Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL KEPERAWATAN DASAR PROFESI

DENGAN MASALAH KEPERAWATAN APENDIKSITIS

Deta Arinda Putri 22221030


Devi Melia Sari 22221031
Dhora Surya A 22221032
Diana Novita 22221033
Diki Anuwari 22221034
Dimas Prayoga 22221035
Dinny Dwi H. 22221036
Dwi Aris 22221037
Dwi Mega L. 22221038
Dwi Pawestri 22221039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN 2021/2022
Latar belakang

Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi infeksi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat segera sembuh tanpa melakukan perawatan , tetapi banyak kasus memerlukan
laparatomi dengan melakukan penyingkiran umbai cacing yang telah terinfeksi, Sehingga
penyakit ini yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan. Penelitian Indru U, dkk (
2014 ), mengatakan resiko jenis kelamin pada kejadian apendisitis terbanyak yaitu laki – laki
dengan presentase 72,2%, sedangkan berjenis kelamin perempuan hanya 27,8%. Hal ini di
karenakan laki – laki lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja dan lebih
cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji, sehingga hal ini dapat menyebabkan kesulitan
buang air besar dan akan menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada akhirnya
menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks dan bisa menimbulkan masalah pada sistem
pencernaan.

Apendisitis adalah suatu peradangan akibat terjadinya infeksi pada apendiks (umbai
cacing), infeksi ini bisa mengakibatkan terjadinya pernanahan. Bila infeksi ini bertambah parah
maka usus buntu tersebut bisa pecah (Jitowiyono, 2010). Apendisitis yang tidak ditangani dengan
segera maka akan meningkatkan risiko terjadinya ferforasi. Apendisitis perforasi adalah pecahnya
apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam rongga perut sehingga
terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi di kelilingi oleh jaringan
nekrotik ( Burkitt et al.,2013 ).

Angka kejadian apendisitis cukup tinggi di dunia. Berdasarkan Word Health


Organizationangka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, dimana populasi laki-laki
lebih banyak di bandingkan perempuan. Angka mortalitas apendisitis 12.000 jiwa pada laki-laki
dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan. ( 2018 ). Di Indonesia penderita apendisitis sekitar 27%
dari jumlah pasien, dan jumlah penduduk sekitar 179.000 orang. Insiden apendisitis menempati
urutan tertinggi di antara kasus kegawat daruratan abdomen lainnya Depkes 2011 ). Berdasarkan
data yang diperoleh RSUD Kota Kendari menunjukan jumlah penderita apendisitis pada tahun
2016 tercatat sebanyak 326 kasus, sedangkan di tahun 2017 tercatat jumlah penderita apendisitis
meningkat dengan jumlah penderita sebanyak 384 kasus, serta pada tahun 2018 tercatat jumlah
penderita apendisitis sebanyak 309 kasus.

( Rekam Medik dan SIRS RSUD kota kendari, tahun 2018 ).


Kasus

An. KF usia 12tahun datang dengan keluarganya ke RSUD Palembang BARI, pada tanggal 07
november 2021 dengan keluhan nyeri dibagian bawah perut dengan skala 3 (0-10) saat pengkajian
pada tanggal 07 november 2021 kesadaran klien composmentis, klien tampak lemas dan pucat,
klien mengeluh nyeri pada bagian perut bagian bawah, dengan karakteristik nyeri seperti ditusuk-
tusuk, nyeri dirasakan hilang timbul. Selain itu keluarga klien juga mengatakan susah tidur dan
sering terbangun ketika tidur, dan klien tidak merasa nyaman saat bangun tidur karena nyeri yang
ia rasakan. Keluarga klien juga mengatakan tidur malamnya dari jam 23 : 00 – 05 : 00 WIB. Dan
tidur siang tidak teratur. Klien terpasang infus RL dengan TTV TD : 95/70 mmHg N : 80x/menit
RR : 20x/menit, T : 36 C pasien di diagnosis dokter Apendisitis dan telah dilakukan pembedahan

STEP I ( klarifikasi istilah)

1. Apa itu apendiksitis ? peradangan usus buntu / usus buntu (Dhora)

STEP II & III ( identifikasi masalah dan menjawab identifikasi masalah)

2. Apa yang menyebabkan apendiksitisi ? (Devi)

Karna rongga usus buntu mengalami infeksi dalam kondisi ini bakteri itu berkembang dgn cepat
sehingga membuat peradangan pada usus buntu (Dhora)

Penyebab apendiksitis itu yang pertama adalah makan yang tidak teratur/ makan yang kurang
serat dan nutrisi terjadinya obstruksi lumen dan infeksi pada usus. (Dimas)

Yang menyebabkan apendiksitis terjadi disebabkan makanan yang keras seperti mie dan makanan
siap saji. (Dwi pawestri )

2. Mengapa klien susah tidur ? (Diki)


Karna pasien tersebut mengalami nyeri, jadi pasien sulit untuk tertidur. (Devi)
3. Mengapa apendiksitis bisa menyerang pada anak usia 12 tahun ? (Dhora)
Karena anak-anak lebih menyukai makanan yang keras, seperti mie dsb. Dan juga
Makanan yang susah diserap oleh bagian usus sehingga dapat menyebabkan terjadi pada anak.
(Diki)

4. Apa penyebab klien tampak lemas dan pucat ? (Dimas)


Karena anak tersebut baru saja dilakukan tindakan pembedahan operasi usus buntu (Deta)
Pasien terlihat terpasang cairan RL menandakan anak kekurangan cairan (Dini)
5. Diarea manakah apendiksitis itu terjadi ? (Deta)
Di abdomen bagian bawah di area usus (Dwi pawestri)
Biasanya apendiksitis itu terjadi di asenden (Diki)
Diusus buntu atau di umbai cacing (Dwi Aris)
6. Apakah apendiksitis ini bisa terjadi berulng (Devi)
Setelah dilakukan operasi tidak akan terjadi dikarenakan organ apendiks / usus buntu telah
diangkat. (Dimas)
Setelah dilakukan operasi bisa terulang kembali jika makanan yang dikonsumsi tidak terkontrol
(Diana)
STEP IV ( patwhway)

Apendiks

Hiperplasi folikel Benda asing Erosi mukosa Fekalit Striktur Tumor


Limfoid Apendiks

Obstruksi mukosa

Terbendung apendiks

tekanan intraruminal

Nyeri

Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi


bakteri pada dinding
apendiks

apendictisi

Ke peritonium Trombosis pada


vena intramural

peritonitis
Pembengkakan
dan iskemia
Pembedahan operasi
ansietas
perforasi
Luka insisi
Kekurangan vol cairan
Defisit self nyeri Jalan masuk
bakteri Resiko infeksi

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik(luka insisi post operasi apendik)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasive (insisi post pembedahan)
3. Deficit perawatan diri berhubungan dengan nyeri
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah
5. Ansietas berhubungan dengan agen cidera biologis

INTERVENSI

No Diangnosa Noc Nic

1. Kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian


Nyeri berhubungan 1. Mampu mengontrol nyeri secara
dengan agen cidera nyeri (tahu penyebab komprehensif termasuk
fisik(luka insisi post nyeri, mampu lokasi,
operasi apendik) menggunakan 2. karakteristik, durasi,
tehniknonfarmakologi frekuensi, kualitas dan
untuk mengurangi faktor
nyeri, mencari bantuan) 3. presipitasi
2. Melaporkan bahwa 4. Observasi reaksi
nyeri berkurang dengan 5. nonverbal dari
menggunakan ketidaknyamanan
manajemen nyeri
6. Gunakan teknik
3. Mampu mengenali
komunikasi terapeutik
nyeri (skala, intensitas,
untuk mengetahui
frekuensi dan tanda
pengalaman
nyeri)
7. nyeri pasien
4. Menyatakan rasa
8. Kaji kultur yang
nyaman setelah nyeri
mempengaruhi respon
berkurang
5. Tanda vital dalam
nyeri
rentang normal
2. Kriteria Hasil : 1. Monitor tanda dan gejala
Resiko infeksi 1. Klien bebas dari tanda infeksi sistemik dan local
berhubungan dengan dan gejala infeksi 2. Monitor hitung
tindakan invasive 2. Menunjukkan granulosit, WBC
(insisi post kemampuan untuk 3. Monitor kerentanan
mencegah timbulnya terhadap infeksi
pembedahan)
infeksi 4. Batasi pengunjung
3. Jumlah leukosit dalam
batas normal
4. Menunjukkan perilaku
hidup sehat
3. 1. Klien dapat melakukan 1. Monitor kemempuan klien
Deficit perawatan kebersihan diri secara untuk perawatan diri yang
diri berhubungan mandiri. mandiri.
dengan nyeri 2. Klien terbebas dari bau 2. Monitor kebutuhan klien
badan untuk alat-alat bantu
untuk
kebersihan diri,
berpakaian, berhias, toileting
dan makan.

3. Sediakan bantuan sampai


klien mampu secara utuh
untuk melakukan self-care.
4. Dorong klien untuk
melakukan aktivitas sehari-
hari yang
normal sesuai
kemampuan yang dimiliki.

5. Dorong untuk
melakukan secara
mandiri
6. Ajarkan
klien/keluarga untuk
mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien
tidak mampu untuk

melakukannya.
4. “Fluid balance” 1. Fluid management”
Resiko Kekurangan Kriteri hasil : 2. Timbang popok jika
volume cairan diperlukan
1. Keseimbangan
berhubungan dengan 3. Pertahankan intake dan
intake dan output 24
mual muntah output yang akurat
jam
4. Monitor status
2. Berat badan stabil
hidrasi (kelembaban
3. Tidak ada mata
membran mukosa, nadi
cekung
adekuat, tekanan
4. Kelembaban kulit
darah)
dalam batas normal
5. Monitor vital sign
6. Kolaborasikan
pemberian cairan
IV 6. Dorong
masukan oral
7. Dorong keluarga
8. untuk membantu
pasien makan

5. 1. Klien mampu 1. Gunakan pendekatan


Ansietas mengidentifikasi dan yang menenangkan
berhubungan dengan mengungkapkan gejala 2. Nyatakan dengan
agen cidera biologis cemas jelas harapan
2. Mengidentifikasi, terhadap pelaku
mengungkapkan dan pasien
menunjukkan tehnik
3. Jelaskan semua
untuk mengontol cemas
prosedur dan apa
3. Vital sign dalam batas
yang dirasakan
normal
selama prosedur
4. Postur tubuh, ekspresi
wajah, bahasa tubuh 4. Bantu pasien

dan tingkat aktivitas mengenal situasi yang

menunjukkanberkurangn menimbulkan

ya kecemasan kecemasan
5. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
6. Instruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi
7. Barikan obat untuk
8. Mengurangi
kecemasan
KONSEP TEORI

A. Definisi

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm dengan
pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak pada perut kanan
bawah (Handaya, 2017). Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks) (Wim de jong, 2005 dalam Nurarif, 2015). Apendisitis merupakan keadaan
inflamasi dan obstruksi pada vermiforis. Apendisitis adalah inflamasi saluran usus yang
tersembunyi dan kecil yang berukuran sekitar 4 inci yang buntu pada ujung sekum (Rosdahl dan
Mary T. Kowalski, 2015). Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks
vermiformis. Apendiks vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau lebih dikenal dengan
nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum (Nurfaridah,
2015).

B. Etiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh apendikolit, tumor
apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris fekal),
atau parasit EHistolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin, & kumala sari, 2011). Selain itu apendisitis
juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat sehingga dapat terjadi
konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang mengakibatkan terjadinya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon.

1. Ulserasi pada mukosa


2. Obstruksi pada colon oleh fecalit (faeses yang keras)
3. Pemberian barium
4. Berbagai macam penyakit cacing
5. Tumor
6. Striktur karena fibrosis pada dinding usus (Wijaya dan Putri, 2013)

C. Klasifikasi

Apendisitis dibagi menjadi 2, antara lain sebagai berikut :

1. Apendisitis akut
Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberi tanda setempat. Gejala
apendisitis akut antara lain nyeri samar dan tumpul merupakan nyeri visceral di saerah
epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini disertai rasa mual muntah dan penurunan nafsu
makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini, nyeri yang
dirasakan menjadi lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat (Hidayat 2005 dalam Mardalena,Ida 2017)

2. Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga hal yaitu pertama, pasien
memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit tiga minggu
tanpa alternatif diagnosa lain. Kedua, setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang dialami pasien
akan hilang. Ketiga, secara histopatologik gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis
yang aktif atau fibrosis pada apendiks (Santacroce dan Craig 2006 dalam Mardalena, Ida 2017).

D. Manifestasi Klinis

Beberapa manifestasi klinis yang sering muncul pada apendisitis antara lain sebagai berikut :

1. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium disekitar umbilikus atau periumbilikus.
Kemudian dalam beberapa jam, nyeri beralih ke kuadaran kanan bawah ke titik Mc Burney
(terletak diantara pertengahan umbilikus dan spina anterior ileum) nyeri terasa lebih tajam.

2. Bisa disertai nyeri seluruh perut apabila sudah terjadi perionitis karena kebocoran apendiks dan
meluasnya pernanahan dalam rongga abdomen

3. Mual

4. Muntah

5. Nafsu makan menurun

6. Konstipasi

7. Demam (Mardalena 2017 ; Handaya, 2017)

E. Patofisiologi
Apendisitis terjadi karena disebabkan oleh adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam
kalsium, debris fekal), atauparasit E-Histolytica. Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh
kebiasaan makan makanan yang rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi. Kondisi
obstruktif akan meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan perkembangan bakteri. Hal
ini akan mengakibatkan peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada dinding apendiks yang
berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks. Pada fase ini penderita mengalami nyeri pada area
periumbilikal. Dengan berlanjutnya pada proses inflamasi, akan terjadi pembentukan eksudat pada
permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini berhubungan dengan perietal peritoneum, maka
intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce, 2009 dalam dalam muttaqin & kumala sari,
2011).

Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan


tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang ditandai
dengan ketidaknyamanan pada abdomen. Adanya penurunan perfusi pada dinding akan
menimbulkan iskemia dan nekrosis serta diikuti peningkatan tekanan intraluminal, juga akan
meningkatkan risiko perforasi dari apendiks. Pada proses fagositosis terhadap respon perlawanan
terhadap bakteri ditandai dengan pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen
apendiks.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan


pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke
rongga abdomen kemudian akan memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi
peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan abses, maka akan ditandai dengan gejala
nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala
yang khas dari perforasi apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen
kanan bawah (Tzanaki, 2005 dalam muttaqin, Arif & kumala sari, 2011).

Komplikasi

Komplikasi bisa terjadi apabila adanya keterlambatan dalam penanganannya. Adapun jenis
komplikasi menurut (LeMone, 2016) diantaranya sebagai berikut:

1. Perforasi apendiks

Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi nanah sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Perforasi dapat diketahui dengan gambaran klinis seperti suhu tubuh lebih dari 38,5 0C dan nyeri
tekan pada seluruh perut yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit.
2. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen). Komplikasi
ini termasuk komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.

3. Abses

Abses adalah peradangan pada spendiks yang berisi nanah. Teraba massa lunak di kuadran kanan
bawah atau daerah pelvis.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Kenaikan sel darah putih (Leukosit) hingga 10.000 – 18.000/mm3. Jika terjadi peningkatan yang
lebih, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu)

b. Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari


apendiks

c. Pemeriksaan CT – Scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya


kemungkinan perforasi.

d. C – Reactive Protein (CRP) adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai
respon dari infeksi atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan peningkatan kadar CRP
(Mutaqqin, Arif & Kumala Sari 2011).

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada penderita apendisitis yaitu dengan tindakan pembedahan/Apendiktomi

1. Pengertian Apendiktomi

Apendiktomi adalah intervensi bedah untuk melakukan pengangkatan bagian tubuh yang
mengalami masalah atau mempunyai penyakit. Apendiktomi dapat dilakukan dengan dua metode
pembedahan yaitu pembedahan secara terbuka/ pembedahan konveksional (laparotomi) atau
dengan menggunakan teknik laparoskopi yang merupakan teknik pembedahan minimal infasif
dengan metode terbaru yang sangat efektif (Berman& kozier, 2012 dalam Manurung, Melva dkk,
2019)

Laparoskopi apendiktomi adalah tindakan bedah invasive minimal yang paling banyak
digunakan pada apendisitis akut. Tindakan ini cukup dengan memasukkan laparoskopi pada pipa
kecil (trokar) yang dipasang melalui umbilikus dan dipantau melalui layar monitor. Sedangkan
Apendiktomi terbuka adalah tindakan dengan cara membuat sayatan pada perut sisi kanan bawah
atau pada daerah Mc Burney sampai menembus peritoneum.

2. Tahap Operasi Apendiktomi

1. Tindakan sebelum operasi

a. Observasi pasien

b. Pemberian cairan melalui infus intravena guna mencegah dehidrasi dan


mengganti cairan yang telah hilang

c. Pemberian analgesik dan antibiotik melalui intravena

d. Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral

e. Pasien diminta melakukan tirah baring

2. Tindakan Operasi

a. Perawat dan dokter menyiapkan pasien untuk tindakan anastesi sebelum


dilakukan pembedahan

b. Pemberian cairan intravena ditujukan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat


dan menggantikan cairan yang telah hilang.

c. Aspirin dapat diberikan untuk mengurangi peningkatan suhu.

d. Terapi antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi.

3. Tindakan pasca operasi

a. Observasi TTV
b. Sehari pasca operasi, posisikan pasien semi fowler, posisi ini dapat
mengurangi tegangan pada luka insisi sehingga membantu mengurangi rasa
nyeri

c. Sehari pasca operasi, pasien dianjurkan untuk duduk tegak ditempat tidur
selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri tegak dan duduk
diluar kamar

d. Pasien yang mengalami dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan


melalui intravena. Cairan peroral biasanya diberikan bila pasien dapat
mentoleransi

e. Dua hari pasca operasi, diberikan makanan saring dan pada hari berikutnya
dapat diberikan makanan lunak.

H. KONSEP NYERI

1. Definisi nyeri Menurut Smeltzer dan Bare (2001), nyeri adalah pengalaman sensori
dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual
atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan
perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan
dengan beberapa pemeriksaan diagnostic atau pengobatan. Nyeri sangat
mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit
manapun.
2. Teori nyeri
Nyeri merupakan suatu fenomena yang penuh rahasia. Ada beberapa teori yang
menjelaskan mekanisme transmisi nyeri, diantaranya:

a. Teori pola (Pattern Theory) Nyeri yang terjadi karena efek-efek kombinasi
intensitas stimulus dan jumlah impuls-impuls pada dorsal ujung dari sum-sum
belakang. Tidak termasuk aspek-aspek fisiologi.
b. Teori pemisahan (specificity theory) Reseptor-reseptor nyeri tertentu
menyalurkan impuls-impuls keseluruh jalur nyeri ke otak. Tidak
memperhitungkan aspek-aspek fisiologis dari persepsi dan respon nyeri.
c. Teori pengendalian gerbang (gate control theory) Impuls-impuls nyeri dapat
dikendalikan oleh mekanisme gerbang pada ujung dorsal dari sum-sum belakang
untuk memungkinkan atau menahan transmisi. Faktor-faktor gerbang terdiri dari
efek impuls- impuls yang ditransmisi ke serabut-serabut saraf konduksi cepat
atau lamban dan efek-efek impuls dari batang otak dan korteks.
d. Teori transmisi dan inhibisi Adanya stimulus pada nosiseptor memulai transmisi
implus-implus saraf, sehinggga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh
neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif
oleh implus-implus pada serabut-serabut besar yang memblok implus-implus
pada serabut lamban endogen opiate system supersif
3. Klasifikasi nyeri Menurut Smeltzer dan Bare, (2001), terdapat dua tipe nyeri yaitu:
a. Nyeri akut
Nyeri ini bersifat mendadak, durasi singkat, biasanya berhubungan dengan
kecemasan. Orang biasa meresponnya dengan cara fisiologis yaitu diaforesis,
peningkatan denyut jantung, peningkatan pernafasan, peningkatan tekanan darah
dan dengan perilaku. Nyeri akut merupakan mekanisme yang berlangsung
kurang dari enam bulan, secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung,
frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tekanan otot, keringat pada
telapak tangan dan perubahan pada ukuran pupil

b. Nyeri kronik
Nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti dengan berbagai macam gangguan.
Terjadi lambat dan meningkat secara perlahan, dimulai setelah detik pertama dan
meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini biasanya
berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sifatnya terus menerus atau
intermitten. Nyeri kronik merupakan nyeri yang konsisten yang menetap
sepanjang satu periode waktu dan tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan
sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak mempunyai respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronik ini sering
didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.

4. Mengkaji Persepsi Nyeri


Menurut Smeltzer dan Bare (2001), alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk
mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat,
alat tersebut harus memenuhi criteria berikut :

a. Mudah dimengerti dan digunakan


b. Memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien
c. Mudah dinilai d. Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri Alat-
alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk mendokumentasikan kebutuhan
intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas intervensi dan untuk mengidentifikasi
kebutuhan akan intervensi alternatif atau tambahan jika intervensi sebelumnya tidak
efektif dalam meredakan nyeri individu.

Nyeri kadang-kadang hanya bisa dikaji dengan berpatokan pada ucapan dan perilaku
pasien, serta dengan pengkajian nyeri, yaitu :

a. P (Pemacu) : Faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri


b. Q (Quality) : Kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang dirasakan pasien
misalnya, seperti diiris-iris pisau, dipukulpukul, disayat
c. R (Region) : Daerah perjalanan nyeri
d. S (Severity) : Keparahan atau intensitas nyeri
e. T (Time) : Lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri (Hidayat,

2008) Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien (Potter & Perry, 2006)

a. Baker Faces Scale Wong Pain Rating


Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari
senyuman sampai menangis karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan
gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan atau
pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

Gambar 2.2. Penilaiam nyeri menurut Baker Faces Scale Wong


Pain Rating.

a. Verbal Rating Scale (VRS)


Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan
skala lima poin; tidak nyeri, ringan, sedang, berat dan sangat berat.
Gambar 2.3 Gambar 1.2 Penilaian nyeri menuruN
Baker Faces Scale Wong Pain Rating
b. Numerical Rating Scale (NRS)
Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978,
dimana pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan
menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan
tidak ada nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.4 Penilaian nyeri menurut Numerical Rating Scale (NRS)


c. Visual Analogue Scale (VAS)
Visual Analogue Scale (VAS) merupakan skala dengan garis lurus
10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir

garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda
digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang
dirasakan.Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih
mudah dipahami oleh penderia dibandingkan dengan skala lainnya.
Penggunaan VAS telah banyak direkomendasikan karena selain
telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya
lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan
menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi
permasalahan. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri
yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia.
Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien
merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat
(rescue analgetic).

Gambar 2.5 Penilaian nyeri menurut Visual Analogue Scale (VAS)


Keterangan (Smeltzer & Bare, 2001) :
0 : Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik
4-6 : Nyeri sedang : secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat

mengikuti perintah dengan baik.


7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
rasa nyeri.

10 : Nyeri sangat berat : pasien sudah tidak mampu lagi


berkomunikasi,memukul.Respon nyeri setiap individu berbeda-
beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

adalah:
1) Usia
Menurut Potter dan Perry (2006) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak, remaja dan orang dewasa.
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kelompok umur ini
dapat mempengaruhi bagaimana anak, remaja dan orang dewasa bereaksi
terhadap nyeri. Sedangkan menurut Tamsuri (2007) menyatakan bahwa
anak-anak lebih kesulitan untuk memahami nyeri sedangkan orang
dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami
kerusakan fungsi.

2) Jenis Kelamin
Arti nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir
sebagian mengartikan nyeri merupakan hal yang negatif, seperti
membahayakan, merusak dan lain-lain. Keadaan ini lebih sering
dipengaruhi oleh jenis kelamin. Menurut Burn, dkk (1989 dalam Potter
dan Perry, 2006) bahwa kebutuhan narkotik post operative pada wanita
lebih banyak dibandingkan dengan pria. Ini menunjukkan bahwa
individu berjenis kelamin perempuan lebih mengartikan negatif terhadap
nyeri.
3) Budaya
Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespon terhadap nyeri (bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespon terhadap nyeri). Namun budaya dan Etnik tidak mempengaruhi
persepsi nyeri (Smeltzer & Bare, 2001)

Sejak dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar


mereka respon nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak
diterima. Harapan budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang
hidupnya jarang dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang
berlawanan dengan budaya lainnya. Akibatnya, individu yakin bahwa
persepsi dan reaksi mereka terhadap nyeri adalah normal dapat diterima.

4) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat


mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990, dalam Potter & Perry,
2006) perhatian yang meningkat, dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun.

5) Ansietas
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), meskipun umum diyakini bahwa
ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam
semua keadaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten
antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan
pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun
ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan
persepsi pasien terhadap nyeri.
6) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan
saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi
nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri. Bagi beberapa orang,
nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada
nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten (Smeltzer dan Bare, 2001)

7) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri
dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.

8) Support keluarga dan sosial


Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan
dan perlindungan (Potter & Perry, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2014, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth’s Edisi 10, Jakarta, EGC.
Edgar W, dan Andrew TR. Immunology Applied Basic For Basic Surgycal Training.
USA : Churcill livingstone 2000 : 106-200 dalam Zulfikar.dkk, 2013.

R Tsamsuhidajat & Wim De jong, 2010, At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3, Jakarta, Erlangga.
Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2014, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth’s Edisi 10, Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai