan
pengembangannya. Implementasi kebijakan konservasi melalui kegiatan
pengelolaan jenis di Taman Nasional Karimunjawa pada tahun 2012-2016
dilakukan dengan identifikasi vegetasi hutan hujan tropis, monitoring
rusa, monitoring SPAGS (Spawning Aggregations) kerapu, inventarisasi
mangrove, inventarisasi Sargasum sp, inventarisasi monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis Karimoendjawae), monitoring kima, monitoring
teripang, monitoring elang laut, monitoring burung, monitoring lamun,
monitoring penyu, monitoring terumbu karang, pembuatan buku
tumbuhan dan satwa liar TN Karimunjawa, pelestarian semi alami (PSA)
penyu, fasilitasi dan pembentukan kelompok pelestari penyu serta
peningkatan kapasitas SDM pengelola spesies terancam punah. Identifikasi
jenis merupakan upaya untuk mengenal jenis, keadaan umum, status
populasi dan habitat tumbuhan dan satwa. Identifikasi vegetasi hutan
hujan tropis di TN Karimunjawa periode 2012-2016 dilakukan sebanyak 3
kali berturut-turut mulai tahun 2012-2014. Inventarisasi dilakukan untuk
mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa melalui survey
dan pengamatan. Jenis kegiatan inventarisai yang di lakukan Balai TN
Karimunjawa dari tahun 2012 adalah inventarisasi rumput laut jenis
Sargasum sp dan inventarisasi monyet ekor panjang, kemudian pada tahun
2013 melaksanakan 2 kegiatan inventarisasi mangrove, selanjutnya pada
tahun 2016 kembali dilakukan inventarisasi monyet ekor panjang. Selain
identifikasi dan inventarisasi tak kalah pentingnya adalah kegiatan
monitoring / pemantauan. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui
kecenderungan perkembangan 16 populasi jenis tumbuhan dan satwa. Di
TN Karimunjawa kegiatan monitoring terhadap tumbuhan dan satwa
dilakukan hampir setiap tahun. Pada tahun 2016 misalnya, terdapat
kegiatan monitoring rusa, kima, teripang dan penyu.
3. Pemulihan Ekosistem Pemulihan ekosistem ditujukan untuk memulihkan
struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi.
Mekanisme alam merupakan kegiatan pemulihan ekosistem secara
alamiah. Rehabilitasi dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis
dan restorasi dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan,
penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar. Implementasi
kebijakan konservasi melalui kegiatan pemulihan ekosistem di Taman
Nasional Karimunjawa pada tahun 2012-2016 dilakukan dengan
pembuatan persemaian tanaman khas Karimunjawa, pemeliharaan
demplot tanaman obat, pemeliharaan arboretum hutan hujan tropis,
pemeliharaan plot percontohan, pembuatan plot contoh rehabilitasi
terumbu karang, rehabilitasi terumbu karang, pemeliharaan plot
percontohan rehabilitas terumbu karang dan gerakan bersih pantai.
Kegiatan pemulihan ekosistem sering dilakukan pada tahun 2012 dengan
10 kegiatan. Pada tahun 2014 dan 2015 tidak terdapat kegiatan pemulihan
ekosistem dan pada tahun 2016 terdapat 2 kegiatan bersih pantai dalam
rangka pemulihan ekosistem penyu. Tersedianya cukup anggaran
merupakan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan ini.
4. Pemanfaatan Secara Lestari Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya
Pada periode tahun 2012-2016 di TN Karimunjawa kegiatan pemanfaatan
lestari dilakukan dengan tiga kegiatan yaitu penelitian dan pengembangan
ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi
alam serta pemanfaatan jasa lingkungan dengan wisata alam. Kegiatan
penelitian dan pengembangan dilakukan pada tahun 2012 dan 2013
melalui kajian pemanfaatan sargassum, survey pesepsi masyarakat
tentang pengelolaan taman nasional, kajian dampak wisata alam terhadap
ekosistem terumbu karang. Sedangkan untuk tahun 2014, 2015 dan 2016
tidak terdapat kegiatan penelitian dan pengembangan. Kegiatan
pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam dilakukan
melalui penyusunan kurikulum dan modul /revisi mulok, pendidikan
lingkungan kelautan bagi guru, pengajaran mulok SLTP, lomba lukis
konservasi, sekolah /temu lapang pembelajaran konservasi,
pendampingan dan pembinaan SPKP, kemah pendidikan lingkugan
konservasi, pembentukan /pembinaan kader konservasi, kampanye
konservasi TNKJ, lomba lintas alam konservasi, penyusunan buku
pedoman metodologi 17 pelaksanaan teknis di TNKJ, school visit, dan
pendampingan kelompok masyarakat desa penyangga.

Contoh Studi Kasus Konservasi Kawasan Hutan Di Lamandau Dengan Konsep


Bioremiadiasi Dan Adat Dayak Kaharingan

Lamandau merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah
yang memiliki kawasan hutan dengan kekayaan flora dan fauna khas, dan sistem perairan
yang relative alami. Kabupaten Lamandau adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah. Berdasarkan UU nomor 5 Tahun 2002 Kabupaten Lamandau
terbentuk dari hasil pemekaran wilayah kabupaten Kotawaringin Barat, denganIbu kota
kabupaten yang terletak di Nanga Bulik. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.414 km²
dan berpenduduk sebanyak 62.776 jiwa. Letak geografis strategis serta sumber daya alam
berlimpah.

Kondisi kerusakan ekosistem pada beberapa perairan di Indonesia cukup


memprihatinkan, salah satunya di sungai daerah Lamandau Kalimantan Tengah.
Permasalahan ini dalam jangka panjang dapat mengancam kelestarian sumberdaya alam
serta fungsi lingkungan hidup, meliputi kekayaan hayati flora dan fauna khas lokal, serta
sistem alami perairan dengan biota khasnya. Sungai Lamandau memiliki keanekaragaman
biota perairannya seperti ikan sepat, ikan seluang, ikan toman, ikan lais, ikan jelawat, ikan
belida, ikan baung,dan yang paling terkenal adalah ikan patin. Ada beberapa jenis keong,
udang dan kepiting. Biota perairan ini dimanfaatkan masyarakat setempat untuk
memenuhi kebutuhan hidup.

Demikian pula halnya dengan potensi hutan yang menyimpan kekhasan flora seperti
pohon kayu seluang belum, akar kuning, damar, rotan, keruing, anggrek hutan dan masih
banyak lagi. Prof DR H. Ciptadi, MS (2009) Dosen Universitas Negeri Palangka Raya alumni
di ENSCM Universitas Montpellier II-Perancis menyatakan bahwa kawasan hutan
Kalimantan Tengah memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri dibandingkan lahan
lainnya.. “Sumber Daya Alam yang melimpah harusnya dijaga dan dikelola dengan baik.
Ekosistem yang masih tersisa saat ini perlu dipelihara dan dilestarikan agar tidak sampai
punah. Kekayaan alam meliputi flora dan fauna serta biota perairan spesifik yang terdapat
di perairan dan kawasan hutan Lamandau, sudah saatnya untuk lakukan upaya konservasi.
Konservasi sistem perairan dapat dilakukan dengan cara modern, yaitu menggunakan
konsep bioremidiasi. Akan tetapi suku Dayak pada dasarnya memiliki konsep konservasi
sumber daya flora dan fauna serta biota perairan yang memiliki sifat kearifan lokal yang
cukup kuat, yaitu dengan cara Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan dan Pukung Himba. Tujuan
dari penulisan ini artikel ini ingin menguraikan tentang kondisi kekayaan flora dan fauna
serta biota perairan kawasan hutan di Lamandau Propinsi Kalimantan Tengah dan upaya
pelestariannya.

KERUSAKAN KEKAYAAN FLORA DAN FAUNA DI KAWASAN HUTAN LAMANDAU

Kerusakan dan degradasi flora dan fauna yang terdapat di kawasan hutan Lamandau
terjadi seiring dengan perambahan hutan sebagai lahan industri, penambangan bahan
alam, dan lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Provinsi
Kalimantan Tengah sangat parah sehingga bisa menimbulkan bencana seperti banjir dan
kebakaran lahan. Derah Aliran Sungai (DAS) Kahayan mengalami kerusakan seluas 4,133
juta hektare, termasuk didalamnya adalah wilayah Lamandau (Muchtar, 2010) "Dampak
dari lahan kritis yang sangat luas tersebut telah menimbulkan masalah banjir dan
kebakaran hutan dan lahan yang selalu mengancam kita tiap tahun. Usaha rehabilitasi
lahan kritis yang telah dilakukan terus menerus melalui berbagai program. Kawasan hutan
telah mengalami deforestasi dan degradasi. Hal ini menimbulkan terjadinya lahan sangat
kritis dan kritis hingga mencapai 5,3 juta hektar.

Konversi hutan mencakup pembukaan hutan untuk membangun industri kelapa


sawit (Elaeis guineensis), dan untuk tingkat yang lebih rendah yaitu Akasia (Acacia spp)
dan perkebunan tanaman karet (Hevea brasiliensis),” Pada Tahun 2010, daerah yang
ditanami untuk kawasan industri kelapa sawit seluas 64.943 km persegi dan hutan
tanaman seluas 10.537 km persegi, yang merupakan 10 persen dari luas Kalimantan.”
Reklasifikasi konsesi kayu di hutan alam sebagai kawasan lindung, dan memperkuat
undang-undang yang mengharuskan hutan dikonservasi. Membatasi konversi hutan
primer untuk perkebunan kelapa sawit merupakan prioritas penting, dengan
pengembangan dan penerapan sistem hutan konservasi, termasuk peran penting hutan
dalam penyerapan karbon dan penyangga aliran air, yang akan mencegah erosi tanah dan
banjir adalah. Hal itu yang sama pentingnya dengan potensi ekonomi kayu dan hasil hutan
lainnya. Sungai Lamandau merupakan DAS yang paling besar di Kab. Lamandau. Karena itu
hampir seluruh sendi kehidupan memanfaatkan sungai sebagai sumber air. Di samping itu,
hampir 70% masyarakat di sana menjadikan bantaran sungai urat nadi kehidupan. Salah
satunya adalah dalam bentuk memanfaatkan DAS sebagai wadah pemeliharaan ikan
keramba. Pemanfaatan lain DAS Lamandau adalah Tambang Pasir Tanpa Izin (illegal).
Kondisi fisik muara sungai Lamandau lebih menjorok ke dalam seperti teluk, alur
sungainya dalam, sedimentasi di mulut sungai menyebabkan pendangkalan di keliling
sungai. Delta muara sungai Lamandau berada di sepanjang sisi alur sungai.

Tingginya curah hujan serta faktor manusia yang menyebabkan perubahan


karakteristik terutama pada daerah hulu menjadikan air dari aliran. Sungai Lamandau ini
pada musim hujan sering meluap, dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitarnya.
Tanah pada sungai Lamandau umumnya memiliki kedalaman 60-90cm. Tanah-tanah
dangkal terdapat di bagian hulu yaitu lebih kecil dari 30cm dan biasanya berbatu. Di bagian
tengah terdapat tanah dangkal, karena lapisan tanah yang dapat digunakan akar sangat
tipis sekali. Di sungai Lamandau juga ditemukan erosi akibat pengikisan tanah, hal ini
dikarenakan sekarang telah ditemukan bekas penebangan hutan serta adanya lokasi
penambangan emas.

KONSERVASI KAWASAN HUTAN DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP BIOREMIADIASI

Kawasan hutan dan sistem perairan Lamandau Kalimantan Tengah menyimpan


banyak spesies unik dan khas, baik flora, fauna, maupun biota air lainnya. Untuk daerah
hutan yang masih relative alami, dapat dilakukan konservasi dengan konsep lokal, salah
satunya kearifan local yang dimiliki oleh adat suku Dayak Kaharingan. Upaya pelestarian
lingkungan hidup bagi masyarakat Dayak Kaharingan sudah dilaksanakan sejak dulu. Hal
ini dibuktikan dengan salah satu budaya masyarakat setempat yang melarang pengambilan
hasil-hasil potensi tertentu dengan atau tanpa merusak lingkungan. Kegiatan larangan
pengambilan hasil-hasil potensi ini oleh masyarakat Dayak Kaharingan dikenal dengan
beberapa istilah tertentu. Fenomena dan ketentuan adat tersebut melarang masyarakat
untuk memetik buah-buah tertentu di darat dan mengambil hasil tertentu dari sungai
selama jangka waktu yang ditetapkan oleh pemerintah desa (Cooley, 1987 dalam Judge &
Nurizka, 2008). Masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah, secara turun temurun
dalam kehidupannya telah memraktekkan upaya konservasi sumberdaya alam dan
perlindungan terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati. Untuk kawasan hutan dan
system perairan yang sudah rusak dapat dilakukan konservasi dengan cara bioremiadiasi
dan konsep keilmuan yang modern lainnya.

Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perbaikan lingkungan tercemar limbah
industri, antara lain secara fisik, kimiawi, dan biologis. Perbaikan lingkungan secara fisik
antara lain dengan teknik pemindahan bahan pencemar yang kemudian dilakukan proses
isolasi. Sedangkan perbaikan secara kimiawi dapat dilakukan dengan cara pertukaran ion
dan reserve osmosis. Tetapi kedua metode tersebut membutuhkan biaya yang relatif mahal
(Suhendrayatna, 2001). Perbaikan lingkungan secara biologis dapat dilakukan dengan:

a) fitoremediasi, yaitu menggunakan tumbuh-tumbuhan untuk menyerap polutan. Cara ini


relatif lebih murah dan memungkinkan sumber pencemar didaur ulang. Tetapi proses ini
relatif lambat dalam mereduksi polutan (Sunardi, 2004 dalam Neneng, 2007);

b) bioremidiasi, yaitu menggunakan bakteri yang dapat secara ideal dalam menghancurkan
limbah dengan biaya lebih murah dan dengan waktu yang relatif lebih singkat.

Karena bioremidiasi langsung pada tujuannya, yaitu mendegradasi toksisitas dan


mengurangi hambatan selama proses biodegradasi tersebut (Ni’matuzahroh, 2000).
Prospek bioremidiasi di Indonesia cukup besar, mengingat tingkat keanekaragaman
mikroorganisme yang sangat besar (Deputi KLH dalam Neneng, 2007). Bioremidiasi
merupakan cara yang paling efektif ditinjau dari proses dan produknya. Menurut
Suhendrayana (2001) bioremidiasi mempunyai potensi tinggi dalam mengurangi kadar
pencemar sampai dengan level konsentrasi yang sangat rendah. Bioremidiasi lebih efektif
dibandingkan dengan pertukaran ion dan reserve osmosis dalam hal sensitivitas kehadiran
padatan terlarut. Zat organik, dan logam berat lainnya. Bioremidiasi juga dinyatakan lebih
baik dibandingkan proses pengendapan, jika dikaitkan dengan kemampuan menstimulus
penurunan pH. Proses bioremidiasi kebanyakan menggunakan bakteri indigen, karena
tingkat adaptasi terhadap lingkungan lebih tinggi, kendati juga ada yang mengintroduksi
strain bakteri atau fungi dari luar (Mellor et.al., 1996). Hasil penelitian Rahmawati (2005)
dalam penggunaan bakteri indigen berhasil dalam mendegradasi protein dalam limbah cair
pabrik penyamakan kulit. Demikian pula dalam penelitian Hastuti, dkk (2009) bahwa
bakteri indigen desulfurisasi berhasil mendegradasi kadar ion sulfida dalam limbah yang
sama. Keberhasilan bioremidiasi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yang meliputi
ketersediaan oksigen, kelembaban, pH, temperatur, bahan organik, waktu, kontak, dan
komposisi mikroba (Anas, 1997 dalam Neneng, 2007). Pengetahuan tentang kondisi
lingkungan yang optimal sangat dibutuhkan untuk keberhasilan bioremidiasi
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Lahan Kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan
biologis atau lahan yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Untuk menilai kritis tidaknya
suatu lahan, dapat dilihat dari kemampuan lahan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui
kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya resiko ancaman atau hambatan dalam
pemanfaatan lahan tersebut. Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai
media produksi, baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan maupun yang
tidak dibudidayakan. Lahan kritis dapat berubah menjadi Lahan potensial apabila harus
dijaga dan diberdayakan sebaik mungkin, karena lahan potensial bisa menjadi lahan kritis
apabila penggunaan dan pemanfaatannya tidak tepat guna. Suatu lahan potensial untuk
pertanian dapat dilihat dari ciri-cirinya : yaitu tanahnya subur, memiliki sifat jenis yang
baik dan belum mengalami erosi. Begitu juga suatu lahan kritis untuk pertanian bila
memiliki ciri-ciri tidak subur dan miskin humus. Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai
komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada
sasaran-sasaran tertentu.  Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai
sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karena kegiatan yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan lahan, baik
untuk area pertanian, pemukiman dan lain-lain, maka lahan dapat dibagi menjadi lahan
yang potensial dan lahan yang kritis

Saran
Dengan penyusunan makalah inis emoga dapat memeberikan dan membantu para
pembaca dalam memahami permasalahan lahan kritis. Didalam penyususnan ini juga
amsih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kami meminta kritik dan saran yang
memebangun guna perbaikan penulisan makalah kedepannya. Kita harus senantiasa ikut
menjaga lingkungan, agar lahan yang digunakan tetap menjadi lahan yang potensial dan
tidak menjadi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA

https://warnetalbarokah.blogspot.com/2013/10/contoh-lahan-potensial dan kritis

-dan.html

https://rinoitink.blogspot.com/2010/05/lahan-kritis.html

http://blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/11/16/lahan-kritis-lereng-sindoro-sumbing-2/

Damanik, M. R. 2007. Jempana: Mari Bicara REDD. Harian Kompas, Kamis 15 November
2007. Direktorat Jenderal PHPA, 2007. Kebijakan dan arahan Strategis Konservasi Spesies
Nasional 2008 – 2018. DirJen PHPA, Departemen Kehutanan. Heriyanto, N. M., dan E.
Subiandono. 2003. Status kelangkaan jenis pohon di kelompok hutan Sungai Lekawai-
Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat. Buletin Plasma Nutfah Vol. 9 No.2 Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai