170
Dengan demikian, dalam realitas pendidikan di era digital ini, perlu dilakukan
perubahan paradigma pendidikan, bahkan menyangkut pula perubahan pada aspek
metode, media, dan strateginya. Interaksi tatap muka antara pendidik dengan peserta
didik tidak lagi memadai, sehingga dapat diperkaya dengan metode atau strategi lain
yang memanfaatkan multi media pembelajaran, seperti dideskripsikan dalam
pernyataan berikut ini:
Education is moving into the digital age. Pedagogies have changed to engage
the latest digital technologies. The methods of distribution are now a blend between
face-to-face and some other combination of virtual interfaces (Thierstein, 2009).
Dampak perkembangan teknologi baru terhadap proses belajar dari the Net
Generation (Tilaar, 2002) ini antara lain adalah:
1. Interaktif
Budaya interaktif membutuhkan proses belajar mengajar yang berbeda, karena
pembelajar tidak lagi bersifat pasif, melainkan aktif. Pembelajar dapat dengan
leluasa berinteraksi dengan sesama pembelajar maupun pakar, baik secara
langsung maupun menggunakan perangkat internet.
2. Partisipasi
Dalam proses interaksi tersebut, si pembelajar merupakan partisipan,
bukannya objek yang hanya menerima segala sesuatu tanpa kritik.
3. Diskursus
Dalam proses interaktif tersebut, si pembelajar secara aktif mengadakan
diskursus mengenai segala sesuatu yang ditemukannya dalam pengembaraan
di dunia maya.
Dengan adanya perkembangan multi media pembelajaran, bukan berarti
interaksi tatap muka serta merta ditinggalkan begitu saja. Betapapun majunya
pendidikan di suatu masyarakat, interaksi tatap muka secara langsung antara pendidik
dengan peserta didik tetap perlu dilakukan, karena interaksi dalam pembelajaran tak
ubahnya interaksi humanis antar manusia yang melibatkan berbagai nilai karakter
(values). Media apapun tidak dapat menggantikan peran manusiawi tersebut,
171
melainkan hanya sebagai instrumen pengayaan saja. Selain mengajak pembaca untuk
melakukan refleksi kritis akan pentingnya pendidikan karakter bagi generasi muda di
era digital, tulisan ini juga menyajikan deskripsi tentang berbagai tantangan serta
model pendidikan karakter alternatif bagi generasi muda di era global yang sesuai dan
dapat ditawarkan.
172
Tantangan dan Problematika di Masyarakat
1. 2. 3. 4.
Disorientation Distrust Disobedient Disintegration
1. Disorientation
Tidak adanya kejelasan arah dan tujuan dalam berbagai aktivitas kehidupan di
masyarakat, misalnya dalam pembangunan maupun dalam hal penegakan
hukum. Hal ini berimplikasi juga pada generasi muda, sehingga muncul apa
yang dinamakan anomie, di mana tidak ada kejelasan dan kesepakatan
tentang nilai atau norma, sehingga seringkali membuat mereka kebingungan
dalam menentukan tindakannya.
2. Distrust
Semakin terkikisnya rasa saling percaya di antara anggota masyarakat,
termasuk antar generasi. Kini, kepercayaan yang sesungguhnya merupakan
modal sosial (social capital) milik bangsa Indonesia, seolah-olah kian
tercabik-cabik. Lunturnya rasa saling percaya menimbulkan prasangka negatif
(prejudice) kepada pihak lain.
3. Disobedient
Tidak adanya kepatuhan dalam masyarakat dapat berimplikasi pada terjadinya
pembangkangan oleh sekelompok massa terhadap kelompok lainnya, maupun
oleh massa terhadap aparat negara. Jika kasus-kasus tersebut tidak
diselesaikan secara tuntas, virus ini juga dapat menjangkiti generasi muda.
173
4. Disintegration
Jika beberapa problem sebelumnya tidak segera diatasi dan diselesaikan,
dapat terjadi perpecahan/disintegrasi bangsa yang mengakibatkan kegoyahan
dalam kehidupan suatu sistem sosial.
Perubahan pesat yang dialami oleh bangsa Indonesia berakibat pada semakin
kompleksnya masalah yang dihadapi, terutama jika dilihat dalam hubungannya
dengan transmisi nilai-nilai (Sairin, 2003). Lebih lanjut disebutkan bahwa pendidikan
nilai hanya akan berhasil jika peserta didik memiliki disposisi batin yang benar,
antara lain: sikap terbuka dan percaya, jujur, rendah hati, bertanggung jawab, berniat
baik, setia/taat melaksanakan nilai, serta budi luhur. Nilai-nilai tersebut tentunya tidak
hadir begitu saja, juga tidak akan efektif jika disampaikan melalui pemaksaan
(indoctrination). Dengan demikian, perlu dipikirkan tentang pendekatan, model, dan
strategi yang tepat untuk diterapkan dalam pendidikan karakter bagi generasi muda di
era digital.
174
Academic Achievement in the Digital Era (Burkhardt, 2003)
Digital-Age Literal literaAcadmic Achvementcy and global e sic,
scientific, economic, and hnological
175
e. Visual Literacy
Kemampuan untuk menafsirkan, menggunakan, menghargai, dan
membuat gambar dan video dengan media konvensional dan maupun
media abad 21 dengan cara berpikir yang maju untuk komunikasi,
pengambilan keputusan, dan pembelajaran.
f. Information Literacy
Kemampuan untuk mengevaluasi informasi di berbagai media,
mengenali kapan informasi dibutuhkan, mencari, mensintesis, dan
menggunakan informasi secara efektif, serta menggunakan teknologi,
jaringan komunikasi, dan sumber daya elektronik.
g. Multicultural Literacy
Kemampuan untuk memahami dan menghargai persamaan dan
perbedaan dalam hal kebiasaan, nilai-nilai, dan keyakinan budaya
sendiri maupun budaya orang lain.
h. Global Awareness
Pengakuan dan pemahaman tentang keterkaitan antara organisasi-
organisasi internasional, negara-bangsa, entitas ekonomi publik dan
swasta, kelompok sosial budaya, dan individu di seluruh dunia.
2. Inventive Thinking
a. Adaptability and managing complexity (kemampuan beradaptasi dan
mengelola kompleksitas)
b. Self-direction (pengarahan diri)
c. Curiosity, creativity, and risk taking (rasa ingin tahu, kreativitas, dan
keberanian mengambil resiko)
d. Higher-order thinking and sound reasoning (pemikiran dan penalaran
yang tinggi)
3. Effective Communication
a. Teaming, collaboration, and interpersonal skills (bekerja kelompok,
kolaborasi, dan keterampilan interpersonal)
176
b. Personal, social, and civic responsibility (tanggung jawab personal,
sosial, dan kemasyarakatan)
c. Interactive communication (komunikasi interaktif)
4. High Productivity
a. Prioritizing, planning, and managing for results (kemampuan
menentukan prioritas, perencanaan, dan pengelolaan hasil)
b. Effective use of real-world tools (penggunaan peralatan secara efektif )
c. Ability to produce relevant, high-quality products (kemampuan untuk
menghasilkan produk berkualitas tinggi)
Berbagai keterampilan tersebut perlu dimiliki oleh setiap generasi yang hidup
di era digital, sehingga mereka memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan
kehidupan di abad 21. Selain berbagai keterampilan di atas, kiranya perlu ditanamkan
juga tentang kemampuan yang perlu dimiliki oleh calon pemimpin di masa
mendatang, seperti yang disampaikan oleh Howard Gardner (2008):
Future outlines the specific cognitive abilities that will be sought and
cultivated by leaders in the years ahead.
Ada sejumlah kemampuan kognitif spesifik di masa depan yang perlu dimiliki
dan dikuasai oleh para pemimpin di tahun-tahun mendatangantara lain:
1. The Disciplinary Mind
The mastery of major schools of thought, including science, mathematics, and
history, and ofat least one professional craft (penguasaan terhadap disiplin
keilmuan yang menjadi fokus kajian).
2. The Synthesizing Mind
The ability to integrate ideas from different disciplines or spheres into a
coherent whole and to communicate that integration to others (kemampuan
untuk mengintegrasikan berbagai ide dari disiplin ilmu yang berbeda).
3. The Creating Mind
The capacity to uncover and clarify new problems, questions and phenomena
(kemampuan kreatif untuk menemukan dan menjelaskan fenomena baru).
177
4. The Respectful Mind
Awareness of and appreciation for differences among human beings and
human groups (kesadaran dan apresiasi terhadap keragaman dalam kehidupan
bermasyarakat).
5. The Ethical Mind
Fulfillment of one's responsibilities as a worker and as a citizen (memenuhi
tanggungjawab sebagai warganegara)
Seperti diungkapkan oleh Noeng Muhadjir (2000), pada era perubahan sosial
yang sangat cepat, sikap dan upaya aktif manusia untuk memantau dan
mengantisipasi langkah ke depan melalui rekayasa sosial menjadi agenda yang
penting. Pribadi yang mengetahui keadaan dan kondisi sosial akan dapat melahirkan
ide-ide inovatif. Dengan demikian, fungsi pendidikan dalam menghadapi perubahan
sosial di era digital harus diubah dari reaktif menuju proaktif bahkan antisipatif.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Reaktif
Tindakan yang terjadi setelah adanya aksi.
2. Proaktif
Memperkirakan perkembangan ke depan atas situasi dan kondisi serta
permasalahan yang ada.
3. Antisipatif
Mengkondisikan situasi, kondisi, dan faktor menjadi lebih ideal.
Metode indoktrinasi tidak lagi memadai untuk diterapkan di era digital kini,
karena generasi muda merupakan subjek yang memiliki partisipasi dalam segala
aktivitas kehidupannya. Model alternatif pendidikan karakter di era digital perlu
diretas. Pendidikan karakter di era digital perlu dikembangkan lebih efektif melalui
modifikasi multi pendekatan, multi metode, strategi, dan multi media berikut ini:
1. Modelling (keteladanan)
2. Habituating (pembiasaan)
3. Live in and experiencing (pengalaman)
178
4. Problem solving (hadap masalah dan pemecahannya)
5. Values clarification (klarifikasi nilai)
6. Reflective thinking (pemikiran reflektif)
7. Critical thinking (berpikir kritis)
8. Creative thinking (berpikir kreatif)
9. Interaksi dialogis dan keterbukaan antar generasi
10. Anticipating melalui tindakan prevensi
11. Empowering, anticipating dan emansipatoris (ada keterlibatan generasi muda
sebagai subjek dalam berbagai aktivitas kehidupan di masyarakat)
Berbagai alternatif model di atas dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.
Di era digital ini, lebih tepat jika orang tua memposisikan generasi muda sebagai
partner dialog (bukan subordinat), sebagai subjek (bukan objek), yang proaktif
(bukannya pasif), sehingga generasi muda memiliki peran partisipatif dan
emansipatoris (ada keterlibatan sebagai subjek). Namun demikian, orang tua juga
perlu senantiasa meng-update dan mengakselerasi diri dengan berbagai pengetahuan
dan keterampilan teknis yang terkait dengan teknologi informasi di era digital. Jangan
sampai orang tua justru gagap teknologi dan ketinggalan informasi, sehingga mereka
justru kehilangan “power” dan “wibawa” dalam berinteraksi dengan generasi muda.
Merupakan prediksi yang memilukan jika orang tua hanya akan menjadi pendatang,
bahkan orang asing dalam kehidupan dunia digital anak-anak mereka (generasi
muda).
e. Rangkuman
Model alternatif pendidikan karakter di era digital perlu diretas melalui
perubahan dan modifikasi multi pendekatan, metode, strategi, dan media. Generasi
tua dan generasi muda perlu senantiasa membuka kran keterbukaan, sehingga tercipta
intimasi dan saling memahami, bukannya saling mengalienasi. Jangan sampai
generasi tua menjadi tamu asing bagi generasi muda yang hidup di era digital ini.
179
f. Daftar Pustaka
Brym, Robert J. and Lie, John. 2007. Sociology: Your Compass for a New World.
USA: Thomson Wadsworth.
Burkhardt, Gina, et all. 2003. enGauge 21st Century Skills: Literacy in the Digital
Era. The North Central Regional Educational Laboratory and the Metiri
Group.
Darmiyati Zuchdi (Ed.). 2011. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan
Praktek. Yogyakarta: UNY Press.
Held, David. 2004. Demokrasi dan Tatanan Global: dari Negara Modern hingga
Pemerintahan Kosmopolitan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Howard Gardner. 2008. Five Minds for the Future. USA: Harvard Business School
Press http://www.howardgardner.com/books/books.html
Machfud MD. 2012. Keynote Speech pada Kongres Pancasila IV. Diselenggarakan
oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada tanggal 31 Mei – 1 Juni di Balai Senat
UGM.
Noeng Muhadjir. 2000. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan
Pelaku Sosial Kreatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
180
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Berlari Mencari “Tuhan-Tuhan” Digital.
Jakarta: Grasindo.
Sjafri Sairin. 2003. Kultur Sekolah dalam Era Multikultural. Makalaah Seminar
Peningkatan Kualitas Pendidikan Melalui Pengembangan KUltur Sekolah,
Pascasarjana, UNY, 12 Juni.
181