Anda di halaman 1dari 6

BAB II

KAPITALISME, MANAJEMEN KLASIK DAN THE SCINTIFIC MANAGEMENT


THEORY

Ada yang mengatakan bahwa kata “Organisasi” berasal dari Bahasa Yunani Organon yang
berarti sebuah alat atau instrument. Organisasi diciptakan tidak sekedar untuk ada tapi
merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak mengherankan tujuan (goal atau
objective) merupakan hal yang wajar dalam kegiatan organisasi. Sejalan dengan terjadinya
Revolusi Industri di Inggris, di daratan Eropa dan Amerika Utara, fungsi dan kegiatan yang
ada di dalam organisasi disesuaikan dengan kebutuhan mesin yang diadopsi atau digunakan
dalam organisasi tersebut. Ini menyebabkan organisasi menjadi mekanis.

Sebelum penemuan mesin-mesin, yang diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt
“perusahaan” tidak lain adalah kelompok kerja dalam keluarga yang bersifat self-employed.
Orang-orang tersebut bekerja sebagai pengrajin (craft people) dengan ketrampilan tinggi untuk
menciptakan sesuatu yang kemudian dipertukarkan di pasar. Setelah ada revolusi industry para
skilled artisans ini meninggalkan otonomoni untuk bekerja di rumah sendiri atau workshop
dan melakukan unskilled job dalam setting pabrik. Para pemilik pabrik (lebih tepat disebut
“kapitalis” atau pemilik modal) dan para insinyur mereka yang menyadari perlunya mesin-
mesin bekerja secara efisien kemudian mewajibkan perubahan desain dan pengawasan kerja.
Spesialisasi dan pembagian kerja (division of labor) merupakan inovasi Teknik pada masa itu.
Ini bisa dilihat dari “kisah pabri jarum” yang ditulis oleh Adam Smith di bukunya The Wealth
of Nations (1776). Sejak saat itu kehidupan organisasi cenderung menjadi birokratis dan rutin.

Mengibaratkan organisasi sebagai sebuah mesin dan menerapkan sistem kerja yang mekanistis
tampaknya merupakan solusi bagi para pengusaha yang sedang berusaha menemukan bentuk
organisasi yang cocok untuk teknologi mesinnya. Kontribusi teoirtis diberikan oleh Max
Weber, seorang sosiolog Jerman, yang melihat keterkaitan antara mekanisme industry dan
sistem birokrasi di dalam organisasi. Weber melihat bahwa tata kerja birokrasi merutinkan
proses administrasi sama halnya dengan mesin merutinkan proses produksi. Weber
mendefinisikan birokrasi sebagai bentuk organisasi yang menekankan presisi, kecepatan,
kejelasan, regularitas, keandalan, dan efisiensi yang semua itu dicapai melalui penciptaan
pembagian kerja yang tetap, supervise bertingkat (hirarkis), dan aturan kerja yang detail.
Kendati demikian sebagai sosiolog Weber tertarik untuk mengetahui konsekwensi sistem kerja
birokrasi tersebut. Weber kuatir bahwa rutunisasi sistem brokrasi jika merambah ke dalam
kehidupan manusia akan mengikis jiwa manusia (human spirit) dan mengurangi kemampuan
berpikir dan bertindak secara spontan. Lebih tegas lagi : jati diri manusia akan hilang-bekerja
dengan tanpa penjiwaan!

Prinsip-prinsip Manajemen Klasik

Selain sosiolog seperti Weber, beberapa pakar manajemen memberikan kontribusi pemikiran-
pemikiran yang kemudian dikenal sebagai “Manajemen Klasik”dan “Manajemen Ilmiah”
(scientific management). Berbeda dengan weber yang dalam konteks ini masih memiliki
skeptisme terhadap birokrasi, para pakar manajemen tersebut sangat percaya terhadap
birokrasi. Mereka berusaha keras agar tipe organisasi birokrasi dan mekanistis bisa direalisasi.
Perbedaan antara manajemen klasik dan manejemen ilmiah adalah sebagai berikut :
Manajemen klasik memusatkan pada desain orgainisasi secara keseluruhan sedangkan
manajemen ilmiah menekankan pada pengelolaan pekerjaan secara individual.
Tokoh-tokoh manajemen klasik meliputi Henry Fayol (Perancis), F.W. Moony (Amerika
Serikat), dan Lyndall Urwick (Inggris). Para tokoh ini mencoba mengkodifokasi praktek
manajemen mekanistis yang telah terbukti berhasil dan mencoba menyebarluaskan
pengetahuan tersebut untuk diikut oleh para kolega di kalangan manajer. Beberapa metode
yang terkait dengan perencanaan rasional seperti management by objectives (MBO) dan
Planning-Programming-Budgeting system (PPBS), adalah merupakan sumbangan pemikiran
mereka.

Bila diperhatikan lebih mendalam pemikiran manajemen klasik sebagian juga menyerupai
prinsip-prinsip yang terdapat di bidang militer. Jika prinsip-prinsip manajemen yang mereka
ajarkan kita terapkan maka hasilnya adalah sebuah organisasi yang memilliki pembagian kerja
yang rinci, diatur secara hirarkis, dan komunikasi serta otoritas diatur secara tegas. Adapun
prinsip-prinsip manajemen yang disarankan oleh mereka adalah sebagai berikut :
1. Satuan komando (unity of command) : seorang karyawan hanya menerima perintah dari
seorang atasan.
2. Scalar Chain : garis otoritas mengalir dari atasan ke bawahan dan bersifat top-down. Jalur
ini harus digunakan sebagai jalur komunikasi.
3. Rentang kendali (span of control) : jumlah orang yang melapor pada seorang supervisor
(atasan) tidak boleh terlalu banyak, melainkan perlu dibatasi, agar tidak menimbulkan
masalah komunikasi dan koordinasi.
4. Staff and line : personil staff dapat memberikan bantuan yang berharga tetapi tidak boleh
melanggar garis otoritas.
5. Division of work : manajemen harus berusaha menjalankan spesialisasi yang dirancang
untuk mencapai tujuan perusahaan secara efisian.
6. Sentralisasi otoritas : Sampai level tertentu sentralisasi otoritas perlu ada dan tingkatannya
bervariasi untuk mengoptimalkan pemanfaatan personil.
7. Disiplin : ketaatan, enerji, dan perilaku baik harus selalu dijalankan sesuai aturan yang
telah ditetapkan.
8. Esorit de Corp : Semangat kebersamaan untuk membangun kekuatan dan harmoni.

Prinsip-prinsip di atas menunjukkan adanya keyakinan bahwa organisasi harus menjalankan


sistem yang rasional dan adanya mekanisme yang paling efisien untuk mengelola organisasi.
Para tokoh manajemen bukannya tidak menyadari bahwa akan muncul problem teknis dalam
membentuk organisasi seperti itu. Mereka percaya bahwa masalah teknis bisa diatasi dengan
pelatihan yang tepat dikalangan karyawan. Prinsipnya adalah bahwa karyawan harus bisa
disesuaikan dengan cara kerja mekanistis.

Manajemen Ilmiah (Scientific Management)

Tidak bisa disangkal bahwa pelopor manajemen ilmiah adalah Frederick W. Taylor (1856-
1915) seorang insinyur Amerika Serikat yang juga sering dijuluki “The Enemy of Working
Man” karena ajarannya dianggap menindas para buruh. Julukan lain yang sering diberikan
kepada F.W. Taylor adalah “speedy” karena dia penganjur utama prinsip efisiensi, kecepatan,
dan ketepatan waktu di tempat kerja.

Pemikiran Taylor mula-mula ditulis dalam papernya yang berjudul A Piece-Rate System
(1895). Dalam paper tersebut Taylor mengajukan penghapusan pada pekerja “prajurit” dan
pemalas. Disebut tenaga kerja “prajurit” kerana tenaga kerja prajurit ini dianggap sebagai
tenaga kerja yang mampu memanfaatkan kelemahan manajemen dengan melambatkan waktu
mereka dalam memproduksi suatu barang, sehingga manajemen sulit untuk mengukur
kemampuan kerja per orang. Para manager harus :
• Mengendalikan tempat kerja seperti telah dilakukan di Midvale Steel Works (sebuah
pabrik baja) setalah tahun 1878, dengan menggunakan hasil studi gerak dan waktu (time
and motion studies),
• Membayar para pekerja berdasarkan hasil kerjanya (Borongan) bukan berdasarkan jam,
• Menemukan cara terbaik untuk bekerja, mengkoordinis supplies dan perkakas dari
kantor pusat untuk rasionalisasi pabrik

Pada tahun 1898 – 1901 Frederick W. Taylor menerangkan sistemnya pada Betlehem Steel. Di
perusahaan tersebut Taylor melakukan studi sederhana tentang pekerjaan untuk membuat besi
cor (pig iron) dan harus memilih pekerja yang sesuai untuk pekerjaan mengangkat 92 lb
(pound) batang besi. Studi ini menghasilkan jumlah pekerja yang lebih sedikit dengan sistem
bekerja yang lebih efisien sehingga berhasil menurunkan upah 60% dari upah sebelum
diterapkan. Kemampuan para pekerja di betlehem steel ini untuk menyelesaikan suatu produk
diukur oleh Taylor menggunakan stopwatch. Dengan demikian Taylor dapat mengetahui waktu
yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu produk dan upah yang harus diberikan terhadap
tenaga kerja yang mengerjakan produk tersebut yang memunculkan tarif per potong bukan tarif
per jam, dan hal ini membuat perusahaan tersebut bekerja menjadi lebih efisien.

Tahun 1906, Freederik W. Taylor mendapat penghargaan dari ASME (Amerikan Management
Association) atas penemuannya untuk “high speed steel” dan kontribusinya untuk
pengembangan profesi engineering yang diwakili oleh American Society of Mechanical
Engineers. Pokok pikiran Taylor dimuat dalam dua bukunya : Principles of Management
(1911) dan Taylor Society (1912).

Taylor dikeluarkan dari perguruan tinggi karena Kesehatan dan penglihatan yang tidak baik. Ia
adalah seorang perfeksionis, selalu mencari jalan yang terbaik. Istilah yang pada jaman itu
untuk para pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan menetapkan hari adil bekerja (no rate
s-bushing). Terlapas dari kontroversi atas ide-idenya, Taylor telah membuktikan bahwa
penerapan atas pemikirannya telah mampu meningkatkan produktifitas Betlehem Steel 200 %
dengan meningkatkan 50% gaji.
Pokok Pikiran Taylorisme
Taylorisme adalah nama yang poluler untuk gagasan, F.W. Taylor dan kini bersinonim dengan
sebutan “efficiency expert”. Inilah lima prinsip dasar Taylorisme :
1. Geser tanggung jawab keorganisasian dari pekerja ke manajer. Manajer adalah pihak
yang harus memikirkan perencanaan dan perancangan kerja.
2. Gunakan metode ilmiah (scientific method) untuk menentukan cara yang paling efisien
untuk melakukan suatu pekerjaan (misalnya dengan memakai Teknik time and motion
study). Kemudian rancanglah pekerjaan untuk tiap pekerja dengan menetapkan secara
jelas dan detail mengenai pekerjaan apa saja yang perlu dilakukan.
3. Pilih orang yang tepat untuk melakukan pekerjaan yang baru saja dirancang tersebut
4. Latihlah karyawan tersebut untuk melakukan pekerjaannya secara efisien.
5. Lakukan monitoring terhadap kinerja karyawan karyawan untuk menjamin prosedur
kerja yang telah ditetapkan benar-benar dijalankan dan tujuan yang dikehendaki
dicapai.
Penggunaan Teknik tersebut di atas ditujukan untuk mempersingkat waktu pengerjaan dengan
memaksa para pekerja menghilangkan “waktu yang tidak produktif”. Itu merupakan sebuah
waktu dan gerak yang telah banyak dilakukan untuk menemukan cara terbaik dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan dibandingkan dengan “rule of thumb”. Perlu juga dikemukakan
di sini bahwa Teknik taylorisme tidak hanya diterapkan di pabrik (production floor), tapi juga
di bagian administrasi (office work) dengan cara memecah rangkaian pekerjaan (integrated
tasks) menjadi komponen-komponen yang spesifik (specialized components) untuk dikerjakan
oleh masing-masing ahlinya.

Dampak Positif dan Negatif

Pengaruh birokrasi, manajemen klasik, dan manajemen ilmiah di tempat kerja sangat luar biasa
: produktivitas meningkat beberapa kali, biaya tenaga kerja dapat ditekan , dan kecepatan
penyelesaian tugas ditingkatkan. Dalam beberapa kasus craft people bisa diganti dengan
unskilled workers untuk melakukan tugas sederhana yang rutin (berulang-ulang). Namun
begitu manajemen ilmiah juga menyebabkan masalah kemanusiaan. Misalnya Ketika Henry
Ford menetapkan sistem assembly line dalam produksi Model T, perputaran karyawan
meningkat menjadi 380 persen per tahun. Keadaan tersebut baru bisa diperbaiki setelah Henry
Ford melipatkan gaji dalam programnya yang dikenal sebagai “$5 a day”.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai dampak penerapan prinsip-prinsip “one-best way
approach” untuk mengelola karyawan secara ilmiah, buruh turun derajatnya menjadi elemen
dari mesin pabrik saja. Cara kerja mekanistis dan spesialisasi yang luar biasa menyebabkan
buruh mengalami alienasi. Tidak mengherankan bahwa pemogokan, boikot, dan demonstrasi
buruh menjadi semakin meningkat pada sekitar tahun 1950 – 1960an. Kritik bertubi-tubi
datatang terutama dari pemikir-pemikir kritis aliran Marxisme. Bahkan kritik dan gambaran
tentang dampak negative tidak hanya muncul di kalangan akademisi tapi juga di dunia fim.
Misalnya, Charlie Chaplin pernah membintangi Film berjudul “the machine man” yang tidak
lain berisi sindiran terhadap cara kerja dunia Taylorisme. Tidak mengherankan jika pemikiran
manajemen dengan menekankan aspek manusia (human-side, seperti aspek psikologis dan
budaya) pun kemudian bermunculan untuk membantu memperbaiki sistem kerja (lihat tulisan-
tulisan Chris Argyris, Federick Herzberg, dan Douglas McGregor). Salah satu penerapan
“modified approach” dengan menekankan aspek manusia yang terkenal adalah sistem yang
diterapkan di Pabrik Mobil Volvo di Swedia yang terkenal dengan semboyan anti
spesialisasinya : While Ford it We end it.

Hal yang cukup menarik untuk diamati juga adalah kenyataan bahwa sebenarnya sistem
birokrasi dan manajemen ilmiah ini mula-mula dibangun untuk kepentingan para kapitalis di
era Revolusi Industri tapi saat ini justru pabrik-pabrik (dan birokrasi pemerintahan) di negara
komunis (dan mantan komunis) banyak mengadopsinya. Sistem birokrasi diterapkan tidah
hanya di negara seperti Singapura dan Amerika Serikat, tapi juga USSR (sekarang rusia) dan
Kuba. Ada yang bagus ada pula yang tidak bagus. Di negara-neaga yang gagal menerapkan
prinsip birokrasi yang sehat layanan pemerintah terhadap masyarakat sangat buruk. Bukan
tidak mungkin bahwa kehancuran negara Uni Sovyet (USSR) pada tahun 1980an juga karena
kebobrokan birokrasi mereka di mana produktivitas pegawai negeri sangat rendah dan
pemerintah menjadi kurang kreatif untuk meningkatkan pendapatannya demi kemakmuran
masyarakat. Problem ini telah menyebabkan pemberontakan dan desakan demokratisasi dari
rakyat beberapa negara yang sebetulnya sudah “diramalkan” oleh Alvin Toffler dalam bukunya
Power Shift (1990).
Dalam skala yang lebih kecil kegagalan birokrasi di negara-negara Barat, seperti di Amerika
Serikat sendiri, direspon dengan melahirkan pemikiran-pemikiran untuk pembaruan tata-
layanan publik pemerintah lokal. David Osborne (dan Peter Plastrik) baik dalam bukunya
Reinventing Government ataupun Banishing Bureaucracy : The Five Strategies For
Reinventing Government mencoba mengintrodusir konsep-konsep kewirausahaan
(entrepreneurship) dalam pemerintahan. Mereka menjelaskan bahwa jika pemerintah (lokal)
ingin berhasil dalam mengadopsi sifat wirausaha di dalam pemerintahan, maka pemerintah
harus berubah gen (DNA)-nya. Tentu saja ini bisa berarti menghapus model birokrasinya juga.

Uraian di atas menggambarkan peralihan status birokrasi dari yang dipuji menjadi yang dimaki.
Birokrasi diindetikan dari sesuatu yang “efisien” menjadi sesuatu yang “lamban” dalam
merespon perubahan serta kerumitan administrasi. Ini hal yang wajar karena penerapan sistem
birokrasi yang ketat membutuhkan aturan-aturan formal yang banyak dan hal ini cenderung
mendorong terjadi over bureaucracy. Yang lebih parah adalah bahwa sistem birokrasi di
administrasi perusahaan konon dituduh menjadi tempat bersembunyinya para staf yang
mengalami moral hazard. Kehancuran Enron, WordCom, dan BeringBank merupakan contoh
nyata mengenai hal tersebut.

Sumbangan Taylor pada Teori Organisasi

Prinsip-prinsip manajemen ilmiah diciptakan oleh Taylor berdasarkan hasil riset terapan dari
kegiatan jasa konsultan manajemen yang dilakukannya dibeberapa pabrik. Keberhasilan
manajemen ilmiah dalam meningkatkan produktivitas buruh timbul dari adanya pengawasan
yang ketat agar spesialisasi dan pola mekanistik dapat berjalan dengan baik. Ini mirip dengan
sistem kerja paksa atau perbudakan. Fakta bahwa saat ini prinsip kerja mekanistis dan sistem
birokrasi justru dikecam karena menghasilkan pola kerja yang lamban perlu mendapat
perhatian. Mungkinkah perbaikan dalam sistem pengupahan dapat mengurangi hambatan yang
muncul dalam menerapkan Taylorisme?

Meskipun Taylorisme dituding membawa banyak masalah, tidak sedikit alat yang digunakan
dan rekomendasi yang diberikan oleh para konsultan manajemen sampai hari ini, jika
ditelusuri, tidak lain adalah pengeja-wantahan Taylorisme. Lihat misalnya standarisasi di
restoran cepat saji seperti restoran McDonald atua KFC serta standarisasi sistem kerja dengan
ban berjalan yang digunakan sampai saat ini untuk mengefisiensikan proses produksi. Adanya
computer dan alat-alat lain, termasuk alat sidik jari untuk absen karyawan, justru mempertegas
pentingnya standarisasi. Hal penting lain yang merupakan tinggalan Taylor adalah bahwa
setelah kemunculan tulisan Taylor manajemen tidak bisa lain semata-mata mengandalkan
pendapat subyektif. Manajemen semakin sadar perlunya pertimbangan ilmiah dan kajian yang
obyektif untuk mendukung pembuatan keputusan didalam organisasi.

Namun demikian memang diakui bahwa dampak penerapan manajemen ilmiah serta perubahan
atas respon terhadap manajemen justru membutuhkan penjelasan teoritis. Dari sisi ilmu
psikologi ada teori motivasi yang bisa menjelaskan mengapa seseorang meningkatkan upaya
(effort) sehingga kinerjanya meningkat. Walau di sisi lain tampaknya prinsip-prinsip
manajemen ilmiah, seperti misalnya pengawasan yang ketat bahkan penggeseran otoritas ke
atasan, justru akan menurunkan motivasi . Inilah yang mungkin menjelaskan mengapa
kemudian muncul penentangan terhadap Taylorisme. Secara teoritis ada factor pemoderasi
yang perlu dimasukkan dalam penjelasan untuk bisa membuat prinsip-prinsip manajemen
ilmiah berdampak positif terhadap kinerja karyawan.

Anda mungkin juga menyukai