Oleh : Kelompok 7
KELAS A
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya tim kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Konservasi Sumber
Daya Alam/Makalah (Tugas Rutin) tepat pada waktunya.
Selama penyusunan makalah ini, kami banyak mengalami kesulitan dan hambatan.
Namun berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa baik isi maupun teknik penyajian tulisan masih jauh dari
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kepada para pembaca untuk memberi
tanggapan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk meningkatkan mutu
penulisan selanjutnya. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan semoga tugas
makalah ini bermanfaat untuk kalangan umum maupun pendidikan.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan................................................................................................................ 23
B. Saran............................................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta hidupan liar lainnya yang
mengundang perhatian dan kekaguman berbagai pihak baik di dalam maupun di
luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia (terbanyak di dunia),
1.519 spesies burung (keempat terbanyak), 270 spesies amfibia (kelima terbanyak),
600 spesies reptilian (ketiga terbanyak), 121 spesies kupu-kupu (terbanyak) dan
20.000 spesies tumbuhan berbunga (ketujuh terbanyak) menghuni habitat-habitat
daratan dan lautan di 112 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
kepulauan.
Namun demikian banyak hal-hal yang tidak tertangani dalam hal tentunya
menjaga keberadaan dan integritas dari kawasan hutan itu sendiri. Kenyataannya,
yang seringkali terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan
pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kelestarian. Dan yang
lebih parah adalah terjadinya kerusakan hutan dalam skala besar di banyak tempat
akibat kegiatan yang dilakukan oleh manusia (anthropogenic). Dalam tiga dekade
terakhir semakin banyak satwa Indonesia yang masuk ke dalam daftar ‘terancam
punah’ dari IUCN (The World Conservation Union). Selain itu, banyak pula flora
yang dimasukkan ke dalam daftar Apendiks CITES (Convention on International
Trade in Endangered Species) akibat eksploitasi yang berlebihan dan
mengakibatkan jenis-jenis tersebut menjadi terancam kepunahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang menjadi penyebab permasalahan lahan kritis?
2. Bagaimana konservasi flora dan fauna dilahan kritis ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab permasalahan lahan kritis
2. Untuk mengetahui bgaimana konservasi flora dan fauna dilahan kritis
BAB II
PEMBAHASAN
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservationyang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya ( keep/save what you have), namun secara bijaksana
(wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang
Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Sedangkan menurut
Rijksen (1981), konservasi adalah suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu,
upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang
dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba
mengalokasikan sumbe daya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi
merupakan alokasi sumber daya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan,
sebagai berikut :
Tujuan dari adanya konservasi adalah agar terwujud kelestarian sumberdaya alam
hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksananya. Sedangkan strategi
konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga hal berikut taktik pelaksanaannya,
yaitu
b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan
pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya).
Didalamnya juga tercantum program konservasi in-situ dan eksitu khusus untuk
jenis terancam punah dan langka. Beberapa jenis meranti (Shorea spp.) penghasil
tengkawang secara mutlak dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 261/Kpts-IV/1990.
Lampiran SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972, disebutkan tentang Tentang
Pohon-pohon Di Dalam Kawasan Hutan Yang Dilindungi antara lain jenis pohon penghasil
getah, damar, kopal, buah, kulit kayu, pewarna, dan obat-obatan. Selanjutnya untuk jenis
non-pohon, cuplikan SK Menteri Pertanian No. 37/5/1968 khusus mengatur peredaran
Tanaman Anggrek (Orchidaceae) baik di dan dari Wilayah Republik Indonesia. Akhir-akhir
ini Indonesia menjadi sorotan dunia akibat cepatnya laju kerusakan hutan serta semakin
tingginya tingkat keterancaman jenis-jenis hidupan liar atau flora dan fauna terhadap
ancaman kepunahan (World Research Institute 1992). Kekayaan jenis flora di Indonesia
yang dapat dikatakan sangat melimpah juga mengalami tekanan akibat laju kerusakan
hutan. Produk flora pohon, contohnya, merupakan salah satu komoditi andalan untuk
ekspor kayu di era tahun 70-an yang menyumbangkan sebagian besar pendapatan negara,
devisa dan juga berkembangnya bisnis industri perkayuan yang membuka kesempatan
kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia (Kartodihardjo 1999). Jenis hasil hutan
kayu yang diperdagangkan sebagian besar adalah jenis-jenis yang masuk dalam keluarga
Dipterocarpaceae, seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), kapur
(Dryobalanops sp), mersawa (Anisoptera spp) dan lain-lain. Sedangkan dari kelompok
non-Dipterocarpaceae antara lain ulin (Eusyderoxylon zwageri), agathis (Agathis spp),
ramin (Gonystylus bancanus), eboni (Dyospiros spp.), dan lain-lain.
Namun demikian “booming” kayu ini hanya mengalami masa kejayaan selama
kurang lebih 30 tahun dan pada era akhir tahun 90’an, hutan beserta isinya mengalami
kerusakan yang amat parah akibat eksploitasi besar-besaran di masa lalu. Beberapa jenis
kayu komersial seperti kapur (Dryobalanops sp) dan bangkirai (Shorea laevis) mengalami
penurunan potensi yang tajam dan bahkan mulai sulit ditemukan di habitat aslinya di alam,
seperti contohnya yang terjadi di bumi Kalimantan (Siran 2007). Mersawa (Anisoptera
costata) yang juga merupakan kayu andalan perdagangan di masa lampau sudah masuk
114 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014 kategori endangered (EN)
berdasarkan IUCN (Soerianegara dan Lemmens 1994). Pada tahun yang sama saat hutan
dibuka secara besar-besaran tersebut yaitu di tahun 1970, Threatened Plants Commitee of
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natureal Resources) bersama
dengan para ahli tumbuhan sedunia menerbitkan “Red Data Book” untuk flora.
Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa menjelang tahun 2000 sebanyak 20.000
tumbuhan yang terdiri dari kurang lebih 300.000 species flora akan mengalami kelangkaan
dan terancam punah berdasarkan kategori yang dibuat oleh IUCN. Mengingat hampir 70%
hutan alam telah rusak sementara laju deforestasi yang mencapai kurang lebih 2,7 juta
hektar per tahun saat ini (Damanik 2007) maka dikuatirkan bahwa kelangkaan dan
kepunahan jenis hidupan liar, terutama flora, akan semakin cepat pula. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropis yang memiliki 2 wilayah
biogeografi yaitu Indo-Malaya atau kawasan oriental dan wilayah Australia dengan transisi
diantaranya yaitu daerah Wallacea. Indonesia memiliki tingkat keragaman ekosistem yang
paling tinggi di dunia, tidak kurang 47 macam ekosistem, mulai dari ekosistem perairan
laut, rawa, savana, hutan hujan sampai ekosistem alpine di pegunungan Jayawijaya
Provinsi Papua yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme yang
tinggi (Mittermeier dkk., 1997). Status konservasi suatu jenis yang dibuat selama ini adalah
berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia diprakarsai oleh LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia (Mogea dkk 2001). Namun demikian, masih perlu diadakan kajian
potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna tersebut untuk mengetahui
potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut di habitat alaminya.
Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan
perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi dan
dataran rendah yang mulai menurun maka untuk untuk jenis-jenis flora yang
diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenis-jenis yang
perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya CITES membuat daftar
untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam upaya mencegah penebangan
liar, perdagangan satwa liar dan pasar gelap. CITES membagi kelompok/kategori
berdasarkan status kelangkaan jenis di alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang
sudah terancam punah sehingga peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan
tertentu dan tidak Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme 115 merusak habitat
alamnya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika perdagangan
internasional tidak dikontrol maka terjadi resiko kepunahan.
Sedangkan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara
secara internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum
memerlukan alat kontrol secara internasional. Seperti kasus ramin di Indonesia, yaitu
menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya resiko kepunahan, sedangkan ramin
masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan yang tidak dikontrol
dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam waktu singkat. Dengan
demikian ramin masuk dalam kategori Appendix III (Sumarhani 2007). Selain ramin, masih
banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan perhatian karena populasinya di alam
mengalami penurunan drastik akibat eksploitasi yang tidak mengindahkan kelestarian
serta akibat menurunnya kualitas habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup.
Seperti contohnya, ulin (Eusyderoxylon zwagerii) dan eboni (Dyospiros spp.)
keberadaannya di alam terancam kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa
habitat aslinya di Kalimantan dan Sulawesi.
Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak diakibatkan
oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk kelangsungan
hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarikan kelangsungan
hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis flora dan fauna
tertentu, terutama jenisjenis flora yang lambat tumbuh dan secara alami memilki sifat dan
karakter yang sangat spesifik. Beberapa jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan
kayunya untuk perdagangan, seperti contohnya beberapa jenis dalam keluarga
Dipterocarpaceae memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan
kayu dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan
regenerasi alaminya sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat.
Bahkan terjadinya illegal logging yang akhir-akhir ini kian marak akan semakin
memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu
cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya.
A. Pengertian Lahan Kritis
Lahan Kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan
biologis atau lahan yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Untuk menilai kritis tidaknya
suatu lahan, dapat dilihat dari kemampuan lahan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui
kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya resiko ancaman atau hambatan dalam
pemanfaatan lahan tersebut. Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai
media produksi, baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan maupun yang
tidak dibudidayakan. Begitulah kurang lebih pengertian lahan kritis menurut Undang-
Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Lahan
kritis di Indonesia umumnya disebabkan oleh degradasi lahan. Secara ringkas, degradasi
lahan adalah menurunnya kualitas lahan. Para ahli menyebutkan degradasi lahan adalah
proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah. Hal ini diakibatkan oleh ulah manusia
melalui aktivitas tertentu terhadap suatu lahan. Aktivitas merugikan dari manusia itulah
yang menyebabkan kondisi lingkungan pada lahan berubah, cenderung tidak diinginkan
hingga merusak kesehatan lahan.
1. Tidak kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 451 – 500 untuk kawasan hutan lindung, 426 – 500
untuk kawasan budidaya dan 426 – 500 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
2. Potensial kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria
penentu lahan kritis berkisar 361 – 450 untuk kawasan hutan lindung, 351 -
425 untuk kawasan budidaya dan 351 – 425 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
3. Agak kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 271 – 360 untuk kawasan hutan lindung, 276 – 350
untuk kawasan budidaya dan 276 – 350 untuk kawasan lindung di luar
hutan.
4. Kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu lahan
kritis berkisar 181 – 270 untuk kawasan hutan lindung, 201 – 275 untuk
kawasan budidaya dan 201 – 275 untuk kawasan lindung di luar hutan.
5. Sangat kritis, yaitu lahan yang hasil skor total dari beberapa kriteria penentu
lahan kritis berkisar 120 – 180 untuk kawasan hutan lindung, 115 – 200
untuk kawasan budidaya dan 110 – 200 untuk kawasan lindung di luar hutan
2. Kemiringan Lereng
Menurut Donahue dkk (1983) bahwa penggandaan kemiringan lereng (%
kemiringan) biasanya meningkatkan erosi dua kali lebih besar, dan pada lereng
yang panjang dapat mencapai erosi tiga kali lipat. Lereng yang cembung erosinya
lebih besar dibanding lereng yang cekung dan erosi yang semakin besar
meningkatkan nilai kekritisan pada lahan (Zhiddiq, 2005)
Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan data
ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta RBI.
Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat
dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer. Sistem
pengklasifikasian kelas kemiringan lereng yang digunakan berdasarkan
Dokumen Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 20%, kawasan budi daya tanaman pertanian dengan bobot 20%
dan kawasan di luar hutan dengan besar bobot sebesar 10%.
3. Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian
tanah dari suatu tempat ketempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi,
tanah dan bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut kemudian
diendapkan pada suatu tempat lain. Pengangkutan dan pemindahan tanah
tersebut terjadi oleh media alami yaitu air tanah atau angin. (Arsyad, 1989)
Besar tingkat erosi dapat diperoleh dengan melakukan pengukuran di lapangan
terhadap lahan ataupun diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan
(land system) dan overlay beberapa peta, Adapun pengklasifikasi besar erosi
menurut Dokumen Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 20%, kawasan budidaya dengan bobot 15% dan kawasan di luar
hutan dengan besar bobot sebesar 10%.
4. Manajemen Lahan
Manajemen lahan adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif,
atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi agar menjadi lebih produktif.
Manajemen atau tindak konservasi lahan ini dapat diamati lansung di lapangan
dengan melihat perlakuan terhadap lahan misalnya metode
konservasi/manajemen lahan yang diterapkan pada kawasan budidaya sesuai
dengan petunjuk teknis. Sedangkan pada kawasan hutan yaitu adanya
pengawasan, penyuluhan serta tata batas kawasan. Adapun sistem
pengklasifikasian manajemen lahan yang digunakan berdasarkan Dokumen
Standar dan Kriteria RHL yaitu sebagai berikut:
Parameter ini digunakan untuk pemetaan lahan kritis kawasan hutan lindung
dengan bobot 10%, kawasan budidaya dengan bobot 30% dan kawasan di luar
hutan dengan besar bobot sebesar 30%.
5. Singkapan Batuan
Singkapan batuan (outocrop) merupakan batuan yang tersingkap/terungkap di
atas permukaan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang
terpendam dalam tanah (Zhiddiq, 2005). Ciri utama lahan kritis selain gundul
dan terkesan gersang akan tetapi juga ditandai dengan banyaknya muncul batu-
batuan di permukaan tanah dan pada umumnya terletak di wilayah dengan
topografi lahan berbukit atau berlereng curam (Angga Y. dan Ketut W., 2005.
6. Produktivitas Lahan
Produktivitas lahan adalah rasio terhadap produksi komoditi umum optimal
pada pengelolaan tradisional. Tingkat produksi rendah yang ditandai oleh
tingginya tingkat keasaman, rendahnya unsur hara (P, K, Ca, dan Mg), rendahnya
kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, serta
tingginya kadar Al dan Mn yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap
erosi. Selain itu pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang
dan memiliki pH tanah relatif lebih rendah yaitu sekitar 4,8 hingga 5,2 karena
mengalami pencucian tanah yang tinggi serta ditemukan rhizoma dalam jumlah
banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman (Angga Y.
dan Ketut W., 2005).
7. Tingkat Lahan Kritis
Untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan dari setiap kawasan tersebut maka
jumlah harkat dari setiap kelas di kalikan dengan besar bobot dari setiap
parameter dari setiap fungsi kawasan, kemudian hasil perhitungan tersebut
dicocokkan dengan tabel kriteria tingkat kekritisan lahan pada setiap fungsi
kawasan:
a. Kawasan Hutan Lindung
Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan hutan lindung menggunakan
empat parameter yaitu penutupan lahan (bobot 50%), kemiringan lereng
(bobot 20%), tingkat erosi (bobot 20%) dan manajemen lahan (bobot 10%).
Kawasan Budidaya
b. Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan budidaya menggunakan lima
parameter yaitu produktivitas lahan (bobot 30%), kemiringan lereng (bobot
20%), tingkat erosi (bobot 15%), singkapan batuan (5%) dan manajemen
lahan (bobot 30%).
c. Kawasan Lindung di luar hutan
Untuk penentuan lahan kritis pada kawasan lindung di luar kawasan hutan
menggunakan empat parameter yaitu tutupan lahan (bobot 50%),
kemiringan lereng (bobot 10%), tingkat erosi (bobot 10%) dan manajemen
lahan (bobot 30%).
Lahan kritis perlu diperbaiki agar dapat memberikan manfaat optimal bagi manusia.
Melalui data persebaran lahan kritis, maka akan dapat dipetakan wilayah mana saja
yang perlu diperbaiki atau bisa kita sebut rehabilitasi lahan. Berikut ini adalah
beberapa cara untuk mengatasi dan menanggulangi lahan kritis.
2. Pengembangan Keanekaragaman Hayati
Untuk mengatasi kondisi lahan kritis, dapat diterapkan pola tanam tumpang sari.
Tumpang sari adalah penanaman aneka tanaman secara berdampingan. Hal ini
akan memberi manfaat dan menjaga kandungan unsur hara dalam tanah tetap
terjaga, karena tiap tanaman butuh unsur hara yang berbeda-beda.
3. Reboisasi dan Penghijauan
Upaya rehabilitasi dan penghijauan lahan-lahan kritis juga dapat dilakukan.
Pemilihan tanaman harus dilakukan dengan tepat, yaitu dengan memilih
tanaman yang memiliki akar tunjang kuat dan dalam, membutuhkan sedikit air,
membutuhkan sedikit unsur hara, dan berupa tanaman endemik pada
habitatnya.
4. Pembuatan Sengkedan atau Terasering
Terasering atau sengkedan ialah metode pembentukan tanah menyerupai
tangga. Biasanya cara ini banyak diterapkan di lereng-lereng curam. Pembuatan
tanah seperti tangga ini dapat membantu mengurangi laju air dari atas ke
bawah. Sehingga tanah tidak mudah longsor dan menimbun lampisa tanah
dibawahnya.
5. Pengembalian Fungsi DAS
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan atau area yang dikelilingi oleh
beberapa titik alami yang terletak pada dataran tinggi dimana titik-titik tersebut
berfungsi menjadi wadah penampungan bagi air hujan yang turun di kawasan
tersebut. Pengembalian fungsi aliran sungai merupakan salah satu upaya
memperbaiki area resapan air. Selain itu, manfaatnya adalah untuk
mempertahankan ketersediaan air, menanggulangi banjir, menanggulangi
kekeringan, jalur hijau, menjaga eksosistem sekitar dan sebagainya
6. Reklamasi Pertambangan
Industri pertambangan banyak menghasilkan lahan-lahan kritis. Penambangan
emas, batubara, gas alam dan mineral lain umumnya mengeruk tanah hingga
kedalaman tertentu hingga menemukan mineral yang akan ditambang.
Pengerukan tersebut akan membuat kawasan tanah tersebut rusak bahkan
amblas. Lebih parahnya, setelah hasil tambang yang dicari habis maka lahan
tersebut akan ditinggal begitu saja. Oleh karena itu, perlunya melakukan
upaya reboisasi untuk mengembalikan fungsi lahan tersebut. Upaya pencegahan
juga dapat dilakukan dengan tegasnya pemberian ijin tambang.
9. Enceng Gondok
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kamal et al 2016, luasan hutan
mangrove dari tahun 2009 sampai 2012 pada kedua pulau ini mengalami degradasi
sebesar 23,8 Ha yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan. Degradasi mangrove,
penurunan tutupan karang keras dan penurunan populasi biota laut merupakan indikasi
bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Taman Nasional
Karimunjawa (BTNKJ) perlu meningkatkan kinerjanya dalam rangka konservasi. Upaya
pengelolaan kawasan telah dilakukan, konservasi melalui kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya seperti yang diamanatkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menghadapi berbagai tantangan dalam implementasinya. Masih terdapatnya
permasalahan mengenai perambahan kawasan, pemanfaatan tumbuhan dan satwa
dilindungi, perikanan dan wisata tak ramah lingkungan merupakan indikasi belum
optimalnya implementasi kebijakan konservasi di Taman Nasional Karimunjawa dalam
kegiatan pengawetan dan pemanfaatan lestari.
Lamandau merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Kalimantan Tengah
yang memiliki kawasan hutan dengan kekayaan flora dan fauna khas, dan sistem perairan
yang relative alami. Kabupaten Lamandau adalah salah satu kabupaten di Provinsi
Kalimantan Tengah. Berdasarkan UU nomor 5 Tahun 2002 Kabupaten Lamandau
terbentuk dari hasil pemekaran wilayah kabupaten Kotawaringin Barat, denganIbu kota
kabupaten yang terletak di Nanga Bulik. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.414 km²
dan berpenduduk sebanyak 62.776 jiwa. Letak geografis strategis serta sumber daya alam
berlimpah.
Demikian pula halnya dengan potensi hutan yang menyimpan kekhasan flora seperti
pohon kayu seluang belum, akar kuning, damar, rotan, keruing, anggrek hutan dan masih
banyak lagi. Prof DR H. Ciptadi, MS (2009) Dosen Universitas Negeri Palangka Raya alumni
di ENSCM Universitas Montpellier II-Perancis menyatakan bahwa kawasan hutan
Kalimantan Tengah memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri dibandingkan lahan
lainnya.. “Sumber Daya Alam yang melimpah harusnya dijaga dan dikelola dengan baik.
Ekosistem yang masih tersisa saat ini perlu dipelihara dan dilestarikan agar tidak sampai
punah. Kekayaan alam meliputi flora dan fauna serta biota perairan spesifik yang terdapat
di perairan dan kawasan hutan Lamandau, sudah saatnya untuk lakukan upaya konservasi.
Konservasi sistem perairan dapat dilakukan dengan cara modern, yaitu menggunakan
konsep bioremidiasi. Akan tetapi suku Dayak pada dasarnya memiliki konsep konservasi
sumber daya flora dan fauna serta biota perairan yang memiliki sifat kearifan lokal yang
cukup kuat, yaitu dengan cara Tajahan, Kaleka, Sapan Pahewan dan Pukung Himba. Tujuan
dari penulisan ini artikel ini ingin menguraikan tentang kondisi kekayaan flora dan fauna
serta biota perairan kawasan hutan di Lamandau Propinsi Kalimantan Tengah dan upaya
pelestariannya.
Kerusakan dan degradasi flora dan fauna yang terdapat di kawasan hutan Lamandau
terjadi seiring dengan perambahan hutan sebagai lahan industri, penambangan bahan
alam, dan lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Provinsi
Kalimantan Tengah sangat parah sehingga bisa menimbulkan bencana seperti banjir dan
kebakaran lahan. Derah Aliran Sungai (DAS) Kahayan mengalami kerusakan seluas 4,133
juta hektare, termasuk didalamnya adalah wilayah Lamandau (Muchtar, 2010) "Dampak
dari lahan kritis yang sangat luas tersebut telah menimbulkan masalah banjir dan
kebakaran hutan dan lahan yang selalu mengancam kita tiap tahun. Usaha rehabilitasi
lahan kritis yang telah dilakukan terus menerus melalui berbagai program. Kawasan hutan
telah mengalami deforestasi dan degradasi. Hal ini menimbulkan terjadinya lahan sangat
kritis dan kritis hingga mencapai 5,3 juta hektar.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perbaikan lingkungan tercemar limbah
industri, antara lain secara fisik, kimiawi, dan biologis. Perbaikan lingkungan secara fisik
antara lain dengan teknik pemindahan bahan pencemar yang kemudian dilakukan proses
isolasi. Sedangkan perbaikan secara kimiawi dapat dilakukan dengan cara pertukaran ion
dan reserve osmosis. Tetapi kedua metode tersebut membutuhkan biaya yang relatif mahal
(Suhendrayatna, 2001). Perbaikan lingkungan secara biologis dapat dilakukan dengan:
b) bioremidiasi, yaitu menggunakan bakteri yang dapat secara ideal dalam menghancurkan
limbah dengan biaya lebih murah dan dengan waktu yang relatif lebih singkat.
PENUTUP
Kesimpulan
Lahan Kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik, kimia, dan
biologis atau lahan yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Untuk menilai kritis tidaknya
suatu lahan, dapat dilihat dari kemampuan lahan tersebut. Sedangkan untuk mengetahui
kemampuan suatu lahan dapat dilihat dari besarnya resiko ancaman atau hambatan dalam
pemanfaatan lahan tersebut. Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai
media produksi, baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan maupun yang
tidak dibudidayakan. Lahan kritis dapat berubah menjadi Lahan potensial apabila harus
dijaga dan diberdayakan sebaik mungkin, karena lahan potensial bisa menjadi lahan kritis
apabila penggunaan dan pemanfaatannya tidak tepat guna. Suatu lahan potensial untuk
pertanian dapat dilihat dari ciri-cirinya : yaitu tanahnya subur, memiliki sifat jenis yang
baik dan belum mengalami erosi. Begitu juga suatu lahan kritis untuk pertanian bila
memiliki ciri-ciri tidak subur dan miskin humus. Lahan sebagai suatu "sistem" mempunyai
komponen- komponen yang terorganisir secara spesifik dan perilakunya menuju kepada
sasaran-sasaran tertentu. Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai
sumberdaya dalam hubung- annya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Oleh karena kegiatan yang dilakukan manusia dalam pemanfaatan lahan, baik
untuk area pertanian, pemukiman dan lain-lain, maka lahan dapat dibagi menjadi lahan
yang potensial dan lahan yang kritis
Saran
Dengan penyusunan makalah inis emoga dapat memeberikan dan membantu para
pembaca dalam memahami permasalahan lahan kritis. Didalam penyususnan ini juga
amsih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kami meminta kritik dan saran yang
memebangun guna perbaikan penulisan makalah kedepannya. Kita harus senantiasa ikut
menjaga lingkungan, agar lahan yang digunakan tetap menjadi lahan yang potensial dan
tidak menjadi lahan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
-dan.html
https://rinoitink.blogspot.com/2010/05/lahan-kritis.html
http://blog.unnes.ac.id/warungilmu/2015/11/16/lahan-kritis-lereng-sindoro-sumbing-2/
Damanik, M. R. 2007. Jempana: Mari Bicara REDD. Harian Kompas, Kamis 15 November
2007. Direktorat Jenderal PHPA, 2007. Kebijakan dan arahan Strategis Konservasi Spesies
Nasional 2008 – 2018. DirJen PHPA, Departemen Kehutanan. Heriyanto, N. M., dan E.
Subiandono. 2003. Status kelangkaan jenis pohon di kelompok hutan Sungai Lekawai-
Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat. Buletin Plasma Nutfah Vol. 9 No.2 Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.