Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keselamatan pasien (patient safety) telah menjadi isu global dan
menjadi prioritas utama dalam setiap pelayanan kesehatan di seluruh dunia
(Join Commission International, 2015). Keselamatan Pasien / Patient
Safety artinya pasien bebas dari harm /cedera yang tidak seharusnya terjadi
atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik /
sosial / psikologis . (Komite Keselamatan Pasien Rumah sakit, 2015,
hal:4). Joint Commission International (JCI) Pada tahun 2015 menerapkan
program International Patient Safety Goals (IPSG) dalam rangka
meningkatkan kewaspadaan para tenaga kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien. Tujuan dari IPSG tersebut
adalah untuk mencegah terjadinya medication error yang dapat merugikan
pasien dan memberikan pelayanan yang aman bagi pasien di rumah sakit.
Setiap pelayanan selalu mempunyai potensi risiko dengan besar
risiko yang berbeda. Perbedaan ini tergantung bagaimana masing-masing
pelayanan merancang sistem sedemikian rupa sehingga lebih menjamin
keselamatan para pelanggannya. Salah satu strategi dalam merancang
sistem keselamatan pasien adalah bagaimana mengenali kesalahan
sehingga dapat dilihat dan segera dapat diambil tindakan guna
memperbaiki efek terjadi.
Upaya untuk mengenali dan melaporkan kesalahan ini dilakukan
melalui sistem pelaporan. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
(SNARS) edisi 1 (2017) dalam PKPO (Pelayanan Kefarmasian dan
Pengunaan Obat) 7.1 menyebutkan rumah sakit menetapkan dan
menerapkan proses pelaporan serta tindakan terhadap kesalahan
penggunaan obat (medication error) serta upaya menurunkan angkanya.
Terdapat tindak lanjut dan pelatihan dalam rangka upaya perbaikan untuk
mencegah kesalahan obat agar tidak terjadi di kemudian hari. Kegagalan
aktif (petugas yang melakukan kesalahan) berkombinasi dengan kondisi

1
laten akan menyebabkan terjadinya suatu kesalahan berupa kejadian nyaris
cedera (KNC), KTD, atau bahkan kejadian yang menyebabkan kematian
atau cedera serius (sentinel). Berhenti sampai tahap melaporkan saja tentu
tidak akan meningkatkan mutu dan keselamatan pasien, yang lebih
penting adalah bagaimana melakukan suatu pembelajaran dari kesalahan
tersebut sehingga dapat diambil solusi agar kejadian yang sama tidak
terulang kembali.(Iskandar, Maksum & Nafisa 2014).
Pelaporan insiden keselamatan pasien adalah jantung dari mutu
layanan, yang merupakan bagian penting dalam proses belajar dan
pembenahan ke dalam, peremajaan, revisi dari kebijakan, termasuk standar
prosedur operasional (SPO) dan panduan yang ada. Pelaporan insiden
mendorong pentingnya kajian faktor penyebab rendahnya pelaporan
insiden keselamatan pasien.
Laporan insiden pasien meninggal karena kesalahan pemberian
obat di Rumah Sakit Amerika Serikat terdapat sekitar 44.000 sampai
98.000 pertahun. (Gorbach, 2015). Negara India melaporkan ada sebanyak
5,2 juta kejadian yang terkait dengan kesalahan pemberian obat setiap
tahunnya, di Amerika dilaporkan sebanyak 7000 kematian per tahun di
rumah sakit disebabkan oleh kesalahan pemberian obat (Patel et. al.,
2018). Laporan kejadian kesalahan dalam pemberian obat di Indonesia
belum ada pendataan yang sistematis, sistem pelaporan dan pencegahan
yang terdokumentasi belum banyak dilaksanakan, (Nainggolan, 2003;
Purba, 2007). Ahli farmakologi dari FKUI menyatakan bahwa kasus
pemberian obat yang tidak benar maupun tindakan medis yang berlebihan
(tidak perlu dilakukan tetapi dilakukan) sering terjadi di Indonesia, hanya
saja tidak terekspos media massa. ( Kuntari,2005). Pelaporan kejadian
keselamatan pasien di Indonesia yang masuk ke Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) tahun 2011 sampai 2013 adalah tahun 2011
sebanyak 19 laporan, tahun 2012 sebanyak 41 laporan, dan tahun 2013
hanya ditemukan 3 laporan. Data tersebut menunjukkan masih sangat
rendahnya persentase pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah

2
sakit yang hanya sekitar <1% laporan bila dibandingkan dengan teori yaitu
10% (Iskandar, Maksum & Nafisa, 2014).
Pelaporan insiden keselamatan pasien termasuk kejadian
medication error tak lepas dari peran supervisi kepala ruangan, pengawas
keperawatan, ketua tim, penangung jawab shift, kepala seksi, kepala
bidang, serta wakil direktur keperawatan. Dengan adanya supervisi
keperawatan diharapkan pelayanan keperawatan yang diberikan tetap
terjaga kualitasnya. Hal ini didukung penelitian Nugroho & Sujianto.
(2017), dengan hasil menggunakan Mann-Whitney menunjukkan ada
pengaruh supervisi kepala ruang model Proctor terhadap pelaksanaan
keselamatan pasien (p= 0,000). Hasil penelitian Varmeulen., Kleefstra.,
Zijp., & Kool (2017), mengatakan bahwa supervise berkontribusi pada
peningkatan tindakan yang diarahkan untuk mengurangi kejadian
medication error. Semakin banyak kejadian insiden medication error yang
dilaporkan tidak selalu merupakan tanda peningkatan resiko, tetapi juga
dianggap sebagai tanda budaya yang lebih aman. Hasil penelitian lainnya
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara supervisi dengan
pelaksanaan keselamatan pasien (Nur, 2013; Rumampuk, 2013).
RS X Jawa Barat adalah rumah sakit yang berada di kawasan
Industri Cikarang. Visi RS X Jawa Barat adalah International quality,
Reach, Scale dan Godly compassion dengan misinya; “the trusted
destination of choice for holistic world class healthcare, health education
and research”. Nilai-nilai yang dianut dalam perusahaan adalah “love,
caring, integrity, honesty, empathy, compassion, professionalism”.
Sebagai rumah sakit umum, RS X Jawa Barat bertanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesehatan melalui peningkatan mutu pelayanan.
RS Group sejak tahun 2007 sampai sekarang sudah mulai menerapkan
standar keselamatan pasien dimulai dari RS X Tangerang oleh Joint
Commission International (JCI). RS group termasuk RS X Jawa Barat
mulai mensosialisasikan penerapan budaya keselamatan pasien dan
membangun budaya melaporkan insiden keselamatan pasien yang
ditemukan. Akan tetapi sampai saat ini masih banyak ditemukan insiden

3
keselamatan pasien termasuk kejadian medication error yang tidak
dilaporkan.
Pelaporan kejadian medication error di rumah sakit X Jawa Barat
dilaporkan melalui on line yang disebut q pulse. Penggunaan system
pelaporan on line (q pulse) sudah dilakukan di rumah sakit X jawa Barat
sejak tahun 2015. Sebelum menerapakan system ini setiap karyawan telah
diajarkan cara pengisian dan penggunaan q pulse. Begitu juga dengan
karyawan baru materi training pelaporan insiden telah dimasukkan ke
dalam program orientasi karyawan baru.
Data insiden keselamatan pasien terkait medication error di RS X
Jawa Barat sejak dilakukan campaion no Blame Culture 2017 sampai
sekarang pelaporan insiden semakin menurun, namun hal ini tidak sesuai
dengan kenyataan dilapangan.
Laporan kejadian kesalahan pemberian obat dari tahun 2017 sampai
September 2019 dapat dilihat pada table 1.1 berikut.
Tabel 1.1. Laporan kejadian medication error
No Ketidak sesuaian Pengobatan Tahun
( Kejadian Medication Error) 2017 2018 Januari –
September
2019
1 Salah Paresepan (10A)
27 25 4
2 Omission Error (10B) 187 95 29

3 Salah Waktu Pemberian (10C) 498 237 74

4 Salah Obat (10D) 282 135 75

5 Salah Dosis (10E) 90 57 21

6 Salah pemberian bentuk obat (10F) 8 1 0

7 Wrong drug-preparation error (10G) 9 3 2

8 Salah Rute Pemberian (10H) 65 23 17

9 Deteriorated drug error (10I) 10 6 2

10 Monitoring Error (10J) 6 1 1

4
11 Compliance Error (10K) 45 1 0

12 Other Medication Error (10L) 200 11 15

Sumber data: Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan
online.
Tabel 1.2. Total Laporan kejadian medication error
Tahun Jumlah pelaporan medication error
2017 1427 pelaporan medication error
2018 595 pelaporan medication error
2019 (Januari – 343 pelaporan medication error
September)
Sumber data: Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan
online.
Angka pelaporan kejadian medication error tersebut masih cukup
rendah jika dibandingkan dengan hasil wawancara dengan kepala ruangan
dan perawat senior di RS X Jawa Barat yang mengatakan masih banyak
perawat yang belum melaporkan kejadian kesalahan medication error
karena takut mendapatkan teguran dan sangsi dari pihak rumah sakit.
Pernyataan tersebut sesuai penelitian yang menyatakan bahwa salah satu
faktor penyebab perawat tidak melaporkan IKP yaitu karena takut
mendapatkan konsekuensi yang berupa sangsi oleh pihak rumah sakit
(Gunawan, Widodo, Harijanto, 2015). Menurut Head of Nursing rumah
sakit X di Jawa Barat, berbagai upaya telah dilakukan mulai dari training
pentingnya pelaporan insiden oleh team Quality rumah sakit, sosialisasi
no blame culture, memberikan reward dan punishment. Namun semua hal
tersebut diatas ternyata belum bisa memberikan dampak perubahan yang
signifikan terhadap pelaporan setiap kejadian medication error .
Berdasarkan fenomena diatas, diduga bahwa pelaporan kejadian
medication error belum dilakukan secara maksimal, maka saya tertarik
melakukan penelitian tentang pengaruh supervise kepala ruangan,

5
pengawas keperawatan, ketua tim, dan penanggung jawab shift terhadap
kepatuhan pelaporan kejadian medication error di RS X Jawa Barat.

1.2 Masalah Penelitian


Tingginya angka kejadian medication error namun masih
rendahnya pelaporan kejadian medication error melalui on line (q Pulse)
ke bagian quality sehingga perlu ditelusuri lebih jauh mengenai apakah ada
Pengaruh supervise kepala ruangan, pengawas keperawatan (duty
manager), ketua tim, dan penangung jawab shift terhadap pelaporan
kejadian medication error di Rumah sakit X Jawa Barat.

1.3 Pertanyaan Penelitian


1.3.1 Apakah ada pengaruh usia terhadap pelaporan kejadian
medication error di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.3.2 Apakah ada pengaruh pendidikan terhadap pelaporan kejadian
medication error di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.3.3 Apakah ada pengaruh lama bekerja terhadap pelaporan
kejadian medication error di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.3.4 Apakah ada pengaruh jenis kelamin terhadap pelaporan
kejadian medication error di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.3.5 Apakah ada pengaruh supervisi kepala ruangan, pengawas
keperawatan (duty manager), ketua tim, dan penangung jawab
shift terhadap pelaporan kejadian medication error di Rumah
sakit X Jawa Barat?
1.3.6 Supervisor (kepala ruangan, ketua tim, penangung jawab shift,
duty manager) mana yang paling dominan terhadap pelaporkan
kejadian medication error.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh supervise kepala ruangan,
pengawas keperawatan ( duty manager), ketua tim, dan

6
penangung jawab shift terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah Sakit X Jawa Barat.

1.4.2 Tujuan Khusus


Pada akhir penelitian, peneliti dapat menilai:
1.4.2.1 Analisis gambaran karakteristik perawat meliputi:
usia, pendidikan, jenis kelamin, lama bekerja di
rumah sakit X Jawa Barat
1.4.2.2 Angka kejadian medication error sesudah
intervensi supervise model akademik di rumah
sakit X Jawa Barat .
1.4.2.3 Angka Pelaporan kejadian medication error
sesudah intervensi supervise model akademik
di rumah sakit X Jawa Barat.
1.4.2.4 Pengaruh usia terhadap pelaporan kejadian
medication error sesudah intervensi supervise
model akademik di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.4.2.5 Pengaruh pendidikan terhadap pelaporan kejadian
medication error sesudah intervensi supervise
model akademik di Rumah sakit X Jawa Barat?
1.4.2.6 Pengaruh lama bekerja terhadap pelaporan
kejadian medication error sesudah intervensi
supervise model akademik di Rumah sakit X Jawa
Barat?
1.4.2.7 Pengaruh jenis kelamin terhadap pelaporan
kejadian medication error sesudah intervensi
supervise model akademik di Rumah sakit X Jawa
Barat?
1.4.2.8 Pengaruh intervensi supervesi model akademik,
usia, pendidikan, jenis kelamin, lama bekerja
secara simultan terhadap pelaporan kejadian
medication error di Rumah sakit X Jawa Barat?

7
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pihak dalam
pengembangan kualitas praktik keperawatan
1.5.1 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak
manajemen rumah sakit X di Jawa Barat, khususnya bidang
keperawatan dalam meningkatkan kesadaran perawat
melaporkan kejadian medication error.

1.5.2 Manfaat Teoritik


1.5.2.1 Hasil penelitian ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan berpikir bagi peneliti,
serta dapat mengaplikasikannya ditempat kerja.
1.5.2.2 Dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian
selanjutnya oleh peneliti lain dan referensi bagi
tenaga kesehatan yang akan melakukan penelitian
lebih lanjut dengan topik yang berhubungan dengan
judul penelitian ini.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif tentang supervisi
kepala ruangan, pengawas keperawatan (duty manager), ketua tim, dan
penangung jawab shift terhadap pelaporan kejadian medication error di
rawat inap rumah sakit X Jawa Barat. Supervisi kepala ruangan dilakukan
dari jam 7 sampai dengan jam 16 karena disesuaikan dengan jam kerja
kepala ruangan sedangkan untuk dinas sore dan dinas malam dilakukan
oleh pengawas keperawatan (duty manager), ketua tim, dan penanggung
jawab shift).

8
BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1 Supervisi Klinis

2.1.1 Pengertian

Supervisi adalah upaya pengarahan dengan cara


mendengarkan alasan serta keluhan tentang masalah dalam
pelaksanaan, memberikan petunjuk serta saran – saran dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaksana sehingga dapat
meningkatkan hasil serta kemampuan pelaksana dalam
melaksanakan upaya kesehatan (Efenndy, 1998, hal: 183).
Supervisi adalah proses pemberian sumber – sumber yang
dibutuhkan perawat untuk menyelesaikan tugas dalam rangka
mencapai tujuan. Sudjana, 2004 dalam buku Gunawan, 2016, hal:
34). Supervisi adalah kegiatan pembinaan, bimbingan atau
pengawasan oleh pengelola (manajer) terhadap pelaksanaan dari
tingkat yang rendah, menengah, atas, dalam rangka menetapkan
kegiatan sesuai denagn tujuan yang telah ditetapkan. (Gunawan,
2016, hal 35).
Supervisi klinis adalah bimbingan yang diberikan
supervisor secara profesional kepada staff berdasarkan kebutuhan
melalui siklus yang sistematis. Siklus meliputi: perencanaan,
observasi pelaksanan, pengkajian hasil observasi. (Usman, 2019,
hal: 162). Supervisi klinis adalah suatu tugas seorang atasan untuk
membuat bawahannya mengerjakan pekerjaan yang diinginkan
oleh manajemen.Tugas yang tersulit adalah bagaimana membuat
bawahan mengerjakan pekerjaannya dengan suka hati, tidak karena
terpaksa atau diawasi secara ketat. Pepatah lama menyebutkan
“Karyawan tidak berbuat apa yang diharapkan tetapi berbuat apa
yang anda periksa/awasi” Hal ini terjadi bukan karena mereka tidak
mau atau tidak peduli untuk mengerjakan tugasnya, tetapi karena

9
kelemahan manusia. mulai dari tingkat atas sampai bawah (top
down), setiap supervisor harus mengawasi/memeriksa (inspect)
pekerjaan bawahannya (Sennewald, 2008). Supervisi klinis
merupakan praktek khusus berada pada tingkat tertinggi pada
praktek kerja sosial karena supervisor klinis mempersiapkan
pekerja sosial untuk berlatih mandiri tanpa perlu pengawasan lebih
lanjut (Openshaw, 2012:2)
Dari beberapa pengertian diatas, peneliti menyimpulkan
supervisi adalah pengamatan, pembinaan yang dilakukan oleh
supervisor keperawatan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh
perawat pelaksana.
2.1.2 Manfaat Supervisi
Manfaat supervisi keperawatan menurut Gunawan, (2016,
hal: 35) adalah menjamin setiap kegiatan yang direncanakan
berjalan tepat, benar sehingga tujuan dapat tercapai. Azwar (1996)
merumuskan manfaat supervisi dari sudut manajemen dibedakan
atas dua yaitu: (1) Meningkatkan efektivitas kerja. Peningkatan
efektivitas berhubungan erat dengan pengetahuan serta
keterampilan bawahan. Semakin terbina hubungan serta suasana
kerja maka semakin harmonis hubungan antara atasan dan
bawahan. (2) Meningkatkan efisiensi kerja. Berkurangnya
kesalahan yang dilakukan oleh bawahan dapat meningkatkan
efisensi kerja.
2.1.3 Area yang Supervisi
Gunawan (2016, hal:35) menyatakan area keperawatan
yang di supervisi adalah pengetahuan tentang keperawatan,
keterampilan yang dilakukan sesuai dengan standar, sikap
penghargaan terhadap pekerjaan seperti: kejujuran dan empati.
2.1.4 Karakteristik Supervisi Klinis
Dalam pelaksanaan supervisi klinis berbeda dengan
pelaksanaan supervise lainya. Muchtar & Iskandar (2009:61)

10
dalam buku Usman, (2019: 163) mengemukakan karakteristik
supervise klinis adalah:
2.1.4.1 Adanya perbaikan dalam pengajaran
2.1.4.2 Fungsi utama supervisor adalah mengajarkan berbagai
keterampilan mengamati, memahami proses pengajaran
secara analistis, keterampilan dalam menganalisa secara
rasional berdasarkan pengamatan
2.1.5 Model Supervisi
Gunawan (2016, hal:35) mengatakan yang melakukan
supervisi di rumah sakit adalah atasan atau pihak yang dianggap
memiliki kelebihan atau keahlian dalam organisasi seperti ketua
tim, kepala ruangan, pengawas keperawatan, kepala seksi, kepala
bidang, serta wakil direktur keperawatan. Setiap supervisor
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan di rumah
sakit. Peran supervisor sangat penting untuk memastikan apakah
pelayanan berjalan sesuai dengan standar. Beberapa model
supervisi keperawatan menurut Supratman (2008) adalah:
2.1.5.1 Model Developmental
Model ini diperkenalkan oleh Dixon pada rumah
sakit mental dan Southern Cost Addiction Technology
Transfer Center tahun 1998. Model ini dikembangkan
dalam rumah sakit mental yang bertujuan agar pasien yang
dirawat mengalami proses developmental yang lebih baik.
Supervisor diberikan kewenangan untuk membimbing
perawat dengan tiga cara, yaitu change agent, counselor,
dan teacher. Kegiatan change agent bertujuan agar
supervisor membimbing perawat menjadi agen perubahan;
kegiatan tersebut nantinya ditransfer kepada pasien
sehingga pasien memahami masalah kesehatan. Kegiatan
counselor dilakukan supervisor dengan tujuan membina,
membimbing, mengajarkan kepada perawat tentang hal-
hal yang berkaitan. (Supratman, 2008)

11
2.1.5.2 Model Academik
Model ini diperkenalkan oleh Farington tahun
1995 yang menyebutkan bahwa supervisi klinik dilakukan
untuk membagi pengalaman supervisor kepada para
perawat sehingga ada proses pengembangan kemampuan
professional yang berkelanjutan (CPD; continuing
professional development). Model academic proses
supervise klinik meliputi tiga kegiatan, yaitu:
2.1.5.2.1 Educative
Kegiatan yang dilakukan dengan: 1)
mengajarkan ketrampilan dan kemampuan
dengan contoh: perawat diajarkan cara
membaca hasil EKG; 2) membangun
pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari
setiap intervensi keperawatan dengan contoh:
supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan
pasien DM dalam demontrasi injeksi SC; 3)
supervisor melatih perawat untuk mengexplore
strategi, teknik-teknik lain dalam bekerja
dengan contoh: supervisor mengajarkan
merawat luka dekubitus dengan obat-obat jenis
baru yang lebih baik. (Supratman, 2008)
2.1.5.2.2 Supportive
Kegiatan supportive dilakukan dengan cara:
melatih perawat ‘menggali’ emosi ketika
bekerja, contoh: meredam konflik antar perawat,
job enrichment agar mengurangi burn out
selama bertugas. (Supratman, 2008)
2.1.5.2.3 Managerial.

12
Kegiatan managerial dilakukan dengan:
melibatkan perawat dalam peningkatkan
standar, contoh: SOP yang sudah ada dikaji
bersama kemudian diperbaiki hal-hal yang
perlu. . (Supratman, 2008)
2.1.5.3 Model Experiential
Model ini dikembangkan oleh Milne dan James
tahun 2005 yang merupakan adopsi penelitian Milne,
Aylott dan Fitzpatrick. Dalam model ini dijelaskan
bahwa kegiatan supervisi klinik keperawatan meliputi
training dan mentoring. Dalam kegiatan training,
supervisor mengajarkan teknik-teknik keperawatan
tertentu yang belum dipahami perawat pelaksana seperti:
pemasangan infus pada bayi, melakukan vena sectie,
teknik advance life support dan lain - lain. Training
biasanya dilakukan secara berjenjang kepada setiap
perawat, misalnya training pada perawat pemula
(novice), perawat pemula-lanjut (advanced beginner).
Dalam kegiatan mentoring, supervisor lebih mirip seperti
penasihat dimana ia bertugas memberikan nasihat
berkaitan dengan masalah - masalah rutin sehari-hari,
contoh: mencari perawat pengganti yang tidak masuk,
menengahi konflik, mengambil keputusan secara cepat,
tepat dan etis. Kegiatan ini lebih mirip kegiatan
supportive dalam model academik.
2.1.5.4 Model 4s (Structure, Skills, Support, Sustainability.)
dalam artikel jurnal Supratman, (2008):
Model ini diperkenalkan oleh Page dan Wosket
dari hasil penelitian di Greater Manchester UK dan New
York tahun 1995. Model ini dikembangkan dengan
empat strategi, yaitu :
2.1.5.4.1 Structure

13
Kegiatan structure dilakukan oleh perawat
RN’s dalam melakukan pengkajian dan asuhan
pasien dimana perawat yang dibina sekitar 6-8
orang. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengembangkan pengalaman perawat dalam
hal konsultasi, fasilitasi dan assisting
2.1.5.4.2 Skills
Kegiatan skills dilakukan supervisor untuk
meningkatkan ketrampilan perawat dalam
praktik keperawatan seperti: merawat luka,
interpretasi EKG, dan sebagainya.
2.1.5.4.3 Support
Kegiatan support dilakukan dengan tujuan
untuk menjamin keterampilan perawat tetap
terbaharui seperti dalam memberikan bantuan
hidup dasar.
2.1.5.4.4 Sustainability.
Kegiatan ini bertujuan untuk tetap
mempertahankan pengalaman, ketrampilan,
nilai-nilai yang telah dianut perawat. Kegiatan
ini dilakukan secara terus-menerus dan
berkesinambungan dengan cara membagi
pengalaman supervisor kepada perawat
pelaksana, misalnya supervisor membuat
sebuah modul pelatihan atau kerampilan yang
akan dilakukan secara rutin dalam periode
tertentu.
Berdasarkan penjelasan diatas perbandingan berbagai model
supervisi klinik dapat dilihat pada table 2.1
Tabel 2.1 Perbandingan berbagai model supervisi keperawatan klinik
Model Proses Tujuan
Developmental Change agent, Improve job

14
(Dixon, 1998) Counselor, Training/ performance
Teaching
Academic (Farington, Educative, Nurse performance
1995) Supportive,
Managerial
Experiential (Milne & Training, Mentoring Nurse performance
James, 2005)
4S (Page & Wosket, Structure, Skills, Quality of care
1995) Support,
Sustainability

2.1.6 Supervisor dan Sistem Kerja


Tanggung jawab supervisor adalah mencapai hasil sebaik
mungkin dengan mengkoordinasikan system kerja pada unit
kerjanya secara efektive. Dharma (2004, hal 8) menggambarkan
sistem kerja supervisi secara sederhana pada skema 2.1 berikut:

Umpan balik formatif

Kondisi Proses Kondisi

Umpan balik motivasi

Skema 2.1 Sistem kerja supervisor

Kondisi: Kondisi adalah unsur masukan (input) yaitu semua


masukan yang diperlukan dalam proses, termasuk factor
lingkungan kerja, sumber daya manusia, ruangan tempat bekerja,
peralatan, bahan, struktur organisasi, prosedur, instruksi, kebijakan,
hubungan antar pribadi, dan suasana kerja.
Proses: Semua kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai
hasil (keluaran/output) misalnya perakitan (assembling),

15
penyampaian informasi, pemindahan, penyeleksian, evaluasi, dan
sebagainya.
Hasil: Segala sesuatu yang dihasilkan dari proses kerja,
misalnya: barang tertentu, jasa tertentu, laporan, dan sebagainya.
Umpan balik formatif adalah informasi yang digunakan
untuk mempengaruhi kualitas hasil. Balikan ini mengharuskan
adanya perubahan dalam cara menghasilkan produk tertentu
contoh: supervisor meminta agar bawahanya menggunakan format
tertentu dalam penyusunan laporan.
Balikan motivasi. Informasi yang digunakan untuk
mempengaruhi kuantitas hasul. Informasi ini mendorong upaya
meningkatkan kecepatan seperti memberika pujian kepada staff
yang menangani keluhan pelanggan dengan baik.

2.1.7 Prinsip dasar Supervisi Yang Efektif


Dharma (2004, hal 15), menjelaskan kepemimpinan
merupakan aspek penting dari pekerjaan supervisor. Oleh karena
itu kemampuan mempimpin sangat diperlukan untuk mengemban
tanggung jawab tersebut. Supervisor agar dapat mempimpin secara
efektif harus memiliki empat prinsip supervisor yaitu:
2.1.7.1 Kejelasan berkomunikasi
Kejelasan komunikasi merupkan prinsip yang paling
penting. Taktik dasar untuk berkomunikasi dengan jelas
adalah: menggunakan kata – kata atau istilah yang dapat
dimengerti, arahkan pembicaraan pada tujuan secara
ringkas, serta hindarkan pesan – pesan yang bertolak
belakang.
2.1.7.2 Harapan yang terbaik
Umumnya orang – orang akan melakukan sesuai
anjuran supervisor. Jika supervisor mengharapkan hal –
hal yang realistis meskipun terasa sulit, staff berusaha
akan mencapainya. Dal hal ini maka supervisor

16
memperhatikan: martabat bawahanya, berbicara dengan
keyakinan akan adanya kerja sama dan hasil memuaskan,
tekankan pada kebutuhan yang akan dating, bukan pada
masalah diwaktu lampau.
2.1.7.3 Berpegang kepada tujuan
Bentuk komunikasi yang efektif adalah komunikasi
yang terkendali dan terpusat pada tugas yang dihadapi.
Agar supervisor berpegang pada tujuan perhatikan hal
berikut: berfokus pada satu topik, dorong adanya prilaku
yang mengarah kepada tujuan, serta batasi adanya intrupsi.
2.1.7.4 Mendapatkan komitmen
Tujuan utama supervise adalah memperoleh
komitmen bagi keiikutsertaan atau keterlibatan dalam hal
– hal yang diputuskan. Persetujuan dan komitmen dapat
diperoleh dengan cara: ringkas dan ulangi kembali hal –
hal
2.2 Perawat
2.2.1 Pengertian Perawat
Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
Keperawatan, baik di dalam maupun di luarnegeri yang diakui oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.(UU RI tentang keperawatan, 2014). Keperawatan
adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat,baik dalam keadaan sakit maupun
sehat.(UU RI tentang keperawatan, 2014). Menurut Nursalam
(2008: 8), keperawatan adalah model pelayanan profesional dalam
memenuhi kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu baik
sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis, sosial
agar dapat mencapai derzat kesehatan yang optimal. Sebagai
profesi, keperawatan dituntut untuk memiliki kemampuan
intelektual, interpersonal, kemampuan teknis, dan moral. Hal ini
dapat ditempuh dengan meningkatkan kualitas perawat melalui

17
pendidikan lanjutan pada program pendidikan Ners (Nursalam,
2007: 50).

2.2.2 Peran Perawat


Peran dapat diartikan sebagai seperangkat prilaku yang
yang diharapkan oleh individu sesuai dengan status sosialnya.
Menurut Asmadi (2008: 76) peran perawat yang utama adalah:
2.2.2.1 Peran pelaksana (care provider)
Perawat memberikan asuhan keperawatan secara
langsung kepada klien (individu, keluarga dan
komunitas) sesuai dengan kewenanganya. Asuhan
keperawatan diberikan dengan menggunakan metodologi
proses keperawatan, berpedoman pada standar
keperawatan dilandasi oleh etik dan etika keperawatan
dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab
keperawatan. Dalam perannya sebagai pelaksana (care
provider) perawat bertugas: (a) Memberi kenyamanan
dan rasa aman bagi klien, (b) melindungi hak dan
kewajiban klien agar tetap terlaksana dengan seimbang,
(c) memfasilitasi klien dengan anggota tim kesehatan
lainya, (d) berusaha mengembalika kesehatan klien.
2.2.2.2 Peran pengelola (manager)
Perawat mempunyai peran dan bertanggung
jawab dalam mengelolka pelayanan keperawatan
disemua tatanan pelayanan kesehatan (rumah sakit,
puskesmas, dan sebagainya) maupun tatanan pendidikan
yang berada dalam tanggung jawabnya sesuai dengan
konsep manajemen keperawatan. Perawat menjalankan
fungsi manajemen keperawatan meliputi:
2.2.2.2.1 Perencanaan (planning)

18
Seorang manager keperawatan harus mampu
menetapkan pekerjaan yang harus dilakukan
untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi
perencanaan meliputi beberapa tugas yaitu;
mengenali masalah, menetapkan dan
mengkhususan tujuan jangka panjang dan
jangka pendek dan menguraikan bagaimana
tujuan tersebut tercapai.
2.2.2.2.2 Pengorganisasian (organizing)
Fungsi ini mel;iputi proses mengatur dan
mengalokasikan pekerjaan, wewenaqng serta
sumber daya keperawatan sehingga tujuan
keperawatan dapat tercapai.
2.2.2.2.3 Gerak aksi (actuating)
Dalam melaksanakan fungsi actuating seorang
manajer keperawatan harus mampu
menetapkan dan memuaskan kebutuhan staf
keperawatan, memberi penghargaan,
memimpin, mengembangkan serta memberi
kompensasi kepada mereka.
2.2.2.2.4 Pengelolaan staaf (staffing)
Fungsi staffing mencakup memperoleh,
menempatkan dan mempertahankan staf pada
posisi yang dibutuhkan dalam pekerjaan
keperawatan.
2.2.2.2.5 Pengarahan (directing)
Seorang manajer keperawatan harus mampu
memberikan arahan kepada staf keperawatan
sehingga pengetahuan perawat meningkat dan
mampu bekerja secara efektif.
2.2.2.2.6 Pengendalian (controlling)

19
Tugas dalam fungsi ini mencakup kelanjutan
tugas untuk melihat apakah kegiatan asuhan
telah dijalankan sesuai dengan rencana.

2.2.2.3 Peran pendidik


Perawat berperan mendidik individu, keluarga,
dan masyarakat, serta tenaga keperawatan dan tenaga
kesehatan lainnya.Dalam hal ini perawat mendidik
individu, keluarga dan masyarakat untuk menciptakan
perilaku individu/masyarakat yang kondusif bagi
kesehatan.
2.2.2.4 Peran peneliti
Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu
mengidentifikasi masalah keperawatan dengan
menggunakan prinsip metode penelitian serta
memanfaatkan hasil penelitian untuk peningkatan mutu
profesi keperawatan melalui pelayanan asuhan
keperawatan yang profesional. Menurut PPNI (2012),
Perawat peneliti diharapkan mampu melakukan
penelitian sederhana keperawatan dengan cara
menumbuhkan kuriositas, mencari jawaban terhadap
fenomena klien, menerapkan hasil kajian dalam rangka
membantu mewujudkan Evidence Based Nursing
Practice (EBNP). (PPNI,2012). Penelitian di dalam
bidang keperawatan berperan dalam mengurangi
kesenjangan penguasaan teknologi di bidang kesehatan,
karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya
transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu
penting dalam memperkokoh upaya menetapkan dan
memajukan profesi keperawatan. (Sudarma, 2008: 30).

20
2.2.3 Standar Kompetensi Perawat
Menurut PPNI (2005: 11) kompetensi perawat
dikelompokkan menjadi 3 ranah utama yaitu;
2.2.3.1 Praktik Professional, etis, legal dan peka budaya
2.2.3.1.1 Bertanggung gugat terhadap praktik
profesional
2.2.3.1.2 Melaksanakan praktik keperawatan ( secara
etis dan peka budaya )
2.2.3.1.3 Melaksanakan praktik secara legal
2.2.3.2 Pemberian asuhan dan manajemen asuhan keperawatan.
2.2.3.2.1 Menerapkan prinsip-prinsip pokok dalam
pemberian dan manajemenasuhan keperawatan
2.2.3.2.2 Melaksanakan upaya promosi kesehatan dalam
pelayanan keperawatan
2.2.3.2.3 Melakukan pengkajian keperawatan
2.2.3.2.4 Menyusun rencana keperawatan
2.2.3.2.5 Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai
rencana
2.2.3.2.6 Mengevaluasi asuhan tindakan keperawatan
2.2.3.2.7 Menggunakan komunikasi terapeutik dan
hubungan interpersonal dalampemberian
pelayanan
2.2.3.2.8 Menciptakan dan mempertahankan lingkungan
yang aman
2.2.3.2.9 Menggunakan hubungan interprofesional
dalam pelayanan keperawatan/pelayanan
kesehatan
2.2.3.2.10 Menggunakan delegasi dan supervisi dalam
pelayanan asuhankeperawatan
2.2.3.3 Pengembangan professional
2.2.3.3.1 Melaksanakan peningkatan professional dalam
praktik keperawatan

21
2.2.3.3.2 Melaksanakan peningkatan mutu pelayanan
keperawatan dan asuhankeperawatan
2.2.3.3.3 Mengikuti pendidikan berkelanjutan sebagai
wujud tanggung jawab profesi

2.2.4 Pengembangan Karir Perawat


Menurut Depkes RI (2006), Benner (1984) dalam buku
Alligood 2017 (hal:7) pengembangan jenjang karir perawat
professional meliputi:
2.2.4.1 Perawat klinik (PK) yaitu perawat yang memberikan
asuhan keperawatan secara langsung kepada klien/pasien
sebagai individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
Depkes RI (2006), juga mengatur karir professional
perawat klinik ke dalam lima tingkatan yang didalamnya
memuat kriteria masing – masing tingkatan yaitu;
2.2.4.1.1 Perawat klinik I/ PK I (novice) adalah perawat
lulusan D-III yang telah memiliki pengalaman
kerja 2 tahun atau Ners (lulusan S-1
keperawatan plus pendidikan profesi) dengan
pengalaman kerja 0 tahun, dan mempunyai
sertifikat PK-I
2.2.4.1.2 Perawat klinik II/ PK II (advance beginner)
adalah perawat lulusan D-III keperawatan
dengan pengalaman kerja lima tahun atau Ners
(lulusan S-1 keperawatan plus pendidikan
profesi) dengan pengalaman kerja tiga tahun
dan mempunyai sertifikat PK-II
2.2.4.1.3 Perawat klinik III/ PK III (competent) adalah
perawat lulusan D-III keperawatan dengan
pengalaman kerja sembilan tahun atau Ners
(lulusan S-1 keperawatan plus pendidikan

22
profesi) dengan pengalaman kerja klinik enam
tahun atau Ners spsealis dengan pengalaman
kerja 0 tahun dan mempunyai sertifikat PK-III.
Bagi lulusan D-III keperawatan yang tidak
melanjutkan ke jenjang S-I keperawatan tidak
dapat melanjutkan ke jenjang PK-IV dan
seterusnya.
2.2.4.1.4 Perawat klinik IV/ PK IV (proficient) adalah
Ners (lulusan S-1 keperawatan plus
pendidikan profesi) dengan pengalaman kerja
sembilan tahun atau Ners spesialis dengan
pengalaman kerja 2 tahun dan mempunyai
sertifikat PK-IV atau Ners spesialis konsultan
dengan pengalaman kerja 0 tahun.
2.2.4.1.5 Perawat klinik V/ PK V (expert) adalah Ners
spesialis dengan pengalaman kerja empat
tahun atau Ners spesialis konsultan dengan
pengalaman kerja satu tahun dan mempunyai
sertifikat PK-V
2.2.4.2 Perawat Manajer (PM) yaitu, perawat yang mengelola
pelayanan, baik sebagai pengelola tingkat bawah, tingkat
menengah, maupun tingkat atas.
2.2.4.3 Perawat Pendidik (PP) yaitu perawat yang memberikan
pendidikan kepada peserta didik di institusi pendidikan
keperawatan.
2.2.4.4 Perawat Peneliti (PR) yatu perawat yang bekerja di
bidang penelitian keperawatan/ kesehatan.

2.2.5 Karakteristik Perawat


2.2.5.1 Usia
Usia adalah lamanya waktu hidup yaitu terhitung
sejak lahir sampai dengan sekarang. (Chaniago, 2002

23
dalam Aritonang, 2012). Pembagian usia berdasarkan
psikologi perkembangan (Hurlock, 2002) bahwa masa
dewasa terbagi atas:
2.2.5.1.1 Masa dewasa dini, berlangsung antara usia 18
– 40 tahun
2.2.5.1.2 Masa dewasa madya, berlangsung antara usia
41-60 tahun
2.2.5.1.3 Masa usia lanjut, berlangsung antara usia > 61
tahun
2.2.5.2 Pendidikan
Menurut Dictionary of Education (1994) dalam
Aritonang, (2012), pendidikan adalah Proses dimana
seseorang mengembangkan kemampuan, sikap dan
bentuk tingkah lakunnya di dalam lingkungan
masyarakat.. Berdasarkan defenisi tersebut dapat
diartikan bahwa pendidikan merupakan alat yang
digunakan untuk merubah perilaku manusia. Pendidikan
dapat diartikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan individu
atau masyarakt.
2.2.5.3 Lama bekerja
Lama Kerja adalah lama waktu untuk melakukan
suatu kegiatan atau lama waktu seseorang sudah bekerja
(Tim penyusun KBBI, 2010 dalam Hamida 2014).
Sedangkan menurut Handoko, 2007 dalam Hamida
(2014), lama kerja adalah suatu kurun waktu atau
lamanya tenaga kerja itu bekerja di suatu tempat. Lama
kerja dapat menggambarkan pengalaman seseorang
dalam menguasai tugasnya.
2.2.5.4 Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan biologis antara
perempuan dan laki-laki yang sudah ada sejak lahir. Pada

24
umumnya wanita memiliki komitmen yang lebih tinggi,
dan menghadapi tantangan yang lebih besar
dibandingkan pria (Hungu, 2007).

2.3 Konsep Pemberian Obat


Kee & Hayes (2015) dan Potter & Perry (2010), menyebutkan
bahwa ada enam benar dalam pemberian obat yaitu: benar pasien (right
patient), benar obat (right drug), benar rute (right route), benar dosis
(right dose), benar waktu (right time), dan benar dokumentasi (right
documentation). Potter & Perry (2010), mengatakan upaya dalam
menghindari kesalahan dalam pemberian obat dapat dilaksanakan dengan
mengidentifikasi indikator terhadap prosedur-prosedur yang berhubungan
dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pemberian obat. SNARS
edisi 1 (2017). menjelaskan bahwa agar obat diberikan kepada orang yang
tepat, dosis dan waktu yang tepat maka sebelum pemberian obat kepada
pasien, perlu dilakukan verifikasi kesesuaian obat dengan instruksi
pengobatan yang meliputi; identitas pasien, nama obat, rute pemberian,
dosis dan waktu pemberian. Penjelasan prinsip enam benar dalam
pemberian obat yaitu:
2.3.1 Benar Pasien
Obat diberikan kepada pasien yang tepat dengan memastikan
gelang identifikasi sesuai prosedur yang berlaku pada institusi
tersebut. Kejadian kesalahan pemberian obat terhadap pasien yang
berbeda kadang-kadang bisa terjadi. Sangat penting mengikuti
langkah-langkah atau prosedur sehingga memberikan obat kepada
pasien yang tepat. Sebelum memberikan obat, gunakan paling
sedikit dua identifikasi kapanpun pemberian obat akan diberikan
(Potter & Perry, 2010).
2.3.2 Benar Obat

25
Benar obat dapat diartikan bahwa obat yang diberikan sesuai
dengan yang diresepkan. Hal harus diperhatikan terhadap benar
obat menurut Potter & Perry (2010) adalah:
2.3.2.1 Meyakinkan tentang informasi pengobatan terhadap obat
yang baru atau obat yang diresepkan pada saat pasien
pindah ke ruang perawatan yang lain.
2.3.2.2 Gunakan kontainer yang diberi nama atau label yang
jelas dalam menyiapkan obat.
2.3.2.3 Jika memberikan obat harus memperhatikan unit dosis
dalam kemasan kemudian memeriksa kembali label pada
saat memberikan obat.
2.3.2.4 Memeriksa kembali seluruh obat yang akan diberikan
pada klien sesuai dengan catatan medical record.
2.3.2.5 Memeriksa dua identitas pasien sebelum obat diberikan
pada pasein
2.3.3 Benar Dosis
Dosis yang diberikan harus memperhatikan karakteristik pasien,
sesuai hasil perhitungannya dan jenis obatnya (tablet, cairan)
dalam jumlah tertentu. Unit dosis sistem sangat baik dilakukan
untuk mencegah kesalahan perhitungan obat. Perawat harus dapat
melakukan perhitungan kalkulasi obat yang dibutuhkan pasien.
Tindakan yang dilakukan supaya tepat dalam memperhitungkan
dosis obat yaitu:
2.3.3.1 Kemasan obat tablet dibuka hanya pada saat diberikan
kepada pasien. Obat tablet hanya bisa dibelah jika obat
tersebut memiliki cetakan atau alur dari pabrik. Jika
tablet perlu dibelah, pastikan pembelahannya sama besar,
pemotongan tablet tersebut dilakukan dengan ujung
pisau atau alat potong obat. Jika bisa, hindari sebisa
mungkin meresepkan obat yang memerlukan pembagian
obat terutama pada pasien dengan gangguan motorik atau
gangguan penglihatan. (Potter & Perry, 2010).

26
2.3.3.2 Sebelum melakukan perhitungan dosis, gunakan alat
standar sesuai kebutuhan, seperti gelas ukur obat, syringe
dan skala tetesan, untuk mendapatkan pengobatan
dengan ukuran yang tepat
2.3.3.3 Lakukan pengecekan ulang dosis obat terhadap perawat
lain
2.3.4 Benar Waktu
Obat yang diberikan kepada pasien harus sesuai dengan program
pemberian, frekuensi dan jadwal pemberian. Perawat harus
mengetahui jadwal pemberian obat dalam setiap kali pemberian
obat yang diberikan setiap 8 jam atau obat yang diberikan tiga kali
dalam satu hari. Hal tersebut dapat dijadwalkan dengan baik,
sehingga perawat dapat merubah waktu sesuai kebutuhan pasien.
2.3.5 Benar Rute
Obat yang diberikan harus sesuai rute yang telah diprogramkan,
pastikan bahwa rute tersebut aman dan sesuai untuk klien. Selalu
konsultasikan kepada dokter yang meresepkan apabila tidak ada
petunjuk mengenai rute pemberian obat. Dalam memberikan obat
injeksi, yakinkan bahwa pemberian obat benar diberikan dengan
cara injeksi. Sangat penting diperhatikan dalam melakukan
persiapan yang benar, karena komplikasi yang mungkin terjadi
adalah abscess atau kejadian efek secara sistemik.
Faktor yang menentukan pemberian rute ditentukan oleh keadaan
umum pasien, kecepatan respon yang diharapkan, sifat kimiawi
dan fisik obat, serta tempat kerja yang diharapkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
2.3.5.1 Oral, merupakan rute pemberian obat yang paling
banyak digunakan karena lebih ekonomis, paling nyaman
dan aman. Obat dapat juga diarbsorpsi melalui rongga
mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
2.3.5.2 Parenteral diberikan melalui vena (preset/perinfus)

27
2.3.5.3 Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau
membrane mukosa. Misalnya: salep, lotion, krim, spray,
tetes mata.
2.3.5.4 Rektal, merupakan obat yang diberikan melalui rute
rektal berupa enema atau supposutoria yang akan
mencair pada suhu tubuh. Pemberian melalui rektal
dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti
konstipasi (dulkolax sup), pasien yang tidak sadar/kejang
(stesolid sup). Pemberian
obat melalui rektal memiliki efek yang lebih cepat
dibandingkan dalam bentuk oral, namun tidak semua
obat tersedia dalam bentuk supposutoria.
Inhalasi, yaitu rute pemberian obat melalui saluran
pernapasan.
2.3.6 Benar Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan setelah pemberian obat dan juga alasan
obat tidak diberikan. Perawat dan petugas kesehatan yang lain
penting melakukan dokumentasi untuk melakukan komunikasi.
Beberapa kesalahan dalam pemberian obat disebabkan oleh
komunikasi yang tidak tepat. Dokumentasi sesuai standar
Medication Administration Record (MAR) adalah dengan
mendokumentasikan nama lengkap pasien, waktu pemberian, dosis
obat yang dibutuhkan, cara pemberian obat dan frekuensi
pemberian obat.

2.4 Kesalahan pemberian Obat


World Health Organization (2016, hal 3) menyatakan bahwa
medication error merupakan kejadian yang dapat menyebabkan atau
menimbulkan bahaya bagi pasien dan berkaitan dengan praktik
profesional, produk pelayanan kesehatan, prosedur dan sistem, resep,
komunikasi pemesanan obat, label produk, kemasan, peracikan, distribusi,
administrasi, dan penggunaan. Medication error merupakan isu global

28
yang dapat menyebabkan bahaya medis serius bagi pasien dan dianggap
sebagai kegagalan pada tahap pengobatan (Asulami et al., 2013).
Windarti (2008) dan World Health Organization (2016, hal: 4) ,
mengkategorikan medication error sebagai berikut berdasarkan tahap
kejadian yaitu prescribing error (kesalahan peresepan), transcribing (salah
salin resep), dispensing error (kesalahan distribusi), administration error
(kesalahan pemberian obat) dan patient compliance error (kesalahan
kepatuhan pengobatan oleh pasien). Berdasarkan tempat kejadiannya,
medication error terbagi atas prescribing error (kesalahan peresepan)
meliputi kesalahan pemilihan obat, omission error (kesalahan karena
kurang stok obat) meliputi kegagalan dalam memberikan dosis obat pada
pasien sampai pada jadwal berikutnya, wrong time error (salah waktu
pemberian) meliputi kesalahan pemberian obat diluar interval waktu yang
ditentukan, unauthorized drug error (kesalahan pemberian obat diluar
kuasa) meliputi kesalahan pemberian obat tanpa disertai instruksi dokter,
wrong patient (kesalahan pasien), meliputi pemberian obat pada pasien
yang salah, improper dose error (kesalahan dosis tidak tepat), wrong
dosage from error (kesalahan dari dosis yang salah) meliputi kesalahan
bentuk sediaan obat, wrong drug preparation error (kesalahan dari
persiapan obat), wrong administration technique error (kesalahan teknik
administrasi) meliputi teknik yang tidak tepat saat memberikan obat,
deteriorated drug error (kesalahan pemberian obat yang aktifitasnya
menurun) meliputi pemberian obat kadaluarsa, monitoring error
(kesalahan pemantauan) meliputi kegagalan untuk memantau kelayakan
dari regimen yang diresepkan, compliance error (kesalahan kepatuhan
penggunaan obat oleh pasien) meliputi sikap pasien yang tidak taat dengan
penggunaan obat.
Faktor yang berkontriusi terhadap kejadian medication error,
Menurut Susanti (2013), meliputi kegagalan komunikasi antar petugas
kesehatan, kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan ketepatan alur
kerja, interupsi saat melakukan pekerjaan, beban kerja berlebihan dan
edukasi staf yang tidak cukup kuat. WHO, 2016, hal 7) menjelaskan faktor

29
penyebab medication error adalah: karena kurangnya pelatihan,
pengetahuan tentang obat serta pengalaman pemberian obat kurang,
pengetahuan tentang pasien kurang, tidak adekuatnya persepsi terhadap
risk, beban kerja yang tinggi, adanya masalah kesehatan dan emosi
perawat, professional yang buruk antara professional perawat, dokter, dan
pasien.

2.5 Pelaporan Insiden report Medication Error


Keselamatan pasien merupakan isu penting tiap negara yang
menyelenggarakan layanan kesehatan terlepas dari pelayanan kesehatan
dengan metode pendanaan pribadi maupun pemerintah (WHO, 2016).
Merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien di Rumah Sakit, Bab 1 Ayat
1 menjelaskan bahwa keselamatan pasien rumah sakit merupakan suatu
sistem di rumah sakit dalam membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden dan tindak lanjut serta implementasi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.
Pelaporan insiden menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit (2015), bertujuan umum untuk menurunkan insiden keselamatan
pasien dan meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
Sedangkan tujuan khususnya terbagi atas dua. yakni untuk melaksanakan
sistem pelaporan dan pencatatan insiden, mengetahui penyebab insiden,
dan didapatkannya pembelajaran untuk mencegah kejadian berulang.
Selanjutnya adalah untuk diperolehnya data nasional, diperolehnya
pembelajaran untuk meningkatan mutu pelayanan, dan ditetapkannya

30
langkah praktis keselamatan pasien di Indonesia. Selain itu, Savardikar et
al (2010), menyatakan bahwa tujuan pelaporan kesalahan pengobatan
merupakan ukuran penting untuk mencegah insiden medication error
dalam sistem kesehatan dan untuk mengetahui sikap profesional tenaga
kesehatan dalam pelaporan kasus.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015, hal 3),
menjelaskan bahwa k eselamatan pasien adalah pasien bebas dari harm
/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial
akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, cacad, kematian
dll), terkait dengan pelayanan kesehatan. Rumah sakit bertanggung jawab
dalam pelayanan asuhan yang aman. Oleh karena itu pelayanan kesehatan
termasuk rumah sakit perlu melakukan: asesmen risiko; identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien; pelaporan dan
analisis insiden; kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi risiko,
salah satu caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan
sistem analisis. Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak
semua orang dalam organisasi untuk peduli akan bahaya / potensi bahaya
yang dapat terjadi kepada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
memonitor upaya pencegahan terjadinya error sehingga diharapkan dapat
mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015), juga menjelaskan
pentingnya pelaporan insiden karena pelaporan akan menjadi awal proses
pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
Pelaporan dimulai dengan dibentuknya suatu sistem pelaporan insiden di
rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan
prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan.

31
Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi,
potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. Orang yang melaporkan
kejadian adalah: siapa saja atau semua staf RS yang pertama menemukan
kejadian atau yang terlibat dalam kejadian.( Komite Keselamatan Pasien
Rumah Sakit, 2015, hal 5). Masalah yang dihadapi dalam Laporan
Insiden adalah: (1) laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”, (2)
Laporan sering disembunyikan / underreport, karena takut disalahkan, (3)
Laporan sering terlambat, (4) Bentuk laporan miskin data karena adanya
budaya blame culture. Untuk mengembangkan kemampuan perawat dalam
pelaporan kejadian semua staff termasuk perawat perlu diberikan
pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari maksud, tujuan
dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara mengisi formulir
laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-pengertian yang
digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisa laporan.

2.6 Kerangka Teori Penelitian


Peneliti membuat kerangka teori penelitian berdasarkan beberapa
referensi dalam memudahkan peneliti menentukan aspek atau bagian dari
kerangka teori yang dapat dilakukan penelitian.
Model Supervisi Pelaporan Medication
Keselamatan
Farington,pasien
1995 error
Model Academic  Prescribing error
 Educative (kesalahan peresepan)
 Supportive  Transcribin ( salah
 Managerial salin)
 Dispensing error
(kesalahan distribusi)
Page & Wosket, 1995
Pelatihan
 Administration or
4 S model:
Supervisi
monitoring error Model
 Structure
(kesalahanAcademic
pemberian
 Skills (Educative,
atau monitor obat)
 Support
 OmissionSupportive,
error
 Sustainability Managerial)
(kesalahan karena
Kepada kepala
kurang stok obat)
ruangan,
 Wrong time error32
pengawas
(salah waktu
keperawatan
pemberian)
Dixon, 1998
Model Developmental:
 Change agent
 Counselor
 Teacher

Milne & James, 2005


Model Experiential
 Training
 Mentoring
Keterangan:
: Yang diteliti
: Yang tidak diteliti
: Hubungan sebab akibat
Skema 2.2. Kerangka teori penelitian
Sumber: Supratman (2008), Windarti (2008) dan World Health
Organization (2016}, Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015)

2.7 Penelitian Terkait


Penelitian terkait dilakukan oleh Tristantia (2018) tentang Evaluasi
Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit ,
menunjukkan hasil bahwa ada kebijakan tentang pelaporan kejadian
keselamatan pasien namun belum konsisten dilakukan. Penelitian yang
dilakukan oleh Iskandar dkk, (2014) dengan judul penelitian Faktor
Penyebab Penurunan Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit
menunjukkan hasil penelitian tingginya angka kejadian keselamatan pasien
tetapi tidak dilaporkan karena takut disalahkan, komitmen kurang dari
manajemen, tidak ada reward, dan kurangnya pengetahuan. Hasil
penelitian yang dilakukan Nugroho (2017) yang berjudul “Pengaruh
Supervisi Kepala ruang Model Proctor Untuk meningkatkan Pelaksanaan
Keselamatan pasien” menunjukkan hasil ada pengaruh supervisi kepala
ruang model Proctor terhadap pelaksanaan keselamatan pasien (p= 0,000).

33
Fungsi normatif, formatif dan restoratif dalam supervisi model Proctor,
berfokus pada monitoring evaluasi kualitas pelayanan.
Dari penelitian diatas, peneliti menyimpulkan bahwa peran
supervise dapat meningkat keselamatan pasien . Pelaporan kejadian
medication error dapat meningkatkan keselamatan pasien.

34
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Dalam menyusun kerangka konsep penelitian ini, peneliti mencoba


mereduksi beberapa teori yang telah dipaparkan dalam tinjauan pustaka
Dharma (2004), Supratman (2008), Windarti (2008) dan World Health
Organization (2016}, Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (2015).
Kerangka konsep digunakan untuk menjawab pertanyaan atau masalah
penelitian. Kerangka konsep penelitian yang dikembangkan dapat dilihat
pada skema 3.1 dibawah ini:
Input Proses Output

Kesalahan pemberian Supervisi kepala Pelaporan Kejadian


obat: ruangan, Medication error
 Prescribing error pengawas  Prescribing error
(kesalahan peresepan) keperawatan ( (kesalahan peresepan)
 Transcribin ( salah duty manager),  Transcribin ( salah
salin) ketua tim, dan salin)
 Dispensing error penangung jawab  Dispensing error
(kesalahan distribusi) shift (kesalahan distribusi)
 Administration or  Administration or
monitoring error monitoring error
(kesalahan pemberian (kesalahan pemberian
atau monitor obat) atau monitor obat)
 Omission error  Omission error
(kesalahan karena Karakteristik (kesalahan karena
kurang stok obat) Perawat: kurang stok obat)
 Usia
Wrong time error Wrong time error
 Pendidikan
(salah waktu  Lama bekerja (salah waktu
pemberian)  Jenis kelamin pemberian)

Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian untuk menilai Pelaporan kejadian


medication Error

35
3.2 Variabel Penelitian
Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab timbulnya variabel dependen.
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2017).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah supervise kepala ruangan,
ketua tim, penanggung jawab shift, dan variable confounding yang diteliti
adalah: usia, pendidikan, lama bekerja, dan jenis kelamin.Sedangkan
variabel dependen dalam penelitian ini adalah pelaporan kejadian medication
error. Pengaruh antara variabel independen supervisi dan faktor perawat
dapat dilihat pada skema 3.2 dibawah ini:

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)


Pelaporan kejadian medication error
 Supervisi kepala  Prescribing error (kesalahan peresepan)
ruangan, pengawas
keperawatan (duty  Transcribin ( salah salin)
manager), ketua tim,  Dispensing error (kesalahan distribusi)
dan penangung jawab
 Administration or monitoring error
shift
 Usia (kesalahan pemberian atau monitor obat)
 Pendidikan  Omission error (kesalahan karena
 Lama bekerja
kurang stok obat)
 Jenis kelamin
 Wrong time error (salah waktu
pemberian)

Skema 3.2. Kerangka konsep penelitian pengaruh Supervisi kepala


ruangan, pengawas keperawatan (duty manager), ketua tim, dan
penangung jawab shift terhadap Pelaporan kejadian medication error
.
3.3 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada latar
belakang yang diperkuat oleh teori dan batasan kerangka konseptual maka
dapat digambarkan pengaruh variabel independen terhadap dependen.

36
Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dapat
dirumuskan dalam hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ha 1: Ada pengaruh supervisi terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha 2: Ada pengaruh usia terhadap pelaporan kejadian medication error di
Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha 3: Ada pengaruh pendidikan terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha4:Ada pengaruh lama bekerja terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?
Ha5: Ada pengaruh jenis kelamin terhadap pelaporan kejadian medication
error di Rumah sakit X Jawa Barat?

37
3.4 Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

No variabel Definisi Konseptual Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Supervisi Supervisi adalah kegiatan  Supervisi Educative Mengisi Kuesioner 1. Tinggi: Ordinal
pembinaan, bimbingan atau adalah (1)Kegiatan kuesioner A Supervisi 60-80
pengawasan oleh pengelola yang dilakukan Akademik 2. Sedang:
(manajer) terhadap dengan Siloam 41-59
pelaksanaan dari tingkat yang mengajarkan
Hospital 3. Rendah:
rendah, menengah, atas, ketrampilan dan
Lippo 20-40
dalam rangka menetapkan kemampuan contoh:
Cikarang
kegiatan sesuai denagn tujuan keterampilan
yang telah ditetapkan. menentukan
(Gunawan, 2016, hal 35). medication error, 2)
supervisor melatih
perawat untuk
mengexplore
strategi, teknik-
teknik lain dalam
bekerja dengan
contoh: supervisor

37
mengajarkan
perawat tehnik
melaporkan
kejadian medication
error
 Supervisi
Supportive:
Kegiatan supportive
dilakukan dengan
cara: melatih
perawat ‘menggali’
emosi ketika
bekerja, contoh:
meredam ketakutan
ketika terjadi
kesalahan
pemberian obat
 Supervisi
Managerial. :
Kegiatan
managerial

38
dilakukan dengan:
melibatkan perawat
dalam peningkatkan
standar, contoh:
pelaporan kejadian
medication error
2 Usia Usia adalah lamanya waktu Usia perawat sesuai Dengan Kuesioner A 1. Masa Ordinal
hidup yaitu terhitung sejak dengan kelahiran mengisi Dewasa
lahir sampai dengan sampai ulang tahun kuesioner awal 18 –
sekarang.(Chaniago, 2002 40 tahun
dalam Aritonang, 2012). 2. Dewasa
akhir 41 –
59 tahun
3 Pendidikan Menurut Dictionary of Pendidikan terakhir Mengisi Kuesioner 1. D3 Ordinal
Education (1994) dalam perawat yang sedang kuesioner A Karakteristik 2. D4
Aritonang, (2012), bekerja di SHLC 3. Skep
pendidikan adalah Proses 4. S.kep Ns
dimana seseorang
mengembangkan
kemampuan, sikap dan
bentuk tingkah lakunnya di

39
dalam lingkungan
masyarakat..
4 Lama Lama waktu untuk Lamanya seorang Mengisi Kuesioner 1. > 2 tahun Ordinal
bekerja melakukan suatu kegiatan perawat bekerja di kuesioner A Karakteristik – 5 tahun
atau lama waktu seseorang SHLC dengan kategori Responden 2. > 5 tahun -
sudah bekerja (Tim penyusun baru, sedang, lama 10 Tahun
KBBI, 2010 dalam Hamida 3. > 10 tahun
2014).
5 Jenis Jenis kelamin adalah Jenis kelamin adalah Mengisi Kuesioner 1. Laki – laki Nominal
kelamin perbedaan biologis antara perbedaan biologis kuesioner A Karakteristik 2. Perempuam
perempuan dan laki-laki yang antara perempuan dan Responden
sudah ada sejak lahir. laki-laki
(Hungu, 2007).

6 Pelaporan Pelaporan insiden menurut Pelaporan kejadian Observasi Kejadian Jumlah Nominal
kejadian Komite Keselamatan Pasien medication error adalah medication kejadian
medication Rumah Sakit (2015) adalah laporan kejadian error di q kesalahan
error suatu cara yang bertujuan kesalahan peresepan, pulse yang
untuk menurunkan insiden kesalahan penulisan, dilaporkan
keselamatan pasien dan kesalahan distribusi

40
meningkatkan mutu obat, kesalahan
pelayanan dan keselamatan pemberian atau monitor
pasien. obat, kesalahan karena
kurang stok obat, dan
salah waktu pemberian
obat. Kesalahan di
laporkan melalui system
Q Pulse

41
BAB IV
METODE PENELITIAN

Bab ini memaparkan tentang metode yang akan digunakan dalam


penelitian, meliputi rancangan penelitian, populasi dan sampel, waktu, tempat
penelitian, etika penelitian, alat pengumpul data, prosedur pengumpulan data dan
metode analisis data.
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah pengaturan pengumpulan, analisis
data serta menghadirkan dasar logis yang bertujuan untuk menggabungkan
relevansi dan tujuan penelitian (Akhtar, 2016). Desain penelitian yang
digunakan adalah dengan pendekatan pre and post test group. Dalam
desain ini kelompok yang digunakan dalam penelitian tidak dipilih secara
random. Dalam penelitian ini sebelum kelompok intervensi diberikan
perlakuan maka dilakukan pengukuran awal (pre test) terhadap supervise
pelaksanaan pelaporan kejadian medication error pada kelompok
intervensi untuk menentukan kemampuan awal. Selanjutnya pada
kelompok intervensi diberikan perlakuan sesuai dengan yang
direncanakan. Perlakuan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah
pelatihan supervise model akademik, selanjutnya dilakukan pengukuran
akhir (post test) pada kelompok intervensi .

Pre Test Intervensi


Post Test

Supervisi Kejadian
Pelatihan Supervisi Supervisi pelaporan
medication error
Kejadian Medication
Kemampuan supervisor
Kemampuan supervisor
(kepala ruangan,ketua (kepala ruangan, ketua
Pelatihan Supervisi
tim, penanggung jawab tim, penanggung jawab
shift, duty manager) shift, duty manager )
melakukan model
melakukan model
supervise akademik
supervise akademik
Skema 4.1 Rancangan penelitian Pre dan Post test pada kelompok intervensi
supervise model akademik.

42
Untuk mencari besarnya pengaruh supervise terhadap pelaporan kejadian
medication error, usia terhadap pelaporan kejadian medication error, pendidikan
terhadap pelaporan kejadian medication error, lama bekerja terhadap pelaporan
kejadian medication error, jenis kelamin terhadap pelaporan kejadian medication
error dilakukan uji Chi Square. Desain penelitian dapat dilihat pada skema 4.2

X Y

Skema: 4.2 Uji Paired Independen dengan dependen (Pelaporaa kejadian


medication error)

Untuk mencari besarnya pengaruh sebelum dan sesudah intervensi


pelatihan supervise model akademik terhadap pelaporan kejadian medication
error dilakukan uji beda pre dan post tes. Desain penelitian dapat dilihat pada
skema: 4.3

X1 Pelatihan Supervisi
model akademik

O1 O2

Skema: 4.3 Uji Beda Pre dan Post test intervensi supervise klinik

Untuk mencari variabel yang paling dominan sebelum dan sesudah


intervensi pelatihan supervise model akademik terhadap pelaporan kejadian
medication error dilakukan uji regresi linear berganda. Desain penelitian dapat
dilihat pada skema: 4.3

XI

Keterangan
X2

X3
Y X1: Supervisi
X2 : Usia
X 3: Pendidikan
X4 : Lama bekerja
X4 X5 : Jenis Kelamin
Y : Pelaporan
X5 kejadian
medication error
43
Skema 4.4 Pelaporan kejadian medication error dipengaruhi oleh usia,
pendidikan, lama bekerja, dan jenis kelamin  desain penelitian uji multivariat
regresi linear berganda pada kelompok intervensi

4.2 Populasi dan Sampel


Menurut Hastono (2011, hal: 4), populasi adalah keseluruhan dari
unit dalam pengamatan yang akan kita lakukan. Sedangkan sampel adalah
sebagian dari populasi nilai / karakteristik yang kita ukur yang nantinya
akan digunakan untuk menduga karakterstik dari populasi. Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kepala ruangan, ketua tim,
penangung jawab shift dan duty manager yang bekerja ruang rawat inap,
ICU NICU, AE, HD, OT dan OPD Siloam Hospital Lippo Cikarang yang
berjumlah 53 orang perawat karena unit ini yang mempunyai keterampilan
memberikan obat. Tehnik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah
total sampling yaitu semua populasi diambil sebagai sampel. Sampel
dengan kriteria inklusi adalah semua perawat yang bekerja di ruang rawat
inap, ICU NICU, AE, HD, OT dan OPD Siloam Hospital Lippo Cikarang
yang bersedia menjadi responden, dengan minimal pendidikan D3
keperawatan. Kriteria ekslusi sample adalah semua perawat yang cuti atau
sakit atau tidak bertugas selama penelitian berlangsung di unit rawat inap,
ICU NICU, AE, HD, OT dan OPD Siloam Hospital Lippo Cikarang.

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian


4.3.1 Tempat penelitian
Penelitian akan ini dilaksanakan di ruang rawat inap, ICU
NICU, AE, HD, OT dan OPD Siloam Hospital Lippo Cikarang X
Jawa Barat, Rumah Sakit tipe B. Pemilihan rumah sakit X Jawa
Barat menjadi tempat penelitian adalah karena rumah sakit ini
sangat mendukung penerapan keselamatan pasien (patient safety)
dan peningkatan mutu pelayanan yang terus menerus. Disamping

44
itu, rumah sakit X Jawa Barat merupakan tempat peneliti bekerja.
Alasan pemilihan rawat inap sebagai tempat penelitian karena
unit - unit ini yang mempunyai keterampilan memberikan obat.
Adapun lokasi yang dijadikan untuk tempat pengambilan sampel
adalah ruangan rawat inap, ICU NICU, AE, HD, OT dan OPD
dengan alasan karena ruangan ini yang memiliki keterampilan
memberikan obat, dan beresiko terjadi medication error.
4.3.2 Waktu penelitian
Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 1 April 2021 – 1
Juli 2021.
4.4 Etika Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti akan memberikan surat
ijin permohonan penelitian kepada pihak Rumah Sakit X Jawa Barat dan
persetujuannya. Penelitian dilakukan dengan memperhatikan dan mentaati
prinsip etik penelitian, yang meliputi (Komisi Etik Penelitian Dan
Pengembangan Kesehatan Nasional Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017):
4.4.1 Prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for
persons).
Peneliti menghormati harkat martabat manusia sebagai
pribadi (personal) yang memiliki kebebasan berkehendak atau
memilih dan sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap
keputusannya sendiri. Prinsip menghormati subjek yang dilakukan
peneliti yaitu tidak adanya unsur pemaksaan untuk berpartisipasi
dalam penelitian. Sebelum penelitian peneliti akan meminta
perawat yang menjadi responden menandatangani surat
persetujuan, peneliti terlebih dahulu memberikan penjelasan secara
rinci tujuan dari penelitian dengan bahasa yang mudah. Melindungi
kerahasiaan responden dengan memberikan nama inisial pada
lembar observasi serta menjaga kerahasiaan data yang diperoleh
dengan cara membatasi akses terhadap data-data selain peneliti.

45
4.4.2 Prinsip berbuat baik (beneficence) dan tidak merugikan (non-
maleficence)
Prinsip etik berbuat baik menyangkut kewajiban membantu
orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal
dengan kerugian minimal. Risiko ataupun kerugian yang dialami
oleh responden dalam penelitian ini sangat minimal, justru
sebaliknya bahwa subjek memperoleh keuntungan secara ilmiah
yaitu berupa ilmu pengetahuan baru dan dengan adanya pelaporan
maka segera dapat dilakukan tindakan intervensi terhadap
kesalahan pemberian obat yang terjadi.
4.4.3 Prinsip keadilan (justice)
Prinsip etik keadilan mengacu pada kewajiban etik untuk
memperlakukan setiap orang (sebagai pribadi otonom) sama,
dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya.
Prinsip keadilan yang dilakukan oleh peneliti adalah perlakuan
penelitian berlaku menyeluruh terhadap semua responden.

4.5 Alat Pengumpul Data


Alat pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan
digunakan oleh peneliti dalam kegiatan pengumpulan data agar kegiatan
tersebut menjadi sistematis dan mudah (Arikunto, 2013). Arikunto juga
menjelaskan bahwa instrumen merupakan alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan informasi kuantitatif tentang variasi karakteristik variabel
secara objektif. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah untuk mengukur karakteristik perawat menggunakan kuesioner A,
untuk menilai supervise menggunakan kuesioner B (Kuesioner Supervisi
Akademik Siloam Hospital Lippo Cikarang) dengan 20 pernyataan terkait
supervise. dan observasi berupa lembar checklist observasi kejadian
medication error dan pelaporan insiden medication error melalui q pulse.
Kuesioner yang digunakan memakai skali likert. Pelatihan yang akan
dilakukan menggunakan modul pelatihan supervise .

46
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data
4.6.1 Uji Validitas
Validitas adalah suatu pengukuran yang menunjukkan
tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan ukuran suatu instrumen
terhadap konsep yang diteliti (Priyono, 2016). Budiastuti,. Bandur
(2018, hal 146) menjelaskan tiga jenis validitas yang sering
digunakan yaitu:
a. Validitas isi (content validity)
Validitas isi berkaitan dengan apakah alat pengukuran
sudah sesuai dengan instrument pengukuran lainya yang
dianggap telah dipakai secara luas dalam bidang tetentu.
Dua hal utama yang perpu dibandingkan adalah konteks
responden yang terdapat dalam kedua alat pengukuran dan
secara khususu dlam penelitian korelasi. Skor perlu
dibandingkan untuk melihat nilai korelasi kooefisien kedua
instrument. Huck (2012) dalam ). Budiastuti,. Bandur
(2018, hal 147), menjelaskan bahwa korelasi Pearson
dipakai untuk melihat korelasi kedua skor instrument.
Semakin tinggu korelasi Pearsion (r) kedua instrument,
semakin tinggi tingkat validitas instrument tersebut.
b. Validitas kriteria (criterionrelated validity)
Validitas isi berkaitan dengan butir – butir pernyataan yang
tersusun dalam kuesioner. Pernyataan – pernyaan yang
disusun berdasarkan landasan teori topik penelitian.
c. Validitas konstrak ( construct validity).
Validitas ini berkaitan dengan apakah alat penelitian yang
dipakai telah disusun berdasarkan kerangka konsep teori
yang tepat dan relevan. Kuesioner yang memiliki validitas
konstrak tinggi selalu berdasarkan difinisi oleh para ahli,
bukan difinisi kamus.

47
Kuesioner yang akan digunakan dilakukan pengujian
analisisi factor. Budiastuti,. Bandur (2018, hal 151), menjelaskan
kriteria ini erat kaitanya dengan ukuran / sample penelitian. Jumlah
sampel perlu ditentukan berdasarkan jumlah variable penelitian
yaitu minimum lima responden satu variable (5:1) atau 1 variabel
berbanding 10 responden. ( Nunally, 1978 dalam buku Budiastuti,.
Bandur,2018, hal 151). Selain ukuran sampel perlu diperhatikan
jumlah butir pernyataan dari kuesioner, sebaiknya setiap variable
mempunyai minimal lima item butir pernyataan. Sebuah korelasi
kooefisen lebih dari 3 (r=3 atau lebih) dapat dilakukan factor
analisis.Dua test statistic yang dipakai dalam SPSS dapat
menentukan apaka daya penelitian layak untuk diuji dalam factor
analysis yaitu: Barletts test of sphricity dan Kaiser Meyer Olkin.
Jika tes Barletts signifikan (p <.05) maka factor analisis dapat
dilakukan. Test Barllets menegaskan test KMO berkisar 0-1. Nilai
minimum test KMO adalah .06 (Budiastuti,. Bandur (2018, hal
152),
Alat pengumpul data kejadian medication error, peneliti
menggunakan observasi dan pelaporan medication error sesuai
dengan laporan yang ada pada q pulse intrumen tersebut tidak perlu
dilakukan validitas.

4.6.2 Reliabilitas
Reliabilitas menurut Arikunto (2013) adalah menunjukkan
pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen dapat dipercaya
untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument
sudah diangap baik. Dalam penelitian ini, instrument supervise
menggunakan kuesioner, untuk mengetahui apakah kuesioner yang
akan digunakan reliabel maka dilakuak uji reliabilitas dengan
membandingkan nilai r hasil dengan nilai konstanta (0,6). Dalam
uji reliablitas sebagai nilai hasil adalah nilai “ Alpha”. Bila r Alpha
> konstanta (0,6) maka pernyataan tersebur reliabel.

48
4.7 Prosedur Pengumpulan Data
4.7.1 Tahap Persiapan
4.7.1.1 Surat permohonan ijin yang sudah ditanda tangani oleh
ketua program studi Stik sint Carolus
4.7.1.2 Membuat surat ijin ke RS, setelah ada persetujuan dari
direktur Rs, menyerahkan surat ijin tersebut kebagian
diklat RS
4.7.1.3 Melakukan identifikasi responden sesuai kriteria inklusi
4.7.1.4 Menggunakan instrument yang digunakan yaitu modul
pelatiahan supervise, kuesioner penelitian tentang
supervise, formulir observasi kejadian medikation error
dan rekapan pelaporan kejadian medication error (q
Pulse)

4.7.2 Tahap Pelaksanaan


4.7.2.1 Kelompok intervensi
4.7.2.1.1 Melakukan pre test
Pre test menggunakan kuesioner untuk
mengetahui persepsi supervisor (kepala
ruangan, ketua tim, penangung jawab shift
dan duty manager) terhadap supervise
pelaporan medication error
4.7.2.1.2 Pemberian Materi
Pemberian materi tentang supervise model
akademik. Selama pelatihan diharapkan
peserta aktif melakuakn diskusi dan berbagi
pengalaman tentang supervise pelatihan
sesuai modul yang disiapkan, dan
4.7.2.2 Strategi pelaksanaan

49
Pelaksaan supevisi dilakukan oleh kepala ruangan, ketua
tim, penanggung jawab shift, duty manager. Observasi
ketepatan pemberian obat dilakukan, jika terjadi
kesalahan dalam pemberian obat maka supervisor
melakukan bimbingan, tentang pelaporan kejadian
medication error. Pelaporan dilengkapi di q pulse.
4.7.2.3 Post test
Post test dilakukan setelah supervise tahap akhir dengan
mengisi kuesioner untuk mengetahui persepsi supervisor
(kepala ruangan, ketua tim, penangung jawab shift dan
duty manager) terhadap supervise pelaporan medication
error

4.8 Pengolahan dan Analisis Data


4.8.1 Pengolahan Data
Agar analisis penelitian menghasilkan informasi yang benar, ada
empat tahapan dalam pengelolaan data yang harus dilalui, yaitu:
editing, coding, processing, dan cleaning. (Hastono, 2007).
4.8.1.1 Editing
Setelah kuesioner terkumpul, peneliti melakukan
pengecekan apakah jawaban yang ada di kuesioner sudah
lengkap (semua pertanyaan sudah terisi jawabanya).
Lembar observasi apakah sudah terisi lengkap, merekap
data kejadian medication yang ada pada q pulse
4.8.1.2 Coding
Setelah data terkumpul peneliti menilai jawaban
responden, merubah data yang berbentuk huruf menjadi
berbentuk angka. Pemberian kode berdasarkan jawaban
responden pada kuesioner karakteristik perawat,
supervise akademik, hasil observasi kejadian medication
error serta pelaporan kejadian medication error yang ada
di q pulse

50
4.8.1.3 Processing
Setelah data selesai dirubah dalam kode angka,
kemudian peneliti mengelompokkan data sesuai dengan
tujuan penelitian kemudian data dimasukkan kedalam
tabel yang sudah disiapkan. Setiap pernyataan yang
sudah diberi nilai, hasilnya dijumlahkan dan diberi
kategori sesuai dengan jumlah pernyataan pada
kuesioner, observasi kejadian medication error dan
pelaporan kejadian medication error. Selanjutnya data
tersebut dimasukkan ke dalam sistem komputer untuk
dilakukan proses statistik.
4.8.1.4 Cleaning
Melalui proses cleaning peneliti melakukan
pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk
menghindari adanya kesalahan pada saat meng-entry
data ke komputer.

4.8.2 Analisa data


Penelitian ini akan dilakukan anlisa data menggunakan SPSS 24.
4.8.2.1 Analisis Univariat
Analisis univariate untuk menyajikan data dalam bentuk
distribusi frekuensi, ukuran penyebaran, dan nilai rata –
rata (Riyanto, 2010, hal 61). Variabel independen
meliputi: supervisi, usia, pendidikan, lama bekerja serta
jenis kelamin.
4.8.2.2 Analisis Uji Beda dua mean (paered sample)
Tujuan pengujian ini untuk menguji perbedaan dua
kelompok data yang dependen dengan syarat distribusi
data normal, kedua kelompok data dependen, dan jenis
variable adalah numerik dan kategorik. (Hastono, 201,
hal: 120). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan data
variable supervise, usia, pendidikan, lama bekerja,jenis

51
kelamin terhadap variable pelaporan kejahian medication
error.

4.8.2.3 Analisis Multivariat


Dalam penelitian ini menggunakan analisis multivariat
uji regresi Linear ganda karena peneliti mau melihat
variable independen (usia, pendidikan, jenis kelamin,
lama bekerja, supervise (kepala ruangan, ketua tim, PJ
ruangan, duty manager) yang paling berpengaruh
terhadap pelaporan kejadian medication error. Hastono
(2011) menjelaskan Regresi linear ganda dilakukan jika
variable dependen numerik dan variable independen =
numerik dan kategorik. Tujuan dari Regresi Linear
adalah:
4.8.2.3.1 Menetapkan model matematik yang paling
baik utk menggambarkan hubungan
variabel independen dan variable dependen.
4.8.2.3.2 Menggambarkan hubungan kuantitatif
antara variabel independen (x) dengan
variable dependen (y) setelah dikontrol
variabel. Lain
4.8.2.3.3 Mengetahui variabel x mana yang
penting/dominan dlm memprediksi variable
dependen.
4.8.2.3.4 Mengetahui adanya interaksi pada dua/lebih
variabel. independen terhadapvariabel
dependen

4.8.2.4

52
DAFTAR PUSTAKA

Alsulami, Z., Conroy, S., Choonara. I. (2013). Medication errors in the Middle
East Countries: A Systematic Review of the Literature. European Journal
of Clinical Pharmacology, 69(4):995-1008. Retrieved from : https://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23090705. Diunduh 18 November 2019.
Alligood. (2017). Pakar Teori Keperawatan.Edisi Indonesia. Indonesia. Elsevier
Akhtar, I. (2016). Research Design. Diakses tanggal 15 Desember 2018 dari
https://www.researchgate.net/publication/308915548_Research_Design
Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan (Edisi Ketiga).
Tangerang: Binarupa Aksara
Aritonang. (2012). Karakteristik Personal. Diunduh dari: repository.usu.
ac.id/bitstream. 18 November 2019.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta
Baltacyi-Goktalay et al. (2014). Clinical Supervision Model And Uludag Kdm.
International Journal on New Trends in Education and Their Implications.
April 2014 Volume: 5 Issue: 2 Article: 01 ISSN 1309-6249. dari
:http://www.ijonte.org/FileUpload/ ks63207/File/01a.baltaci-goktalay.pdf.
diunduh 18 November 2019.
Budiastuti. Bandur. (2018). Validitas & Reliabilitas Penelitian Dilengkapi dengan
NVIVO, SPSS, dan AMOS. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Dharma. (2004). (Manajemen Supervisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Effendy. (1998). Dasar – Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Gunawan, Widodo, F. Y. and Harijanto, T. (2015). Analisis Rendahnya Laporan
Insiden Keselamatan Pasien di Rumah Sakit’, Jurnal Kedokteran
Brawijaya. vol 28, suplemen 2. Diakses tanggal 2 Oktober 2019 dari:
https://jkb.ub.ac.id/ index. Php /jkb /article / view/962/479
Gunawan. (2016). Potret Keperawatan di Bilitung Indonesia. Sulawesi Tenggara:
Yayasan Cipta Anak bangsa.

53
Gorbach, e. C. (2015). Frequency of and risk factors for medication errors by
pharmacists during order verification in a tertiary care medical center.
American Society of Health-System Pharmacists, 1. Diakses tanggal 2
Oktober 2019 dari: https://www. researchgate. net/ publication/281168422
Hamida,F. (2014). Lama Kerja. Di unduh dari : https: //www .academia .edu /
7189070/ Bab_2_lama_kerja. diunduh 18 November 2019.
Hastono, S. P. (2007). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia
Hungu (2007). Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Iskandar, Maksum & Nafisa. (2014). Faktor Penyebab Penurunan Pelaporan
Insiden Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
Vol. 28, Suplemen No. 1.
Join Commission International. (2015). Comprehensive Accreditation Manual for
Hospitals : The Patient Safety Systems Chapter. The Join Commission.
Kee, J.L., Hayes, E.R. (2015). Pharmacology: A Patient-Centered Nursing
Process Approach. Elsevier. Saunders. 8th ed.
Kuntari. (2005). Tingkat Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat
Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Indonesia,
Volume 9, No.1, Maret 2005; 19-25
Nainggolan, Nancy. (2003). Pemakaian antibiotik dosis tinggi merusak ginjal
Anne. Suara Pembaruan, 9 Desember 2003.
Nugroho & Sujianto. (2017). Supervisi Kepala Ruang Model Proctor Untuk
Meningkatkan Pelaksanaan Keselamatan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia. Volume 20 No.1, hal 56-64 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-
9203 DOI: 10.7454/jki.v20i1.348.
Nursalam,. & Efendi, F. (2007). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan: Pedoman Skripsi Tesis dan Instrumen Penelitian
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nur, Q.M. (2013). Hubungan motivasi dan supervisi terhadap kinerja perawat
pelaksana dalam menerapkan patient safety di rawat inap RS Universitas

54
Hasanuddin (Tesis Magister, Universitas Hasanudin). Diperoleh dari
http://repository.unhas.ac.id
Nugroho., Sujianto. (2017). Supervisi Kepala Ruang Model Proctor Untuk
Meningkatkan Pelaksanaan Keselamatan Pasien. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 20 No.1, hal 56-64 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-
9203 DOI: 10.7454/jki.v20i1.348
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit .(2015). Pedoman Pelaporan Insiden
Keselamatan Pasien (IKP). Jakarta: Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit .
Komisi Etik Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Nasional Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pedoman Dan Standar Etik
Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Openshaw, Linda. 2012. Challenges In Clinical Supervision. USA : NACSW
Convention.
Patel, S., Patel, A., Patel, V., Solanki, N. (2018). Study of Medication Error in
Hospitalised Patients in Tertiary Care Hospital. Indian Journal of
Pharmacy Practice. vol 11, issue 1. Jan – Mar 2018. Diakses tanggal 2
Oktober 2019, dari: http://www .ijopp.org/ sites/default/ files/ijopp-11-
32.pdf
Potter, Perry. (2010). Fundamental of Nursing: Consep, Proses and Practice.
Edisi 7. Vol. 3. Jakarta: EGC
Purba, A.V., Soleha, M., Sari, I.D. (2007). Kesalahan dalam pelayanan obat
(medication error) dan usaha pencegahannya. Buletin penelitian Sistem
kesehatan. Vol, 10 No 1. Diakses tanggal 2 Oktober 2019 dari:
http://ejournal. litbang.depkes. go.id/index.php
/hsr/article/view/1769/2577.
Quality & Risk RS X Jawa Barat melalui sistem pelaporan online
Rumampuk, M.V. (2013). Peran kepala ruangan melakukan supervisi perawat
dengan penerapan patient safety di ruang rawat inap (Tesis Magister,
Universitas Hasanudin). Diperoleh dari http://pasca.unhas.ac.id

55
Riyanto. (2010). Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Jogjakarta: Mulia
Medika
Sarvidkar, A., Prescott, G., & Williams, D. (2010). Attitudes to Reporting
Medication error among Differing Healthcare Professionals. European
Journal Clinical Pharmacology. DOI: 10.1007/s00228-010-0838-x .
Diunduh tanggal 16 November 2019.
Sennewald. (2008). Effective Security Manajement. Diakses tanggal 18
November 2019 dari: Http://www.siaga 24.com
Supratman. (2008). Model – Model Supervisi Keperawatan. Jurnal Ilmu
Keperawatan. P-ISSN 1979-2697. Diunduh dari: http://journals. Ums . ac.
Id / index. php/BIK/article/view/3735/2404
Susanti, Ika. (2013). Identifikasi Medication Error Pada Fase Prescribing,
Transcribing, Dan Dispensing Di Depo Farmasi Rawat Inap Penyakit
RSUP Fatmawati. Diakses dari : http://repository. uinjkt.ac.id/ dspace/
bitstream /123456789/26463/1/IKA%20 SUSANTI -FKIK.pdf Diunduh
18 November 2019.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,. Bandung: Alfabeta
Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit EDISI 1. (2017). Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit. EDISI 1. Jakarta: Komisi Akreditasi Rumah
Sakit.
Tristantia. (2018). Evaluasi Sistem Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Di
Rumah Sakit . Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 6 No 2
July-December 2018 Published by Universitas Airlangga doi: 10.20473 /
jaki.v6i2.2018.83-94
Usman., Murniati. (2019). Pengantar Manejemen Pendidikan. Jakarta:
AN1MAGE
Undang-Undang Keperawatan. (2014). Undang-Undang RI No. 38 Tentang
Keperawatan. Diunduh dari:www.hukumonline.com 16 November 2019.
Varmeulen., Kleefstra., Zijp., & Kool (2017). Under standing The Impact of
Supervision on Reducing Medication Risk: an Interview Study in Long
Term Elderly Care. BMC Health Services Research. 17:464 DOI
10.1186/s12913-017-2418-6

56
Windarti MI. 2008. Strategi mencapai keamanan pemberian obat dalam Suharjo
dan Cahyono: Membagun budaya keselamatan pasien dalam praktik
kedokteran. Ikappi: Yogyakarta.
World Health Organization. (2016). Medication Errors : Technical Series on
Safer Primary Care. ISBN ISBN 978-92-4-151164-3

57

Anda mungkin juga menyukai