PENDAHULUAN
1
laten akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan berupa kejadian nyaris
cedera (KNC), KTD, atau bahkan kejadian yang menyebabkan kematian
atau cedera serius (sentinel). Berhenti sampai tahap melaporkan saja tentu
tidak akan meningkatkan mutu dan keselamatan pasien, yang lebih
penting adalah bagaimana melakukan suatu pembelajaran dari kesalahan
tersebut sehingga dapat diambil solusi agar kejadian yang sama tidak
terulang kembali.(Iskandar, Maksum & Nafisa 2014).
Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah jantung dari mutu
layanan, yang merupakan bagian penting dalam proses belajar dan
pembenahan ke dalam, peremajaan, revisi dari kebijakan, termasuk standar
prosedur operasional (SPO) dan panduan yang ada. Pelaporan insiden
mendorong pentingnya kajian faktor penyebab rendahnya pelaporan
insiden keselamatan pasien.
Laporan insiden pasien meninggal karena kesalahan pemberian
obat di Rumah Sakit Amerika Serikat terdapat sekitar 44.000 sampai
98.000 pertahun. (Gorbach, 2015). Negara India melaporkan ada sebanyak
5,2 juta kejadian yang terkait dengan kesalahan pemberian obat setiap
tahunnya, di Amerika dilaporkan sebanyak 7000 kematian per tahun di
rumah sakit disebabkan oleh kesalahan pemberian obat (Patel et. al.,
2018). Laporan kejadian kesalahan dalam pemberian obat di Indonesia
belum ada pendataan yang sistematis, sistem pelaporan dan pencegahan
yang terdokumentasi belum banyak dilaksanakan, (Nainggolan, 2003;
Purba, 2007). Ahli farmakologi dari FKUI menyatakan bahwa kasus
pemberian obat yang tidak benar maupun tindakan medis yang berlebihan
(tidak perlu dilakukan tetapi dilakukan) sering terjadi di Indonesia, hanya
saja tidak terekspos media massa. ( Kuntari,2005). Pelaporan kejadian
keselamatan pasien di Indonesia yang masuk ke Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) tahun 2011 sampai 2013 adalah tahun 2011
sebanyak 19 laporan, tahun 2012 sebanyak 41 laporan, dan tahun 2013
hanya ditemukan 3 laporan. Data tersebut menunjukkan masih sangat
rendahnya persentase pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah
2
sakit yang hanya sekitar <1% laporan bila dibandingkan dengan teori yaitu
10% (Iskandar, Maksum & Nafisa, 2014).
Pelaporan insiden keselamatan pasien termasuk kejadian
medication error tak lepas dari peran supervisi kepala ruangan, pengawas
keperawatan, ketua tim, penangung jawab shift, kepala seksi, kepala
bidang, serta wakil direktur keperawatan. Dengan adanya supervisi
keperawatan diharapkan pelayanan keperawatan yang diberikan tetap
terjaga kualitasnya. Hal ini didukung penelitian Nugroho & Sujianto.
(2017), dengan hasil menggunakan Mann-Whitney menunjukkan ada
pengaruh supervisi kepala ruang model Proctor terhadap pelaksanaan
keselamatan pasien (p= 0,000). Hasil penelitian Varmeulen., Kleefstra.,
Zijp., & Kool (2017), mengatakan bahwa supervise berkontribusi pada
peningkatan tindakan yang diarahkan untuk mengurangi kejadian
medication error. Semakin banyak kejadian insiden medication error yang
dilaporkan tidak selalu merupakan tanda peningkatan resiko, tetapi juga
dianggap sebagai tanda budaya yang lebih aman. Hasil penelitian lainnya
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara supervisi dengan
pelaksanaan keselamatan pasien (Nur, 2013; Rumampuk, 2013).
RS X Jawa Barat adalah rumah sakit yang berada di kawasan
Industri Cikarang. Visi RS X Jawa Barat adalah International quality,
Reach, Scale dan Godly compassion dengan misinya; “the trusted
destination of choice for holistic world class healthcare, health education
and research”. Nilai-nilai yang dianut dalam perusahaan adalah “love,
caring, integrity, honesty, empathy, compassion, professionalism”.
Sebagai rumah sakit umum, RS X Jawa Barat bertanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesehatan melalui peningkatan mutu pelayanan.
RS Group sejak tahun 2007 sampai sekarang sudah mulai menerapkan
standar keselamatan pasien dimulai dari RS X Tangerang oleh Joint
Commission International (JCI). RS group termasuk RS X Jawa Barat
mulai mensosialisasikan penerapan budaya keselamatan pasien dan
membangun budaya melaporkan insiden keselamatan pasien yang
ditemukan. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak ditemukan insiden
3
keselamatan pasien termasuk kejadian medication error yang tidak
dilaporkan.
Pelaporan kejadian medication error di rumah sakit X Jawa Barat
dilaporkan melalui on line yang disebut q pulse. Penggunaan system
pelaporan on line (q pulse) sudah dilakukan di rumah sakit X jawa Barat
sejak tahun 2015. Sebelum menerapakan system ini setiap karyawan telah
diajarkan cara pengisian dan penggunaan q pulse. Begitu juga dengan
karyawan baru materi training pelaporan insiden telah dimasukkan ke
dalam program orientasi karyawan baru.
Data insiden keselamatan pasien terkait medication error di RS X
Jawa Barat sejak dilakukan campaion no Blame Culture 2017 sampai
sekarang pelaporan insiden semakin menurun, namun hal ini tidak sesuai
dengan kenyataan dilapangan.
Laporan kejadian kesalahan pemberian obat dari tahun 2017 sampai
September 2019 dapat dilihat pada table 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Laporan kejadian medication error
No Ketidak sesuaian Pengobatan Tahun
( Kejadian Medication Error) 2017 2018 Januari –
September
2019
1 Salah Paresepan (10A)
27 25 4
2 Omission Error (10B) 187 95 29
4
11 Compliance Error (10K) 45 1 0
Sumber data: Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan
online.
Tabel 1.2. Total Laporan kejadian medication error
Tahun Jumlah pelaporan medication error
2017 1427 pelaporan medication error
2018 595 pelaporan medication error
2019 (Januari – 343 pelaporan medication error
September)
Sumber data: Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan
online.
Angka pelaporan kejadian medication error tersebut masih cukup
rendah jika dibandingkan dengan hasil wawancara dengan kepala ruangan
dan perawat senior di RS X Jawa Barat yang mengatakan masih banyak
perawat yang belum melaporkan kejadian kesalahan medication error
karena takut mendapatkan teguran dan sangsi dari pihak rumah sakit.
Pernyataan tersebut sesuai penelitian yang menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab perawat tidak melaporkan IKP yaitu karena takut
mendapatkan konsekuensi yang berupa sangsi oleh pihak rumah sakit
(Gunawan, Widodo, Harijanto, 2015). Menurut Head of Nursing rumah
sakit X di Jawa Barat, berbagai upaya telah dilakukan mulai dari training
pentingnya pelaporan insiden oleh team Quality rumah sakit, sosialisasi
no blame culture, memberikan reward dan punishment. Namun semua hal
tersebut diatas ternyata belum bisa memberikan dampak perubahan yang
signifikan terhadap pelaporan setiap kejadian medication error .
Berdasarkan fenomena diatas, diduga bahwa pelaporan kejadian
medication error belum dilakukan secara maksimal, maka saya tertarik
melakukan penelitian tentang pengaruh supervise kepala ruangan,
5
pengawas keperawatan, ketua tim, dan penanggung jawab shift terhadap
kepatuhan pelaporan kejadian medication error di RS X Jawa Barat.
6
penangung jawab shift terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah Sakit X Jawa Barat.
7
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak dalam
pengembangan kualitas praktik keperawatan
1.5.1 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak
manajemen rumah sakit X di Jawa Barat, khususnya bidang
keperawatan dalam meningkatkan kesadaran perawat
melaporkan kejadian medication error.
8
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1.1 Pengertian
9
kelemahan manusia. mulai dari tingkat atas sampai bawah (top
down), setiap supervisor harus mengawasi/memeriksa (inspect)
pekerjaan bawahannya (Sennewald, 2008). Supervisi klinis
merupakan praktek khusus berada pada tingkat tertinggi pada
praktek kerja sosial karena supervisor klinis mempersiapkan
pekerja sosial untuk berlatih mandiri tanpa perlu pengawasan lebih
lanjut (Openshaw, 2012:2)
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan
supervisi adalah pengamatan, pembinaan yang dilakukan oleh
supervisor keperawatan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
perawat pelaksana.
2.1.2 Manfaat Supervisi
Manfaat supervisi keperawatan menurut Gunawan, (2016,
hal: 35) adalah menjamin setiap kegiatan yang direncanakan
berjalan tepat, benar sehingga tujuan dapat tercapai. Azwar (1996)
merumuskan manfaat supervisi dari sudut manajemen dibedakan
atas dua yaitu: (1) Meningkatkan efektivitas kerja. Peningkatan
efektivitas berhubungan erat dengan pengetahuan serta
keterampilan bawahan. Semakin terbina hubungan serta suasana
kerja maka semakin harmonis hubungan antara atasan dan
bawahan. (2) Meningkatkan efisiensi kerja. Berkurangnya
kesalahan yang dilakukan oleh bawahan dapat meningkatkan
efisensi kerja.
2.1.3 Area yang Supervisi
Gunawan (2016, hal:35) menyatakan area keperawatan
yang di supervisi adalah pengetahuan tentang keperawatan,
keterampilan yang dilakukan sesuai dengan standar, sikap
penghargaan terhadap pekerjaan seperti: kejujuran dan empati.
2.1.4 Karakteristik Supervisi Klinis
Dalam pelaksanaan supervisi klinis berbeda dengan
pelaksanaan supervise lainya. Muchtar & Iskandar (2009:61)
10
dalam buku Usman, (2019: 163) mengemukakan karakteristik
supervise klinis adalah:
2.1.4.1 Adanya perbaikan dalam pengajaran
2.1.4.2 Fungsi utama supervisor adalah mengajarkan berbagai
keterampilan mengamati, memahami proses pengajaran
secara analistis, keterampilan dalam menganalisa secara
rasional berdasarkan pengamatan
2.1.5 Model Supervisi
Gunawan (2016, hal:35) mengatakan yang melakukan
supervisi di rumah sakit adalah atasan atau pihak yang dianggap
memiliki kelebihan atau keahlian dalam organisasi seperti ketua
tim, kepala ruangan, pengawas keperawatan, kepala seksi, kepala
bidang, serta wakil direktur keperawatan. Setiap supervisor
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan di rumah
sakit. Peran supervisor sangat penting untuk memastikan apakah
pelayanan berjalan sesuai dengan standar. Beberapa model
supervisi keperawatan menurut Supratman (2008) adalah:
2.1.5.1 Model Developmental
Model ini diperkenalkan oleh Dixon pada rumah
sakit mental dan Southern Cost Addiction Technology
Transfer Center tahun 1998. Model ini dikembangkan
dalam rumah sakit mental yang bertujuan agar pasien yang
dirawat mengalami proses developmental yang lebih baik.
Supervisor diberikan kewenangan untuk membimbing
perawat dengan tiga cara, yaitu change agent, counselor,
dan teacher. Kegiatan change agent bertujuan agar
supervisor membimbing perawat menjadi agen perubahan;
kegiatan tersebut nantinya ditransfer kepada pasien
sehingga pasien memahami masalah kesehatan. Kegiatan
counselor dilakukan supervisor dengan tujuan membina,
membimbing, mengajarkan kepada perawat tentang hal-
hal yang berkaitan. (Supratman, 2008)
11
2.1.5.2 Model Academik
Model ini diperkenalkan oleh Farington tahun
1995 yang menyebutkan bahwa supervisi klinik dilakukan
untuk membagi pengalaman supervisor kepada para
perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan
professional yang berkelanjutan (CPD; continuing
professional development). Model academic proses
supervise klinik meliputi tiga kegiatan, yaitu:
2.1.5.2.1 Educative
Kegiatan yang dilakukan dengan: 1)
mengajarkan ketrampilan dan kemampuan
dengan contoh: perawat diajarkan cara
membaca hasil EKG; 2) membangun
pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari
setiap intervensi keperawatan dengan contoh:
supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan
pasien DM dalam demontrasi injeksi SC; 3)
supervisor melatih perawat untuk mengexplore
strategi, teknik-teknik lain dalam bekerja
dengan contoh: supervisor mengajarkan
merawat luka dekubitus dengan obat-obat jenis
baru yang lebih baik. (Supratman, 2008)
2.1.5.2.2 Supportive
Kegiatan supportive dilakukan dengan cara:
melatih perawat ‘menggali’ emosi ketika
bekerja, contoh: meredam konflik antar perawat,
job enrichment agar mengurangi burn out
selama bertugas. (Supratman, 2008)
2.1.5.2.3 Managerial.
12
Kegiatan managerial dilakukan dengan:
melibatkan perawat dalam peningkatkan
standar, contoh: SOP yang sudah ada dikaji
bersama kemudian diperbaiki hal-hal yang
perlu. . (Supratman, 2008)
2.1.5.3 Model Experiential
Model ini dikembangkan oleh Milne dan James
tahun 2005 yang merupakan adopsi penelitian Milne,
Aylott dan Fitzpatrick. Dalam model ini dijelaskan
bahwa kegiatan supervisi klinik keperawatan meliputi
training dan mentoring. Dalam kegiatan training,
supervisor mengajarkan teknik-teknik keperawatan
tertentu yang belum dipahami perawat pelaksana seperti:
pemasangan infus pada bayi, melakukan vena sectie,
teknik advance life support dan lain - lain. Training
biasanya dilakukan secara berjenjang kepada setiap
perawat, misalnya training pada perawat pemula
(novice), perawat pemula-lanjut (advanced beginner).
Dalam kegiatan mentoring, supervisor lebih mirip seperti
penasihat dimana ia bertugas memberikan nasihat
berkaitan dengan masalah - masalah rutin sehari-hari,
contoh: mencari perawat pengganti yang tidak masuk,
menengahi konflik, mengambil keputusan secara cepat,
tepat dan etis. Kegiatan ini lebih mirip kegiatan
supportive dalam model academik.
2.1.5.4 Model 4s (Structure, Skills, Support, Sustainability.)
dalam artikel jurnal Supratman, (2008):
Model ini diperkenalkan oleh Page dan Wosket
dari hasil penelitian di Greater Manchester UK dan New
York tahun 1995. Model ini dikembangkan dengan
empat strategi, yaitu :
2.1.5.4.1 Structure
13
Kegiatan structure dilakukan oleh perawat
RN’s dalam melakukan pengkajian dan asuhan
pasien dimana perawat yang dibina sekitar 6-8
orang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengembangkan pengalaman perawat dalam
hal konsultasi, fasilitasi dan assisting
2.1.5.4.2 Skills
Kegiatan skills dilakukan supervisor untuk
meningkatkan ketrampilan perawat dalam
praktik keperawatan seperti: merawat luka,
interpretasi EKG, dan sebagainya.
2.1.5.4.3 Support
Kegiatan support dilakukan dengan tujuan
untuk menjamin keterampilan perawat tetap
terbaharui seperti dalam memberikan bantuan
hidup dasar.
2.1.5.4.4 Sustainability.
Kegiatan ini bertujuan untuk tetap
mempertahankan pengalaman, ketrampilan,
nilai-nilai yang telah dianut perawat. Kegiatan
ini dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan dengan cara membagi
pengalaman supervisor kepada perawat
pelaksana, misalnya supervisor membuat
sebuah modul pelatihan atau kerampilan yang
akan dilakukan secara rutin dalam periode
tertentu.
Berdasarkan penjelasan diatas perbandingan berbagai model
supervisi klinik dapat dilihat pada table 2.1
Tabel 2.1 Perbandingan berbagai model supervisi keperawatan klinik
Model Proses Tujuan
Developmental Change agent, Improve job
14
(Dixon, 1998) Counselor, Training/ performance
Teaching
Academic (Farington, Educative, Nurse performance
1995) Supportive,
Managerial
Experiential (Milne & Training, Mentoring Nurse performance
James, 2005)
4S (Page & Wosket, Structure, Skills, Quality of care
1995) Support,
Sustainability
15
penyampaian informasi, pemindahan, penyeleksian, evaluasi, dan
sebagainya.
Hasil: Segala sesuatu yang dihasilkan dari proses kerja,
misalnya: barang tertentu, jasa tertentu, laporan, dan sebagainya.
Umpan balik formatif adalah informasi yang digunakan
untuk mempengaruhi kualitas hasil. Balikan ini mengharuskan
adanya perubahan dalam cara menghasilkan produk tertentu
contoh: supervisor meminta agar bawahanya menggunakan format
tertentu dalam penyusunan laporan.
Balikan motivasi. Informasi yang digunakan untuk
mempengaruhi kuantitas hasul. Informasi ini mendorong upaya
meningkatkan kecepatan seperti memberika pujian kepada staff
yang menangani keluhan pelanggan dengan baik.
16
memperhatikan: martabat bawahanya, berbicara dengan
keyakinan akan adanya kerja sama dan hasil memuaskan,
tekankan pada kebutuhan yang akan dating, bukan pada
masalah diwaktu lampau.
2.1.7.3 Berpegang kepada tujuan
Bentuk komunikasi yang efektif adalah komunikasi
yang terkendali dan terpusat pada tugas yang dihadapi.
Agar supervisor berpegang pada tujuan perhatikan hal
berikut: berfokus pada satu topik, dorong adanya prilaku
yang mengarah kepada tujuan, serta batasi adanya intrupsi.
2.1.7.4 Mendapatkan komitmen
Tujuan utama supervise adalah memperoleh
komitmen bagi keiikutsertaan atau keterlibatan dalam hal
– hal yang diputuskan. Persetujuan dan komitmen dapat
diperoleh dengan cara: ringkas dan ulangi kembali hal –
hal
2.2 Perawat
2.2.1 Pengertian Perawat
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
Keperawatan, baik di dalam maupun di luarnegeri yang diakui oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.(UU RI tentang keperawatan, 2014). Keperawatan
adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat,baik dalam keadaan sakit maupun
sehat.(UU RI tentang keperawatan, 2014). Menurut Nursalam
(2008: 8), keperawatan adalah model pelayanan profesional dalam
memenuhi kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik
sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis, sosial
agar dapat mencapai derzat kesehatan yang optimal. Sebagai
profesi, keperawatan dituntut untuk memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal, kemampuan teknis, dan moral. Hal ini
dapat ditempuh dengan meningkatkan kualitas perawat melalui
17
pendidikan lanjutan pada program pendidikan Ners (Nursalam,
2007: 50).
18
Seorang manager keperawatan harus mampu
menetapkan pekerjaan yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi
perencanaan meliputi beberapa tugas yaitu;
mengenali masalah, menetapkan dan
mengkhususan tujuan jangka panjang dan
jangka pendek dan menguraikan bagaimana
tujuan tersebut tercapai.
2.2.2.2.2 Pengorganisasian (organizing)
Fungsi ini mel;iputi proses mengatur dan
mengalokasikan pekerjaan, wewenaqng serta
sumber daya keperawatan sehingga tujuan
keperawatan dapat tercapai.
2.2.2.2.3 Gerak aksi (actuating)
Dalam melaksanakan fungsi actuating seorang
manajer keperawatan harus mampu
menetapkan dan memuaskan kebutuhan staf
keperawatan, memberi penghargaan,
memimpin, mengembangkan serta memberi
kompensasi kepada mereka.
2.2.2.2.4 Pengelolaan staaf (staffing)
Fungsi staffing mencakup memperoleh,
menempatkan dan mempertahankan staf pada
posisi yang dibutuhkan dalam pekerjaan
keperawatan.
2.2.2.2.5 Pengarahan (directing)
Seorang manajer keperawatan harus mampu
memberikan arahan kepada staf keperawatan
sehingga pengetahuan perawat meningkat dan
mampu bekerja secara efektif.
2.2.2.2.6 Pengendalian (controlling)
19
Tugas dalam fungsi ini mencakup kelanjutan
tugas untuk melihat apakah kegiatan asuhan
telah dijalankan sesuai dengan rencana.
20
2.2.3 Standar Kompetensi Perawat
Menurut PPNI (2005: 11) kompetensi perawat
dikelompokkan menjadi 3 ranah utama yaitu;
2.2.3.1 Praktik Professional, etis, legal dan peka budaya
2.2.3.1.1 Bertanggung gugat terhadap praktik
profesional
2.2.3.1.2 Melaksanakan praktik keperawatan ( secara
etis dan peka budaya )
2.2.3.1.3 Melaksanakan praktik secara legal
2.2.3.2 Pemberian asuhan dan manajemen asuhan keperawatan.
2.2.3.2.1 Menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam
pemberian dan manajemenasuhan keperawatan
2.2.3.2.2 Melaksanakan upaya promosi kesehatan dalam
pelayanan keperawatan
2.2.3.2.3 Melakukan pengkajian keperawatan
2.2.3.2.4 Menyusun rencana keperawatan
2.2.3.2.5 Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai
rencana
2.2.3.2.6 Mengevaluasi asuhan tindakan keperawatan
2.2.3.2.7 Menggunakan komunikasi terapeutik dan
hubungan interpersonal dalampemberian
pelayanan
2.2.3.2.8 Menciptakan dan mempertahankan lingkungan
yang aman
2.2.3.2.9 Menggunakan hubungan interprofesional
dalam pelayanan keperawatan/pelayanan
kesehatan
2.2.3.2.10 Menggunakan delegasi dan supervisi dalam
pelayanan asuhankeperawatan
2.2.3.3 Pengembangan professional
2.2.3.3.1 Melaksanakan peningkatan professional dalam
praktik keperawatan
21
2.2.3.3.2 Melaksanakan peningkatan mutu pelayanan
keperawatan dan asuhankeperawatan
2.2.3.3.3 Mengikuti pendidikan berkelanjutan sebagai
wujud tanggung jawab profesi
22
profesi) dengan pengalaman kerja klinik enam
tahun atau Ners spsealis dengan pengalaman
kerja 0 tahun dan mempunyai sertifikat PK-III.
Bagi lulusan D-III keperawatan yang tidak
melanjutkan ke jenjang S-I keperawatan tidak
dapat melanjutkan ke jenjang PK-IV dan
seterusnya.
2.2.4.1.4 Perawat klinik IV/ PK IV (proficient) adalah
Ners (lulusan S-1 keperawatan plus
pendidikan profesi) dengan pengalaman kerja
sembilan tahun atau Ners spesialis dengan
pengalaman kerja 2 tahun dan mempunyai
sertifikat PK-IV atau Ners spesialis konsultan
dengan pengalaman kerja 0 tahun.
2.2.4.1.5 Perawat klinik V/ PK V (expert) adalah Ners
spesialis dengan pengalaman kerja empat
tahun atau Ners spesialis konsultan dengan
pengalaman kerja satu tahun dan mempunyai
sertifikat PK-V
2.2.4.2 Perawat Manajer (PM) yaitu, perawat yang mengelola
pelayanan, baik sebagai pengelola tingkat bawah, tingkat
menengah, maupun tingkat atas.
2.2.4.3 Perawat Pendidik (PP) yaitu perawat yang memberikan
pendidikan kepada peserta didik di institusi pendidikan
keperawatan.
2.2.4.4 Perawat Peneliti (PR) yatu perawat yang bekerja di
bidang penelitian keperawatan/ kesehatan.
23
dalam Aritonang, 2012). Pembagian usia berdasarkan
psikologi perkembangan (Hurlock, 2002) bahwa masa
dewasa terbagi atas:
2.2.5.1.1 Masa dewasa dini, berlangsung antara usia 18
– 40 tahun
2.2.5.1.2 Masa dewasa madya, berlangsung antara usia
41-60 tahun
2.2.5.1.3 Masa usia lanjut, berlangsung antara usia > 61
tahun
2.2.5.2 Pendidikan
Menurut Dictionary of Education (1994) dalam
Aritonang, (2012), pendidikan adalah Proses dimana
seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan
bentuk tingkah lakunnya di dalam lingkungan
masyarakat.. Berdasarkan defenisi tersebut dapat
diartikan bahwa pendidikan merupakan alat yang
digunakan untuk merubah perilaku manusia. Pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu
atau masyarakt.
2.2.5.3 Lama bekerja
Lama Kerja adalah lama waktu untuk melakukan
suatu kegiatan atau lama waktu seseorang sudah bekerja
(Tim penyusun KBBI, 2010 dalam Hamida 2014).
Sedangkan menurut Handoko, 2007 dalam Hamida
(2014), lama kerja adalah suatu kurun waktu atau
lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Lama
kerja dapat menggambarkan pengalaman seseorang
dalam menguasai tugasnya.
2.2.5.4 Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki yang sudah ada sejak lahir. Pada
24
umumnya wanita memiliki komitmen yang lebih tinggi,
dan menghadapi tantangan yang lebih besar
dibandingkan pria (Hungu, 2007).
25
Benar obat dapat diartikan bahwa obat yang diberikan sesuai
dengan yang diresepkan. Hal harus diperhatikan terhadap benar
obat menurut Potter & Perry (2010) adalah:
2.3.2.1 Meyakinkan tentang informasi pengobatan terhadap obat
yang baru atau obat yang diresepkan pada saat pasien
pindah ke ruang perawatan yang lain.
2.3.2.2 Gunakan kontainer yang diberi nama atau label yang
jelas dalam menyiapkan obat.
2.3.2.3 Jika memberikan obat harus memperhatikan unit dosis
dalam kemasan kemudian memeriksa kembali label pada
saat memberikan obat.
2.3.2.4 Memeriksa kembali seluruh obat yang akan diberikan
pada klien sesuai dengan catatan medical record.
2.3.2.5 Memeriksa dua identitas pasien sebelum obat diberikan
pada pasein
2.3.3 Benar Dosis
Dosis yang diberikan harus memperhatikan karakteristik pasien,
sesuai hasil perhitungannya dan jenis obatnya (tablet, cairan)
dalam jumlah tertentu. Unit dosis sistem sangat baik dilakukan
untuk mencegah kesalahan perhitungan obat. Perawat harus dapat
melakukan perhitungan kalkulasi obat yang dibutuhkan pasien.
Tindakan yang dilakukan supaya tepat dalam memperhitungkan
dosis obat yaitu:
2.3.3.1 Kemasan obat tablet dibuka hanya pada saat diberikan
kepada pasien. Obat tablet hanya bisa dibelah jika obat
tersebut memiliki cetakan atau alur dari pabrik. Jika
tablet perlu dibelah, pastikan pembelahannya sama besar,
pemotongan tablet tersebut dilakukan dengan ujung
pisau atau alat potong obat. Jika bisa, hindari sebisa
mungkin meresepkan obat yang memerlukan pembagian
obat terutama pada pasien dengan gangguan motorik atau
gangguan penglihatan. (Potter & Perry, 2010).
26
2.3.3.2 Sebelum melakukan perhitungan dosis, gunakan alat
standar sesuai kebutuhan, seperti gelas ukur obat, syringe
dan skala tetesan, untuk mendapatkan pengobatan
dengan ukuran yang tepat
2.3.3.3 Lakukan pengecekan ulang dosis obat terhadap perawat
lain
2.3.4 Benar Waktu
Obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan program
pemberian, frekuensi dan jadwal pemberian. Perawat harus
mengetahui jadwal pemberian obat dalam setiap kali pemberian
obat yang diberikan setiap 8 jam atau obat yang diberikan tiga kali
dalam satu hari. Hal tersebut dapat dijadwalkan dengan baik,
sehingga perawat dapat merubah waktu sesuai kebutuhan pasien.
2.3.5 Benar Rute
Obat yang diberikan harus sesuai rute yang telah diprogramkan,
pastikan bahwa rute tersebut aman dan sesuai untuk klien. Selalu
konsultasikan kepada dokter yang meresepkan apabila tidak ada
petunjuk mengenai rute pemberian obat. Dalam memberikan obat
injeksi, yakinkan bahwa pemberian obat benar diberikan dengan
cara injeksi. Sangat penting diperhatikan dalam melakukan
persiapan yang benar, karena komplikasi yang mungkin terjadi
adalah abscess atau kejadian efek secara sistemik.
Faktor yang menentukan pemberian rute ditentukan oleh keadaan
umum pasien, kecepatan respon yang diharapkan, sifat kimiawi
dan fisik obat, serta tempat kerja yang diharapkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
2.3.5.1 Oral, merupakan rute pemberian obat yang paling
banyak digunakan karena lebih ekonomis, paling nyaman
dan aman. Obat dapat juga diarbsorpsi melalui rongga
mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
2.3.5.2 Parenteral diberikan melalui vena (preset/perinfus)
27
2.3.5.3 Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau
membrane mukosa. Misalnya: salep, lotion, krim, spray,
tetes mata.
2.3.5.4 Rektal, merupakan obat yang diberikan melalui rute
rektal berupa enema atau supposutoria yang akan
mencair pada suhu tubuh. Pemberian melalui rektal
dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti
konstipasi (dulkolax sup), pasien yang tidak sadar/kejang
(stesolid sup). Pemberian
obat melalui rektal memiliki efek yang lebih cepat
dibandingkan dalam bentuk oral, namun tidak semua
obat tersedia dalam bentuk supposutoria.
Inhalasi, yaitu rute pemberian obat melalui saluran
pernapasan.
2.3.6 Benar Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan setelah pemberian obat dan juga alasan
obat tidak diberikan. Perawat dan petugas kesehatan yang lain
penting melakukan dokumentasi untuk melakukan komunikasi.
Beberapa kesalahan dalam pemberian obat disebabkan oleh
komunikasi yang tidak tepat. Dokumentasi sesuai standar
Medication Administration Record (MAR) adalah dengan
mendokumentasikan nama lengkap pasien, waktu pemberian, dosis
obat yang dibutuhkan, cara pemberian obat dan frekuensi
pemberian obat.
28
yang dapat menyebabkan bahaya medis serius bagi pasien dan dianggap
sebagai kegagalan pada tahap pengobatan (Asulami et al., 2013).
Windarti (2008) dan World Health Organization (2016, hal: 4) ,
mengkategorikan medication error sebagai berikut berdasarkan tahap
kejadian yaitu prescribing error (kesalahan peresepan), transcribing (salah
salin resep), dispensing error (kesalahan distribusi), administration error
(kesalahan pemberian obat) dan patient compliance error (kesalahan
kepatuhan pengobatan oleh pasien). Berdasarkan tempat kejadiannya,
medication error terbagi atas prescribing error (kesalahan peresepan)
meliputi kesalahan pemilihan obat, omission error (kesalahan karena
kurang stok obat) meliputi kegagalan dalam memberikan dosis obat pada
pasien sampai pada jadwal berikutnya, wrong time error (salah waktu
pemberian) meliputi kesalahan pemberian obat diluar interval waktu yang
ditentukan, unauthorized drug error (kesalahan pemberian obat diluar
kuasa) meliputi kesalahan pemberian obat tanpa disertai instruksi dokter,
wrong patient (kesalahan pasien), meliputi pemberian obat pada pasien
yang salah, improper dose error (kesalahan dosis tidak tepat), wrong
dosage from error (kesalahan dari dosis yang salah) meliputi kesalahan
bentuk sediaan obat, wrong drug preparation error (kesalahan dari
persiapan obat), wrong administration technique error (kesalahan teknik
administrasi) meliputi teknik yang tidak tepat saat memberikan obat,
deteriorated drug error (kesalahan pemberian obat yang aktifitasnya
menurun) meliputi pemberian obat kadaluarsa, monitoring error
(kesalahan pemantauan) meliputi kegagalan untuk memantau kelayakan
dari regimen yang diresepkan, compliance error (kesalahan kepatuhan
penggunaan obat oleh pasien) meliputi sikap pasien yang tidak taat dengan
penggunaan obat.
Faktor yang berkontriusi terhadap kejadian medication error,
Menurut Susanti (2013), meliputi kegagalan komunikasi antar petugas
kesehatan, kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan ketepatan alur
kerja, interupsi saat melakukan pekerjaan, beban kerja berlebihan dan
edukasi staf yang tidak cukup kuat. WHO, 2016, hal 7) menjelaskan faktor
29
penyebab medication error adalah: karena kurangnya pelatihan,
pengetahuan tentang obat serta pengalaman pemberian obat kurang,
pengetahuan tentang pasien kurang, tidak adekuatnya persepsi terhadap
risk, beban kerja yang tinggi, adanya masalah kesehatan dan emosi
perawat, professional yang buruk antara professional perawat, dokter, dan
pasien.
30
langkah praktis keselamatan pasien di Indonesia. Selain itu, Savardikar et
al (2010), menyatakan bahwa tujuan pelaporan kesalahan pengobatan
merupakan ukuran penting untuk mencegah insiden medication error
dalam sistem kesehatan dan untuk mengetahui sikap profesional tenaga
kesehatan dalam pelaporan kasus.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015, hal 3),
menjelaskan bahwa k eselamatan pasien adalah pasien bebas dari harm
/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial
akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, cacad, kematian
dll), terkait dengan pelayanan kesehatan. Rumah sakit bertanggung jawab
dalam pelayanan asuhan yang aman. Oleh karena itu pelayanan kesehatan
termasuk rumah sakit perlu melakukan: asesmen risiko; identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien; pelaporan dan
analisis insiden; kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko,
salah satu caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan
sistem analisis. Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak
semua orang dalam organisasi untuk peduli akan bahaya / potensi bahaya
yang dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
memonitor upaya pencegahan terjadinya error sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015), juga menjelaskan
pentingnya pelaporan insiden karena pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Pelaporan dimulai dengan dibentuknya suatu sistem pelaporan insiden di
rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan
prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan.
31
Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi,
potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. Orang yang melaporkan
kejadian adalah: siapa saja atau semua staf RS yang pertama menemukan
kejadian atau yang terlibat dalam kejadian.( Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, 2015, hal 5). Masalah yang dihadapi dalam Laporan
Insiden adalah: (1) laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”, (2)
Laporan sering disembunyikan / underreport, karena takut disalahkan, (3)
Laporan sering terlambat, (4) Bentuk laporan miskin data karena adanya
budaya blame culture. Untuk mengembangkan kemampuan perawat dalam
pelaporan kejadian semua staff termasuk perawat perlu diberikan
pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari maksud, tujuan
dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi formulir
laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian yang
digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.
33
Fungsi normatif, formatif dan restoratif dalam supervisi model Proctor,
berfokus pada monitoring evaluasi kualitas pelayanan.
Dari penelitian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa peran
supervise dapat meningkat keselamatan pasien . Pelaporan kejadian
medication error dapat meningkatkan keselamatan pasien.
34
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL
35
3.2 Variabel Penelitian
Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen.
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah supervise kepala ruangan,
ketua tim, penanggung jawab shift, dan variable confounding yang diteliti
adalah: usia, pendidikan, lama bekerja, dan jenis kelamin.Sedangkan
variabel dependen dalam penelitian ini adalah pelaporan kejadian medication
error. Pengaruh antara variabel independen supervisi dan faktor perawat
dapat dilihat pada skema 3.2 dibawah ini:
36
Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dapat
dirumuskan dalam hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ha 1: Ada pengaruh supervisi terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha 2: Ada pengaruh usia terhadap pelaporan kejadian medication error di
Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha 3: Ada pengaruh pendidikan terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha4:Ada pengaruh lama bekerja terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha5: Ada pengaruh jenis kelamin terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
37
3.4 Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
No variabel Definisi Konseptual Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Supervisi Supervisi adalah kegiatan Supervisi Educative Mengisi Kuesioner 1. Tinggi: Ordinal
pembinaan, bimbingan atau adalah (1)Kegiatan kuesioner A Supervisi 60-80
pengawasan oleh pengelola yang dilakukan Akademik 2. Sedang:
(manajer) terhadap dengan Siloam 41-59
pelaksanaan dari tingkat yang mengajarkan
Hospital 3. Rendah:
rendah, menengah, atas, ketrampilan dan
Lippo 20-40
dalam rangka menetapkan kemampuan contoh:
Cikarang
kegiatan sesuai denagn tujuan keterampilan
yang telah ditetapkan. menentukan
(Gunawan, 2016, hal 35). medication error, 2)
supervisor melatih
perawat untuk
mengexplore
strategi, teknik-
teknik lain dalam
bekerja dengan
contoh: supervisor
37
mengajarkan
perawat tehnik
melaporkan
kejadian medication
error
Supervisi
Supportive:
Kegiatan supportive
dilakukan dengan
cara: melatih
perawat ‘menggali’
emosi ketika
bekerja, contoh:
meredam ketakutan
ketika terjadi
kesalahan
pemberian obat
Supervisi
Managerial. :
Kegiatan
managerial
38
dilakukan dengan:
melibatkan perawat
dalam peningkatkan
standar, contoh:
pelaporan kejadian
medication error
2 Usia Usia adalah lamanya waktu Usia perawat sesuai Dengan Kuesioner A 1. Masa Ordinal
hidup yaitu terhitung sejak dengan kelahiran mengisi Dewasa
lahir sampai dengan sampai ulang tahun kuesioner awal 18 –
sekarang.(Chaniago, 2002 40 tahun
dalam Aritonang, 2012). 2. Dewasa
akhir 41 –
59 tahun
3 Pendidikan Menurut Dictionary of Pendidikan terakhir Mengisi Kuesioner 1. D3 Ordinal
Education (1994) dalam perawat yang sedang kuesioner A Karakteristik 2. D4
Aritonang, (2012), bekerja di SHLC 3. Skep
pendidikan adalah Proses 4. S.kep Ns
dimana seseorang
mengembangkan
kemampuan, sikap dan
bentuk tingkah lakunnya di
39
dalam lingkungan
masyarakat..
4 Lama Lama waktu untuk Lamanya seorang Mengisi Kuesioner 1. > 2 tahun Ordinal
bekerja melakukan suatu kegiatan perawat bekerja di kuesioner A Karakteristik – 5 tahun
atau lama waktu seseorang SHLC dengan kategori Responden 2. > 5 tahun -
sudah bekerja (Tim penyusun baru, sedang, lama 10 Tahun
KBBI, 2010 dalam Hamida 3. > 10 tahun
2014).
5 Jenis Jenis kelamin adalah Jenis kelamin adalah Mengisi Kuesioner 1. Laki – laki Nominal
kelamin perbedaan biologis antara perbedaan biologis kuesioner A Karakteristik 2. Perempuam
perempuan dan laki-laki yang antara perempuan dan Responden
sudah ada sejak lahir. laki-laki
(Hungu, 2007).
6 Pelaporan Pelaporan insiden menurut Pelaporan kejadian Observasi Kejadian Jumlah Nominal
kejadian Komite Keselamatan Pasien medication error adalah medication kejadian
medication Rumah Sakit (2015) adalah laporan kejadian error di q kesalahan
error suatu cara yang bertujuan kesalahan peresepan, pulse yang
untuk menurunkan insiden kesalahan penulisan, dilaporkan
keselamatan pasien dan kesalahan distribusi
40
meningkatkan mutu obat, kesalahan
pelayanan dan keselamatan pemberian atau monitor
pasien. obat, kesalahan karena
kurang stok obat, dan
salah waktu pemberian
obat. Kesalahan di
laporkan melalui system
Q Pulse
41
BAB IV
METODE PENELITIAN
Supervisi Kejadian
Pelatihan Supervisi Supervisi pelaporan
medication error
Kejadian Medication
Kemampuan supervisor
Kemampuan supervisor
(kepala ruangan,ketua (kepala ruangan, ketua
Pelatihan Supervisi
tim, penanggung jawab tim, penanggung jawab
shift, duty manager) shift, duty manager )
melakukan model
melakukan model
supervise akademik
supervise akademik
Skema 4.1 Rancangan penelitian Pre dan Post test pada kelompok intervensi
supervise model akademik.
42
Untuk mencari besarnya pengaruh supervise terhadap pelaporan kejadian
medication error, usia terhadap pelaporan kejadian medication error, pendidikan
terhadap pelaporan kejadian medication error, lama bekerja terhadap pelaporan
kejadian medication error, jenis kelamin terhadap pelaporan kejadian medication
error dilakukan uji Chi Square. Desain penelitian dapat dilihat pada skema 4.2
X Y
X1 Pelatihan Supervisi
model akademik
O1 O2
Skema: 4.3 Uji Beda Pre dan Post test intervensi supervise klinik
XI
Keterangan
X2
X3
Y X1: Supervisi
X2 : Usia
X 3: Pendidikan
X4 : Lama bekerja
X4 X5 : Jenis Kelamin
Y : Pelaporan
X5 kejadian
medication error
43
Skema 4.4 Pelaporan kejadian medication error dipengaruhi oleh usia,
pendidikan, lama bekerja, dan jenis kelamin desain penelitian uji multivariat
regresi linear berganda pada kelompok intervensi
44
itu, rumah sakit X Jawa Barat merupakan tempat peneliti bekerja.
Alasan pemilihan rawat inap sebagai tempat penelitian karena
unit - unit ini yang mempunyai keterampilan memberikan obat.
Adapun lokasi yang dijadikan untuk tempat pengambilan sampel
adalah ruangan rawat inap, ICU NICU, AE, HD, OT dan OPD
dengan alasan karena ruangan ini yang memiliki keterampilan
memberikan obat, dan beresiko terjadi medication error.
4.3.2 Waktu penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2021 – 1
Juli 2021.
4.4 Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti akan memberikan surat
ijin permohonan penelitian kepada pihak Rumah Sakit X Jawa Barat dan
persetujuannya. Penelitian dilakukan dengan memperhatikan dan mentaati
prinsip etik penelitian, yang meliputi (Komisi Etik Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Nasional Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017):
4.4.1 Prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for
persons).
Peneliti menghormati harkat martabat manusia sebagai
pribadi (personal) yang memiliki kebebasan berkehendak atau
memilih dan sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap
keputusannya sendiri. Prinsip menghormati subjek yang dilakukan
peneliti yaitu tidak adanya unsur pemaksaan untuk berpartisipasi
dalam penelitian. Sebelum penelitian peneliti akan meminta
perawat yang menjadi responden menandatangani surat
persetujuan, peneliti terlebih dahulu memberikan penjelasan secara
rinci tujuan dari penelitian dengan bahasa yang mudah. Melindungi
kerahasiaan responden dengan memberikan nama inisial pada
lembar observasi serta menjaga kerahasiaan data yang diperoleh
dengan cara membatasi akses terhadap data-data selain peneliti.
45
4.4.2 Prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-
maleficence)
Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu
orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal
dengan kerugian minimal. Risiko ataupun kerugian yang dialami
oleh responden dalam penelitian ini sangat minimal, justru
sebaliknya bahwa subjek memperoleh keuntungan secara ilmiah
yaitu berupa ilmu pengetahuan baru dan dengan adanya pelaporan
maka segera dapat dilakukan tindakan intervensi terhadap
kesalahan pemberian obat yang terjadi.
4.4.3 Prinsip keadilan (justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk
memperlakukan setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama,
dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya.
Prinsip keadilan yang dilakukan oleh peneliti adalah perlakuan
penelitian berlaku menyeluruh terhadap semua responden.
46
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data
4.6.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu pengukuran yang menunjukkan
tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan ukuran suatu instrumen
terhadap konsep yang diteliti (Priyono, 2016). Budiastuti,. Bandur
(2018, hal 146) menjelaskan tiga jenis validitas yang sering
digunakan yaitu:
a. Validitas isi (content validity)
Validitas isi berkaitan dengan apakah alat pengukuran
sudah sesuai dengan instrument pengukuran lainya yang
dianggap telah dipakai secara luas dalam bidang tetentu.
Dua hal utama yang perpu dibandingkan adalah konteks
responden yang terdapat dalam kedua alat pengukuran dan
secara khususu dlam penelitian korelasi. Skor perlu
dibandingkan untuk melihat nilai korelasi kooefisien kedua
instrument. Huck (2012) dalam ). Budiastuti,. Bandur
(2018, hal 147), menjelaskan bahwa korelasi Pearson
dipakai untuk melihat korelasi kedua skor instrument.
Semakin tinggu korelasi Pearsion (r) kedua instrument,
semakin tinggi tingkat validitas instrument tersebut.
b. Validitas kriteria (criterionrelated validity)
Validitas isi berkaitan dengan butir – butir pernyataan yang
tersusun dalam kuesioner. Pernyataan – pernyaan yang
disusun berdasarkan landasan teori topik penelitian.
c. Validitas konstrak ( construct validity).
Validitas ini berkaitan dengan apakah alat penelitian yang
dipakai telah disusun berdasarkan kerangka konsep teori
yang tepat dan relevan. Kuesioner yang memiliki validitas
konstrak tinggi selalu berdasarkan difinisi oleh para ahli,
bukan difinisi kamus.
47
Kuesioner yang akan digunakan dilakukan pengujian
analisisi factor. Budiastuti,. Bandur (2018, hal 151), menjelaskan
kriteria ini erat kaitanya dengan ukuran / sample penelitian. Jumlah
sampel perlu ditentukan berdasarkan jumlah variable penelitian
yaitu minimum lima responden satu variable (5:1) atau 1 variabel
berbanding 10 responden. ( Nunally, 1978 dalam buku Budiastuti,.
Bandur,2018, hal 151). Selain ukuran sampel perlu diperhatikan
jumlah butir pernyataan dari kuesioner, sebaiknya setiap variable
mempunyai minimal lima item butir pernyataan. Sebuah korelasi
kooefisen lebih dari 3 (r=3 atau lebih) dapat dilakukan factor
analisis.Dua test statistic yang dipakai dalam SPSS dapat
menentukan apaka daya penelitian layak untuk diuji dalam factor
analysis yaitu: Barletts test of sphricity dan Kaiser Meyer Olkin.
Jika tes Barletts signifikan (p <.05) maka factor analisis dapat
dilakukan. Test Barllets menegaskan test KMO berkisar 0-1. Nilai
minimum test KMO adalah .06 (Budiastuti,. Bandur (2018, hal
152),
Alat pengumpul data kejadian medication error, peneliti
menggunakan observasi dan pelaporan medication error sesuai
dengan laporan yang ada pada q pulse intrumen tersebut tidak perlu
dilakukan validitas.
4.6.2 Reliabilitas
Reliabilitas menurut Arikunto (2013) adalah menunjukkan
pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument
sudah diangap baik. Dalam penelitian ini, instrument supervise
menggunakan kuesioner, untuk mengetahui apakah kuesioner yang
akan digunakan reliabel maka dilakuak uji reliabilitas dengan
membandingkan nilai r hasil dengan nilai konstanta (0,6). Dalam
uji reliablitas sebagai nilai hasil adalah nilai “ Alpha”. Bila r Alpha
> konstanta (0,6) maka pernyataan tersebur reliabel.
48
4.7 Prosedur Pengumpulan Data
4.7.1 Tahap Persiapan
4.7.1.1 Surat permohonan ijin yang sudah ditanda tangani oleh
ketua program studi Stik sint Carolus
4.7.1.2 Membuat surat ijin ke RS, setelah ada persetujuan dari
direktur Rs, menyerahkan surat ijin tersebut kebagian
diklat RS
4.7.1.3 Melakukan identifikasi responden sesuai kriteria inklusi
4.7.1.4 Menggunakan instrument yang digunakan yaitu modul
pelatiahan supervise, kuesioner penelitian tentang
supervise, formulir observasi kejadian medikation error
dan rekapan pelaporan kejadian medication error (q
Pulse)
49
Pelaksaan supevisi dilakukan oleh kepala ruangan, ketua
tim, penanggung jawab shift, duty manager. Observasi
ketepatan pemberian obat dilakukan, jika terjadi
kesalahan dalam pemberian obat maka supervisor
melakukan bimbingan, tentang pelaporan kejadian
medication error. Pelaporan dilengkapi di q pulse.
4.7.2.3 Post test
Post test dilakukan setelah supervise tahap akhir dengan
mengisi kuesioner untuk mengetahui persepsi supervisor
(kepala ruangan, ketua tim, penangung jawab shift dan
duty manager) terhadap supervise pelaporan medication
error
50
4.8.1.3 Processing
Setelah data selesai dirubah dalam kode angka,
kemudian peneliti mengelompokkan data sesuai dengan
tujuan penelitian kemudian data dimasukkan kedalam
tabel yang sudah disiapkan. Setiap pernyataan yang
sudah diberi nilai, hasilnya dijumlahkan dan diberi
kategori sesuai dengan jumlah pernyataan pada
kuesioner, observasi kejadian medication error dan
pelaporan kejadian medication error. Selanjutnya data
tersebut dimasukkan ke dalam sistem komputer untuk
dilakukan proses statistik.
4.8.1.4 Cleaning
Melalui proses cleaning peneliti melakukan
pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk
menghindari adanya kesalahan pada saat meng-entry
data ke komputer.
51
kelamin terhadap variable pelaporan kejahian medication
error.
4.8.2.4
52
DAFTAR PUSTAKA
Alsulami, Z., Conroy, S., Choonara. I. (2013). Medication errors in the Middle
East Countries: A Systematic Review of the Literature. European Journal
of Clinical Pharmacology, 69(4):995-1008. Retrieved from : https://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23090705. Diunduh 18 November 2019.
Alligood. (2017). Pakar Teori Keperawatan.Edisi Indonesia. Indonesia. Elsevier
Akhtar, I. (2016). Research Design. Diakses tanggal 15 Desember 2018 dari
https://www.researchgate.net/publication/308915548_Research_Design
Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan (Edisi Ketiga).
Tangerang: Binarupa Aksara
Aritonang. (2012). Karakteristik Personal. Diunduh dari: repository.usu.
ac.id/bitstream. 18 November 2019.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Baltacyi-Goktalay et al. (2014). Clinical Supervision Model And Uludag Kdm.
International Journal on New Trends in Education and Their Implications.
April 2014 Volume: 5 Issue: 2 Article: 01 ISSN 1309-6249. dari
:http://www.ijonte.org/FileUpload/ ks63207/File/01a.baltaci-goktalay.pdf.
diunduh 18 November 2019.
Budiastuti. Bandur. (2018). Validitas & Reliabilitas Penelitian Dilengkapi dengan
NVIVO, SPSS, dan AMOS. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Dharma. (2004). (Manajemen Supervisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Effendy. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Gunawan, Widodo, F. Y. and Harijanto, T. (2015). Analisis Rendahnya Laporan
Insiden Keselamatan Pasien di Rumah Sakit’, Jurnal Kedokteran
Brawijaya. vol 28, suplemen 2. Diakses tanggal 2 Oktober 2019 dari:
https://jkb.ub.ac.id/ index. Php /jkb /article / view/962/479
Gunawan. (2016). Potret Keperawatan di Bilitung Indonesia. Sulawesi Tenggara:
Yayasan Cipta Anak bangsa.
53
Gorbach, e. C. (2015). Frequency of and risk factors for medication errors by
pharmacists during order verification in a tertiary care medical center.
American Society of Health-System Pharmacists, 1. Diakses tanggal 2
Oktober 2019 dari: https://www. researchgate. net/ publication/281168422
Hamida,F. (2014). Lama Kerja. Di unduh dari : https: //www .academia .edu /
7189070/ Bab_2_lama_kerja. diunduh 18 November 2019.
Hastono, S. P. (2007). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Hungu (2007). Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Iskandar, Maksum & Nafisa. (2014). Faktor Penyebab Penurunan Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. 28, Suplemen No. 1.
Join Commission International. (2015). Comprehensive Accreditation Manual for
Hospitals : The Patient Safety Systems Chapter. The Join Commission.
Kee, J.L., Hayes, E.R. (2015). Pharmacology: A Patient-Centered Nursing
Process Approach. Elsevier. Saunders. 8th ed.
Kuntari. (2005). Tingkat Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat
Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Indonesia,
Volume 9, No.1, Maret 2005; 19-25
Nainggolan, Nancy. (2003). Pemakaian antibiotik dosis tinggi merusak ginjal
Anne. Suara Pembaruan, 9 Desember 2003.
Nugroho & Sujianto. (2017). Supervisi Kepala Ruang Model Proctor Untuk
Meningkatkan Pelaksanaan Keselamatan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia. Volume 20 No.1, hal 56-64 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-
9203 DOI: 10.7454/jki.v20i1.348.
Nursalam,. & Efendi, F. (2007). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nur, Q.M. (2013). Hubungan motivasi dan supervisi terhadap kinerja perawat
pelaksana dalam menerapkan patient safety di rawat inap RS Universitas
54
Hasanuddin (Tesis Magister, Universitas Hasanudin). Diperoleh dari
http://repository.unhas.ac.id
Nugroho., Sujianto. (2017). Supervisi Kepala Ruang Model Proctor Untuk
Meningkatkan Pelaksanaan Keselamatan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 20 No.1, hal 56-64 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-
9203 DOI: 10.7454/jki.v20i1.348
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit .(2015). Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP). Jakarta: Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit .
Komisi Etik Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Nasional Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pedoman Dan Standar Etik
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Openshaw, Linda. 2012. Challenges In Clinical Supervision. USA : NACSW
Convention.
Patel, S., Patel, A., Patel, V., Solanki, N. (2018). Study of Medication Error in
Hospitalised Patients in Tertiary Care Hospital. Indian Journal of
Pharmacy Practice. vol 11, issue 1. Jan – Mar 2018. Diakses tanggal 2
Oktober 2019, dari: http://www .ijopp.org/ sites/default/ files/ijopp-11-
32.pdf
Potter, Perry. (2010). Fundamental of Nursing: Consep, Proses and Practice.
Edisi 7. Vol. 3. Jakarta: EGC
Purba, A.V., Soleha, M., Sari, I.D. (2007). Kesalahan dalam pelayanan obat
(medication error) dan usaha pencegahannya. Buletin penelitian Sistem
kesehatan. Vol, 10 No 1. Diakses tanggal 2 Oktober 2019 dari:
http://ejournal. litbang.depkes. go.id/index.php
/hsr/article/view/1769/2577.
Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan online
Rumampuk, M.V. (2013). Peran kepala ruangan melakukan supervisi perawat
dengan penerapan patient safety di ruang rawat inap (Tesis Magister,
Universitas Hasanudin). Diperoleh dari http://pasca.unhas.ac.id
55
Riyanto. (2010). Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Jogjakarta: Mulia
Medika
Sarvidkar, A., Prescott, G., & Williams, D. (2010). Attitudes to Reporting
Medication error among Differing Healthcare Professionals. European
Journal Clinical Pharmacology. DOI: 10.1007/s00228-010-0838-x .
Diunduh tanggal 16 November 2019.
Sennewald. (2008). Effective Security Manajement. Diakses tanggal 18
November 2019 dari: Http://www.siaga 24.com
Supratman. (2008). Model – Model Supervisi Keperawatan. Jurnal Ilmu
Keperawatan. P-ISSN 1979-2697. Diunduh dari: http://journals. Ums . ac.
Id / index. php/BIK/article/view/3735/2404
Susanti, Ika. (2013). Identifikasi Medication Error Pada Fase Prescribing,
Transcribing, Dan Dispensing Di Depo Farmasi Rawat Inap Penyakit
RSUP Fatmawati. Diakses dari : http://repository. uinjkt.ac.id/ dspace/
bitstream /123456789/26463/1/IKA%20 SUSANTI -FKIK.pdf Diunduh
18 November 2019.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,. Bandung: Alfabeta
Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit EDISI 1. (2017). Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit. EDISI 1. Jakarta: Komisi Akreditasi Rumah
Sakit.
Tristantia. (2018). Evaluasi Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Di
Rumah Sakit . Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 6 No 2
July-December 2018 Published by Universitas Airlangga doi: 10.20473 /
jaki.v6i2.2018.83-94
Usman., Murniati. (2019). Pengantar Manejemen Pendidikan. Jakarta:
AN1MAGE
Undang-Undang Keperawatan. (2014). Undang-Undang RI No. 38 Tentang
Keperawatan. Diunduh dari:www.hukumonline.com 16 November 2019.
Varmeulen., Kleefstra., Zijp., & Kool (2017). Under standing The Impact of
Supervision on Reducing Medication Risk: an Interview Study in Long
Term Elderly Care. BMC Health Services Research. 17:464 DOI
10.1186/s12913-017-2418-6
56
Windarti MI. 2008. Strategi mencapai keamanan pemberian obat dalam Suharjo
dan Cahyono: Membagun budaya keselamatan pasien dalam praktik
kedokteran. Ikappi: Yogyakarta.
World Health Organization. (2016). Medication Errors : Technical Series on
Safer Primary Care. ISBN ISBN 978-92-4-151164-3
57